Hadits Ahad
Hadits Ahad
‘AQIDAH ISLAMIYYAH
1
Mohammad Ibnu Abiy Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401
H/1971 M, hal. 444. Bila dikatakan i’taqada fulaan al-amr (seseorang telah beri’tiqad
terhadap suatu perkara), maknanya adalah, shadaqahu, wa ‘aqada ‘alaihi qalbuhu, wa
dlamiiruhu, (seseorang itu telah membenarkan perkara tersebut, hatinya telah
menyakininya, dan ia bersandar kepada perkara tersebut). Lihat al-Mu’jam al-Wasith, jilid
I, bab ‘aqada.
2
Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743
3
Al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, hal. 113
4
Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 35
5
Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 290.
6
'Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsariy, al-Wajiz fii 'Aqiidah Salaf al-Shaalih (Ahlu al-
Sunnah wa al-Jama'ah), juz 1, hal. 11
7
Al-Quran, Yusuf:17.
Imam al-Jurjani di dalam kitab al-Ta'rifaat menyatakan, "Secara literal, iman
adalah tashdiiq al-qalb (pembenaran dalam hati). Sedangkan menurut syariat, iman
adalah al-i'tiqaad bi al-qalb wa al-iqraar bi al-lisaan (keyakinan dalam hati dan
diucapkan dengan lisan)".8
Makna iman adalah tashdiq (pembenaran). Dalam kitab al-Tahdzib,
disebutkan bahwa iman berasal dari kata amana - yu'minu- îmânan, yang artinya
membenarkan. Ahli bahasa sepakat bahwa iman bermakna tashdiq (pembenaran).
Di dalam Kitab al-Ta'riifaat disebutkan, "al-'ilmu adalah I'tiqaad al-jaazim al-
muthaabiq li al-waaqi' (ilmu (keyakinan) adalah keyakinan pasti yang sejalan
dengan realitas)"…Ada pula yang mendefinisikan ilmu dengan memahami hakekat
yang terkandung di dalam sesuatu". Ada pula yang mengartikannya dengan
hilangnya kesamaran dari sesuatu yang hendak diketahui; dan lawannya adalah al-
jahlu (kebodohan)".9
Lawan dari yaqin (atau ‘ilmu dan iiman) adalah dzan.10 Menurut bahasa, dzan
bermakna tahammuh (prasangka/dugaan).11 Al-Jurjaniy, dalam Kitab al-Ta'riifaat,
menyatakan, "al-Dzann adalah i'tiqaad al-raajih ma'a ihtimaal al-naqiidl (keyakinan
kuat yang disertai dengan kemungkinan adanya kontradiksi". Kata "al-dzann" juga
digunakan dengan makna "al-yaqiin (yakin) dan al-syakk (ragu)". Ada pula yang
menyatakan, dzann adalah dua sisi yang sama-sama rajih, tapi salah satu sisinya
meragukan".12
Imam Zamakhsyariy berkata, “Bi’r dzannuun: la yutsaaq bi maa’iha.[Sumur
yang meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa dipercaya]; rajul dzannuun: la
yutsaaq bi khabarihi [laki-laki yang meragukan adalah laki-laki yang beritanya tidak
bisa dipercaya].”13
Di dalam Kamus al-Muhiith disebutkan, "Al-dzann : al-taraddud al-raajih bain
tharaf al-i'tiqaad al-ghair al-jaazim (Dzann adalah prasangka kuat di antara sisi
keyakinan yang tidak pasti".14
Di dalam Kamus Taaj al-'Uruus min Jawaahir al-Qamuus disebutkan, "
Dituturkan dari 'Ali al-Syaraf al-Dimyaathiy, bahwasanya dzann adalah al-taraddud
al-raajih bain tharaf al-i'tiqaad al-ghair al-jaazim (Dzann adalah sebuah prasangka
kuat di antara sisi keyakinan yang tidak pasti. Al-Manawiy menyatakan; dzann
adalah al-i'tiqaad al-raajih ma'a ihtimaal al-naqiidl (dzann adalah keyakinan kuat
yang disertai kemungkinan adanya kontradiksi) ".15
Di dalam Tafsir Qurthubiy disebutkan, "Dituturkan dari Imam al-Anbariy dari
Yahya bin Ahmad al-Nahwiy, bahwasanya orang-orang Arab menggunakan kata
dzann dengan pengertian al-'ilm (keyakinan), al-syakk (keraguan), dan al-kadzb
(kedustaan). Jika bukti-bukti yang menyakinkan lebih banyak daripada bukti-bukti
yang meragukan, maka dalam konteks semacam ini, al-dzann bermakna ilmu
(yakin). Namun, jika bukti-bukti yang menyakinkan setara dengan bukti-bukti yang
8
Imam al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal. 12
9
Imam al-Jurjaniy, al-Ta'riifaat, juz 1, hal. 49
10
Al-Raghib al-Isfahaaniy, Mufradaat al-Faadz al-Quran, hal.327
11
Dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah disebutkan; kata dzan kadang-kadang digunakan
dengan makna al-‘ilmu (yaqiin) [lihat juga Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-
Ahkaam, hal 218]. Fathi Mohammad Salim menyatakan; kata "dzann" adalah keyakinan
kuat yang masih mengandung makna yang berlawanan. Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah,
hal. 406. Kata "dzan" kadang-kadang digunakan dengan makna yaqiin dan syakk
(keraguan). [lihat Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq,
1414 H/199 M , hal. 20].
12
Al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal. 46
13
Asaas al-Balaaghah, hal. 303
14
Al-Fairuz al-Abadiy, al-Qamus al-Muhiith, juz 3, hal. 345
15
Al-Zaabidiy, Taaj al-'Uruus min Jawaahir al-Qamuus, juz 1, hal. 8012
meragukan, maka dzann di sini bermakna al-syakk. Dan jika bukti yang meragukan
lebih kuat dibandingkan bukti yang menyakinkan, maka dzann semacam ini
bermakna al-kadzb (kedustaan)."16
Di dalam kitab al-Ta'riifaat, al-Jurjaniy menyatakan, "al-Syakk (keraguan)
adalah dua makna kontradiktif yang salah satu maknanya tidak bisa dikuatkan. Ada
pula yang menyatakan; al-syakk adalah dua sisi yang kontradiktif sama-sama
kuatnya. Dengan kata lain, al-syakk adalah abstain terhadap dua perkara yang hati
tidak bisa condong ke salah satunya. Jika ada salah satu makna (dari dua makna
kontradiktif itu) ada yang lebih kuat, maka ini disebut dengan dzann".17
Al-Shaahib ibn al-'Ibaad di dalam al-Muhiith fi al-Lughah menyatakan, "al-
Dzann bisa bermakna al-syakk dan yaqiin. Firman Allah swt, "Wa dzannuu an laa
malja`a min al-Allah illa ilaihi", maka dzann di sini bermakna yaqiin wa al-'ilm".18
Adapun penggunaan kata "dzann" beserta maknanya dapat dilihat pada bab
selanjutnya.
16
Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 2, hal. 6
17
Al-Jurjaniy, al-Ta'riifaat, juz 1, hal. 41
18
Al-Shaahib bin 'Ibaad, Al-Muhiith fi al-Lughah, juz 2, hal. 387
19
Prof. Mahmud Syaltut, Islam; 'Aqidah wa Syari'ah, ed. III, Daar al-Qalam, 1966,
hal.56. Lihat juga, Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq,
1414 H/199 M , hal. 22.
20
Imam al-Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 1, hal. 60
21
Imam al-Nasafiy, Al-'Aqâid al-Nasafiyyah, hal. 27-43
22
Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr, jilid.I, hal. 40
23
Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49
24
Imam Al-Ghazali, Iljâm al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalâm, hal. 112
Di dalam Kitab al-Wajiz fii 'Aqiidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaa'ah dinyatakan,
"Secara istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan
menentramkan jiwa, sehingga perkara-perkara tersebut menjadi sebuah keyakinan
yang tidak disusupi oleh keraguan dan bercampur dengan persangkaan (al-syakk).
Dengan kata lain, 'aqidah adalah keimanan pasti (al-iiman al-jaazim) yang tidak
dihinggapi keraguan pada diri orang yang menyakininya; dan ia harus sesuai dengan
kenyataan, tidak mengandung keraguan dan persangkaan. Dan jika sebuah
keyakinan tidak mencapai taraf al-iiman al-jaazim (iman yang pasti), maka perkara
itu tidak dinamakan dengan aqidah. Disebut 'aqidah karena, manusia akan
mengikatkan hatinya kepada perkara tersebut (aqidah)"25.
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, "Aqidah adalah sudut pandang yang harus
diimani pertama kali, sebelum mengimani yang lain, dengan keimanan yang tidak
disusupi keraguan, dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran. Secara tabi'iy, 'aqidah
ditetapkan berdasarkan nash-nash yang jelas (qath'iy) yang jumlahnya sangat
banyak (mutawatir)..".26
Dr. Mohammad Husain 'Abdullah menyatakan, "'Menurut istilah, 'aqiidah
adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta
kehidupan sebelum dunia dan sesudahnya, dan keterkaitannya (alam semesta,
kehidupan, dan manusia ) dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Pemikiran
menyeluruh inilah yang akan mengurai simpul besar (masalah besar) yang lahir dari
pertanyaan manusia mengenai; siapa yang menciptakan seluruh eksistensi ini dari
ketiadaannya; dan untuk apa hidup di dunia, dan ke mana tempat kembali
manusia?".27
Imam Fakhruddin al-Raziy berkata, "Para ahli kiblat berbeda pendapat dalam
mendefinisikan iman menurut konteks syariat. Mereka terbagi menjadi empat
kelompok. Kelompok pertama berpendapat; iman adalah sebutan untuk
perbuatan-perbuatan hati dan anggota badan, serta pengakuan dengan lisan.
Pendapat ini dipegang oleh Mu'tazilah, Khawarij, Ziyadiyyah, dan Ahli Hadits.
Sedangkan kaum Khawarij sepakat bahwa iman kepada Allah mencakup juga
makrifat kepada Allah dan makrifat pada semua perkara yang telah ditetapkan Allah
dengan dalil aqliy maupun naqliy dari al-Quran dan Sunnah. Iman kepada Allah
mencakup juga taat kepada Allah dalam semua perkara yang diperintahkan Allah
dan meninggalkan semua dosa, baik kecil maupun besar. Selanjutnya, kumpulan
dari seluruh perkara di atas adalah iman, dan meninggalkan salah satu bagian dari
bagian-bagian tersebut adalah kekufuran. Sedangkan Mu'tazilah bersepakat bahwa
kata iman menjadi "muta'addiy" 28 dengan adanya huruf "ba'"; dan maknanya adalah
tashdiiq. Oleh karena itu dinyatakan: fulaan aamana billahi wa birasuulihi; dan
maksudnya adalah al-tashdiiq (pembenaran). Sebab, iman tidak mungkin bermakna
"melaksanakan kewajiban-kewajiban" jika sudah dalam bentuk muta'addiy. Atas
dasar itu, tidak mungkin dinyatakan si fulan telah beriman bila ia telah sholat dan
puasa; akan tetapi mesti dinyatakan si fulan telah beriman kepada Allah,
sebagaimana dinyatakan si fulan puasa dan sholat karena Allah. Kata iman yang
menjadi muta'ddiy dengan adanya huruf "ba'" merupakan konsensus para ahli
bahasa. Adapun, jika kata iman disebut secara mutlak tanpa dita'addikan, maka
para ahli bahasa sepakat bahwa kata tersebut telah dipindahkan dari makna
literalnya, yakni al-tashdiiq (pembenaran), ke makna yang lain. Kemudian, mereka
25
'Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsariy, Al-Wajiiz fii 'Aqiidah Salaf al-Shaalih, juz 1, hal.
11-13
26
Prof Mahmud Syaltut, al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12.
27
Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 35
28
Yang disebut muta'addiy adalah "membutuhkan obyek" agar maknanya menjadi
sempurna. Fi'il muta'addiy (kata kerja muta'addiy) adalah kata kerja yang membutuhkan
obyek (maf'ul bihi).
berselisih pendapat dari beberapa sisi: pertama, ada yang berpendapat bahwa iman
adalah ungkapan dari "melaksanakan seluruh ketaatan, baik yang berhukum wajib
maupun mandub, atau hanya berkaitan dengan perkataan-perkataan, atau
perbuatan-perbuatan, atau keyakinan-keyakinan (i'tiqadaat). Ini adalah pendapat
dari Washil bin 'Atha', Abu al-Hudzail, dan Qadliy 'Abdul Jabar bin Ahmad. Kedua,
iman merupakan ungkapan dari perbuatan-perbuatan wajib saja, tidak untuk
perbuatan sunnah. Ini adalah pendapat Abu 'Ali dan Abiy Hisyam. Ketiga; iman
adalah ungkapan dari "penjauhan diri dari semua perkara yang di dalamnya terdapat
ancaman (siksa). Menurut Allah, mukmin adalah siapa saja yang menjauhi semua
dosa besar, dan mukmin menurut kita adalah setiap orang yang menjauhi perkara-
perkara yang di dalamnya terdapat ancaman (siksa). Ini adalah pendapat al-
Nadzam. Sebagian pengikut al-Nadzam berpendapat, syarat mukmin menurut kita
dan Allah adalah menjauhi semua dosa besar. Adapun ahli hadits; mereka
mengetengahkan dua pendapat. Pertama: sesungguhnya makrifat adalah keimanan
yang sempurna, dan ia adalah perkara yang mendasar (pokok). Setelah itu, setiap
ketaatan adalah keimanan pada batas tertentu. Ketaatan-ketaatan ini tidak bisa
menjadi keimanan kecuali jika disandarkan kepada pokoknya, yakni makrifat.
Mereka berkeyakinan, bahwa penolakan dan pengingkaran hati adalah kekufuran.
Setelah itu, setiap kemaksiyatan yang dilakukan setelahnya adalah kekufuran pada
batas-batas tertentu. Mereka tidak menjadikan setiap ketaatan sebagai sebuah
keimanan selama tidak ada makrifat dan pengakuan, dan mereka tidak menjadikan
setiap kemaksiyatan sebagai kekufuran, selama tidak ada penolakan dan
pengingkaran. Sebab, perkara yang cabang tidak akan berarti tanpa keberadaan
asalnya. Ini adalah pendapat 'Abdullah bin Sa'iid bin Kalaab. Kedua; mereka
berkeyakinan bahwa iman adalah sebutan untuk ketaatan secara menyeluruh, dan ia
adalah keimanan yang satu. Mereka menjadikan seluruh perkara fardlu dan nawaafil
bagian dari keseluruhan iman. Siapa saja meninggalkan satu perkara fardlu maka
tanggallah imannya, sedangkan orang yang meninggalkan nawaafil, tidak tanggal
imannya. Sebagian dari mereka berpendapat; iman adalah sebutan untuk
kewajiban saja, bukan untuk nawaafil. Kelompok kedua;mereka yang
berpendapat; iman itu di dalam hati dan lisan secara bersamaan. Hanya saja,
mereka terbagi lagi menjadi beberapa pendapat. Pertama; iman adalah pengakuan
lisan dan makrifat dengan hati. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan
mayoritas ahli fikih. Lalu, mereka berbeda pendapat dalam dua topik; pertama;
mereka berselisih pendapat mengenai "apa hakekat dari makrifat itu". Sebagian
dari mereka mengartikan makrifat dengan "i'tiqaad al-jaazim" (keyakinan pasti),
sama saja apakah keyakinan itu diperoleh dengan jalan taqlid (i'tiqaad taqliidiyyan)
maupun dari ilmu (keyakinan) yang bersumber dari dalil. Dan mayoritas di antara
mereka menghukumi muqallid (dalam hal iman) sebagai seorang Muslim. Sebagian
lagi mengartikan makrifat dengan ilmu (keyakinan) yang lahir dari istidlaal
(penalaran terhadap dalil). Kedua, mereka berbeda pendapat dalam hal, "ilmu
(keyakinan) yang dianggap bisa mewujudkan iman itu ilmu (keyakinan) terhadap
apa? Sebagian ahli kalam berpendapat; itu adalah ilmu (keyakinan) terhadap Allah
dan SifatNya secara sempurna dan lengkap. Lalu, perbedaan pendapat dalam hal
Sifat Allah swt telah mengantarkan mereka saling mengkafirkan satu dengan yang
lain. Ahlu al-Inshaaf berpendapat; ilmu (keyakinan) yang diakui di sini adalah ilmu
(keyakinan) terhadap setiap perkara yang telah diketahui secara dlaruriy termasuk
bagian dari agama Mohammad saw. Berdasarkan pendapat ini, maka keyakinan
terhadap keberadaan Allah apakah Ia mempunyai Sifat Mengetahui karena Dzatnya
sendiri, atau karena adanya Sifat Tambahan, dan lain sebagainya, bukanlah
termasuk bagian dari iman. Pendapat kedua: sesungguhnya, iman adalah tashdiiq
bi al-qalb wa al-lisaan ma'an (keimanan adalah pembenaran dengan hati dan lisan
secara bersamaan). Ini adalah pendapat Basyar bin Ghiyaats al-Muriisiy, Abu Hasan
al-'Asy'ariy. Yang dimaksud dengan tashdiiq bi al-qalb adalah perkataan yang
berdiri sendiri. Pendapat ketiga; pendapat dari sebagian ahlu sufi: iman adalah
pengakuan dengan lisan dan keikhlasan dalam hati. Kelompok ketiga; orang yang
berpendapat bahwa iman adalah ungkapan dari perbuatan hati saja. Mereka terbagi
lagi menjadi dua pendapat; pertama; iman adalah ungkapan dari makrifat kepada
Allah dengan hati; sehingga, siapa saja yang telah makrifat kepada Allah dengan
hatinya, kemudian ia mengingkari dengan lisannya dan mati sebelum sempat ia
mendekatkan diri dengan Allah, maka orang itu adalah Mukmin sejati. Ini adalah
pendapat Jahm bin Shofwaan. Adapun makrifat terhadap Kitab-kitab Suci, Rasul-
rasul, hari akhir, mereka berkeyakinan bahwa masalah ini bukan termasuk dalam
batas-batas iman. Al-Ka'biy menuturkan dari Jahm, bahwasanya iman adalah
makrifat kepada Allah dan makrifat terhadap semua perkara yang secara dlaruriy
termasuk bagian dari agama Nabi Mohammad saw. Kedua: iman adalah
pembenaran dengan hati saja (mujarrad tashdiq al-qalb). Ini adalah pendapat Al-
Husain bin al-Fadlal al-Bajaliy. Kelompok keempat; mereka yang berpendapat
bahwa iman adalah pengakuan dengan lisan saja. Kelompok ini terbagi lagi menjadi
dua. Pertama; yang berpendapat pengakuan dengan lisan adalah iman sajal akan
tetapi pengakuan tersebut baru disebut iman jika telah ada makrifat di dalam hati.
Oleh karena itu, makrifat di dalam hati merupakan syarat agar pengakuan dengan
lisan tersebut dianggap sebagai keimanan, namun makrifat itu sendiri tidak
termasuk dalam sebutan iman. Ini adalah pendapat Ghilan bin Muslim al-Dimasyqiy
dan Fadlal al-Riqaasyiy. Akan tetapi, al-Ka'biy menyanggah pendapat Ghilan ini.
