Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

Terapi okupasi merupakan evaluasi dan prosedur penanganan penyembuhan yang


digunakan untuk pasien dengan masalah motorik oleh karena disfungsi otak. Terapi okupasi
meliputi evaluasi sensorik dan evaluasi motorik.
Berdasarkan pendekatan dan perkembangan neurofisiologis terdapat 4 pendekatan
dalam menangani pasien mengenai masalah kontrol motorik :
1. Pendekatan rood
2. Pendekatan perkembangan saraf Bobath
3. Terapi gerakan dengan pendekatan brunnstrom
4. Pendekatan PNF ( Proprioceptive Neuromuscular Facilitation).

Terapi wicara dilakukan untuk memperbaiki gangguan berbahasa pada pasien agar
menjadi produktif agar memperbaiki kualitas hidupnya. Terapi wicara wicara jg digunakan
untuk membangun kembali kognisi dan produktifitas pasien.
Terapi wicara yang akan di bahas pada referat ini mengenai prinsip – prinsip terapi
wicara pada pasien afasia, disatria, demensia, dan gangguan cedera kepala. Metode yang
dilakukan pada terapi masing – masing terapi wicara ialah berbeda.
Tujuan umum dari pada referat ini adalah untuk memberikan informasi kepada
masyarakat pada umumna dan kepada kalangan medis pada khususnya mengenai peranan dan
metode terapi okupasi dan terapi wicara pada pasien neurologi.
Tujuan khusus dari penulisan referat ini adalah untuk melatih tenaga medis
khususnya bagi dokter umum untuk dapat mengenali berbagai macam metode terapi pada
terapi okupasi dan terapi wicara bagi pasien neurologis. Tujuan khusus lainnya pembuatan
referat ini adalah untuk menyelesaikan tugas penulisan di kepaniteraan klinik ilmu kebidanan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TERAPI OKUPASI

Pendekatan Perkembangan Saraf


Bagian ini meliputi evaluasi dan prosedur penanganan penyembuhan yang digunakan
untuk pasien dengan masalah motorik oleh karena disfungsi otak. Akibat kerusakan otak,
pola gerakan pasien kurang terkontrol, mungkin immature dan atau mungkin dikontrol luar
biasa oleh rangsangan sensoris. Penanganan untuk meningkatkan perkembangan dan kontrol
volunter harus didasarkann pada fisiologi saraf dan prinsip perkembangan. Karena itu bagian
ini diberi nama : “neurodevelopmental”
Sensasi dan gerakan erat kaitannya dengan semua orang. Karena itu, pendekatan
perkembangan saraf dapat digunakan untuk pasien dengan kelainan ortopedi dan kelainan
neurologi motorik. Nilai potensialnya tergantung pada integritas neural transmisi. Pada psoen
dengan transeksi medula spinalis, sensasi pada tingkat bawah lesi berkurang dan gerakannya
tidak dapat dikontrol secara volunter. Sensasi dari perifer hanya dapat menghasilkan respon
refleks di tingkat segmen dari medula spinalis dengan tidak mengakhiri efek fungsi motorik
Pada cedera otak, rangsangan sensorik mungkin di transmisi ke otak dengan kemampuan
untuk mempengaruhi kontrol gerakan volunter. Rangsangan sensorik mempunyai efek
apakah itu rangsangan dari lingkungan atau yang disengaja dilakukan oleh terapis

2
Evaluasi dan Penanganan Sensasi
Disfungsi sensorik mempengaruhi sistem saraf. Penerima rangsangan atau transmisi
dari impuls sensorik mungkin diganggu pada beberapa titik dari reseptor, ke saraf tepi, ke
saluran sensorik di medula spinalis dan batang otak, ke talamus atau ke korteks sensoris. Pada
pasien yang mengalami gangguan yang mempengaruhi beberapa bagian dari sistem sensorik
harus dievaluasi untuk menentukan asal dan perluasan dari disfungsi sensorik karena sangat
erat hubungan dari input sensorik dan output motorik.
Modalitas dibagi dalam keadaan : lapisan luar, lapisan dalam dan kombinasinya atau
kortikal. Reseptor-reseptor sensorik diklasifikasikan sebagai exteroceptor yang menerima
rangsangan dari lingkungan luar meliputi kulit dan proprioceptor yang menerima rangsangan
dari otot, tendon, ligamen dan sendi.
Klasifikasi Head membagi sensasi taktil dalam dua sistem :
1. Sistem Protopatic untuk pertahanan dari rangsangan yang berbahaya
2. Sistem Epioritic dipertimbangkan secara phylogenetic yang terbaru untuk
perbedaan persepsi rangsangan. Umumnya stereognosis memerlukan integritas
kortikal
Sensasi juga diklasifikasikan apakah modalitas sensorik diprojeksikan melalui sistem
spinothalamic atau sistem lemniscal
Sistem spinothalamic projeksi nyeri dan rangsangan suhu, sentuhan ringan dan
tekanan ringan. Sistem lemniscal projeksi rangsangan dari perbedaan taktil seperti tekanan
yang dalam, 2 titik perbedaan, vibrasi dari persepsi dan kinesthesia.
Di dalam teks neurologi, reseptor-reseptor sensorik diberi nama Meissner dan
Merkel’s corpuscle untuk sentuhan, pacinian corpuscle untuk tekanan, Krause’s end bulbs
untuk dingin dan Ruffini’s end organ untuk hangat. Johansson dan Johansson dan Valbo
mendeskripsikan lokasi dari empat perbedaan unit-unit tipe mekanoreseptor dalam globrous
contoh kulit tangan yang kurang rambutnya. Dua unit (RA dan SA II) didistribusikan rata dan
sensitif pada vibrasi dan peregangan dua unit yang lain (RA dan SA I) lokasinya terutama di
ujung-ujung jari yang lebih cocok untuk menganalisa tempat taktil seperti yang diperlukan
untuk membedakan 2 titik

3
EVALUASI
Evaluasi sensorik meliputi presentasi dari rangsangan yang cocok pada setiap
modalitas sensorik dan observasi respon pasien
Prosedur Tes
1. Pasien dalam keadaan nyaman dan relaks
2. Mata pasien ditutup dengan menggunakan kain penutup mata atau
pandangannya dilindungi oleh screen
3. Memberikan instruksi selanjutnya yang sesuai dengan tujuan pemeriksaan
4. Rangsangan diberikan dari distal ke proksimal untuk menentukan kerusakan
5. Rangsangan dilakukan dalam pola yang tidak dapat diramalkan dengan variasi
waktu dan ketepatan dari respon
6. Area tubuh yang tidak mengalami gangguan sensorik juga diuji untuk
meyakinkan pasien mengerti dan menentukan “normal”
Skor dapat berupa :
• Intact : respon cepat dan akurat
• Absen : tidak ada respon
• Impaired : keterlambatan / penundaan dari respon, sensasi tidak cocok dengan
rangsangan atau akurasi dari respon berubah-ubah
Pada lesi saraf tepi, lokalisasi yang tepat dari sensorik yang hilang atau kerusakan
sering diperlukan sebagai bahan dari evaluasi regenerasi saraf. Pada lesi medula spinalis
daerah yang kehilangan sensoriknyamungkin tergambar di diagram pada seluruh tubu bagian
depan dan belakang atau di bawah tingkat dermatom tertentuatau bagian tubuh lainnya seperti
puting susu atau umbilikus. Pada lesi kortikal, bagian tubuh yang dipengaruhi biasanya
dideskripsikan dengan menunjukan modalitas impaired atau absent dari bagian tubuh

Superficial atau Sensasi Eksteroseptif


Sentuhan Ringan
Stimulus. Sentuhan ringan dengan kapas, tissue atau ujung jari pada area yang kecil
pada kulit pasien. Mengusap lemah lembut jarang dilakukan dibandingkan dengan sentuhan
ringan untuk meningkatkan rangsangan
Respon. Pasien berkata “sekarang”,”ya” atau memberi petunjuk lain setiap kali ia
merasakan rangsangan. Untuk pasien yang tidak bisa berbicara digunakan cara meremas jari
terapis atau menganggukan kepala. Untuk pasien yang tidak dapat berkomunikasi gerakkan

4
bagian yang diberikan rangsangan, perubahan mimik mukan atau melihat ke arah bagian
yang diberi rangsangan dapat digunakan sebagai petunjuk respon sentuhan.
Tekanan
Stimulus. Terapis menggunakan ujung jari untuk melakukan tekanan kuat pada area
yang kecil pada kulit pasien. Tekanan ini harus cukup kuat melekukan kulit untuk
merangsang reseptor-reseptor dalam.
Respon. Pasien memberi petunjuk setiap ia merasakan rangsangan yang ia berikan
Nyeri
Stimulus. Menggunakan peniti yang ujungnya tajam dan ujungnya tumpul, terapis
memberikan campuran rangsangan tajam dan tumpul dengan pola random untuk
membuktikan ketepatan respon.
Respon. Pasien mengatakan “tajam” atau “tumpul”. Untuk pasien yang tidak bisa
berbicara, respon dideskripsikan ke sentuhan jika dilakukan rangsangan tajam
Suhu
Jika sensitifitas nyeri normal maka jarang dijumpai perusakan suhu, dan pengujian
suhu dapat disingkirkan. Jika nyeri terdapat kerusakan,maka suhu erlu diuji
Stimulus. Sebelum tes, yakinkan suhu kulit pasien normal. Uji capped-1 tabung diisi
oleh air panas dan tabung lainnya oleh air dingin dilakukan secara random pada kulit pasien.
Suhu yang dianjurkan kira-kira 430C untuk suhu panas dan 40C untuk suhu dingin.
Respon. Setelah setiap ada stimulus pasien memberitahuakn jika ia merasa “panas”
atau “dingin”. Di tes kembali pada seluruh permukaan yang telah di tes
Deep atau Sensasi Propioceptive
Propioseptif merupakan ketidaksadaran menerima informasi dari otot-otot, tendon-
tendon, ligamen-ligamen dan sendi-sendi; dan terjadi kesadaran hanya jika perhatian
dipusatkan. Kinesthesia adalah kesadaran dari posisi sendi dan pergerakan sebagai hasil
rangsangan reseptor-reseptor sendi. Perasaan sikap berbeda dengan perasaan gerak
merupakan kesadarn posisi pada waktu istirahat.. Tes yang biasa digunakan untuk perasaan
sikap adalah membedakan antar atas dan bawah. Bender mencatat bahwa pergerakan dan
perasaan sikap biasanya hanya dites pada jari-jari tangan dan jari-jari kaki dan dianjurkan
menguji sendi-sendi besar yang juga pada kerusakan yang besra.
Perasaan Sikap
Stimulus. Terapis memegang bagian sisi luar untuk menghindari taktil atau
pemasukan tekanan dan meletakan sendi dari satu anggota gerak ke dalam posisi yang mudah
dideskripsikan. Pada anggota gerak atas, lengan diletakan diluar badan dengan telapak tangan

5
dibawah, lengan didepan dengan siku lunglai, dan telapak tangan menghadap ke muka dan
lain-lain. Tangan di tes secara terpisah.
Respon. Pasien meniru setiap posisi anggota gerak yang berhadapan atau
menggambarkan posisi. Catatan : ketika satu posisi diposisikandan sisi yang lainnya meniru
posisi tersebut. Kesalahan dihubungkan dengan kerusakan atau kekurangan rasa posisi pada
sisi yang dilibatkan.
Tes-tes lain dari perasaan sikap :
a) Menggerakan sendi ke atas dan ke bawah dengan cepat dlam beberapa waktu
dan hentikan dalam posisi atas atau bawah. Keudian pasien berkata jika itu
“atas” atau “bawah”
b) Suruh pasien menyentuh dua jari telunjuknya secara bersamaan didepannya
atau terapis memegang satu lengan pasien dengan jari telunjuk direntangkan
dan suruh pasien menyentuh dengan jari telunjuknya yang lain
Kinesthesia (Perasaan Gerak)
Stimulus. Memegang bagian luar untuk mengurangi input taktil, terapis menggerakan
sendi ke atas atau ke bawah. Luas gerak sendi besar dan kecil diuji dalam mewakili sendi-
sendi besar dan kecil.
Respon. Setiap setelah diberi stimulus, pasien diberi tahu apakah sendi telah
digerakan “ke atas” atau “ke bawah”. Kemampuan untuk membedakan gerakan yang besar
tetapi tidak mampuuntuk membedakan gerakan yang kecil ini adalah kerusakan kinesthesia.

