Anda di halaman 1dari 73

BAB I

‘AQIDAH ISLAMIYYAH

'Aqidah Menurut Pengertian Bahasa (Literal)


Secara literal, ‘aqidah berasal dari kata ‘aqada yang bermakna al-habl, al-
bai’, al-‘ahd (tali, jual beli, dan perjanjian).1
Kata al-‘aqiidah, al-‘ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama. Kata al-
yaqiin bermakna al-‘ilmu.2 Menurut istilah, yaqiin memiliki arti, “menyakini sesuatu
dengan keyakinan bahwa sesuatu yang diyakininya itu tidak mungkin berbeda
dengan keyakinannya. Sebab, keyakinannya sesuai dengan kenyataan yang tidak
mungkin berbeda....”3
Dr. Mohammad Husain 'Abdullah mengatakan, "al-'aqiidah berasal dari kata
'aqada. Wa 'aqada al-habl wa al-bai', al-'ihdah, wa al-'ahd, ya'qiduhu syaddahu"
(mengikat tali, transaksi jual beli, perjanjian, yakni, mengikatnya, atau menjalinnya
dengan kuat). 'Aqidah secara bahasa juga bermakna semua hal yang mengikat hati
dan hati menjadi tenang terhadapnya".4
Dalam Tafsir Mafaatih al-Ghaib, karya Imam Fakhruddin al-Raziy dinyatakan,
"...Pengarang Tafsir al-Kasysyaaf menuturkan, "Kata iman berasal dari wazan if'aal
dari kata al-amnu (aman); lalu dinyatakan: aamanahu idzaa shadaqahu, wa
haqiiqatuhu aamanahu min al-takdziib wa al-mukhaalifah (ia mengimani suatu
perkara jika ia membenarkannya; dan hakekatnya adalah melindunginya
(mengamankannya) dari kedustaan dan pelanggaran".5
Di dalam Kitab al-Wajiz fiy 'Aqiidah al-Salaf al-Shaalih (Ahlu al-Sunnah),
dinyatakan; secara bahasa, 'aqidah berasal dari kata al-'aqd (akad), yang bermakna
al-rabth (tali), al-ibraam (penetapan), al-ihkaam (penguatan), al-tautsiq
(kepercayaan), al-syadd bi quwwah (ikatan yang kuat), al-tamaasuk (berpegang
teguh), al-muraashah (pengikatan), al-itsbaat (penetapan), al-yaqiin (yakin), wa al-
jazm (kepastian)6.
Imam Ibnu Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli bahasa Azujaj, mendefinisikan
iman dengan, “Sikap ketundukan, kepatuhan, dan kesediaan untuk menerima
syari'at Islâm.” Sikap ini harus terefleksi pula dalam menerima apa-apa yang
disampaikan Rasulullah saw (sunnah). Sunnah harus diyakini dan dibenarkan di
dalam hati. Siapa saja yang bersikap seperti itu, dan menyakini bahwa
melaksanakan suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa ragu-ragu lagi,
maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan Muslim yang keimanannya tidak
ragu-ragu lagi. Allah swt berfirman, "....dan kamu sekali-kali tidak akan percaya
kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar..."7

1
Mohammad Ibnu Abiy Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401
H/1971 M, hal. 444. Bila dikatakan i’taqada fulaan al-amr (seseorang telah beri’tiqad
terhadap suatu perkara), maknanya adalah, shadaqahu, wa ‘aqada ‘alaihi qalbuhu, wa
dlamiiruhu, (seseorang itu telah membenarkan perkara tersebut, hatinya telah
menyakininya, dan ia bersandar kepada perkara tersebut). Lihat al-Mu’jam al-Wasith, jilid
I, bab ‘aqada.
2
Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743
3
Al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, hal. 113
4
Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 35
5
Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 290.
6
'Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsariy, al-Wajiz fii 'Aqiidah Salaf al-Shaalih (Ahlu al-
Sunnah wa al-Jama'ah), juz 1, hal. 11
7
Al-Quran, Yusuf:17.
Imam al-Jurjani di dalam kitab al-Ta'rifaat menyatakan, "Secara literal, iman
adalah tashdiiq al-qalb (pembenaran dalam hati). Sedangkan menurut syariat, iman
adalah al-i'tiqaad bi al-qalb wa al-iqraar bi al-lisaan (keyakinan dalam hati dan
diucapkan dengan lisan)".8
Makna iman adalah tashdiq (pembenaran). Dalam kitab al-Tahdzib,
disebutkan bahwa iman berasal dari kata amana - yu'minu- îmânan, yang artinya
membenarkan. Ahli bahasa sepakat bahwa iman bermakna tashdiq (pembenaran).
Di dalam Kitab al-Ta'riifaat disebutkan, "al-'ilmu adalah I'tiqaad al-jaazim al-
muthaabiq li al-waaqi' (ilmu (keyakinan) adalah keyakinan pasti yang sejalan
dengan realitas)"…Ada pula yang mendefinisikan ilmu dengan memahami hakekat
yang terkandung di dalam sesuatu". Ada pula yang mengartikannya dengan
hilangnya kesamaran dari sesuatu yang hendak diketahui; dan lawannya adalah al-
jahlu (kebodohan)".9
Lawan dari yaqin (atau ‘ilmu dan iiman) adalah dzan.10 Menurut bahasa, dzan
bermakna tahammuh (prasangka/dugaan).11 Al-Jurjaniy, dalam Kitab al-Ta'riifaat,
menyatakan, "al-Dzann adalah i'tiqaad al-raajih ma'a ihtimaal al-naqiidl (keyakinan
kuat yang disertai dengan kemungkinan adanya kontradiksi". Kata "al-dzann" juga
digunakan dengan makna "al-yaqiin (yakin) dan al-syakk (ragu)". Ada pula yang
menyatakan, dzann adalah dua sisi yang sama-sama rajih, tapi salah satu sisinya
meragukan".12
Imam Zamakhsyariy berkata, “Bi’r dzannuun: la yutsaaq bi maa’iha.[Sumur
yang meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa dipercaya]; rajul dzannuun: la
yutsaaq bi khabarihi [laki-laki yang meragukan adalah laki-laki yang beritanya tidak
bisa dipercaya].”13
Di dalam Kamus al-Muhiith disebutkan, "Al-dzann : al-taraddud al-raajih bain
tharaf al-i'tiqaad al-ghair al-jaazim (Dzann adalah prasangka kuat di antara sisi
keyakinan yang tidak pasti".14
Di dalam Kamus Taaj al-'Uruus min Jawaahir al-Qamuus disebutkan, "
Dituturkan dari 'Ali al-Syaraf al-Dimyaathiy, bahwasanya dzann adalah al-taraddud
al-raajih bain tharaf al-i'tiqaad al-ghair al-jaazim (Dzann adalah sebuah prasangka
kuat di antara sisi keyakinan yang tidak pasti. Al-Manawiy menyatakan; dzann
adalah al-i'tiqaad al-raajih ma'a ihtimaal al-naqiidl (dzann adalah keyakinan kuat
yang disertai kemungkinan adanya kontradiksi) ".15
Di dalam Tafsir Qurthubiy disebutkan, "Dituturkan dari Imam al-Anbariy dari
Yahya bin Ahmad al-Nahwiy, bahwasanya orang-orang Arab menggunakan kata
dzann dengan pengertian al-'ilm (keyakinan), al-syakk (keraguan), dan al-kadzb
(kedustaan). Jika bukti-bukti yang menyakinkan lebih banyak daripada bukti-bukti
yang meragukan, maka dalam konteks semacam ini, al-dzann bermakna ilmu
(yakin). Namun, jika bukti-bukti yang menyakinkan setara dengan bukti-bukti yang

8
Imam al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal. 12
9
Imam al-Jurjaniy, al-Ta'riifaat, juz 1, hal. 49
10
Al-Raghib al-Isfahaaniy, Mufradaat al-Faadz al-Quran, hal.327
11
Dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah disebutkan; kata dzan kadang-kadang digunakan
dengan makna al-‘ilmu (yaqiin) [lihat juga Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-
Ahkaam, hal 218]. Fathi Mohammad Salim menyatakan; kata "dzann" adalah keyakinan
kuat yang masih mengandung makna yang berlawanan. Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah,
hal. 406. Kata "dzan" kadang-kadang digunakan dengan makna yaqiin dan syakk
(keraguan). [lihat Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq,
1414 H/199 M , hal. 20].
12
Al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal. 46
13
Asaas al-Balaaghah, hal. 303
14
Al-Fairuz al-Abadiy, al-Qamus al-Muhiith, juz 3, hal. 345
15
Al-Zaabidiy, Taaj al-'Uruus min Jawaahir al-Qamuus, juz 1, hal. 8012
meragukan, maka dzann di sini bermakna al-syakk. Dan jika bukti yang meragukan
lebih kuat dibandingkan bukti yang menyakinkan, maka dzann semacam ini
bermakna al-kadzb (kedustaan)."16
Di dalam kitab al-Ta'riifaat, al-Jurjaniy menyatakan, "al-Syakk (keraguan)
adalah dua makna kontradiktif yang salah satu maknanya tidak bisa dikuatkan. Ada
pula yang menyatakan; al-syakk adalah dua sisi yang kontradiktif sama-sama
kuatnya. Dengan kata lain, al-syakk adalah abstain terhadap dua perkara yang hati
tidak bisa condong ke salah satunya. Jika ada salah satu makna (dari dua makna
kontradiktif itu) ada yang lebih kuat, maka ini disebut dengan dzann".17
Al-Shaahib ibn al-'Ibaad di dalam al-Muhiith fi al-Lughah menyatakan, "al-
Dzann bisa bermakna al-syakk dan yaqiin. Firman Allah swt, "Wa dzannuu an laa
malja`a min al-Allah illa ilaihi", maka dzann di sini bermakna yaqiin wa al-'ilm".18
Adapun penggunaan kata "dzann" beserta maknanya dapat dilihat pada bab
selanjutnya.

'Aqidah Dalam Tinjauan Istilah


Menurut istilah, kata i’tiqad (keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim al-
muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan
dan ditunjang dengan bukti).19 Ini adalah pendapat Prof Mahmud Syaltut.
Imam al-Baghawiy, di dalam Tafsir al-Baghawiy menyatakan, "Hakekat iman
adalah tashdiiq bi al-qalbi (pembenaran di dalam hati). Allah swt berfirman, "Dan
sesungguhnya engkau tidak akan percaya kepada kami".[Yusuf:17], maksudnya
adalah mushaddiq lanaa (mempercayai kami). Sedangkan menurut syariat, iman
adalah i'tiqaad di dalam hati, diakui dengan lisan, dan amalkan dengan rukun-rukun
tertentu. Pengakuan dan amal disebut dengan iman, karena keduanya merupakan
bagian dari syariat-syariat yang berhubungan erat dengan iman".20
Imam al-Nasafiy, berpendapat, "Îman adalah pembenaran hati sampai pada
tingkat kepastian dan ketundukan."21
Imam Ibnu Katsir menjelaskan,"Îman yang telah ditentukan oleh syara' dan
diserukan kepada kaum Muslimîn adalah berupa i’tiqâd (keyakinan), ucapan, dan
perbuatan. Inilah pendapat sebagian besar Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam
Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal,dan Abu Ubaidah menyatakan, pengertian ini sudah
menjadi suatu ijma' (kesepakatan)".22
Imam Nawawi menyatakan, "Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para
fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa seseorang dikategorikan Muslim
apabila orang tersebut tergolong sebagai ahli kiblat (melakukan sholat). Ia tidak
kekal di dalam neraka. Ini tidak akan didapati kecuali setelah orang itu mengimani
dienul Islâm di dalamnya hatinya, secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia
mengucapkan dua kalimat syahadat."23
Imam al-Ghazali menyatakan,"Îman adalah pembenaran pasti yang tidak ada
keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya."24

16
Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 2, hal. 6
17
Al-Jurjaniy, al-Ta'riifaat, juz 1, hal. 41
18
Al-Shaahib bin 'Ibaad, Al-Muhiith fi al-Lughah, juz 2, hal. 387
19
Prof. Mahmud Syaltut, Islam; 'Aqidah wa Syari'ah, ed. III, Daar al-Qalam, 1966,
hal.56. Lihat juga, Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq,
1414 H/199 M , hal. 22.
20
Imam al-Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 1, hal. 60
21
Imam al-Nasafiy, Al-'Aqâid al-Nasafiyyah, hal. 27-43
22
Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr, jilid.I, hal. 40
23
Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49
24
Imam Al-Ghazali, Iljâm al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalâm, hal. 112
Di dalam Kitab al-Wajiz fii 'Aqiidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaa'ah dinyatakan,
"Secara istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan
menentramkan jiwa, sehingga perkara-perkara tersebut menjadi sebuah keyakinan
yang tidak disusupi oleh keraguan dan bercampur dengan persangkaan (al-syakk).
Dengan kata lain, 'aqidah adalah keimanan pasti (al-iiman al-jaazim) yang tidak
dihinggapi keraguan pada diri orang yang menyakininya; dan ia harus sesuai dengan
kenyataan, tidak mengandung keraguan dan persangkaan. Dan jika sebuah
keyakinan tidak mencapai taraf al-iiman al-jaazim (iman yang pasti), maka perkara
itu tidak dinamakan dengan aqidah. Disebut 'aqidah karena, manusia akan
mengikatkan hatinya kepada perkara tersebut (aqidah)"25.
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, "Aqidah adalah sudut pandang yang harus
diimani pertama kali, sebelum mengimani yang lain, dengan keimanan yang tidak
disusupi keraguan, dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran. Secara tabi'iy, 'aqidah
ditetapkan berdasarkan nash-nash yang jelas (qath'iy) yang jumlahnya sangat
banyak (mutawatir)..".26
Dr. Mohammad Husain 'Abdullah menyatakan, "'Menurut istilah, 'aqiidah
adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta
kehidupan sebelum dunia dan sesudahnya, dan keterkaitannya (alam semesta,
kehidupan, dan manusia ) dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Pemikiran
menyeluruh inilah yang akan mengurai simpul besar (masalah besar) yang lahir dari
pertanyaan manusia mengenai; siapa yang menciptakan seluruh eksistensi ini dari
ketiadaannya; dan untuk apa hidup di dunia, dan ke mana tempat kembali
manusia?".27
Imam Fakhruddin al-Raziy berkata, "Para ahli kiblat berbeda pendapat dalam
mendefinisikan iman menurut konteks syariat. Mereka terbagi menjadi empat
kelompok. Kelompok pertama berpendapat; iman adalah sebutan untuk
perbuatan-perbuatan hati dan anggota badan, serta pengakuan dengan lisan.
Pendapat ini dipegang oleh Mu'tazilah, Khawarij, Ziyadiyyah, dan Ahli Hadits.
Sedangkan kaum Khawarij sepakat bahwa iman kepada Allah mencakup juga
makrifat kepada Allah dan makrifat pada semua perkara yang telah ditetapkan Allah
dengan dalil aqliy maupun naqliy dari al-Quran dan Sunnah. Iman kepada Allah
mencakup juga taat kepada Allah dalam semua perkara yang diperintahkan Allah
dan meninggalkan semua dosa, baik kecil maupun besar. Selanjutnya, kumpulan
dari seluruh perkara di atas adalah iman, dan meninggalkan salah satu bagian dari
bagian-bagian tersebut adalah kekufuran. Sedangkan Mu'tazilah bersepakat bahwa
kata iman menjadi "muta'addiy" 28 dengan adanya huruf "ba'"; dan maknanya adalah
tashdiiq. Oleh karena itu dinyatakan: fulaan aamana billahi wa birasuulihi; dan
maksudnya adalah al-tashdiiq (pembenaran). Sebab, iman tidak mungkin bermakna
"melaksanakan kewajiban-kewajiban" jika sudah dalam bentuk muta'addiy. Atas
dasar itu, tidak mungkin dinyatakan si fulan telah beriman bila ia telah sholat dan
puasa; akan tetapi mesti dinyatakan si fulan telah beriman kepada Allah,
sebagaimana dinyatakan si fulan puasa dan sholat karena Allah. Kata iman yang
menjadi muta'ddiy dengan adanya huruf "ba'" merupakan konsensus para ahli
bahasa. Adapun, jika kata iman disebut secara mutlak tanpa dita'addikan, maka
para ahli bahasa sepakat bahwa kata tersebut telah dipindahkan dari makna
literalnya, yakni al-tashdiiq (pembenaran), ke makna yang lain. Kemudian, mereka
25
'Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsariy, Al-Wajiiz fii 'Aqiidah Salaf al-Shaalih, juz 1, hal.
11-13
26
Prof Mahmud Syaltut, al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12.
27
Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 35
28
Yang disebut muta'addiy adalah "membutuhkan obyek" agar maknanya menjadi
sempurna. Fi'il muta'addiy (kata kerja muta'addiy) adalah kata kerja yang membutuhkan
obyek (maf'ul bihi).
berselisih pendapat dari beberapa sisi: pertama, ada yang berpendapat bahwa iman
adalah ungkapan dari "melaksanakan seluruh ketaatan, baik yang berhukum wajib
maupun mandub, atau hanya berkaitan dengan perkataan-perkataan, atau
perbuatan-perbuatan, atau keyakinan-keyakinan (i'tiqadaat). Ini adalah pendapat
dari Washil bin 'Atha', Abu al-Hudzail, dan Qadliy 'Abdul Jabar bin Ahmad. Kedua,
iman merupakan ungkapan dari perbuatan-perbuatan wajib saja, tidak untuk
perbuatan sunnah. Ini adalah pendapat Abu 'Ali dan Abiy Hisyam. Ketiga; iman
adalah ungkapan dari "penjauhan diri dari semua perkara yang di dalamnya terdapat
ancaman (siksa). Menurut Allah, mukmin adalah siapa saja yang menjauhi semua
dosa besar, dan mukmin menurut kita adalah setiap orang yang menjauhi perkara-
perkara yang di dalamnya terdapat ancaman (siksa). Ini adalah pendapat al-
Nadzam. Sebagian pengikut al-Nadzam berpendapat, syarat mukmin menurut kita
dan Allah adalah menjauhi semua dosa besar. Adapun ahli hadits; mereka
mengetengahkan dua pendapat. Pertama: sesungguhnya makrifat adalah keimanan
yang sempurna, dan ia adalah perkara yang mendasar (pokok). Setelah itu, setiap
ketaatan adalah keimanan pada batas tertentu. Ketaatan-ketaatan ini tidak bisa
menjadi keimanan kecuali jika disandarkan kepada pokoknya, yakni makrifat.
Mereka berkeyakinan, bahwa penolakan dan pengingkaran hati adalah kekufuran.
Setelah itu, setiap kemaksiyatan yang dilakukan setelahnya adalah kekufuran pada
batas-batas tertentu. Mereka tidak menjadikan setiap ketaatan sebagai sebuah
keimanan selama tidak ada makrifat dan pengakuan, dan mereka tidak menjadikan
setiap kemaksiyatan sebagai kekufuran, selama tidak ada penolakan dan
pengingkaran. Sebab, perkara yang cabang tidak akan berarti tanpa keberadaan
asalnya. Ini adalah pendapat 'Abdullah bin Sa'iid bin Kalaab. Kedua; mereka
berkeyakinan bahwa iman adalah sebutan untuk ketaatan secara menyeluruh, dan ia
adalah keimanan yang satu. Mereka menjadikan seluruh perkara fardlu dan nawaafil
bagian dari keseluruhan iman. Siapa saja meninggalkan satu perkara fardlu maka
tanggallah imannya, sedangkan orang yang meninggalkan nawaafil, tidak tanggal
imannya. Sebagian dari mereka berpendapat; iman adalah sebutan untuk
kewajiban saja, bukan untuk nawaafil. Kelompok kedua;mereka yang
berpendapat; iman itu di dalam hati dan lisan secara bersamaan. Hanya saja,
mereka terbagi lagi menjadi beberapa pendapat. Pertama; iman adalah pengakuan
lisan dan makrifat dengan hati. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan
mayoritas ahli fikih. Lalu, mereka berbeda pendapat dalam dua topik; pertama;
mereka berselisih pendapat mengenai "apa hakekat dari makrifat itu". Sebagian
dari mereka mengartikan makrifat dengan "i'tiqaad al-jaazim" (keyakinan pasti),
sama saja apakah keyakinan itu diperoleh dengan jalan taqlid (i'tiqaad taqliidiyyan)
maupun dari ilmu (keyakinan) yang bersumber dari dalil. Dan mayoritas di antara
mereka menghukumi muqallid (dalam hal iman) sebagai seorang Muslim. Sebagian
lagi mengartikan makrifat dengan ilmu (keyakinan) yang lahir dari istidlaal
(penalaran terhadap dalil). Kedua, mereka berbeda pendapat dalam hal, "ilmu
(keyakinan) yang dianggap bisa mewujudkan iman itu ilmu (keyakinan) terhadap
apa? Sebagian ahli kalam berpendapat; itu adalah ilmu (keyakinan) terhadap Allah
dan SifatNya secara sempurna dan lengkap. Lalu, perbedaan pendapat dalam hal
Sifat Allah swt telah mengantarkan mereka saling mengkafirkan satu dengan yang
lain. Ahlu al-Inshaaf berpendapat; ilmu (keyakinan) yang diakui di sini adalah ilmu
(keyakinan) terhadap setiap perkara yang telah diketahui secara dlaruriy termasuk
bagian dari agama Mohammad saw. Berdasarkan pendapat ini, maka keyakinan
terhadap keberadaan Allah apakah Ia mempunyai Sifat Mengetahui karena Dzatnya
sendiri, atau karena adanya Sifat Tambahan, dan lain sebagainya, bukanlah
termasuk bagian dari iman. Pendapat kedua: sesungguhnya, iman adalah tashdiiq
bi al-qalb wa al-lisaan ma'an (keimanan adalah pembenaran dengan hati dan lisan
secara bersamaan). Ini adalah pendapat Basyar bin Ghiyaats al-Muriisiy, Abu Hasan
al-'Asy'ariy. Yang dimaksud dengan tashdiiq bi al-qalb adalah perkataan yang
berdiri sendiri. Pendapat ketiga; pendapat dari sebagian ahlu sufi: iman adalah
pengakuan dengan lisan dan keikhlasan dalam hati. Kelompok ketiga; orang yang
berpendapat bahwa iman adalah ungkapan dari perbuatan hati saja. Mereka terbagi
lagi menjadi dua pendapat; pertama; iman adalah ungkapan dari makrifat kepada
Allah dengan hati; sehingga, siapa saja yang telah makrifat kepada Allah dengan
hatinya, kemudian ia mengingkari dengan lisannya dan mati sebelum sempat ia
mendekatkan diri dengan Allah, maka orang itu adalah Mukmin sejati. Ini adalah
pendapat Jahm bin Shofwaan. Adapun makrifat terhadap Kitab-kitab Suci, Rasul-
rasul, hari akhir, mereka berkeyakinan bahwa masalah ini bukan termasuk dalam
batas-batas iman. Al-Ka'biy menuturkan dari Jahm, bahwasanya iman adalah
makrifat kepada Allah dan makrifat terhadap semua perkara yang secara dlaruriy
termasuk bagian dari agama Nabi Mohammad saw. Kedua: iman adalah
pembenaran dengan hati saja (mujarrad tashdiq al-qalb). Ini adalah pendapat Al-
Husain bin al-Fadlal al-Bajaliy. Kelompok keempat; mereka yang berpendapat
bahwa iman adalah pengakuan dengan lisan saja. Kelompok ini terbagi lagi menjadi
dua. Pertama; yang berpendapat pengakuan dengan lisan adalah iman sajal akan
tetapi pengakuan tersebut baru disebut iman jika telah ada makrifat di dalam hati.
Oleh karena itu, makrifat di dalam hati merupakan syarat agar pengakuan dengan
lisan tersebut dianggap sebagai keimanan, namun makrifat itu sendiri tidak
termasuk dalam sebutan iman. Ini adalah pendapat Ghilan bin Muslim al-Dimasyqiy
dan Fadlal al-Riqaasyiy. Akan tetapi, al-Ka'biy menyanggah pendapat Ghilan ini.
Kedua; iman adalah hanyalah pengakuan dengan lisan saja. Ini adalah pendapat al-
Karaamiyyah. Mereka berkeyakinan bahwa orang munafiq itu Mukmin secara dzahir,
namun kafir secara bathin. Lalu, mereka dihukumi mukmin di dunia, namun kafir di
akherat. Inilah pendapat-pendapat ulama seputar definisi iman menurut konteks
syariat".29
Selanjutnya, setelah menjelaskan panjang lebar seputar masalah iman, Imam
Fakhruddin al-Raaziy mengetengahkan pendiriannya sebagai berikut, "..Jika anda
telah memahami penjelasan pendahuluan ini, maka kami berpendapat bahwa, iman
adalah ungkapan dari pembenaran terhadap semua perkara yang telah diketahui
secara dlaruriy (pasti) bahwa keberadaannya termasuk bagian dari agama (tashdiiq
bi kulli ma 'urifa bi al-dlaruurah kaunuhu min diin); dengan batasan sebagai berikut.
Batasan pertama; iman adalah ungkapan dari tashdiiq (pembenaran). Ini
ditunjukkan oleh hal-hal berikut ini. (1) Sesungguhnya, menurut konteks bahasa
(literal), makna asal dari iman adalah tashdiiq. Seandainya dalam konteks syariat
maknanya berubah menjadi selain makna tashdiiq, berarti orang yang
mengucapkannya sedang berbicara di luar konteks kalamnya (pengucapan) orang
Arab. Hal ini tentunya akan menganulir eksistensi al-Quran sebagai kalamnya orang
Arab. (2) Iman adalah lafadz yang sering diucapkan oleh kaum Muslim. Seandainya
maknanya dipindahkan kepada makna lain di luar konteks aslinya (makna bahasa),
niscaya makna (sebutan) itu akan diketahui secara luas, masyhur, dan bahkan
mencapai derajat mutawatir. Namun, selama kenyataannya tidak seperti itu, maka
kita memahami bahwa iman tetap harus dipahami dalam konteks makna asalnya
(makna bahasa). (3) Kita sepakat bahwa kata iman yang menjadi muta'addiy
dengan penambahan huruf "ba'", maknanya harus dipahami sesuai dengan konteks
asli bahasa (makna literal). Sehingga, jika kata iman tidak menjadi muta'addiy,
maka ia harus dimakna seperti itu juga. (4) Sesungguhnya, ketika Allah swt
menyebut kata iman di dalam al-Quran, Ia menyandarkannya dengan al-qalb (hati).
Allah swt berfirman, " yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut
mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman".[al-Maidah:41];

29
Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 292
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar".
[TQS An Nahl (16):106]; " Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-
anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang
yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka".[TQS Al Mujadilah
(58):22]; "Orang-orang Arab Badwi itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah
(kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk",
karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu".[TQS Al Hujurat (49): 14].
Allah swt setiap kali menyebut kata iman, Ia mengkaitkannya dengan amal
sholeh. Seandainya amal sholeh termasuk bagian dari iman, hal ini pasti akan
disebutkan berulang-ulang. (6) Allah swt kerapkali menyebut iman dan
mengindikasikannya dengan kemaksiyatan. Allah swt berfirman;" Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk".[TQS Al An'aam (6):82]; " Dan jika ada dua
golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain
maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil".[TQS Al Hujurat (49):9]
Ibnu 'Abbas berhujjah dengan surat al-Baqarah:178, " Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh.."[TQS Al Baqarah (2):178], tiga pendapat. Pertama, sesungguhnya
qishash itu hanya diwajibkan atas pembunuh yang melakukan pembunuhan dengan
sengaja. Selanjutnya, Allah swt berfirman, "Ya ayyuhal ladziina aamanuu"; ini
menunjukkan bahwa orang tersebut adalah Mukmin. Kedua, Allah swt berfirman,
"Faman 'ufiya lahu min akhiihi syai'un" (TQS Al Baqarah (2): 178); persaudaran di
sini adalah persaudaraan iman". Ini didasarkan pada firman Allah swt, "Innamaa al-
mukminuun ikhwah" (sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara)". (TQS Al
Hujurat:10). Ketiga, firman Allah swt, "Dzaalika takhfiif min rabbikum wa rahmah"
(ini adalah keringanan dan rahmat dari Tuhan kalian) (TQS Al Baqarah (2): 178);
keringanan dan rahmat ini tentunya tidak akan diberikan kecuali bagi orang Mukmin.
Pengertian senada juga ditunjukkan oleh firman Allah swt, "Walladziina aamanuu wa
lam yuhaajiruu" (TQS Al-Anfaal (8):72). Ayat ini menunjukkan bahwa sebutan iman
tetap diberikan kepada orang yang tidak berhijrah. Padahal, ada ancaman yang
sangat besar atas perbuatan meninggalkan hijrah dalam firman Allah swt surat al-
Nahl :28, dan al-Anfaal:72. Akan tetapi, Allah swt tetap menjadikan mereka sebagai
orang-orang Mukmin. Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah swt, " Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad), karena rasa kasih sayang.."[TQS Al Mumtahanah (60):1]; " Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad)
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui".[TQS Al Anfaal (8):27]; "Hai orang-orang
yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,
mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu.."[TQS At
Tahriim (66):8].
Perintah taubat yang ditujukan kepada orang yang tidak berdosa adalah
sesuatu yang mustahil. Allah swt berfirman, "Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung".[TQS An Nuur
(24):31]
Batasan kedua; iman bukanlah ungkapan dari tashdiiq al-lisaan
(pembenaran perkataan). Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah swt, "
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari
kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman."[TQS Al Baqarah (2):8]. Ayat ini menafikan keimanan mereka.
Seandainya iman kepada Allah adalah ungkapan dari pembenaran lisan, tentunya
penafian di dalam ayat tersebut tidak sah.
Batasan ketiga; iman bukanlah ungkapan dari kemutlakan tashdiiq
(pembenaran terhadap sesuatu secara mutlak). Sebab, orang yang membenarkan
al-Jibt dan al-Thaghut tidaklah disebut orang Mukmin.
Batasan keempat; tashdiq terhadap semua sifat Allah swt tidak termasuk
persyaratan iman. Sebab, Rasulullah saw tetap mengakui keimanan orang yang
tidak mengetahui apakah Allah Mengetahui karena DzatNya sendiri atau karena
IlmuNya. Seandainya tashdiq terhadap semua sifat Allah termasuk syarat
pentahqiqan iman, lalu mengapa Rasulullah saw mengakui keimanan orang tersebut,
padahal beliau saw belum mengujinya apakah ia telah mengetahui semua sifat Allah
atau belum? Ini adalah penjelasan mengenai pentahqiqan iman. Jika ada orang
bertanya terhadap dua buah kasus; kasus pertama; ada orang yang telah
mengetahui Allah sw dengan dalil dan bukti. Setelah pengetahuan itu sempurna,
orang tersebut meninggal, namun ia tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan
kalimat syahadat. Dalam kasus ini, jika orang tersebut anda hukumi Mukmin, maka
anda pun mengakui bahwa pengakuan lisan (iqraar al-lisaan) bukanlah faktor
penentu keimanan. Dan pendapat ini menyalahi konsensus (ijma'). Namun, jika
anda menghukumi dirinya bukan Mukmin, maka inipun bathil; berdasarkan sabda
Rasulullah saw, "Akan keluar dari neraka, setiap orang yang di dalam hatinya ada
keimanan walaupun seberat dzarrah." Qalbu di dalam hadits ini telah berisi iman.
Lantas, bagaimana mungkin ia tidak termasuk orang Mukmin? Kedua, ada orang
yang mengetahui Allah swt berdasarkan dalil, dan ia masih memiliki kesempatan
untuk mengucapkan kalimat syahadat, namun ia tidak mengucapkannya. Jika anda
menyatakan bahwa ia Mukmin, maka ini telah menyalahi konsensus. Jika anda
katakan ia bukan Mukmin, maka perkataan itu bathil, berdasarkan sabda Rasulullah
saw, "Akan keluar dari neraka, setiap orang yang di dalam hatinya ada keimanan
walaupun seberat dzarrah". Padahal, iman itu tidak akan hilang dari hati, meskipun
tidak diucapkan. Jawabnya: sesungguhnya Imam al-Ghazaliy menolak ijma'30 dalam
dua kasus ini. Dan ia menghukumi orang yang berada dalam dua keadaan itu
sebagai orang Mukmin; sedangkan keengganan untuk mengucapkannya
(melafadzkan syahadat) terkategori perbuatan maksiyat setelah hadirnya iman".31
Inilah pendapat-pendapat para ulama mengenai aqidah. Berdasarkan
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, mereka berbeda pendapat dalam
mendefinisikan aqidah serta cakupan-cakupan aqidah. Hanya saja, mereka semua
sepakat bahwa, aqidah merupakan pembenaran yang bersifat pasti, sesuai dengan
realitas, dan ditunjang oleh bukti. Pasalnya, sesuatu tidak dianggap sebagai aqidah
atau keimanan, jika sesuatu itu tidak dibenarkan secara pasti. Aqidah juga harus
sejalan dengan realitas. Untuk itu, suatu keyakinan yang tidak sejalan dengan
realitas juga tidak bisa dianggap sebagai keimanan. Sebab, keyakinan yang tidak
30
Maksudnya, konsensus dalam hal keimanan itu harus diucapkan dengan lisan. Dalam
dua kasus semacam ini, menurut al-Ghazaliy, seseorang tidak boleh dihukumi kafir, alias
tidak Mukmin.
31
Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, 290-294
sejalan dengan realitas (penginderaan) adalah khayalan. 'Aqidah atau keimanan
juga harus ditunjang oleh bukti. Keimanan yang tidak ditunjang oleh bukti akan
mengantarkan pemeluknya kepada taqlid-taqlid yang justru dilarang di dalam Islam.
Keimanan harus didapatkan dengan jalan berfikir mandiri, bukan dengan cara taqlid.
Dengan kata lain, untuk mencapai iman, seseorang mesti melakukan pengamatan,
perenungan, dan penyimpulan secara mandiri.