Kedua; iman adalah hanyalah pengakuan dengan lisan saja. Ini adalah pendapat al-
Karaamiyyah. Mereka berkeyakinan bahwa orang munafiq itu Mukmin secara dzahir,
namun kafir secara bathin. Lalu, mereka dihukumi mukmin di dunia, namun kafir di
akherat. Inilah pendapat-pendapat ulama seputar definisi iman menurut konteks
syariat".29
Selanjutnya, setelah menjelaskan panjang lebar seputar masalah iman, Imam
Fakhruddin al-Raaziy mengetengahkan pendiriannya sebagai berikut, "..Jika anda
telah memahami penjelasan pendahuluan ini, maka kami berpendapat bahwa, iman
adalah ungkapan dari pembenaran terhadap semua perkara yang telah diketahui
secara dlaruriy (pasti) bahwa keberadaannya termasuk bagian dari agama (tashdiiq
bi kulli ma 'urifa bi al-dlaruurah kaunuhu min diin); dengan batasan sebagai berikut.
Batasan pertama; iman adalah ungkapan dari tashdiiq (pembenaran). Ini
ditunjukkan oleh hal-hal berikut ini. (1) Sesungguhnya, menurut konteks bahasa
(literal), makna asal dari iman adalah tashdiiq. Seandainya dalam konteks syariat
maknanya berubah menjadi selain makna tashdiiq, berarti orang yang
mengucapkannya sedang berbicara di luar konteks kalamnya (pengucapan) orang
Arab. Hal ini tentunya akan menganulir eksistensi al-Quran sebagai kalamnya orang
Arab. (2) Iman adalah lafadz yang sering diucapkan oleh kaum Muslim. Seandainya
maknanya dipindahkan kepada makna lain di luar konteks aslinya (makna bahasa),
niscaya makna (sebutan) itu akan diketahui secara luas, masyhur, dan bahkan
mencapai derajat mutawatir. Namun, selama kenyataannya tidak seperti itu, maka
kita memahami bahwa iman tetap harus dipahami dalam konteks makna asalnya
(makna bahasa). (3) Kita sepakat bahwa kata iman yang menjadi muta'addiy
dengan penambahan huruf "ba'", maknanya harus dipahami sesuai dengan konteks
asli bahasa (makna literal). Sehingga, jika kata iman tidak menjadi muta'addiy,
maka ia harus dimakna seperti itu juga. (4) Sesungguhnya, ketika Allah swt
menyebut kata iman di dalam al-Quran, Ia menyandarkannya dengan al-qalb (hati).
Allah swt berfirman, " yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut
mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman".[al-Maidah:41];
29
Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 292
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar".
[TQS An Nahl (16):106]; " Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-
anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang
yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka".[TQS Al Mujadilah
(58):22]; "Orang-orang Arab Badwi itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah
(kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk",
karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu".[TQS Al Hujurat (49): 14].
Allah swt setiap kali menyebut kata iman, Ia mengkaitkannya dengan amal
sholeh. Seandainya amal sholeh termasuk bagian dari iman, hal ini pasti akan
disebutkan berulang-ulang. (6) Allah swt kerapkali menyebut iman dan
mengindikasikannya dengan kemaksiyatan. Allah swt berfirman;" Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk".[TQS Al An'aam (6):82]; " Dan jika ada dua
golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain
maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil".[TQS Al Hujurat (49):9]
Ibnu 'Abbas berhujjah dengan surat al-Baqarah:178, " Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh.."[TQS Al Baqarah (2):178], tiga pendapat. Pertama, sesungguhnya
qishash itu hanya diwajibkan atas pembunuh yang melakukan pembunuhan dengan
sengaja. Selanjutnya, Allah swt berfirman, "Ya ayyuhal ladziina aamanuu"; ini
menunjukkan bahwa orang tersebut adalah Mukmin. Kedua, Allah swt berfirman,
"Faman 'ufiya lahu min akhiihi syai'un" (TQS Al Baqarah (2): 178); persaudaran di
sini adalah persaudaraan iman". Ini didasarkan pada firman Allah swt, "Innamaa al-
mukminuun ikhwah" (sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara)". (TQS Al
Hujurat:10). Ketiga, firman Allah swt, "Dzaalika takhfiif min rabbikum wa rahmah"
(ini adalah keringanan dan rahmat dari Tuhan kalian) (TQS Al Baqarah (2): 178);
keringanan dan rahmat ini tentunya tidak akan diberikan kecuali bagi orang Mukmin.
Pengertian senada juga ditunjukkan oleh firman Allah swt, "Walladziina aamanuu wa
lam yuhaajiruu" (TQS Al-Anfaal (8):72). Ayat ini menunjukkan bahwa sebutan iman
tetap diberikan kepada orang yang tidak berhijrah. Padahal, ada ancaman yang
sangat besar atas perbuatan meninggalkan hijrah dalam firman Allah swt surat al-
Nahl :28, dan al-Anfaal:72. Akan tetapi, Allah swt tetap menjadikan mereka sebagai
orang-orang Mukmin. Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah swt, " Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad), karena rasa kasih sayang.."[TQS Al Mumtahanah (60):1]; " Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad)
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui".[TQS Al Anfaal (8):27]; "Hai orang-orang
yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,
mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu.."[TQS At
Tahriim (66):8].
Perintah taubat yang ditujukan kepada orang yang tidak berdosa adalah
sesuatu yang mustahil. Allah swt berfirman, "Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung".[TQS An Nuur
(24):31]
Batasan kedua; iman bukanlah ungkapan dari tashdiiq al-lisaan
(pembenaran perkataan). Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah swt, "
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari
kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman."[TQS Al Baqarah (2):8]. Ayat ini menafikan keimanan mereka.
Seandainya iman kepada Allah adalah ungkapan dari pembenaran lisan, tentunya
penafian di dalam ayat tersebut tidak sah.
Batasan ketiga; iman bukanlah ungkapan dari kemutlakan tashdiiq
(pembenaran terhadap sesuatu secara mutlak). Sebab, orang yang membenarkan
al-Jibt dan al-Thaghut tidaklah disebut orang Mukmin.
Batasan keempat; tashdiq terhadap semua sifat Allah swt tidak termasuk
persyaratan iman. Sebab, Rasulullah saw tetap mengakui keimanan orang yang
tidak mengetahui apakah Allah Mengetahui karena DzatNya sendiri atau karena
IlmuNya. Seandainya tashdiq terhadap semua sifat Allah termasuk syarat
pentahqiqan iman, lalu mengapa Rasulullah saw mengakui keimanan orang tersebut,
padahal beliau saw belum mengujinya apakah ia telah mengetahui semua sifat Allah
atau belum? Ini adalah penjelasan mengenai pentahqiqan iman. Jika ada orang
bertanya terhadap dua buah kasus; kasus pertama; ada orang yang telah
mengetahui Allah sw dengan dalil dan bukti. Setelah pengetahuan itu sempurna,
orang tersebut meninggal, namun ia tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan
kalimat syahadat. Dalam kasus ini, jika orang tersebut anda hukumi Mukmin, maka
anda pun mengakui bahwa pengakuan lisan (iqraar al-lisaan) bukanlah faktor
penentu keimanan. Dan pendapat ini menyalahi konsensus (ijma'). Namun, jika
anda menghukumi dirinya bukan Mukmin, maka inipun bathil; berdasarkan sabda
Rasulullah saw, "Akan keluar dari neraka, setiap orang yang di dalam hatinya ada
keimanan walaupun seberat dzarrah." Qalbu di dalam hadits ini telah berisi iman.
Lantas, bagaimana mungkin ia tidak termasuk orang Mukmin? Kedua, ada orang
yang mengetahui Allah swt berdasarkan dalil, dan ia masih memiliki kesempatan
untuk mengucapkan kalimat syahadat, namun ia tidak mengucapkannya. Jika anda
menyatakan bahwa ia Mukmin, maka ini telah menyalahi konsensus. Jika anda
katakan ia bukan Mukmin, maka perkataan itu bathil, berdasarkan sabda Rasulullah
saw, "Akan keluar dari neraka, setiap orang yang di dalam hatinya ada keimanan
walaupun seberat dzarrah". Padahal, iman itu tidak akan hilang dari hati, meskipun
tidak diucapkan. Jawabnya: sesungguhnya Imam al-Ghazaliy menolak ijma'30 dalam
dua kasus ini. Dan ia menghukumi orang yang berada dalam dua keadaan itu
sebagai orang Mukmin; sedangkan keengganan untuk mengucapkannya
(melafadzkan syahadat) terkategori perbuatan maksiyat setelah hadirnya iman".31
Inilah pendapat-pendapat para ulama mengenai aqidah. Berdasarkan
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, mereka berbeda pendapat dalam
mendefinisikan aqidah serta cakupan-cakupan aqidah. Hanya saja, mereka semua
sepakat bahwa, aqidah merupakan pembenaran yang bersifat pasti, sesuai dengan
realitas, dan ditunjang oleh bukti. Pasalnya, sesuatu tidak dianggap sebagai aqidah
atau keimanan, jika sesuatu itu tidak dibenarkan secara pasti. Aqidah juga harus
sejalan dengan realitas. Untuk itu, suatu keyakinan yang tidak sejalan dengan
realitas juga tidak bisa dianggap sebagai keimanan. Sebab, keyakinan yang tidak
30
Maksudnya, konsensus dalam hal keimanan itu harus diucapkan dengan lisan. Dalam
dua kasus semacam ini, menurut al-Ghazaliy, seseorang tidak boleh dihukumi kafir, alias
tidak Mukmin.
31
Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, 290-294
sejalan dengan realitas (penginderaan) adalah khayalan. 'Aqidah atau keimanan
juga harus ditunjang oleh bukti. Keimanan yang tidak ditunjang oleh bukti akan
mengantarkan pemeluknya kepada taqlid-taqlid yang justru dilarang di dalam Islam.
Keimanan harus didapatkan dengan jalan berfikir mandiri, bukan dengan cara taqlid.
Dengan kata lain, untuk mencapai iman, seseorang mesti melakukan pengamatan,
perenungan, dan penyimpulan secara mandiri.
Kesimpulan
1. Aqidah atau keimanan adalah pembenaran pasti (tashdiq al-jazim) yang
sejalan dengan realitas, dan ditunjang oleh bukti. Untuk itu, aqidah harus
ditetapkan berdasarkan dalil yang menyakinkan, baik dari sisi sumber maupun
penunjukkannya (qath'iy al-tsubut wa qath'iy al-dilaalah). Perkara-perkara yang
tidak ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang sumber dan penunjukkannya tidak
pasti, maka perkara-perkara tersebut tidak boleh dimasukkan dalam perkara
aqidah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, aqidah menuntut adanya
keyakinan pasti tanpa disusupi kesamaran maupun keraguan. Atas dasar itu,
perkara-perkara yang masih mengandung keraguan dan kesamaran tidak
dianggap dalam perkara aqidah. Imam Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim
menyatakan, "Ahlu al-Sunnah dari kalangan ahli hadits, fikih, dan ahli kalam
telah sepakat bahwa seorang mukmin yang dihukumi sebagai ahli kiblat dan
tidak akan kekal di dalam neraka tidak lain tidak bukan adalah seseorang yang
menyakini diinul Islam di dalam hatinya dengan keyakinan yang pasti dan bebas
dari keraguan, dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika salah satu syarat
itu kurang, pada konteks awalnya dia tidak termasuk ahli kiblat. Kecuali, jika ia
tidak mampu mengucapkan kalimat syahadat karena cacat lisannya, atau ia tidak
mungkin mengucapkannya karena keburu meninggal dunia, atau karena sebab-
sebab lain, maka ia tetaplah seorang Mukmin"32.
2. Masalah-masalah yang masih diperselisihkan oleh ulama-ulama kaum Muslim,
dikarenakan dalil-dalilnya yang dzanniy atau maknanya masih mengandung
kesamaran, tidak boleh dimasukkan dalam perkara aqidah. Sebab, perkara
aqidah merupakan perkara pasti yang tidak boleh diperselisihkan maupun
diperdebatkan oleh kaum Muslim. Seandainya, kaum Muslim boleh berbeda
pendapat dalam masalah aqidah, sungguh, akan muncul banyak aqidah
(keimanan) yang saling bertentangan di tengah-tengah kaum Muslim.
Akibatnya, akan terjadi saling mengkafirkan dan menyesatkan sesama Muslim.
Untuk itu, masalah-masalah yang masih didiskusikan dan diperselisihkan oleh
kaum Muslim, tidak boleh dianggap sebagai perkara aqidah yang berimplikasi
kepada keimanan dan kekufuran.
3. Para 'ulama membedakan antara keyakinan dan amal sholeh. Pembedaan ini
tidak ditujukan untuk memisahkan keduanya, akan tetapi untuk menunjukkan
perbedaan karakter keduanya dan implikasi hukum yang diakibatkan oleh
keduanya. Orang yang melanggar pokok-pokok aqidah yang pasti, dihukumi
murtad alias kafir. Sedangkan kaum Mukmin yang melanggar hukum-hukum
syariat, maka ia tidak boleh dianggap keluar dari Islam atau murtad. Orang
yang meninggalkan sholat, namun tidak disertai keyakinan atau penolakan
terhadap pensyariatan sholat lima waktu, tidak boleh dihukumi kafir. Ini adalah
pendapat Imam Syafi'iy dan mayoritas ulama. Namun, jika perbuatan itu disertai
dengan keyakinan atau penolakan terhadap pensyariatan sholat, maka tidak ada
keraguan lagi, orang tersebut telah keluar dari Islam, alias murtad. Yang
dituntut oleh syariat adalah pengamalan. Sedangkan yang dituntut oleh aqidah
atau keimanan adalah pembenaran yang bersifat pasti.
32
Imam Al Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal. 69
BAB II
JALAN PENETAPAN 'AQIDAH
37
Imam al-Thahaawiy , Syarah al-Thahaawiy 'ala Maraaqiy al-Falaah, juz 1, hal. 37
38
Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 116
39
Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 189
Pendapat semacam ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab rujukan. Imam
Nawawiy sudah menjelaskan masalah ini dengan sangat jelas di dalam Syarah
Shahih Muslim, juz 1, hal. 20. Penjelasan ini beliau terapkan dalam hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sebagai bantahan beliau atas
pendapat Ibnu Shalah yang menyatakan, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim menghasilkan keyakinan. Dari sinilah dapat diketahui
bahwa hadits ahad yang shahih tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya sekedar
dzann. Namun, ia wajib untuk diamalkan dalam masalah-masalah furu', bukan
dalam masalah aqidah. Ke-dzann-an atau ke-yakin-an yang dihasilkan dari hadits,
kadang-kadang berasal dari sisi perawinya. Hadits mutawatir menghasilkan
keyakinan, sedangkan hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan. Kadang-kadang,
kedzann-an atau ke-yakinan-an suatu hadits berasal dari sisi dilalah lafadznya
(makna/penunjukkannya; dan ini bisa saja terjadi pada hadits-hadits maupun al-
Quran. Suatu lafadz, jka hanya mengandung satu makna saja, maka ia qath'iy
dilalah. Jika suatu lafadz mengandung banyak kemungkinan makna, maka ia
menjadi dzanniy dilalah. Seperti halnya lafadz al-'ain yang kadang-kadang bermakna
mata, sumber air, emas, dan mata-mata. Lafadz fitnah, kadang-kadang bermakna
ujian (imtihan), kekufuran (al-kufr), 'adzab, dan persengketaan diantara manusia.
Bukti-bukti untuk masalah semacam ini (dzanniy dilalah) sangatlah banyak. Atas
dasar itu, jika ada perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu' yang dalilnya
adalah khabar ahad (hadits ahad), maka orang yang menolak berhujjah dengan
khabar ahad dalam masalah semacam ini, tidak menjadi kafir atau fasiq. Jika tidak
seperti ini, tentunya predikat fasik dan kafir akan divoniskan kepada para ulama fikih
yang berbeda pendapat satu dengan yang lain dalam berbagai masalah...(Fatawa
Ma'aashirah karya Syaikh Jaad al-Haq 'Ali Jaad al-Haq, hal.49-60)".40
Tatkala memberikan syarah (wa laa yakfuru jaahiduhu), Ibnu 'Abidin berkata,
"Sesungguhnya perkara yang berhukum wajib itu tidak harus diyakini hakekatnya
bila wajibnya perkara itu ditetapkan berdasarkan dalil dzanniy. Pasalnya, keyakinan
(i'tiqaad) harus dibangun di atas dalil yang menyakinkan (yakin). Akan tetapi,
perkara yang berhukum wajib harus diamalkan, dikarenakan adanya dalil-dalil yang
menunjukkan wajibnya mengikuti (dalil-dalil) dzanniy. Orang yang mengingkarinya
(dalil dzanniy) tidaklah kafir. Adapun orang yang tidak mengamalkannya, jika hal
itu dilakukan karena penafsirannya, maka ia tidak fasik dan sesat. Sebab,
penafsiran dalam perkara-perkara yang masih samar (meragukan) telah ditempuh
oleh para ulama salaf41. Adapun jika tidak seperti itu; bila ia meninggalkan perkara
wajib tersebut karena meremehkannya, maka ia sesat, karena telah menolak khabar
ahad. Dan qiyas itu adalah bid'ah. Jika ia meninggalkan perkara wajib itu bukan
karena meremehkan dan juga bukan karena penafsiran, maka orang itu fasiq,
karena telah keluar dari ketaatan dengan cara meninggalkan perkara yang
diwajibkan kepadanya".42
Di dalam kitab Adaab al-Hiwaar wa Qawaa'id al-Ikhtilaaf disebutkan, "..Telah
diketahui bahwa nash-nash syariat itu ada sebagian yang dzanniy al-tsubut wa
dzanniy al-dilaalah (sumber dan penunjukkannya dzanniy), dan ada pula yang
dzanniy tsubut qath'iy al-dilaalah (sumbernya dzanniy , penunjukkannya jelas). Ada
pula yang qath'iy al-tsubut wa dzanniy al-dilaalah (sumbernya pasti,
penunjukkannya dzanniy); dan ada pula yang qath'iy tsubut, qath'iy al-dilaalah
(sumber dan penunjukkannya pasti). Qath'iy tsubut (sumbernya pasti) adalah al-
40
Fatawa al-Azhar, al-'Amal bi Ahaadiits al-Ahad, juz 8, hal. 126
41
Maksudnya, para ulama salaf pun berbeda pendapat dalam menginterpretasikan dalil-
dalil yang bersifat dzanniy. Perbedaan interpretasi ini menghasilkan pendapat yang
beragam, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Namun, mereka tidak pernah
saling memberikan predikat fasik dan kafir karena perbedaan pendapat tersebut.