Kombinasi atau Sensasi Kortikal


Lokalisasi Taktil
Stimulus. Terapis menyentuh kulit pasien dengan ujung jari. Stimulus dilakukan ke
area distal dan proksimal
Respon. Pasien meletakan jari pada titik yang disentuh setelah diberi stimulus. Secara
normal akurasi yang paling besar pada tangan dab yang kurang akurat di proksimal.
Stereognosis
Stimulus. Dengan mudah mengenali objek yang ditaruh di tangan. Barang yang
biasanya digunakan meliputi kunci, koin pensil atau pulpen.
Respon. Pasien menamai objek atau untk pasien ang tidak dapat berbicara , memilih
objek yang telah diatur di depannya

6
Diskriminasi Dua Titik
Stimulus. Dilakukan secara bersamaan dua titik pada kulit. Jarak antara dua titik
diperpendek dengan urutan, sampai rangsangan itu dirasakan sebagai satu titik.

Zone Jempol Telunjuk Tengah Manis Kelingking


(mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
Antara ujung 7 3-5 3-5 3-5 3-5 3-5
dan sendi DIP
Antara sendi 6 3-6 3-6 3-6 3-6
DIP dan PIP
Antara sendi 5 4-7 4-7 4-7 4-7 4-7
PIP dan MP
Antara sela-sela 4 5-8 5-8 5-8 5-8
jari dan lipatan
distal palmar
Antara lipatan 3 6-9 6-9 6-9 6-9
distal palmar
dan pusat
palmar
Rest of Palm 1 dan 2 7-10 7-10 7-10 7-10

Respon. Pasien mengatakan apakah ia merasakan satu titik atau dua titik. Pada pasien
yang tidak dapat berbicara dapat memberi respon dengan mengangkat satu jari atau dua jari.
Tes-tes yang dilakukan bila didapatkan kerusakan stereognosis dan diskriminasi dua
titik meliputi :
• Membedakan berat. Pasien menentukan perbedaan berat dari blok-blok yang
mempunyai ukuran yang sama dengan berat yang berbeda
• Membedakan ukuran. Pasien menentukan perbedaan ukuran dari blok-blok
yang mempunyai ukuran yang beda dengan berat yang sama
• Membedakan tekstur. Suruh pasien membedakan bermacam-macam tekstur
kain.
• Graphesthesia. Suruh pasien mengenali angka-angka atau huruf yang ditulis
pada telapak tangannya. Gunakan ujung pena yang tumpul
Pemeriksaan Stimulus pada dua sisi yang Bersamaan
Stimulus. Terapis menyentuh ke dua tangan pasien secara bersamaan atau bagian lain
yang sama

7
Respon. Pasien mengatakan bagian mana yang telah disentuh. Pada kerusakan
hemisfer kanan dari lobus parietal, dengan uji rangsangan yangdiberikan pada sebelah kiri
tidak akan dirasakan, walaupun respon-respon utuh ketika dilakukan uji secara sendiri-sendiri

Interpretasi Hasil
Reabilitas tergantung dari keterampilan dan konsistensi pelaksana dalam melakukan
uji tersebut dan mencatat hasilnya serta kemampuan pasien dalam komunikasi memberi
respon yang akurat. Lokasi yang tidak ada respon dan yang mengalami kerusakan respon
harus dibandingkan dengan saraf tepi dan distribusi hematom untuk menggambarkan
perluasan dan spesifik dari disfungsi sensorik. Bila saraf tepi terlibat maka pemulihan fungsi
terjadi dari proksimal ke distal.
Pada trauma cedera medula spinalis, sensorik pada dermatom tingkat bawah lesi
berkurang. Distribusi dermatom adalah demikian kecualikalau medula spinalis secara
anatomis atau fisiologis ditranseksi atau lebih dari satu akar dorsal rusak, mungkin kurangnya
sensasi tak terdeteksi karena area yang dilayani dorsal root saling tumpang tindih.
Kerusakan sensorik sebagai hasil dari disfungsi kortikal tidak diikuti distribusi
dermatom pada dorsal root atau cedera medula spinalis maupun distribsi saraf tepi seperti
terlihat pada cedera saraf tepi yang khusus. Kerusakan sensori korteks mengakibatkan
berkurangnya sensasi total atau parsial. Bagian tubuh yang diwakili oleh sensori korteks
dengan sensori homoncular terletak pada posisi atas dan bawah mirip pada distribusi
homonculus pada korteks motorik. Karena sensorik korteks menutupi rea yang luas di
kortikal, lokasi lesi biasanya mempengaruhi bagian yang terbatas dari sisi kontralateral dari
tubuh. Kekurangan sensorik biasanya di bagian distal pada ekstremitas atas atau ekstremitas
bawah tergantung pada letak lesi, karena bagian distal mewakili sensorik korteks yang lebih
besar daripada bagian proksimal dan karena itu mungkin sekali lesi-lesi ini mempengaruhi
tempat-tempat itu.
Lesi di batang otak dapat meliputi seluruh modalitas sensorik dengan variasi yang
luas. Jika talamus terlibat akan mengakibatkan “thalamic syndrome” yang mana ambang
untuk sentuhan, suhu dan sensasi nyeri berkurang pada sisi kontralateral dan reaksi yang
berlebihan terhadap rangsangan. Rangsangan ringan akan menghasilkan sensasi yang
berlebihan dan sangat nyeri.

PENANGANAN

8
Hiposensitivitas
Penanganan terutama ditujukan mengajarkan pasien untuk mengkompensasi
kekurangan atau kerusakan sensasi dengan cara menghindari cedera dan untuk meningkatkan
daya guna motorik. Sejak sensasi dari perifer merupakan sumber utama feedback iperlukan
untuk gerakan koordinasi anggota gerakan badan, kekurangan feedback harus dikompensasi
secara visual. Untuk memproteksi dirinya sendiri dari cedera, maupun untuk gerakan dengan
beberapa derajat dari koordinasi, maka pasien harus melihatgerakan dari ekstremitasnya.
Pasien dengan kekurangan kinesthetic dalam kegelapan dapat secara tidak tepat
menggunakan anggota gerak badannya. Pasien harus terus menerus diikuti untuk
mengantisipasi bahaya yang mungkin terjadi. Walaupun visinya terutama kompensasi,
rangsangan auditori seperti bel atau meletakkan gelang pada bagian distal dari ekstremitas
mungkin berguna sebagai tambahan.
Mengendalikan sensorik merupakan metode penanganan yang potensial. Beberapa
percobaan dibuat oleh terapis dengan menggunakan teknik menggosok anggota gerak badan
secara kuat dengan handuk sebelum emngulang-ulang menggerakan anggota gerak badan.
Teknik lain yang digunakan untuk meningkatkan stereognosis, pasien disuruh merasakan
objek pertama dengan mata tertutupdan kemudian buka mata untuk segera feedback dan
penguatan stereognosis. Pada awalnya, penilaian stimulus hanya berupa kesadaran atau
diskriminasi kasar dan kemudian lebih diperhalus responnya sejalan dengan peningkatan
ketepatan pasien.
Wynn Parry mendeskripsikan penggunaan perbedaan bentuk, berat dan tekstur dalam
mengembalikan sensorik pasien yang mengalami cedera saraf tepi segera setelah sensorik
kembali adalah baik. Identifikasi : pertama dilakukan pada saat mata pasien tertutup oleh
kain. Kemudian penutup mata pasien dibuka hingga pasien dapat melihat dan merasakan
objek bersamaan untuk tujuan menghidupkan kembali sistem saraf pusat pola sementara dan
pola mengenai ruang dan gambarannya. Dianjurkan 4 kali sehari selama 10 menit setiap kali,
dan didapatkan hasil yang positif.

Hipersensitivitas
Stimulis taktil yang berulang-ulang dan bertahap digunakan untuk desensitisasi.
Material yang digunakan dan kekuatan dilakukan secara bertahap saling bersambung satu
dengan yang lainnya. Material yang digunakan mulai dari yang lunak ke keras sampai yang
kasar; kekuatan yang dilakukan bertahap mulai dari sentuhan kemudian gosokan sampai ke

9
kerukan. Dalam melakukan ini diantisipasi nyeri yang akan terjadi oleh karena itu program
desensitisasi ini sebaiknya dilakukan oleh pasien itu sendiri di bawah petunjuk terapis.
Anesthesi
Tidak adanya sensasi pada tubuh, khususnya area yang besar terjadi pada area medula
spinalis. Pasien menyadari ketidaknyamanan dalam posisi yang sama untuk waktu yang lama
maupun karena paralisis, pasien mampu dengan mudah mengubah posisinya untuk
mengurangi tekanan.
Pada pasien yang menggunakan kursi roda, tulang yang menonjol mendapat tekanan
yang berlebihan menyebabkan kulit menjadi merah. Jika tidak ketahuan, tekanan terus
menerus pada area yang rentan menyebabkan suplai darah ke area tersebut berkurang dan
jaringan mengalami kerusakan, menyebabkan ulkus dekubitus. Oleh karena itu, kulit yang
anesthesi harus sering diinspeksi dan diperhatiakn dan memberi penanganan awal.
Brand menganjurkan hal yang mudah untuk meringankan lokasi tekanan, temperatur
yang berbahaya atau tekanan mekanik pada ekstremitas yang tidak sensitif. Untuk ekstremitas
bawah mengganti sepatu beberapa kali sehari, mengurangi jarak berjalan dan menggunakan
karpet pada lantai mobil dimana panas berlebihan sering berbahaya. Untuk ekstremitas atas
dianjurkan untuk meletakkan pegangan kecil dan tombol besar dan dibulatkan, untuk
mengubah penggunaan alat atau memakai sarung tangan atau mengganti pegangan.
Penambahan latihan sensorik yang ada dianggap sebagai suatu kemajuan biomedical
engineering. Elektronik transducer yang sensitif terhadap tekanan sangat berguna untuk
mendapat informasi dari daerah yang terlibat, tetapi inadekuat untuk mendapatkan informasi
mengenai semua pemakaian karena nomor transducer yang diperlukan untuk menutupi semua
area dari tekanan dari peregangan secara klinis tidak praktis.

EVALUASI KONTROL MOTORIK

Ketika mengevaluasi pasien dengan disfungsi system syaraf pusat, perhatian harus
diberian kepada semua yang mempengaruhi kondisi kontrol gerakan volunter. Perry mencatat
bahwa kontrol motorik biasanya terjadi padaa enam tingkatan, meliputi kortek serebral, basal

10
ganglia, otak tengah, batang otak, Meddulla spiinallis dan lengkung reflek. Pada penampilan
keadaan normal motorik kortek serebral akan membedakan input sensorik dan kontrol output
motorik dengan bantuan aktivitas sensorik motorik dari pusat-pusat bawah mengatur tonus
otot dan pola gerakan. Kerusakan pada otak menyebabkan pusat-pusat bawah tanpa kontrol
serebral, timbul gerak patologis dan reaksi. Demikian problem-problem yang bermanifestasi
dan dievaluasi secara perifer tetapi hanya dapat diobservasi pada struktur-struktur ini oleh
karena hubungan mereka terlepas dari kontrol kortikal. Evaluasi harus meempertimbangkan
sensai, lingkup gerak sendi, tonus otot, integritas reflek, reaksi otomatis dan kontrol postur,
koordinasi kontrol, gerakan volunteer, kekuatan dan ketahanan.