Kesimpulan
1. Aqidah atau keimanan adalah pembenaran pasti (tashdiq al-jazim) yang
sejalan dengan realitas, dan ditunjang oleh bukti. Untuk itu, aqidah harus
ditetapkan berdasarkan dalil yang menyakinkan, baik dari sisi sumber maupun
penunjukkannya (qath'iy al-tsubut wa qath'iy al-dilaalah). Perkara-perkara yang
tidak ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang sumber dan penunjukkannya tidak
pasti, maka perkara-perkara tersebut tidak boleh dimasukkan dalam perkara
aqidah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, aqidah menuntut adanya
keyakinan pasti tanpa disusupi kesamaran maupun keraguan. Atas dasar itu,
perkara-perkara yang masih mengandung keraguan dan kesamaran tidak
dianggap dalam perkara aqidah. Imam Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim
menyatakan, "Ahlu al-Sunnah dari kalangan ahli hadits, fikih, dan ahli kalam
telah sepakat bahwa seorang mukmin yang dihukumi sebagai ahli kiblat dan
tidak akan kekal di dalam neraka tidak lain tidak bukan adalah seseorang yang
menyakini diinul Islam di dalam hatinya dengan keyakinan yang pasti dan bebas
dari keraguan, dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika salah satu syarat
itu kurang, pada konteks awalnya dia tidak termasuk ahli kiblat. Kecuali, jika ia
tidak mampu mengucapkan kalimat syahadat karena cacat lisannya, atau ia tidak
mungkin mengucapkannya karena keburu meninggal dunia, atau karena sebab-
sebab lain, maka ia tetaplah seorang Mukmin"32.
2. Masalah-masalah yang masih diperselisihkan oleh ulama-ulama kaum Muslim,
dikarenakan dalil-dalilnya yang dzanniy atau maknanya masih mengandung
kesamaran, tidak boleh dimasukkan dalam perkara aqidah. Sebab, perkara
aqidah merupakan perkara pasti yang tidak boleh diperselisihkan maupun
diperdebatkan oleh kaum Muslim. Seandainya, kaum Muslim boleh berbeda
pendapat dalam masalah aqidah, sungguh, akan muncul banyak aqidah
(keimanan) yang saling bertentangan di tengah-tengah kaum Muslim.
Akibatnya, akan terjadi saling mengkafirkan dan menyesatkan sesama Muslim.
Untuk itu, masalah-masalah yang masih didiskusikan dan diperselisihkan oleh
kaum Muslim, tidak boleh dianggap sebagai perkara aqidah yang berimplikasi
kepada keimanan dan kekufuran.
3. Para 'ulama membedakan antara keyakinan dan amal sholeh. Pembedaan ini
tidak ditujukan untuk memisahkan keduanya, akan tetapi untuk menunjukkan
perbedaan karakter keduanya dan implikasi hukum yang diakibatkan oleh
keduanya. Orang yang melanggar pokok-pokok aqidah yang pasti, dihukumi
murtad alias kafir. Sedangkan kaum Mukmin yang melanggar hukum-hukum
syariat, maka ia tidak boleh dianggap keluar dari Islam atau murtad. Orang
yang meninggalkan sholat, namun tidak disertai keyakinan atau penolakan
terhadap pensyariatan sholat lima waktu, tidak boleh dihukumi kafir. Ini adalah
pendapat Imam Syafi'iy dan mayoritas ulama. Namun, jika perbuatan itu disertai
dengan keyakinan atau penolakan terhadap pensyariatan sholat, maka tidak ada
keraguan lagi, orang tersebut telah keluar dari Islam, alias murtad. Yang
dituntut oleh syariat adalah pengamalan. Sedangkan yang dituntut oleh aqidah
atau keimanan adalah pembenaran yang bersifat pasti.
32
Imam Al Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal. 69
BAB II
JALAN PENETAPAN 'AQIDAH

Kepastian Harus Dibangun di Atas Dalil Yang Pasti


Pada dasarnya, para 'ulama telah sepakat bahwa, aqidah ditetapkan
berdasarkan dalil 'aqliy dan naqliy. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam
menilai kehujjahan dalil 'aqliy dan naqliy dalam masalah 'aqidah.
Professor Mahmud Syaltut di dalam bukunya, Islam: 'Aqidah wa Syari'ah
menyatakan; para ‘ulama sepakat bahwa, dalil ‘aqliy yang didasarkan pada
penginderaan atau dlaruriy menghasilkan keyakinan, dan absah dijadikan hujjah
dalam perkara ‘aqidah. Dengan kata lain, akal merupakan asas paling mendasar
untuk menetapkan pokok-pokok aqidah Islam. Adapun pokok-pokok aqidah yang
dibuktikan berdasarkan akal adalah; iman terhadap eksistensi Allah swt, kenabian
Mohammad saw, dan iman bahwa al-Quran adalah Kalamullah33.
Sedangkan dalil-dalil naqliyyah, sebagian besar ulama berpendapat bahwa
dalil-dalil semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, tidak menghasilkan keimanan
yang telah digariskan oleh syariat, dan tidak absah dijadikan hujjah untuk
menetapkan ‘aqidah. Alasannya, dalil-dalil naqliy masih membuka ruang yang
sangat luas bagi kesamaran-kesamaran (kenisbian).34
Sedangkan ulama yang berpendapat dalil naqliy absah dijadikan hujjah dalam
penetapan aqidah, mensyaratkan kepastian dalam sumber (qath'iy wurud) dan
penunjukkannya (qath'iy dilalah). Dengan kata lain, penetapan aqidah harus
didasarkan pada dalil yang sumber dan dilalahnya qath'iy. Pendapat ini lebih rajih
dan kuat. Pasalnya, dalil naqliy itu terklasifikasi menjadi empat bentuk; sumber
dan dilalahnya qath'iy (qath'iy al-tsubut wa qath'iy al-dilaalah), sumbernya qath'iy
namun dilalahnya dzanniy (qath'iy al-tsubut dzanniy al-dilaalah), sumbernya dzanniy
namun dilalahnya qath'iy (dzanniy al-tsubut wa dzanniy al-dilaalah), sumbernya
dzanniy dan dilalahnya juga dzanniy (dzanniy al-tsubut wa dzanniy al-dilalah). Dari
empat bentuk dalil naqliy tersebut, hanya dalil naqliy qath'iy tsubut wa qath'iy
dilaalah (sumber dan dilalahnya pasti) saja yang absah membangun perkara-perkara
aqidah35. Ini bisa dimengerti karena, aqidah atau keimanan yang dituntut oleh
syariat adalah keimanan pasti yang tidak disusupi oleh kemungkinan salah atau
kesamaran; dan dalil naqliy yang bisa memenuhi syarat ini hanyalah dalil yang
qath'iy al-tsubut wa al-dilaalah (sumber dan penunjukkannya pasti).
Di dalam Haasyiyyah Radd al-Mukhtaar karya Ibnu 'Abidin disebutkan, "...Saya
berpendapat bahwa dalil sam'iyyah itu terkategori menjadi empat macam. Pertama,
qath'iy tsubut wa al-dilaalah, seperti nash-nash al-Quran yang tertafsirkan atau
muhkam, dan sunnah mutawatir yang maknanya qath'iy. Kedua, qath'iy tsubut
dzanniy dilaalah, seperti ayat-ayat al-Quran yang membuka ruang adanya
perbedaan interpretasi (al-ayat al-muawwalah). Ketiga, kebalikan dari dalil di atas
(dzanniy tsubut qath'iy dilaalah), seperti khabar al-ahad yang mafhumnya qath'iy,
dan keempat, dzanniy tsubut dzanniy dilaalah, seperti khabar ahad yang
mafhumnya dzanniy".36
Di dalam Syarah al-Thahaawiy 'ala Maraaqiy al-Falaah, Imam al-Thahawiy
menyatakan bahwa, fardlu itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, fardlu qath'iy,
33
Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 10
34
Mahmud Syaltut, ibid, hal. 56
35
Mahmud Syaltut, ibid, hal. 56-57
36
Ibnu 'Abidin, Hasyiyyah Radd al-Mukhtaar, juz 1, hal. 102; Lihat juga Kasyf al-Asraar, juz
1, hal. 226; al-Taqriir wa al-Tahbiir, juz 4, 401; juz 6, hal. 220, dan lain-lain
yakni fardlu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath'iy yang menghasilkan ilmu al-
badiihiy (keyakinan pasti), dan orang yang mengingkarinya dihukumi kafir. Kedua,
fardlu dzanniy, yakni fardlu yang ditetapkan oleh dalil qath'iy, namun di dalamnya
masih mengandung kesamaran (syubhat). Orang yang mengingkarinya dihukumi
kafir. Selanjutnya beliau berkata, "Ketahuilah, dalil itu terbagi menjadi empat
kelompok. Pertama, qath'iy al-tsubut wa al-dilaalah (sumber dan penunjukkannya
pasti). Misalnya, ayat-ayat al-Quran dan hadits mutawatir yang maknanya tidak
membuka ruang adanya interpretasi (ta`wil). Kedua, qath'iy al-tsubut wa dzanniy
al-dilaalah (sumbernya pasti, dilalahnya tidak pasti). Misalnya, ayat-ayat al-Quran
dan hadits-hadits yang membuka adanya perbedaan interpretasi. Ketiga, dzanniy
tsubut qath'iy dilalah (sumbernya dzanniy namun dilalahnya pasti). Misalnya,
hadits-hadits ahad yang maknanya sharih (jelas, dan tidak membuka ruang adanya
penafsiran ganda). Keempat, dzanniy al-tsubut wa al-dilalah (sumber dan dilalahnya
dzanniy). Misalnya, hadits ahad yang maknanya masih samar (membuka ruang
adanya interpretasi)."37
Ibnu 'Arafah menyatakan, "..Menurut kami, cabang-cabang syari'ah cukup
disangga oleh dalil-dalil dzann, sedangkan perkara-perkara keyakinan (I'tiqaad)
harus didasarkan kepada dalil-dalil yang menyakinkan (al-ilmu).." 38 Beliau juga
menyatakan, "..Sebab, yang dituntut dari keimanan adalah keyakinan pasti (al-'ilm
al-yaqiin), dan tidak boleh dzann".39
Di dalam Fatawa al-Azhar pada bab al-'Amal bi Ahaadiits al-Ahaad (Beramal
dengan Hadits Ahad) disebutkan, "Pertanyaan : Kami membaca beberapa kitab
tatkala beristidlal dengan hadits Nabawiy untuk menggali sebagian hukum-hukum
syariat, di situ dinyatakan bahwasanya hadits tersebut adalah hadits ahad yang
menghasilkan keyakinan. Lantas, apa hadits ahad itu; dan bagaimana
kedudukannya dalam istidlal hukum-hukum agama? Jawab: Hadits ahad adalah
hadits yang perawinya tidak mencapai batas mutawatir yang menghasilkan
kepastian dan keyakinan (qath'iy wa yaqiin). Sedangkan hadits mutawatir adalah
hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok rawi dari sekelompok rawi lainnya, yang
bisa dipercaya (diyakini) bahwa mereka tidak mungkin berdusta. Hadits ahad itu
dibagi menjadi beberapa macam. Diantaranya adalah hadits masyhur, yakni hadits
yang diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih. Ada pula hadits 'Aziiz, yakni hadits yang
diriwayatkan dua orang; dan ada pula hadits gharib, yakni hadits yang diriwayatkan
oleh satu orang. Hadits ini dibagi lagi menjadi hadits shahih, hasan, dla'if, dan
hadits maudlu' (buatan). Dan masih banyak lagi pembagian-pembagian hadits
semacam ini di dalam ilmu mushthalah al-hadits. Nah, yang dibahas sekarang
adalah hadits shahih yang terklasifikasi dalam hadits ahad dan mutawatir. 'Ulama
ushul berpendapat; sesungguhnya hadits-hadits ahad yang berbicara masalah
hukum-hukum syariat amaliyyah wajib untuk diamalkan, dengan asumsi bahwa ia
adalah perkara cabang. Akan tetapi, hadits ahad tidak diamalkan dalam perkara-
perkara 'aqidah yang dianggap sebagai ushuluddin. Kesimpulan semacam ini dinukil
dari mayoritas para shahabat, tabi'in, sekaligus sebagai pendapat ulama-ulama fiqh
dan ushul. Tidak ada satupun ulama yang menyelisihi hal ini (hadits ahad bukanlah
hujjah dalam perkara aqidah), kecuali sebagian fuqaha ahli dzahir, dan Imam
Ahmad dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari beliau. Oleh karena itu,
betapapun kuatnya hadits ahad, seperti hadits-hadits masyhur, sesungguhnya ia
tidak menghasilkan ilmu al-yaqiin (kepastian) yang bisa dijadikan sandaran (hujjah)
untuk membangun perkara-perkara aqidah. Akan tetapi, hadits ahad hanya
menghasilkan dzann yang wajib diamalkan dalam masalah-masalah furu' (cabang).

37
Imam al-Thahaawiy , Syarah al-Thahaawiy 'ala Maraaqiy al-Falaah, juz 1, hal. 37
38
Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 116
39
Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 189
Pendapat semacam ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab rujukan. Imam
Nawawiy sudah menjelaskan masalah ini dengan sangat jelas di dalam Syarah
Shahih Muslim, juz 1, hal. 20. Penjelasan ini beliau terapkan dalam hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sebagai bantahan beliau atas
pendapat Ibnu Shalah yang menyatakan, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim menghasilkan keyakinan. Dari sinilah dapat diketahui
bahwa hadits ahad yang shahih tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya sekedar
dzann. Namun, ia wajib untuk diamalkan dalam masalah-masalah furu', bukan
dalam masalah aqidah. Ke-dzann-an atau ke-yakin-an yang dihasilkan dari hadits,
kadang-kadang berasal dari sisi perawinya. Hadits mutawatir menghasilkan
keyakinan, sedangkan hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan. Kadang-kadang,
kedzann-an atau ke-yakinan-an suatu hadits berasal dari sisi dilalah lafadznya
(makna/penunjukkannya; dan ini bisa saja terjadi pada hadits-hadits maupun al-
Quran. Suatu lafadz, jka hanya mengandung satu makna saja, maka ia qath'iy
dilalah. Jika suatu lafadz mengandung banyak kemungkinan makna, maka ia
menjadi dzanniy dilalah. Seperti halnya lafadz al-'ain yang kadang-kadang bermakna
mata, sumber air, emas, dan mata-mata. Lafadz fitnah, kadang-kadang bermakna
ujian (imtihan), kekufuran (al-kufr), 'adzab, dan persengketaan diantara manusia.
Bukti-bukti untuk masalah semacam ini (dzanniy dilalah) sangatlah banyak. Atas
dasar itu, jika ada perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu' yang dalilnya
adalah khabar ahad (hadits ahad), maka orang yang menolak berhujjah dengan
khabar ahad dalam masalah semacam ini, tidak menjadi kafir atau fasiq. Jika tidak
seperti ini, tentunya predikat fasik dan kafir akan divoniskan kepada para ulama fikih
yang berbeda pendapat satu dengan yang lain dalam berbagai masalah...(Fatawa
Ma'aashirah karya Syaikh Jaad al-Haq 'Ali Jaad al-Haq, hal.49-60)".40
Tatkala memberikan syarah (wa laa yakfuru jaahiduhu), Ibnu 'Abidin berkata,
"Sesungguhnya perkara yang berhukum wajib itu tidak harus diyakini hakekatnya
bila wajibnya perkara itu ditetapkan berdasarkan dalil dzanniy. Pasalnya, keyakinan
(i'tiqaad) harus dibangun di atas dalil yang menyakinkan (yakin). Akan tetapi,
perkara yang berhukum wajib harus diamalkan, dikarenakan adanya dalil-dalil yang
menunjukkan wajibnya mengikuti (dalil-dalil) dzanniy. Orang yang mengingkarinya
(dalil dzanniy) tidaklah kafir. Adapun orang yang tidak mengamalkannya, jika hal
itu dilakukan karena penafsirannya, maka ia tidak fasik dan sesat. Sebab,
penafsiran dalam perkara-perkara yang masih samar (meragukan) telah ditempuh
oleh para ulama salaf41. Adapun jika tidak seperti itu; bila ia meninggalkan perkara
wajib tersebut karena meremehkannya, maka ia sesat, karena telah menolak khabar
ahad. Dan qiyas itu adalah bid'ah. Jika ia meninggalkan perkara wajib itu bukan
karena meremehkan dan juga bukan karena penafsiran, maka orang itu fasiq,
karena telah keluar dari ketaatan dengan cara meninggalkan perkara yang
diwajibkan kepadanya".42
Di dalam kitab Adaab al-Hiwaar wa Qawaa'id al-Ikhtilaaf disebutkan, "..Telah
diketahui bahwa nash-nash syariat itu ada sebagian yang dzanniy al-tsubut wa
dzanniy al-dilaalah (sumber dan penunjukkannya dzanniy), dan ada pula yang
dzanniy tsubut qath'iy al-dilaalah (sumbernya dzanniy , penunjukkannya jelas). Ada
pula yang qath'iy al-tsubut wa dzanniy al-dilaalah (sumbernya pasti,
penunjukkannya dzanniy); dan ada pula yang qath'iy tsubut, qath'iy al-dilaalah
(sumber dan penunjukkannya pasti). Qath'iy tsubut (sumbernya pasti) adalah al-
40
Fatawa al-Azhar, al-'Amal bi Ahaadiits al-Ahad, juz 8, hal. 126
41
Maksudnya, para ulama salaf pun berbeda pendapat dalam menginterpretasikan dalil-
dalil yang bersifat dzanniy. Perbedaan interpretasi ini menghasilkan pendapat yang
beragam, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Namun, mereka tidak pernah
saling memberikan predikat fasik dan kafir karena perbedaan pendapat tersebut.
42
Ibid, juz 1, hal. 102
Quran, sunnah mutawatir, dan hadits ahad shahih yang didukung oleh qarinah dan
telah disepakati oleh umat.."43
'Abdul Qadir al-Audah di dalam Kitab al-Tasyrii' al-Janaaiy al-Islaamiy
Muqaaranan bi al-Qanuun al-Wadl'iy, menyatakan, "....Sesungguhnya, keumuman
nash-nash al-Quran dan Sunnah Mutawatir tidak bisa dikhususkan oleh qiyas dan
khabar yang tidak mutawatir (ahad) pada konteks awalnya. Sebab, keduanya (qiyas
dan khabar tidak mutawatir) dzanniy dilalah. Sedangkan yang qath'iy tidak bisa
dikhususkan oleh yang dzanniy. Namun, jika yang keumuman nash tersebut
dikhususkan oleh nash yang qath'iy, maka setelah itu, ia boleh dikhususkan oleh
qiyas dan khabar yang tidak mutawatir. Sebab, nash umum yang telah dikhususkan
tadi berubah menjadi dzanniy dilalah. Ketika ia menjadi dzanniy dilalah, maka ia
boleh dikhususkan oleh dalil-dalil dzanniy lainnya."44
Imam Ibnu Taimiyyah di dalam Kitab Majmuu' al-Fataway menyatakan,
"..Adapun "ijma'', apakah ia qath'iy dilalah atau dzanniy dilalah?" Sebagian orang
menetapkan keberadaannya secara mutlak dengan ini dan itu. Sedangkan yang lain
menafikannya secara mutlak karena ini dan itu.."45
Di dalam Kitab Mausuu' al-Fiqh al-Islaamiy disebutkan sebagai berikut,
"...Sesungguhnya wahyu ilahiy yang turun kepada Rasulullah saw, baik Al-Quran
maupun Sunnah yang menerangkan hukum-hukum amaliyyah, kadang-kadang
dalilnya ada yang qath'iy tsubut dan qath'iy dilalah. Dalil-dalil semacam ini bukan
tempat untuk ijtihad, walaupun ia boleh untuk dikaji. Dari dalil-dalil ini (qath'iy
tsubut qath'iy dilalah) dihasilkan hukum-hukum dlaruriy dan syi'ar Islam, seperti
wajibnya sholat, zakat, puasa, dan haji....Kadang-kadang ada pula yang qath'iy
tsubut dzanniy dilalah. Ada pula yang dzanniy tsubut qath'iy dilalah; dan ada pula
yang dzanniy tsubut dan dzanniy dilalah.."46
Di dalam Tafsir al-Raaziy, ketika mendiskusikan sanksi potong tangan dalam
kasus pencurian, disebutkan, "..Kami berpendapat bahwa qiraat syadzdz tidak bisa
menganulir qiraat mutawatir. Dan kami tetap berpegang teguh kepada qiraat
mutawatir untuk menetapkan madzhab kami. Selain itu, bagi kami, qiraat syadzdz
bukanlah hujjah. Karena itu, kami memastikan bahwa riwayat itu47 bukanlah al-
Quran. Sebab, seandainya riwayat itu dianggap Quran, tentunya ia adalah riwayat
mutawatir. Seandainya kita boleh menetapkan satu ayat di dalam Al-Quran bukan
dengan jalan mutawatir, niscaya ini akan memberikan ruang kepada kaum Rawafidl
dan Mulaahid untuk menikam al-Quran".48
Dalam masalah penetapan al-Quran, Imam Ibnu Katsir di dalam Kitab
Tafsirnya menyatakan, "...Adapun jika riwayat itu dinyatakan sebagai al-Quran,
43
'Umar bin 'Abdillah al-Kamil, Adaab al-Hiwaar wa Qawaa'id al-Ikhtilaaf, juz 1, hal. 42
44
'Abdul Qadir al-Audah, al-Tasyrii' al-Janaaiy al-Islaamiy Muqaaranan bi al-Qanuun al-
Wadl'iy,juz 1, hal. 214
45
Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu' al-Fataway, juz 2, hal. 88
46
Mausuu' al-Fiqh al-Islaamiy, bab Ma'nay al-Fiqh, juz 1, hal. 1
47
Riwayat yang dimaksud adalah hadits yang dituturkan dari Ibnu Mas'ud ra,
bahwasanya beliau membaca firman Allah swt, "Faqtha'uu aidiyahuma" dengan "Faqtha'uu
aimanahuma".[Lihat Tafsir al-Raaziy, juz 6, hal. 56]
48
Kaum Rawafidl menolak keotentikan Mushhaf Ustmaniy dengan menyatakan, bahwa
Mushhaf Utsmaniy tidak mencantumkan qiraat-qiraat dan mushhaf shahabat; sehingga al-
Quran Mushhaf Ustmaniy telah mengalami pengurangan dan penambahan. Padahal,
qiraat-qiraat dan mushhaf shahabat tersebut diriwayatkan secara ahad, sehingga tidak
layak menetapkan al-Quran yang qath'iy. Atas dasar itu, Utsman bin 'Affan menolak
menetapkan riwayat-riwayat tersebut sebagai bagian dari al-Quran. Menurut Imam Abu
Hanifah, qiraat syadz yang diriwayatkan oleh perawi adil, kedudukannya seperti hadits
ahad yang wajib diamalkan. Atas dasar itu, beliau membolehkan membaca qiraat syadz di
dalam sholat, bukan karena menganggapnya sebagai al-Quran, tetapi untuk mengamalkan
hadits ahad.
sesungguhnya, riwayat ini49 bukanlah al-Quran; dan al-Quran tidak ditetapkan
berdasarkan riwayat-riwayat ahad semacam ini. Atas dasar itu Amirul Mukminin
'Utsman bin 'Affan tidak menulis riwayat ini di dalam Mushhaf al-Imam. Selain itu,
tak satupun Qura' –yang dengan bacaan mereka hujjah bisa ditetapkan— yang
membaca riwayat ini, baik dari qiraat sab'ah (7 dialek) maupun qiraat yang lain".50
Di dalam kitab Mafaatih al-Ghaib, Imam Muhammad Fakhr al-Diin al-Raaziy
berkata, "…..Kedua, asumsi ini pun bathil. Sebab, khabar ahad tidak berfaedah
apapun kecuali sekedar dzann. Seandainya kita menjadikannya (hadits ahad)
sebagai jalan untuk penetapan al-Quran, niscaya lenyaplah keberadaan al-Quran
sebagai hujjah yang menyakinkan, dan jadilah ia hujjah yang meragukan.
Seandainya hal ini boleh, tentunya, benar juga dakwaan kaum Rawaafidl bahwa al-
Quran telah menerima tambahan, pengurangan, pengubahan, dan penyimpangan.
Dan sesungguhnya hal ini telah membatalkan Islam sendiri".51
Di dalam kitab al-Tahriir wa al-Tanwiir, Ibnu 'Asyur menyatakan, "… Imam al-
Baqilaaniy berkata, "Seandainya al-tasmiyyah (bismillahirrahmaanirrahiim) termasuk
al-Quran, bisa saja jalan penetapannya didasarkan pada riwayat mutawatir atau
ahad. Asumsi pertama (diriwayatkan secara mutawatir) adalah bathil. Sebab,
seandainya keberadaan bismillah sebagai al-Quran ditetapkan berdasarkan riwayat
mutawatir, tentunya hal ini menghasilkan ilmu dlaruriy (ilmu yakin), dan tidak akan
terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Kedua: asumsi ini juga bathil.
Sebab, khabar ahad tidak berfaedah apapun kecuali sekedar dzann. Jika kita
menjadikan hadits ahad sebagai jalan untuk penetapan al-Quran, maka hilanglah
sifat al-Quran sebagai hujjah yang menyakinkan, dan jadilah ia menjadi hujjah yang
dzanniyyah. Seandainya hal ini boleh, maka benarlah tuduhan-tuduhan kaum
Rawafidl bahwa al-Quran telah mengalami penambahan, pengurangan, pengubahan,
dan penyimpangan".52
Ibadliy dalam Himyaan al-Zaad menyatakan, "…Sebab, khabar ahad tidak
bisa menetapkan al-Quran walaupun bisa menetapkan hukum".53
Di dalam kitab Ushuul al-Sarkhasiy, Imam Sarkhasiy menyatakan sebagai
berikut, "....Fardlu adalah sebutan untuk "kadar tertentu" yang secara syar'iy tidak
mengandung penambahan atau pengurangan; dan ia bisa dipastikan kebenarannya.
Sebab, fardlu ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang menghasilkan keyakinan secara
pasti ('ilm qath'iy) baik yang bersumber dari al-Quran, Sunnah Mutawatir, atau
Ijma'...Secara syar'iy hukum untuk kategori semacam ini menghasilkan keyakinan
pasti; sebab, fardlu ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti. Oleh karena itu, siapa
saja yang mengingkari hukum semacam ini (fardlu) dianggap kafir. Perkara yang
fardlu harus diamalkan dengan anggota badan. Orang yang menunaikannya adalah
orang yang taat kepada Rabbnya, dan siapa saja yang meninggalkannya adalah
orang-orang yang maksiyat. Sebab, ketika ia tidak menunaikannya, berarti ia telah
membatalkan amal perbuatan, namun tidak membatalkan keyakinannya.
Sedangkan melanggar ketaatan termasuk kemaksiyatan. Oleh karena itu, orang
yang meninggalkan perbuatan yang termasuk rukun agama atau ushulul diin, tidak
boleh dianggap kafir; kecuali jika orang yang meninggalkan perbuatan itu disertai
dengan unsur meremehkan atau menolak hukum. Pasalnya menolak atau
meremehkan perintah Allah swt termasuk kekufuran. Namun, jika ia meninggalkan
perbuatan fardlu tersebut tidak disertai dengan penolakan atau peremehan, maka
49
Riwayat yang dimaksud adalah hadits yang dituturkan oleh Hafshah ra, "Hafidzuu 'ala
al-Shalawaat wa al-Shalaati al-Wustha wa Shalaat al-'Ashr".[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsiir, juz 1, hal. 652-653]
50
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, hal. 653
51
Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 176
52
Ibnu 'Asyur , al-Tahriir wa al-Tanwiir, juz 1, hal. 2
53
Ibadliy, Himyaan al-Zaad, juz 1, 468
orang tersebut hanya terkategori orang yang berbuat maksiyat . Pasalnya, ia telah
meninggalkan kewajiban tanpa ada udzur. Orang tersebut terkategori fasiq, jika ia
keluar dari ketaatan kepada Tuhannya. Sebab, al-fisq (fasik) bermakna al-khuruj
(keluar)....Atas dasar itu, orang fasik masih dianggap Mukmin. Sebab, secara
i'tiqaad, ia belum keluar dari ushul al-diin dan rukun-rukun agama; namun secara
amaliy, ia keluar dari ketaatan.." 54 Selanjutnya, beliau menerangkan tentang
"hukum wajib" sebagai berikut, "Semua perbuatan yang dibebankan kepada
seseorang sebagai manifestasi keterikatannya dengan perbuatan tersebut, namun
perbuatan itu ditetapkan berdasarkan dalilnya yang tidak menghasilkan keyakinan
secara pasti, maka hal ini disebut dengan wajib. Dengan kata lain, wajib adalah
perkara yang "kemestian untuk diyakini secara pasti" telah gugur secara qath'iy;
walaupun perkara itu secara amaliy wajib untuk diamalkan...."55
Selanjutnya, di dalam kitab yang sama, Imam Sarkhasiy menjelaskan,
"...Hanya saja, Imam Syafi'iy menolak klasifikasi ini56, dan menyamakan antara
wajib dan fardlu. Jika penolakan Syafi'iy terhadap klasifikasi ini lebih kepada
"penamaannya" (penyebutan) saja, maka, kami telah menerangkan makna dari
sebutan tersebut (makna fardlu dan wajib secara bahasa). Jika penolakannya
ditujukan kepada maknanya, sesungguhnya, penolakan tersebut adalah penolakan
yang fasid. Sebab, penetapan hukum itu sejalan dengan dalil. Tidak ada perbedaan
antara kami dan beliau, bahwa perbedaan ini harus dikembalikan kepada dalil.
Sesungguhnya, khabar ahad itu tidak menghasilkan ilmu yakin, karena masih
mengandung kesalahan dari perawinya. Dan hadits ahad adalah dalil yang wajib
diamalkan karena adanya persangkaan baik kepada perawi, dan karena sisi
kebenarannya lebih dikuatkan karena keadilan perawi. Oleh karena itu, penetapan
hukum untuk kategori ini harus disesuaikan dengan dalilnya; yakni, orang yang
mengingkari perkara wajib tidak boleh dianggap kafir. Sebab, dalilnya tidak
menghasilkan ilmu yakin. Hanya saja, perkara semacam ini harus diamalkan;
karena, dalilnya mengharuskan untuk diamalkan. Orang yang menolaknya, jika
bukan karena penafsirannya, akan tetapi karena penolakannya terhadap khabar
ahad, maka ia dianggap sesat. Jika penolakannya dikarenakan penafsirannya,
namun ia tetap berpendapat bahwa hadits ahad wajib diamalkan, maka ia tidak
boleh dianggap sesat..."57
Yang dimaksud qath’iy wurud (pasti sumbernya) adalah kepastian dari sisi
sumbernya. Artinya, dalil tersebut benar-benar pasti berasal dari Rasulullah saw
tanpa ada kesamaran (syubhat) sedikitpun. Dalil naqliy yang bisa memenuhi
persyaratan ini hanyalah dalil-dalil yang diriwayatkan secara mutawatir; misalnya,
al-Quran dan hadits mutawatir. Sedangkan dalil-dalil yang diriwayatkan secara
ahad tidak bisa memenuhi persyaratan ini; misalnya hadits ahad. Sebab, dalil-dalil
semacam ini, masih mengandung kesamaran (syubhat) dari sisi sumbernya
(tsubut).58