42
Ibid, juz 1, hal. 102
Quran, sunnah mutawatir, dan hadits ahad shahih yang didukung oleh qarinah dan
telah disepakati oleh umat.."43
'Abdul Qadir al-Audah di dalam Kitab al-Tasyrii' al-Janaaiy al-Islaamiy
Muqaaranan bi al-Qanuun al-Wadl'iy, menyatakan, "....Sesungguhnya, keumuman
nash-nash al-Quran dan Sunnah Mutawatir tidak bisa dikhususkan oleh qiyas dan
khabar yang tidak mutawatir (ahad) pada konteks awalnya. Sebab, keduanya (qiyas
dan khabar tidak mutawatir) dzanniy dilalah. Sedangkan yang qath'iy tidak bisa
dikhususkan oleh yang dzanniy. Namun, jika yang keumuman nash tersebut
dikhususkan oleh nash yang qath'iy, maka setelah itu, ia boleh dikhususkan oleh
qiyas dan khabar yang tidak mutawatir. Sebab, nash umum yang telah dikhususkan
tadi berubah menjadi dzanniy dilalah. Ketika ia menjadi dzanniy dilalah, maka ia
boleh dikhususkan oleh dalil-dalil dzanniy lainnya."44
Imam Ibnu Taimiyyah di dalam Kitab Majmuu' al-Fataway menyatakan,
"..Adapun "ijma'', apakah ia qath'iy dilalah atau dzanniy dilalah?" Sebagian orang
menetapkan keberadaannya secara mutlak dengan ini dan itu. Sedangkan yang lain
menafikannya secara mutlak karena ini dan itu.."45
Di dalam Kitab Mausuu' al-Fiqh al-Islaamiy disebutkan sebagai berikut,
"...Sesungguhnya wahyu ilahiy yang turun kepada Rasulullah saw, baik Al-Quran
maupun Sunnah yang menerangkan hukum-hukum amaliyyah, kadang-kadang
dalilnya ada yang qath'iy tsubut dan qath'iy dilalah. Dalil-dalil semacam ini bukan
tempat untuk ijtihad, walaupun ia boleh untuk dikaji. Dari dalil-dalil ini (qath'iy
tsubut qath'iy dilalah) dihasilkan hukum-hukum dlaruriy dan syi'ar Islam, seperti
wajibnya sholat, zakat, puasa, dan haji....Kadang-kadang ada pula yang qath'iy
tsubut dzanniy dilalah. Ada pula yang dzanniy tsubut qath'iy dilalah; dan ada pula
yang dzanniy tsubut dan dzanniy dilalah.."46
Di dalam Tafsir al-Raaziy, ketika mendiskusikan sanksi potong tangan dalam
kasus pencurian, disebutkan, "..Kami berpendapat bahwa qiraat syadzdz tidak bisa
menganulir qiraat mutawatir. Dan kami tetap berpegang teguh kepada qiraat
mutawatir untuk menetapkan madzhab kami. Selain itu, bagi kami, qiraat syadzdz
bukanlah hujjah. Karena itu, kami memastikan bahwa riwayat itu47 bukanlah al-
Quran. Sebab, seandainya riwayat itu dianggap Quran, tentunya ia adalah riwayat
mutawatir. Seandainya kita boleh menetapkan satu ayat di dalam Al-Quran bukan
dengan jalan mutawatir, niscaya ini akan memberikan ruang kepada kaum Rawafidl
dan Mulaahid untuk menikam al-Quran".48
Dalam masalah penetapan al-Quran, Imam Ibnu Katsir di dalam Kitab
Tafsirnya menyatakan, "...Adapun jika riwayat itu dinyatakan sebagai al-Quran,
43
'Umar bin 'Abdillah al-Kamil, Adaab al-Hiwaar wa Qawaa'id al-Ikhtilaaf, juz 1, hal. 42
44
'Abdul Qadir al-Audah, al-Tasyrii' al-Janaaiy al-Islaamiy Muqaaranan bi al-Qanuun al-
Wadl'iy,juz 1, hal. 214
45
Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu' al-Fataway, juz 2, hal. 88
46
Mausuu' al-Fiqh al-Islaamiy, bab Ma'nay al-Fiqh, juz 1, hal. 1
47
Riwayat yang dimaksud adalah hadits yang dituturkan dari Ibnu Mas'ud ra,
bahwasanya beliau membaca firman Allah swt, "Faqtha'uu aidiyahuma" dengan "Faqtha'uu
aimanahuma".[Lihat Tafsir al-Raaziy, juz 6, hal. 56]
48
Kaum Rawafidl menolak keotentikan Mushhaf Ustmaniy dengan menyatakan, bahwa
Mushhaf Utsmaniy tidak mencantumkan qiraat-qiraat dan mushhaf shahabat; sehingga al-
Quran Mushhaf Ustmaniy telah mengalami pengurangan dan penambahan. Padahal,
qiraat-qiraat dan mushhaf shahabat tersebut diriwayatkan secara ahad, sehingga tidak
layak menetapkan al-Quran yang qath'iy. Atas dasar itu, Utsman bin 'Affan menolak
menetapkan riwayat-riwayat tersebut sebagai bagian dari al-Quran. Menurut Imam Abu
Hanifah, qiraat syadz yang diriwayatkan oleh perawi adil, kedudukannya seperti hadits
ahad yang wajib diamalkan. Atas dasar itu, beliau membolehkan membaca qiraat syadz di
dalam sholat, bukan karena menganggapnya sebagai al-Quran, tetapi untuk mengamalkan
hadits ahad.
sesungguhnya, riwayat ini49 bukanlah al-Quran; dan al-Quran tidak ditetapkan
berdasarkan riwayat-riwayat ahad semacam ini. Atas dasar itu Amirul Mukminin
'Utsman bin 'Affan tidak menulis riwayat ini di dalam Mushhaf al-Imam. Selain itu,
tak satupun Qura' –yang dengan bacaan mereka hujjah bisa ditetapkan— yang
membaca riwayat ini, baik dari qiraat sab'ah (7 dialek) maupun qiraat yang lain".50
Di dalam kitab Mafaatih al-Ghaib, Imam Muhammad Fakhr al-Diin al-Raaziy
berkata, "…..Kedua, asumsi ini pun bathil. Sebab, khabar ahad tidak berfaedah
apapun kecuali sekedar dzann. Seandainya kita menjadikannya (hadits ahad)
sebagai jalan untuk penetapan al-Quran, niscaya lenyaplah keberadaan al-Quran
sebagai hujjah yang menyakinkan, dan jadilah ia hujjah yang meragukan.
Seandainya hal ini boleh, tentunya, benar juga dakwaan kaum Rawaafidl bahwa al-
Quran telah menerima tambahan, pengurangan, pengubahan, dan penyimpangan.
Dan sesungguhnya hal ini telah membatalkan Islam sendiri".51
Di dalam kitab al-Tahriir wa al-Tanwiir, Ibnu 'Asyur menyatakan, "… Imam al-
Baqilaaniy berkata, "Seandainya al-tasmiyyah (bismillahirrahmaanirrahiim) termasuk
al-Quran, bisa saja jalan penetapannya didasarkan pada riwayat mutawatir atau
ahad. Asumsi pertama (diriwayatkan secara mutawatir) adalah bathil. Sebab,
seandainya keberadaan bismillah sebagai al-Quran ditetapkan berdasarkan riwayat
mutawatir, tentunya hal ini menghasilkan ilmu dlaruriy (ilmu yakin), dan tidak akan
terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Kedua: asumsi ini juga bathil.
Sebab, khabar ahad tidak berfaedah apapun kecuali sekedar dzann. Jika kita
menjadikan hadits ahad sebagai jalan untuk penetapan al-Quran, maka hilanglah
sifat al-Quran sebagai hujjah yang menyakinkan, dan jadilah ia menjadi hujjah yang
dzanniyyah. Seandainya hal ini boleh, maka benarlah tuduhan-tuduhan kaum
Rawafidl bahwa al-Quran telah mengalami penambahan, pengurangan, pengubahan,
dan penyimpangan".52
Ibadliy dalam Himyaan al-Zaad menyatakan, "…Sebab, khabar ahad tidak
bisa menetapkan al-Quran walaupun bisa menetapkan hukum".53
Di dalam kitab Ushuul al-Sarkhasiy, Imam Sarkhasiy menyatakan sebagai
berikut, "....Fardlu adalah sebutan untuk "kadar tertentu" yang secara syar'iy tidak
mengandung penambahan atau pengurangan; dan ia bisa dipastikan kebenarannya.
Sebab, fardlu ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang menghasilkan keyakinan secara
pasti ('ilm qath'iy) baik yang bersumber dari al-Quran, Sunnah Mutawatir, atau
Ijma'...Secara syar'iy hukum untuk kategori semacam ini menghasilkan keyakinan
pasti; sebab, fardlu ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti. Oleh karena itu, siapa
saja yang mengingkari hukum semacam ini (fardlu) dianggap kafir. Perkara yang
fardlu harus diamalkan dengan anggota badan. Orang yang menunaikannya adalah
orang yang taat kepada Rabbnya, dan siapa saja yang meninggalkannya adalah
orang-orang yang maksiyat. Sebab, ketika ia tidak menunaikannya, berarti ia telah
membatalkan amal perbuatan, namun tidak membatalkan keyakinannya.
Sedangkan melanggar ketaatan termasuk kemaksiyatan. Oleh karena itu, orang
yang meninggalkan perbuatan yang termasuk rukun agama atau ushulul diin, tidak
boleh dianggap kafir; kecuali jika orang yang meninggalkan perbuatan itu disertai
dengan unsur meremehkan atau menolak hukum. Pasalnya menolak atau
meremehkan perintah Allah swt termasuk kekufuran. Namun, jika ia meninggalkan
perbuatan fardlu tersebut tidak disertai dengan penolakan atau peremehan, maka
49
Riwayat yang dimaksud adalah hadits yang dituturkan oleh Hafshah ra, "Hafidzuu 'ala
al-Shalawaat wa al-Shalaati al-Wustha wa Shalaat al-'Ashr".[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsiir, juz 1, hal. 652-653]
50
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, hal. 653
51
Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 176
52
Ibnu 'Asyur , al-Tahriir wa al-Tanwiir, juz 1, hal. 2
53
Ibadliy, Himyaan al-Zaad, juz 1, 468
orang tersebut hanya terkategori orang yang berbuat maksiyat . Pasalnya, ia telah
meninggalkan kewajiban tanpa ada udzur. Orang tersebut terkategori fasiq, jika ia
keluar dari ketaatan kepada Tuhannya. Sebab, al-fisq (fasik) bermakna al-khuruj
(keluar)....Atas dasar itu, orang fasik masih dianggap Mukmin. Sebab, secara
i'tiqaad, ia belum keluar dari ushul al-diin dan rukun-rukun agama; namun secara
amaliy, ia keluar dari ketaatan.." 54 Selanjutnya, beliau menerangkan tentang
"hukum wajib" sebagai berikut, "Semua perbuatan yang dibebankan kepada
seseorang sebagai manifestasi keterikatannya dengan perbuatan tersebut, namun
perbuatan itu ditetapkan berdasarkan dalilnya yang tidak menghasilkan keyakinan
secara pasti, maka hal ini disebut dengan wajib. Dengan kata lain, wajib adalah
perkara yang "kemestian untuk diyakini secara pasti" telah gugur secara qath'iy;
walaupun perkara itu secara amaliy wajib untuk diamalkan...."55
Selanjutnya, di dalam kitab yang sama, Imam Sarkhasiy menjelaskan,
"...Hanya saja, Imam Syafi'iy menolak klasifikasi ini56, dan menyamakan antara
wajib dan fardlu. Jika penolakan Syafi'iy terhadap klasifikasi ini lebih kepada
"penamaannya" (penyebutan) saja, maka, kami telah menerangkan makna dari
sebutan tersebut (makna fardlu dan wajib secara bahasa). Jika penolakannya
ditujukan kepada maknanya, sesungguhnya, penolakan tersebut adalah penolakan
yang fasid. Sebab, penetapan hukum itu sejalan dengan dalil. Tidak ada perbedaan
antara kami dan beliau, bahwa perbedaan ini harus dikembalikan kepada dalil.
Sesungguhnya, khabar ahad itu tidak menghasilkan ilmu yakin, karena masih
mengandung kesalahan dari perawinya. Dan hadits ahad adalah dalil yang wajib
diamalkan karena adanya persangkaan baik kepada perawi, dan karena sisi
kebenarannya lebih dikuatkan karena keadilan perawi. Oleh karena itu, penetapan
hukum untuk kategori ini harus disesuaikan dengan dalilnya; yakni, orang yang
mengingkari perkara wajib tidak boleh dianggap kafir. Sebab, dalilnya tidak
menghasilkan ilmu yakin. Hanya saja, perkara semacam ini harus diamalkan;
karena, dalilnya mengharuskan untuk diamalkan. Orang yang menolaknya, jika
bukan karena penafsirannya, akan tetapi karena penolakannya terhadap khabar
ahad, maka ia dianggap sesat. Jika penolakannya dikarenakan penafsirannya,
namun ia tetap berpendapat bahwa hadits ahad wajib diamalkan, maka ia tidak
boleh dianggap sesat..."57
Yang dimaksud qath’iy wurud (pasti sumbernya) adalah kepastian dari sisi
sumbernya. Artinya, dalil tersebut benar-benar pasti berasal dari Rasulullah saw
tanpa ada kesamaran (syubhat) sedikitpun. Dalil naqliy yang bisa memenuhi
persyaratan ini hanyalah dalil-dalil yang diriwayatkan secara mutawatir; misalnya,
al-Quran dan hadits mutawatir. Sedangkan dalil-dalil yang diriwayatkan secara
ahad tidak bisa memenuhi persyaratan ini; misalnya hadits ahad. Sebab, dalil-dalil
semacam ini, masih mengandung kesamaran (syubhat) dari sisi sumbernya
(tsubut).58
54
Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 112
55
Ibid, juz 1, hal. 112-113
56
Imam Syafi'iy menolak pembedaan fardlu dan wajib yang diketengahkan oleh
Imam Abu Hanifah dan pengikutnya. Menurut beliau, wajib dan fardlu itu sama, tidak
berbeda. Sedangkan Imam Abu Hanifah membedakan fardlu dan wajib. Menurut beliau,
fardlu adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang menghasilkan keyakinan
secara pasti, misalnya al-Quran, Sunnah Mutawatir, dan Ijma' Shahabat. Sedangkan
wajib, adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil dzanniy, misalnya hadits ahad.
Semua ini menunjukkan bahwa, kategorisasi dalil qath'iy dan dzanniy telah dikenal di
kalangan ulama-ulama yang memiliki kredibilitas ilmu dan taqwa.
57
Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 112
58
Masalah ini akan dibahas lebih detail pada bab berikutnya.
Ibnu 'Arafah menyatakan, "..Menurut kami, cabang-cabang syari'ah cukup
disangga oleh dalil-dalil dzann, sedangkan perkara-perkara keyakinan (I'tiqaad)
harus didasarkan kepada dalil-dalil yang menyakinkan (al-ilmu).." 59 Beliau juga
menyatakan, "..Sebab, yang dituntut dari keimanan adalah keyakinan pasti (al-'ilm
al-yaqiin), dan tidak boleh dzann".60
Dalam hal penetapan al-Quran, Imam al-Raziy menyatakan, "..Seandainya
kita boleh menjadikan khabar ahad untuk menetapkan al-Quran (itsbat al-Quran),
niscaya hal ini akan melenyapkan karakter al-Quran sebagai bukti yang
menyakinkan, dan jadilah ia sebagai bukti yang dzanniy. Seandainya ini dibolehkan,
niscaya benarlah tuduhan kaum Rafaawidl yang menyatakan bahwa al-Quran telah
mengalami penambahan, pengurangan, perubahan, dan penyimpangan. Dan ini
justru akan membatalkan Islam."61
Adapun yang dimaksud dengan qath’iy dilalah adalah kepastian yang
terkandung dalam sebuah dalil dari sisi makna atau penunjukkannya. Dengan kata
lain, makna yang ditunjukkan oleh dalil tersebut pasti, dan tidak membuka ruang
adanya penafsiran atau makna ganda. Persyaratan ini hanya bisa dipenuhi oleh
dalil-dalil hanya menunjuk kepada satu makna saja, dan tidak menunjuk kepada dua
makna atau lebih. Bila makna yang terkandung dalam sebuah dalil masih membuka
ruang adanya penafsiran, atau mengandung dua makna atau lebih, maka dilalahnya
dzanniy; sehingga tidak absah digunakan hujjah dalam perkara ‘aqidah. 62 Pasalnya,
perkara aqidah mengharuskan persamaan, dan melarang adanya perbedaan. Jika
seseorang berbeda pendapat dalam masalah aqidah, hanya ada dua kemungkinan
hukum bagi dirinya; ia masih menyandang predikat Mukmin, atau telah terjatuh
kepada kekufuran. Sedangkan dalil-dalil yang dilalahnya dzanniy justru
memungkinkan dan membuka ruang selebar-lebarnya bagi perbedaan penafsiran.
Perbedaan penafsiran ini bisa jadi karena kemusytarakan lafadznya, belum jelasnya
arah makna yang dituju, dan lain sebagainya. Dalam keadaan seperti ini, adanya
perbedaan merupakan perkara yang lazim. Jika perkara-perkara semacam ini
dianggap bagian dari 'aqidah yang memestikan adanya persamaan, tentunya 'aqidah
yang dipegang oleh kaum Muslim sangat beragam bahkan saling bertentangan; dan
tentunya akan terjadi aktivitas saling mengkafirkan satu dengan yang lain. Padahal.
Kaum Muslim boleh berbeda pendapat dalam masalah-masalah yang dalilnya
dzanniy dilalah. Atas dasar itu, dalil-dalil yang dilalahnya dzanniy tidak boleh
dimasukkan dalam perkara aqidah.
Jika sebuah dalil memenuhi dua persyaratan di atas (qath'iy tsubut dan
qath'iy dilalah), maka ia menghasilkan keyakinan, dan layak dijadikan hujjah dalam
perkara ‘aqidah.63 Contohnya, ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang tauhid,
risalah, hari akhir, kenabian dan kerasulan Mohammad saw, kitab suci, kafirnya
orang yang menyakini paham trinitas, serta hal-hal yang berhubungan dengan ushul
al-diin lainnya. Dalil-dalil tersebut, sumber dan maknanya bersifat pasti (qath’iy
wurud dan dalalah). Sebab, selain ditetapkan oleh Al-Quran dan riwayat-riwayat
mutawatir, ayat-ayat tersebut hanya menunjukkan satu makna saja, dan tidak
membuka ruang bagi penafsiran yang beragam. Dalam perkara-perkara semacam
inilah kaum Muslim tidak boleh berbeda pendapat. Perbedaan pendapat dalam
perkara-perkara yang dibangun di atas dalil yang sumber dan dilaalahnya qath'iy,
akan menjatuhkan seseorang pada kekafiran. Contoh dalil yang sumber dan
dilalahnya qath'iy adalah firman Allah swt berikut ini;
59
Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 116
60
Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 189
61
Imam al-Raziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 176.
62
Mahmud Syaltut, ibid, hal.56-57. Yang dimaksud 'aqidah di sini adalah ushul 'aqidah,
bukan furu' 'aqidah.
63
Ibid, hal.57
فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات والله يعلم متقلبكم
ومثواكم
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan
Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min,
laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat
tinggalmu.”[TQS Muhammad (47):19]
ي لتبعثن ثم لتنبؤن بما عملتم وذلك على0زعم الذين كفروا أن لن يبعثوا قل بلى ورب
الله يسير
"Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan
dibangkitkan. Katakanlah: "Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan
dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".
Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah..”[TQS At Taghabun (64):7]
ءامن بالله وملائكته وكتبهDه والمؤمنون ك ل0ءامن الرسول بما أنزل إليه من رب
د من رسله وقالوا سمعنا وأطعنا غفرانك ربنا وإليك المصير7 ق بين أح0ورسله لا نفر
"Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang
lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at".
(Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali". [TQS Al Baqarah (2):285]
وا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من ءامن بالله واليومOليس البر أن تو ل
ه ذوي القر ب ى والي ت امى0ي ن وءا ت ى ال م ال ع ل ى حب0ا ل آخر والملائ ك ة والك ت اب والنبي
قاب وأقام الصلاة وءاتى الزكاة والموفون0والمساكين وابن السبيل والسائلين وفي الر
بعهدهم إذا عاهدوا والصابرين في البأساء والضراء وحين البأس أولئك الذين صدقوا
وأولئك هم المتقون
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [TQS Al
Baqarah (2):177]
Adapun perkara-perkara yang sumbernya tidak qath’iy, atau sumbernya qath’iy
akan tetapi maknanya (dalalahnya) samar dan masih diperdebatkan oleh para
‘ulama, maka perkara-perkara tersebut tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah
yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan.64 Perkara-perkara semacam ini
sangatlah banyak jumlahnya, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama.
Misalnya, masalah “melihat Allah swt dengan mata”, “Sifat-sifat tambahan yang
dilekatkan pada Dzat Allah, pelaku dosa besar, kehadiran Imam Mahdiy, Dajjal,
turunnya Nabi Isa as, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain
sebagainya.
Imam Mawardi, dalam tafsirnya menyatakan,”Ada dua pendapat tentang surga
yang dihuni Adam as. Pertama, ia adalah surga abadi. Kedua, ia merupakan surga
yang disediakan Allah swt untuk Adam dan Hawa sebagai tempat ujian, bukan surga
abadi sebagai Daar al-Jazaa’ (negeri pembalasan). Pendapat yang terakhir ini
terbagi menjadi dua; (1) surga ini terletak di langit. Mereka beralasan, bahwa Allah
menurunkan Adam dan Hawa dari surga. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hasan.
Imam Bahr berpendapat, bahwa surga ini terletak di bumi. Alasannya, Allah hendak
menguji keduanya di bumi dengan cara melarang mereka memakan buah khusus.65
Imam Ibn al-Khathib, dalam tafsirnya mengatakan, bahwa para ‘ulama
berbeda pendapat tentang surga yang dihuni Nabi Adam dan Hawa. Ia terletak di
langit ataukah di bumi? Sekiranya di terletak di langit, apakah ia surga abadi yang
disediakan sebagai balasan amal? Atau, apakah ia surga yang lain? Abu al-Qasim
al-Balkhi dan Abu Muslim al-Ashbahani berkata, “Surga dihuni Adam ini terletak di
dunia”. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat lain
menyatakan, bahwa surga yang dihuni Nabi Adam as terletak di langit tujuh. ‘Ulama
lain berpendapat, bahwa surga tersebut adalah negeri pembalasan (daar al-jazaa’).
Ini merupakan pendapat mayoritas ‘ulama. Pendapat lain menyatakan bahwa,
semua pendapat itu sama-sama mungkin, karena dalilnya saling bertentangan dan
tidak pasti.
Imam Abu Zaid al-Maliki berkata bahwa, ia bertanya kepada Imam Abu Nafi’,
apakah surga itu makhluk? Imam Nafi’ menjawab, “Diam dalam masalah ini lebih
baik.” 66
Para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam hal melihat Allah swt dengan mata
(pandangan) di hari kiamat. Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa manusia akan
melihat Allah swt di hari akhir. Mereka mengajukan dalil-dalil sebagai berikut:
أولئك أصحاب الجنة هم6 ولا ذلة6 ولا يرهق وجوههم قتر6للذين أحسنوا الحسنى وزيادة
فيها خالدون
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." [TQS Yunus
(10):26] Menurut sebagian ulama, maksud dari pecahan kata “..dan
tambahannya..” adalah kenikmatan melihat Allah swt.
64
Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, hal. 58. Beliau menambahkan, bahwa
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah seperti ini disebutkan di dalam
banyak kitab, misalnya Kharidat al-Dardiir, Jauharah karya Imam Laqaniy, dan sebagainya.
65
Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, al-Thaariq Ila al-Jannah, ed.II, 1987, Daar al-Jiil, Beirut,
Libanon
66
Ibid.
6ها ناظرة0(إلى رب22)6 ناضرة7 يومئذ6وجوه
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.”[TQS Al Qiyamah (75):22-23]
Akan tetapi, sebagian ulama tidak sepakat dengan pendapat ini. Mereka
menyatakan, bahwa manusia tidak akan melihat Allah swt . Mereka berargumentasi
dengan mengetengahkan firman Allah swt yang menafikan adanya ru’yat al-Allah;
misalnya firman Allah swt;
67
Prof Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, hal.61
Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal, “Apakah perkara ini dan itu termasuk
kekurangan, sehingga Allah tidak mensifati diriNya dengan sifat itu; dan apakah
perkara ini dan itu bukan termasuk kekurangan Allah, sehingga Allah mensifati
dirinya dengan sifat itu?
Menurut Mahmud Syaltut, di dalam kitab-kitab Tauhid telah dirinci perkara
mana yang disepakati oleh para ‘ulama, dan mana yang masih diperselisihkan; serta
dalil-dalil naqliy yang dijadikan sandaran argumentasi masing-masing pihak.
Atas dasar itu, jalan untuk menetapkan masalah-masalah ‘aqidah haruslah
mudah dan diketahui oleh seluruh manusia, Jalan tersebut tidak boleh hanya
diketahui sebagian orang saja. Sebab, ‘aqidah adalah pokok agama (ushul al-diin)
yang menjadikan seseorang menyandang predikat Muslim atau kafir. Seandainya
jalan untuk menetapkan keimanan hanya diketahui oleh sebagian orang saja,
niscaya banyak orang yang sulit untuk memperoleh predikat mukmin; sebab, ia
tidak mengetahui jalan untuk mendapatkan keimanan. Contohnya adalah ilmu
mantiq dan logika yang digunakan oleh ahli filsafat sebagai jalan untuk mendapatkan
keimanan. Jalan seperti ini adalah jalan salah yang bertentangan dengan manhaj
berfikir yang benar. Sebab, tidak semua orang menguasai ilmu manthiq dan logika.
Jika untuk mendapatkan keimanan, seseorang harus menguasai ilmu mantiq terlebih
dahulu, tentunya orang yang tidak menguasai ilmu manthiq tidak akan pernah bisa
memperoleh keimanan dengan jalan yang benar? Kalaupun ia menyandang gelar
mukmin, maka keimanannya pasti didapatkan dari jalan taqlid. Padahal, jalan
semacam ini (taqlid dalam masalah ‘aqidah) dilarang oleh syara’.
Agar masalah aqidah benar-benar bisa dimengerti oleh seluruh umat manusia,
maka perkara-perkara ‘aqidah tersebut haruslah sesuatu yang pasti, tidak
diperselisihkan atau masih menjadi bahan perbincangan di kalangan ‘’ulama dalam
hal penetapan dan penafiannya. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa
kebanyakan masyarakat awam tidak mampu menjangkau argumentasi-argumentasi
para ‘ulama, jika perkara-perkara ‘aqidah tersebut masih dalam ranah perselisihan
dan perdebatan. Keadaan semacam ini tentunya akan membuka ruang yang sangat
lebar bagi adanya taqlid dalam perkara ‘aqidah. Padahal, taqlid dalam perkara
‘aqidah adalah sesuatu yang diharamkan. Sebab, banyak orang awam yang tidak
memahami dalil dan argumentasi masing-masing ‘ulama. Lantas, bagaimana ia bisa
menyakini perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya?
Atas dasar itu, 'aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang sumber dan
dilalahnya pasti (qath'iy tsubut wa qath'iy al-dilalah). Jika sebuah dalil tidak
memenuhi dua syarat ini, maka ia tidak absah membangun perkara aqidah. Dari sini
pula bisa disimpulkan bahwa, hadits ahad tidak absah dijadikan hujjah dalam
perkara-perkara aqidah.
68
Ibid, hal. 59-60. Prof Mahmud Syaltut menambahkan, bahwa sikap seperti ini telah
dipegang oleh ‘ulama-‘ulama tauhid. Lihat, al-Milal wa al-Nihal, karya Ibnu Hazm, al-
Qawaa’id al-Kubra karya ‘Izzi ‘Abd al-Salam, dan kitab-kitab Ushul dan Ilmu Kalam lainnya.
Sayangnya, fanatisme madzhab telah membawa kaum Muslim pada sikap-
sikap tercela dan jauh dari tuntunan Islam. Dengan sangat mudah, mereka mencap
saudara seimannya dengan cap kafir, fasiq, dan sesat. Padahal, mereka berselisih
pada perkara-perkara yang masih mengandung kesamaran, bukan berselisih pada
perkara-perkara yang pasti.
Semua ini disebabkan karena, kaum Muslim telah terpuruk dan terperosok
dalam kemerosotan berfikir. Kemerosotan berfikir kaum Muslim telah menjatuhkan
mereka pada sikap-sikap tercela dan bodoh. Akibatnya, perpecahan, perselisihan,
dan permusuhan di kalangan kaum Muslim tidak bisa dihindari lagi. Sekali lagi,
semua ini diakibatkan karena kebodohan dan ketergesa-gesaan mereka dalam
bersikap dan berpendapat. Lebih parah lagi, adanya ikhtilaf dan perbedaan
pendapat di kalangan kaum Muslim telah dieksploitasi sedemikian rupa oleh musuh-
musuh Islam dan kaum Muslim untuk menimbulkan perpecahan dan perselisihan,
agar kaum Muslim terus lemah dan sibuk dengan masalah-masalah cabang, seraya
melupakan dan meninggalkan persoalan utama mereka, yakni tegaknya hukum-
hukum Islam dalam koridor sistem Islam.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan beberapa point berikut ini.
1. Aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang qath'iy tsubut (pasti
sumbernya) dan dilalahnya (pasti penunjukkannya). Perkara-perkara aqidah
yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath'iy tsubut dan dilalahnya,
misalnya; keberadaan Allah swt, adanya malaikat, Rasul dan Nabi, Kitab Suci,
hari akhir, taqdir, berakhirnya kenabian setelah Mohammad saw wafat, orang
kafir pasti masuk neraka, Islam adalah agama paripurna, dan lain-lain. Dalam
perkara-perkara semacam ini tidak boleh ada perbedaan pendapat diantara kaum
Muslim. Sebab, perkara-perkara semacam ini telah ditetapkan berdasarkan
nash-nash yang qath'iy tsubut dan dilalah; sehingga tidak membuka ruang bagi
adanya interpretasi ganda. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan pendapat
dalam perkara-perkara tersebut. Siapa saja yang menyimpang dari perkara itu,
berarti telah keluar dari Islam alias kafir.
2. Jika dalil-dalilnya tidak qath’iy, baik sumber maupun dilaalahnya, dan para ‘ulama
berbeda pendapat di dalamnya, maka perkara-perkara tersebut tidak boleh
dikategorikan sebagai bagian dari perkara ‘aqidah yang bisa menjatuhkan
seseorang ke dalam kekafiran. Seseorang tidak boleh menyakini bahwa salah
satu pendapat di antara pendapat-pendapat tersebut pasti benarnya, sedangkan
yang lain pasti salahnya. Sebab, salah dalam perkara ‘aqidah akan menjatuhkan
seseorang kepada kekafiran. Perkara-perkara semacam ini tidak terkategori
ushul 'aqidah (pokok 'aqidah), akan tetapi dimasukkan dalam perkara furu'
al-'aqidah (cabang aqidah) yang kaum Muslim boleh berbeda pendapat.
Contohnya, perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai melihat Allah kelak
di surga, keberadaan surga yang ditempati Nabi Adam as dan surga yang kelak
akan dihuni oleh kaum Muslim, dan lain sebagainya. Masalah-masalah seperti ini
masih diperdebatkan oleh ulama-ulama kaum Muslim. Oleh karena itu, kaum
Muslim tidak boleh mengkafirkan atau menyesatkan saudaranya yang Muslim,
karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah semacam ini.
3. Sesungguhnya, kebanyakan kitab tauhid tidak membahas masalah-masalah ushul
‘aqidah --masalah 'aqidah yang tidak diperselisihkan oleh kaum Muslim.
Sebaliknya, kebanyakan buku tauhid justru membahas masalah-masalah 'aqidah
yang masih diperdebatkan oleh kaum Muslim. Biasanya, buku-buku tauhid hanya
membahas beberapa pendapat dan pemikiran yang mengupas makna dzahir dari
suatu nash, yang selanjutnya dijadikan lahan ijtihad oleh para ‘ulama. Oleh
karena itu, kebanyakan masalah yang dibahas di dalam kitab Tauhid terkategori
dalam furu' al-'aqidah (cabang 'aqidah) yang membuka ruang selebar-lebarnya
bagi perbedaan pendapat. Dengan kata lain, perkara-perkara semacam ini
terkategori dalam perkara khilafiyyah yang kaum Muslim boleh berbeda
pendapat, dan tidak boleh saling mengkafirkan dan menfasiqkan satu dengan
yang lain.
4. Sejatinya, munculnya aktivitas saling menyesatkan dan mengkafirkan disebabkan
karena fanatisme madzhab yang berlebihan, serta adanya upaya sengaja yang
dilakukan oleh orang-orang kafir dan antek-anteknya untuk menyebarkan
permusuhan dan perpecahan di kalangan kaum Muslim melalui isyu-isyu
khilafiyyah. Bahkan, mereka dengan sengaja menyebarkan dan mengobarkan
masalah-masalah khilafiyyah ini di tengah-tengah kaum Muslim agar satu dengan
yang lain saling bermusuhan dan tidak mau bersatu. Oleh karena itu, kaum
Muslim wajib waspada dan berhati-hati terhadap upaya-upaya semacam ini, dan
tidak menjadikan masalah-masalah khilafiyyah sebagai lahan perpecahan dan
permusuhan. Sebaliknya, kaum Muslim mesti mengembangkan sikap toleransi
(tasamuh) kepada saudara-saudaranya yang tidak sejalan dengan pendapatnya.
BAB III
'ILMU WA DZAN
69
Lihat penjelasan masalah ini pada Imam al-Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 158. Di
dalam Kitab Raudlah al-Naadzir, Imam Ibnu Qudamah menuturkan, "Khabar ahad adalah
khabar yang tidak mutawatir. Ada perbedaan riwayat dari Imam kami, apakah hadits ahad
menghasilkan keyakinan (al-'ilm). Dituturkan, bahwasanya khabar ahad tidak
menghasilkan keyakinan. Ini adalah pendapat mayoritas dan ulama mutaakhir dalam
kalangan madzhab kami. Sebab, kita mengetahui dengan pasti bahwa kita tidak akan
membenarkan semua berita yang kita dengar. Seandainya semua berita yang kita dengar
itu menghasilkan keyakinan, tentunya sah juga kita menerima dua buah berita yang saling
Dari sini bisa disimpulkan bahwa, perkara-perkara yang mengharuskan adanya
keyakinan dan kepastian, harus dibangun berdasarkan bukti-bukti yang
menyakinkan (ilmu) pula. Sebaliknya, perkara-perkara yang tidak membutuhkan
keyakinan dan kepastian, tidak harus dibangun berdasarkan bukti-bukti yang
menyakinkan. Perkara aqidah misalnya, ia mewajibkan adanya kepastian dan
keyakinan. Oleh karena itu, tidak semua dalil absah dijadikan hujjah untuk
membangun aqidah. Dalil yang absah digunakan untuk berhujjah dalam perkara-
perkara aqidah haruslah dalil yang tingkat kebenarannya mencapai derajat kepastian
dan keyakinan, baik dari sisi sumber maupun penunjukkannya. Sebab, aqidah
memang menuntut adanya kepastian dan kebenaran 100%. Sedangkan dalil-dalil
dzanniyyah tidak absah digunakan untuk berhujjah dalam masalah aqidah.
Pasalnya, dalil-dalil dzanniyyah tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Hanya saja,
dalil-dalil dzanniyyah absah digunakan hujjah dalam perkara hukum syariat. Ini
didasarkan pada kenyataan bahwa, dalil-dalil qath'iy -- al-Quran dan sunnah
mutawatir-- telah menetapkan kehujjahan dalil-dalil dzanniy dalam perkara-perkara
amal (hukum syariat), namun tidak dalam perkara aqidah atau keimanan. Oleh
karena itu, seorang Muslim boleh berbuat berdasarkan dalil-dalil dzanniy.
bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan; dan sah juga kita menasakh al-Quran
dan hadits mutawatir dengan hadits ahad, dikarenakan ia sepadan dengan al-Quran dan
hadits mutawatir dalam hal menghasilkan ilmu (keyakinan). Dan seandainya semua berita
yang kita dengar menghasilkan keyakinan, niscaya vonis hukum wajib ditegakkan karena
kesaksian seorang saksi.."[Imam Ibnu Qudamah, Raudlah al-Naadzir, juz 1, hal. 99]
70
Imam Abu Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, bab yaqana, hal. 743
71
Ibid, bab amana, hal. 26
72
Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199
M , hal. 22. Lihat pula, Mahmud Syaltut, Islam, Aqidah wa Syari'ah, hal. 56
"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri)
untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah.." (TQS Al Baqarah (2): 230)
"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedangkan sesungguhnya
persangkaan itu (al-dzan) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (TQS An
Najm (53): 28)
Kadang-kadang al-dzan juga bermakna al-qath'i dan al-yaqiin. Kata dzan
dengan makna qath'iy dan yaqin terdapat di dalam firman Allah swt surat al-Baqarah
ayat 46. Allah swt berfirman;
"…jika ia mentalaknya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk rujuk
kembali, bila keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah." [TQS Al Baqarah (2):230].
Ayat ini berbicara mengenai kasus seorang laki-laki yang menthalaq tiga
isterinya. Jika laki-laki tersebut ingin kembali kepada isterinya kembali, maka
isterinya harus menikah dengan laki-laki lain terlebih dahulu. Jika suami kedua
menceraikannya, barulah ia boleh kembali kepada isterinya yang pertama. Allah swt
telah menyatakan ketetapan ini dengan sangat jelas, "..jika keduanya berpendapat
(in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah" [TQS Al Baqarah
(2):230].
Suami boleh ruju’ kembali dengan isterinya, meskipun pelaksanaan ruju’
tersebut didasarkan pada dzan (prasangka kuat). Sedangkan ruju’ termasuk bagian
dari hukum syariat. Ini menunjukkan bahwa, dalam melaksanakan hukum-hukum
syariat, tidak harus didasarkan pada al-‘ilm (keyakinan), akan tetapi cukup
didasarkan pada al-dzan (prasangka kuat) saja.
Walaupun dalil dzanniy absah digunakan hujjah dalam masalah syariat, akan
tetapi, ia tidak absah digunakan hujjah dalam masalah 'aqidah. Ketentuan
semacam ini sejalan dengan kisah diangkatnya Nabi Isa as yang termuat dalam
surat al-Nisaa':157. Ayat itu menjelaskan bahwa orang-orang yang menyangka 'Isa
as telah tertawan, dibunuh, dan disalib, memiliki bukti yang sangat kuat.