LINGKUP GERAK SENDI

Lingkup gerak sendi pasif dievaluasi dengan menggrakkan sendi pasien secara
perlahan dan secara hati-hati sampai lingkup gerak sendi lengkap mungkin pada setiap sendi
dan mencatat hasil pengukurannya. Pada disfungsi system syaraf pusat lingkup gerak sendi
dipengaruh oleh tonus otot. Jika tonus otot meningkat akan merasakan tahanan pada gerakan.
Tahanan ini dapt diatasi dengan memelihara kekuatan melawan tahanan sampai otot relaks
dan gerakan diteruskan, Pada spastisitas dengan kecepatan yang lebih cepat akan memperkuat
tahanan, juga lingkup gerak sendi harus dilakukan secara perlahan-lahan untuk menghindari
mendapatkan reflek peregangan. Jika tonus otot menurun, hipermobilitas sendi akan dicatat
dan hiperekstensi. Bahu dari pasien hemiplegi mudah terjadi subluksasi sebagai hasil dari
kelemahan supraspinatus, merenggangnya ligamen-ligamen yang menyokong kapsul atas dan
abduksi dari humerus yang mana menghalangi fungsi mekanisme penguncian dari fossa
glenoid. Ini akan tampak paada lingkup gerak sendi bahu pasien hemiplegi harus dilakukan
dengan mendekatkan caput humeri dan perhatikan selama rotasi untuk menghindari
peregangan yang berlebihan dari otot rotator cuff.

EVALUASI TONUS OTOT

Tonus otot didefinisikan sebagai daya tahan otot untuk peregangan pasif. Ketika otot
diperpanjang atau diregangkan, otot berkontrasi untuk menahan peregangan dengan respon
sebanding dengan besarnya peregangan. Mereka merupakan komponen tonik dan phasik dari
reflex peregangan.

11
Sejak tonus otot merupakan tahanan otot yang ada untuk peregangan pasif,
pergerakan pasif dari extremitas yang digunakan untuk evaluasi tonus. Lingkup gerak sendi
yang ada pada setiap sendi harus ditentukan sebelum menaksirkan tonus otot. Proses yang
sering digunakan dalam evaluasi untuk menentukan lingkup gerak yang bebas nyeri dengan
menggerakkan bagian tersebut secara perlahan – lahan, kemudian bagian tersebut digerakkan
secara tepat untuk mendapatkan respon untuk peregangan. Jika tonus ditingkatkan maka akan
ditingkatkan tahanan untuk gerakkan pasif. Penguatan tahanan meningkat sebanding dengan
kecepatan gerakan, oleh karena itu kecepatan harus sama pada setiap testing, tes diulang
untuk mendapatkan hasil yang dapat dipercaya. Pada spastisitas akan ditemukan lingkup
gerakan yang bebas, kemudian otot berkontraksi kuat untuk peregangan diikuti dengan
gerakan bebas ketika otot relax serta peregangan diteruskan. Relaksasi yang tiba – tiba
disebut reaksi Clasp – Knife dan dihubungkan ke organ tendon Golgi inhibisi. Matthew
menganjurkan bahwa penghentian kontraksi secara tiba – tiba tidak dapat dijeaskan hanya
berdasarkan yang disebut diatas dan menganjurkan peregangan yang terus menerus melebihi
ambang sentral mekanisme yang menghentikan reflex peregangan. Jika ada spastisitas dari
otot atau kelompok otot yang diregangkan dilakukan pencatatan seperti ringan jika otot dapat
diperpanjang secara cepat dengan cara lingkup gerak sendi dimana reflex peregangan terjadi
pada akhir seperempat gerakan, sedang jika reflex peregangan terjadi dipertenahan gerakan,
dan jika reflex peregangan terjadi dipertenahan gerakan, dan berat jika terjadi pada awal
seperempat gerakan dimana otot mengalami perpendekan. Sering peningkatan tonus otot
mempunyai arti penting untuk perkembangan keterbatasan lingkup gerakan. Contohnya, jjika
sendi siku digerakan dari flexi penuh ke posisi 90° fleksi dan keterbatasan lingkup gerak
sendi menghalangi extensi lebih lanjut, reflex peregangan terjadi sebelum 90°, sendi siku di
ekstensikan secara cepat akan dicatat sebagai spastisitas sedang dari fleksor dan dicurigai
adanya keterbatasan lingkup gerak sendi.

Pada rigiditas akan ada tahanan pada seluruh gerakan lingkup gerak sendi kecuali
kalau Cogwheel rigiditas, seperti pada penyakit Parkinson dimana rigiditas disertai tremor
menyebabkan kontraksi dan relaksasi saling bergantian diseluruh lingkup dari otot yang
diregangkan. Spastisitas dan rigiditas mungkin ada dalam satu kelompok otot yang terpisah.
Pada awal gerakan lingkup gerak sendi akan dirasakan tahanan rigiditas dan kemudian
mungkin akan didapatkan reflex peregangan.

Pada flaksiditas, tonus menurun dan tahanan untuk gerakan pasif menurun. Ektremitas
dapat digerakkan secara bebas tanpa adanya tegangan peregangan sensitifitas yang ada pada

12
otot normal. Kadang – kadang seluruh ekstremitas flaksid, tetapi pada beberapa pasien
mungkin flaksiditas pada otot dari beberapa sendi dari ekstremitas ketika otot pada sendi
yang lain spastic.

Pola – pola tonus seperti meningkat, menurun dan normal harus dicatat, demikian
juga beratnya disfungsi juga harus dicatat. Biasanya pola spastsitas pada cedera otak :
kelompok otot fleksor / adductor meningkat dan kelompok otot ekstensor / abductor tonusnya
menurun.

PENGARUH REFLEKS PADA FUNGSI MOTORIK

Reflex merupakan suatu involunter, respon stereotype untuk stimulus khusus. Reflex
respon untuk stimulus berkembang pada kehidupan fetus dan terus berlanjut mendominasi
tingkah laku motorik pada bulan – bulan pertama kehidupan bayi.

Reflex tingkah laku motorik banyak diatur pergerakkan volunteer yang digunakan
pada aktifias sehari-hari dan olahraga, ini menjadi semakin bertmbah penampakannya dengan
peningkatan stress dan atau kelelahan. Bagaimanapun, reflex yang dperlihatkan oleh orang
normal berbeda kualitasnya dari orang dengan kerusakan otak. Pergerakan pada orang normal
flexibel, ia dapat berpindah dari dan ke pola reflex pada stimulus tetap. Bagaimanapun,
prgerakan orang dengan kerusakan otak sering terganggu, ia tidak dapat merubah postur saat
dikontrol oleh stimulus. Reflex primitiv terjadi akibat kerusakan sistem syaraf pusat dan
mengindikasikan adanya disabilitas motorik yang hebat, saat perusakan otak terjadi pada
awal perkembangan seperti serebral palsi, tingkat kontrol yang lebih tinggi mungkin ditunda
dlam perkembangannya, dan reflex medulla spinalis dan reflex batang otak bagian bawah
tetap dominan melebihi umur, sedangkan reflex-reflex ini secara normal berkurang. Tetapi
ditujukan pada terbentuknya pematangan didasarkan pola normal motorik. Ketika kerusakan
kortikal terjadi pada oran dewasa, seperti hemiplegia akibat gangguan sirkulasi darah otak,
reflex primitive dilepaskan dari control yang lebih tinggi dan inhibisi. Bagaimanapun dalam
terapi pasien dewasa, bekerja terus kedepan untuk memperoleh kembali pola motorik yang
sekarangg hilang.

Pergerakan volunter didukung oleh pola otomatis postur tegak dan keseimbangan.
Postur tegak dan reaksi keseimbangan memungkinkan individu untuk bergerak melawan
gravitasi, meluruskan tubuh dan menjaga keseimbangan. Seiring dengan reaksi

13
perkembangan, banyak reflex primitive yang berkurang. Pada keadaan normal perkembangan
integrasi dari reflex primitive diperlukan untuk perkembangan dari gerakan yang bertujuan.

Reflex merupakan bagian normal dari perkembangan motorik, tetapi jika ada reflex
primitive melebihi batas umur maka akan mengganggu perkembangan tingkatannya. Jika
terjadi kerusakan otak pada orangg yang perkembangannya sudah terbentuk secara normal,
maka akan mengakibatkan pelepasan reflex primitive dari kontrol yang lebih tinggi, pola
pergerakan stereotype akan muncul kembali dan menyertai kontrol motorik volunter.

Gangguan dari integritas reaksi dan tonus menghasilkan postur dan pergerakan
stereotype dalam hubungannya dengan gerakan volunteer.

TESTING REFLEKS PADA PASIEN DEWASA

Testing reflex dilakukan dengan menggunakan stimulus dan mengobservasi respon.


Jika terjadi reflex respon, reflex disebut positif, jika tidak terjadi reflex respon, reflex disebut
negative. Baik positif maupun negative tidak dapat disamakan dengan normal tanpa
memikirkan apakah respon posotif atau negattif normal untuk umur dari individu yang
dievaluasi. Ketika mengevaluasi orang dewasa, tanpa adanya reflex spinal atau reflex batang
otak adalah normal. Reflex dapat di tes ketika orang dalam beberapa posisi sepanjang
stimulus dapat dilakukan dan respon tidak dihambat oleh posisi atau tidak akan menyebabkan
dia dalam bahaya.

INNATE PRIMARY REACTIONS

Innate primary reactions merupakan refleksip gerakan- gerakan primitive yang


meliputi total refleksi dan ekstensi sinergis dari bagian tubuh bagian proximal. Reflex –
reflex ini ada pada pasien orang dewasa yang mengalami cedera kepala. Ini mengindikasikan
adanya kerusakan otak yang berat. Bila pada evluasi ulang reflex ini tidak ada ini
menandakan kemajuan dalam pemulihan.

Innate primary reactions terdiri dari :

1. Automatic walking ( otomatis berjalan ) atau primitive stepping

14
2. Placing reactions dari anggota gerak bagian atas

3. Reflex Moro

4. Grasp reflex / reflex menggenggam

5. Sucking reflex / reflex menghisap

6. Rooting reflex / reflex mencari

SPINAL LEVEL REFLEXES / REFLEK – REFLEK TINGKAT SPINAL

Ini merupakan reflex – reflex phasic dari total fleksi atau extensi.

Spinal level reflexes terdiri dari :

1. Flexor withdrawal / tarikan flexor

2. Extensor thrust / dorongan ekstensor

3. Crossed Extensor / Extensor menyilang

BRAIN STEM REFLEXES / REFLEKS BATANG OTAK

Ini merupakan reflex – reflex tonik atau statk yang meliputi perubahan terus menerus
dalam postural tonus otot mempengaruhi seluruh badan atau lebih dibandingkan dengan satu
bagian dari badan. Dengan merubah posisi kepala berhubungan dengan badan atau posisi
kepala ( dan badan ) dalam ruang propioseptor di lokasi dalam leher atau dalam apparatus
vestibular dirangsang. Hasil perubahan dalam tonus otot dipertahankan selama dilakukan
stimulus. Respon – respon ini dibangun secara bertahap dan stimulus untuk setiap reflex yang
mengikutinya harus sesuai dengan waktu pada kasus – kasus yang terlibat sedikit berat ketika
respon mungkin muncul lebih lambat setelah terlambat beberapa detik.