54
Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 112
55
Ibid, juz 1, hal. 112-113
56
Imam Syafi'iy menolak pembedaan fardlu dan wajib yang diketengahkan oleh
Imam Abu Hanifah dan pengikutnya. Menurut beliau, wajib dan fardlu itu sama, tidak
berbeda. Sedangkan Imam Abu Hanifah membedakan fardlu dan wajib. Menurut beliau,
fardlu adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang menghasilkan keyakinan
secara pasti, misalnya al-Quran, Sunnah Mutawatir, dan Ijma' Shahabat. Sedangkan
wajib, adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil dzanniy, misalnya hadits ahad.
Semua ini menunjukkan bahwa, kategorisasi dalil qath'iy dan dzanniy telah dikenal di
kalangan ulama-ulama yang memiliki kredibilitas ilmu dan taqwa.
57
Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 112
58
Masalah ini akan dibahas lebih detail pada bab berikutnya.
Ibnu 'Arafah menyatakan, "..Menurut kami, cabang-cabang syari'ah cukup
disangga oleh dalil-dalil dzann, sedangkan perkara-perkara keyakinan (I'tiqaad)
harus didasarkan kepada dalil-dalil yang menyakinkan (al-ilmu).." 59 Beliau juga
menyatakan, "..Sebab, yang dituntut dari keimanan adalah keyakinan pasti (al-'ilm
al-yaqiin), dan tidak boleh dzann".60
Dalam hal penetapan al-Quran, Imam al-Raziy menyatakan, "..Seandainya
kita boleh menjadikan khabar ahad untuk menetapkan al-Quran (itsbat al-Quran),
niscaya hal ini akan melenyapkan karakter al-Quran sebagai bukti yang
menyakinkan, dan jadilah ia sebagai bukti yang dzanniy. Seandainya ini dibolehkan,
niscaya benarlah tuduhan kaum Rafaawidl yang menyatakan bahwa al-Quran telah
mengalami penambahan, pengurangan, perubahan, dan penyimpangan. Dan ini
justru akan membatalkan Islam."61
Adapun yang dimaksud dengan qath’iy dilalah adalah kepastian yang
terkandung dalam sebuah dalil dari sisi makna atau penunjukkannya. Dengan kata
lain, makna yang ditunjukkan oleh dalil tersebut pasti, dan tidak membuka ruang
adanya penafsiran atau makna ganda. Persyaratan ini hanya bisa dipenuhi oleh
dalil-dalil hanya menunjuk kepada satu makna saja, dan tidak menunjuk kepada dua
makna atau lebih. Bila makna yang terkandung dalam sebuah dalil masih membuka
ruang adanya penafsiran, atau mengandung dua makna atau lebih, maka dilalahnya
dzanniy; sehingga tidak absah digunakan hujjah dalam perkara ‘aqidah. 62 Pasalnya,
perkara aqidah mengharuskan persamaan, dan melarang adanya perbedaan. Jika
seseorang berbeda pendapat dalam masalah aqidah, hanya ada dua kemungkinan
hukum bagi dirinya; ia masih menyandang predikat Mukmin, atau telah terjatuh
kepada kekufuran. Sedangkan dalil-dalil yang dilalahnya dzanniy justru
memungkinkan dan membuka ruang selebar-lebarnya bagi perbedaan penafsiran.
Perbedaan penafsiran ini bisa jadi karena kemusytarakan lafadznya, belum jelasnya
arah makna yang dituju, dan lain sebagainya. Dalam keadaan seperti ini, adanya
perbedaan merupakan perkara yang lazim. Jika perkara-perkara semacam ini
dianggap bagian dari 'aqidah yang memestikan adanya persamaan, tentunya 'aqidah
yang dipegang oleh kaum Muslim sangat beragam bahkan saling bertentangan; dan
tentunya akan terjadi aktivitas saling mengkafirkan satu dengan yang lain. Padahal.
Kaum Muslim boleh berbeda pendapat dalam masalah-masalah yang dalilnya
dzanniy dilalah. Atas dasar itu, dalil-dalil yang dilalahnya dzanniy tidak boleh
dimasukkan dalam perkara aqidah.
Jika sebuah dalil memenuhi dua persyaratan di atas (qath'iy tsubut dan
qath'iy dilalah), maka ia menghasilkan keyakinan, dan layak dijadikan hujjah dalam
perkara ‘aqidah.63 Contohnya, ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang tauhid,
risalah, hari akhir, kenabian dan kerasulan Mohammad saw, kitab suci, kafirnya
orang yang menyakini paham trinitas, serta hal-hal yang berhubungan dengan ushul
al-diin lainnya. Dalil-dalil tersebut, sumber dan maknanya bersifat pasti (qath’iy
wurud dan dalalah). Sebab, selain ditetapkan oleh Al-Quran dan riwayat-riwayat
mutawatir, ayat-ayat tersebut hanya menunjukkan satu makna saja, dan tidak
membuka ruang bagi penafsiran yang beragam. Dalam perkara-perkara semacam
inilah kaum Muslim tidak boleh berbeda pendapat. Perbedaan pendapat dalam
perkara-perkara yang dibangun di atas dalil yang sumber dan dilaalahnya qath'iy,
akan menjatuhkan seseorang pada kekafiran. Contoh dalil yang sumber dan
dilalahnya qath'iy adalah firman Allah swt berikut ini;
59
Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 116
60
Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 189
61
Imam al-Raziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 176.
62
Mahmud Syaltut, ibid, hal.56-57. Yang dimaksud 'aqidah di sini adalah ushul 'aqidah,
bukan furu' 'aqidah.
63
Ibid, hal.57
‫فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات والله يعلم متقلبكم‬
‫ومثواكم‬
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan
Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min,
laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat
tinggalmu.”[TQS Muhammad (47):19]

‫ي لتبعثن ثم لتنبؤن بما عملتم وذلك على‬0‫زعم الذين كفروا أن لن يبعثوا قل بلى ورب‬
‫الله يسير‬
"Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan
dibangkitkan. Katakanlah: "Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan
dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".
Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah..”[TQS At Taghabun (64):7]

6‫ عليم‬7‫ خلق‬0‫ وهو بكل‬7‫قل يحييها الذي أنشأها أول مرة‬


“Katakanlah,”Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. Dan Dia Mengetahui tentang segala makhluk.”[TQS Yaasiin (36):79]

‫ ءامن بالله وملائكته وكتبه‬D‫ه والمؤمنون ك ل‬0‫ءامن الرسول بما أنزل إليه من رب‬
‫د من رسله وقالوا سمعنا وأطعنا غفرانك ربنا وإليك المصير‬7 ‫ق بين أح‬0‫ورسله لا نفر‬
"Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang
lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at".
(Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali". [TQS Al Baqarah (2):285]

‫وا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من ءامن بالله واليوم‬O‫ليس البر أن تو ل‬
‫ ه ذوي القر ب ى والي ت امى‬0‫ي ن وءا ت ى ال م ال ع ل ى حب‬0‫ا ل آخر والملائ ك ة والك ت اب والنبي‬
‫قاب وأقام الصلاة وءاتى الزكاة والموفون‬0‫والمساكين وابن السبيل والسائلين وفي الر‬
‫بعهدهم إذا عاهدوا والصابرين في البأساء والضراء وحين البأس أولئك الذين صدقوا‬
‫وأولئك هم المتقون‬
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [TQS Al
Baqarah (2):177]
Adapun perkara-perkara yang sumbernya tidak qath’iy, atau sumbernya qath’iy
akan tetapi maknanya (dalalahnya) samar dan masih diperdebatkan oleh para
‘ulama, maka perkara-perkara tersebut tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah
yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan.64 Perkara-perkara semacam ini
sangatlah banyak jumlahnya, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama.
Misalnya, masalah “melihat Allah swt dengan mata”, “Sifat-sifat tambahan yang
dilekatkan pada Dzat Allah, pelaku dosa besar, kehadiran Imam Mahdiy, Dajjal,
turunnya Nabi Isa as, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain
sebagainya.
Imam Mawardi, dalam tafsirnya menyatakan,”Ada dua pendapat tentang surga
yang dihuni Adam as. Pertama, ia adalah surga abadi. Kedua, ia merupakan surga
yang disediakan Allah swt untuk Adam dan Hawa sebagai tempat ujian, bukan surga
abadi sebagai Daar al-Jazaa’ (negeri pembalasan). Pendapat yang terakhir ini
terbagi menjadi dua; (1) surga ini terletak di langit. Mereka beralasan, bahwa Allah
menurunkan Adam dan Hawa dari surga. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hasan.
Imam Bahr berpendapat, bahwa surga ini terletak di bumi. Alasannya, Allah hendak
menguji keduanya di bumi dengan cara melarang mereka memakan buah khusus.65
Imam Ibn al-Khathib, dalam tafsirnya mengatakan, bahwa para ‘ulama
berbeda pendapat tentang surga yang dihuni Nabi Adam dan Hawa. Ia terletak di
langit ataukah di bumi? Sekiranya di terletak di langit, apakah ia surga abadi yang
disediakan sebagai balasan amal? Atau, apakah ia surga yang lain? Abu al-Qasim
al-Balkhi dan Abu Muslim al-Ashbahani berkata, “Surga dihuni Adam ini terletak di
dunia”. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat lain
menyatakan, bahwa surga yang dihuni Nabi Adam as terletak di langit tujuh. ‘Ulama
lain berpendapat, bahwa surga tersebut adalah negeri pembalasan (daar al-jazaa’).
Ini merupakan pendapat mayoritas ‘ulama. Pendapat lain menyatakan bahwa,
semua pendapat itu sama-sama mungkin, karena dalilnya saling bertentangan dan
tidak pasti.
Imam Abu Zaid al-Maliki berkata bahwa, ia bertanya kepada Imam Abu Nafi’,
apakah surga itu makhluk? Imam Nafi’ menjawab, “Diam dalam masalah ini lebih
baik.” 66
Para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam hal melihat Allah swt dengan mata
(pandangan) di hari kiamat. Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa manusia akan
melihat Allah swt di hari akhir. Mereka mengajukan dalil-dalil sebagai berikut:

‫ أولئك أصحاب الجنة هم‬6‫ ولا ذلة‬6‫ ولا يرهق وجوههم قتر‬6‫للذين أحسنوا الحسنى وزيادة‬
‫فيها خالدون‬
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." [TQS Yunus
(10):26] Menurut sebagian ulama, maksud dari pecahan kata “..dan
tambahannya..” adalah kenikmatan melihat Allah swt.

‫(على الأرائك ينظرون‬22)7‫إن الأبرار لفي نعيم‬


“Sesungguhnya, orang yang berbakti itu benar-benar dalam kenikmatan yang
besar. Mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang.”[TQS Al Muthaffifiin
(83):22-23]

64
Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, hal. 58. Beliau menambahkan, bahwa
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah seperti ini disebutkan di dalam
banyak kitab, misalnya Kharidat al-Dardiir, Jauharah karya Imam Laqaniy, dan sebagainya.
65
Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, al-Thaariq Ila al-Jannah, ed.II, 1987, Daar al-Jiil, Beirut,
Libanon
66
Ibid.
6‫ها ناظرة‬0‫(إلى رب‬22)6‫ ناضرة‬7‫ يومئذ‬6‫وجوه‬
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.”[TQS Al Qiyamah (75):22-23]
Akan tetapi, sebagian ulama tidak sepakat dengan pendapat ini. Mereka
menyatakan, bahwa manusia tidak akan melihat Allah swt . Mereka berargumentasi
dengan mengetengahkan firman Allah swt yang menafikan adanya ru’yat al-Allah;
misalnya firman Allah swt;

‫لا تدركه الأبصار وهو يدرك الأبصار وهو اللطيف الخبير‬


“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [TQS Al
An’am (6):103]
Nash-nash seperti ini tidak absah digunakan dalil untuk membangun perkara-
perkara ‘aqidah yang membawa implikasi iman dan kufur. Seorang Muslim yang
berpendapat bahwa Allah bisa dilihat di hari akhir, tidak boleh menjatuhkan predikat
kafir kepada saudaranya yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat di hari
akhir. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalalah (makna) yang ditunjukkan oleh
nash-nash tersebut tidak qath’iy (dzanniy dilalah).67
Pada dasarnya, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah semacam ini
(furu' 'aqidah) lahir, tatkala di tengah-tengah kaum Muslim bermunculan pemikiran-
pemikiran, kelompok-kelompok, dan aliran-aliran ilmu kalam. Kelompok ini terus
berdebat dan berdiskusi untuk mempertahankan pendapat mereka masing-masing.
Bahkan, perdebatan dan diskusi mereka mulai memasuki wilayah 'aqidah. Akhirnya,
perkara-perkara ‘aqidah dijadikan obyek ijtihad yang menyebabkan mereka
berselisih dan berbeda pendapat. Masing-masing kelompok dan aliran
mengetengahkan pendapat dan pemikirannya dengan disertai dalil-dalil naqliy yang
mendukungnya. Akibatnya, muncullah perbedaan pendapat dalam masalah-
masalah furu' 'aqidah. Dalam kondisi semacam ini, seorang Muslim mesti toleran,
dan tidak boleh menjatuhkan predikat kafir kepada saudaranya yang berseberangan
pendapat dengan dirinya.
Namun demikian, banyak perkara ‘aqidah yang seluruh kaum Muslim
bersepakat dan tidak berselisih pendapat di dalamnya. Misalnya, seluruh kaum
Muslim sepakat bahwa Allah swt suci dari kekurangan, dan disifati dengan seluruh
kesempurnaan. Ini adalah keyakinan pasti yang diimani oleh seluruh kaum Muslim,
dan tidak pernah diperselisihkan oleh para ‘ulama. Perbedaan pendapat terjadi
tatkala mereka membahas perkara-perkara yang berhubungan Allah swt. Misalnya,
apakah Allah swt wajib berbuat yang terbaik bagi hambaNya? Apakah manusia yang
menciptakan sendiri perbuatan-perbuatan ikhtiyariyah? Apakah maksiyat yang
dilakukan oleh seorang hamba telah dikehendaki Allah?
Kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa, Allah wajib berbuat yang terbaik
bagi hambaNya, manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri, dan Allah tidak
menghendaki kemaksiyatan. Kelompok lain berpendapat, bahwa Allah tidak wajib
berbuat yang terbaik untuk hambaNya, Allah adalah pencipta perbuatan manusia,
dan Allah swt menghendaki kemaksiyatan.
Dari sini dapat disimpulan bahwa, seluruh kelompok tersebut tidak berbeda
pendapat dalam masalah sucinya Allah dari kekurangan (ketidaksempurnaan).
Mereka juga sepakat bahwa Allah disifati dengan kesempurnaan. Sebab, keyakinan
terhadap kesucian Allah dari sifat lemah dan ketidaksempurnaan, merupakan
keyakinan pasti yang tidak membuka ruang bagi adanya perbedaan penafsiran.

67
Prof Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, hal.61
Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal, “Apakah perkara ini dan itu termasuk
kekurangan, sehingga Allah tidak mensifati diriNya dengan sifat itu; dan apakah
perkara ini dan itu bukan termasuk kekurangan Allah, sehingga Allah mensifati
dirinya dengan sifat itu?
Menurut Mahmud Syaltut, di dalam kitab-kitab Tauhid telah dirinci perkara
mana yang disepakati oleh para ‘ulama, dan mana yang masih diperselisihkan; serta
dalil-dalil naqliy yang dijadikan sandaran argumentasi masing-masing pihak.
Atas dasar itu, jalan untuk menetapkan masalah-masalah ‘aqidah haruslah
mudah dan diketahui oleh seluruh manusia, Jalan tersebut tidak boleh hanya
diketahui sebagian orang saja. Sebab, ‘aqidah adalah pokok agama (ushul al-diin)
yang menjadikan seseorang menyandang predikat Muslim atau kafir. Seandainya
jalan untuk menetapkan keimanan hanya diketahui oleh sebagian orang saja,
niscaya banyak orang yang sulit untuk memperoleh predikat mukmin; sebab, ia
tidak mengetahui jalan untuk mendapatkan keimanan. Contohnya adalah ilmu
mantiq dan logika yang digunakan oleh ahli filsafat sebagai jalan untuk mendapatkan
keimanan. Jalan seperti ini adalah jalan salah yang bertentangan dengan manhaj
berfikir yang benar. Sebab, tidak semua orang menguasai ilmu manthiq dan logika.
Jika untuk mendapatkan keimanan, seseorang harus menguasai ilmu mantiq terlebih
dahulu, tentunya orang yang tidak menguasai ilmu manthiq tidak akan pernah bisa
memperoleh keimanan dengan jalan yang benar? Kalaupun ia menyandang gelar
mukmin, maka keimanannya pasti didapatkan dari jalan taqlid. Padahal, jalan
semacam ini (taqlid dalam masalah ‘aqidah) dilarang oleh syara’.
Agar masalah aqidah benar-benar bisa dimengerti oleh seluruh umat manusia,
maka perkara-perkara ‘aqidah tersebut haruslah sesuatu yang pasti, tidak
diperselisihkan atau masih menjadi bahan perbincangan di kalangan ‘’ulama dalam
hal penetapan dan penafiannya. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa
kebanyakan masyarakat awam tidak mampu menjangkau argumentasi-argumentasi
para ‘ulama, jika perkara-perkara ‘aqidah tersebut masih dalam ranah perselisihan
dan perdebatan. Keadaan semacam ini tentunya akan membuka ruang yang sangat
lebar bagi adanya taqlid dalam perkara ‘aqidah. Padahal, taqlid dalam perkara
‘aqidah adalah sesuatu yang diharamkan. Sebab, banyak orang awam yang tidak
memahami dalil dan argumentasi masing-masing ‘ulama. Lantas, bagaimana ia bisa
menyakini perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya?
Atas dasar itu, 'aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang sumber dan
dilalahnya pasti (qath'iy tsubut wa qath'iy al-dilalah). Jika sebuah dalil tidak
memenuhi dua syarat ini, maka ia tidak absah membangun perkara aqidah. Dari sini
pula bisa disimpulkan bahwa, hadits ahad tidak absah dijadikan hujjah dalam
perkara-perkara aqidah.

Perbedaan Yang Mengharamkan Takfir dan Tadlliil


Pada dasarnya, perbedaan pendapat yang terjadi di antara kelompok-
kelompok Islam dalam masalah ru’yatullah, kehadiran Dajjal, siksa kubur, letak
surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain-lain, tak ubahnya dengan perbedaan
pendapat di kalangan ahli fiqh dalam masalah-masalah furu’. Sebab, tidak ada
satupun nash qath’iy yang bisa dijadikan hujjah untuk masalah-masalah tersebut.
Atas dasar itu, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah itu masih dalam
kategori perbedaan yang diperbolehkan (ikhtilaaf tanawwu’). Sebuah perbedaan
yang mengharamkan seseorang untuk mencap saudaranya telah keluar dari jalan
yang lurus (kafir), sesat, fasik, atau telah mengingkari masalah-masalah agama.68

68
Ibid, hal. 59-60. Prof Mahmud Syaltut menambahkan, bahwa sikap seperti ini telah
dipegang oleh ‘ulama-‘ulama tauhid. Lihat, al-Milal wa al-Nihal, karya Ibnu Hazm, al-
Qawaa’id al-Kubra karya ‘Izzi ‘Abd al-Salam, dan kitab-kitab Ushul dan Ilmu Kalam lainnya.
Sayangnya, fanatisme madzhab telah membawa kaum Muslim pada sikap-
sikap tercela dan jauh dari tuntunan Islam. Dengan sangat mudah, mereka mencap
saudara seimannya dengan cap kafir, fasiq, dan sesat. Padahal, mereka berselisih
pada perkara-perkara yang masih mengandung kesamaran, bukan berselisih pada
perkara-perkara yang pasti.
Semua ini disebabkan karena, kaum Muslim telah terpuruk dan terperosok
dalam kemerosotan berfikir. Kemerosotan berfikir kaum Muslim telah menjatuhkan
mereka pada sikap-sikap tercela dan bodoh. Akibatnya, perpecahan, perselisihan,
dan permusuhan di kalangan kaum Muslim tidak bisa dihindari lagi. Sekali lagi,
semua ini diakibatkan karena kebodohan dan ketergesa-gesaan mereka dalam
bersikap dan berpendapat. Lebih parah lagi, adanya ikhtilaf dan perbedaan
pendapat di kalangan kaum Muslim telah dieksploitasi sedemikian rupa oleh musuh-
musuh Islam dan kaum Muslim untuk menimbulkan perpecahan dan perselisihan,
agar kaum Muslim terus lemah dan sibuk dengan masalah-masalah cabang, seraya
melupakan dan meninggalkan persoalan utama mereka, yakni tegaknya hukum-
hukum Islam dalam koridor sistem Islam.

Kesalahan Metodologi Ilmu Kalam; Filsafat Bukan Jalan Penetapan Aqidah


Sesungguhnya, ilmu kalam (ilmu mantiq) yang diadopsi dari pemikiran Yunani
bukanlah metodologi berfikir yang benar. Lebih dari itu, metodologi berfikir ilmu
kalam sama sekali tidak mengasilkan satupun pemikiran, akan tetapi ia hanya
menghasilkan konklusi premistik belaka. Padahal konklusi premistik tidak bisa
disebut sebagai pemikiran. Sedangkan benar tidaknya konklusi yang dihasilkan dari
premis-premis yang disusun pada kaedah-kaedah logika, sebenarnya tidak
ditentukan oleh premis-premis, atau kaedah-kaedah logika itu sendiri, akan tetapi
ditentukan oleh metode berfikir rasional. Dimana, dalam menentukan benar
tidaknya sebuah natijah (kesimpulan), metode berfikir rasional ini tidak bertumpu
pada premis, akan tetapi bertumpu kepada pengamatan fakta dan informasi
sebelumnya. Ini menunjukkan, bahwa kebenaran premis-premis dan natijah dalam
kaedah-kaedah mantiq tidak ditentukan oleh premis dan susunan premisnya, akan
tetapi ditentukan oleh metode berfikir lain, yakni metode berfikir rasional. Dengan
kata lain, kebenaran premis dan konklusi harus didasarkan pada asas penginderaan
terhadap fakta, bukan didasarkan pada premis dan susunan premisnya. Adapun
kesalahan metodologi berfikir ilmu kalam dapat diringkas sebagai berikut;
Pertama; dalam menentukan kesimpulan-kesimpulannya, metode ini
bersandar kepada asas mantiq (logika), bukan bersandar kepada penginderaan.
Akibatnya, metode berfikir mantiq (kalam) berpeluang menimbulkan kesalahan,
meskipun metode berfikir ini telah mensyaratkan kebenaran premis-premisnya serta
susunan-susunan premisnya. Sebab, kebenaran kesimpulan (natijah) ditetapkan
berdasarkan kebenaran premis dan kesesuaiannya dengan susunan logikanya, dan
bukan disandarkan pada indera secara langsung. Kadang-kadang, kesalahan
kesimpulan disebabkan karena kesalahan premis-premisnya. Kesalahan premis di
sini bukan diakibatkan karena ketidaksesuaiannya dengan realitas terindera. Oleh
karena itu, natijah yang dihasilkan dari metodologi berfikir mantiq tidak bisa diyakini
kebenarannya, sampai fakta membuktikan kebenarannya. Jika kesimpulannya
(konklusi) bertentangan dengan fakta, meskipun kesimpulan itu didasarkan pada
premis dan susunan logika yang benar, maka kesimpulan itu harus ditolak dan
dianggap salah. Sebab, kesimpulan tersebut telah bertentangan dengan fakta.
Semua ini menunjukkan, bahwa yang wajib diakui kebenarannya adalah kesimpulan
yang didasarkan pada fakta terindera, bukan kesimpulan yang didasarkan pada
kebenaran-kebenaran premis dan susunan premis semata. Untuk itu, metodologi
berfikir mantiq yang hanya bertumpu pada kebenaran premis dan susunannya,
bukanlah asas berfikir yang benar. Bahkan, ia sendiri tidak bisa menetapkan
kebenaran dari premis dan kesimpulannya. Yang menetapkan benar atau tidaknya
suatu premis dan kesimpulan adalah penginderaan, bukan premis maupun susunan
premisnya itu sendiri.
Contohnya, premis pertama menyatakan, "Al Qur’an kalam Allah yang
tersusun dari huruf-huruf yang rapi dan berkesinambungan". Premis kedua
menyatakan, "Setiap kalam yang tersusun dari huruf-huruf yang rapi dan
berkesinambungan adalah muhdats (diciptakan diadakan). Natijah dari kedua
premis itu adalah, " al Qur’an adalah muhdats dan makhluk". Susunan premis-
premis tersebut telah menghasilkan suatu natijah yang tidak dapat dijangkau oleh
indera. Padahal, akal tidak bisa membahas dan menetapkan sesuatu yang berada
diluar jangkauan inderanya. Atas dasar itu, kesimpulan yang dihasilkan dari
susunan premis tersebut hanyalah dugaan atau perkiraan semata, bukan realita
sesungguhnya. Lebih-lebih lagi, masalah yang diperbincangkan terkategori perkara
yang akal dilarang untuk membahasnya. Sebab, pembahasan mengenai masalah ini
–al-Quran Makhluk atau tidak-- termasuk dalam pembahasan sifat Allah. Sedangkan
sifat Allah, seperti halnya Dzat Allah, tidak boleh dibahas oleh akal secara langsung,
bagaimanapun caranya. Bahkan, jika kita menggunakan metode berfikir yang
sama, kita juga bisa membuat kesimpulan yang bertentangan dengan kesimpulan di
atas. Contohnya, premis pertama dinyatakan, "al Qur’an adalah kalam Allah dan ia
adalah sifat bagiNya". Premis kedua menyatakan, "Segala sesuatu yang merupakan
sifat Allah itu adalah Qadim". Kesimpulan dari dua premis ini adalah, "Al-Quran itu
adalah Qadim (kekal) bukan makhluk". Hal ini menunjukkan, bahwa metodologi
berfikir kalam (mantik) membuka ruang seluas-luasnya bagi adanya konklusi-
konklusi yang saling bertentangan dan kontradiktif dalam satu permasalahan yang
sama. Lebih dari itu, metodologi berfikir mantik (kalam) telah menghasilkan
sejumlah kesimpulan yang aneh, ganjil, dan bertentangan dengan fakta.
Fakta di atas menunjukkan, bahwa kebenaran premis dan konklusi, harus
didasarkan pada penginderaan terhadap realitas, bukan berdasarkan premis dan
susunan premis saja. Berarti, jika premis-premis dan konklusinya berkesesuaian
dengan fakta, yakni benar menurut fakta yang ada, maka konklusinya adalah benar.
Sebab, lebenaran premis-premis dan natijahnya didasarkan kepada realitas bukan
berdasarkan premis dan susunan premis-premis semata. Hanya saja, metodologi
berfikir mantiqiy tidak menggunakan urutan-urutan berfikir seperti ini. Dalam
menentukan hakekat kebenaran sesuatu, metodologi berfikir mantiqiy (kalam) hanya
memperhatikan premis dan susunan premis. Jika premis-premis dan susunan
premisnya benar, maka konklusinya juga dianggap benar. Padahal, bila kita amati
realitas berfikir mantiqiy, kita akan mendapati kenyataan berikut ini. (1) Kadang-
kadang ada premis yang diduga termasuk bagian dari sesuatu, padahal dalam
kenyataannya ia tidak termasuk bagian dari sesuatu itu. Contohnya; premis
pertama menyatakan, "Penduduk Spanyol bukan Muslim.", premis kedua
menyatakan, "Setiap negeri yang penduduknya bukan Muslim bukanlah negeri
Islam." Konklusinya adalah, "Negeri Spanyol bukanlah negeri Islam." Konklusi
semacam ini adalah konklusi yang salah, walaupun premis, susunan premis, dan
konklusinya dianggap benar menurut metodologi berfikir mantiqiy. Padahal,
kesimpulan semacam ini jelas-jelas salah dikarenakan bertentangan dengan fakta
sesungguhnya. Kesalahan konklusi tersebut disebabkan karena kesalahan premis
kedua. Sebab, suatu negeri layak disebut sebagai negeri Islam, tidak didasarkan
pada agama penduduknya, tetapi didasarkan pada hukum yang diterapkan di negeri
tersebut dan jaminan keamanannya. Jika hukum yang diterapkan di negeri itu
adalah hukum Islam, dan jaminan keamanannya ditanggung oleh kaum Muslim,
maka negeri itu disebut sebagai negeri Islam, walaupun seluruh penduduknya
beragama non Islam. (2) kadang-kadang ada premis umum yang hanya mencakup
partikular-partikularnya, namun tidak mencakup partikular yang lain; sehingga jika
ada premis yang dianggap berkesesuaian dengan partikular tersebut, maka
keseluruhannya juga dianggap berkesesuaian. Padahal, kenyataannya tidak seperti
itu. Misalnya, premis pertama menyatakan, "Abu Sofyan pernah melihat dan
berkumpul dengan Rasulullah saw." Premis kedua menyatakan, "Setiap orang yang
melihat dan berkumpul dengan Rasulullah saw adalah shahabat". Konklusinya, "Abu
Sofyan adalah Shahabat." Berdasarkan metodologi berfikir mantiqiy, natijah
semacam ini adalah benar. Padahal, kesimpulan semacam ini bertentangan dengan
realitas. Seandainya kesimpulan itu dianggap benar, niscaya Abu Lahab juga
termasuk dari shahabat, sebab ia telah bertemu dan berkumpul bersama Rasulullah
saw. Sebab, seseorang dianggap Shahabat jika ia telah bergaul intens dan
mengikuti majelis beliau selama 1 hingga 2 tahun, dan turut berperang bersama
Rasulullah saw, satu atau dua kali. (3) Kadang-kadang ada premis yang dzahirnya
dianggap benar, padahal realitasnya adalah salah. Akibatnya, premis ini dianggap
benar, padahal ia salah. (4) Kadang-kadang kesimpulan (konklusi) yang dihasilkan
dari premis-premis itu benar, padahal, premis-premisnya adalah salah; sehingga,
kebenaran sebuah konklusi dianggap memastikan pula kebenaran premis-premisnya.
Padahal, premis-premisnya jelas-jelas salah. Misalnya, premis pertama
dinyatakan,"Setiap negara yang memiliki pendapatan ekonomi tinggi adalah negara
maju." Premis kedua dinyatakan, "Amerika adalah negara yang memiliki
pendapatan ekonomi tinggi." Kesimpulannya, "Amerika adalah negara maju."
Kesimpulan ini benar jika dinisbahkan kepada negara Amerika. Namun, salah satu
premisnya tidak benar, yaitu, premis pertama. Sebab, negara yang memiliki
pendapatan ekonomi tinggi belum tentu disebut negara maju. Tetapi, sebuah
negara disebut negara maju diukur dari ketinggian berfikirnya, bukan pendapatan
ekonominya semata. Ini menunjukkan, bahwa ada premis yang sebenarnya salah,
tetapi menghasilkan konklusi yang benar.
Kenyataan di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa metodologi
berfikir mantiq (kalam) tidak layak dijadikan pegangan untuk menentukan hakekat
kebenaran sesuatu. Sebab, dalam menentukan hakekat kebenaran sesuatu,
metodologi berfikir mantiq hanya menyandarkan kepada premis dan susunan premis
semata. Padahal, kenyataan di atas telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa
adanya premis dan susunan premis tidak menjamin benar tidaknya sebuah
kesimpulan; bahkan kebenaran premis itu sendiri. Yang layak dijadikan pegangan
untuk menentukan kebenaran adalah realitas yang bisa ditangkap oleh indera, bukan
premis dan susunan premisnya semata.
Kedua, metodologi berfikir mantiq digunakan untuk membahas perkara-
perkara yang berada di luar jangkuan indera manusia; yakni digunakan untuk
membahas sesuatu yang ada di luar alam semesta, manusia, dan kehidupan.
Dengan kata lain, metode berfikir ini juga membahas obyek-obyek yang sampai
kapanpun tidak bisa didekati oleh akal manusia. Ahli ilmu Kalam membahas
perkara-perkara metafisika, Dzat Allah, dan Sifat-sifatNya, sesuatu yang tidak bisa
indera. Mereka mencampuradukkan perkara-perkara metafisika dengan perkara-
perkara yang bisa diindera. Mereka melakukan analogi antara hal-hal yang tidak
bisa diindera dengan hal-hal yang bisa diindera. Artinya, mereka menganalogkan
Allah dengan manusia; kemudian mewajibkan Allah swt dengan sejumlah sifat yang
dipahami oleh manusia di dunia. Misalnya, mereka mewajibkan adanya sifat adil
kepada Allah seperti adilnya manusia. Mereka juga mewajibkan Allah untuk
melakukan perbuatan yang mengandung kemashlahatan; sebagian lagi bahkan
mengharuskan Allah untuk berbuat lebih mashlahat. Alasannya, Allah itu bersifat
bijaksana dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali karena hikmah tertentu; dan
sebagainya.
Inilah yang menjadikan mereka berkecimpung untuk membahas hal yang
tidak bisa diindera, dan tidak mungkin bisa ditetapkan kebenarannya melalui akal
manusia. Akhirnya, mereka terjatuh kepada kesalahan demi kesalahan, akibat
metode berfikir mereka yang rusak. Mereka lupa, bahwa akal hanya mampu
menjangkau hal-hal yang bisa diindera oleh manusia, dan ia tidak mampu
menjangkau hal-hal yang berada di luar jangkauan inderanya, misalnya, Dzat Allah,
Sifat Allah, dan lain-lain. Sedangkan sesuatu yang tidak bisa diindera tidak bisa
dianalogkan dengan sesuatu yang bisa diindera. Misalnya, keadilan Allah tidak bisa
dianalogkan dengan keadilan manusia. Selain itu, Allah tidak boleh ditundukkan
dengan peraturan-peraturan alam semesta ini. Sebab, Dia yang menciptakan alam
ini, dan Allahlah yang mengaturnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah
diciptakanNya. Di sisi yang lain, pemahaman manusia terhadap sesuatu kadang-
kadang berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan pemahamannya.
Jika pemahaman manusia masih sempit, tentunya ia akan memahami keadilan
secara sempit pula. Dalam kondisi semacam ini, ia akan memahami keadilan Allah
juga secara sempit. Namun, jika pemahamannya telah berkembang dan berubah
menjadi luas, maka pemahaman dirinya terhadap keadilan pun juga akan berubah
dan berkembang. Ini membawa sebuah konsekuensi pada perubahan persepsi
terhadap keadilan Allah juga. Lantas, bagaimana mungkin kita bisa menganalogkan
Tuhan semesta alam yang ilmuNya meliputi segala sesuatu dengan manusia, seraya
melekatkan sifat adil kepadaNya dengan keadilan yang kita persepsi?
Adapun kemaslahatan dan kemaslahatan yang lebih, semua itu lahir dari
persepsi mereka terhadap keadilan. Padahal, sebagaimana masalah keadilan,
persepsi manusia terhadap kemashlahatan juga berkembang dan berubah sesuai
dengan tingkat persepsinya. Jika pandangannya terhadap mashlahat masih sempit,
tentunya ia juga akan sempit dalam mempersepsi kemashlahatan yang harus
diperbuat oleh Allah. Sebaliknya, jika persepsi tentang kemashlahatan berkembang,
niscaya persepsi dirinya terhadap kemashlahatan yang harus diperbuat Allah juga
berkembang alias berubah. Lalu, bagaimana kita bisa menyatakan bahwa Allah
wajib melakukan perbuatan yang memberikan mashlahat menurut persepsi
manusia; padahal, pada saat yang sama, manusia telah berbeda pendapat dalam
menentukan sesuatu itu mashlahat atau tidak. Seandainya kita menobatkan akal
sebagai penentu hukum terhadap sesuatu, maka akan kita melihat kenyataan,
bahwa Allah telah melakukan suatu perbuatan yang menurut akal kita tidak
mengandung kemaslahatan sedikitpun. Kemaslahatan apa yang terdapat dalam
penciptaan Iblis dan setan dan penciptaan kekuatan kepada mereka untuk
menyesatkan manusia? Kenapa Allah memanjangkan umur iblis sampai hari kiamat
serta mewafatkan Saiyyidina Muhammad Saw ? Apakah yang demikian itu lebih
maslahat dalam penciptaan? Kenapa Allah menghapus hukum-hukum Islam dimuka
bumi ini, dan mengangkat hukum-hukum kufur serta merendahkan kaum Muslim,
dan menjadikan musuh-musuh menguasai mereka? Apakah yang demikian itu lebih
maslahat bagi hamba-hambaNya?
Seandainya kita mengkaji seluruh perbuatan, lalu perbuatan tadi kita
analogkan dengan akal dan pemahaman kita terhadap makna kemaslahatan dan
lebih maslahah, tentunya, kita tidak akan pernah menemukan kecocokan. Atas
dasar itu, kita tidak boleh menganalogkan Allah dengan manusia dan mewajibkan
sesuatu kepada Allah. Allah swt berfirman;