Persangkaan mereka bukan sekedar wahm. Sebab, mereka menyaksikan 'Isa as
berada di dalam rumah bersama murid-muridnya, sedangkan para tentara telah
mengepung rumah itu. Kemudian, Allah menyerupakan salah seorang muridnya
seperti beliau as. Akan tetapi, tanpa sepengetahuan para tentara, Allah mengangkat
73
Syubhat dalil adalah dalil-dalil istidlal (sumber penggalian hukum) yang masih
diperbincangkan keabsahannya di kalangan 'ulama ushul, semisal al-mashlahat al-
mursalah, istihsan, syar'u man qablanaa, jalb al-mashalih wa dar`u al-mafaasid, dll. Dalil
adalah Al-Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas. Syubhat dalil kadang-kadang juga
digunakan untuk menyebut suatu pendapat yang dianggap lemah.
nabi 'Isa as ke atas langit. Ketika para tentara memasuki rumah dan menangkap
orang yang berada di dalam rumah, mereka menyangka bahwa orang yang
diserupakan dengan Isa adalah 'Isa as. Mereka menangkap orang yang diserupakan
'Isa as tersebut, dan menyalibnya hingga mati. Peristiwa ini disaksikan oleh
khalayak ramai, sekaligus merupakan bukti kuat bagi orang yang menyangka bahwa
Isa as telah tersalib.
Namun, bukti yang mereka sodorkan tidak sampai kepada keyakinan, bahkan
mengandung keraguan dilihat dari dua sisi. Pertama, penyerupaan itu tidak
sempurna. Wajah orang yang diserupakan Isa itu, adalah wajah 'Isa as, akan
tetapi, tubuhnya bukan tubuh 'Isa as. Kedua, bahwa jumlah orang yang bersama
Isa as di dalam rumah berkurang satu. Padahal, di dalam rumah itu terdapat 13
orang, 'Isa as dan 12 muridnya. Akan tetapi, tatkala para tentara masuk ke dalam
rumah, mereka tidak mendapatkan kecuali 12 orang laki-laki. Karena ada
perbedaan pada wajah dan jumlah, timbullah keraguan. Persoalan itu akhirnya jatuh
dari derajat yakin inderawiy ke derajat dzan.
"Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu,
kecuali mengikuti persangkaan belaka. Dan mereka tidak yakin telah
membunuhnya". (TQS An Nisaa' (4): 157).
Dzan semacam ini tidak boleh digunakan dalil dalam masalah 'aqidah
(keyakinan), walaupun dalil tersebut rajih (kuat). Dengan kata lain, 'aqidah tidak
boleh dibangun di atas dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah (persangkaan kuat ).
‘Aqidah harus dibangun di atas dalil-dalil yang menyakinkan (qath’iy). Allah telah
menyatakan", mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa"
(al-Nisaa':157). Orang yang menyakini bahwa Isa as telah terbunuh tidak memiliki
bukti yang menyakinkan; dan keyakinan semacam ini dicela Al-Quran.
BAB IV
CELAAN AL-QURAN
TERHADAP DZAN
ن إن يتبعون
7 سميتموها أنتم وءاباؤكم ما أنزل ال بها من سلطا6إن هي إل أسماء
هم الهدى0إل الظن وما تهوى النفس ولقد جاءهم من رب
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-
adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini
oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka
dari Tuhan mereka.”[TQS An Najm (53):23]
بما يفعلون6ا إن الله عليمi شيئ0ا إن الظن لا يغني من الحقkوما يتبع أكثرهم إلا ظن
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”[TQS Yunus (10):36]
وقولهم إنا قتلنا المسيح عيسى ابن مريم رسول الله وما قتلوه وما صلبوه ولكن
وما0باع الظن0 إلا ات7 منه ما لهم به من علمoه لهم وإن الذين اختلفوا فيه لفي شك0شب
اiقتلوه يقين
“..Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa,
benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak
mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu
adalah `Isa….”[TQS An Nisâ’ (4):157]
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء ومن يشرك بالله فقد
اiا بعيدiضل ضلال
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap
Allah).”[TQS An Nisâ’ (4):116]
فتخرجوه لنا إن7كذلك كذب الذين من قبلهم حتى ذاقوا بأسنا قل هل عندكم من علم
تتبعون إلا الظن وإن أنتم إلا تخرصون
“Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para
rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu
mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada
Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain
hanya berdusta.”[TQS An An’am (6):148]
ألا إن لله من في السموات ومن في الأرض وما يتبع الذين يدعون من دون الله شركاء
إن يتبعون إلا الظن وإن هم إلا يخرصون
“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang
ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah
mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan
mereka hanyalah menduga-duga.”[TQS Yunus (10):66]
Allah swt juga berfirman,
للذين كفروا6 الذين كفروا فويلOا ذلك ظنiوما خلقنا السماء والأرض وما بينهما باطل
من النار
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya
tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka
celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”[TQS Shaad
(38):27]
اk إلا ظنO والساعة لا ريب فيها قلتم ما ندري ما الساعة إن نظنDوإذا قيل إن وعد الله حق
وما نحن بمستيقنين
“Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan
hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya", niscaya kamu menjawab: "Kami
tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-
duga saja dan kami sekali-kali tidak menyakini (nya)".[TQS Al-Jaatsiyyah (45):32]
فلا جناح عليهما أن يتراجعا إن ظنا أن يقيما حدود الله وتلك حدود الله
"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah.." (TQS Al Baqarah (2): 230).
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa, untuk melaksanakan ruju’ –
(‘amal)— tidak perlu didasarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan, akan tetapi
cukup hanya didasarkan pada prasangka kuat (dzan). Ini terlihat dengan gamblang
pada pecahan ayat di atas, “in dzanna an yuqiimaa hudud al-Allah” [jika keduanya
berdzan (berprasangka kuat] akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah]. Secara
syar’iy, orang yang hendak melaksanakan ruju’ (syari’at) tidak harus menyakini
dengan pasti bahwa ia mampu menjalankan aturan Allah swt, akan tetapi cukup
berdasarkan prasangka kuat mereka berdua, bahwa mereka mampu menjalankan
aturan Allah swt.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, amal perbuatan (syariat) tidak harus
disandarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan, akan tetapi cukup didasarkan pada
prasangka kuat saja (dzan). Namun, ketentuan ini tidak berlaku untuk perkara-
perkara aqidah atau keimanan. Pasalnya, aqidah mengharuskan adanya kepastian
dan menafikan adanya keraguan maupun dugaan. Oleh karena itu, ‘aqidah harus
disandarkan pada dalil yang menyakinkan, baik tsubût maupun dilâlahnya.
Sedangkan untuk amal perbuatan (syari’at) tidak perlu disandarkan pada dalil-dalil
yang menyakinkan.
BAB V
HADITS AHAD &
PENETAPAN AQIDAH
74
Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haqq min 'Ilm al-Ushuul, hal. 48.
75
Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal. 64
76
Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, hal. 218. Lihat juga, Imam al-
Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 116.
77
DR. Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 118
78
Dr. Mahmud al-Thahhaan, Taisiir Mushthalaah al-Hadits, hal. 22
79
Syarif al-Jurjaniy, Mukhtashar Ushuul al-Hadits, juz 1, hal. 1.
80
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 337
81
Yang dimaksud hadits ahad di sini tentunya adalah hadits-hadits yang telah ditetapkan
sebagai hadits shahih (hadits yang tsabit) melalui perawi-perawi yang adil dan bersambung
hingga Rasulullah saw; dan bukan hadits ahad secara mutlak yang belum melalui proses
itsbat (penetapan).
dzann belaka.82 Sedangkan ulama lain, misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam
sebuah riwayat, berpendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan keyakinan (ilmu).
Menurut Prof Mahmud Syaltut, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan,
akan tetapi hanya menghasilkan dzan belaka. Oleh karena itu, hadits ahad tidak
absah digunakan hujjah dalam perkara aqidah, dan orang yang menolaknya tidak
boleh dianggap kafir.83 Ini disebabkan karena, hadits ahad masih mengandung
kesamaran dari sisi tsubutnya (sumber).84
Di dalam kitab al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam,Imam al-Amidiy menyatakan,
"Para ulama berbeda pendapat mengenai khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh
seorang perawi adil (hadits ahad), apakah haditsnya menghasilkan keyakinan?
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits semacam ini (hadits ahad) menghasilkan
ilmu. Namun, di antara mereka ada perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan "menghasilkan ilmu" adalah menghasilkan dzann,
bukan menghasilkan keyakinan. Sebab, kata "ilmu" kadang-kadang diungkapkan
dengan makna dzann. Sebagian yang lain berpendapat bahwa, hadits ahad
menghasilkan ilmu yakin, meskipun tanpa qarinah (indikasi). Hanya saja, mereka
juga berbeda pendapat, apakah semua hadits ahad menghasilkan ilmu, atau hanya
sebagian saja? Sebagian ulama berpendapat bahwa semua hadits ahad
menghasilkan ilmu (keyakinan); seperti pendapat ahli Dzahir. Madzhab ini juga
dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari
beliau. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa, hanya sebagian hadits ahad saja
yang menghasilkan ilmu yakin, tidak semua. Ini adalah madzhab sebagian ahli
hadits. Ulama lain, misalnya al-Nadzam dan pengikutnya, berpendapat bahwa,
hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan) jika diindikasikan oleh qarinah.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan
secara mutlak, baik dengan qarinah maupun tanpa qarinah". Imam al-Amidiy sendiri
memilih pendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan) bila diperkuat
oleh sejumlah indikasi (qarinah). 85
Di dalam Kitab Ushuul al-Sarkhasiy, pada bab al-Kalaam fi Qubuul Akhbaar
al-Ahad wa al-'Amal bihaa (Bab Menerima Hadits Ahad dan Beramal dengan Hadits
Ahad) dinyatakan, "Para fukaha amshar berpendapat bahwa khabar al-ahad (hadits
ahad) yang adil adalah hujjah yang harus diamalkan dalam urusan agama, dan ia
tidak mengitsbatkan ilmu dan yakin (menetapkan ilmu dan keyakinan)86. Ada
sebagian orang yang pendapatnya tidak perlu diperhitungkan, menyatakan,
"Menurut asalnya, khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam urusan agama.
Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa, hadits hadits mengitsbatkan ilmu yaqin.
Hanya saja diantara mereka mensyaratkan jumlah kesaksian agar ia layak dijadikan
hujjah, dan ada pula yang mensyaratkan dengan jumlah maksimal kesaksian, yakni
4 orang saksi......"87 Setelah membantah pendapat yang menyatakan bahwa hadits
ahad tidak layak dijadikan hujjah dalam urusan agama, Imam Sarkhasiy
menyatakan, "Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan
keyakinan, mereka berhujjah dengan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi
saw berkata kepada Mu'adz tatkala beliau saw mengutusnya ke Yaman, "Lalu,
beritahulah mereka bahwa Allah swt telah mewajibkan zakat atas harta benda
mereka". Maksud hadits ini adalah pemberitahuan terhadap suatu informasi
82
Prof Mahmud Syaltut, Islaam; 'Aqidah wa Syari'ah, hal. 63-65
83
Prof. Mahmud Syaltut, Islaam, 'Aqidah wa Syarii'ah, hal. 64.
84
Ibid, hal. 63
85
Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 213
86
Maksudnya hadits ahad tidak bisa digunakan hujjah untuk menetapkan perkara-
perkara yang membutuhkan keyakinan dan ilmu. Hadits ahad yang adil wajib diamalkan
dalam perkara-perkara syariat, bukan dalam perkara aqidah.
87
Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 322
(khabar). Seandainya khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) bagi
pendengarnya, maka penyampaian itu tidak disebut pemberitahuan. Sebab, amal
tersebut diwajibkan dengan hadits ahad, dan amal itu tidak diwajibkan kecuali
dengan keyakinan (ilmu). Pasalnya, Allah swt berfirman, "Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya".[TQS Al Israa` (17):36). Selain itu, Allah swt juga
berfirman mengenai beritanya orang fasik, "Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti,
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu".[TQS Al
Hujurat (49):6]. Lawan "tidak tahu" (al-juhalah) adalah al-'ilm (tahu); sedangkan
lawan fasik adalah adil. Ini menjelaskan bahwa al-'ilm (keyakinan) tidak dihasilkan
oleh berita fasik. Ilmu hanya ditetapkan berdasarkan berita yang adil. Selain itu,
telah ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad, berita-berita yang telah diyakini
kebenarannya, misalnya, siksa kubur, pertanyaan Malaikat Mungkar dan Nakir, serta
melihat Allah kelak di hari kiamat. Semua ini menunjukkan bahwa khabar ahad
menghasilkan keyakinan". Selanjutnya, Imam Sarkhasiy membantah argumen di
atas dengan menyatakan, "Hanya saja kami perlu nyatakan bahwa, sesungguhnya,
orang yang menyatakan pendapat itu, tidak bisa membedakan antara ketentraman
dan ketenangan hati dengan ilmu yakin (keyakinan pasti). Sesungguhnya, selama
masih ada kemungkinan dusta pada sebuah berita yang tidak terjaga, maka berita
itu (berita orang yang adil) tidak mungkin diingkari, meskipun di dalamnya ada
keraguan (syubhat). Sedangkan ihtimal (kemungkinan) tidak bisa menetapkan
keyakinan. Ihtimaal hanya bisa menetapkan ketentraman dan ketenangan hati
karena adanya sisi kebenaran yang lebih menonjol. Pada penjelasan sebelumnya
kami telah menjelaskan bahwa hadits masyhur tidak bisa menetapkan keyakinan
pasti (ilmu yaqiin), apa lagi khabar ahad. Ketenangan dan ketentraman hati
termasuk jenis keyakinan jika ditinjau dari sisi dzahirnya, dan inilah maksud sabda
Nabi saw, "Lalu, beritahulah mereka". Atas dasar itu, seseorang boleh beramal
dengan anggapannya, sebagaimana bolehnya beramal pada kasus menghadap kiblat
di saat ada keraguan88. Sedangkan ketidaktahuannya telah dieleminasi karena sisi
kebenaran berita itu lebih kuat, disebabkan karena hadirnya keadilan perawi. Ini
berbeda dengan beritanya orang fasik. Berita orang fasik masih mengandung
kontradiksi yang salah satu sisinya tidak bisa dikuatkan89. Adapun riwayat-riwayat
(atsar) yang menuturkan tentang siksa kubur dan lain sebagainya; sesungguhnya
88
Yg dimaksud dengan ketenangan dan ketentraman hati adalah prasangka kuat yang
bisa menumbuhkan perasaan tenang dan tentram di dalam hati, karena sisi kebenaran
yang dikandung oleh suatu berita lebih kuat dibandingkan kedustaannya. Prasangka kuat
ini muncul karena hadirnya keadilan orang yang membawa berita tersebut. Keadaan ini
sama persis dengan kasus menghadap kiblat ketika seorang musholliy ragu-ragu tentang
arah kiblat. Ia boleh menghadap ke arah yang dianggapnya lebih benar, dan
menentramkan hatinya; walaupun ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran arah kiblat
yang dipilihnya. Sesungguhnya, khabar ahad jika telanjur diyakini, sesungguhnya
keyakinan ini muncul dari ketenangan dan ketentraman hati, bukan muncul dari ilmu yakin
(keyakinan yang pasti). Atas dasar itu, khabar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu yakin
(keyakinan hati). Akan tetapi, ia bisa menetapkan dan menghasilkan ketenangan dan
ketentraman hati.
89
Berita yang disampaikan oleh orang fasik mengandung dua sisi yang saling
kontradiksi, benar atau dusta. Hanya saja, salah satu sisi itu tidak bisa dikuatkan salah
satunya, apakah sisi dustanya ataukah sisi benarnya yang lebih kuat. Akibatnya,
seseorang tidak bisa memilih mana yang lebih kuat, dustanya atau kebenarannya. Atas
dasar itu, berita orang fasik tidak bisa menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati
karena kefasikan orang yang membawa berita itu.
sebagian riwayat itu ada yang masyhur dan sebagian lagi riwayat ahad. Dan
sesungguhnya, riwayat-riwayat ini telah mengharuskan hati untuk mengikatkan
dirinya pada perkara-perkara tersebut. Sedangkan pengetahuan mengenai wajibnya
hati mengikatkan diri kepada suatu perkara, kedudukannya sama dengan
pengetahuan terhadap suatu amal atau sesuatu yang lebih penting. Hanya saja,
semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy (ilmu kepastian). Pasalnya, Allah swt
berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan
(mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah
betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan".[TQS An Naml (27):14].
Allah swt juga berfirman, "Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al
Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-
anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan
kebenaran, padahal mereka mengetahui".[TQS Al Baqarah (2):146]. Ayat di atas
menjelaskan bahwa, mereka (orang-orang kafir) meninggalkan keyakinan hati yang
telah terbukti kebenarannya, sesudah ada pengetahuan terhadapnya. Semua ini
menunjukkan bahwa, atsar-atsar (riwayat-riwayat) tersebut tidak terlepas dari
makna "wajibnya mengamalkan hadits-hadits tersebut".90
Di dalam Kitab al-Mahshuul disebutkan, "Adapun dalil naqliy, sesungguhnya,
ada yang mutawatir dan ahad. Yang pertama (riwayat mutawatir) menghasilkan
keyakinan, sedangkan yang kedua (riwayat ahad) menghasilkan dzann.."91
Dr. Husain 'Abdullah di dalam kitab Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy
menyatakan, "Yufiid al-khabar al-aahad al-hukm al-nadhriy, aiy al-'ilm al-
mutawaqqaf 'ala al-nadhr wa al-istidlaal, wa huwa yufiid al-dzann, wa laa yakfur
jaahiduhu" (hadits ahad berfaedah pada al-hukm al-nadhr, yakni ilmu (keyakinan)
yang disandarkan atas pengamatan dan pengkajian; dan hadits ahad hanya
menghasilkan dzan belaka. Oleh karena itu, orang yang menolaknya tidak boleh
dianggap kafir).92
Dr. Mahmud al-Thahhaan menyatakan, "Hadits ahad adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat hadits mutawatir. Hadits ahad menghasilkan al-'ilm al-nadzriy, aiy
al-'ilm al-mutawaqqaf 'ala al-nadhr wa al-istidlaal".93
Di dalam Kitab Raudlah al-Naadzir , Imam Ibnu Qudamah menuturkan,
"Khabar ahad adalah khabar yang tidak mutawatir. Ada perbedaan riwayat dari
Imam kami, apakah hadits ahad menghasilkan keyakinan (al-'ilm). Dituturkan,
bahwasanya khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Ini adalah pendapat
mayoritas dan ulama mutaakhir dalam kalangan madzhab kami. Sebab, kita
mengetahui dengan pasti bahwa kita tidak akan membenarkan semua berita yang
kita dengar. Seandainya semua berita yang kita dengar itu menghasilkan
keyakinan, tentunya sah juga kita menerima dua buah berita yang saling
bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan; dan sah juga kita menasakh al-
Quran dan hadits mutawatir dengan hadits ahad, dikarenakan ia sepadan dengan al-
Quran dan hadits mutawatir dalam hal menghasilkan ilmu (keyakinan). Dan
90
Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 329-330. Dari keterangan beliau ini
dapat disimpulkan bahwa riwayat-riwayat ahad yang bertutur tentang siksa kubur, melihat
Allah, dan lain sebagainya tidak menghasilkan ilmu dlaruriy. Apabila selama ini umat
menyakini dan qana'ah dengan riwayat-riwayat itu, sesungguhnya semua ini tidak muncul
dari ilmu dlaruriy, akan tetapi muncul dari ketenangan dan ketentraman hati karena
riwayat-riwayat itu dituturkan oleh perawi adil. Hanya saja, keimanan dan aqidah harus
disangga oleh dalil-dalil yang menghasilkan ilmu dlaruriy.