Brain stem reflexes terdiri dari :

1. Asymmetrical Tonic Neck Reflex ( ATNR )

15
2. Symmetrical Tonic Neck Reflex ( STNR )

3. Tonic Labyrinthine Reflex ( TLR ) – Pronasi

4. Tonic Labyrinthine Reflex ( TLR ) – Supinasi

5. Positive supporting reactions

6. Associated reactions

MIDBRAIN REACTIONS

Reaksi ini merupakan distribusi normal dari tonus dan menegakkan gerakan active
untuk membawa kepala dan tubuh dalam hubungan normal satu dengan yang lainnya.

Midbrain Reactions terdiri dari :

1. Neck righting

2. Body righting acting on the body

3. Labyrinthine righting acting on the head – prone

4. Labyrinthine righting acting on the head – supine

AUTOMATIC MOVEMENT REACTIONS / REAKSI PERGERAKAN OTOMATIS

Terdiri dari :

1. Protective Extension ( Parachute Reaction) / Refleks terjun

2. Equilibrium reactions

a. Pronasi / tengkurap

b. Supinasi / terlentang

16
c. Quadroped

d. Sitting / duduk

e. Kneel standing / berlutut

f. Standing / berdiri

i. Hopping

ii. Dorsoflexion

CORTICAL REACTIONS

Terdiri dari:

1. Optic Righting.

Dari bayi umur 6 bulan dan menetap seumur hidup.

TEST KOORDINASI

Control dan keterampilan motorik yang didapat dapat dievaluasi dengan


menggunakan tes koordinasi. Koordinasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengontrol pergerakkan secara akurat dan halus. Inkoordinasi merupakan sebutan untuk
disabilitas meliputi yang berlebihan, tidak seimbang dan pergerakkan yang tidak akurat.
Defisit dihubungkan dengan lokasi kerusakan system syaraf pusat, dan merencanakan
penanganan yang efektif tergantung pada penyebab dan sifat problem dinilai.

Serebellum

Inkoordinasi mungkin disebabkan oleh disfungsi dari pengaturan serebellar tak sadar
dari pergerakkan voluntary yang hallus dan memelihara postur gerak.

Gangguan serebellar dan metode evaluasi seperti dibawah ini:

Tremor. Tremor bertujuan ( intention tremor ) terjadi selama pergerakan volunteer dan
berkurang atau hilang pada saat istirahat. Tremor dapat dinilai selama melakukan

17
aktivitas atau menyuruh pasien secara bergantian menyentuh hidungnya dan jari
pemeriksa yang ditahan didepan pasien dan jari- jari pemeriksa digerakkan dalam
berbagai posisi.

Dysdiadochokinesia. Rusaknya kemampuan untuk menyelesaikan pergerakan bergantian


yang diulang secara cepat dan lembut. Ketika disuruh melakukan pergerakan bergantian,
pasien dengan gejala ini akan melakukan pergerakan secara perlahan dengan lingkup
gerak sendi yang tidak lengkap atau mungkin tidak mampu melaukan pergerakkan
bergantian ( adiadochokinesia ). Test meliputi : pasien secara cepat melakukan supinasi –
pronasi bergantian, genggam - lepas bergantian. Tes yang lain meliputi rotasi bergantian
dari seluruh lengan dengan lengan ekstensi penuh didepan pasien, mengetuk meja dengan
jari – jari ekstensi dan mengetuk satu – satu pergelangan tangan dengan jari telunjuk dan
jari tengah dari tangan yang lain. Pada ekstremitas bawah fleksi – ekstensi dari jari jari
kaki dan menepuk kaki yang mana tumit tertinggal ditas lantai dan secara cepat kaki
tepuk lantai.

Dyssnetria. Ketidak mampuan untuk mengontrol panjang otot yang mengakibatkan


melampaui atau menunjuk melewati objek kea rah sisi lesi. Contoh, jika menyentuh
mukanya maka pasien mungkin akan menampar mukana sendiri atau jika meraih suatu
objek mungkin ia akan meraih melewati objek.

Dyssenrgia. Dekomposisi pergerakkan dengan hilangnya pergerakan halus karena aksi


sinergik atau reciprocal antara agonist dan antagonis dirusak atau menghilang
( asynergia ). Dalam dekomposisi pergerakkan setiap sendi yang terlibat dalam pola
pergerakkan befungsi sendiri – sendiri sehingga pergerakkan terpecah daam bagian –
bagian yang seharusnya teroordinasi. Tes – tes untuk fungsi serebelar yang lain juga
untuk menilai dyssnergia.

Ataxic gait. Jalan dengan jarak kedua tungkai yang lebar, goyang tidak stabil,
sempoyongan dengan kecenderungan untuk erbelok kea rah sisi lesi. Observasi jalan
sudah cukup sebagai suatu evaluasi atau pasien disuruh berjalan dengan tumit, berjalan
dengan jari – jari kaki dalam garis lurus atau berjalan cepat dan secara cepat berbelok.

Rebound phenomenon of Holmes. Tidak adanya check reflex untuk menghentikan


gerakan aktif yang kuat untuk menghindari memukul sesuatu yang merupakan bagian dari
gerakan. Untuk melakukan test fenomena ini pemeriksa menahan siku psien dalam posisi

18
flexi dan kemudian melepas tahanan tersebut, pasien mungkin memukul dadanya sndiri
atau bahunya jika tidak mampu untuk check gerakan. Lengan harus diposisikan untuk
menghindari pasien memukul mukanya sendiri.

Asthenia. Otot mudah lemah dan lelah.

Hypotonia. Berkurangnya tonus otot oleh karena kurangnya fasilitasi serebelllum yang
mempengaruhi reflex peregangan. Granit melaporkan beberapa hasil penelitian membuat
kesimpulan bahwa gangguan lokomotor dari lesi – lesi serebellar memberi kesan tidak
adanya control spindle. Setelah pengangkatan serebellum dari deserebrasi kurang terjadi
pengurangan atau menghilangnya sensitivitas peregangan spindle yang dikontrol oleh
gamma motor neuron. Dengan tidak diaturnya oleh gamma maka aktifitas muscle spindle
tidak dapat diukur atau mengirim pesanan mengenai panjang otot yang kemdian akan
mempengaruhi control panjang otot. Destruksi dari hubungan serebellar ke alpha dan
gamma motor neuron dapat terlihat gejala seperti dysmetria dan adiodochokinesia.

Posterior Column

Kerusakan posterior column dengan menghilangnya propiosepsi juga mengakibatkan


inkoordinasi oleh karena salah memperhitungan posisi anggota gerak dan problem –
problem keseimbangan. Defisit koordinasi dari tidak adanya propiosepsi dan metode
evaluasi sebagai berikut :

Ataxia. Berjalan dengan jarak yang lebar antara kedua kaki dikarenakan hilangnya rasa
posisi. Pasien melihat kelantai dan meletakkan kaki untuk mengkompensasinya.

Romberg sign. Ketidak mampuan untuk mempertahankan keseimbangan pada posisi


berdiri dengan kedua mata tertutup. Untuk mengetes tanda ini pasien berdiri dengan
kedua matanya ditutup maka akan terjadi kehilangan keseimbangan.

Basal Ganglia

Basal ganglia diperkirakan berfungsi dalam pola otomatis pergerakkan dan lokomot
dan untuk menghmbat pergerakkan ritmik. Lesi – lesi dari basal ganglia menyebabkan “
release phenomenon” yang mana pergerakan ini dilepaskan dari inhibisi dan menjadi
lepas. Lesi – lesi basal ganglia menyebabkan satu atau lebih gerakan involunter abnormal
seperti dibawah ini :

19
Athetosis. Pergerakan athetosis mempunyai cirikhas berupa pergerakan yang lambat,
menggeliat, memutar, seperti gerakan cacing terutama meliputi leher, muka, dan
ekstrmitas. Ini karena kurannya stabilitas postural dari leher, batan tubuh dan sendi –
sendi bagian proximal. Mobilitas pergerakan berlebihan dengan kecepatan meningkat,
tetapi pergerakannya involunter dan tak bertujuan. Tonus otot mungkin meningkat atau
menurun.

Dystonia. Sebuah bentuk dari athetosis dimana tonus otot meningkat yang disebabkan
distorsi postur dari batang tubuh dan ekstremitas bagian proksimal. Athetosis ini tidak da
selama tidur.

Chorea. Pergerakan choreiform yaitu pergerakan yang cepat, tersentak – sentak dan
irregular khususnya melibatkan muka dan ekstremitas bagian distal.

Hemibullismus. Chorea yang unilateral berupa pergerakan yang asar, sangat kuat,
pergerakan melempar dari ekstremitas di satu sisi badan terutama meibatkan otot – otot
bagian proximal. Ini disebabkan karena lesi dari nucleus subthalamic.

TES – TES KETERAMPILAN

Keterampilan didefinisikan sebagai kemampuan untuk memanipulasi objek denan kedua


tangannya. Tes- tes keterampilan telah dibakukan seperti Crawford Small Parts Dexterity
test dan Minnesota Rate of Manipulation Test. Crawford test terdiri dari penit – peniti,
ban talli – tali leher dan skrup dan ditaruh diatas papan yang pas untuk benda – benda
tersebut. Peniti dan ban talu leher harus dijepit diangkat dan diletakkan dengan
menggunakan jepitan. Srup dimasukkan beberapa kedalaman dngan menggunakan
obeng. Minosseta test terdiri dari bingkai yang panjang ( kira – kira 1 meter ) mempunyai
empat baris horizontal membuka lebar cukup untuk akomodasi sekitar blok. Ini ada dua
subtes : menaruh dan membalikkan.

PENANGANAN SELAMA TAHAP SPASTIK

20
Tahap ini dikarakteristikkan dengan hipertonisitas. Penanganan pada tahap ini adalah
kelanjutan dari tahap sebelumnya. Penempatan bahu dilanjutkan. Pada titik mana saja pasien
dapat menahan pergerakkan, ia juga dapat mengangkat lengannya dari titik penempatan.

PENANGANAN SELAMA TAHAP PENYEMBUHAN RELATIF

Tidak semua pasien mencapai level penyembuhan ini. Selama tahap ini, spastisitas
adalah ringan. Penanganan pada tahap ini ditujukan untuk memperbaiki kualitas gait dan
penggunaan tangan yang sakit. Bobath melihat terapis okupatif aktif dalam terapi pasien
untuk mempergunakan gerakan yang didapat dalam kehidupan sehari – hari, dengan
menggunakan tugas – tugaas terapeutik berulang – ulang dan bilateral yang memperkuat
gerakkan – gerakkan yang telah dipelajari.

Pergerakkan sederhana dari tangan, mengikuti urutan perkembangan, harus dilatih


sebelum dikombinasikan dengan penggunaan sesungguhnya dari tangan dalam tugas sehari-
hari. Pergerakan sederhana ini meliputi : menggores, menggaruk dengan jari, menusuk
dengan jari telunjuk, menjepit, menari, mendorong, melambai, menepuk, melempar dan
melepas objek.

Secara ringkas, pendekatan neurodevelopmental bobath melibatkan :

1. Normalitas tonus

2. Perolehan respon righting dan equilibrium, mula – mula secara otomatis dan
kemudian secara bertahap menurut control voluntary yang lebih besar.

TERAPI KONTROL MOTORIK

Dasar pemikiran kontrol motorik adalah :

1. Manipulasi input sensorik yang menyebabkan perubahan efek pada output motorik.

2. Latihan dan rangkaian sensorik-motorik-sensorik akan meningkatkan output motorik


dari pergerakkan volunter.