      


“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan
ditanyai”.[TQS Al Anbiyaa' (21): 23]

         


“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”. [TQS Asy Syura (42):11]
Ketiga, metode berfikir mantiq (kalam) memberikan kebebasan kepada akal
untuk membahas semua perkara, baik yang bisa diindera maupun yang tidak bisa
diindera secara langsung. Hal ini secara pasti menyebabkan akal membahas sesuatu
yang sejatinya ia sendiri tidak mungkin mampu memberikan penilaian atas perkara
tersebut. Akibatnya, ahli kalam membahas hal-hal yang masih bersifat asumtif,
dugaan, dan khayalan. Mereka berargumentasi dengan hal-hal yang bersifat asumtif
yang kadang-kadang ada wujudnya, kadang-kadang tidak ada wujudnya sama
sekali. Metode berfikir ini telah memberikan implikasi yang cukup pelik; yakni
kemungkinan untuk mengingkari sesuatu yang sebenarnya wujud, atau menyakini
sesuatu yang sebenarnya tidak wujud. Contohnya, mereka –dengan metode berfikir
kalam ini-- membahas Dzat Allah dan Sifat-sifatnNya. Diantara mereka ada yang
berpendirian, bahwa Sifat Allah sama dengan Dzat Allah sendiri. Sebagian yang lain
berpendapat, bahwa Sifat Allah berbeda dengan Yang Disifati (Dzat Allah). Mereka
juga membahas tentang Ilmu Allah swt. Sebagian berpendapat, bahwa Ilmu Allah
menyingkap perkara-perkara ma'lum (diketahui) yang berada di atas cakupan
PengetahuanNya. Sedangkan perkara-perkara yang ma'lum itu terus berubah dari
awal hingga akhir. Allah mengetahui sehelai daun akan jatuh, meskipun daun itu
belum jatuh. Allah swt berfirman:

       


“dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula)”. [TQS Al An’aam (6): 59]
Dengan kata lain, ilmu Allah mampu menyingkap sesuatu; sebelum sesuatu
itu terjadi, sekaligus mengetahui bahwa sesuatu itu akan terjadi. Ia mengetahui
sesuatu, jika dalam IlmuNya sesuatu itu akan terjadi, dan Dia mengetahui ketiadaan
sesuatu, jika dalam IlmuNya sesuatu itu tidak ada. Lantas, bagaimana Ilmu Allah
bisa berubah mengikuti perubahan sesuatu yang wujud? Jika Ilmu Allah bisa
berubah dengan perubahan sesuatu yang wujud, ini berarti bahwa, PengetahuanNya
bersifat muhdats (baru). Padahal, Allah swt tidak bertindak dengan sesuatu yang
bersifat muhdats (baru alias tidak azali). Sebab, sesuatu yang berhubungan dengan
perkara-perkara yang muhdats (tidak azali), berarti sesuatu itu juga tidak azali. Jika
demikian, apakah berarti Ilmu Allah juga tidak azali? Sebagian ahli kalam
menjawab masalah ini dengan jawaban, "Sesungguhnya, pengetahuan kita tentang
Zaid akan mendahului kita, berbeda dengan pengetahuan kita, bahwa Zaid memang
telah mendahului kita secara faktual. Perbedaan ini disebabkan karena ilmu yang
kita miliki selalu berkembang, dari yang awalnya tidak tahu menjadi tahu --setelah
sesuatu itu benar-benar terjadi. Hanya saja, hal ini terjadi pada diri manusia, yang
pengetahuannya selalu berkembang dan diperbarui. Sebab, sumber pengetahuan
manusia, yakni penginderaan dan pemahamaan, senantiasa berkembang dan
berubah. Sedangkan Ilmu Allah tidak seperti ilmu manusia. Tidak ada perbedaan
antara Pengetahuan Allah swt bahwa sesuatu itu akan terjadi, dengan
PengetahuanNya bahwa sesuatu itu telah terjadi secara faktual. Semua maklumat
(informasi) jika dinisbahkan kepada Allah (Ilmu Allah) tetap berada dalam satu
keadaan." Sedangkan ahli kalam yang lain menjawab, "Allah swt mengetahui
dengan DzatNya apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Semua informasi
(maklumat) adalah informasi bagi Allah dengan IlmuNya yang sama. Sedangkan
perbedaan antara sesuatu yang akan terjadi dengan sesuatu yang telah terjadi
dikembalikan kepada perubahan yang terjadi pada "sesuatu itu sendiri", bukan
dikembalikan kepada perubahan Ilmu Allah."
Pada dasarnya, seluruh kajian di atas adalah kajian terhadap sesuatu yang
tidak bisa diindera, dan tidak bisa diputuskan oleh akal secara langsung. Untuk itu,
akal tidak diperkenankan untuk membahasnya. Sayangnya, metode berfikir ilmu
kalam telah menjadikan mereka mengkaji masalah-masalah yang sebenarnya tidak
termasuk dalam wilayah jangkauan akal. Ahli kalam seringkali membuat asumsi-
asumsi yang tidak berdasar. Contohnya, sebagian ahli kalam telah mempersepsi
Iradah Allah (Kehendak Allah) dengan KehendakNya ketika seorang hamba hendak
mengerjakan suatu perbuatan. Artinya, Allah swt merupakan Pihak yang
menciptakan perbuatan seorang hamba berdasarkan kemampuan dan kehendak
hamba tersebut. Dengan kata lain, perbuatan itu terjadi bukan karena kesanggupan
dan kehendak seorang hamba, tetapi tetap karena kehendak Allah berdasarkan
kehendak dan kesanggupan manusia.
Sesungguhnya, pendapat semacam ini muncul akibat kekeliruan metodologi
berfikir yang mereka gunakan, yakni metodologi berfikir ilmu kalam. Sebab, mereka
telah membahas sesuatu yang berada di luar jangkauan akal manusia. Akhirnya,
mereka membuat asumsi-asumsi terhadap suatu fakta yang tidak bisa diindera.
Akibatnya, mereka terjatuh ke dalam kesalahan dan kekeliruan yang sangat fatal.
Anehnya, mereka menetapkan pendapat-pendapat mereka ini sebagai pendapat
yang mutlak diyakini kebenarannya. Padahal, pendapat mereka lahir dari asumsi-
asumsi yang tidak berdasar sama sekali. Mereka memberikan kebebasan kepada
akal kebebasan untuk membahas masalah-masalah yang tidak bisa diindera dan
dijangkau oleh akal secara langsung.
Keempat; metodologi berfikir ilmu kalam telah menjadikan akal sebagai
dasar untuk mengkaji seluruh masalah keimanan. Akibatnya, mereka menjadikan
akal sebagai asas untuk memahami al-Quran, bukan menjadikan al-Quran sebagai
asas bagi berfikir. Akhirnya, mereka menafsirkan al-Quran berdasarkan prinsip-
prinsip yang telah ditetapkan oleh akal mereka; misalnya, pensucian mutlak,
kebebasan berkehendak, keadilan, melakukan keadilan yang lebih maslahah dan
lain-lain. Tidak hanya itu saja, mereka juga menjadikan akal sebagai pemutus untuk
mengkompromikan ayat-ayat yang tampak kontradiksi. Mereka juga menjadikan
akal sebagai hakim untuk menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat serta menta’wil
ayat-ayat yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip berfikir yang mereka anut.
Akibatnya, mereka menjadikan ta’wil sebagai metode untuk menafsirkan al-Quran.
Pada dasarnya, metodologi berfikir seperti ini, diakui atau tidak telah dianut oleh
mu’tazilah, ahlu sunnah, dan jabariyah. Pasalnya, mereka telah menafsirkan al-
Quran berdasarkan prinsip-prinsip yang telah mereka tetapkan, seperti kasb al-
ikhtiyariy, pensucian mutlak, keadilan, dan lain sebagainya. Metodologi berfikir
semacam ini telah mengakibatkan kesalahan baik dalam yang berkaitan dengan
aspek pembahasannya, maupun obyek yang dibahas. Sekiranya mereka menjadikan
al-Quran sebagai asas pembahasan, niscaya mereka tidak akan terjatuh ke dalam
kekeliruan.
Memang benar, beriman kepada Al-Quran harus didasarkan pada akal
semata. Hanya saja, ketika kita telah mengimani al-Quran, maka kita wajib
menjadikan al-Quran sebagai asas untuk berfikir dan mengimani sesuatu. Bukan
sebaliknya, menjadikan akal sebagai asas untuk memahami al-Quran. Oleh karena
itu, ayat-ayat al Qur’an harus dimaknai berdasarkan konteks ayat itu sendiri, bukan
dimaknai berdasarkan akal pikiran kita. Dalam kondisi semacam ini, akal hanya
berfungsi untuk memahami saja. Sebaliknya, para ahli ilmu kalam telah menjadikan
akal sebagai asas untuk memahami al-Qur’an. Akhirnya, mereka terjatuh pada
penakwilan-penakwilan yang sejatinya maknanya justru bertentangan dengan
kandungan isi al-Qur’an.
Kelima; para ahli kalam menjadikan perbedaan pendapat di kalangan filosof
sebagai asas berfikir mereka. Mu’tazilah mengadopsi pemikiran filsafat Epikurisme
untuk membangun prinsip dan pendapat-pendapat mereka. Sedangkan Jabariyyah
dan Ahlu Sunnah muncul untuk menjawab pendirian-pendirian Mu'tazilah. Hanya
saja, mereka juga mengambil pendapat-pendapat para filosof untuk menolak
pendirian kelompok Mu'tazilah. Padahal, yang menjadi topik perbincangan adalah
Islam, bukan perbedaan pendapat, baik perbedaan pendapat di kalangan filosof,
maupun perbedaan pendapat dengan selain filosof. Harusnya, mereka mengkaji apa
yang telah disebutkan di dalam al-Quran dan Sunnah dengan batasan-batasan yang
telah ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah sendiri, serta membatasi diri pada
kajian-kajian yang hanya menjadi cakupan keduanya, tanpa memandang lagi
pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh para filosof Yunani. Akan tetapi, mereka
tidak melakukan hal ini. Akibatnya mereka telah mengalihkan dakwah Islam dan
pembahasan 'aqidah Islam ke arah diskusi dan debat yang justru mematikan ruh
'aqidah; dan menggantikannya dengan debat kusir yang justru memadamkan
cahaya Islam yang ada di dalam hati mereka.
Inilah beberapa kesalahan metode berfikir ilmu kalam yang ditempuh oleh
para ahli kalam. Cara berfikir semacam ini telah memberikan pengaruh yang
sangat mengerikan bagi Islam dan kaum Muslim. Benar, metode berfikir ilmu
kalam telah mengubah aqidah Islam sebagai wahana da’wah kepada Islam agar
seluruh umat manusia dapat memahami Islam, menjadi ilmu-ilmu akademik tak
ubahnya ilmu nahwu, sharaf, dan lain sebagainya. Aqidah Islam, yang dahulu
menjadi motivasi tertinggi bagi kaum Muslim untuk menghancurkan kekufuran dan
kesyirikan, serta mampu menjadi spirit kaum Muslim untuk menyebarkan Islam ke
seluruh penjuru dunia justru telah ditempatkan menjadi ilmu yang terus dijadikan
lahan perdebatan dan diskusi yang justru mematikan spiritnya. Meskipun, Islam
tidak melarang kita untuk menciptakan metodologi berfikir atau ilmu alat yang bisa
dipakai untuk memahami ajaran Islam, akan tetapi, yang tidak boleh –jika
dinisbahkan kepada aqidah islamiyah— adalah metodologi berfikir dan ilmu alat itu
justru memadamkan aktivitas da’wah dan ruh ajaran Islam. Oleh karena itu, kita
sebagai seorang Muslim wajibn menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai asas
dalam berfikir dan mempersepsi sesuatu. Selanjutnya, kita wajib menyampaikan
seluruh ajaran Islam kepada umat manusia, agar mereka mau bisa memahami
ajaran Islam dengan benar, serta rela masuk ke dalam agama Islam.
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kita wajib berpaling dari
metodologi berfikir ilmu kalam (ilmu mantiq) dan harus kembali kepada metodologi
berfikir yang berasaskan al-Qur’an semata. Sedangkan akal hanya ditempatkan
untuk memahami nash, serta fakta-fakta yang bisa diindera saja, tidak lebih.

Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan beberapa point berikut ini.
1. Aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang qath'iy tsubut (pasti
sumbernya) dan dilalahnya (pasti penunjukkannya). Perkara-perkara aqidah
yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath'iy tsubut dan dilalahnya,
misalnya; keberadaan Allah swt, adanya malaikat, Rasul dan Nabi, Kitab Suci,
hari akhir, taqdir, berakhirnya kenabian setelah Mohammad saw wafat, orang
kafir pasti masuk neraka, Islam adalah agama paripurna, dan lain-lain. Dalam
perkara-perkara semacam ini tidak boleh ada perbedaan pendapat diantara kaum
Muslim. Sebab, perkara-perkara semacam ini telah ditetapkan berdasarkan
nash-nash yang qath'iy tsubut dan dilalah; sehingga tidak membuka ruang bagi
adanya interpretasi ganda. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan pendapat
dalam perkara-perkara tersebut. Siapa saja yang menyimpang dari perkara itu,
berarti telah keluar dari Islam alias kafir.
2. Jika dalil-dalilnya tidak qath’iy, baik sumber maupun dilaalahnya, dan para ‘ulama
berbeda pendapat di dalamnya, maka perkara-perkara tersebut tidak boleh
dikategorikan sebagai bagian dari perkara ‘aqidah yang bisa menjatuhkan
seseorang ke dalam kekafiran. Seseorang tidak boleh menyakini bahwa salah
satu pendapat di antara pendapat-pendapat tersebut pasti benarnya, sedangkan
yang lain pasti salahnya. Sebab, salah dalam perkara ‘aqidah akan menjatuhkan
seseorang kepada kekafiran. Perkara-perkara semacam ini tidak terkategori
ushul 'aqidah (pokok 'aqidah), akan tetapi dimasukkan dalam perkara furu'
al-'aqidah (cabang aqidah) yang kaum Muslim boleh berbeda pendapat.
Contohnya, perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai melihat Allah kelak
di surga, keberadaan surga yang ditempati Nabi Adam as dan surga yang kelak
akan dihuni oleh kaum Muslim, dan lain sebagainya. Masalah-masalah seperti ini
masih diperdebatkan oleh ulama-ulama kaum Muslim. Oleh karena itu, kaum
Muslim tidak boleh mengkafirkan atau menyesatkan saudaranya yang Muslim,
karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah semacam ini.
3. Sesungguhnya, kebanyakan kitab tauhid tidak membahas masalah-masalah ushul
‘aqidah --masalah 'aqidah yang tidak diperselisihkan oleh kaum Muslim.
Sebaliknya, kebanyakan buku tauhid justru membahas masalah-masalah 'aqidah
yang masih diperdebatkan oleh kaum Muslim. Biasanya, buku-buku tauhid hanya
membahas beberapa pendapat dan pemikiran yang mengupas makna dzahir dari
suatu nash, yang selanjutnya dijadikan lahan ijtihad oleh para ‘ulama. Oleh
karena itu, kebanyakan masalah yang dibahas di dalam kitab Tauhid terkategori
dalam furu' al-'aqidah (cabang 'aqidah) yang membuka ruang selebar-lebarnya
bagi perbedaan pendapat. Dengan kata lain, perkara-perkara semacam ini
terkategori dalam perkara khilafiyyah yang kaum Muslim boleh berbeda
pendapat, dan tidak boleh saling mengkafirkan dan menfasiqkan satu dengan
yang lain.
4. Sejatinya, munculnya aktivitas saling menyesatkan dan mengkafirkan disebabkan
karena fanatisme madzhab yang berlebihan, serta adanya upaya sengaja yang
dilakukan oleh orang-orang kafir dan antek-anteknya untuk menyebarkan
permusuhan dan perpecahan di kalangan kaum Muslim melalui isyu-isyu
khilafiyyah. Bahkan, mereka dengan sengaja menyebarkan dan mengobarkan
masalah-masalah khilafiyyah ini di tengah-tengah kaum Muslim agar satu dengan
yang lain saling bermusuhan dan tidak mau bersatu. Oleh karena itu, kaum
Muslim wajib waspada dan berhati-hati terhadap upaya-upaya semacam ini, dan
tidak menjadikan masalah-masalah khilafiyyah sebagai lahan perpecahan dan
permusuhan. Sebaliknya, kaum Muslim mesti mengembangkan sikap toleransi
(tasamuh) kepada saudara-saudaranya yang tidak sejalan dengan pendapatnya.
BAB III
'ILMU WA DZAN

Pada dasarnya, terminology ilmu dan dzan digunakan untuk menggambarkan


derajat (tingkat) kebenaran yang dikandung suatu dalil, baik dari sisi sumber
maupun penunjukkannya. Ilmu digunakan untuk mendiskripsikan tingkat kebenaran
yg terkandung di dalam sebuah dalil yang tarafnya mencapai derajat kepastian dan
keyakinan; misalnya, dalil-dalil yang disandarkan pada bukti-bukti inderawi.
Contohnya, penciptaan alam semesta, kenabian Mohammad saw, al-Quran
Kalamullah, matahari bersinar, pergantian musim, sirkulasi udara, manusia
mengalami kematian, makhluk hidup membutuhkan nutrisi, dan lain sebagainya.
Tingkat kebenaran yang terkandung dalam statement "matahari bersinar", telah
mencapai derajat kepastian (keyakinan). Sebab, statemen ini bukan sekedar
statemen yang memiliki arti, akan tetapi kebenarannya telah terbukti berdasarkan
dalil inderawi yang tak bisa diingkari oleh siapapun. Begitu pula dengan adanya
pergantian musim; masalah ini telah mencapai derajat kepastian dan keyakinan.
Sebab, realitas inderawi telah membuktikan kebenarannya dengan sangat jelas dan
pasti. Begitu pula dengan dalil-dalil yang didasarkan pada riwayat-riwayat
mutawatir; seperti al-Quran dan hadits mutawatir, keduanya merupakan dalil yang
mengandung kepastian ('ilmu), jika dilihat dari sisi sumbernya (wurud).
Adapun dzan, ia digunakan untuk mendiskripsikan tingkat kebenaran yang
belum mencapai derajat kepastian, alias masih mengandung kemungkinan salah.
Hanya saja, bukti yang membenarkannya lebih kuat, bahkan hampir-hampir
mencapai derajat keyakinan dan kepastian. Misalnya, kesaksian yang disodorkan
saksi adil kepada seorang qadliy atas kasus tertentu. Kesaksian tersebut, walaupun
menyakinkan bagi saksi –orang yang menyaksikan dan terlibat dalam kasus itu
secara langsung--, namun, bagi hakim, kesaksian yang disampaikan saksi tersebut
tidak mencapai derajat kepastian (dzann). Sebab, hakim tidak memiliki bukti
menyakinkan yang mengharuskan dirinya menyakini kesaksian saksi seratus persen.
Hanya saja, hakim memiliki prasangka kuat (ghalabat al-dzan) atas kebenaran
kesaksian saksi, karena keadilan dan kejujurannya. Berbeda dengan saksi, ia
memiliki bukti inderawi yang menyakinkan, hingga ia menyakini apa yang ia lihat
dan saksikan. Hanya saja, seorang hakim tidak harus memutuskan perkara
berdasarkan kesaksian saksi, akan tetapi berdasarkan persangkaan kuatnya.
Sebab, seandainya kesaksian yang disodorkan saksi menghasilkan ilmu qath'iy,
niscaya seorang qadli wajib memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi.
Padahal, seorang hakim memutuskan suatu perkara berdasarkan prasangka
kuatnya. Dalil-dalil dzanniy, semacam hadits ahad, derajat kebenarannya tidak
setara dengan al-Quran dan Mutawatir. Oleh karena itu, para ulama berbeda
pendapat mengenai bolehnya men-takhshiish al-Quran dengan hadits ahad. Jumhur
ulama membolehkannya secara mutlak; sedangkan sebagian ulama Hanabilah
menolaknya secara mutlak.69

69
Lihat penjelasan masalah ini pada Imam al-Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 158. Di
dalam Kitab Raudlah al-Naadzir, Imam Ibnu Qudamah menuturkan, "Khabar ahad adalah
khabar yang tidak mutawatir. Ada perbedaan riwayat dari Imam kami, apakah hadits ahad
menghasilkan keyakinan (al-'ilm). Dituturkan, bahwasanya khabar ahad tidak
menghasilkan keyakinan. Ini adalah pendapat mayoritas dan ulama mutaakhir dalam
kalangan madzhab kami. Sebab, kita mengetahui dengan pasti bahwa kita tidak akan
membenarkan semua berita yang kita dengar. Seandainya semua berita yang kita dengar
itu menghasilkan keyakinan, tentunya sah juga kita menerima dua buah berita yang saling
Dari sini bisa disimpulkan bahwa, perkara-perkara yang mengharuskan adanya
keyakinan dan kepastian, harus dibangun berdasarkan bukti-bukti yang
menyakinkan (ilmu) pula. Sebaliknya, perkara-perkara yang tidak membutuhkan
keyakinan dan kepastian, tidak harus dibangun berdasarkan bukti-bukti yang
menyakinkan. Perkara aqidah misalnya, ia mewajibkan adanya kepastian dan
keyakinan. Oleh karena itu, tidak semua dalil absah dijadikan hujjah untuk
membangun aqidah. Dalil yang absah digunakan untuk berhujjah dalam perkara-
perkara aqidah haruslah dalil yang tingkat kebenarannya mencapai derajat kepastian
dan keyakinan, baik dari sisi sumber maupun penunjukkannya. Sebab, aqidah
memang menuntut adanya kepastian dan kebenaran 100%. Sedangkan dalil-dalil
dzanniyyah tidak absah digunakan untuk berhujjah dalam masalah aqidah.
Pasalnya, dalil-dalil dzanniyyah tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Hanya saja,
dalil-dalil dzanniyyah absah digunakan hujjah dalam perkara hukum syariat. Ini
didasarkan pada kenyataan bahwa, dalil-dalil qath'iy -- al-Quran dan sunnah
mutawatir-- telah menetapkan kehujjahan dalil-dalil dzanniy dalam perkara-perkara
amal (hukum syariat), namun tidak dalam perkara aqidah atau keimanan. Oleh
karena itu, seorang Muslim boleh berbuat berdasarkan dalil-dalil dzanniy.

Ilmu dan Dzan Dalam Al-Quran


Al-‘Ilmu sering diartikan dengan iman atau yakin70. Iman sendiri bermakna
pembenaran (tashdiiq)71 pasti yang berkesesuaian dengan fakta dan dibangun
berdasarkan dalil72. Keyakinan hati yang tidak sampai ke derajat kepastian, tidak
absah disebut sebagai ilmu atau iman. Keyakinan semacam ini disebut dengan al-
dzan. Allah swt berfirman;

       


          
            

"Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat,
mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan
mereka tidak mempunyai pengetahuan (al-ilmu) tentang itu. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu (al-
dzan) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (TQS An Najm (53): 27-28)

         
         
             
 

bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan; dan sah juga kita menasakh al-Quran
dan hadits mutawatir dengan hadits ahad, dikarenakan ia sepadan dengan al-Quran dan
hadits mutawatir dalam hal menghasilkan ilmu (keyakinan). Dan seandainya semua berita
yang kita dengar menghasilkan keyakinan, niscaya vonis hukum wajib ditegakkan karena
kesaksian seorang saksi.."[Imam Ibnu Qudamah, Raudlah al-Naadzir, juz 1, hal. 99]
70
Imam Abu Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, bab yaqana, hal. 743
71
Ibid, bab amana, hal. 26
72
Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199
M , hal. 22. Lihat pula, Mahmud Syaltut, Islam, Aqidah wa Syari'ah, hal. 56
"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri)
untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah.." (TQS Al Baqarah (2): 230)

        


          
           
      
"dan karena ucapan mereka:" Sesungguhnya kami telah membunuh Al-
Masih, 'Isa putera Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya, dan
tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan
'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang
(pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu. Mereka
tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu
adalah 'Isa". (TQS An Nisaa' (4): 157)
Di dalam al-Quran, kata al-'ilmu kadang-kadang bermakna al-qath'iy (pasti)
dan al-yaqiin (yakin). Penyebutan kata al-'ilmu dengan makna al-dzan (prasangka
kuat) sangatlah sedikit. Allah swt berfirman;

         


"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan (al-'ilm) tentangnya..." (TQS Al Isra' (17): 36)

       


  
"..Maka jika kamu telah mengetahui (al-'ilm) bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. (TQS Al Mumtahanah (60): 10)
Kata al-‘ilm pada ayat-ayat di atas bermakna al-dzan (prasangka kuat).
Kata al-dzan bisa juga bermakna al-wahm (dugaan tanpa dasar). Al-Quran
telah menyatakan hal ini dalam surat An Najm ayat 28:

             
      
"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedangkan sesungguhnya
persangkaan itu (al-dzan) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (TQS An
Najm (53): 28)
Kadang-kadang al-dzan juga bermakna al-qath'i dan al-yaqiin. Kata dzan
dengan makna qath'iy dan yaqin terdapat di dalam firman Allah swt surat al-Baqarah
ayat 46. Allah swt berfirman;

    


    
 
"(yaitu) Orang-orang yang menyakini (yadzunnuun), bahwa mereka akan
menemui Tuhan-Nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (TQS Al
Baqarah (2): 46)
Al-dzan kadang bermakna tarjiih (prasangka kuat). Allah swt berfirman;
         
         
             
 
"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama dari isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah.." (TQS Al Baqarah (2): 230)
Al-dzan dengan makna al-wahm (sangkaan ilutif) tidak boleh dijadikan dalil
dalam perkara keyakinan (al-'aqaaid), dan hukum syara'. Orang yang mengatakan
bahwa malaikat itu berjenis kelamin perempuan, sesungguhnya, perkataan mereka
itu tidak didasarkan pada dalil, ataupun syubhah dalil.73 Mereka tidak memiliki bukti
apapun kecuali sekedar persangkaan saja. Jenis al-dzan semacam ini (al-wahm)
tidak membawa kebenaran sedikitpun baik dalam masalah keyakinan ('aqaaid)
maupun hukum syara’.
Al-dzan yang berma'na tarjiih al-ra'yi (pendapat kuat) absah digunakan dalil
dalam persoalan hukum syara', namun tidak untuk masalah 'aqidah. Ketentuan
semacam ini didasarkan pada firman Allah swt;

           
    
"…jika ia mentalaknya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk rujuk
kembali, bila keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah." [TQS Al Baqarah (2):230].
Ayat ini berbicara mengenai kasus seorang laki-laki yang menthalaq tiga
isterinya. Jika laki-laki tersebut ingin kembali kepada isterinya kembali, maka
isterinya harus menikah dengan laki-laki lain terlebih dahulu. Jika suami kedua
menceraikannya, barulah ia boleh kembali kepada isterinya yang pertama. Allah swt
telah menyatakan ketetapan ini dengan sangat jelas, "..jika keduanya berpendapat
(in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah" [TQS Al Baqarah
(2):230].
Suami boleh ruju’ kembali dengan isterinya, meskipun pelaksanaan ruju’
tersebut didasarkan pada dzan (prasangka kuat). Sedangkan ruju’ termasuk bagian
dari hukum syariat. Ini menunjukkan bahwa, dalam melaksanakan hukum-hukum
syariat, tidak harus didasarkan pada al-‘ilm (keyakinan), akan tetapi cukup
didasarkan pada al-dzan (prasangka kuat) saja.
Walaupun dalil dzanniy absah digunakan hujjah dalam masalah syariat, akan
tetapi, ia tidak absah digunakan hujjah dalam masalah 'aqidah. Ketentuan
semacam ini sejalan dengan kisah diangkatnya Nabi Isa as yang termuat dalam
surat al-Nisaa':157. Ayat itu menjelaskan bahwa orang-orang yang menyangka 'Isa
as telah tertawan, dibunuh, dan disalib, memiliki bukti yang sangat kuat.
Persangkaan mereka bukan sekedar wahm. Sebab, mereka menyaksikan 'Isa as
berada di dalam rumah bersama murid-muridnya, sedangkan para tentara telah
mengepung rumah itu. Kemudian, Allah menyerupakan salah seorang muridnya
seperti beliau as. Akan tetapi, tanpa sepengetahuan para tentara, Allah mengangkat

73
Syubhat dalil adalah dalil-dalil istidlal (sumber penggalian hukum) yang masih
diperbincangkan keabsahannya di kalangan 'ulama ushul, semisal al-mashlahat al-
mursalah, istihsan, syar'u man qablanaa, jalb al-mashalih wa dar`u al-mafaasid, dll. Dalil
adalah Al-Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas. Syubhat dalil kadang-kadang juga
digunakan untuk menyebut suatu pendapat yang dianggap lemah.
nabi 'Isa as ke atas langit. Ketika para tentara memasuki rumah dan menangkap
orang yang berada di dalam rumah, mereka menyangka bahwa orang yang
diserupakan dengan Isa adalah 'Isa as. Mereka menangkap orang yang diserupakan
'Isa as tersebut, dan menyalibnya hingga mati. Peristiwa ini disaksikan oleh
khalayak ramai, sekaligus merupakan bukti kuat bagi orang yang menyangka bahwa
Isa as telah tersalib.
Namun, bukti yang mereka sodorkan tidak sampai kepada keyakinan, bahkan
mengandung keraguan dilihat dari dua sisi. Pertama, penyerupaan itu tidak
sempurna. Wajah orang yang diserupakan Isa itu, adalah wajah 'Isa as, akan
tetapi, tubuhnya bukan tubuh 'Isa as. Kedua, bahwa jumlah orang yang bersama
Isa as di dalam rumah berkurang satu. Padahal, di dalam rumah itu terdapat 13
orang, 'Isa as dan 12 muridnya. Akan tetapi, tatkala para tentara masuk ke dalam
rumah, mereka tidak mendapatkan kecuali 12 orang laki-laki. Karena ada
perbedaan pada wajah dan jumlah, timbullah keraguan. Persoalan itu akhirnya jatuh
dari derajat yakin inderawiy ke derajat dzan.