91
Al-Mahshuul, juz 1, hal. 203
92
Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 118
93
Dr. Mahmud al-Thahhan, Taisiir Mushthalah al-Hadiits, hal. 22
seandainya semua berita yang kita dengar menghasilkan keyakinan, niscaya vonis
hukum wajib ditegakkan karena kesaksian seorang saksi.."94
Dalam Hasyiyyah al-Dasuqiy dituturkan, "..Sebab, hadits mutawatir
menghasilkan kepastian (qath'iy), dan ini berbeda dengan khabar ahad. Hadits ahad
hanya menghasilkan dzann belaka."95
Di dalam Kitab Kasyf al-Asraar disebutkan, "Khabar wahid (hadits ahad) wajib
diamalkan, namun tidak menghasilkan ilmu yakin (keyakinan pasti). Dengan kata
lain, hadits ahad tidak mewajibkan ilmu yakin maupun ilmu thuma'ninah (keyakinan
pasti yang menentramkan jiwa). Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu dan para
fukaha".96
Salah seorang pakar tafsir Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi dalam
kitab tafsirnya, Mahasinu Ta’wil, telah menyatakan bahwa mengkritik hadits ahad
sudah biasa terjadi dan popular sejak periode shahabat. Selanjutnya beliau
menyebutkan penegasan al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan al-Fanari, bahwa yang
mengkritik dan menolak hadits ahad tidak dapat dianggap kafir atau fasik dan sesat.
Sebab, hal ini pernah terjadi dan dilakukan oleh para shahabat dan para ulama
seperti penolakan ‘Aisyah ra terhadap hadits yang menyebutkan bahwa seorang
mayit akan disiksa karena ditangisi oleh keluarganya, juga penolakan ‘Umar atas
riwayat dari Hafshah.97
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad
tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-
Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima
pokok-pokok ‘aqidah.98
Perhatikan komentar dari Imam Bazdawiy, “Adapun siapa saja yang
menyerukan bahwa ia menghasilkan ilmu yaqin –maksudnya adalah hadits ahad--,
tanpa diragukan lagi, itu adalah seruan bathil. Sebab, setiap orang pasti
menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung
syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran). Siapa
saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat
akalnya.”99
Prof. Mahmud Syaltut100 menyatakan,”Sesungguhnya jalan satu-satunya
untuk menetapkan masalah ‘aqidah adalah al-Quran al-Karim; yakni ayat-ayat
Quran yang qath’iy dilalahnya –ayat yang tidak mengandung dua makna atau
lebih--, sebagaimana ayat-ayat yang digunakan untuk menetapkan keesaan Allah,
risalah, dan keyakinan kepada hari akhir. Ayat-ayat yang tidak qath’iy dilalahnya –
mengandung dua makna atau lebih--, maka ayat-ayat semacam ini tidak absah
dijadikan dalil dalam masalah ‘aqidah……Walhasil, apakah ‘aqidah bisa ditetapkan
dengan al-Quran atau tidak, tergantung dari dilalahnya, qath’iy atau dzanniy. Jika
‘aqidah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan nash yang qath’iy baik dari sisi
wurud (tsubut) dan dilalahnya, maka….. ”101
94
'Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisiy Abu Mohammad, Raudlah al-Naadzir,
juz 1, hal. 99
95
Mohammad 'Arafah al-Dasuqiy, Haasyiyah al-Dasuqiy, juz 3, hal. 91. Lihat pula Imam
al-Dimyathiy, I'aanah al-Thaalibiin, juz 1, hal. 64; Muhyidin bin Syaraf, al-Majmuu', juz 7,
hal. 16; Ibnu Badran, al-Madkhal, juz 1, hal. 311. Al-Raaziy, al-Mahshuul, juz 5, hal. 157.
96
Kasyf al-Asraar, juz 4, hal. 378.
97
Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahaasinu Ta’wil, juz 17 hal.304-305
98
Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294
99
Prof. Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal.
63.
100
Prof Mahmud Syaltut adalah mantan guru besar di Universitas al-Azhar .
101
Ibid, hal.61-62
Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya
sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara
asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama.
Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan
keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy,
Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’102
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan
oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak
memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar
mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi
khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah
saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak
menghasilkan keyakinan (ilmu)."103
Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat
(madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah
riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”104
Imam Bazdawiy menyatakan, “Adapun yang mendakwakan ilmu yaqin –
maksudnya adalah hadits hadits--, maka itu adalah dakwaan bathil tanpa ada
keraguan lagi. Sebab, setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan
karena, khabar ahad masih mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih
mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia
telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”105
Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Masalah ini
–khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah
dimaklumi. Apa yang dinyatakan sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu,
barangkali yang mereka maksud dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk
mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadang-kadang disebut dengan ilmu.”106
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak
menghasilkan apa-apa kecuali dzan".107
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan
ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab,
keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah
dalam masalah amal".108
Imam Asnawiy menyatakan, “Riwayat ahad hanya menghasilkan dzan.
Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal didasarkan pada
dzan….”109
Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’ sepakat, bahwa hadits ahad yang
tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun tidak dalam
masalah keyakinan…”110
102
Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.48. Diskusi
tentang hadits ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak, bisa diikuti dalam kitab
Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi
Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar al-Fikr, 1417 H/1996 M, hal.218-223].
103
Prof. Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63
104
Ibid. hal. 63
105
Ibid.hal.63
106
Ibid, hal.64
107
Ibid. hal.64
108
Ibid.hal.64
109
Ibid, hal.64
110
Al-Kasaaiy, Badaai’ al-Shanaai’, juz.I, hal.20
Imam Al-Qaraafiy salah satu ‘ulama terkemuka dari kalangan Malikiyyah
berkata, “..Alasannya, mutawatir berfaedah kepada ilmu sedangkan hadits ahad
tidak berfaedah kecuali hanya dzan saja.”111
Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama
berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah
menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa
khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain
berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun
tidak.”
Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum Muslim, dari kalangan
shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’,
muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah
merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan
dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”112
Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir,
sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan,
akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat
bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.”113
Dari uraian di atas dapat disimpulkan; mayoritas ulama berpendapat, bahwa
hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan, dan tidak absah digunakan hujjah untuk
membangun perkara-perkara yang membutuhkan ilmu dan kepastian. Menurut Prof
Mahmud Syaltut, pendapat ini rajih dan layak untuk diikuti. Atas dasar itu, masih
menurut beliau, hadits ahad tidak boleh digunakan hujjah dalam masalah aqidah.
Bahkan masalah ini seharusnya tidak diperselisihkan oleh kaum Muslim.
Oleh karena itu, ’aqidah harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang
menyakinkan, baik tsubut maupun dilalahnya. Sebab, keyakinan (‘aqidah) yang
dituntut oleh syara’ adalah ‘aqidah yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya.
Dengan kata lain, ‘aqidah harus menyakinkan dan pasti kebenarannya. Atas dasar
itu, dalil yang absah membangun pokok-pokok ‘aqidah haruslah dalil yang
menyakinkan, baik dari sisi tsubut maupun dilalahnya.
Sesungguhnya, hadits ahad adalah hadits yang sanadnya masih mengandung
syubhat atau kesamaran.114 Oleh karena itu, dari sisi tsubut (penetapan), hadits
ahad tidak bisa menghasilkan kepastian atau keyakinan. Karena tidak menghasilkan
keyakinan, alias hanya menghasilkan dzan saja, maka hadits ahad tidak boleh
dijadikan hujjah untuk perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (ilmu).
Pendapat semacam ini dipegang dan dianggap paling kuat oleh jumhur ‘ulama.
Selain itu, seluruh ‘ulama tidak berbeda pendapat bahwa, al-Quran dan hadits
mutawatir yang qath’iy dilalahnya merupakan sumber yang menyakinkan (qath’iy
tsubut) untuk menetapkan pokok keyakinan. Namun, bila dilalahnya tidak qath’iy
maka ia tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Sebab, 'aqidah
menuntut adanya kepastian baik dari sisi sumbernya maupun dilalahnya (makna
yang ditunjukkan oleh nash). Sedangkan nash-nash yang dilalahnya dzanniy masih
membuka ruang terjadinya multi interpretasi, sehingga tidak bisa dipastikan mana
makna yang hendak dituju oleh nash tersebut. Jika nash-nash seperti ini layak
dijadikan hujjah untuk membangun 'aqidah, tentunya akan terjadi perbedaan
pendapat di kalangan kaum Muslim mengenai suatu masalah yang seharusnya
mereka tidak boleh berbeda pendapat. Bahkan, bisa-bisa kaum Muslim akan
menyakini dua hal yang kontradiktif, akibat dilalah nash yang dzanniy (tidak pasti).
111
Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.
112
Al-Qasaamiy, Qawaa’id al-Tahdiits, hal.137,138.
113
Dr. Rifat Fauziy, al-Madkhal ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.
114
Ibid, hal. 63
Oleh karena itu, masalah aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang tsubut dan
dilalahnya pasti.
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, hadits ahad tidak absah
dijadikan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan kepastian dan
keyakinan (masalah aqidah). Pasalnya, hadits ahad dari --sisi tsubutnya-- tidak
menghasilkan keyakinan yang pasti. Atas dasar itu, Prof Mahmud Syaltut, di dalam
Kitab al-Islaam 'Aqiidah wa Syarii'ah, menyatakan, "Demikianlah, kami telah
mendapati pendapat-pendapat ulama ahli kalam dan ushul yang bersepakat bahwa,
khabar ahad (hadits ahad) tidak menghasilkan keyakinan dan tidak boleh
menetapkan perkara aqidah. Kami juga mendapati para ulama muhaqqiq telah
menetapkan masalah ini sebagai masalah dlaruriy yang tak seorangpun boleh
berselisih pendapat". Masih menurut Prof Mahmud Syaltut, pendapat yang
menyatakan bahwa "hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan)", sesungguhnya
yang dimaksud ilmu di sini adalah adalah dzann, atau ilmu bi wujuub al-'amal
(kepastian dalam hal wajibnya mengamalkan hadits ahad); bukan keyakinan pasti.
Untuk itu, hadits ahad tidak absah dijadikan hujjah untuk membangun perkara-
perkara aqidah. Dengan kata lain, perkara aqidah tidak boleh ditegakkan di atas
hadits-hadits ahad. Menurut Prof Mahmud Syaltut, kesimpulan semacam ini telah
mencapai derajat ilmu dlaruriy yang tidak boleh diperselisihkan oleh orang-orang
yang memiliki akal pikiran115.
115
Prof Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 65.
BAB V
KEHUJJAHAN HADITS AHAD
DALAM MASALAH AQIDAH
116
Lihat Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 113-115
117
Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr,
hal.79.
mendapatkan bukti tulisan dari Khuzaimah al-Anshori ra.118 Ini adalah sikap yang
sangat hati-hati.
Al-Quran adalah pokok dari 'aqidah Islam. Mengingkari al-Quran, atau
menyakini bahwa al-Quran telah mengalami penambahan ataupun pengurangan
adalah keyakinan bathil yang harus dijauhi oleh orang-orang beriman. Sebab,
keyakinan semacam ini akan menjatuhkan seseorang –baik sadar maupun tidak
sadar—pada sebuah keyakinan bahwa, al-Quran tidak lagi otentik dan asli.
Di dalam kitab-kitab hadits shahih banyak dituturkan riwayat ahad yang
dinyatakan sebagai al-Quran, namun tidak dilembagakan di dalam mushhaf
'Utsmaniy. Kita juga menjumpai adanya mushhaf para shahabat yang kadang-
kadang jumlah ayat dan urut-urutannya tidak sama dengan Mushhaf 'Utsmaniy.
Seandainya riwayat-riwayat dan mushhaf para shahabat tersebut harus diyakini, dan
layak dijadikan hujjah dalam penetapan al-Quran, sama artinya kita telah menuduh
para shahabat telah berkonsensus untuk menambah atau mengurangi al-Quran, atau
mengubah susunan al-Quran. Padahal, hal ini adalah sebuah kemustahilan bagi para
shahabat. Untuk itu, hadits ahad tidak boleh digunakan hujjah dalam perkara
‘aqidah (keyakinan). Al-Quran adalah pokok keimanan kaum Muslim, dan ia harus
ditetapkan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang
diklaim sebagai al-Quran harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.
Berikut ini akan kami ketengahkan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-
Quran, akan tetapi tidak boleh diyakini sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran.
• Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia
berkata;
ما7قرأت سورة الحزاب على النبي صلى ال عليه وسلم فنسيت منها سبعين آية
وجدتها
” Saya membaca surat al-Ahzab di hadapan Nabi saw dan tujuh puluh ayat
darinya saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran
sekarang.’119
Riwayat ini adalah riwayat ahad. Seandainya riwayat ini bisa digunakan
hujjah dalam masalah ‘aqidah, tentu kita harus menyakini juga bahwa surat al-
Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam, tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat
dalam surat al-Ahzab yang telah hilang. Padahal, keyakinan semacam ini tentu
akan berakibat fatal bagi kebersihan dan keotentikan al-Quran al-Karim sebagai
kalamullah dan mukjizat terbesar dari Rasulullah saw. Menyakini riwayat ini
sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Riwayat
ini juga tidak boleh dipahami sebagai ayat al-Quran yang telah dihapus.
Pasalnya, al-Quran harus ditetapkan berdasarkan periwayatan mutawatir.
Penurunan, penjagaan, dan pembukuan al-Quran dilakukan dengan jalan
mutawatir. Imam terhadap al-Quran termasuk bagian dari aqidah yang tidak
boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil yang qath'iy tsubut wa al-dilaalah120.
118
Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit mengenai masalah ini sebagai
berikut, "....Maka aku (Zaid bin Tsabit) pun menelusuri al-Quran dan mengumpulkannya
dari pelepah-pelepah kurma, batu-batu yang tipis, dan hafalan orang-orang, sampai aku
menemukan akhir surat al-Taubah pada diri Abu Khuzaimah al-Anshoriy, dan aku tidak
menemukannya pada seseorang pun kecuali dirinya.." Di dalam Kitab Manaahil al-'Irfaan,
juz 1, hal. 245, dituturkan, "Imam al-Sakhawiy dalam Majaal al-Qurraa menyatakan, yang
dimaksud dengan dua saksi adalah dua orang adil. Lalu ia berkata, "Yang dimaksud adalah
dua orang itu bersaksi bahwa apa yang tertulis itu ditulis dihadapan Nabi saw".
119
Al-Hafidz al-Suyuthiy, Durr al-Mantsur, jilid 6, hal. 560
120
Dr. Mohammad Ali Hasan, Al-Manaar fi 'Uluum al-Quraan, hal. 126
• Riwayat semacam ini juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail;
Ibnu Al-Anbaariy, dan Ibnu Mardawaih dari ‘Aisyah, bahwasanya beliau ra
berkata;
فلما7كانت سورة الحزاب تقرأ في زمان النبي صلى ال عليه وسلم مائتي آية
كتب عثمان المصاحف لم يقدر منها إل على ما هو الن
“Pada masa Nabi saw, surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat. Akan
tetapi, ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali
sebagaimana yang ada sekarang ini.”121
Seandainya riwayat ahad ini harus diyakini dan wajib dijadikan hujjah
dalam masalah 'aqidah, tentunya kita harus menyakini lebih dari separuh surat
al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat. Sebab, surat al-
Ahzab yang ada di dalam Mushhaf Imam hanya berjumlah tujuh puluh tiga ayat.
Oleh karena itu, riwayat ini tidak boleh diyakini bahkan harus ditolak untuk
dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah. Seorang Muslim dilarang menyakini ada
ayat Quran yang tidak terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Riwayat ini juga
tidak menunjukkan adanya nasakh tilawah. 'Allamah Taqiyyuddin al-Nabhaniy di
dalam Kitab al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah menyatakan bahwa, tidak ada
nasakh tilawah. Menurut beliau, pendapat semacam ini dipegang oleh mayoritas
'ulama. Sebab, seluruh ayat al-Quran ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath'iy,
dan ayat-ayat yang tidak ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath'iy tidak boleh
dianggap sebagai al-Quran. Selain itu, tidak adanya satupun dalil qath'iy yang
menunjukkan adanya nasakh tilawah. Adapun riwayat-riwayat dzanniy yang
mengesankan adanya nasakh tilawah, sesungguhnya riwayat-riwayat seperti ini
tidak bernilai sama sekali. Sebab, sesuatu yang qath'iy tidak bisa dihapus oleh
sesuatu yang dzanniy. Yang qath'iy hanya bisa dihapus oleh yang qath'iy.122
• Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan
Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran,
disana disebutkan, "Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk
mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-
Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin
berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-
shalawaat wa al-shalaat al-wustha...). Setelah sampai pada ayat tersebut,
mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah,
hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'Ashr..". 'Umar ra bertanya,
"Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar berkata,
"Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang
perempuan sedangkan ia tak punya bukti."
Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab,
jika riwayat ini diyakini sebagai bagian dari al-Quran sama artinya kita menyakini
bahwa, al-Quran telah mengalami pengurangan. Sebab, kata “al-‘Ashr” tidak
dilembagakan di dalam mushhaf 'Utsmaniy. Tidak boleh dinyatakan bahwa
riwayat ini telah dinasakh (dihapus) tilawahnya. Tidak bisa dinyatakan seperti
itu, sebab, dari sisi istbat, riwayat itu tidak terbukti sebagai al-Quran atau bagian
dari al-Quran. Alasannya, riwayat di atas adalah riwayat ahad; sedangkan al-
Quran tidak ditetapkan kecuali dengan riwayat mutawatir. Lantas, bagaimana ia
bisa dinyatakan al-Quran yang dihapus, sedangkan riwayat itu tidak terbukti
121
Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, jilid II, hal.25, lihat juga Duur al-
Mantsur, jilid 6; hal.560
122
Taqiyyuddin al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 273.
sebagai al-Quran?123 Di dalam Kitab Irsyaad al-Fuhuul disebutkan bahwa, Imam
Sarkhasiy menolak adanya nasakh tilawah. Sebab, menurut beliau, hukum tidak
ditetapkan kecuali dengan dalil; dan tidak ada hukum tanpa ada dalil124.
• Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha', dan Ibnu Dawud dalam Mashahif
dari Ummul Mukminin 'Aisyah ra, ia berkata, "Telah turun ayat tentang 10 (kali
isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus
dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah saw meninggal, sedangkan
beliau menyatakan ia adalah al-Quran." Namun demikian, tak seorangpun
shahabat yang memperhatikan riwayat ini. Mereka tidak menulisnya di dalam
Mushhaf. Juga tidak boleh dipahami bahwa, riwayat tersebut merupakan al-
Quran yang telah dihapus. Sebab, tidak ada nasakh tilawah di dalam al-Quran.