21
3. Terapi pergerakan diajarkan pada pasien dan di praktekkan untuk memperoleh dasar
reflex secara pasif.

Pada kasus lesi-lesi upper motor neuron (UMN), dalam perencanaan dan pelaksanaan
gerakan volunter, banyak yang sering gagal dan hanya sedikit gerakan yang dapat melakukan.
Pasien sering tidak mampu untuk menggerakan satu bagian anggota gerak tertentu.

Penyembuhan biasanya diikuti serangkaian perkembangan dimulai dari reflex sampai


ke kontrol volunter, dari gerakan bersama sampai gerakan satu-satu dan dari kontrol
proksimal sampai ke kontrol distal. Pemulihan tidak pernah secara sempurna karena beberapa
sel otak yang sudah rusak, tidak akan mengalami pemulihan dan fungsinya akan menghilang.
Terapi saraf dimulai pada tahun 1950 dan tahun 1960 ketika beberapa terapis memulai
modifikasi penanganan pada pasien dengan kerusakan sistem saraf pusat. Hal ini didasarkan
pada ide-ide yang didapatkan dari data fisiologis saraf yang ada pada waktu itu. Data ini
mengusulkan bahwa output motorik dikontrol oleh input sensorik.

Kontrol gerakan memiliki suatu model, model ini diperoleh dari informasi dalam
literatur. Tahap-tahap pada model kontrol motorik yaitu :

1. Kebutuhan lingkungan mulai dirasakan atau diharapkan untuk bergerak.

Pergerakan dilakukan sebagai respon terhadap informasi sensorik dari


kutaneus, proprioseptif, pendengaran atau stimulasi penglihatan. Pandangan /
penglihatan merupakan rangsangan yang kuat untuk gerakan volunter. Sebuah
gerakan diatur dan direncanakan sebelum dimulai dan hal ini merupakan suatu
program yang akan dikembangkan.

2. Memori jangka panjang diperiksa sebelum menetapkan program motorik.

Dalam hal ini, kekuatan motorik diatur sehingga dapat menentukan waktu
yang tepat untuk berkontraksi dan berelaksasi. Perhatian tidak hanya dalam
hal proses pembuatan memori tetapi juga dalam peningkatan eksabilitas
neuron atau kesiapan dari neuron untuk digunakan. Apabila perhatian
ditujukan untuk suatu gerakan maka informasi tersebut akan disimpan dalam
memori jangka pendek untuk suatu waktu tertentu dan memori tersebut
disimpan sebagai long term memory pada waktu yang akan datang. Memori

22
pergerakan yang telah berhasil disimpan akan sulit terhapus dalam long term
memory.

3. Sebuah program dikembangkan untuk dilaksanakan.

Evarts mengemukakan bahwa korteks motorik berpartisipasi dalam


mengontrol gerakan yang dipelajari. Batang otak dalam merespon input dari
reseptor vestibular, serebellum, korteks dan basal ganglia.
Kortikomotorneuron mengontrol gerakan volunter, gerakan yang diperhatikan
dan gerakan yang otomatis. Sel-sel dalam serebellum dan basal ganglia
menjadi aktif lebih dahulu untuk bergerak. Basal ganglia secara istimewa lebih
aktif pada gerakan lambat dan serebellum terlihat lebih aktif dalam gerakan
cepat. Kedua area ini mempunyai aturan dalam mengontrol output pyramidal
sehingga keduanya memberikan masukan program melalui korteks motorik
dan batang otak untuk pelaksanaan.

4. Pergerakan dilakukan seperti yang diprogramkan, dimonitor, dan diadaptasikan.

Alpha motorneuron atau sel-sel horn bagian ventral biasanya merupakan


bagian akhir dari susunan saraf pusat sampai serabut-serabut otot ekstrafusal
yang mempengaruhi efek pergerakan. Setiap neuron-neuron dan serabut-
serabut otot merupakan unit motorik. Awalnya unit-unit motorik kecil yang
digunakan, unit tipe ini biasanya tonik atau bertahan. Jika dibutuhkan
kekuatan atau kecepatan, maka unit-unit yang diterima lebih besar (phasic).
Frekuensi letupan dari setiap pemakaian unit juga ditingkatkan sesuai
keperluan sehingga beberapa unit-unit motorik diaktifkan pada waktu yang
sama seperti yang lainnya dan efek yang dihasilkan akan menyebabkan
kontraksi yang lebih kuat.

5. Keberhasilan program diterima dan dihubungkan dengan informasi sensorik yang


lain.

Gerakan dapat dilakukan secara tepat dan mungkin belum akurat sampai
tercapai tujuan. Fase awal dari motor learning dapat disebut tahap cognitive-
motor. Selama tahap ini secara aktif orang merencanakan gerakan dan
menghubungkan secara kognitif berdasarkan hasil yang diperoleh dari
penglihatan dan pendengaran. Penglihatan biasanya menuntun pelaksanaan

23
motorik,. Suatu usaha dengan sadar dilakukan sesuai dengan pengetahuan
yang didapat dari penglihatan dan pendengarannya. Fase berikutnya disebut
sebagai tahap kinesthetic. Selama tahap ini, penderita berkonsentrasi pada rasa
dari gerakan dan mengembangkan suatu gerakan. Secara otomatis pelaksanaan
motorik dituntun oleh pengetahuan dari sensorik yang masuk.

6. Program disimpan dalam memori untuk digunakan yang akan datang.

Memori jangka pendek terletak pada lobus korteks yang secara cepat diterima
oleh sensorik melalui hasil-hasil gerakan. Pemasukkan memori difasilitasi
oleh situasi yang sama dan sering terjadi. Kebanyakkan gerakan-gerakan
terlatih terletak dalam memori, sebagai contoh : berjalan, bersepeda, membuat
tanda tangan.

Dengan menggunakan 6 tahap model kontrol motorik, terapis dapat mengevaluasi


kesulitan-kesulitan pasien sehingga dapat dilakukan pengobatan dengan baik dan benar.

Beberapa tujuan dari terapi kontrol motorik :

 Pemeliharaan dari lingkup gerak sendi

Tujuan pengobatan untuk penderita-penderita dengan gangguan motorik yang


disebabkan oleh kerusakan system saraf pusat adalah untuk menormalkan tonus dan
menormalkan gerakan.

 Normalisasi tonus sehingga gerakan dapat dilaksanakan

Jika tonus berlebihan makan tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi kelebihan
tonus agar dapat melakukan gerakan yang bebas. Jika tonus terlalu kecil maka
gerakan akan melemah atau tidak ada gerakan sama sekali. Tujuan khusus adalah jika
fleksor adductor hiperkatif : hambat dan fasilitasi ekstensor-ekstensor. Jika ekstensor/
abductor-adductor hiperaktif : hambat dan fasilitasi fleksor-fleksor. Jika fleksor-
fleksor hipoaktif : fasilitasi fleksor-fleksor dan ekstensor-ekstensor untuk mencapai
kontraksi otot yang seimbang dalam stabilitas dan fungsi-fungsi morbilitas. Jika
ekstensor-ekstensor hipoaktif : fasilitasi ekstensor-ekstensor. Normalisasi tonus
dicapai melalui kontrol stimulasi sensorik.

Prinsip-prinsip dan metode-metode terapi kontrol motorik

24
1. Stimulasi sensorik dikontrol

Stimulasi sensorik yang terkontrol digunakan umtuk membangkitkan atau


meningkatkan kontraksi otot yang lemah. Gerakan dibangkitkan sebagai respon
refleks terhadap stimulasi sensorik. Stimulasi sensorik dapat berupa :

Peningkatan tonus

Untuk meningkatkan tonus digunakan fasilitator stimulasi sensorik. Hati-hati


penggunaannya untuk pemakaian stimulasi phasik pada otot phasik dan
stimulasi tonik pada otot tonik. Otot yang disebut phasik adalah pucat,
menyilang pada banyak sendi, terletak superficial digunakan untuk merespon
mobilitas seperti pada otot biseps dan ekstensor digitorum. Otot yang
dianggap tonik adalah merah, menyilang pada satu sendi, terletak bagian
dalam dan bertanggung jawab untuk merespon stabilitas seperti pada otot
brachialis dan otot interossei.

• Stimulasi taktil

Stroking/mengusap atau brushing/menyikat diatas otot-otot yang diterapi.


Terapis dapat menggunakan ujung jarinya, kapas atau sikat untuk stimulasi
taktil. Usapan cepat digunakan untuk menghasilkan respon phasik dan
penyokongnya, menyikat dengan cepat digunakan untuk menghasilkan respon
tonik.

• Stimulasi suhu

Penggunaan secara singkat es pada kulit diatas otot yang diobati atau pada
telapak tangan atau telapak kaki. Respon phasik didapat dari usapan yang
cepat diatas telapak tangan atau telapak kaki. Respon tonik didapat dari
meletakkan es beberapa detik diatas otot.

• Stimulasi vestibular

Stimulasi ini digunakan untuk respon keseimbangan dan untuk fasilitasi tonus
ekstensor. Respon ini berlangsung hanya sepanjang stimulus dilakukan.

25
Stimulasi reseptor vestibular dilakukan melalui gerakan rotasi (merotasi
kepala, memutar kursi pasien, lompat tali).

• Stimulasi proprioceptive

Digunakan untuk respon refleks, dan untuk meningkatkan gerakan yang terus
menerus. Efeknya segera dan berlangsung sepanjang dilakukan stimulus.
Vibrasi merupakan metode yang sangat efektif untuk meningkatkan
peregangan sensitivitas dari tonik otot dan untuk menghambat antagonis
phasik otot. Peregangan digunakan untuk mendapatkan gerakan atau untuk
meningkatkan kontraksi otot. Menurut Granit, refleks peregangan merupakan
komponen fungsional yang mengatur pergerakan, gerakan yang diinginkan
atau gerakan otomatis. Refleks-refleks digunakan untuk menimbulkan gerakan
ketika pasien tidak mampu untuk memulai respon yang diberikan. Refleks-
refleks ini akan menjadi dasar pola-pola gerakan volunter. Resistensi yang
digunakan untuk meningkatkan output dari sebuah otot untuk gerakan terus
menerus yang tak terduga. Resistensi juga menyebabkan kontraksi otot dan
sekitar otot.

Penurunan tonus

• Stimulasi taktil

Terapis menggunakan telapak tangan atau ekstensi jari-jari untuk melakukan


tekanan perlahan-lahan dan berirama di daerah occiput sampai koksigeus.
Relaksasi dapat terjadi dalam beberapa menit.

• Stimulasi suhu

Perpanjangan pendinginan lebih dari beberapa menit dapat menginhibisi


kontraksi otot tetapi setelah dihangatkan kembali dapat menimbulkan
kontraksi otot yang berlebihan. Terapis dapat menyarankan pasien dengan
lengan spastik menggunakan sweater. Pemanasan pada otot-otot ekstensor
dapat menimbulkan tremor.

• Stimulasi vestibular

26
Gerakan yang perlahan, berirama lambat merupakan relaksasi. Pengurangan
hipertonis harus terlihat dalam beberapa menit.

• Stimulasi proprioseptif

Vibrasi dapat menjadi inhibitor ketika dilakukan pada otot antagonis.


Resistensi dapat digunakan untuk menghambat gerakan pada penderita
ataksia.