           
 
"Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu,
kecuali mengikuti persangkaan belaka. Dan mereka tidak yakin telah
membunuhnya". (TQS An Nisaa' (4): 157).
Dzan semacam ini tidak boleh digunakan dalil dalam masalah 'aqidah
(keyakinan), walaupun dalil tersebut rajih (kuat). Dengan kata lain, 'aqidah tidak
boleh dibangun di atas dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah (persangkaan kuat ).
‘Aqidah harus dibangun di atas dalil-dalil yang menyakinkan (qath’iy). Allah telah
menyatakan", mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa"
(al-Nisaa':157). Orang yang menyakini bahwa Isa as telah terbunuh tidak memiliki
bukti yang menyakinkan; dan keyakinan semacam ini dicela Al-Quran.
BAB IV
CELAAN AL-QURAN
TERHADAP DZAN

Al-Quran dengan tegas mencela orang yang mengikuti persangkaannya dalam


masalah keyakinan (‘aqidah). Adanya celaan dari Allah swt, menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut –mengikuti dzan dalam masalah keyakinan (‘aqidah)--
terkategori perbuatan haram. Al-Quran telah menerangkan masalah ini dengan
sangat jelas. Allah swt berfirman;

‫ن إن يتبعون‬
7 ‫ سميتموها أنتم وءاباؤكم ما أنزل ال بها من سلطا‬6‫إن هي إل أسماء‬
‫هم الهدى‬0‫إل الظن وما تهوى النفس ولقد جاءهم من رب‬
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-
adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini
oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka
dari Tuhan mereka.”[TQS An Najm (53):23]

‫ون الملائكة تسمية الأنثى‬O‫إن الذين لا يؤمنون بالآخرة ليسم‬


“Sesungguhnya orang-orang yang tiada berîman kepada kehidupan akhirat, mereka
benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan.”[TQS An Najm
(53):27]

‫ بما يفعلون‬6‫ا إن الله عليم‬i‫ شيئ‬0‫ا إن الظن لا يغني من الحق‬k‫وما يتبع أكثرهم إلا ظن‬
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”[TQS Yunus (10):36]

‫وقولهم إنا قتلنا المسيح عيسى ابن مريم رسول الله وما قتلوه وما صلبوه ولكن‬
‫ وما‬0‫باع الظن‬0‫ إلا ات‬7‫ منه ما لهم به من علم‬o‫ه لهم وإن الذين اختلفوا فيه لفي شك‬0‫شب‬
‫ا‬i‫قتلوه يقين‬
“..Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa,
benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak
mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu
adalah `Isa….”[TQS An Nisâ’ (4):157]

‫إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ومن يشرك بالله فقد‬
‫ا‬i‫ا بعيد‬i‫ضل ضلال‬
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap
Allah).”[TQS An Nisâ’ (4):116]
‫ فتخرجوه لنا إن‬7‫كذلك كذب الذين من قبلهم حتى ذاقوا بأسنا قل هل عندكم من علم‬
‫تتبعون إلا الظن وإن أنتم إلا تخرصون‬
“Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para
rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu
mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada
Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain
hanya berdusta.”[TQS An An’am (6):148]

‫ألا إن لله من في السموات ومن في الأرض وما يتبع الذين يدعون من دون الله شركاء‬
‫إن يتبعون إلا الظن وإن هم إلا يخرصون‬
“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang
ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah
mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan
mereka hanyalah menduga-duga.”[TQS Yunus (10):66]
Allah swt juga berfirman,

‫ له ما في السموات وما في الأرض إن عندكم‬O‫ا سبحانه هو الغني‬i‫قالوا اتخذ الله ولد‬


‫ بهذا أتقولون على الله ما لا تعلمون‬7‫من سلطان‬
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha
Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu
mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?[TQS Yunus (10):68]

‫ للذين كفروا‬6‫ الذين كفروا فويل‬O‫ا ذلك ظن‬i‫وما خلقنا السماء والأرض وما بينهما باطل‬
‫من النار‬
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya
tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka
celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”[TQS Shaad
(38):27]

‫ا‬k‫ إلا ظن‬O‫ والساعة لا ريب فيها قلتم ما ندري ما الساعة إن نظن‬D‫وإذا قيل إن وعد الله حق‬
‫وما نحن بمستيقنين‬
“Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan
hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya", niscaya kamu menjawab: "Kami
tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-
duga saja dan kami sekali-kali tidak menyakini (nya)".[TQS Al-Jaatsiyyah (45):32]

‫كم أرداكم فأصبحتم من الخاسرين‬0‫كم الذي ظننتم برب‬O‫وذلكم ظن‬


“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap
Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk
orang-orang yang merugi.”[TQS Fushshilat (41):23]

‫ا‬i‫وا كما ظننتم أن لن يبعث الله أحد‬O‫وأنهم ظن‬


“Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaîmana persangkaan kamu
(orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan
seorang (rasul) pun”[TQS Al Jin (72):7]
‫ون‬O‫ون لا يعلمون الكتاب إلا أماني وإن هم إلا يظن‬O‫ي‬0‫ومنهم أم‬
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat),
kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.”[TQS Al
Baqarah (2):78].
Ayat-ayat di atas merupakan celaan yang pasti (jâzim) bagi orang yang
mengikuti dzan dalam masalah ‘aqidah, atau keyakinan. Kata "dzan" di dalam
ayat-ayat di atas berlaku baik bagi kaum Muslim maupun non Muslim.
Sedangkan dalam masalah hukum syari’at tidak perlu bukti yang menyakinkan.
Allah swt berfirman, “

‫فلا جناح عليهما أن يتراجعا إن ظنا أن يقيما حدود الله وتلك حدود الله‬
"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah.." (TQS Al Baqarah (2): 230).
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa, untuk melaksanakan ruju’ –
(‘amal)— tidak perlu didasarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan, akan tetapi
cukup hanya didasarkan pada prasangka kuat (dzan). Ini terlihat dengan gamblang
pada pecahan ayat di atas, “in dzanna an yuqiimaa hudud al-Allah” [jika keduanya
berdzan (berprasangka kuat] akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah]. Secara
syar’iy, orang yang hendak melaksanakan ruju’ (syari’at) tidak harus menyakini
dengan pasti bahwa ia mampu menjalankan aturan Allah swt, akan tetapi cukup
berdasarkan prasangka kuat mereka berdua, bahwa mereka mampu menjalankan
aturan Allah swt.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, amal perbuatan (syariat) tidak harus
disandarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan, akan tetapi cukup didasarkan pada
prasangka kuat saja (dzan). Namun, ketentuan ini tidak berlaku untuk perkara-
perkara aqidah atau keimanan. Pasalnya, aqidah mengharuskan adanya kepastian
dan menafikan adanya keraguan maupun dugaan. Oleh karena itu, ‘aqidah harus
disandarkan pada dalil yang menyakinkan, baik tsubût maupun dilâlahnya.
Sedangkan untuk amal perbuatan (syari’at) tidak perlu disandarkan pada dalil-dalil
yang menyakinkan.
BAB V
HADITS AHAD &
PENETAPAN AQIDAH

Definisi Hadits Ahad


Di dalam Kitab Irsyaad al-Fuhuul, Imam Syaukaniy menyatakan, "Hadits
ahad adalah khabar yang dengan dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan
(ilmu);baik dari asalnya maupun berdasarkan qarinah (indikasi) dari luar. Atas
dasar itu, tidak ada pertengahan antara hadits ahad dan mutawatir. Ini adalah
pendapat mayoritas para ulama."74
Imam Nawawiy, dalam Muqaddimah Syarah Shahih Muslim menyatakan,
"Khabar al-Wahiid adalah khabar yang tidak memenuhi syarat mutawatir, sama saja
apakah perawinya berjumlah satu atau lebih".75
Al-Amidiy menyatakan, "Hadits (khabar) ahad adalah hadits yang tidak
mencapai derajat mutawatir".76
Dr. Husain 'Abdullah, di dalam Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, menyatakan,
"Secara literal, aahad merupakan bentuk plural dari ahad, yang artinya satu orang.
Khabar al-Aahad adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan
menurut istilah, khabar aahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
mutawatir".77
Di dalam Kitab Taisiir Mushthalaah al-Hadits, Dr. Mahmud al-Thahhaan
menyatakan, "Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
mutawatir".78
Syarif al-Jurjaniy dalam Kitab Mukhtashar fi Ushuul al-Hadits menyatakan,
"Hadits ahad adalah hadits yang belum mencapai derajat mutawatir. Hadits ahad
meliputi khabar mustafidl (masyhur) maupun yang tidak".79
Menurut Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, hadits ahad adalah hadits yang
perawinya tidak mencapai batas mutawatir, baik perawinya berjumlah satu orang
atau empat orang. Dengan kata lain, hadits ahad adalah hadits yang tidak
memenuhi empat syarat hadits mutawatir.80

Faedah Hadits Ahad Menurut Para Ulama


Para ulama berbeda pendapat dalam menilai "derajat kebenaran" yang
dihasilkan hadits ahad81. Mayoritas ulama, diantaranya adalah Imam Malik, Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi'iy, dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat, berpendapat
bahwa, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan, namun hanya berfaedah pada

74
Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haqq min 'Ilm al-Ushuul, hal. 48.
75
Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal. 64
76
Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, hal. 218. Lihat juga, Imam al-
Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 116.
77
DR. Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 118
78
Dr. Mahmud al-Thahhaan, Taisiir Mushthalaah al-Hadits, hal. 22
79
Syarif al-Jurjaniy, Mukhtashar Ushuul al-Hadits, juz 1, hal. 1.
80
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 337
81
Yang dimaksud hadits ahad di sini tentunya adalah hadits-hadits yang telah ditetapkan
sebagai hadits shahih (hadits yang tsabit) melalui perawi-perawi yang adil dan bersambung
hingga Rasulullah saw; dan bukan hadits ahad secara mutlak yang belum melalui proses
itsbat (penetapan).
dzann belaka.82 Sedangkan ulama lain, misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam
sebuah riwayat, berpendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan keyakinan (ilmu).
Menurut Prof Mahmud Syaltut, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan,
akan tetapi hanya menghasilkan dzan belaka. Oleh karena itu, hadits ahad tidak
absah digunakan hujjah dalam perkara aqidah, dan orang yang menolaknya tidak
boleh dianggap kafir.83 Ini disebabkan karena, hadits ahad masih mengandung
kesamaran dari sisi tsubutnya (sumber).84
Di dalam kitab al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam,Imam al-Amidiy menyatakan,
"Para ulama berbeda pendapat mengenai khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh
seorang perawi adil (hadits ahad), apakah haditsnya menghasilkan keyakinan?
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits semacam ini (hadits ahad) menghasilkan
ilmu. Namun, di antara mereka ada perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan "menghasilkan ilmu" adalah menghasilkan dzann,
bukan menghasilkan keyakinan. Sebab, kata "ilmu" kadang-kadang diungkapkan
dengan makna dzann. Sebagian yang lain berpendapat bahwa, hadits ahad
menghasilkan ilmu yakin, meskipun tanpa qarinah (indikasi). Hanya saja, mereka
juga berbeda pendapat, apakah semua hadits ahad menghasilkan ilmu, atau hanya
sebagian saja? Sebagian ulama berpendapat bahwa semua hadits ahad
menghasilkan ilmu (keyakinan); seperti pendapat ahli Dzahir. Madzhab ini juga
dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari
beliau. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa, hanya sebagian hadits ahad saja
yang menghasilkan ilmu yakin, tidak semua. Ini adalah madzhab sebagian ahli
hadits. Ulama lain, misalnya al-Nadzam dan pengikutnya, berpendapat bahwa,
hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan) jika diindikasikan oleh qarinah.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan
secara mutlak, baik dengan qarinah maupun tanpa qarinah". Imam al-Amidiy sendiri
memilih pendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan) bila diperkuat
oleh sejumlah indikasi (qarinah). 85
Di dalam Kitab Ushuul al-Sarkhasiy, pada bab al-Kalaam fi Qubuul Akhbaar
al-Ahad wa al-'Amal bihaa (Bab Menerima Hadits Ahad dan Beramal dengan Hadits
Ahad) dinyatakan, "Para fukaha amshar berpendapat bahwa khabar al-ahad (hadits
ahad) yang adil adalah hujjah yang harus diamalkan dalam urusan agama, dan ia
tidak mengitsbatkan ilmu dan yakin (menetapkan ilmu dan keyakinan)86. Ada
sebagian orang yang pendapatnya tidak perlu diperhitungkan, menyatakan,
"Menurut asalnya, khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam urusan agama.
Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa, hadits hadits mengitsbatkan ilmu yaqin.
Hanya saja diantara mereka mensyaratkan jumlah kesaksian agar ia layak dijadikan
hujjah, dan ada pula yang mensyaratkan dengan jumlah maksimal kesaksian, yakni
4 orang saksi......"87 Setelah membantah pendapat yang menyatakan bahwa hadits
ahad tidak layak dijadikan hujjah dalam urusan agama, Imam Sarkhasiy
menyatakan, "Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan
keyakinan, mereka berhujjah dengan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi
saw berkata kepada Mu'adz tatkala beliau saw mengutusnya ke Yaman, "Lalu,
beritahulah mereka bahwa Allah swt telah mewajibkan zakat atas harta benda
mereka". Maksud hadits ini adalah pemberitahuan terhadap suatu informasi
82
Prof Mahmud Syaltut, Islaam; 'Aqidah wa Syari'ah, hal. 63-65
83
Prof. Mahmud Syaltut, Islaam, 'Aqidah wa Syarii'ah, hal. 64.
84
Ibid, hal. 63
85
Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 213
86
Maksudnya hadits ahad tidak bisa digunakan hujjah untuk menetapkan perkara-
perkara yang membutuhkan keyakinan dan ilmu. Hadits ahad yang adil wajib diamalkan
dalam perkara-perkara syariat, bukan dalam perkara aqidah.
87
Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 322
(khabar). Seandainya khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) bagi
pendengarnya, maka penyampaian itu tidak disebut pemberitahuan. Sebab, amal
tersebut diwajibkan dengan hadits ahad, dan amal itu tidak diwajibkan kecuali
dengan keyakinan (ilmu). Pasalnya, Allah swt berfirman, "Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya".[TQS Al Israa` (17):36). Selain itu, Allah swt juga
berfirman mengenai beritanya orang fasik, "Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti,
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu".[TQS Al
Hujurat (49):6]. Lawan "tidak tahu" (al-juhalah) adalah al-'ilm (tahu); sedangkan
lawan fasik adalah adil. Ini menjelaskan bahwa al-'ilm (keyakinan) tidak dihasilkan
oleh berita fasik. Ilmu hanya ditetapkan berdasarkan berita yang adil. Selain itu,
telah ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad, berita-berita yang telah diyakini
kebenarannya, misalnya, siksa kubur, pertanyaan Malaikat Mungkar dan Nakir, serta
melihat Allah kelak di hari kiamat. Semua ini menunjukkan bahwa khabar ahad
menghasilkan keyakinan". Selanjutnya, Imam Sarkhasiy membantah argumen di
atas dengan menyatakan, "Hanya saja kami perlu nyatakan bahwa, sesungguhnya,
orang yang menyatakan pendapat itu, tidak bisa membedakan antara ketentraman
dan ketenangan hati dengan ilmu yakin (keyakinan pasti). Sesungguhnya, selama
masih ada kemungkinan dusta pada sebuah berita yang tidak terjaga, maka berita
itu (berita orang yang adil) tidak mungkin diingkari, meskipun di dalamnya ada
keraguan (syubhat). Sedangkan ihtimal (kemungkinan) tidak bisa menetapkan
keyakinan. Ihtimaal hanya bisa menetapkan ketentraman dan ketenangan hati
karena adanya sisi kebenaran yang lebih menonjol. Pada penjelasan sebelumnya
kami telah menjelaskan bahwa hadits masyhur tidak bisa menetapkan keyakinan
pasti (ilmu yaqiin), apa lagi khabar ahad. Ketenangan dan ketentraman hati
termasuk jenis keyakinan jika ditinjau dari sisi dzahirnya, dan inilah maksud sabda
Nabi saw, "Lalu, beritahulah mereka". Atas dasar itu, seseorang boleh beramal
dengan anggapannya, sebagaimana bolehnya beramal pada kasus menghadap kiblat
di saat ada keraguan88. Sedangkan ketidaktahuannya telah dieleminasi karena sisi
kebenaran berita itu lebih kuat, disebabkan karena hadirnya keadilan perawi. Ini
berbeda dengan beritanya orang fasik. Berita orang fasik masih mengandung
kontradiksi yang salah satu sisinya tidak bisa dikuatkan89. Adapun riwayat-riwayat
(atsar) yang menuturkan tentang siksa kubur dan lain sebagainya; sesungguhnya
88
Yg dimaksud dengan ketenangan dan ketentraman hati adalah prasangka kuat yang
bisa menumbuhkan perasaan tenang dan tentram di dalam hati, karena sisi kebenaran
yang dikandung oleh suatu berita lebih kuat dibandingkan kedustaannya. Prasangka kuat
ini muncul karena hadirnya keadilan orang yang membawa berita tersebut. Keadaan ini
sama persis dengan kasus menghadap kiblat ketika seorang musholliy ragu-ragu tentang
arah kiblat. Ia boleh menghadap ke arah yang dianggapnya lebih benar, dan
menentramkan hatinya; walaupun ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran arah kiblat
yang dipilihnya. Sesungguhnya, khabar ahad jika telanjur diyakini, sesungguhnya
keyakinan ini muncul dari ketenangan dan ketentraman hati, bukan muncul dari ilmu yakin
(keyakinan yang pasti). Atas dasar itu, khabar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu yakin
(keyakinan hati). Akan tetapi, ia bisa menetapkan dan menghasilkan ketenangan dan
ketentraman hati.
89
Berita yang disampaikan oleh orang fasik mengandung dua sisi yang saling
kontradiksi, benar atau dusta. Hanya saja, salah satu sisi itu tidak bisa dikuatkan salah
satunya, apakah sisi dustanya ataukah sisi benarnya yang lebih kuat. Akibatnya,
seseorang tidak bisa memilih mana yang lebih kuat, dustanya atau kebenarannya. Atas
dasar itu, berita orang fasik tidak bisa menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati
karena kefasikan orang yang membawa berita itu.
sebagian riwayat itu ada yang masyhur dan sebagian lagi riwayat ahad. Dan
sesungguhnya, riwayat-riwayat ini telah mengharuskan hati untuk mengikatkan
dirinya pada perkara-perkara tersebut. Sedangkan pengetahuan mengenai wajibnya
hati mengikatkan diri kepada suatu perkara, kedudukannya sama dengan
pengetahuan terhadap suatu amal atau sesuatu yang lebih penting. Hanya saja,
semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy (ilmu kepastian). Pasalnya, Allah swt
berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan
(mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah
betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan".[TQS An Naml (27):14].
Allah swt juga berfirman, "Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al
Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-
anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan
kebenaran, padahal mereka mengetahui".[TQS Al Baqarah (2):146]. Ayat di atas
menjelaskan bahwa, mereka (orang-orang kafir) meninggalkan keyakinan hati yang
telah terbukti kebenarannya, sesudah ada pengetahuan terhadapnya. Semua ini
menunjukkan bahwa, atsar-atsar (riwayat-riwayat) tersebut tidak terlepas dari
makna "wajibnya mengamalkan hadits-hadits tersebut".90
Di dalam Kitab al-Mahshuul disebutkan, "Adapun dalil naqliy, sesungguhnya,
ada yang mutawatir dan ahad. Yang pertama (riwayat mutawatir) menghasilkan
keyakinan, sedangkan yang kedua (riwayat ahad) menghasilkan dzann.."91
Dr. Husain 'Abdullah di dalam kitab Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy
menyatakan, "Yufiid al-khabar al-aahad al-hukm al-nadhriy, aiy al-'ilm al-
mutawaqqaf 'ala al-nadhr wa al-istidlaal, wa huwa yufiid al-dzann, wa laa yakfur
jaahiduhu" (hadits ahad berfaedah pada al-hukm al-nadhr, yakni ilmu (keyakinan)
yang disandarkan atas pengamatan dan pengkajian; dan hadits ahad hanya
menghasilkan dzan belaka. Oleh karena itu, orang yang menolaknya tidak boleh
dianggap kafir).92
Dr. Mahmud al-Thahhaan menyatakan, "Hadits ahad adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat hadits mutawatir. Hadits ahad menghasilkan al-'ilm al-nadzriy, aiy
al-'ilm al-mutawaqqaf 'ala al-nadhr wa al-istidlaal".93
Di dalam Kitab Raudlah al-Naadzir , Imam Ibnu Qudamah menuturkan,
"Khabar ahad adalah khabar yang tidak mutawatir. Ada perbedaan riwayat dari
Imam kami, apakah hadits ahad menghasilkan keyakinan (al-'ilm). Dituturkan,
bahwasanya khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Ini adalah pendapat
mayoritas dan ulama mutaakhir dalam kalangan madzhab kami. Sebab, kita
mengetahui dengan pasti bahwa kita tidak akan membenarkan semua berita yang
kita dengar. Seandainya semua berita yang kita dengar itu menghasilkan
keyakinan, tentunya sah juga kita menerima dua buah berita yang saling
bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan; dan sah juga kita menasakh al-
Quran dan hadits mutawatir dengan hadits ahad, dikarenakan ia sepadan dengan al-
Quran dan hadits mutawatir dalam hal menghasilkan ilmu (keyakinan). Dan

90
Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 329-330. Dari keterangan beliau ini
dapat disimpulkan bahwa riwayat-riwayat ahad yang bertutur tentang siksa kubur, melihat
Allah, dan lain sebagainya tidak menghasilkan ilmu dlaruriy. Apabila selama ini umat
menyakini dan qana'ah dengan riwayat-riwayat itu, sesungguhnya semua ini tidak muncul
dari ilmu dlaruriy, akan tetapi muncul dari ketenangan dan ketentraman hati karena
riwayat-riwayat itu dituturkan oleh perawi adil. Hanya saja, keimanan dan aqidah harus
disangga oleh dalil-dalil yang menghasilkan ilmu dlaruriy.
91
Al-Mahshuul, juz 1, hal. 203
92
Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 118
93
Dr. Mahmud al-Thahhan, Taisiir Mushthalah al-Hadiits, hal. 22
seandainya semua berita yang kita dengar menghasilkan keyakinan, niscaya vonis
hukum wajib ditegakkan karena kesaksian seorang saksi.."94
Dalam Hasyiyyah al-Dasuqiy dituturkan, "..Sebab, hadits mutawatir
menghasilkan kepastian (qath'iy), dan ini berbeda dengan khabar ahad. Hadits ahad
hanya menghasilkan dzann belaka."95
Di dalam Kitab Kasyf al-Asraar disebutkan, "Khabar wahid (hadits ahad) wajib
diamalkan, namun tidak menghasilkan ilmu yakin (keyakinan pasti). Dengan kata
lain, hadits ahad tidak mewajibkan ilmu yakin maupun ilmu thuma'ninah (keyakinan
pasti yang menentramkan jiwa). Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu dan para
fukaha".96
Salah seorang pakar tafsir Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi dalam
kitab tafsirnya, Mahasinu Ta’wil, telah menyatakan bahwa mengkritik hadits ahad
sudah biasa terjadi dan popular sejak periode shahabat. Selanjutnya beliau
menyebutkan penegasan al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan al-Fanari, bahwa yang
mengkritik dan menolak hadits ahad tidak dapat dianggap kafir atau fasik dan sesat.
Sebab, hal ini pernah terjadi dan dilakukan oleh para shahabat dan para ulama
seperti penolakan ‘Aisyah ra terhadap hadits yang menyebutkan bahwa seorang
mayit akan disiksa karena ditangisi oleh keluarganya, juga penolakan ‘Umar atas
riwayat dari Hafshah.97
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad
tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-
Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima
pokok-pokok ‘aqidah.98
Perhatikan komentar dari Imam Bazdawiy, “Adapun siapa saja yang
menyerukan bahwa ia menghasilkan ilmu yaqin –maksudnya adalah hadits ahad--,
tanpa diragukan lagi, itu adalah seruan bathil. Sebab, setiap orang pasti
menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung
syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran). Siapa
saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat
akalnya.”99
Prof. Mahmud Syaltut100 menyatakan,”Sesungguhnya jalan satu-satunya
untuk menetapkan masalah ‘aqidah adalah al-Quran al-Karim; yakni ayat-ayat
Quran yang qath’iy dilalahnya –ayat yang tidak mengandung dua makna atau
lebih--, sebagaimana ayat-ayat yang digunakan untuk menetapkan keesaan Allah,
risalah, dan keyakinan kepada hari akhir. Ayat-ayat yang tidak qath’iy dilalahnya –
mengandung dua makna atau lebih--, maka ayat-ayat semacam ini tidak absah
dijadikan dalil dalam masalah ‘aqidah……Walhasil, apakah ‘aqidah bisa ditetapkan
dengan al-Quran atau tidak, tergantung dari dilalahnya, qath’iy atau dzanniy. Jika
‘aqidah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan nash yang qath’iy baik dari sisi
wurud (tsubut) dan dilalahnya, maka….. ”101

94
'Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisiy Abu Mohammad, Raudlah al-Naadzir,
juz 1, hal. 99
95
Mohammad 'Arafah al-Dasuqiy, Haasyiyah al-Dasuqiy, juz 3, hal. 91. Lihat pula Imam
al-Dimyathiy, I'aanah al-Thaalibiin, juz 1, hal. 64; Muhyidin bin Syaraf, al-Majmuu', juz 7,
hal. 16; Ibnu Badran, al-Madkhal, juz 1, hal. 311. Al-Raaziy, al-Mahshuul, juz 5, hal. 157.
96
Kasyf al-Asraar, juz 4, hal. 378.
97
Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahaasinu Ta’wil, juz 17 hal.304-305
98
Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294
99
Prof. Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal.
63.
100
Prof Mahmud Syaltut adalah mantan guru besar di Universitas al-Azhar .
101
Ibid, hal.61-62
Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya
sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara
asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama.
Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan
keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy,
Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’102
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan
oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak
memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar
mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi
khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah
saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak
menghasilkan keyakinan (ilmu)."103
Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat
(madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah
riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”104
Imam Bazdawiy menyatakan, “Adapun yang mendakwakan ilmu yaqin –
maksudnya adalah hadits hadits--, maka itu adalah dakwaan bathil tanpa ada
keraguan lagi. Sebab, setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan
karena, khabar ahad masih mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih
mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia
telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”105
Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Masalah ini
–khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah
dimaklumi. Apa yang dinyatakan sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu,
barangkali yang mereka maksud dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk
mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadang-kadang disebut dengan ilmu.”106
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak
menghasilkan apa-apa kecuali dzan".107
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan
ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab,
keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah
dalam masalah amal".108
Imam Asnawiy menyatakan, “Riwayat ahad hanya menghasilkan dzan.
Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal didasarkan pada
dzan….”109
Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’ sepakat, bahwa hadits ahad yang
tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun tidak dalam
masalah keyakinan…”110

102
Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.48. Diskusi
tentang hadits ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak, bisa diikuti dalam kitab
Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi
Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar al-Fikr, 1417 H/1996 M, hal.218-223].
103
Prof. Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63
104
Ibid. hal. 63
105
Ibid.hal.63
106
Ibid, hal.64
107
Ibid. hal.64
108
Ibid.hal.64
109
Ibid, hal.64
110
Al-Kasaaiy, Badaai’ al-Shanaai’, juz.I, hal.20
Imam Al-Qaraafiy salah satu ‘ulama terkemuka dari kalangan Malikiyyah
berkata, “..Alasannya, mutawatir berfaedah kepada ilmu sedangkan hadits ahad
tidak berfaedah kecuali hanya dzan saja.”111
Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama
berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah
menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa
khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain
berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun
tidak.”
Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum Muslim, dari kalangan
shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’,
muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah
merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan
dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”112
Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir,
sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan,
akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat
bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.”113
Dari uraian di atas dapat disimpulkan; mayoritas ulama berpendapat, bahwa
hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan, dan tidak absah digunakan hujjah untuk
membangun perkara-perkara yang membutuhkan ilmu dan kepastian. Menurut Prof
Mahmud Syaltut, pendapat ini rajih dan layak untuk diikuti. Atas dasar itu, masih
menurut beliau, hadits ahad tidak boleh digunakan hujjah dalam masalah aqidah.
Bahkan masalah ini seharusnya tidak diperselisihkan oleh kaum Muslim.
Oleh karena itu, ’aqidah harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang
menyakinkan, baik tsubut maupun dilalahnya. Sebab, keyakinan (‘aqidah) yang
dituntut oleh syara’ adalah ‘aqidah yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya.
Dengan kata lain, ‘aqidah harus menyakinkan dan pasti kebenarannya. Atas dasar
itu, dalil yang absah membangun pokok-pokok ‘aqidah haruslah dalil yang
menyakinkan, baik dari sisi tsubut maupun dilalahnya.
Sesungguhnya, hadits ahad adalah hadits yang sanadnya masih mengandung
syubhat atau kesamaran.114 Oleh karena itu, dari sisi tsubut (penetapan), hadits
ahad tidak bisa menghasilkan kepastian atau keyakinan. Karena tidak menghasilkan
keyakinan, alias hanya menghasilkan dzan saja, maka hadits ahad tidak boleh
dijadikan hujjah untuk perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (ilmu).
Pendapat semacam ini dipegang dan dianggap paling kuat oleh jumhur ‘ulama.
Selain itu, seluruh ‘ulama tidak berbeda pendapat bahwa, al-Quran dan hadits
mutawatir yang qath’iy dilalahnya merupakan sumber yang menyakinkan (qath’iy
tsubut) untuk menetapkan pokok keyakinan. Namun, bila dilalahnya tidak qath’iy
maka ia tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Sebab, 'aqidah
menuntut adanya kepastian baik dari sisi sumbernya maupun dilalahnya (makna
yang ditunjukkan oleh nash). Sedangkan nash-nash yang dilalahnya dzanniy masih
membuka ruang terjadinya multi interpretasi, sehingga tidak bisa dipastikan mana
makna yang hendak dituju oleh nash tersebut. Jika nash-nash seperti ini layak
dijadikan hujjah untuk membangun 'aqidah, tentunya akan terjadi perbedaan
pendapat di kalangan kaum Muslim mengenai suatu masalah yang seharusnya
mereka tidak boleh berbeda pendapat. Bahkan, bisa-bisa kaum Muslim akan
menyakini dua hal yang kontradiktif, akibat dilalah nash yang dzanniy (tidak pasti).
111
Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.
112
Al-Qasaamiy, Qawaa’id al-Tahdiits, hal.137,138.
113
Dr. Rifat Fauziy, al-Madkhal ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.
114
Ibid, hal. 63
Oleh karena itu, masalah aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang tsubut dan
dilalahnya pasti.
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, hadits ahad tidak absah
dijadikan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan kepastian dan
keyakinan (masalah aqidah). Pasalnya, hadits ahad dari --sisi tsubutnya-- tidak
menghasilkan keyakinan yang pasti. Atas dasar itu, Prof Mahmud Syaltut, di dalam
Kitab al-Islaam 'Aqiidah wa Syarii'ah, menyatakan, "Demikianlah, kami telah
mendapati pendapat-pendapat ulama ahli kalam dan ushul yang bersepakat bahwa,
khabar ahad (hadits ahad) tidak menghasilkan keyakinan dan tidak boleh
menetapkan perkara aqidah. Kami juga mendapati para ulama muhaqqiq telah
menetapkan masalah ini sebagai masalah dlaruriy yang tak seorangpun boleh
berselisih pendapat". Masih menurut Prof Mahmud Syaltut, pendapat yang
menyatakan bahwa "hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan)", sesungguhnya
yang dimaksud ilmu di sini adalah adalah dzann, atau ilmu bi wujuub al-'amal
(kepastian dalam hal wajibnya mengamalkan hadits ahad); bukan keyakinan pasti.
Untuk itu, hadits ahad tidak absah dijadikan hujjah untuk membangun perkara-
perkara aqidah. Dengan kata lain, perkara aqidah tidak boleh ditegakkan di atas
hadits-hadits ahad. Menurut Prof Mahmud Syaltut, kesimpulan semacam ini telah
mencapai derajat ilmu dlaruriy yang tidak boleh diperselisihkan oleh orang-orang
yang memiliki akal pikiran115.