Meskipun sebagian ulama berpendapat adanya nasakh tilawah, namun pendapat
itu lemah dan tidak layak diikuti. Adapun mengapa nasakh tilawah tidak terdapat
di dalam al-Quran; sebab, riwayat-riwayat yang menuturkan adanya nasakh
tilawah adalah hadits ahad; sehingga, tidak menghasilkan kepastian dan
keyakinan. Selain itu, riwayat-riwayat tersebut tidak boleh dianggap sebagai al-
Quran maupun bagian dari al-Quran; sehingga harus diimani dan diyakini sebagai
al-Quran yang dihapus125.
• Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif, al-Haakim, dan selain keduanya
dari Mushhafnya Ubay bin Ka'ab, ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda)
budak. Di dalam mushhafnya Ubay tersebut disebutkan, "fa shiyaam tsalaats
ayaam mutatabi'aat fi kifaarat al-yamiin"[berpuasa tiga hari berturut-turut
untuk kifarat al-yamin].”
Riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf Imam. Riwayat ini
juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab, seandainya hadits ini harus
diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi
otentik, alias telah mengalami pengurangan. Dalam masalah ini, Imam Syafi’iy
menolak berhujjah dengan riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad.126
• Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, "Adalah Ibn al-'Ash dan
Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu, sampailah mereka kepada ayat
ini, maka Zaid berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, "al-Syaikh
wa syaikhaat idza zanaya [kakek dan nenek jika berzina].", 'Umar berkata,
"Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak muhshon akan dijilid,
sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia muhshon, maka dirajam".127
• Dalam riwayat Muwatha' 'Umar berkata dalam khutbahnya, "Seandainya bukan
karena orang-orang mengatakan bahwa 'Umar bin Khaththab telah menambah
Kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah
membacanya".
Dua riwayat di atas bukanlah al-Quran dan tidak boleh diyakini sebagai
ayat Quran yang dihapus (mansukh). Alasannya, riwayat-riwayat di atas adalah
khabar ahad, sehingga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Bagaimana kita
bisa menyatakan bahwa riwayat ini adalah al-Quran yang dihapus, padahal
riwayat ini tidak terbukti sebagai al-Quran? Seperti halnya riwayat-riwayat
123
Dr. Mohammad Ali Hasan, al-Manaaf fiy 'Uluum al-Quran, hal. 126
124
Lihat Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 190
125
Lihat dan bandingkan dengan Dr. Mohammad Ali al-Hasan, al-Manaar fi 'Uluum al-Quran,
hal. 126. Lihat juga penjelasan Imam al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, jilid 2,
hal. 26. Di dalam kitab itu al-Suyuthiy menjelaskan bahwa Ibnu Dzafar menolak adanya
nasakh tilawah (namun hukumnya tetap), dengan alasan khabar ahad (hadits ahad) tidak
bisa menetapkan al-Quran."[Al-Hafidz Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, hal. 26]
126
Imam Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 113
127
Lihat Imam al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, bagian ke 2, hal. 25
sebelumnya, riwayat ini dituturkan secara ahad, dan al-Quran tidak ditetapkan
kecuali berdasarkan riwayat mutawatir. Riwayat ahad yang diklaim sebagai al-
Quran tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran.128
• Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari, Thabarani, Ibnu
Mardawaih dengan jalan shahih dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud bahwa, Ibnu
Mas’ud dan Ibnu Abbas tidak memasukkan al-Mu'awidzatain (surat al-Falaq dan
al-Naas) dalam mushhafnya. Keduanya menyatakan bahwa al-Quran tidak
tercampur dengan sesuatu yang bukan dari Kitabullah. Menurut kedua shahabat
itu, al-mu’awidzatain bukan termasuk al-Quran, namun hanya perintah Allah
kepada Nabi saw untuk berlindung dengan keduanya”.
• Imam Fakhr al-Raziy menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab terdahulu telah
menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud telah mengingkari surat al-Fatihah dan al-
Mu’awidzatain sebagai bagian dari al-Quran. 129
Imam Nawawiy dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan, " Seluruh kaum
Muslim telah bersepakat bahwa, al-Mu’awidzatain dan al-Fatihah merupakan
bagian dari al-Quran. Siapa saja yang mengingkari keduanya [sebagai bagian
dari al-Quran] telah terjatuh dalam kekafiran. Sedangkan riwayat yang dinukil
dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, dan sama sekali tidak shahih."130
Al-Bazariy menyatakan, "Tak seorang pun dari kalangan shahabat yang
mengikuti pendapat Ibnu Mas'ud. Telah disahkan dari Nabi saw bahwa, beliau
saw membaca keduanya dalam sholat dan mu'awidzatain ditetapkan dalam
mushhaf."131 Walhasil, para shahabat ra menolak khabar dari shahabat Ibnu
Mas'ud ra, karena ia adalah khabar ahad yang tidak sampai kepada derajat
mutawatir dan qath'iy.
Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Qadh al-Ma’aliy Tatmiim al-Majaliy,
berkata, “Riwayat ini merupakan pendustaan atas nama Ibnu Mas’ud.”132
Ibnu Hajar dalam Syarh al-Bukhari menyatakan: “Telah dishahihkan dari
Ibnu Mas’ud bahwa ia telah mengingkari al-Mu’awidzatain.” Riwayat senada juga
dituturkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis
al-Mu’awidzatain di dalam mushhafnya.133
Lalu, apakah berdasarkan riwayat ahad ini, anda akan menarik
kesimpulan bahwa al-Mu’awidzatain bukanlah bagian dari al-Quran? Seandainya
anda menyatakan bahwa, riwayat Ibnu Mas’ud ini harus diyakini, tentunya al-
Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Seandainya kita menyatakan,
bahwa hadits ahad yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ini tidak boleh diyakini,
maka anda telah menyelamatkan al-Quran dari adanya tahrif.
• Hujjaaj menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Juraij, dari Hamidah binti Abi
Yunus, bahwasanya ia berkata, "Dibacakan di depan ayahku, Mushhaf 'Aisyah ra,
di mana saat itu ayahku masih berumur 8 tahun. Di dalam Mushhaf itu
tercantum ayat, "Innallaha wa malaaikatahu yushalluuna 'alan Nabiy, ya ayyuhal
ladziina aamanuu shalluu 'alaihi wa sallimuu tasliima wa 'alal ladziina yushalluuna
al-shufuuf al-awwal". Ia membacanya sebelum 'Utsman mengubah Mushhaf-
Mushhaf".134 Riwayat ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran yang telah
128
Dr. Mohammad Ali al-Hasan, al-Manaar fi 'Uluum al-Quran, hal.26
129
al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79. Lihat juga, Al-Amidiy, al-
Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 114
130
al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, hal.79
131
Ibid, hal. 79
132
al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79
133
Ibid,hal.79
134
Ibid, bagian ke 2, hal. 25
dihapus tilawahnya. Sebab, riwayat ini dituturkan secara ahad, sehingga tidak
boleh dianggap sebagai al-Quran yang telah dihapus.
• Masih banyak riwayat-riwayat ahad lain yang dinyatakan sebagai al-Quran
atau bagian dari al-Quran yang tidak dilembagakan di dalam Mushhaf 'Utsmaniy.
Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya sangat banyak. Seandainya kita harus
menyakini riwayat-riwayat ini, sama artinya dengan menyakini bahwa Mushhaf
'Utsmaniy telah mengalami tahrif (penyimpangan).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, riwayat ahad tidak
boleh digunakan hujjah untuk membangun pokok keimanan. Perilaku para
shahabat dengan tidak melembagakan riwayat-riwayat ahad yang diklaim
sebagai al-Quran merupakan bukti nyata, bahwa khabar ahad tidak boleh
dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Seandainya riwayat ahad bisa
menetapkan Al-Quran, niscaya lenyaplah eksistensi al-Quran sebagai bukti yang
menyakinkan, dan jadilah ia sebagai bukti yang dzanniy.
3. Argumentasi ‘Aqliyyah
Secara ‘aqliy, ketika anda menyaksikan suatu peristiwa secara langsung, dan
terlibat di dalamnya, anda pasti akan menyakini kebenaran peristiwa yang anda
saksikan tersebut. Sebab, peristiwa tersebut menyakinkan dari sisi anda. Namun,
ketika anda menyampaikan peristiwa itu kepada orang yang tidak menyaksikannya
secara langsung, tentu orang itu tidak langsung mempercayai ucapan anda,
meskipun anda sangat menyakini peristiwa itu. Peristiwa tersebut hanya
menyakinkan dari sisi anda, namun tidak bagi orang yang tidak menyaksikan
peristiwa itu secara langsung. Di sinilah pentingnya itsbat (penetapan); apakah
berita yang anda sampaikan itu benar-benar menyakinkan atau tidak.
Hal ini tidak ubahnya dengan kesaksian yang diberikan seorang saksi kepada
seorang qadliy. Seorang saksi harus membangun kesaksiannya dengan bukti-bukti
yang menyakinkan. Ia tidak boleh bersaksi, kecuali jika menyaksikan kejadiannya
secara langsung, menyakinkan dan pasti. Dalam sebuah hadits yang dituturkan
oleh Ibnu 'Abbas ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah ditanya tentang kesaksian.
Kemudian beliau bertanya, "Apakah kamu melihat matahari? Lalu dijawab, "Ya."
Kemudian beliau saw bersabda, "Seperti itu juga. Jika kalian melihat (seperti
melihat matahari) maka bersaksilah, atau jangan bersaksi (jika tidak melihatnya
seperti melihat matahari)".135 Dalam redaksi lain, Nabi saw bersabda;
وإنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض6إنما أنا بشر
ا فلا يأخذ فإنما أقطعiق أخيه شيئ
0 وأقضي له على نحو ما أسمع فمن قضيت له من ح
من النارiله قطعة
"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa
masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang
hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai
dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan,
sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian
mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan
bagian dari api neraka."137
Nash ini menunjukkan bahwa, Rasulullah saw memutuskan perkara
berdasarkan prasangkanya. Kesaksian yang diberikan kepada saksi hanya
menyakinkan dari sisi saksi, tidak bagi qadliy. Buktinya, Rasulullah saw menyatakan
kemungkinan adanya vonis yang salah. Seandainya, berita yang disampaikan
seorang saksi juga menyakinkan dari sisi qadliy, tentu Rasulullah saw tidak akan
menyatakan kemungkinan adanya kesalahan dalam hal vonis. Sekiranya kesaksian
saksi menghasilkan kepastian dan keyakinan, niscaya seorang qadli harus
memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi. Padahal, Rasulullah saw telah
menyatakan dengan jelas, bahwa seorang hakim itu memutuskan sesuatu
berdasarkan dzan, bukan sekadar dengan keterangan yang disampaikan oleh
seorang saksi.
Dari ‘Amru bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah saw bersabda;
6إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
"Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lantas ia berijtihad dan ijtihadnya
benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun, jika seorang hakim hendak
memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia
mendapat satu pahala."[HR. Imam Bukhari]
Imam Nasaaiy juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra,
bahwasanya Nabi saw bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا اجتهدد فأخطأ فله أجر
135
Imam al-Baihaqiy, Sya'b al-Iiman, juz 22, hal. 363.
136
Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit
137
HR. Mutafaq ‘Alaih
"Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan
ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia berijtihad
dan ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu buah pahala".[HR. Imam Nasaaiy]
Kenyataan seperti ini, sama persis dengan si anu yang menyampaikan
sebuah khabar kepada si fulan. Meskipun khabar itu menyakinkan dari sisi si anu,
namun dari sisi si fulan, khabar itu tidaklah menyakinkan. Oleh karena itu, si fulan
bisa menolak, atau menerima berita dari si anu. Ini menunjukkan dengan sangat
jelas bahwa khabar yang disampaikan oleh seorang yang adil, tetaplah tidak
menyakinkan bagi orang yang menerima berita tersebut; walaupun bagi orang yang
adil berita itu menyakinkan. Namun demikian, jika berita itu telah masyhur dan
menyakinkan, maka dengan sendirinya, siapapun yang menyampaikan berita itu,
wajib kita yakini. Secara ‘aqliy khabar yang disampaikan seseorang atau lebih yang
tidak mengantarkan kepada keyakinan, hanya akan menghasilkan dzan belaka, tidak
menyakinkan.
144
Orang yang berpendapat bahwa hadits ahad harus dijadikan hujjah dalam perkara aqidah
beralasan bahwa, umat telah menyakini riwayat ahad yang bertutur tentang siksa kubur,
melihat Allah, dan lain sebagainya. Jika riwayat-riwayat ahad ini tidak bisa menetapkan
'aqidah, tentunya ini akan bertentangan dengan realitas umat telah menyakini riwauyat-
riwayat tersebut.
145
Yg dimaksud dengan ketenangan dan ketentraman hati adalah prasangka kuat yang bisa
menumbuhkan perasaan tenang dan tentram di dalam hati, karena sisi kebenaran yang
dikandung oleh suatu berita lebih kuat dibandingkan kedustaannya. Prasangka kuat ini
muncul karena hadirnya keadilan orang yang membawa berita tersebut. Keadaan ini
sama persis dengan kasus menghadap kiblat ketika seorang musholliy ragu-ragu tentang
arah kiblat. Ia boleh menghadap ke arah yang dianggapnya lebih benar, dan
menentramkan hatinya; walaupun ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran arah kiblat
yang dipilihnya. Sesungguhnya, khabar ahad jika telanjur diyakini, sesungguhnya
keyakinan ini muncul dari ketenangan dan ketentraman hati, bukan muncul dari ilmu yakin
(keyakinan yang pasti). Atas dasar itu, khabar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu yakin
(keyakinan hati). Akan tetapi, ia bisa menetapkan dan menghasilkan ketenangan dan
ketentraman hati.
146
Berita yang disampaikan oleh orang fasik mengandung dua sisi yang saling kontradiksi,
benar atau dusta. Hanya saja, salah satu sisi itu tidak bisa dikuatkan salah satunya,
apakah sisi dustanya ataukah sisi benarnya yang lebih kuat. Akibatnya, seseorang tidak
bisa memilih mana yang lebih kuat, dustanya atau kebenarannya. Atas dasar itu, berita
orang fasik tidak bisa menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati karena kefasikan
orang yang membawa berita itu.
(orang-orang kafir) meninggalkan keyakinan hati yang telah terbukti kebenarannya,
sesudah ada pengetahuan terhadapnya. Semua ini menunjukkan bahwa, atsar-
atsar (riwayat-riwayat) tersebut tidak terlepas dari makna "wajibnya mengamalkan
hadits-hadits tersebut".147
Syubhat Kedua; Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Perkara
‘Aqidah = Tidak Pernah Dikatakan oleh ‘Ulama Salaf
Pendapat semacam ini adalah pendapat premature yang tidak bisa diterima
akal sehat. Sebab, pembahasan semacam ini –hadits ahad menghasilkan keyakinan
atau tidak—termasuk dalam pembahasan ushul dan pondasi bagi kaedah-kaedah
fiqhiyyah. Padahal ilmu ushul fiqh, ilmu mushthalah hadits, ilmu nahwu, sharaf,
balaghah, dan seterusnya adalah ilmu yang dibuat setelah periode ‘ulama salaf.
Lalu, apakah anda akan menolak ilmu-ilmu ini, hanya dengan alasan karena tidak
pernah dilakukan oleh ulama salaf?
Kita harus memahami terlebih dahulu definisi salaf, tatkala kita menyinggung
‘aqidah salaf dan hal-hal yang mereka pegangi. Jika yang dimaksudkan generasi
salaf adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sebaik-baik generasi adalah
generasiku, kemudian generasi berikutnya, dan kemudian generasi berikutnya”,
maka tidak secara otomatis pendapat yang bertentangan dengan pendapat ulama
salaf, atau yang tidak pernah dikatakan oleh mereka terkategori bid’ah dan sesat.
Jika anda konsisten untuk memegang ‘aqidah salaf dan hukum yang digali salaf,
sedangkan pendapat ulama lain yang tidak termasuk salaf adalah pendapat yang
tidak benar dan bid’ah, atau tidak boleh diikuti –karena mereka bukan ulama salaf--,
lalu bagaimana komentar anda tentang ilmu ushul fiqh yang digagas pertama kali
oleh Imam Syafi’iy. Bukankah beliau adalah orang yang pertama kali meletakkan
landasan ilmu ushul fiqh melalui bukunya yang sangat masyhur, al-Risalah? Selain
itu, bukankah beliau hidup setelah masa tiga masa itu; dan bukankah beliau tidak
termasuk tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in? Apakah anda akan mengatakan bahwa
yang diperbuat imam Syafi’i itu bid’ah karena tidak pernah dibicarakan oleh ulama
salaf? Seandainya merujuk hanya kepada ulama salaf sebuah keharusan, sedangkan
yang lain harus ditinggalkan, mengapa anda memakai kitab Shahih Bukhari dan
Muslim? Bukankah keduanya dibukukan setelah periode salaf ? Apakah anda
menyatakan bahwa Imam Bukhari dan Muslim melakukan tindakan bid’ah?
Oleh karena itu, masalahnya bukan apakah suatu pendapat telah
dikemukakan dan dibicarakan oleh ulama salaf atau belum, maupun apakah
pendapat itu sesuai dengan ‘ulama salaf atau tidak. Masalah yang terpenting adalah
apakah sebuah pendapat sejalan dengan al-Quran dan Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan
Qiyas? Kita tidak perlu menyatakan apakah pendapat itu diketengahkan oleh ulama
salaf atau tidak. Pasalnya, pendapat ulama salaf bukanlah dalil syariat. Bahkan,
pendapat shahabat bukanlah dalil syariat bagi kita, bahkan bisa jadi pendapat
mereka salah. Oleh karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah kebenarannya
sendiri, bukan dikatakan ulama salaf atau tidak. Sebab, ulama salaf tidaklah
ma’shum, dan dalil syariat hanyalah al-Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas.
Di sisi yang lain, ijtihad untuk menggali hukum dari al-Quran dan Sunnah
harus dilakukan hingga akhir jaman. Padahal, ada masalah-masalah maupun
kejadian-kejadian yang tidak dijumpai di generasi salaf; namun, kita tetap harus
147
Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 329-330. Dari keterangan beliau ini
dapat disimpulkan bahwa riwayat-riwayat ahad yang bertutur tentang siksa kubur, melihat
Allah, dan lain sebagainya tidak menghasilkan ilmu dlaruriy. Apabila selama ini umat
menyakini dan qana'ah dengan riwayat-riwayat itu, sesungguhnya semua ini tidak muncul
dari ilmu dlaruriy, akan tetapi muncul dari ketenangan dan ketentraman hati karena
riwayat-riwayat itu dituturkan oleh perawi adil. Hanya saja, keimanan dan aqidah harus
disangga oleh dalil-dalil yang menghasilkan ilmu dlaruriy.
menggali hukum untuk masalah-masalah tersebut berdasarkan nash-nash al-Quran
dan Sunnah, dan metodologi istinbath yang shahih.
Syubhat Ketiga; Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Masalah
‘Aqidah = Menolak Hadits Ahad
Ini adalah kesimpulan premature yang menunjukkan ketidaktahuan dirinya
mengenai ushul fiqh.