2. Willed movement/ gerakan yang diinginkan

Willed movement didefinisikan sebagai gerakan dimana penderita memberikan


perhatian untuk melakukan gerakan tersebut, berusaha untuk menyelesaikan gerakan
tersebut dan memperoleh tujuan yang memuaskan. Kontrol stimulasi sensorik
merupakan alat utama yang digunakan untuk meningkatkan kontrol motorik. Pasien
dapat memfasilitasi belajar dalam tahap kognitif-motorik melalui demostrasi dan
penyediaan video

3. Rangkaian perkembangan

Terapi aktivitas dan latihan merupakan pilihan untuk melihat perkembangan terapi
penderita. Perkembangan terjadi terus menerus sehingga respon motorik dapat
kembali sempurna. Refleks-refleks diintegrasikan sebelum mencapai gerakan
volunter. Kontrol harus dicapai melewati aksial dan proksimal tubuh sehingga
memungkinkan kontrol anggota gerak.

4. Latihan

Latihan dilakukan untuk proses belajar. Latihan menggunakan jaras-jaras sinaptik


yang sama meningkatkan kecenderungan untuk mengaktivasi jaras-jaras lainnya
sehingga dapat merespon stimulus yang diberikan dan semakin lama akan
mendapatkan respon yang otomatis. Latihan yang diulang terus menerus dapat
memperoleh perbaikan/ kemajuan. Latihan dapat menggunakan peralatan dan
lingkungan yang alami.

PENDEKATAN DAN PERKEMBANGAN PENANGANAN NEUROFISIOLOGIS

27
Berdasarkan pendekatan dan perkembangan neurofisiologis terdapat 4 pendekatan
dalam menangani pasien mengenai masalah kontrol motorik :

1. Pendekatan rood
2. Pendekatan perkembangan saraf Bobath
3. Terapi gerakan dengan pendekatan brunnstrom
4. Pendekatan PNF ( Proprioceptive Neuromuscular Facilitation).

Metode Rood

Dikembangkan oleh Margaret Rood, seorang fisioterapis dan okupasiterapis sejak


tahun 1960-an. Sebenarnya metode ini dikembangkan untuk penderita cerebral palsy tetapi
dapat diterapkan untuk semua kelainan kontrol motorik akibat gangguan otak. Premis dari
pendekatan Rood bahwa kontrol motorik berkembang dari reflek-reflek dasar pada saat bayi
yang secara bertahap dimodifikasi melalui stimulasi sensorik hingga dicapai kontrol yang
lebih tinggi dengan gerakan yang disadari dan fungsional. Sehingga jika diaplikasikan
stimulasi sensorik yang benar pada reseptor yang tepat akan merangsang proses
perkembangan dari gerakan yang bersifat reflek ke gerakan yang terkontrol.
Prinsip dari pendekatan metode Rood ini adalah:
1. Proses perbaikan tonus dan gerakan fungsional dicapai dengan stimulasi sensorik
yang benar yang mana dipercaya oleh Rood merupakan langkah perkembangan yang
paling awal dalam memperoleh kontrol motorik yang baik melalui teknik-teknik
fasilitasi dan inhibisi.
• Metode fasilitasi
 Fast brushing
Adalah penyikatan rambut-rambut atau kulit pada otot dengan
menggunakan sikat yang berputar yang digunakan pada tiap area kulit
diatas otot-otot yang akan dirangsang. Penyikatan dilakukan 5 detik
dalam setiap area. Jika tidak ada respons terhadap penyikatan setelah
30 detik , penyikatan diulangi 3-5 kali. Fast brushing merupakan
rangsang ambang tinggi terhadap serat-serat sensorik ukuran C.
Fast brushing akan menstimulasi rami posterior primer yang
berbatasan dengan columna vertebralis, otot-otot punggung bagian

28
dalam. Fast brushing harus dilakukan hati-hati. Apabila pernyikatan
dilakukan pada pinna telinga dapat merangsang N. Vagus sehingga
dapat menyebabkan gangguan fungsi kardiorespirasi (bronkokonstriksi
dan perlambatan kerja jantung). Fast brushing pada rami posterior
primer dari L1-2 akan menyebabkan pengosongan BAB dan BAK.
Pada S2-4 akan menyebabkan retensi vesika urinari.
 Fasilitasi termal
Dilakukan dengan menggunakan es. Fasilitasi ini digunakan untuk
menstimulasi respons tonik melalui serabut C. Es merupakan stimulus
yang berbahaya karena dapat menyebabkan respons protektif dan
vasokonstriksi.

• Metode inhibisi
Metode ini digunakan untuk mengurangi nyeri dari otot-otot spastik dari bahu.
Dapat dilakukan dengan cara pasien berguling secara perlahan pada satu sisi.
Terapis memegang bahu dan panggul secara perlahan menggulingkannya
hingga menimbulkan relaksasi. Ayunan secara perlahan pada kursi goyang
dapat menimbulkan relaksasi tetapi kecepatan harus di monitor dengan baik.
Sebab bila ayunan cepat dapat memfasilitasi stimulasi vestibular.

2. Kontrol sensomotorik berdasarkan prinsip-prinsip tumbuh kembang


3. Gerakan haruslah bertujuan. Fokus penanganan adalah batang tubuh, ekstremitas
bawah, atau segmen proksimal dari ektremitas atas yang dikontrol oleh subkortikal.
4. Pengulangan respon sensomotorik diperlukan untuk proses latihan.

Metode Bobath
Ide dasar Bobath menemukan pendekatan pengobatan mereka adalah sebagai berikut.
Sensasi gerakan dipelajari, tidak hanya gerakan murni. Postur dasar dan pola gerakan
dipelajari yang mana kemudian diperluas menjadi keahlian fungsional. Setiap keterampilan
aktifitas berlangsung terhadap latar belakang dari pola dasar kontrol postural righting,
keseimbangan dan reaksi protektif lainnya.
Ketika otak rusak, pola abnormal dari postur dan gerakan berkembang yang mana
bertentangan dengan pelaksanaan aktivitas sehari-hari. Pola abnormal berkembangkarena

29
sensasi terhalang menjadi pola abnormal ini. Hukum dari shunting merujuk pada fenomena
yang digambarkan Bobath sebagai aliran aferen. Kontak pendek sementara atau lebih
permanen menuju pola koordinasi abnormal dilepas dari kontrol inhibisi yang lebih tinggi.
Pasien dengan output motorik abnormalyang bergerak abnormal sebagai respon dari adanya
motivasi dan input sensorik normal tetap hanya akan mengalami dan mengingat sensasi dari
gerakan abnormal, dari usaha yang berlebihan dan kurangnya koordinasi. Dengan demikian,
ia tidak dapat menetapkan dan mengembangkan ingatan poal sensorik motorik normal.
Pola abnormal harus dihentikan, tidak dengan memodifikasi input sensorik tetapi
mengembalikan pasien pada kontrol yang hilang atau tidak berkembang atas output dalam
urutan perkembangannya. Pola dasar dari postur dan gerakan, respon equlibrium diperoleh
dengan menyediakan stimulus yang tepat saat pola abnormal dihambat. Pada cara ini, pasien
diberi kesempatan untuk mengalami gerakan normal. Informasi sensorik dari gerakan yang
benar mutlak perlu untuk perkembangan perbaikan kontrol motorik. Dengan demiian,
penanganan pasien dikonsentrasikan pada cara menghambat distribusi abnormal tonus dan
postur abnormal saat menstimulasi atau mendorong kontrol motorik pada level berikutnya.
Postur dan tonus abnormal dikontrol pada “key point” (bagian tubuh proksimal seperti
kepala, batang tubuh dan kadang bagian distal seperti jari-jari) menggunakan gerakan atau
polainhibisi refleks yang disebut RIP (Refleks Inhibiting Pattern). Jika pasien kekurangan
tonus, stimulasi sensorik atau “tapping” digunakan saat RIP dengan demikian aliran sensorik
tidak akan menuju pola abnormal. Bobath percaya bahwa sekali pasien dapat bergerak
dengan mudah di dalam dan di luardari pola dasar normalpostur dan gerakan, ia akan secara
otomatis memperluas pola iniuntuk mempelajari aktivitas keterampilan yang dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Evaluasi adalah bagian integral dari penanganan. Dalam setiap sesi dari penanganan
kemajuan pasien dievaluasi. Beberapa perubahan yang dapat diukur hendaknya terjadi pada
setiap sesi dan jika hal itu tidak terjadi, maka penanganan harus dimodifikasi. Evaluasi
dirancang dalam urutan perkembangan ; sekali level tertinggi dari penampilan pasien
diketahui dengan pasti, penanganana dimulai dan evaluasi lebih jauh ditunda hingga
kemajuan dicatat.
Evaluasi yang dilakukan Bobath meliputi penentuan luas dan distribusi dari hiper dan
hipotonus dan efek hipertonus pada satu bagaian tubuh dipakai untuk bagian lain. Tonus
diperkirakan dengan menempatkan pasien dalam urutan perkembangan pola postural
daripada dengan menguji tiap sendi. Terapis mencari kesiapan penyesuaian otot terhadap

30
posisi baru, kemudian yang tidak semestinya dari penempatan dan hiperelstensibilitas, atau
untuk tahanan yang tak semestinya terhadap test pergerakan.

Evaluasi dan Penanganan Cerebral Palsy


Di seluruh testing, terapis harus menjamin kebebasan maksimal dari emosi dan tekanan
fisik melalui penangana yang tepat. Dalam seluruh tes, pertama-tama terapis menempatkan
posisi pasien dalam posisi tes. Manipulasi fisik untuk mengurangi tegangan bila diperlukan.
Jika terapis tidak dapat menempatkan pasien karena ketidakmampuan untuk merelaksasi
tegangan atau karena adanya kontraktur atau deviasi struktural, ini diindikasikan pada
formulir. Kedua, setelah ditempatkan, pasien diminta untuk tetap pada posisi test. Langkah
ketiga, ia diminta untuk berpindah ke posisi tes secara bebas. Kunci tingkat untuk grafik
penilaian cerebral palsy :
0 Tidak dapat ditempatkan pada postur test
1 Dapat ditempatkan pada postur tes, tetapi tidak dapat mempertahankan posisi
2 Dapat mempertahankan postur tes sementara setelah ditempatkan
3 Dapat mengambil perkiraan postur tes tanpa dibantu dalam sikap apapun
4 Dapat mengambil dan menahan postur tes dalam sikap hampir normal
5 Normal

Instruksi Spesifik Untuk Pemberian Topik Tes


Setiap topik tes mewakili kontrol postur yang diperlukan untuk berbagai aktivitas
fungsional. Adalah membantu untuk mengingat signifikansi fungsional dari tiap tes saat
pemberiannya agar memperhatikan aspek paling penting yang berperan pada score tes
Supine (Terlentang)
Tes 1 :
Tujuan : untuk menguji kebebasan dari hipertonus ekstensor dalam posisi supine. Penekanan
pada test ini adalah pada sendi proksimal
Bawa lutut satu persatu ke dada dengan rotasi eksternal yang cukup pada panggul untuk
mengarahkan lutut ke aksila. Ini dibutuhkan untuk mendapatkan fleksipenuh, jika tidak
tercapai, mungkin terdapat range yang tidak penuh dari fleksi panggul.Kuatkan posisi lutut
dengan tubuh : tarik lengan ke depan pada bahu, abduksikan scapula, dan lipat menyilang
dada dengan demikian telapak tangan yang terbuka menutupi bahunya ; lengan harus
diangkat menjauhi dinding dada; kepala harus tetap pada posisi netral ; kaki rileks dalam
plantar fleksi.