115
Prof Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 65.
BAB V
KEHUJJAHAN HADITS AHAD
DALAM MASALAH AQIDAH

Meskipun diskusi seputar hadits ahad (apakah menghasilkan keyakinan atau


sekedar dzan) telah menjadi bahan perdebatan di kalangan kaum Muslim dan para
‘ulama, namun demikian perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak pernah
menyulut pertentangan maupun tindakan-tindakan gegabah untuk saling
mengkafirkan dan menyesatkan sesama Muslim. Para ‘ulama yang berpendapat
hadits ahad tidak menghasilkan ilmu tidak pernah mengeluarkan sepatah kata
“pengkafiran” kepada ‘ulama yang berpendapat bahwa khabar ahad menghasilkan
keyakinan; begitu pula sebaliknya. Mereka tetap menjalin ukhuwah dan bersaudara
di bawah naungan kalimat tauhid yang suci.
Kerukunan dan kesatuan mereka telah mengobarkan kemarahan dan
kedengkian di hati orang-orang kafir dan munafik. Mereka tidak rela dan ridla
melihat kesatuan dan kerukunan kekasih-kekasih Allah. Akhirnya, melalui antek
dan agen-agen setianya, mereka terus berusaha menyulut perselisihan dan
permusuhan di tengah-tengah kaum Muslim. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk
mengoyak dan merobohkan sendi-sendi ukhuwah. Salah satu caranya adalah,
mengobarkan masalah-masalah khilafiyyah dan berusaha mengadu domba kaum
Muslim. Mereka menyebarkan masalah khilafiyyah yang sejatinya tidak perlu
menjadi masalah, dan menanamkan sikap tercela di kalangan kaum Muslim, yakni
fanatisme madzhab yang berlebihan. Mereka tidak mau atau pura-pura tidak tahu
bahwa berbeda pendapat dalam masalah-masalah dzanniy adalah sesuatu yang
wajar dan diperbolehkan di dalam Islam. Tidak hanya itu saja, mereka
memprovokasi umat agar mereka saling berperang demi mempertahankan dan
menyebarkan madzhab mereka. Ironisnya lagi, mereka justru berdiam diri terhadap
pemerintahan kufur dan sistem kufur yang diterapkan di tengah-tengah kaum
Muslim, seraya menyerukan hadits-hadits yang menuturkan kewajiban taat kepada
pemimpin fasik. Padahal, hadits-hadits tersebut tidak bisa diterapkan pada konteks
pemimpin-pemimpin di dunia Islam sekarang. Bahkan, mereka berusaha
menyerang individu maupun gerakan Islam yang berusaha mengubah sistem dan
pemerintahan kufur dengan cara pembunuhan karakter. Misalnya, mereka
melontarkan cap kafir, sesat, ahli bid'ah, dan fasik kepada gerakan atau individu
yang berbeda pendapat dengan mereka, atau yang berusaha merobohkan sistem
kufur untuk diganti dengan sistem Islam.
Salah satu isyu khilafiyyah yang mereka angkat dan dijadikan pemicu untuk
menyebarkan permusuhan dan pertengkaran di tengah-tengah kaum Muslim adalah
ikhtilaf mengenai hadits ahad. Lebih dari itu, mereka menjadikan isyu ini untuk
membunuh karakter pengemban dakwah dan kelompok Islam yang berusaha
menegakkan syariat Allah dengan penuh keikhlasan. Dengan gegabah dan prematur
mereka menyesatkan kaum Muslim yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak
boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Padahal pendapat yang menyatakan
bahwa khabar ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan saja adalah
pendapat terkuat yang dipilih oleh mayoritas ‘ulama. Sedangkan mereka yang
berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan adalah pendapat rapuh
yang didasarkan pada dalil-dalil yang lemah. Bahkan orang yang berpendapat
bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan), sungguh ia telah merendahkan
akal pikirannya sendiri.
Untuk menepis pendapat yang menyatakan bahwa, hadits ahad wajib
dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah, sekaligus untuk membuktikan kelemahan
dan kerapuhan pendapat mereka, akan kami paparkan secara ringkas beberapa
argumentasi berikut ini.

1. Ijma’ Shahabat Tatkala Mengumpulkan al-Quran al-Kariim.


Jika kita perhatikan dengan seksama proses pengumpulan al-Quran dalam
mushhaf Imam, pastilah anda berkesimpulan bahwa, riwayat ahad tidak bisa
digunakan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (aqidah).
Tidak hanya itu saja, menyakini khabar ahad wajib dijadikan hujjah dalam perkara
‘aqidah akan berimplikasi serius bagi kesempurnaan dan keotentikan al-Quran.
Pada dasarnya, al-Quran merupakan salah satu pilar aqidah Islam. Seorang mukmin
tidak boleh meragukan keotentikan dan kesempurnaan al-Quran yang terlembaga
dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Apabila ada riwayat shahih yang dianggap al-Quran,
namun tidak diriwayatkan dengan jalan mutawatir, atau tidak tercantum di dalam
Mushhaf; riwayat itu tidak boleh diyakini sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran.
Sesungguhnya, al-Quran yang sampai ke tangan kita, seluruhnya
diriwayatkan secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-
Quran, tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran. Para shahabat sendiri tidak pernah
melembagakan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran ke dalam mushhaf
Imam.
Kenyataan ini saja sudah cukup untuk menggugurkan wajibnya menjadikan
riwayat ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Sebab, al-Quran adalah pokok
dan sumber ‘aqidah kaum Muslim; dan semua ayat yang tertulis di dalam mushhaf
Imam tidak diriwayatkan kecuali secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang
dianggap sebagai al-Quran namun tidak ditulis dan dicantumkan di dalam Mushhaf,
harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran116.
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan fi ‘Uluum al-Quran menyatakan;
“Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib)
mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan
urut-urutannya. Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran
harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir). Sebab, biasanya sesuatu yang
menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung
yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai
shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun
terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak
mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian
besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat
penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.“ 117
Mayoritas ‘ulama ushul telah bersepakat bahwa, mutawatir merupakan syarat
itsbat (penetapan), apakah suatu riwayat dianggap sebagai bagian dari al-Quran
atau tidak. Riwayat-riwayat ahad yang dinyatakan sebagai al-Quran tidak boleh
diyakini sebagai al-Quran. Dengan kata lain, khabar ahad tidak boleh digunakan
hujjah untuk menetapkan al-Quran. Atas dasar itu, pada saat pengumpulan al-
Quran, Zaid bin Tsabit tidak hanya menyandarkan kepada hafalan para shahabat
belaka. Akan tetapi, beliau juga memastikan bahwa hafalan tersebut ditulis
dihadapan Nabi saw. Zaid bin Tsabit tidak menerima akhir surat al-Taubah,
walaupun surat itu telah ia hafal dan sering dibaca Nabi saw di saat sholat, hingga ia

116
Lihat Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 113-115
117
Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr,
hal.79.
mendapatkan bukti tulisan dari Khuzaimah al-Anshori ra.118 Ini adalah sikap yang
sangat hati-hati.
Al-Quran adalah pokok dari 'aqidah Islam. Mengingkari al-Quran, atau
menyakini bahwa al-Quran telah mengalami penambahan ataupun pengurangan
adalah keyakinan bathil yang harus dijauhi oleh orang-orang beriman. Sebab,
keyakinan semacam ini akan menjatuhkan seseorang –baik sadar maupun tidak
sadar—pada sebuah keyakinan bahwa, al-Quran tidak lagi otentik dan asli.
Di dalam kitab-kitab hadits shahih banyak dituturkan riwayat ahad yang
dinyatakan sebagai al-Quran, namun tidak dilembagakan di dalam mushhaf
'Utsmaniy. Kita juga menjumpai adanya mushhaf para shahabat yang kadang-
kadang jumlah ayat dan urut-urutannya tidak sama dengan Mushhaf 'Utsmaniy.
Seandainya riwayat-riwayat dan mushhaf para shahabat tersebut harus diyakini, dan
layak dijadikan hujjah dalam penetapan al-Quran, sama artinya kita telah menuduh
para shahabat telah berkonsensus untuk menambah atau mengurangi al-Quran, atau
mengubah susunan al-Quran. Padahal, hal ini adalah sebuah kemustahilan bagi para
shahabat. Untuk itu, hadits ahad tidak boleh digunakan hujjah dalam perkara
‘aqidah (keyakinan). Al-Quran adalah pokok keimanan kaum Muslim, dan ia harus
ditetapkan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang
diklaim sebagai al-Quran harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.
Berikut ini akan kami ketengahkan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-
Quran, akan tetapi tidak boleh diyakini sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran.
• Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia
berkata;

‫ ما‬7‫قرأت سورة الحزاب على النبي صلى ال عليه وسلم فنسيت منها سبعين آية‬
‫وجدتها‬
” Saya membaca surat al-Ahzab di hadapan Nabi saw dan tujuh puluh ayat
darinya saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran
sekarang.’119
Riwayat ini adalah riwayat ahad. Seandainya riwayat ini bisa digunakan
hujjah dalam masalah ‘aqidah, tentu kita harus menyakini juga bahwa surat al-
Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam, tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat
dalam surat al-Ahzab yang telah hilang. Padahal, keyakinan semacam ini tentu
akan berakibat fatal bagi kebersihan dan keotentikan al-Quran al-Karim sebagai
kalamullah dan mukjizat terbesar dari Rasulullah saw. Menyakini riwayat ini
sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Riwayat
ini juga tidak boleh dipahami sebagai ayat al-Quran yang telah dihapus.
Pasalnya, al-Quran harus ditetapkan berdasarkan periwayatan mutawatir.
Penurunan, penjagaan, dan pembukuan al-Quran dilakukan dengan jalan
mutawatir. Imam terhadap al-Quran termasuk bagian dari aqidah yang tidak
boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil yang qath'iy tsubut wa al-dilaalah120.

118
Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit mengenai masalah ini sebagai
berikut, "....Maka aku (Zaid bin Tsabit) pun menelusuri al-Quran dan mengumpulkannya
dari pelepah-pelepah kurma, batu-batu yang tipis, dan hafalan orang-orang, sampai aku
menemukan akhir surat al-Taubah pada diri Abu Khuzaimah al-Anshoriy, dan aku tidak
menemukannya pada seseorang pun kecuali dirinya.." Di dalam Kitab Manaahil al-'Irfaan,
juz 1, hal. 245, dituturkan, "Imam al-Sakhawiy dalam Majaal al-Qurraa menyatakan, yang
dimaksud dengan dua saksi adalah dua orang adil. Lalu ia berkata, "Yang dimaksud adalah
dua orang itu bersaksi bahwa apa yang tertulis itu ditulis dihadapan Nabi saw".
119
Al-Hafidz al-Suyuthiy, Durr al-Mantsur, jilid 6, hal. 560
120
Dr. Mohammad Ali Hasan, Al-Manaar fi 'Uluum al-Quraan, hal. 126
• Riwayat semacam ini juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail;
Ibnu Al-Anbaariy, dan Ibnu Mardawaih dari ‘Aisyah, bahwasanya beliau ra
berkata;

‫ فلما‬7‫كانت سورة الحزاب تقرأ في زمان النبي صلى ال عليه وسلم مائتي آية‬
‫كتب عثمان المصاحف لم يقدر منها إل على ما هو الن‬
“Pada masa Nabi saw, surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat. Akan
tetapi, ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali
sebagaimana yang ada sekarang ini.”121
Seandainya riwayat ahad ini harus diyakini dan wajib dijadikan hujjah
dalam masalah 'aqidah, tentunya kita harus menyakini lebih dari separuh surat
al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat. Sebab, surat al-
Ahzab yang ada di dalam Mushhaf Imam hanya berjumlah tujuh puluh tiga ayat.
Oleh karena itu, riwayat ini tidak boleh diyakini bahkan harus ditolak untuk
dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah. Seorang Muslim dilarang menyakini ada
ayat Quran yang tidak terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Riwayat ini juga
tidak menunjukkan adanya nasakh tilawah. 'Allamah Taqiyyuddin al-Nabhaniy di
dalam Kitab al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah menyatakan bahwa, tidak ada
nasakh tilawah. Menurut beliau, pendapat semacam ini dipegang oleh mayoritas
'ulama. Sebab, seluruh ayat al-Quran ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath'iy,
dan ayat-ayat yang tidak ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath'iy tidak boleh
dianggap sebagai al-Quran. Selain itu, tidak adanya satupun dalil qath'iy yang
menunjukkan adanya nasakh tilawah. Adapun riwayat-riwayat dzanniy yang
mengesankan adanya nasakh tilawah, sesungguhnya riwayat-riwayat seperti ini
tidak bernilai sama sekali. Sebab, sesuatu yang qath'iy tidak bisa dihapus oleh
sesuatu yang dzanniy. Yang qath'iy hanya bisa dihapus oleh yang qath'iy.122
• Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan
Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran,
disana disebutkan, "Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk
mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-
Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin
berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-
shalawaat wa al-shalaat al-wustha...). Setelah sampai pada ayat tersebut,
mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah,
hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'Ashr..". 'Umar ra bertanya,
"Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar berkata,
"Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang
perempuan sedangkan ia tak punya bukti."
Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab,
jika riwayat ini diyakini sebagai bagian dari al-Quran sama artinya kita menyakini
bahwa, al-Quran telah mengalami pengurangan. Sebab, kata “al-‘Ashr” tidak
dilembagakan di dalam mushhaf 'Utsmaniy. Tidak boleh dinyatakan bahwa
riwayat ini telah dinasakh (dihapus) tilawahnya. Tidak bisa dinyatakan seperti
itu, sebab, dari sisi istbat, riwayat itu tidak terbukti sebagai al-Quran atau bagian
dari al-Quran. Alasannya, riwayat di atas adalah riwayat ahad; sedangkan al-
Quran tidak ditetapkan kecuali dengan riwayat mutawatir. Lantas, bagaimana ia
bisa dinyatakan al-Quran yang dihapus, sedangkan riwayat itu tidak terbukti

121
Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, jilid II, hal.25, lihat juga Duur al-
Mantsur, jilid 6; hal.560
122
Taqiyyuddin al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 273.
sebagai al-Quran?123 Di dalam Kitab Irsyaad al-Fuhuul disebutkan bahwa, Imam
Sarkhasiy menolak adanya nasakh tilawah. Sebab, menurut beliau, hukum tidak
ditetapkan kecuali dengan dalil; dan tidak ada hukum tanpa ada dalil124.
• Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha', dan Ibnu Dawud dalam Mashahif
dari Ummul Mukminin 'Aisyah ra, ia berkata, "Telah turun ayat tentang 10 (kali
isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus
dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah saw meninggal, sedangkan
beliau menyatakan ia adalah al-Quran." Namun demikian, tak seorangpun
shahabat yang memperhatikan riwayat ini. Mereka tidak menulisnya di dalam
Mushhaf. Juga tidak boleh dipahami bahwa, riwayat tersebut merupakan al-
Quran yang telah dihapus. Sebab, tidak ada nasakh tilawah di dalam al-Quran.
Meskipun sebagian ulama berpendapat adanya nasakh tilawah, namun pendapat
itu lemah dan tidak layak diikuti. Adapun mengapa nasakh tilawah tidak terdapat
di dalam al-Quran; sebab, riwayat-riwayat yang menuturkan adanya nasakh
tilawah adalah hadits ahad; sehingga, tidak menghasilkan kepastian dan
keyakinan. Selain itu, riwayat-riwayat tersebut tidak boleh dianggap sebagai al-
Quran maupun bagian dari al-Quran; sehingga harus diimani dan diyakini sebagai
al-Quran yang dihapus125.
• Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif, al-Haakim, dan selain keduanya
dari Mushhafnya Ubay bin Ka'ab, ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda)
budak. Di dalam mushhafnya Ubay tersebut disebutkan, "fa shiyaam tsalaats
ayaam mutatabi'aat fi kifaarat al-yamiin"[berpuasa tiga hari berturut-turut
untuk kifarat al-yamin].”
Riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf Imam. Riwayat ini
juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab, seandainya hadits ini harus
diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi
otentik, alias telah mengalami pengurangan. Dalam masalah ini, Imam Syafi’iy
menolak berhujjah dengan riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad.126
• Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, "Adalah Ibn al-'Ash dan
Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu, sampailah mereka kepada ayat
ini, maka Zaid berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, "al-Syaikh
wa syaikhaat idza zanaya [kakek dan nenek jika berzina].", 'Umar berkata,
"Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak muhshon akan dijilid,
sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia muhshon, maka dirajam".127
• Dalam riwayat Muwatha' 'Umar berkata dalam khutbahnya, "Seandainya bukan
karena orang-orang mengatakan bahwa 'Umar bin Khaththab telah menambah
Kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah
membacanya".
Dua riwayat di atas bukanlah al-Quran dan tidak boleh diyakini sebagai
ayat Quran yang dihapus (mansukh). Alasannya, riwayat-riwayat di atas adalah
khabar ahad, sehingga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Bagaimana kita
bisa menyatakan bahwa riwayat ini adalah al-Quran yang dihapus, padahal
riwayat ini tidak terbukti sebagai al-Quran? Seperti halnya riwayat-riwayat

123
Dr. Mohammad Ali Hasan, al-Manaaf fiy 'Uluum al-Quran, hal. 126
124
Lihat Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 190
125
Lihat dan bandingkan dengan Dr. Mohammad Ali al-Hasan, al-Manaar fi 'Uluum al-Quran,
hal. 126. Lihat juga penjelasan Imam al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, jilid 2,
hal. 26. Di dalam kitab itu al-Suyuthiy menjelaskan bahwa Ibnu Dzafar menolak adanya
nasakh tilawah (namun hukumnya tetap), dengan alasan khabar ahad (hadits ahad) tidak
bisa menetapkan al-Quran."[Al-Hafidz Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, hal. 26]
126
Imam Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 113
127
Lihat Imam al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, bagian ke 2, hal. 25
sebelumnya, riwayat ini dituturkan secara ahad, dan al-Quran tidak ditetapkan
kecuali berdasarkan riwayat mutawatir. Riwayat ahad yang diklaim sebagai al-
Quran tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran.128
• Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari, Thabarani, Ibnu
Mardawaih dengan jalan shahih dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud bahwa, Ibnu
Mas’ud dan Ibnu Abbas tidak memasukkan al-Mu'awidzatain (surat al-Falaq dan
al-Naas) dalam mushhafnya. Keduanya menyatakan bahwa al-Quran tidak
tercampur dengan sesuatu yang bukan dari Kitabullah. Menurut kedua shahabat
itu, al-mu’awidzatain bukan termasuk al-Quran, namun hanya perintah Allah
kepada Nabi saw untuk berlindung dengan keduanya”.
• Imam Fakhr al-Raziy menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab terdahulu telah
menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud telah mengingkari surat al-Fatihah dan al-
Mu’awidzatain sebagai bagian dari al-Quran. 129
Imam Nawawiy dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan, " Seluruh kaum
Muslim telah bersepakat bahwa, al-Mu’awidzatain dan al-Fatihah merupakan
bagian dari al-Quran. Siapa saja yang mengingkari keduanya [sebagai bagian
dari al-Quran] telah terjatuh dalam kekafiran. Sedangkan riwayat yang dinukil
dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, dan sama sekali tidak shahih."130
Al-Bazariy menyatakan, "Tak seorang pun dari kalangan shahabat yang
mengikuti pendapat Ibnu Mas'ud. Telah disahkan dari Nabi saw bahwa, beliau
saw membaca keduanya dalam sholat dan mu'awidzatain ditetapkan dalam
mushhaf."131 Walhasil, para shahabat ra menolak khabar dari shahabat Ibnu
Mas'ud ra, karena ia adalah khabar ahad yang tidak sampai kepada derajat
mutawatir dan qath'iy.
Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Qadh al-Ma’aliy Tatmiim al-Majaliy,
berkata, “Riwayat ini merupakan pendustaan atas nama Ibnu Mas’ud.”132
Ibnu Hajar dalam Syarh al-Bukhari menyatakan: “Telah dishahihkan dari
Ibnu Mas’ud bahwa ia telah mengingkari al-Mu’awidzatain.” Riwayat senada juga
dituturkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis
al-Mu’awidzatain di dalam mushhafnya.133
Lalu, apakah berdasarkan riwayat ahad ini, anda akan menarik
kesimpulan bahwa al-Mu’awidzatain bukanlah bagian dari al-Quran? Seandainya
anda menyatakan bahwa, riwayat Ibnu Mas’ud ini harus diyakini, tentunya al-
Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Seandainya kita menyatakan,
bahwa hadits ahad yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ini tidak boleh diyakini,
maka anda telah menyelamatkan al-Quran dari adanya tahrif.
• Hujjaaj menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Juraij, dari Hamidah binti Abi
Yunus, bahwasanya ia berkata, "Dibacakan di depan ayahku, Mushhaf 'Aisyah ra,
di mana saat itu ayahku masih berumur 8 tahun. Di dalam Mushhaf itu
tercantum ayat, "Innallaha wa malaaikatahu yushalluuna 'alan Nabiy, ya ayyuhal
ladziina aamanuu shalluu 'alaihi wa sallimuu tasliima wa 'alal ladziina yushalluuna
al-shufuuf al-awwal". Ia membacanya sebelum 'Utsman mengubah Mushhaf-
Mushhaf".134 Riwayat ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran yang telah

128
Dr. Mohammad Ali al-Hasan, al-Manaar fi 'Uluum al-Quran, hal.26
129
al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79. Lihat juga, Al-Amidiy, al-
Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 114
130
al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, hal.79
131
Ibid, hal. 79
132
al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79
133
Ibid,hal.79
134
Ibid, bagian ke 2, hal. 25
dihapus tilawahnya. Sebab, riwayat ini dituturkan secara ahad, sehingga tidak
boleh dianggap sebagai al-Quran yang telah dihapus.
• Masih banyak riwayat-riwayat ahad lain yang dinyatakan sebagai al-Quran
atau bagian dari al-Quran yang tidak dilembagakan di dalam Mushhaf 'Utsmaniy.
Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya sangat banyak. Seandainya kita harus
menyakini riwayat-riwayat ini, sama artinya dengan menyakini bahwa Mushhaf
'Utsmaniy telah mengalami tahrif (penyimpangan).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, riwayat ahad tidak
boleh digunakan hujjah untuk membangun pokok keimanan. Perilaku para
shahabat dengan tidak melembagakan riwayat-riwayat ahad yang diklaim
sebagai al-Quran merupakan bukti nyata, bahwa khabar ahad tidak boleh
dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Seandainya riwayat ahad bisa
menetapkan Al-Quran, niscaya lenyaplah eksistensi al-Quran sebagai bukti yang
menyakinkan, dan jadilah ia sebagai bukti yang dzanniy.

2. Para Shahabat Mensyaratkan Jumlah Tertentu Pada Saat Pelembagaan


al-Quran
Kami juga akan memaparkan riwayat-riwayat yang menuturkan bahwa,
tatkala mengumpulkan al-Quran al-Karim pada masa Abu Bakar ra, para
shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu, hingga riwayat mereka dianggap
sebagai al-Quran.
• Ibnu Abi Dawud dalam Mashahif dari Abu Bakr, meriwayatkan, “Sesungguhnya
Abu Bakar memerintahkan kepada 'Umar dan Zaid ra agar keduanya duduk di
pintu masjid, dan memerintahkan keduanya agar siapapun yang membawa
sesuatu dari al-Quran dengan membawa dua orang saksi, maka keduanya harus
mencatatnya”.
• Dari jalan Ibnu Sa'ad, ia berkata,” Keduanya duduk di pintu masjid, dan tak
seorangpun yang membawa sesuatu dari Al-Quran yang disaksikan oleh dua
orang, kecuali akan ditulis dan tidak akan diingkari oleh keduanya”.
• Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashahif dari Yahya bin 'Abd al-Rahman bin
Haatib berkata, 'Umar berkata, "Siapa saja yang menyimpan sesuatu –al-
Quran-- dari Rasulullah, maka serahkanlah. Sedangkan para shahabat menulis
ayat-ayat Quran dalam shuhuf, batu tulis, tulang. ‘Umar ra tidak menerima
apapun dari seseorang, sampai orang tersebut menghadirkan dua orang saksi”.
• Dari jalan Ibn Sa'ad dan Ibn Abi Dawud dan Ahmad bin Hanbal dan selainnya,
dari Khuzaimah bin Tsabit berkata, "Saya menyampaikan ayat (laqad jaa`akum)
kepada 'Umar ra dan Zaid bin Tsabit. Zaid bertanya, siapakah orang yang
menyaksikan bersamamu.. Saya menjawab, "Demi Allah saya tidak tahu!" 'Umar
berkata, "Saya menyaksikan hal itu bersamamu".
• Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan selainnya meriwayatkan dari 'Ubaid bin 'Umair,
bahwa ia berkata, "Umar tidak menerima satu ayat dari Kitabullah sampai ada
dua orang saksi yang menyaksikan".
• Dalam shahih Bukhari dan Ibnu Abi Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin
Tsabit berkata, "Ketika kami menulis Mushhaf, saya kehilangan sebuah ayat dari
kitabullah, dimana aku pernah mendengarnya dari Rasulullah saw, dan aku
menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit "Minal mukminiin rijaalun.. ",
sedangkan Khuzaimah memiliki dua orang saksi. Rasulullah saw membolehkan
persaksian dengan saksi dua orang".
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan, bahwa para shahabat telah
menetapkan syarat-syarat tertentu tatkala melembagakan al-Quran dalam
mushhaf ‘Utsmaniy. Seandainya, khabar ahad bisa dijadikan hujjah dalam
pelembagaan al-Quran, tentu para shahabat tidak perlu mensyaratkan dua orang
saksi. Jikalau berita satu orang bisa digunakan sandaran untuk menetapkan
pokok ‘aqidah (al-Quran) tentu para shahabat tidak perlu lagi mensyaratkan dua
orang saksi dan tulisan. Akan tetapi, para shahabat menolak untuk
melembagakan khabar yang diklaim sebagai al-Quran jika tidak mendatangkan
dua orang saksi dan mendatangkan bukti otentik lainnya (tulisan).
Perhatikan riwayat berikut ini:
• Dalam shahih Bukhari, Zaid berkata, "Saya kehilangan satu ayat dari surat al-
Ahzab, kemudian aku mendapatkannya pada Khuzaimah, karena ia
menyimpannya. Seandainya tidak, tentu hilanglah ayat tersebut. Kemudian
ayat tersebut ditulis.
• Dalam riwayat Ibnu Abi Dawud dari 'Umar, ia berkata, "Barangsiapa
mendapatkan dari Rasulullah sesuatu dari al-Quran, maka serahkanlah”. Perawi
berkata, "Mereka menulis dalam shuhuf, batu, dan tulang".
Riwayat di atas menunjukkan dengan pasti, bahwa para shahabat ra tidak
mencantumkan satupun ayat dalam mushhaf kecuali bisa dipastikan bahwa ayat
tersebut adalah al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah saw.
• Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan
Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran,
disana disebutkan, "Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk
mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-
Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin
berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-
shalawaat wa al-shalaat al-wustha...). Setelah sampai pada ayat tersebut,
mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah,
hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..". 'Umar ra bertanya,
"Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar berkata,
"Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang
perempuan sedangkan ia tak punya bukti."
Berdasarkan riwayat ini, kita tidak mungkin lagi menyatakan bolehnya
membangun pokok keimanan dengan khabar ahad. Riwayat di atas telah
menunjukkan, bahwa ‘Umar telah menolak khabar yang disampaikan oleh
Hafshah. Sebab, Hafshah tidak memiliki saksi. Seandainya khabar ahad bisa
diterima untuk menetapkan al-Quran, tentunya ‘Umar ra akan menulis khabar
Hafshah di dalam mushhaf.

3. Argumentasi ‘Aqliyyah
Secara ‘aqliy, ketika anda menyaksikan suatu peristiwa secara langsung, dan
terlibat di dalamnya, anda pasti akan menyakini kebenaran peristiwa yang anda
saksikan tersebut. Sebab, peristiwa tersebut menyakinkan dari sisi anda. Namun,
ketika anda menyampaikan peristiwa itu kepada orang yang tidak menyaksikannya
secara langsung, tentu orang itu tidak langsung mempercayai ucapan anda,
meskipun anda sangat menyakini peristiwa itu. Peristiwa tersebut hanya
menyakinkan dari sisi anda, namun tidak bagi orang yang tidak menyaksikan
peristiwa itu secara langsung. Di sinilah pentingnya itsbat (penetapan); apakah
berita yang anda sampaikan itu benar-benar menyakinkan atau tidak.
Hal ini tidak ubahnya dengan kesaksian yang diberikan seorang saksi kepada
seorang qadliy. Seorang saksi harus membangun kesaksiannya dengan bukti-bukti
yang menyakinkan. Ia tidak boleh bersaksi, kecuali jika menyaksikan kejadiannya
secara langsung, menyakinkan dan pasti. Dalam sebuah hadits yang dituturkan
oleh Ibnu 'Abbas ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah ditanya tentang kesaksian.
Kemudian beliau bertanya, "Apakah kamu melihat matahari? Lalu dijawab, "Ya."
Kemudian beliau saw bersabda, "Seperti itu juga. Jika kalian melihat (seperti
melihat matahari) maka bersaksilah, atau jangan bersaksi (jika tidak melihatnya
seperti melihat matahari)".135 Dalam redaksi lain, Nabi saw bersabda;

‫فإذا رأيت مثل الشمس فاشهد و إل فدع‬


"Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah.
(Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah".136
Namun demikian, apa yang disaksikan oleh seorang saksi hanya menyakinkan
dari sisi saksi saja, tidak bagi qadliy. Ketika qadli menerima kesaksian seorang
saksi, tidak secara otomatis “kesaksian itu” menyakinkan dari sisi qadliy -- meskipun
kesaksian itu menyakinkan dari sisi saksi. Atas dasar itu, seorang qadliy tidak harus
menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian seorang saksi. Perhatikan riwayat Ummu
Salamah berikut ini; Nabi saw bersabda:

‫ وإنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض‬6‫إنما أنا بشر‬
‫ا فلا يأخذ فإنما أقطع‬i‫ق أخيه شيئ‬
0 ‫وأقضي له على نحو ما أسمع فمن قضيت له من ح‬
‫ من النار‬i‫له قطعة‬
"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa
masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang
hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai
dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan,
sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian
mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan
bagian dari api neraka."137
Nash ini menunjukkan bahwa, Rasulullah saw memutuskan perkara
berdasarkan prasangkanya. Kesaksian yang diberikan kepada saksi hanya
menyakinkan dari sisi saksi, tidak bagi qadliy. Buktinya, Rasulullah saw menyatakan
kemungkinan adanya vonis yang salah. Seandainya, berita yang disampaikan
seorang saksi juga menyakinkan dari sisi qadliy, tentu Rasulullah saw tidak akan
menyatakan kemungkinan adanya kesalahan dalam hal vonis. Sekiranya kesaksian
saksi menghasilkan kepastian dan keyakinan, niscaya seorang qadli harus
memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi. Padahal, Rasulullah saw telah
menyatakan dengan jelas, bahwa seorang hakim itu memutuskan sesuatu
berdasarkan dzan, bukan sekadar dengan keterangan yang disampaikan oleh
seorang saksi.
Dari ‘Amru bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah saw bersabda;

6‫إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر‬
"Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lantas ia berijtihad dan ijtihadnya
benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun, jika seorang hakim hendak
memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia
mendapat satu pahala."[HR. Imam Bukhari]
Imam Nasaaiy juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra,
bahwasanya Nabi saw bersabda:

‫إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا اجتهدد فأخطأ فله أجر‬
135
Imam al-Baihaqiy, Sya'b al-Iiman, juz 22, hal. 363.
136
Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit
137
HR. Mutafaq ‘Alaih
"Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan
ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia berijtihad
dan ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu buah pahala".[HR. Imam Nasaaiy]
Kenyataan seperti ini, sama persis dengan si anu yang menyampaikan
sebuah khabar kepada si fulan. Meskipun khabar itu menyakinkan dari sisi si anu,
namun dari sisi si fulan, khabar itu tidaklah menyakinkan. Oleh karena itu, si fulan
bisa menolak, atau menerima berita dari si anu. Ini menunjukkan dengan sangat
jelas bahwa khabar yang disampaikan oleh seorang yang adil, tetaplah tidak
menyakinkan bagi orang yang menerima berita tersebut; walaupun bagi orang yang
adil berita itu menyakinkan. Namun demikian, jika berita itu telah masyhur dan
menyakinkan, maka dengan sendirinya, siapapun yang menyampaikan berita itu,
wajib kita yakini. Secara ‘aqliy khabar yang disampaikan seseorang atau lebih yang
tidak mengantarkan kepada keyakinan, hanya akan menghasilkan dzan belaka, tidak
menyakinkan.