Hadits ahad yang tsiqat dan terpercaya wajib diamalkan, dan bisa digunakan
hujjah dalam perkara syari’at (amal). Sedangkan dalam perkara ‘aqidah, yang
membutuhkan keyakinan (ilmu) , maka hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah di
dalamnya. Sebab, 'aqidah mensyaratkan adanya keimanan dan keyakinan pasti
seratus persen tanpa ada syubhat ataupun kesamaran. Sedangkan hadits ahad
masih mengandung syubhat dan kesamaran. Walhasil, jika iman mengharuskan
adanya keyakinan, maka keimanan (‘aqidah) tidak mungkin dibangun dengan hadits
ahad yang masih mengandung kesamaran.
Lalu mereka mengeluarkan sebuah statement,” Kalau anda tidak menjadikan
hadits ahad sebagai hujjah dalam perkara ‘aqidah, mengapa anda mesti
mengerjakannya? Bukankah ini berarti bahwa apa yang anda kerjakan tidak
didasarkan pada keyakinan atau iman? Padahal, bukankah kita diperintah untuk
mengerjakan perbuatan apapun atas landasan iman?
Benar, kita harus mengerjakan perbuatan apapun karena keimanan kita. Kita
tidak boleh mengerjakan perbuatan bukan karena motivasi iman. Namun, masalah
ini (perbuatan yang harus berlandaskan motivasi iman) harus dibedakan dengan
berhujjah dengan dalil ahad dalam masalah ‘aqidah. Dalil dalam masalah amal
(perbuatan) tidak disyaratkan harus menyakinkan dan pasti. Syariat telah
menggariskan bahwa, dalam perkara amal, Allah dan Rasulnya mencukupkan kepada
kita untuk bersandar dengan dalil-dalil yang dzan baik dilalah maupun tsubutnya.
Syariat tidak mensyaratkan bahwa, amal harus dibangun di atas dalil-dalil yang
menyakinkan. Ini semua menunjukkan; tatkala kami beramal menggunakan hadits
ahad dibarengi dengan sebuah keyakinan (keimanan) bahwa Allah dan RasulNya
memang membolehkan kita untuk beramal dengan dalil-dalil dzan (hadits ahad).
Namun, Allah melarang kita menggunakan dalil-dalil dzan (hadits ahad) untuk
membangun pokok ‘aqidah.
Atas dasar itu, ketika kami beramal dengan hadits ahad sama sekali tidak
berarti bahwa, kami mengerjakan perbuatan tersebut tidak didasarkan pada motivasi
iman.
Perhatikan juga contoh berikut ini. Para ‘ulama berbeda pendapat dalam
menafsirkan kata “menyentuh” pada ayat tentang bersuci. Sebagian ulama –
madzhab Syafi’iy— berpendapat bahwa kata “menyentuh” di ayat tersebut diartikan
secara hakiki. Artinya, jika orang yang telah berwudlu’ menyentuh wanita, maka
batallah wudlu’nya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa kata menyentuh di
situ bermakna “bersetubuh”. Walhasil, menurut Imam Malik, seseorang tidak batal
wudlu’nya bila menyentuh wanita, kecuali jika ia telah menyetubuhinya.
Sesungguhnya, orang yang berpegang kepada pendapat pertama bersandar kepada
dalil yang dilalahnya dzanniy; begitu pula orang yang memegang pendapat kedua.
Dengan kata lain, sesungguhnya mereka berbuat berdasarkan prasangka kuatnya
(dzan) dan tidak berdasarkan dilalah yang menyakinkan. Namun demikian, tidak
boleh disimpulkan bahwa kedua orang itu beramal tanpa dengan motivasi dan
landasan iman.
Jadi tidak benar, ketika kami mengerjakan sebuah perbuatan yang
didasarkan pada hadits ahad tidak dibarengi dengan keimanan. Yang benar
adalah,sesungguhnya kami menyakini bahwa, Allah swt dan RasulNya membolehkan
kami beramal dengan bersandar kepada hadits ahad.
Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-
masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya
sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa
yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak
bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya,
apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka"148.
Ini menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah menjatuhkan vonis, beliau tidak
menyandarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan. Sebab, kesaksian yang
disampaikan kepada beliau tidak menyakinkan dari sisi beliau saw . Bahkan beliau
menyatakan bahwa vonis beliau bisa jadi salah. Akan tetapi, beliau tetap
menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian yang beliau anggap kuat (ghalabat dzan).
Beliau menjatuhkan saksi bukan karena dalil (bukti) yang menyakinkan. Sedangkan
penjatuhan vonis termasuk bagian dari amal. Ini menunjukkan bahwa amal tidak
harus disandarkan dengan dalil yang qath’iy.
Lalu, apakah anda akan mengatakan, bagaimana Rasulullah bisa
menjatuhkan vonis sedangkan dalil yang membangun vonis tersebut tidak
menyakinkan? Apakah anda akan menyimpulkan bahwa Rasulullah saw
mengerjakan suatu perbuatan namun tidak didasarkan pada keimanannya?
Untuk itu, kami tidak mengingkari atau menolak hadits ahad. Sebab,
mengingkari hadits ahad sama dengan mengingkari orang yang adil. Akan tetapi,
ada dalil lain yang menunjukkan bahwa, Al-Quran telah melarang kita mengambil
dalil-dalil dzan dalam perkara ‘aqidah. Sedangkan dalam masalah-masalah hukum
(amal), hadits ahad wajib untuk diamalkan dan sah digunakan sebagai hujjah.
Demikianlah, kami telah menjelaskan kepada anda dengan penjelasan yang
jelas dan gamblang. Seluruh penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa hadits
ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Pendapat ini merupakan
pendapat terkuat yang wajib untuk diikuti. Siapa saja yang menolak perkara ini
sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri. Semoga Allah menyadarkan
orang-orang yang bebal, dan menunjukkan orang-orang yang ragu.
Wahai kaum Muslim, berhati-hatilah kalian dalam perkara ‘aqidah ini. Sebab,
‘aqidah yang bersih menjadi jaminan keselamatan kita. ‘Aqidah bersih yang
sanggup memurnikan dan mensucikan ‘aqidah Islam hanya akan tegak dengan
hujjah yang kuat dan menyakinkan.
148
HR. Muttafaq ‘Alaih
BAB VII
SIKSA KUBUR
Adanya siksa kubur banyak disebutkan di dalam sunnah. Akan tetapi, juga
banyak ayat di dalam al-Quran yang menunjukkan tidak adanya siksa sebelum hari
kiamat. Misalnya firman Allah swt, artinya,
"Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira, bahwa Allah lalai dari
apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi
tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak."
(Ibrahim:42).
"Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa,
"mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja". Seperti demikianlah
mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)." (al-Ruum:55)
"Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari
kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, "Aduhai celakalah
kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah
yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya."
(Yasiin:51-52).
Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas tidak adanya siksa sebelum hari
kiamat. Meskipun demikian, di dalam sunnah banyak dituturkan tentang adanya
siksa kubur, bahkan sebagian ahli hadits menyatakan bahwa hadits-hadits tentang
siksa kubur mencapai derajat mutawatir maknawiy.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, ada nash yang menyatakan adanya
siksa kubur, sedangkan nash yang lain menafikan adanya siksa sebelum hari kiamat.
Bila dipandang sekilas, kedua kelompok nash-nash ini saling bertentangan satu
dengan yang lain. Lalu, bagaimana kita mengkompromikan nash-nash yang
bertentangan tersebut?
Pada dasarnya, wahyu dari Allah swt tidak mungkin saling bertentangan.
Atas dasar itu, pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam nash tidak boleh
dipandang sebagai pertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, akan tetapi
harus diupayakan untuk dikompromikan untuk menyelamatkan nash dari
pertentangan. Allah swt telah berfirman, artinya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau sekiranya al-
Quran itu bukan dari sisi Allah swt, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.”[al-Nisaa’:82]
Benar, banyak hadits menuturkan tentang siksa kubur. Beberapa ayat al-
Quran juga mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun demikian, ayat-ayat
tersebut dilalahnya (penunjukkannya) tidak qath'iy. Kami akan mengetengahkan
sebagian ayat tersebut. Allah swt berfirman, artinya,
"Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya
menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan
pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan
kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27)
"Kalau kamu melihat ketika pada malaikat mencabut jiwa orang-orang yang
kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata),"Rasakanlah
olehmu siksa neraka yang membakar," (tentulah kamu akan merasa negeri). (al-
Anfaal:50)
Ayat terakhir surat al-Anfaal ini dalalahnya qath'iy, bahwa malaikat menyiksa
orang kafir saat mencabut nyawa mereka. Ayat seperti itu juga disebutkan dalam
surat Mohammad, "Bagaimanakah keadaan mereka apabila para malaikat (maut)
mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka?
(Mohammad:27). Juga dalam surat al-An'am, "Alangkah dahsyatnya sekiranya
kamu melihat di waktu orang-orang yang dzalim (berada) dalam tekanan-tekanan
sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, sambil berkata,
"Keluarkanlah nyawamu" (al-An'aam:93).
Ayat-ayat di atas tidak menunjukkan adanya siksa kubur, namun
menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Ayat-ayat semacam ini tidak
menunjukkan secara pasti (qath’iy) tentang adanya siksa kubur, akan tetapi hanya
menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Karena dilalahnya tidak qath’iy,
ayat-ayat ini tidak boleh dijadikan dalil untuk menyakini adanya siksa kubur. Sebab,
keyakinan harus didasarkan kepada nash-nash yang dilalahnya pasti (qath’iy)149.
149
Prof Mahmud Syaltut, Islaam, ‘Aqidah wa Syarii’ah, hal.61-63
dan Mohammad Utusan Allah.” Ini senada dengan firman Allah, artinya, "Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu,
dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27). Imam Muslim juga
meriwayatkan hadits, dan sebagian Jama'ah. “ Walhasil, sebagian ‘ulama tafsir telah
menyatakan, bahwa surat Ibrahim ayat 27 ini mengisyaratkan adanya siksa kubur.
Namun, kesimpulan ini disandarkan dari mafhum bukan manthuq ayat tersebut
--Ibrahim ayat 27.
Pada ayat lain, Allah swt telah berfirman, artinya, "Kepada mereka
dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada
mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya
Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam
adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)
Imam Ibnu Katsir berkata, "Ayat ini adalah ayat paling asal, yang digunakan
istidlal oleh ahlu sunnah tentang adanya siksa barzakh di dalam kubur.”
Selanjutnya, Ibnu Kastir berkata,"Tidak ragu lagi bahwa ayat ini adalah ayat
Makiyyah".
Kita bisa mengajukan pertanyaan kritis atas tafsir kedua surat di atas –surat
Ibrahim;27 dan al-Ghafir:46. Bagaimana mungkin dua ayat ini bisa digunakan dalil
untuk menunjukkan adanya siksa kubur, padahal ayat-ayat ini turun di Mekah
sebelum hijrah? Sedangkan Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali
setelah beliau berada di Medinah dan saat-saat akhir beliau? Ayat itu tidak mungkin
berbicara tentang siksa kubur, sebab Rasulullah saw tatkala di Mekah belum
mengetahui tentang adanya siksa kubur. Beliau mengetahui siksa kubur setelah
berada di Medinah. Lalu, bagaimana jalan komprominya? Para ‘ulama berusaha
memecahkan persoalan ini dengan berbagai macam pendekatan.
Imam Ibnu Katsir berupaya untuk menjawab persoalan ini, dengan
menyatakan,”Jawabnya adalah, surat al-Ghafir:46 ini, "Kepada mereka dinampakkan
neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka
pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat.",
menunjukkan, bahwa siksa neraka akan ditampakkan kepada arwah pada saat pagi
dan petang di alam barzakh. Ayat ini tidak menunjukkan siksa atas jasadnya di
dalam kubur. Sebab yang demikian itu dikhususkan untuk ruh. Adapun yang terjadi
pada jasad di dalam barzakh dan penyiksaannya, tidak ditunjukkan oleh ayat
tersebut, namun ditunjukkan dalam sunnah”. Kemudian beliau menyambung, "Ada
yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan penyiksaan terhadap orang kafir di
barzakh, akan tetapi, ayat itu tidak berhubungan dengan siksa bagi kaum Muslimin
atas dosa-dosanya di dalam kuburnya.”
Imam Ibnu Hajar juga berupaya memecahkan persoalan itu sebagai berikut,
"Sungguh hal ini sangat sulit, sebab surat Ibrahim :27 dan al-Ghafir:46 adalah surat
Makiyah. Pemecahannya adalah sebagai berikut,” Adanya siksa kubur lebih tepat
diambil dari jalan mafhum (kontekstual). Surat Makiyah itu menunjukkan, bahwa
siksa kubur adalah siksa kubur yang ditujukan bagi orang yang tidak memiliki iman.
Manthuq (tekstual) pada surat al-Ghafir:46, menunjukkan bahwa siksa kubur
tersebut akan ditujukan kepada Fir'aun dan pengikutnya, serta bagi orang yang
termasuk dalam golongan orang-orang kafir. Sedangkan yang diingkari oleh
Rasulullah saw –dalam hadits riwayat ‘Aisyah-- adalah terjadinya siksa kubur atas
orang-orang yang mentauhidkan Allah. Selanjutnya, Rasulullah saw mengetahui
bahwa siksa kubur itu bisa terjadi pada orang yang dikehendaki oleh Allah dari
golongan orang mukmin. Kemudian Rasulullah saw menetapkannya, mengingatkan
akan adanya siksa kubur, dan menyampaikan agar berlindung dari siksa kubur,
sebagai pemberitahuan, dan petunjuk bagi umatnya. Maka selesailah ta'arudl
(pertentangan ayat tersebut) dengan pujian kepada Allah swt”. Inilah pendapat
Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy.[lihat Fath al-Baariy, Juz. III, hal. 183]
Walhasil, menurut Imam Ibnu Katsir, surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27
hanya menunjukkan tentang dinampakkannya siksa neraka bagi para arwah di alam
barzakh. Masih menurut beliau, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan
adanya siksa atas jasad di dalam kubur. Sebab, siksa yang terjadi di alam kubur
hanya akan menimpa pada ruh, bukan jasad. Beliau menambahkan, ayat ini tidak
menunjukkan adanya siksa atas jasad di alam barzakh.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengkompromikan pertentangan tersebut dengan
penjelasan sebagai berikut; Surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan
adanya siksa bagi orang-orang kafir di dalam kuburnya. Tatkala, Rasulullah saw
masih di Mekah beliau telah mengetahui adanya siksa kubur bagi orang kafir, namun
beliau belum memahami, apakah orang mukmin juga akan dikenai siksa kubur.
Setelah beliau di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa
mengenai kaum mukmin. Jadi, penolakan tentang adanya siksa kubur pada hadits
riwayat ‘Aisyah itu, hanya berhubungan dengan penolakan beliau atas adanya siksa
kubur bagi orang mukmin, bukan penolakan adanya siksa kubur atas orang kafir.
Beliau telah memahami sejak di Mekah, bahwa siksa kubur itu akan ditimpakan
kepada orang kafir. Namun beliau belum mengetahui, apakah siksa kubur itu bisa
juga dijatuhkan kepada orang mukmin. Setelah di Medinah, barulah beliau
mengetahui bahwa orang mukmin juga bisa terkena siksa kubur.
Bila dikaji secara mendalam, baik Ibnu Hajar maupun Ibnu Katsir belum
menyelesaikan secara tuntas persoalan ini. Keduanya hanya melihat dari satu sisi
belaka, dan mengesampingkan sisi yang paling penting; yaitu, apakah boleh bagi
Rasulullah saw menyampaikan sesuatu –yang berhubungan dengan masalah
agama-- tanpa ilmu pengetahuan. Apakah boleh bagi rasul salah dalam tablighnya,
dan berkali-kali melakukan kesalahan?"
Permasalahan mengenai siksa kubur berbeda dengan permasalahan
penyerbukan kurma; sehingga bila Rasulullah saw salah dalam masalah tersebut,
beliau saw bisa berkata, "Kalian lebih mengerti urusan kalian." Persoalan adanya
siksa kubur menyangkut persoalan kemurnian agama Islam. Masalah ini juga
berhubungan dengan masalah ghaib. Tak seorangpun bisa memahami alam ghaib,
kecuali ada keterangan dari Allah swt. Bila Rasulullah saw ditanya perkara semacam
ini, beliau tidak memberikan jawaban, sampai datangnya wahyu dari Allah swt.
Sebagian ‘ulama dan ahli ilmu menyatakan, bahwa “pertentangan nash-nash ini
sangat sulit untuk dikompromikan ”. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa hadits
'Aisyah dengan wanita Yahudi harus ditolak dirayahnya (dari sisi matannya).
Langkah ini mereka tempuh untuk menghindari penakwilan-penakwilan yang justru
telah menyimpang dan bertentangan dengan nash-nash yang qath’iy tsubutnya.
Walhasil, kami berpendapat bahwa nash-nash yang berbicara tentang siksa
kubur, dalalahnya tidak qath'iy, baik siksa kubur yang berhubungan dengan ruh
saja, atau ruh dan jasad. Ibnu Hajar berkata," Pengarang (Bukhari) tidak
mengingkari penjelasan mengenai adzab kubur yang menimpa atas ruh saja, atau
atas ruh dan jasad. Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat yang sangat
masyhur di kalangan para 'ulama mutakalimin. Masalah ini seakan-akan telah
ditinggalkan. Sebab, dalalah yang ditunjukkan tidak qath'iy (pasti). Tidak ada nash
yang menunjukkan secara pasti, yang mengarah pada salah satu dari dua
penunjukkan itu (ruh saja, atau ruh dan jasad). Walhasil, tidak satu hukum saja
yang bisa diambil dalam masalah ini. Dan cukuplah dengan adanya perbedaan
pendapat dalam masalah ini, yakni orang (yang berpendapat) menafikan sama sekali
'adzab kubur, sebagaimana orang-orang Khawarij dan sebagian 'ulama Mu'tazilah
semisal, Dlarar bin 'Amru, Basyar al-Marisiy; dan orang yang menerima adanya
siksa kubur". [Fath al-Baariy, juz.3, hal. 180]. Ibnu Hajar menyambung, "Ibnu
Haram dan Ibnu Habirah menyatakan bahwa persoalan ini terjadi pada ruh saja,
tidak menimpa pada jasad. Jumhur 'ulama menolak pendapat ini dan berkata,
"..terjadi pada ruh dan jasad." Kompromi dari dua pendapat ini adalah, siksa kubur
itu hanya terjadi pada ruh saja. Adapun mengenai mayit yang bersaksi dalam
kuburnya, ini adalah masalah yang berbeda, dan (juga) tidak berhubungan dengan
diamnya mayit di kubur, atau yang lain, atau sempit atau luasnya kubur mereka.
"[hal.182].
Adapun firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi
dan petang" (al-Ghafir:46), dalalahnya tidak pasti (qath'iy). Ayat ini memberikan
arah pengertian bahwa penyiksaan itu ada yang terjadi sebelum hari kiamat. Namun
ada pula ayat yang memberikan arah pengertian yang bertentangan, yakni, siksa itu
hanya akan terjadi pada hari kiamat. Nash-nash seperti ini cukup banyak. Allah
swt berfirman dalam surat al-Kahfi, "..kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami
kumpulkan mereka itu semuanya. Dan kami nampakkan Jahannam pada hari itu
kepada orang-orang kafir dengan jelas." (18:99-100).