31
Tes 2 :
Tujuan : untuk menguji kemampuan untuk fleksi atau ekstensi satu kaki secara bersamaan
melalui range penuh
Mulai dengan panggul dan lutut fleksi penuh dengan lengan menyilang dada atau relaks
pada sisi, bawa kaki kanan turun ke meja hingga posisi lurus, hindari rotasi internal.
Punggung jangan melengkung. Kembali ke posisi awal dan ulangi dengan kaki kiri.
Tes 3
Tujuan : untuk menguji kemampuan mengangkat kepala.
Tempatkan pada posisi supine simetris dengan tungkai lurus dan lengan pada sisi.
Angkat kepala dengan memfleksikan leher. Bahu harus tetap relaks
Prone (Telungkup)
Tes 4
Tujuan : untuk menguji kebebasan dari hipertonus fleksor pada posisi prone
Tempatkan posisi prone, angkat di bawah bahu untuk membebaskan lengan ; tempatkan
lengan di atas kepala satu persatu, siku dan pergelangan tangan lurus, telapak tangan ke
bawah, tungkai lurus dan relaks. Kepala diangkat pada posisi ditengah. Letakan kembali
lengan di bawah level bahu sebelum meminta pasien untuk berpindah ke posisi tes
Tes 5
Tujuan : untuk menguji kebebasan lengan dan bahu dari hipertonus fleksor pada posisi prone
Tempatkan prone, lengan rotasi eksternal disamping tubuh, telapak tangan di bawah.
Tempatkan tangan jauh dari tubuh sehingga lengan tidak tertekan ke toraks. Untuk
mengambil posisi secara aktif, dimulai dengan menempatkan lengan pada level bahu atau
lebih tinggi. Perhatikan setiap perubahan tegangan akibat menolehkan kepala dari satu sisi ke
sisi lainnya
Tes 6
Tujuan : Untuk menguji konrol selektif atas panggul dan lutut
Tempatkan prone, lengan relaks di sisi kepala atau sisi tubuh. Fleksikan lutut kanan
hingga 900 tanpa fleksi panggul. Kaki jangan dorosfleksi, tungkai yang lain harus tetap
relaks. Ulangi pada tungkai kiri.
Pada postur berikutnya, reaksi righting dibutuhkan. Reaksi ekstensi protektif dan
equilibrium dievaluasi dalam setiap test prosedur. Respon equilibrium adalah respon otomatis
terhadap gangguankeseimbangan. Pola ekstensi protektif adalah pola otomatis dari
ekstremitas atas yang mana menyebabkan pasien melakukan ekstensi dalam usaha untuk
melindungi tubuh.

32
Tes 7
Tujuan : Untuk menguji kontrol postural pada ekstensi spinal
Tempatkan prone, luruskan thoracic spine, dan tempatkan lengan satu persatu dalam
paling sedikit 900 fleksi bahu dan abduksi ringan, topang pada lengan bawah. Kepala
diangkat dengan wajah vertikal. Lengan mengarah lurus ke depan dan tangan terbuka.
Tes 8
Tujuan : Untuk menguji kemampuan menopang berat badan pada lengan yang diluruskan.
Mulai dari posisi tes 7. Angkat kepala pasien, berikan traksi ringan pada servikal spine
dengan demikian ia menopang dirinya sendiri pada lengan yang lurus dan tangannya yang
terbuka ; seluruh spine dan panggul lurus.

Sitting Erect (Duduk Tegak)


Tes 9
Tujuan : Untuk menguji kontrol panggul dalam fleksi, abduksi dan rotasi eksternal
Tempatkan dalam posisi duduk tegak dengan panggul abduksi, fleksi dan rotasi
eksternal hingga paling sedikit 450 , telapak kaki bersamaan, lengan relaks.
Tes 10
Tujuan : Untuk menguji duduk tegak dengan tungkai lurus
Tempatkan pada posisi duduk tegak dengan paha abduksi tanpa rotasi internal dan
dengan lutut lurus, sudut fleksi panggul antara 90-1000, lengan relaks
Tes 11
Tujuan : Untuk menguji kontrol selektif atas panggul dan lutut
Tempatkan dalam posisi duduk tegak, sudut fleksi panggul antara 90-1000, tungkai
bergantung vertikal. Luruskan lutut penuh; tanpa ekstensi lebih jauh dari panggul. Tungkai
lain dan lengan harus tetap relaks

Kneeling (Berlutut)
Tes 12
Tujuan : Untuk menguji tumpuan berta badan dan kontrol keseimbangan pada lutut dan tumit
dari tangan terbuka
Mulailah dengan “four-point kneeling” (quadruped), punggung dan leher lurus (tidak
hiperekstensi), tungkai paralel, siku lurus, tangan mengarah ke depan
Tes 13
Tujuan : Untuk menguji kemampuan batang tubuh untuk beradaptasi terhadap gravitasi

33
Tempatkan pada duduk disisi dari empat titik atau berlutut tegak lurus dengan
menurunkan panggul ke satu sisi kaki. Kepala dan batang tubuh bagian atas harus tegak,
lengan bebas
Tes 14
Tujuan : Untuk menguji kontrol antero-posterior dari pelvis dan batang tubuh pada paha
Tempatkan pada posisi berlutut tegak lurus, panggul ekstensi, tungkai paralel, batang
tubuh dan kepala tegak kepala dalam posisi tengah, lengan relaks
Tes 15
Tujuan : Untuk menguji kontrol rotasi pada panggul
Tempatkan pada posisi setengah berlutut. Kaki yang lain ditempatkan pada lantai di
depan dan ke samping untuk dasar topangan yang memadai. Panggul lutut dan pergelangan
kaki dari kaki depan pada 900, jati-jari kaki tidak clawed. Pelvis dan batang tubuh
menghadap ke depan, lutut sedikit keluar

Squatting (Jongkok)
Tes 16
Tujuan : Untuk menguji kontrol dari spastisitas ekstensor.
Tempatkan duduk jongkok, yaitu tungkai dan panggul fleksi penuh, rotasi luar, kaki
datar pada lantai, jarijari kaki tidak clawed, lutut mengarah pada arah yang sama dengan jari-
jari kaki, lengan ke depan untuk keseimbangan. Pindahkan berat badan ke depan pada kaki
menuju posisi jongkok.

Standing (Berdiri) dan Komponen dari Walking (Berjalan)


Tes 17
Tujuan : Untuk menguji distribusi normal dari tonus kaki saat berdiri
Tempatkan pada posisi berdiri dengan segmen tubuh pada garis normal dengan
hubungan terhadap garis gravitasi pada bidang midcoronal dan midsagital, yaitu : berat badan
didistribusikan merata pada kedua kaki, tungkai pada posisi tengan dari rotasi. Pengangkatan
dapat digunakan untuk menyeimbangkan panjang tungkai
Tes 18
Tujuan : Untuk menguji kemampuan menopang tubuh pada satu kaki
Dari posisi berdiri simetris, pindahkan berat badan di lateral pada satu tungkai dan
angkat yang bebas lainnya dari lantai. Batang tubuh harus tetap tegak.

34
Pedoman pertanyaan-pertanyaan yang harus dipertimbangkan oleh terapis selama
evaluasi meliputi kejadian sebagai berikut :
1. Apakah kemampuan motorik pasien tertahan pada satu level perkembangan atau
kemampuannya terpencar dalam beberapa tahap perkembangan yang berbeda ?
2. Postur abnormal yang diperlihatkan pasien dan bagaimana pengaruhnya
terhadap aktivitas pasien ?
3. Apakah pasien memiliki pola postur abnormal yang dapat berkembang menjadi
kontraktur atau deformitas ?
4. Apakah distribusi tonus abnormal? Bagaimana tonus berubah dengan stimulasi
atau usaha? Adakah tonus abnormal pada posisi tertentu? Apakah pergerakan
mempengaruhi tonus?

REFLEKS INHIBITING PATTERN = RIP (POLA INHIBISI REFLEKS)


Pola inhibisi refleks adalah sebagian pola yang berlawanan dengan pola khas abnormal
yang mendominasi pasien. Pola inhibisi refleks mencegah shunting aliran sensorik menuju
pola abnormal dan mengalihkannya ke pola normal. Pasien yang sakit parah yang tidak
berhasil dengan terapi sebelumnya mungkin membutuhkan untuk diinhibisi untuk waktu yang
lama sebelum mereka dapat bergerak dengan aktif. RIP dirancang dengan memeriksa pasien
dalam seluruh postur untuk mennetukan pola distribusi abnormal. Key points digunakan
untuk mengontrol distribusi tonus. Pola inhibisi refleks tubuhsecara penuh tidak digunakan
karena tonus kemungkinan besar dihubingkan dengan pola kebalikan. Mebih baik dipilih key
point yang memberikan pola penuh dari tonus untuk dihentikan selama penanganan. RIP
harus individual untuk setiap orang mengikuti analisa yang hati-hati dari problem pasien.

PENANGANAN
Handling digunakan untuk mempengaruhi tonus postural, untuk emngatur koordinasi
dari agonis, antagonis dan sinergis untuk menginhibisi pola abnormal dan untuk
memfasilitasi respon otomatis normal. Penanganan berubah secara konstan untuk
menginhibisi yang tidak diinginkan dan memfasilitasi respon yang diinginkan dalam situasi
pengobatan yang dinamik. Tonus atau gerakan abnormal dicegah sejak pertama. Sekali reaksi
normal pertama terjadi, ini diulang untuk membentuk pola sensorimotorik baru dan membuat
reaksi lebih cepat dan lebih bisa dipercaya.

REAKSI EQUILIBRIUM DAN RIGHTING

35
Inhibisi yang sesungguhnya dapat diperoleh hanya melalui reaksi keseimbangan dan
equilibrium. Respon reaksi righting dan equilibrium (meliputi pola ekstensi protektif)
diperoleh untuk tiap postur dan gerakan yang digunakan dalam terapi. Gerakan yang
digunakan dalam terapi adalah pola motorik fundamental yang mana anak normal
berkembang selama dua tahun pertama kehidupannya.
Reaksi neck righting dan reaksi body righting pada tubuh dibangkitkan untuk
membantu anak untuk bergerak dari supine ke prone, ke on elbows, ke quadruped, ke kneel
standing dan akhirnya untuk berdiri. Anak digerakan di dalam dan di luar dari posisi dimana
dlam kapabilitas perkembangannya menggunakan reaksi ini. Ia digerakan ke postur ini dalam
berbagai cara
Reaksi equilibrium diperoleh dengan memindahkan pusat gravitasi seseorang saat ia
berada dalam salah satu pola perkembangan. Pencapaian dari reaksi keseimbanagn tidak
dimulai hingga seseorang dapat mempertahankan posisi melawan gravitasi. Reaksi
equilibrium dapat diperoleh dengan memindahkan pasien atau permukaan dimana ia
ditempatkan. Pencapaian respon equilibrium mula-mula dilakukan dengan perlahan dan hati-
hati ; kemudian kecepatan dan range dari perpindahan ditingkatkan saat pasien dapat
menyesuaikan diri. Tonus abnormal akan meningkat disebabkan perasaan takut jatuh. Saat
pasien dapat melakuak reaksi equilibrium pada permukaan yang stabil, ia dapat ditempatkan
pada permukaan yang bergerak. Respon protektif dapat diperoleh pada saat bersamaan
dengan reaksi equilibrium.