4. Perilaku Ulama Dalam Berhadits


Dalam prakteknya, para ahli hadits berbeda pendapat dalam menilai suatu
riwayat, apakah mutawatir atau tidak, shahih atau tidak. Perbedaan penilaian ini
disebabkan banyak faktor, diantaranya adalah perbedaan dalam menetapkan kriteria
kemutawatiran suatu berita, penilaian terhadap personalitas perawi, dan perbedaan
dalam hal ushulul hadits.
‘Ulama hadits berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah perawi yang bisa
mengantarkan kemutawatiran suatu berita.138 Jumhur ‘ulama berpendapat bahwa
kemutawatiran suatu berita tidak boleh dikaitkan dengan jumlah tertentu, akan
tetapi harus disandarkan pada “sampainya keyakinan yang bersifat pasti” (hushuul
al-ilm al-dlaruriy).139 Sebagian ‘ulama, diantaranya adalah al-Qadliy Abu Thayyib al-
Thabariy, mensyarakatkan jumlah perawi lebih dari empat orang. Jika suatu berita
diriwayatkan lebih dari empat orang, maka berita tersebut bisa dianggap sebagai
khabar mutawatir.140 Al-Sam’aniy menyatakan, bahwa pengikut madzhab Syafi’iy
menetapkan batas minimal sebanyak 5 orang perawiy. Menurut Abu Manshur, al-
Jubaiy juga menganut pendapat ini dengan menganalogkan pada jumlah para nabi
yang termasuk dalam ulul ‘azmiy. 141 Sebagian ulama menetapkan sekurang-
kurangnya 7 orang karena dianalogkan dengan jumlah ashhabul kahfiy. ‘Ulama yang
lain berpendapat bahwa jumlah yang bisa mengantarkan kepada derajat mutawatir
adalah 10 orang. Pendapat ini dipegang oleh al-Ashthakhriy. Ada pula yang
menentukan sekurang-kurangnya 12 orang. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu
Hudzail dan ulama-ulama lain dari kalangan Mu’tazilah. Sebagian kelompok ‘ulama
menetapkan sekurang-kurangnya 40 orang142. Sedangkan ulama lain menentukan
sekurang-kurangnya 310 orang, dan sebagainya.143
Perbedaan dalam menetapkan jumlah perawi tentunya akan berakibat pada
perbedaan dalam menetapkan kemutawatiran sebuah berita. Akibatnya, ada suatu
berita yang menurut sebagian ‘ulama mutawatir, sedangkan yang lain tidak. Di sisi
yang lain, seluruh ‘ulama sepakat bahwa berita mutawatir harus diyakini (yufiidz
al-‘ilm). Jika berita mutawatir harus diyakini, lantas apakah kita akan menyesatkan
dan mengkafirkan ‘ulama yang tidak memutawatirkan berita tersebut, karena
adanya penetapan kriteria yang berbeda? Jawabnya, kita dilarang menyesatkan
138
Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.47
139
Ibid, hal. 47
140
Ibid, hal.47
141
Ibid, hal.47
142
Ahmad Mohammad Syakir, Syarah Alfiyat al-Suyuuthiy, hal.46; Mohammad Mahfudz al-
Turmusy, Manhaaj Dzawiy al-Nadzar, hal. 68-69.
143
Ibid, hal.47-48
atau mengkafirkan ‘ulama yang menganggap berita yang kita yakini mutawatir
bukan sebagai berita mutawatir. Ini bisa dimengerti karena perbedaan pendapat
dalam masalah semacam ini merupakan suatu hal yang lazim.
Perbedaan lain berhubungan dengan kaedah-kaedah ushul hadits, misalnya
jarh wa ta’diil. Dalam hal menjarh dan menta’dilkan, minimal ada empat pendapat
yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa jarh harus didahulukan
secara mutlak, walaupun jumlah mu’adilnya lebih banyak daripada jarhnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa ta’dil harus didahulukan daripada jarh.
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa bila mu’addilnya lebih banyak daripada
jarhnya, maka ta’dil harus didahulukan. Pendapat keempat, selama pertentangan
antara yang menjarhkan dan menta’dilkan belum bisa dikompromikan, maka ia tetap
dalam “perselisihan”.
Dalam hal penilaian terhadap perawiy, ulama hadits juga berbeda pendapat.
Misalnya, jarh wa ta'dil terhadap perawiy kadang-kadang disebutkan sebab-
sebabnya (mufassar) dan ada kalanya tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham).
Untuk mubham ini para ulama hadits berbeda pendapat. Ada yang berpendapat
bahwa, menta'dilkan perawi tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, diterima.
Sedangkan jika mentajrih perawi harus disebutkan sebab-sebabnya. Ada pula yang
berpendapat, untuk ta'dil harus disebutkan sebab-sebabnya, sedangkan jika men-
jarh-nya tidak harus disebutkan sebab-sebabnya. Ada pula yang berpendapat, baik
menta'dil maupun menjarh, harus disebutkan sebab-sebabnya. Ada pula yang
berpendapat, untuk keduanya tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya.
Para ulama hadits juga berbeda pendapat dalam menentukan jumlah orang
yang dipandang cukup untuk men-ta'dil-kan dan men-jarh-kan perawiy. Sebagian
ulama mensyaratkan minimal 2 orang, baik dalam hal syahadah maupun dalam hal
riwayah. Pendapat ini dipegang oleh fukaha Madinah dan lain sebagainya. Sebagian
yang lain mensyaratkan 1 orang saja dalam hal riwayah, bukan dalam hal syahadah.
Sedangkan yang lain, cukup 1 orang saja, baik dalam hal riwayat maupun syahadah.
Ikhtilaf dalam masalah ushul hadits ini tentunya berakibat pada perbedaan
pendapat dalam menilai keshahihan sebuah berita. Atas dasar itu, kadang-kadang
ada suatu riwayat dianggap shahih oleh seorang ulama namun dianggap lemah oleh
ulama yang lain.
Para ulama hadits juga berbeda pendapat dalam menilai personalitas perawiy.
Kadang-kadang, ada ulama hadits yang menta'dilkan seorang perawi, namun ulama
hadits lain menjarhnya. Contohnya, adalah perbedaan penilaian para ulama hadits
terhadap seorang tabi'in tengah bernama Habib bin Salim dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad berkata, "Sulaiman bin Dawud al-
Thayaalisiy telah meriwayatkan sebuah hadits kepada kami; di mana ia berkata,
"Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin
Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, "Habib bin Salim telah
meriwayatkan sebuah hadits dari Nu'man bin Basyir; dimana ia berkata, "Kami
sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, --Basyir sendiri adalah seorang
laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa'labah
al-Khusyaniy seraya berkata, "Wahai Basyir bin Sa'ad, apakah kamu hafal hadits
Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, "Saya hafal
khuthbah Nabi saw." Hudzaifah berkata, "Nabi saw bersabda, "Akan datang kepada
kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian,
Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan
datang masa Kekhilafahan 'ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah
masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak
menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja
yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah
menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa
raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah
akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa
Khilafah 'ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian).
Setelah itu, beliau diam".[HR. Imam Ahmad]
Habib bin Salim al-Anshoriy termasuk tabi'iy tengah. Nasab beliau adalah al-
Anshoriy. Hadits beliau sah untuk dijadikan hujjah. Ibnu Hibban menganggapnya
tsiqqah. Abu Hatim al-Raziy dan Abu Dawud al-Sajastaniy mengatakan, "Dia
tsiqqah". Imam Bukhari mengatakan, "Fiihi nadzar" (haditsnya perlu diteliti). Ibnu
'Adiy mengatakan, "Hadits yang diriwayatkan darinya ada idldlirab di sanad-
sanadnya".
Lantas, apakah kita akan menyematkan gelar fasik dan sesat kepada ulama
hadits yang menolak riwayat Imam di atas, hanya gara-gara perbedaan pendapat
dalam hal menilai personalitas rawiy?
Contoh lain, Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin
Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Kaum
mukmin itu saling menanggung darahnya” Salah satu perawi hadits ini, ‘Amru bin
Syu’aib mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari kakeknya. Sebagian ‘ulama
hadits menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam Turmudziy berkata,
“Mohammad Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima
haditsnya ‘Amru bin Syu’aib sebagai hujjah.” ‘Ali bin Abi ‘Abdillah bin al-Madani
berkata, “Yahya bin Sa’id berkata, “Menurut kami hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah
hadits yang lemah.”
Seandainya ada orang menolak riwayat ahad karena dianggap lemah,
sementara yang lain menshahihkan, lantas apakah kita akan mengkafirkan ‘ulama
yang menolak keshahihan hadits ahad tersebut? Seandainya pendapat yang
menyatakan bahwa, hadits ahad wajib diyakini adalah pendapat paling kuat, lantas,
apakah kita akan mengkafirkan dan menyesatkan ‘ulama yang menolak hadits
tersebut?
Para ulama hadits juga berbeda pendapat dalam hal faedah yang dihasilkan
oleh hadits ahad. Sebagian berpendapat; hadits ahad menghasilkan keyakinan dan
layak untuk mengitsbatkan perkara-perkara aqidah, dan sebagian lain berpendapat
hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan dan tidak sah dijadikan hujjah untuk
membangun masalah-masalah aqidah.
Demikianlah, para ulama hadits berbeda pendapat dalam berbagai macam
aspek yang menyangkut ilmu hadits. Perbedaan ini merupakan kekayaan khazanah
ilmu yang begitu luas dan mendalam bagi kaum Muslim. Hanya orang-orang kerdil
dan berhati dangkal yang tidak mampu menyelami keluasaan dan kedalaman
khazanah keilmuan di dalam Islam. Hal ini juga membuktikan kepada kita semua
bahwa, perbedaan pendapat dalam hal "apakah hadits ahad menghasilkan keyakinan
atau tidak" merupakan perbedaan pendapat yang lazim dan diakui dalam Islam.
Meskipun, pendapat yang menyatakan bahwa hadits ahad hanya menghasilkan
dzann belaka dan tidak absah membangun perkara-perkara aqidah adalah pendapat
rajih, namun, kita tidak boleh menyesatkan apalagi sampai mengkafirkan saudara-
saudara kita yang memiliki pendapat wajibnya membangun perkara-perkara aqidah
dengan hadits ahad.
BAB VI
PERSEPSI SALAH
YANG HARUS DILURUSKAN

Syubhat Pertama; Rasulullah Mengutus Utusan Seorang Diri


Rasulullah saw mengutus seorang utusan untuk menyampaikan Islam –baik
masalah ‘aqidah dan hukum— kepada kabilah-kabilah Arab dan para raja; lalu,
apakah diutusnya seorang atau beberapa orang shahabat di wilayah-wilayah Islam,
baik untuk mengajarkan masalah ‘aqidah maupun hukum syara’, menunjukkan
bahwa hadits ahad bisa digunakan sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dibedakan terlebih dahulu antara
itsbat khabar (penetapan berita), khabar (berita), dengan tabligh khabar
(menyampaikan berita), syahadah (kesaksian).
Itsbat adalah penetapan suatu berita dari sisi, apakah berita itu benar-benar
qath’iy (pasti) berasal dari sumber asal berita, ataukah tidak pasti. Contohnya,
dalam al-Sunan terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan
dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum
itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer.” Yang
dimaksudkan itsbat khabar, adalah penetapan apakah khabar yang dibawa oleh
Nu’man bin Basyir benar-benar pasti (qath’iy) berasal dari Rasulullah saw, atau
tidak? Bila berita itu bisa dibuktikan benar-benar berasal dari Rasulullah saw,
karena periwayatannya mutawatir, maka dari sisi itsbat berita tersebut adalah
qath’iy berasal dari Rasulullah saw. Contoh lain adalah al-Quran al-Karim. Apakah
al-Quran yang dibukukan dalam mushhaf ‘Utsmani itu benar-benar pasti berasal dari
Rasulullah saw, ataukah tidak pasti? Jika ia bisa dibuktikan memang benar-benar
berasal dari Rasulullah saw, maka al-Quran tersebut adalah pasti berasal dari
Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan itsbat. Namun, jika berita tersebut
tidak bisa dipastikan berasal dari Nabi saw, karena periwayatannya tidak mutawatir,
maka hadits itu masih mengandung syubhat.
Khabar adalah, berita, informasi yang dibawa oleh seseorang. Khabar bisa
meliputi masalah ‘aqidah ataupun hukum syara’. Pada hadits di atas, yang disebut
khabar adalah matan hadits itu sendiri, yakni, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa
dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat
khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat
khamer”.
Kesaksian (syahadah) adalah penyampaian khabar (berita) oleh saksi di
hadapan qadliy di dalam majelis peradilan. Kesaksian ini ditetapkan berdasarkan
syarat-syarat tertentu. Kesaksian dianggap batal bila tidak memenuhi nishab
kesaksian. Misalnya, kesaksian dalam masalah perzinaan nishabnya adalah empat
orang. Jika kurang dari empat orang saksi (laki-laki) maka kesaksiannya ditolak.
Dalam ru’yatul hilal, saksi cukup satu orang saja. Untuk masalah mu’amalah
disyaratkan dua orang saksi. Atas dasar itu, kesaksian (syahadah) berbeda dengan
periwayatan maupun tabligh. Pasalnya, periwayatan maupun tabligh tidak
mensyaratkan jumlah tertentu agar periwayatan dan tabligh itu bisa diterima.
Sedangkan dalam hal kesaksian, kesaksian baru diterima jika telah memenuhi
syarat jumlah dan keadilan perawi.
Adapun mengenai masalah tabligh, sesungguhnya, dalam tabligh tidak
disyaratkan jumlah tertentu. Satu orang dianggap sah untuk mentablighkan Islam,
baik menyangkut masalah ‘aqidah maupun hukum syara’.
Tabligh khabar adalah menyampaikan informasi kepada orang lain.
Misalnya, ada informasi tentang kecelakaan lalu lintas. Kemudian anda
menyampaikan informasi ini kepada orang lain yang jauh dari lokasi kecelakaan dan
tidak melihat secara langsung peristiwa kecelakaan tersebut. Aktivitas
menyampaikan informasi kepada orang lain ini disebut dengan tabligh khabar.
Misalnya, Ali ra menyampaikan surat al-Taubah kepada penduduk Yaman. Apa yang
dilakukan oleh ‘Ali ra tersebut termasuk bagian dari tabligh khabar.
Tabligh berbeda dengan istbat khabar. Tablig adalah menyampaikan khabar
tanpa memandang shahih atau tidaknya berita yang disampaikan, dan juga tidak
disyaratkan jumlah tertentu (sebagaimana kesaksian). Tabligh akan terjadi hingga
akhir masa. Penetapan sebuah berita (itsbat) apakah mutawatir atau tidak sudah
selesai, dan hanya terjadi pada thabaqat pertama, kedua, dan ketiga (masa
shahabat, tabi’un dan tabi’ut tabi’in). Memang benar, Rasulullah saw telah
mengutus seorang shahabat atau beberapa orang shahabat untuk menyampaikan
Islam kepada sekelompok masyarakat, dan raja-raja. Rasulullah saw juga pernah
mengutus ‘Ali ra untuk membacakan surat Taubah kepada sekelompok masyarakat.
Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya sangatlah banyak.
Akan tetapi, riwayat ini hanya menunjukkan diterimanya khabar ahad dalam
masalah tabligh. Baik tabligh yang berhubungan dengan ‘aqidah maupun hukum.
Akan tetapi, riwayat-riwayat semacam ini tidak menunjukkan diterimanya khabar
ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak boleh dikatakan bahwa penerimaan
terhadap tabligh Islam sama juga artinya dengan menerima khabar ahad sebagai
dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, penerimaan
terhadap tabligh Islam berbeda dengan penerimaan khabar ahad sebagai dalil dalam
masalah ‘aqidah.
Buktinya, muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa
membuktikan dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu benar-benar
menyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar menyakinkan (qath’iy),
muballigh harus menyakini berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia
tidak menyakini berita yang telah nyata-nyata qath’iy itu. Ini menunjukkan bahwa
khabar yang dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu.
Artinya ia harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan
berita kepada masyarakat. Ini berbeda dengan orang yang menerima tabligh. Ia
bisa menolak khabar yang dibawa oleh seseorang, sama saja apakah khabar itu
berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau hukum. Penolakan dirinya terhadap tabligh
khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran. Akan tetapi jika ia menolak
Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal semacam
inilah yang bisa dianggap sebagai tindak kekufuran. Sebab, para shahabat ra
terbiasa melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap berita yang mereka terima.
Shahabat ‘Umar ra pernah menolak penyampaian khabar dari Hafshah ra. 'Aisyah
ra juga menolak hadits yang menyatakan bahwa mayit akan disiksa karena ratapan.
Para ‘ulama hadits juga telah mengamalkan hal ini. Sebagian ‘ulama hadits
menolak riwayat yang oleh ‘ulama hadits lainnya dianggap sebagai hadits yang
shahih. Riwayat yang dishahihkan oleh sebagian ‘ulama belum tentu dishahihkan
oleh ‘ulama yang lain. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu
Daud, kadang-kadang dilemahkan atau ditolak oleh sebagian ahli hadits lain.
Contohnya adalah, Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin
Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Kaum
mukmin itu saling menanggung darahnya” Perawi hadits ini, ‘Amru bin Syu’aib
mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari kakeknya. Sebagian ‘ulama hadits
menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam Tirmidziy berkata,
“Mohammad Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima
haditsnya ‘Amru bin Syu’aib sebagai hujjah.” ‘Ali bin Abi ‘Abdillah bin al-Madani
berkata, “Yahya bin Sa’id berkata, “Menurut kami hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah
hadits yang lemah.”
Contoh lain adalah, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Ahmad,
al-Nasaa’iy, Ibnu Majah, dan Tirmidziy dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-
laki bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, kami tengah berlayar di
lautan, sedangkan bekal air (tawar) kami sangat sedikit. Jika kami berwudlu’
dengan bekal air kami, maka kami akan kehausan, Apakah kami boleh berwudlu’
dengan air laut? Rasulullah saw menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya halal.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidziy dari Imam Bukhari, sedangkan ia
menshahihkannya. Ibnu ‘Abdi al-Barr dan Ibnu Mundzir juga menshahihkan hadits
ini. Ibnu al-Asiir dalam Syarh al-Musnad menyatakan, “Ini adalah hadits shahih dan
masyhur, dan diriwayatkan oleh para ‘ulama dalam kitab-kitab mereka. Mereka
menggunakan hadits ini sebagai hujjah. Rijalnya juga tsiqat (terpercaya). Imam
Syafi’iy tatkala mengomentari isnad hadits ini ia berkata, “Ia termasuk orang yang
tidak saya ketahui.”
Dalam kitab Tanaaqudlaat, juga disebutkan, bahwa Nashiruddin al-Albani
telah menolak (melemahkan) hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sebagian ahli
hadits.
Bila penolakan terhadap tabligh riwayat ahad [ telah dibuktikan bahwa ia
adalah riwayat ahad], dianggap kekufuran, betapa para ‘ulama sekaliber Imam
Syafi’iy, Abu Daud, Tirmidziy, serta ‘ulama-‘ulama lain telah kafir seluruhnya. Atau
apakah anda akan menyatakan bahwa Nashiruddin al-Albani telah kafir karena
menolak khabar ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, serta Imam-imam ahli
Hadits lainnya? Alasannya, karena ia telah menolak tabligh khabar ahad dari
perawi-perawi yang lain. Apakah anda berani mengkafirkan ‘ulama-‘ulama besar
tersebut, hanya karena mereka menolak riwayat-riwayat ahad!
Ini membuktikan bahwa penolakan terhadap tabligh khabar tidak berujung
kepada kekafiran. Akan tetapi menolak tabligh Islam, yang khabarnya telah
dibuktikan kepastiannya [itsbatnya qath’iy], misalnya al-Quran, dan Kenabian
Mohammad saw, serta hadits-hadits mutawatir, bisa menjatuhkan seseorang dalam
kekafiran!! Orang yang menolak al-Quran yang telah nyata-nyata dibuktikan
berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan, maka dirinya telah keluar dari Islam
tanpa ada khilaf. Artinya, jika sebuah berita telah ditetapkan (berdasarkan proses
itsbat (penetapan)) sebagai berita yang menyakinkan (qath’iy) berasal dari
Rasulullah saw, maka menolak berita semacam ini bisa menjatuhkan seseorang ke
dalam kekafiran. Jumhur ‘ulama telah menetapkan bahwa hanya berita mutawatir
saja yang menghasilkan keyakinan, dari sisi itsbat. Berita ahad tidak menghasilkan
apa-apa kecuali sekedar dzan (keraguan).
Adapun masalah menjadikan hadits ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah
itu adalah masalah lain. Bila ‘aqidah harus didasarkan kepada dalil yang
menyakinkan, maka dalil-dalil yang membangun ‘aqidah pun harus qath’iy dan
menyakinkan, baik dari sisi sumber dan dilalahnya. Bila ‘aqidah harus menyakinkan
dan tidak boleh meragukan, maka dalil yang bisa membangunnya haruslah dalil yang
bersifat menyakinkan. Iman semacam ini tidak mungkin diwujudkan dengan dalil-
dalil yang bersifat dzanniyyah seperti halnya hadits ahad.
Adapun kenyataan bahwa umat Islam telah "menyakini" riwayat-riwayat ahad
yang bertutur tentang siksa kubur, melihat Allah, dan lain sebagainya,
sesungguhnya "keyakinan tersebut" bukan berasal dari ilmu dlaruriy (keyakinan
pasti), akan tetapi berasal dari kepuasaan dan ketentraman hati untuk menerima
berita tersebut. Imam Sarkhasiy menjelaskan, "Hanya saja kami perlu nyatakan
bahwa, sesungguhnya, orang yang menyatakan pendapat itu144, tidak bisa
membedakan antara ketentraman dan ketenangan hati dengan ilmu yakin
(keyakinan pasti). Sesungguhnya, selama masih ada kemungkinan dusta pada
sebuah berita yang tidak terjaga, maka berita itu (berita orang yang adil) tidak
mungkin diingkari, meskipun di dalamnya ada keraguan (syubhat). Sedangkan
ihtimal (kemungkinan) tidak bisa menetapkan keyakinan. Ihtimaal hanya bisa
menetapkan ketentraman dan ketenangan hati karena adanya sisi kebenaran yang
lebih menonjol. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan bahwa hadits
masyhur tidak bisa menetapkan keyakinan pasti (ilmu yaqiin), apa lagi khabar ahad.
Ketenangan dan ketentraman hati termasuk jenis keyakinan jika ditinjau dari sisi
dzahirnya, dan inilah maksud sabda Nabi saw, "Lalu, beritahulah mereka". Atas
dasar itu, seseorang boleh beramal dengan anggapannya, sebagaimana bolehnya
beramal pada kasus menghadap kiblat di saat ada keraguan145. Sedangkan
ketidaktahuannya telah dieleminasi karena sisi kebenaran berita itu lebih kuat,
disebabkan karena hadirnya keadilan perawi. Ini berbeda dengan beritanya orang
fasik. Berita orang fasik masih mengandung kontradiksi yang salah satu sisinya
tidak bisa dikuatkan146. Adapun riwayat-riwayat (atsar) yang menuturkan tentang
siksa kubur dan lain sebagainya; sesungguhnya sebagian riwayat itu ada yang
masyhur dan sebagian lagi riwayat ahad. Dan sesungguhnya, riwayat-riwayat ini
telah mengharuskan hati untuk mengikatkan dirinya pada perkara-perkara tersebut.
Sedangkan pengetahuan mengenai wajibnya hati mengikatkan diri kepada suatu
perkara, kedudukannya sama dengan pengetahuan terhadap suatu amal atau
sesuatu yang lebih penting. Hanya saja, semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy
(ilmu kepastian). Pasalnya, Allah swt berfirman, "Dan mereka mengingkarinya
karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini
(kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat
kebinasaan".[TQS An Naml (27):14]. Allah swt juga berfirman, "Orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal
Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya
sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka
mengetahui".[TQS Al Baqarah (2):146]. Ayat di atas menjelaskan bahwa, mereka

144
Orang yang berpendapat bahwa hadits ahad harus dijadikan hujjah dalam perkara aqidah
beralasan bahwa, umat telah menyakini riwayat ahad yang bertutur tentang siksa kubur,
melihat Allah, dan lain sebagainya. Jika riwayat-riwayat ahad ini tidak bisa menetapkan
'aqidah, tentunya ini akan bertentangan dengan realitas umat telah menyakini riwauyat-
riwayat tersebut.
145
Yg dimaksud dengan ketenangan dan ketentraman hati adalah prasangka kuat yang bisa
menumbuhkan perasaan tenang dan tentram di dalam hati, karena sisi kebenaran yang
dikandung oleh suatu berita lebih kuat dibandingkan kedustaannya. Prasangka kuat ini
muncul karena hadirnya keadilan orang yang membawa berita tersebut. Keadaan ini
sama persis dengan kasus menghadap kiblat ketika seorang musholliy ragu-ragu tentang
arah kiblat. Ia boleh menghadap ke arah yang dianggapnya lebih benar, dan
menentramkan hatinya; walaupun ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran arah kiblat
yang dipilihnya. Sesungguhnya, khabar ahad jika telanjur diyakini, sesungguhnya
keyakinan ini muncul dari ketenangan dan ketentraman hati, bukan muncul dari ilmu yakin
(keyakinan yang pasti). Atas dasar itu, khabar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu yakin
(keyakinan hati). Akan tetapi, ia bisa menetapkan dan menghasilkan ketenangan dan
ketentraman hati.
146
Berita yang disampaikan oleh orang fasik mengandung dua sisi yang saling kontradiksi,
benar atau dusta. Hanya saja, salah satu sisi itu tidak bisa dikuatkan salah satunya,
apakah sisi dustanya ataukah sisi benarnya yang lebih kuat. Akibatnya, seseorang tidak
bisa memilih mana yang lebih kuat, dustanya atau kebenarannya. Atas dasar itu, berita
orang fasik tidak bisa menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati karena kefasikan
orang yang membawa berita itu.
(orang-orang kafir) meninggalkan keyakinan hati yang telah terbukti kebenarannya,
sesudah ada pengetahuan terhadapnya. Semua ini menunjukkan bahwa, atsar-
atsar (riwayat-riwayat) tersebut tidak terlepas dari makna "wajibnya mengamalkan
hadits-hadits tersebut".147

Syubhat Kedua; Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Perkara
‘Aqidah = Tidak Pernah Dikatakan oleh ‘Ulama Salaf
Pendapat semacam ini adalah pendapat premature yang tidak bisa diterima
akal sehat. Sebab, pembahasan semacam ini –hadits ahad menghasilkan keyakinan
atau tidak—termasuk dalam pembahasan ushul dan pondasi bagi kaedah-kaedah
fiqhiyyah. Padahal ilmu ushul fiqh, ilmu mushthalah hadits, ilmu nahwu, sharaf,
balaghah, dan seterusnya adalah ilmu yang dibuat setelah periode ‘ulama salaf.
Lalu, apakah anda akan menolak ilmu-ilmu ini, hanya dengan alasan karena tidak
pernah dilakukan oleh ulama salaf?
Kita harus memahami terlebih dahulu definisi salaf, tatkala kita menyinggung
‘aqidah salaf dan hal-hal yang mereka pegangi. Jika yang dimaksudkan generasi
salaf adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sebaik-baik generasi adalah
generasiku, kemudian generasi berikutnya, dan kemudian generasi berikutnya”,
maka tidak secara otomatis pendapat yang bertentangan dengan pendapat ulama
salaf, atau yang tidak pernah dikatakan oleh mereka terkategori bid’ah dan sesat.
Jika anda konsisten untuk memegang ‘aqidah salaf dan hukum yang digali salaf,
sedangkan pendapat ulama lain yang tidak termasuk salaf adalah pendapat yang
tidak benar dan bid’ah, atau tidak boleh diikuti –karena mereka bukan ulama salaf--,
lalu bagaimana komentar anda tentang ilmu ushul fiqh yang digagas pertama kali
oleh Imam Syafi’iy. Bukankah beliau adalah orang yang pertama kali meletakkan
landasan ilmu ushul fiqh melalui bukunya yang sangat masyhur, al-Risalah? Selain
itu, bukankah beliau hidup setelah masa tiga masa itu; dan bukankah beliau tidak
termasuk tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in? Apakah anda akan mengatakan bahwa
yang diperbuat imam Syafi’i itu bid’ah karena tidak pernah dibicarakan oleh ulama
salaf? Seandainya merujuk hanya kepada ulama salaf sebuah keharusan, sedangkan
yang lain harus ditinggalkan, mengapa anda memakai kitab Shahih Bukhari dan
Muslim? Bukankah keduanya dibukukan setelah periode salaf ? Apakah anda
menyatakan bahwa Imam Bukhari dan Muslim melakukan tindakan bid’ah?
Oleh karena itu, masalahnya bukan apakah suatu pendapat telah
dikemukakan dan dibicarakan oleh ulama salaf atau belum, maupun apakah
pendapat itu sesuai dengan ‘ulama salaf atau tidak. Masalah yang terpenting adalah
apakah sebuah pendapat sejalan dengan al-Quran dan Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan
Qiyas? Kita tidak perlu menyatakan apakah pendapat itu diketengahkan oleh ulama
salaf atau tidak. Pasalnya, pendapat ulama salaf bukanlah dalil syariat. Bahkan,
pendapat shahabat bukanlah dalil syariat bagi kita, bahkan bisa jadi pendapat
mereka salah. Oleh karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah kebenarannya
sendiri, bukan dikatakan ulama salaf atau tidak. Sebab, ulama salaf tidaklah
ma’shum, dan dalil syariat hanyalah al-Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas.
Di sisi yang lain, ijtihad untuk menggali hukum dari al-Quran dan Sunnah
harus dilakukan hingga akhir jaman. Padahal, ada masalah-masalah maupun
kejadian-kejadian yang tidak dijumpai di generasi salaf; namun, kita tetap harus
147
Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 329-330. Dari keterangan beliau ini
dapat disimpulkan bahwa riwayat-riwayat ahad yang bertutur tentang siksa kubur, melihat
Allah, dan lain sebagainya tidak menghasilkan ilmu dlaruriy. Apabila selama ini umat
menyakini dan qana'ah dengan riwayat-riwayat itu, sesungguhnya semua ini tidak muncul
dari ilmu dlaruriy, akan tetapi muncul dari ketenangan dan ketentraman hati karena
riwayat-riwayat itu dituturkan oleh perawi adil. Hanya saja, keimanan dan aqidah harus
disangga oleh dalil-dalil yang menghasilkan ilmu dlaruriy.
menggali hukum untuk masalah-masalah tersebut berdasarkan nash-nash al-Quran
dan Sunnah, dan metodologi istinbath yang shahih.

Syubhat Ketiga; Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Masalah
‘Aqidah = Menolak Hadits Ahad
Ini adalah kesimpulan premature yang menunjukkan ketidaktahuan dirinya
mengenai ushul fiqh.
Hadits ahad yang tsiqat dan terpercaya wajib diamalkan, dan bisa digunakan
hujjah dalam perkara syari’at (amal). Sedangkan dalam perkara ‘aqidah, yang
membutuhkan keyakinan (ilmu) , maka hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah di
dalamnya. Sebab, 'aqidah mensyaratkan adanya keimanan dan keyakinan pasti
seratus persen tanpa ada syubhat ataupun kesamaran. Sedangkan hadits ahad
masih mengandung syubhat dan kesamaran. Walhasil, jika iman mengharuskan
adanya keyakinan, maka keimanan (‘aqidah) tidak mungkin dibangun dengan hadits
ahad yang masih mengandung kesamaran.
Lalu mereka mengeluarkan sebuah statement,” Kalau anda tidak menjadikan
hadits ahad sebagai hujjah dalam perkara ‘aqidah, mengapa anda mesti
mengerjakannya? Bukankah ini berarti bahwa apa yang anda kerjakan tidak
didasarkan pada keyakinan atau iman? Padahal, bukankah kita diperintah untuk
mengerjakan perbuatan apapun atas landasan iman?
Benar, kita harus mengerjakan perbuatan apapun karena keimanan kita. Kita
tidak boleh mengerjakan perbuatan bukan karena motivasi iman. Namun, masalah
ini (perbuatan yang harus berlandaskan motivasi iman) harus dibedakan dengan
berhujjah dengan dalil ahad dalam masalah ‘aqidah. Dalil dalam masalah amal
(perbuatan) tidak disyaratkan harus menyakinkan dan pasti. Syariat telah
menggariskan bahwa, dalam perkara amal, Allah dan Rasulnya mencukupkan kepada
kita untuk bersandar dengan dalil-dalil yang dzan baik dilalah maupun tsubutnya.
Syariat tidak mensyaratkan bahwa, amal harus dibangun di atas dalil-dalil yang
menyakinkan. Ini semua menunjukkan; tatkala kami beramal menggunakan hadits
ahad dibarengi dengan sebuah keyakinan (keimanan) bahwa Allah dan RasulNya
memang membolehkan kita untuk beramal dengan dalil-dalil dzan (hadits ahad).
Namun, Allah melarang kita menggunakan dalil-dalil dzan (hadits ahad) untuk
membangun pokok ‘aqidah.
Atas dasar itu, ketika kami beramal dengan hadits ahad sama sekali tidak
berarti bahwa, kami mengerjakan perbuatan tersebut tidak didasarkan pada motivasi
iman.
Perhatikan juga contoh berikut ini. Para ‘ulama berbeda pendapat dalam
menafsirkan kata “menyentuh” pada ayat tentang bersuci. Sebagian ulama –
madzhab Syafi’iy— berpendapat bahwa kata “menyentuh” di ayat tersebut diartikan
secara hakiki. Artinya, jika orang yang telah berwudlu’ menyentuh wanita, maka
batallah wudlu’nya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa kata menyentuh di
situ bermakna “bersetubuh”. Walhasil, menurut Imam Malik, seseorang tidak batal
wudlu’nya bila menyentuh wanita, kecuali jika ia telah menyetubuhinya.
Sesungguhnya, orang yang berpegang kepada pendapat pertama bersandar kepada
dalil yang dilalahnya dzanniy; begitu pula orang yang memegang pendapat kedua.
Dengan kata lain, sesungguhnya mereka berbuat berdasarkan prasangka kuatnya
(dzan) dan tidak berdasarkan dilalah yang menyakinkan. Namun demikian, tidak
boleh disimpulkan bahwa kedua orang itu beramal tanpa dengan motivasi dan
landasan iman.
Jadi tidak benar, ketika kami mengerjakan sebuah perbuatan yang
didasarkan pada hadits ahad tidak dibarengi dengan keimanan. Yang benar
adalah,sesungguhnya kami menyakini bahwa, Allah swt dan RasulNya membolehkan
kami beramal dengan bersandar kepada hadits ahad.
Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-
masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya
sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa
yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak
bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya,
apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka"148.
Ini menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah menjatuhkan vonis, beliau tidak
menyandarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan. Sebab, kesaksian yang
disampaikan kepada beliau tidak menyakinkan dari sisi beliau saw . Bahkan beliau
menyatakan bahwa vonis beliau bisa jadi salah. Akan tetapi, beliau tetap
menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian yang beliau anggap kuat (ghalabat dzan).
Beliau menjatuhkan saksi bukan karena dalil (bukti) yang menyakinkan. Sedangkan
penjatuhan vonis termasuk bagian dari amal. Ini menunjukkan bahwa amal tidak
harus disandarkan dengan dalil yang qath’iy.
Lalu, apakah anda akan mengatakan, bagaimana Rasulullah bisa
menjatuhkan vonis sedangkan dalil yang membangun vonis tersebut tidak
menyakinkan? Apakah anda akan menyimpulkan bahwa Rasulullah saw
mengerjakan suatu perbuatan namun tidak didasarkan pada keimanannya?
Untuk itu, kami tidak mengingkari atau menolak hadits ahad. Sebab,
mengingkari hadits ahad sama dengan mengingkari orang yang adil. Akan tetapi,
ada dalil lain yang menunjukkan bahwa, Al-Quran telah melarang kita mengambil
dalil-dalil dzan dalam perkara ‘aqidah. Sedangkan dalam masalah-masalah hukum
(amal), hadits ahad wajib untuk diamalkan dan sah digunakan sebagai hujjah.
Demikianlah, kami telah menjelaskan kepada anda dengan penjelasan yang
jelas dan gamblang. Seluruh penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa hadits
ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Pendapat ini merupakan
pendapat terkuat yang wajib untuk diikuti. Siapa saja yang menolak perkara ini
sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri. Semoga Allah menyadarkan
orang-orang yang bebal, dan menunjukkan orang-orang yang ragu.
Wahai kaum Muslim, berhati-hatilah kalian dalam perkara ‘aqidah ini. Sebab,
‘aqidah yang bersih menjadi jaminan keselamatan kita. ‘Aqidah bersih yang
sanggup memurnikan dan mensucikan ‘aqidah Islam hanya akan tegak dengan
hujjah yang kuat dan menyakinkan.

148
HR. Muttafaq ‘Alaih
BAB VII
SIKSA KUBUR

Adanya siksa kubur banyak disebutkan di dalam sunnah. Akan tetapi, juga
banyak ayat di dalam al-Quran yang menunjukkan tidak adanya siksa sebelum hari
kiamat. Misalnya firman Allah swt, artinya,
"Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira, bahwa Allah lalai dari
apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi
tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak."
(Ibrahim:42).
"Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa,
"mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja". Seperti demikianlah
mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)." (al-Ruum:55)
"Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari
kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, "Aduhai celakalah
kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah
yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya."
(Yasiin:51-52).
Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas tidak adanya siksa sebelum hari
kiamat. Meskipun demikian, di dalam sunnah banyak dituturkan tentang adanya
siksa kubur, bahkan sebagian ahli hadits menyatakan bahwa hadits-hadits tentang
siksa kubur mencapai derajat mutawatir maknawiy.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, ada nash yang menyatakan adanya
siksa kubur, sedangkan nash yang lain menafikan adanya siksa sebelum hari kiamat.
Bila dipandang sekilas, kedua kelompok nash-nash ini saling bertentangan satu
dengan yang lain. Lalu, bagaimana kita mengkompromikan nash-nash yang
bertentangan tersebut?
Pada dasarnya, wahyu dari Allah swt tidak mungkin saling bertentangan.
Atas dasar itu, pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam nash tidak boleh
dipandang sebagai pertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, akan tetapi
harus diupayakan untuk dikompromikan untuk menyelamatkan nash dari
pertentangan. Allah swt telah berfirman, artinya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau sekiranya al-
Quran itu bukan dari sisi Allah swt, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.”[al-Nisaa’:82]
Benar, banyak hadits menuturkan tentang siksa kubur. Beberapa ayat al-
Quran juga mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun demikian, ayat-ayat
tersebut dilalahnya (penunjukkannya) tidak qath'iy. Kami akan mengetengahkan
sebagian ayat tersebut. Allah swt berfirman, artinya,
"Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya
menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan
pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan
kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27)
"Kalau kamu melihat ketika pada malaikat mencabut jiwa orang-orang yang
kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata),"Rasakanlah
olehmu siksa neraka yang membakar," (tentulah kamu akan merasa negeri). (al-
Anfaal:50)
Ayat terakhir surat al-Anfaal ini dalalahnya qath'iy, bahwa malaikat menyiksa
orang kafir saat mencabut nyawa mereka. Ayat seperti itu juga disebutkan dalam
surat Mohammad, "Bagaimanakah keadaan mereka apabila para malaikat (maut)
mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka?
(Mohammad:27). Juga dalam surat al-An'am, "Alangkah dahsyatnya sekiranya
kamu melihat di waktu orang-orang yang dzalim (berada) dalam tekanan-tekanan
sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, sambil berkata,
"Keluarkanlah nyawamu" (al-An'aam:93).
Ayat-ayat di atas tidak menunjukkan adanya siksa kubur, namun
menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Ayat-ayat semacam ini tidak
menunjukkan secara pasti (qath’iy) tentang adanya siksa kubur, akan tetapi hanya
menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Karena dilalahnya tidak qath’iy,
ayat-ayat ini tidak boleh dijadikan dalil untuk menyakini adanya siksa kubur. Sebab,
keyakinan harus didasarkan kepada nash-nash yang dilalahnya pasti (qath’iy)149.

Penjelasan Mengenai Surat al-Ghafir : 46 & Ibrahim:27 dan Jalan


Komprominya
Surat al-Ghafir ayat 46 dan surat Ibrahim ayat 27 adalah surat Makkiyah.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad dituturkan dengan sangat jelas,
bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali ketika di Medinah.
Itupun pada saat terakhir ketika terjadi gerhana matahari, dan kematian puteranya
Ibrahim. Disebutkan dalam shahih Bukhari, "Dari 'Amrah binti 'Abd al-Rahman dari
'Aisyah isteri Nabi saw, bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada 'Aisyah.
Kemudian 'Aisyah bertanya kepada mereka, "Apakah kamu berlindung kepada Allah
dari siksa kubur? Kemudian 'Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, "Apakah
manusia akan disiksa di dalam kuburnya? Rasulullah saw menjawab, "Berlindunglah
kepada Allah dari hal itu!" (Fath al-Baariy, juz.2, hal.431).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan isnad atas syarat Bukhari dari Sa'id
bin 'Amru bin Sa'id al-Amwiy dari 'Aisyah ra, "Orang-orang Yahudi ingin melayani
'Aisyah, akan tetapi mereka tidak mendapat kebaikan apapun dari 'Aisyah, kecuali
mereka bertanya kepada 'Aisyah, "Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa
kubur?" 'Aisyah berkata, "Saya kemudian bertanya kepada Rasulullah saw, "Wahai
Rasulullah apakah di dalam kubur ada siksa? Rasul menjawab, "Dustalah orang
Yahudi!" Tidak ada siksa kecuali pada hari Kiamat. Kemudian beliau diam. Setelah
itu atas kehendak Allah tetap diam. Kemudian pada suatu hari, yaitu ketika tengah
hari, beliau menyeru dengan suara yang tinggi, "Wahai manusia mohonlah kepada
Allah dari siksa kubur. Sesungguhnya siksa kubur adalah haq".
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Ibnu Syihaab dari 'Urwah dari
'Aisyah ra berkata, "Seorang wanita Yahudi mendatangiku ('Aisyah) dan bertanya,
"Apakah kamu merasa bahwa kamu akan disiksa di dalam kubur? Kemudian Aisyah
datang kepada Rasulullah saw dan berkata, "Sesungguhnya orang Yahudi disiksa (di
dalam kubur), kemudian 'Aisyah berkata, "Kemudian Rasulullah diam selama satu
malam.kemudian berkata. "Apakah kamu merasa, bahwa telah diwahyukan
kepadaku bahwa kalian akan disiksa dalam kubur?" 'Aisyah berkata, "Saya
mendengar Rasulullah saw berlindung dari siksa kubur."
Allah swt berfirman, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat."
(Ibrahiim:27). Ini adalah surat Makiyyah yang mengisyaratkan adanya siksa kubur.
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata, "Bukhari berkata,
hadatsana....dari Bara' bin 'Aazib ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Seorang
Muslim bila ditanya di dalam kubur akan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah

149
Prof Mahmud Syaltut, Islaam, ‘Aqidah wa Syarii’ah, hal.61-63
dan Mohammad Utusan Allah.” Ini senada dengan firman Allah, artinya, "Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu,
dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27). Imam Muslim juga
meriwayatkan hadits, dan sebagian Jama'ah. “ Walhasil, sebagian ‘ulama tafsir telah
menyatakan, bahwa surat Ibrahim ayat 27 ini mengisyaratkan adanya siksa kubur.
Namun, kesimpulan ini disandarkan dari mafhum bukan manthuq ayat tersebut
--Ibrahim ayat 27.
Pada ayat lain, Allah swt telah berfirman, artinya, "Kepada mereka
dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada
mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya
Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam
adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)
Imam Ibnu Katsir berkata, "Ayat ini adalah ayat paling asal, yang digunakan
istidlal oleh ahlu sunnah tentang adanya siksa barzakh di dalam kubur.”
Selanjutnya, Ibnu Kastir berkata,"Tidak ragu lagi bahwa ayat ini adalah ayat
Makiyyah".
Kita bisa mengajukan pertanyaan kritis atas tafsir kedua surat di atas –surat
Ibrahim;27 dan al-Ghafir:46. Bagaimana mungkin dua ayat ini bisa digunakan dalil
untuk menunjukkan adanya siksa kubur, padahal ayat-ayat ini turun di Mekah
sebelum hijrah? Sedangkan Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali
setelah beliau berada di Medinah dan saat-saat akhir beliau? Ayat itu tidak mungkin
berbicara tentang siksa kubur, sebab Rasulullah saw tatkala di Mekah belum
mengetahui tentang adanya siksa kubur. Beliau mengetahui siksa kubur setelah
berada di Medinah. Lalu, bagaimana jalan komprominya? Para ‘ulama berusaha
memecahkan persoalan ini dengan berbagai macam pendekatan.
Imam Ibnu Katsir berupaya untuk menjawab persoalan ini, dengan
menyatakan,”Jawabnya adalah, surat al-Ghafir:46 ini, "Kepada mereka dinampakkan
neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka
pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat.",
menunjukkan, bahwa siksa neraka akan ditampakkan kepada arwah pada saat pagi
dan petang di alam barzakh. Ayat ini tidak menunjukkan siksa atas jasadnya di
dalam kubur. Sebab yang demikian itu dikhususkan untuk ruh. Adapun yang terjadi
pada jasad di dalam barzakh dan penyiksaannya, tidak ditunjukkan oleh ayat
tersebut, namun ditunjukkan dalam sunnah”. Kemudian beliau menyambung, "Ada
yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan penyiksaan terhadap orang kafir di
barzakh, akan tetapi, ayat itu tidak berhubungan dengan siksa bagi kaum Muslimin
atas dosa-dosanya di dalam kuburnya.”
Imam Ibnu Hajar juga berupaya memecahkan persoalan itu sebagai berikut,
"Sungguh hal ini sangat sulit, sebab surat Ibrahim :27 dan al-Ghafir:46 adalah surat
Makiyah. Pemecahannya adalah sebagai berikut,” Adanya siksa kubur lebih tepat
diambil dari jalan mafhum (kontekstual). Surat Makiyah itu menunjukkan, bahwa
siksa kubur adalah siksa kubur yang ditujukan bagi orang yang tidak memiliki iman.
Manthuq (tekstual) pada surat al-Ghafir:46, menunjukkan bahwa siksa kubur
tersebut akan ditujukan kepada Fir'aun dan pengikutnya, serta bagi orang yang
termasuk dalam golongan orang-orang kafir. Sedangkan yang diingkari oleh
Rasulullah saw –dalam hadits riwayat ‘Aisyah-- adalah terjadinya siksa kubur atas
orang-orang yang mentauhidkan Allah. Selanjutnya, Rasulullah saw mengetahui
bahwa siksa kubur itu bisa terjadi pada orang yang dikehendaki oleh Allah dari
golongan orang mukmin. Kemudian Rasulullah saw menetapkannya, mengingatkan
akan adanya siksa kubur, dan menyampaikan agar berlindung dari siksa kubur,
sebagai pemberitahuan, dan petunjuk bagi umatnya. Maka selesailah ta'arudl
(pertentangan ayat tersebut) dengan pujian kepada Allah swt”. Inilah pendapat
Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy.[lihat Fath al-Baariy, Juz. III, hal. 183]
Walhasil, menurut Imam Ibnu Katsir, surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27
hanya menunjukkan tentang dinampakkannya siksa neraka bagi para arwah di alam
barzakh. Masih menurut beliau, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan
adanya siksa atas jasad di dalam kubur. Sebab, siksa yang terjadi di alam kubur
hanya akan menimpa pada ruh, bukan jasad. Beliau menambahkan, ayat ini tidak
menunjukkan adanya siksa atas jasad di alam barzakh.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengkompromikan pertentangan tersebut dengan
penjelasan sebagai berikut; Surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan
adanya siksa bagi orang-orang kafir di dalam kuburnya. Tatkala, Rasulullah saw
masih di Mekah beliau telah mengetahui adanya siksa kubur bagi orang kafir, namun
beliau belum memahami, apakah orang mukmin juga akan dikenai siksa kubur.
Setelah beliau di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa
mengenai kaum mukmin. Jadi, penolakan tentang adanya siksa kubur pada hadits
riwayat ‘Aisyah itu, hanya berhubungan dengan penolakan beliau atas adanya siksa
kubur bagi orang mukmin, bukan penolakan adanya siksa kubur atas orang kafir.
Beliau telah memahami sejak di Mekah, bahwa siksa kubur itu akan ditimpakan
kepada orang kafir. Namun beliau belum mengetahui, apakah siksa kubur itu bisa
juga dijatuhkan kepada orang mukmin. Setelah di Medinah, barulah beliau
mengetahui bahwa orang mukmin juga bisa terkena siksa kubur.
Bila dikaji secara mendalam, baik Ibnu Hajar maupun Ibnu Katsir belum
menyelesaikan secara tuntas persoalan ini. Keduanya hanya melihat dari satu sisi
belaka, dan mengesampingkan sisi yang paling penting; yaitu, apakah boleh bagi
Rasulullah saw menyampaikan sesuatu –yang berhubungan dengan masalah
agama-- tanpa ilmu pengetahuan. Apakah boleh bagi rasul salah dalam tablighnya,
dan berkali-kali melakukan kesalahan?"
Permasalahan mengenai siksa kubur berbeda dengan permasalahan
penyerbukan kurma; sehingga bila Rasulullah saw salah dalam masalah tersebut,
beliau saw bisa berkata, "Kalian lebih mengerti urusan kalian." Persoalan adanya
siksa kubur menyangkut persoalan kemurnian agama Islam. Masalah ini juga
berhubungan dengan masalah ghaib. Tak seorangpun bisa memahami alam ghaib,
kecuali ada keterangan dari Allah swt. Bila Rasulullah saw ditanya perkara semacam
ini, beliau tidak memberikan jawaban, sampai datangnya wahyu dari Allah swt.
Sebagian ‘ulama dan ahli ilmu menyatakan, bahwa “pertentangan nash-nash ini
sangat sulit untuk dikompromikan ”. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa hadits
'Aisyah dengan wanita Yahudi harus ditolak dirayahnya (dari sisi matannya).
Langkah ini mereka tempuh untuk menghindari penakwilan-penakwilan yang justru
telah menyimpang dan bertentangan dengan nash-nash yang qath’iy tsubutnya.
Walhasil, kami berpendapat bahwa nash-nash yang berbicara tentang siksa
kubur, dalalahnya tidak qath'iy, baik siksa kubur yang berhubungan dengan ruh
saja, atau ruh dan jasad. Ibnu Hajar berkata," Pengarang (Bukhari) tidak
mengingkari penjelasan mengenai adzab kubur yang menimpa atas ruh saja, atau
atas ruh dan jasad. Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat yang sangat
masyhur di kalangan para 'ulama mutakalimin. Masalah ini seakan-akan telah
ditinggalkan. Sebab, dalalah yang ditunjukkan tidak qath'iy (pasti). Tidak ada nash
yang menunjukkan secara pasti, yang mengarah pada salah satu dari dua
penunjukkan itu (ruh saja, atau ruh dan jasad). Walhasil, tidak satu hukum saja
yang bisa diambil dalam masalah ini. Dan cukuplah dengan adanya perbedaan
pendapat dalam masalah ini, yakni orang (yang berpendapat) menafikan sama sekali
'adzab kubur, sebagaimana orang-orang Khawarij dan sebagian 'ulama Mu'tazilah
semisal, Dlarar bin 'Amru, Basyar al-Marisiy; dan orang yang menerima adanya
siksa kubur". [Fath al-Baariy, juz.3, hal. 180]. Ibnu Hajar menyambung, "Ibnu
Haram dan Ibnu Habirah menyatakan bahwa persoalan ini terjadi pada ruh saja,
tidak menimpa pada jasad. Jumhur 'ulama menolak pendapat ini dan berkata,
"..terjadi pada ruh dan jasad." Kompromi dari dua pendapat ini adalah, siksa kubur
itu hanya terjadi pada ruh saja. Adapun mengenai mayit yang bersaksi dalam
kuburnya, ini adalah masalah yang berbeda, dan (juga) tidak berhubungan dengan
diamnya mayit di kubur, atau yang lain, atau sempit atau luasnya kubur mereka.
"[hal.182].
Adapun firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi
dan petang" (al-Ghafir:46), dalalahnya tidak pasti (qath'iy). Ayat ini memberikan
arah pengertian bahwa penyiksaan itu ada yang terjadi sebelum hari kiamat. Namun
ada pula ayat yang memberikan arah pengertian yang bertentangan, yakni, siksa itu
hanya akan terjadi pada hari kiamat. Nash-nash seperti ini cukup banyak. Allah
swt berfirman dalam surat al-Kahfi, "..kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami
kumpulkan mereka itu semuanya. Dan kami nampakkan Jahannam pada hari itu
kepada orang-orang kafir dengan jelas." (18:99-100).

Penjelasan Tentang Surat al-Ghafir:46, Beserta Jalan Komprominya


Allah swt telah berfirman, artinya, "Kepada mereka dinampakkan neraka
pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan
petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada
malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras."
(al-Ghafir:46)
Sebagian orang berpendapat bahwa kata "yaum taquumu al-saa’ah” (hari
kiamat) yang disambungkan pada kata "ghadwan wa ghasyiyyan" (pada pagi dan
petang) adalah dua hal yang terjadi pada dua keadaan yang berbeda. Mereka
menyatakan, bahwa neraka yang ditampakkan pada “pagi dan petang” itu terjadi
sebelum hari kiamat, bukan terjadi pada hari kiamat. Dengan penjelasan semacam
ini, mereka ingin berdalil dengan ayat ini, bahwa siksa itu bisa saja terjadi sebelum
hari kiamat, yakni adanya siksa kubur. Pendapat ini tidak tepat. Sebab 'athaf tidak
selalu menunjukkan dua keadaan yang berbeda (terpisah). Misalnya, Allah swt
berfirman, "Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah)
di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (al-Zukhruf:84).
Seandainya wawu 'athaf selalu menetapkan bahwa ma'thuf (yang disambung)
berbeda (terpisah) sama sekali dengan ma'thuf 'alaihi (yang menyambung), maka
ayat tersebut (al-Zukhruf) memiliki makna bahwa ilah (sesembahan) di langit
berbeda (terpisah) dengan ilah di bumi. Maha Suci Allah Tidak ada Tuhan selain Dia.
Walhasil, firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi
dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang
sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada
malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras."
(al-Ghafir:46); harus dibawa kepada pengertian, bahwa neraka akan ditampakkan
kepada mereka setelah peniupan sangkakala pada awal terjadinya hari kiamat Pada
saat itulah, awal terjadinya 'adzab (siksa). Selanjutnya, mereka dimasukkan ke
dalam siksa yang sangat pedih.
Namun demikian, hadits shahih yang meriwayatkan tentang adanya siksa
kubur jumlahnya sangat banyak. Ibnu Hajar menyatakan, "Ada hadits-hadits yang
meriwayatkan tentang siksa kubur selain hadits-hadits ini (kemudian ia menyebut
enam buah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada bab ini), sebagian
diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Abu Ayyub, Said, Zaid bin Arqam,
Ummu Khalid dalam shahih Bukhari Muslim atau di salah satu dari keduanya; juga
dari Jabir, Abu Sa'id menurut Ibnu Mardawaih, dari 'Umar, 'Abd al-Rahman bin
Hasanah, dan 'Abd al-Amru menurut Abu Dawud, dan dari Ibnu Mas'ud menurut al-
Thahawiy, dari Abu Bakrah, Asma' bin Yazid menurut al-Nasaiy, dan dari Ibnu
Mubasysyir menurut Ibnu Abi Syaibah, dan dari selain mereka." [Fath al-Baariy;
juz.III, hal.186]
Sebagian 'ulama menyatakan, bahwa hadits ini telah mencapai derajat
mutawatir. Seandainya tidak ada nash-nash yang saling bertentangan, sungguh
kami juga akan menyatakan bahwa hadits tentang siksa kubur mutawatir. Akan
tetapi nash-nash tersebut “bertentangan” sehingga menurunkan derajat
kemutawatirannya. Sebab, kemutawatiran sebuah khabar tidak hanya disandarkan
kepada jumlah yang banyak saja. Namun, ada persoalan lain yang lebih penting,
yakni menyelamatkan khabar dari pertentangan. Kemutawatiran sebuah khabar bisa
diragukan, jika maknanya saling bertentangan. Imam Al-Amidy berkata, "Para
‘ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah minimal yang dapat
menghasilkan 'ilmu (kepastian). Sebagian menyatakan, 5 orang. Sebab, , jika
kurang dari lima orang, misalnya, empat orang saksi yang bersaksi dalam masalah
syari'ah, maka qadli boleh menetapkan hukum berdasarkan kesaksian empat orang
yang bersepakat pada suatu tujuan yang dzanniy. Seandainya 'ilmu (kepastian)
dihasilkan dari pendapat empat orang, mengapa bisa terjadi seperti itu (ada
kesepakatan dalam hal yang dzanniy)? Qadli Abu Bakar memutuskan bahwa empat
adalah jumlah yang kurang. Beliau juga masih meragukan lima orang. Sebagian
'ulama menyatakan jumlah minimal perawi adalah 12 orang, ada pula yang
menyatakan paling sedikit 20. Ada pula yang menyatakan 40, 70, 313. Ada pula
yang menyatakan bahwa jumlah minimal yang mengantarkan ilmu hanya diketahui
oleh Allah, dan kita tidak mengetahui. Dan ini yang terpilih. "[al-Amidiy, Al-Ihkaam fi
Ushuul al-Ahkaam, juz.II/39] Beliau menambahkan, "Di samping jumlah, jaminan
kemutawatiran sebuah berita adalah ilmu yang dihasilkan oleh perkataan para
pembawa berita (rawi), bukan ilmu yang dihasilkan oleh jumlah tertentu." Kemudian
beliau menyatakan lagi, "Oleh karena itu, kami berpendapat, bahwa jaminan
mutawatir adalah ilmu yang dihasilkan dari sebuah berita. Berita yang tidak
menghasilkan ilmu tidak boleh dijadikan sandaran untuk berdalil. Sebab, dalilnya
sendiri telah jatuh ke dalam wijdaan (persangkaan). Ini adalah syarat-syarat yang
telah diakui keabsahannya untuk menetapkan kemutawatiran sebuah berita."
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad, dll
dari 'Aisyah ra, tentang perempuan Yahudi, menyatakan dengan jelas, bahwa
Rasulullah saw menafikan adanya siksa kubur bagi manusia di alam barzakh
sebelum hari kiamat. Kemudian, datang wahyu kepada beliau dan mengabarkan
bahwa siksa kubur adalah haq (benar). Hadits ini pun, maudlu'nya masih
mengandung perselisihan.

Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Tentang Penangguhan Siksa Hingga Hari


Kiamat
Al-Quran telah menyatakan,"Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad)
mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim.
Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu
itu mata (mereka) terbelalak." (14:42). Ayat ini ma'udlu'nya juga masih
mengandung perselisihan. Ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Allah
swt memberi tangguh siksa atas orang-orang yang dzalim hingga hari kiamat.
Sebab, yang dimaksud dengan “hari dimana mata mereka terbelalak” adalah hari
kiamat. Ayat-ayat yang senada dengan ayat tersebut, adalah,
"Jikalah Allah menghukum manusia karena kedzalimannya, niscaya tidak
akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi
Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila
telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat
mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya." (al-
Nahl:61).
"Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya
Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makluk yang
melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan mereka) sampai waktu
yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Melihat (keadaan) hamba-hambaNya." [35:45]. Al-Ajal al-Musammay (waktu
yang ditentukan) adalah hari kiamat.
Secara qath’iy, ayat-ayat ini menunjukkan adanya penangguhan siksa hingga
hari kiamat. Sebab, dalalah yang ditunjukkan oleh ayat-ayat di atas adalah qath'iy.
Akan tetapi, ada hadits-hadits shahih yang mengkhususkan pengertian ayat
tersebut. Hadits-hadits tersebut menjelaskan, bahwa Allah swt telah mendahulukan
beberapa siksa, sebagian diwujudkan di dunia, sebagian lagi diwujudkan di akherat;
dan sebagian besar lagi kelak di hari akhir. Mengkhususkan pengertian yang ada di
dalam al-Quran dengan sunnah, adalah perkara yang telah disepakati. Walhasil,
seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa ayat-ayat tersebut –yang berbicara
tentang penangguhan siksa-- tidak mungkin dikompromikan dengan hadits-hadits
tentang siksa kubur. Selain itu, hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur
tidak boleh ditolak dirayahnya, hanya karena “bertentangan dengan ayat-ayat
tersebut di atas”. Akan tetapi, harus dibawa kepada takhsiish al-quran bi al-
Sunnah.

Penjelasan Tentang Surat Yasiin ; 51-52


Allah swt, "Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan
segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, "Aduhai
celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami
(kubur)? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-
RasulNya." (Yasiin:51-52). Mau'dlu' ayat ini pun masih mengandung keraguan.
Ayat ini menggambarkan, bahwa orang-orang yang ada di dalam kubur, berada
dalam kondisi tertidur. Ayat ini tidak menunjukkan, bahwa mereka terjaga (tidak
tidur) di dalam kubur, atau dalam kondisi terkena siksa. Walhasil, ayat ini telah
menafikan adanya siksa di dalam kubur. Mengkompromikan ayat ini dengan hadits-
hadits yang berbicara tentang siksa kubur --dengan jalan mentakhshih ayat ini
dengan hadits-hadits tentang siksa kubur yang telah kami sebutkan sebelumnya--
adalah perkara yang sangat sulit. Sebab, kami tidak mendapatkan hadits shahih
yang menjelaskan adanya masa jeda barzakh yang menceritakan tentang adanya
siksa kubur dan kondisi bahwa si mayat tidak tidur di dalam kuburnya.
Sebagian shahabat dan tabi'in berdiam diri terhadap ayat ini dan hadits-
hadits tentang siksa kubur. Imam Ibnu Katsir menyatakan, "Ubay bin Ka'ab,
Mujahid, Hasan, dan Qatadah ra berkata, "Mereka tidur sebelum hari kiamat."
Qatadah berkata, "Hal itu itu terjadi diantara dua tiupan, sehingga mereka
mengatakan, "Siapakah yang membangkitkan kami dari tidur kami." Kompromi
semacam ini dianggap sebagai jalan keluar.
Walhasil, pendapat yang menyatakan, " Pertentangan antara ayat ini dengan
hadits-hadits tentang siksa kubur, tidak mungkin dikompromikan dengan berbagai
bentuk kompromi”, adalah pendapat yang tidak tepat. Argumen semacam ini tidak
bisa diterima. Seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa hadits tentang siksa kubur
harus ditolak dirayahnya karena bertentangan dengan ayat ini.

Penjelasan Tentang Surat al-Ruum:55


Ayat lain yang berbicara tentang penangguhan siksa sebelum hari akhir,
adalah surat al-Ruum:55. Al-Quran telah menyatakan, "Dan pada hari terjadinya
kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, "mereka tidak berdiam (dalam
kubur) melainkan sesaat saja." (al-Ruum:55). Namun, maudlu' ayat ini juga
mengandung keraguan. Yang menjadi pertanyaan adalah, dimanakah orang-orang
yang berdosa itu tinggal pada waktu yang sangat singkat itu – seperti yang telah
disampaikan oleh para pendosa itu? Sebagian ahli tafsir berkata, “Yang mereka
maksud adalah tinggal di dalam kubur. Sebagian ahli tafsir lain menyatakan, bahwa
yang mereka150 maksud adalah tinggal di dalam kehidupan dunia. Ada sebagian ahli
tafsir yang menyatakan bahwa, yang mereka maksud adalah tidur, yakni mereka
tidur diantara dua tiupan; antara tiupan yang mematikan seluruh makhluk, dan
tiupan pada saat hari kebangkitan (qiyamah). Waktunya sekitar 40 tahun menurut
sebagian atsar.
Orang yang mengambil penafsiran pertama akan menyatakan, bahwa ketika
hari kiamat orang-orang yang berdosa itu bersumpah, bahwa mereka tinggal di
dalam kuburnya dalam waktu yang sangat singkat, yakni sejak kematiannya sampai
terjadinya hari kebangkitan. Orang yang mengambil penafsiran ini akan
mendapatkan kesulitan. Jika mereka menafsirkan seperti itu, ia justru akan
membawa ke arah pengertian, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidak
mendapatkan siksa di dalam kuburnya. Sebab orang yang dikenai siksa di dalam
kuburnya, akan merasakan waktu yang sangat panjang.151 Pendapat semacam ini
tidak berarti menerima qiyas yang ghaib (tidak nampak) atas yang syahid (nampak);
atau mengqiyaskan siksa kubur atas siksa dunia, akan tetapi nash itu sendiri yang
menunjukkan pengertian tersebut.
Jika kita mengambil penafsiran kedua atau ketiga, bahwa orang-orang yang
berdosa itu tinggal di dunia (penafsiran ke dua), atau mereka tinggal diantara dua
tiupan (penafsiran ke tiga), maka hal itu bukanlah perkara yang sulit. Akan tetapi,
qarinah di dalam ayat itu dengan jelas menunjukkan bahwa mereka berdiam di
dalam kubur mereka, sejak kematian mereka hingga hari kiamat, bukan tinggal di
dunia. Qarinah ini terdapat pada ayat sesudahnya. Allah berfirman, "Dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang
kafir):"Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah,
sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu, akan tetapi kamu selalu
tidak menyakininya." (30:56).
Berdasarkan qarinah yang ditunjukkan oleh ayat ini, kalangan ahli 'ilmu dan
iman menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di dalam kuburnya
hingga hari kiamat, bukan berdiam di kehidupan dunia. Orang yang menafsirkan,
bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di kehidupan dunia telah mengambil
penafsiran yang salah.
Penafsiran yang menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur
diantara dua tiupan, adalah penafsiran yang tidak kuat. Bahkan, penafsiran
semacam ini tidak bisa dikompromikan. Sebab, ia tidak didasarkan pada nash-nash
syara'.
Namun, demikian agar kita keluar dari kesulitan ini, maka kami mengambil
jalan keluar, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan
sangkakala, dan mereka tidak tinggal di dalam kuburnya melainkan dalam waktu
yang sangat singkat --sesaat di dalam tidurnya saja.
Hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur adalah shahih. Hadits-
hadits itu masih mungkin untuk dikompromikan dengan ayat-ayat Quran yang
maknanya terlihat kontradiksi. Seorang Muslim tidak boleh mengingkari hadits-
hadits tersebut. Mengingkari hadits-hadits itu sama artinya mengingkari hadits
shahih. Ini adalah perbuatan dosa. Sebab, mengingkari hadits shahih akan
mengakibatkan tersia-sianya amal.
150
Mereka di sini adalah orang-orang berdosa yang bersumpah ketika hari kiamat bahwa
mereka tidaklah berdiam diri di dalam kubur, melainkan sesaat saja. Lihat dalam surat al-
Ruum;55.
151
Sebab, pada ayat 55 surat al-Ruum, para pendosa bersumpah bahwa mereka tidak
tinggal di kuburnya kecuali sesaat saja (pendek waktunya). Jika mereka di siksa di
kuburnya dengan siksa yang pedih, maka seharusnya mereka akan merasakan waktu yang
demikian lama di kuburnya, karena mereka begitu menderita dalam kuburnya.
Namun demikian, dilalah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits siksa kubur
adalah dzanniy. Keimanan seorang Muslim tidak boleh didasarkan kepada nash-
nash yang tsubut dan dilalahnya dzanniy. Sebab, iman menuntut adanya
pembenaran yang bersifat pasti. Pembenaran yang tidak sampai ke derajat pasti,
tidak akan mengantarkan kepada keyakinan, atau keimanan.
Demikianlah, anda telah dijelaskan dengan gamblang, bahwa hadits-hadits
yang berbicara tentang siksa kubur, dilalahnya tidaklah qath’iy. Seandainya hadits-
hadits tentang siksa kubur mutawatir dan tidak ada pertentangan makna dengan
riwayat-riwayat mutawatir lainnya, tentu kita harus mengimani keberadaannya
tanpa ada keraguan sedikitpun. Allahul Haadiy wal Muwaffiq ila Aqwaamith Thaariq

Anda mungkin juga menyukai