STIMULASI SENSORIK
Stimulasi sensorik digunakan untuk pasien hipotonik dan yang lainnya yang tampak
lemah ketika tonus abnormal dihambat, atau mereka yang memiliki gangguan sensorik.
Stimulasi sensorik dihentikan jika respon menjadi abnormal atau hiperaktif.
Jenis stimulasi sensorik yang dianjurkan oleh Bobath meliputi sebagai berikut :
1. Tumpuan berat badan dengan tekanan dan tahanan digunakan untuk
memperoleh peningkatan tonus postural dan penurunan gerak involuntar. Ini
baik terutama untuk pasien ataxia dan athetoid. Tahanan dan tekanan mungkin
tidak menolong dalam kasus-kasus spastisitas karena dapat meningkatkan
kemungkinan kontraksi
2. Penempatan dan bertahan. Penempatan merujuk pada kemampuan untuk
menahan gerakan pada setiap tingkat secara otomatis dan volunter. Bertahan

36
merujuk pada kemampuan untuk mempertahankan posisi tanpa bantuan seakali
anggota tubuh ditempatkan
3. Tapping (tepukan) :
a. Pressure tapping (kompresi sendi) : meningkatkan tonus untuk
mempertahankan postur yang dapat diterima
b. Inhibitory tapping : meningkatkan otot yang lemah disebabkan inhibisi
timbal balik oleh antagonis spastik
c. Alternate tapping : untuk menstimulasi reaksi keseimbangan
d. Sweep tapping : mengaktivasi pola sinergik dari fungsi otot

PROGRAM PENANGANAN
Respon keseimbangan akan diperoleh pada saat pasien memiliki kontrol dari tiap
postur. Terapis okupasi membutuhkan untuk mengkombinasikan saran-saran ini untuk terpi
dengan ide aktivitas untuk memotivasi pasien dan untuk mendorong latihan dalam situasi
fungsional.

EVALUASI PENANGANAN DEWASA HEMIPLEGIK


Problem dan Pemikiran
Pasien dengan lesi UMN menunjukan pola pergerakan statik dan stereotipik, spastis
dan kokontraksi berlebihan yang menghalangi gerakan bebas dan terkoordinasi. Refleks
asosiasi merupakan gerakan refleks tonik dari sisitubuh yang sakit yang mana durasi stimulis
dapat berlangsung lebih lama. Stimulus adalah propioseptif, yaitu kontraksi tonik kekuatan
penuh otot-ototo dari sisi yang sehat.
Normalnya pergerakan dilakukan sebagai respon untuk merasakan stimulasi
lingkungan. Jika resepsi atau persepsi dari stimulus tersebut rusak, maka respon motorik juga
akan rusak.
Penanganan Bobath berdasar pada pandangan bahwa spastisitas disebabkan oleh
mekanisme pelepasan dari postur abnormal yang mana menghasilkan fungsi statikyang
berlebihan dengan mengorbankan kontrol postur dinamik. Tujuan dari penanganan dalah
untuk menolong pasien mendapatkan kontrol atas pola spastisitas dengan menghambat pola
refleks abnormal. Penekanan adalah pada perubahan output motorik dengan demikian
pengaruh aliran sensorik diperlukan untuk mempelajari pergerakan normal.
Evaluasi

37
Postur pasien dan pola gerakan dinilai untuk menentukan pola fungsional mana yang
ada dan apakah pola abnormal yang ada dapat mempengaruhi fungsi. Disebabkan oleh
spastisitas, pola postural biasanya terbatas pada satu atau dua sinergi. Yaitu otot-otot yang
dibutuhkan untuk bekerja hanya pada pola stereotipik.
Kehilangan yang menetap dari sensasi memberikan prognosis yang buruk untuk
memperoleh kembali ontrol motorik. Metode tes untuk tonus dan reaksi postural untuk
bergerak disebut placing (penempatan). Saat terapis menggerakan anggota tubuh, adaptasi
pasien pada pola normalpostur dan gerakan yang dibebankan padanya dinilai. Adaptasi
normal berarti bahwa pasien mengontrol berat dari anggota tubuhnya secara aktif, respon
holding (bertahan) segera terlihat jika anggota tubuh dibiarkan sendiri pada beberapa tahap
pergerakan.
Kemampuan pasien untuk menunjukan gerakan spesifik dievaluasi dengan dua
kelompok tes :
1. Tes untuk kualitas pola gerakan
2. Tes untuk keseimbangan dan reaksi protektif otomatik lainnya
Evaluasi dihentikan dan penangan dimulai saat pasien tidak dapat melakuakn topik
tersebut. Tes untuk keseimbanagn dan reaksi protektif lainnya digunakan bagi pasien dengan
hanya disabilitas ringan. Pasien dites hanya pada posisi yang dapat dipertahankan secara
volunter
Reaksi keseimbangan diuji dengan meminta pasien untuk mengangkat bagian tubuh
yang sehar saat berada pada posisi berat badan menumpu, yang mana secara otomatis dan
ilmiah memindahkan berta badannya ke posisi yang sakit dan menuntut penyesuaian
keseimbanagn otomatis. Ekstensi protektif dari lengan yang sakit juga diuji pada semua
posisi ini dengan mendorong pasien hingga kehilangan keseimbangan, saat memegang pasien
pada tangan yang sehat dengan lengan dipertahankan ekstensi dan rotasi eksternal untuk
memfasilitasi ekstensi dari lengan dan tangan yang sakit.
Dalam rencana penanganan, terapis mengidentifikasikan dari evaluasi :
1. Apakah untuk meningkatkan, menurunkan atau menstabilkan tonus
2. Pola abnormal mana yang perlu dihambat dan pola normal mana yang perlu
difasilitasi
3. Keterampilan fungsional mana yang perlu dipelajari kembali oleh pasien dan
urutan yang perlu dipelajari
Penanganan

38
Spastisitas harus dicegah dengan menggunakan teknik penanganan khusus yang
melawan pola abnormal aktivitas refleks tonik disebut refleks inhibiting pattern (RIP). Key
points yang digunakan adalah leher, tulang belakang, pelvis dan gelang bahu. Titik kunci
lainnya adalah distal (jari-jari dan pergelangan tangan, ibu jari dan pergelangan kaki) yang
dapat mempengaruhi stabilitas proksimal. Pada hemiplegi, RIP digunakan untuk meniadakan
spastisitas fleksor paad ekstremitas atas dan batang tubuh dan spastisitas ekstensor pada
ekstremitas bawah.
RIP terutama digunakan untuk meniadakan spastisitas fleksor dari batang tubuh dan
lengan adalah ekstensi dari leher dan tulang belakang dan rotasi eksternal dari bahu dengan
ekstensi siku. Untuk meniadakan spastisitas fleksor dan ekstensor dari ekstremitas bawah,
pola yang digunakan adalah abduksi panggul dan rotasi eksternal dikombinasikan dengan
ekstensi panggul dan lutut
Saat spastisitas dikurangi denga RIP tujuan terapi jadi satu dari memberikan pasien
dengan perasaan dari berbagai perbedaan otomatis normal dan pola volunter dari gerakan,
karena ini merupakan sensasi pergerakan yang dipelajari. Stimulasi sensorik (taktil dan
propioseptif) digunakan untuk pasien falcid ketika anggota tubuh dipertahankan dalam pola
inhibisi refleks untuk mencegah perkembangan tonus dalam pola spastisitas.

PENANGANAN SELAMA TAHAP INITIAL FLASSID


Pada tahap ini, tonus tidak ada, tetapi terdapat spastisitas intermiten untuk rekasi untuk
meregang. Hal ini difokuskan pada posisi dan gerakan di tempat tidur. Pasien dibantu untuk
menggerakan lengan yang sakit untuk menopang seawal mungkin karena tumpuan berat
badan memfasilitasi tonus ekstensor.
Posisi
Posisi yang menggambarkan pasien hemiplegia adalah side lying pada posisi yang sehat
dengan kepala lateral fleksi menjauh dari sisi yang sakit, fleksor batang tubuh lateral
memanjang dan lengan yang sakit disangga dengan bantal didepan pasien agar scapula
terbawa ke depan dari posisi retraksi. Harus ada bantal dibawah lengan untuk menarik
scapula ke depan dan satu dibawah lutut untuk menghentikan pola ekstensi ekstremitas
bawah. Jika pasien kekurangan tonus ekstensor atau memiliki kecenderungan untuk
spastisitas fleksordari ekstremitas bawah tidak digunakan bantal di bawah lutut.
Pergerakan harus dilakukan secara aktif jika memungkinkan, atau dibantu atau jika
perlu dilakukan mula-mula secara pasif. Pola khas dari ekstremitas atas adalah :scapula
retraksi dan depresi dan bahu adduksi dan rotasi ke dalam ; siku pergelangan tangan dan jari-

39
jari fleksi, lengan bawah pronasi, pergelangan tangan deviasi ulnar; jari-jari adduksi. Pada
tungkai, ekstensi serempak dari panggul, lutut dan pergelangan kaki dengan inversi dari kaki,
rotasi ke dalam dari paha dan rotasi ke belakang dari gelang panggul
Pergerakan Di Tempat Tidur
Untuk pergantian, pasien menggengan tangannya dengan jari-jari bertautan. Ia
menggerakan genggaman tangannya dengan siku lurus ke posisi horizontal atau diatas kepala.
Ia kemudian dapat menggerakan lengan dan batang tubuhnya ke tiap sisi dan kemudian
dengan bantuan dapat memutar pelvis dang menggerakan tungkai yang sakit
Saat masih di tempat tidur, pasien mulai belajar mengontrol lengan pada bahu. Supaya
dapat menggerakan bahu secara penuh dan menghindari nyeri, scapula yang terretraksi dan
tertekan harus dimobolisasi menjadi protraksi dan rotasi ke atas. Pergerakan ini dapat
dilakukan dengan ritmikdan cara berputar perlahan hingga mobilisasi dirasakan terjadi.
Kemudian menahan dan menempatkan lengan dapat dimulai. Sebelum ia dapat bergerak
melawan gravitasiia perlu untuk mengontrol tubuhnya untuk melawan gravitasi. Saat pasien
dapat mempertahankan postur yang ditempatkan, ia diminta untuk sedikit merendahkannya
dan bertahan pada posisinya. Saat ia dapat mempertahankan posisiya, ia diminta untuk
menaikannya secara aktif dari posisi tersebut. Jika ia tidak dapat mengontrolnya (bergerak
dan membaliknya) lengan mundur kembali ke posiis terkontrol terakhir
Penanganan Selama Tahap Spastik
Tahap ini dikarakteristikan dengan hipertonisitas. Penanganan dalam tahap ini adalah
kelanjutan dari tahap selanjutnya. Penempatan bahu dilanjutkan, pada titik mana saja pasien
dapat menahan pergerakan , ia juga dapat mengangkat lengannya dari titik penempatan.
Penanganan Selama Tahap Penyembuhan Relatif
Selama tahap ini spastisitas ringan. Penangana pada tahp ini ditujukan untuk
memperbaiki kualitas gait dan penggunaan tangan yang sakit. Bobath melihat terapis okupasi
aktif dalam terapi pasien dalam mempergunakan gerakan yang didapat dalam kehidupan
sehari-hari dengan menggunakan tugas-tugas terapeutik berulang-ulang dan bilateral yang
memperkuat gerakan yang dipelajari. Bobath memperingatkan bahwa terapis okupasi juga
harus menghindari membirakan pasien mengakami stres yang dapat mengembalikan gerakan
ke pola spastik.
Pergerakan sederhana dari tangan harus dilatih sebelum mulai melakukan aktifitas
sehari-hari. Pergerakan sederhana ini meliputi menggores, meggaruk dengan jari-jari,
menusuk dengan jari telunjuk, menjepit, mendorong, melambai, menepuk, melempar dan
melepas objek. Dalam ringkasan, pendekatan neurodevelopmental Bobath melibatkan :

40
a. Normalisasi tonus
b. Perolehan respon righting dan equilibrium mula-mula secara otomatis dan
kemudian secara bertahap menuntut kontrol voluntar yang lebih besar

Pendekatan Brunnstrom : Terapi Gerakan

Metode pendekatan ini dikembangkan oleh Signe Brunnstrom, seorang fisioterapis di


sekitar tahun 1970-an, khusus untuk penderita hemiplegia Pendekatan ini dikembangkan
berdasarkan premis bahwa: Pada manusia normal, perkembangan motorik diawali oleh
kontrol spinal dan batang otak berupa gerakan reflek yang kemudian berkembang menjadi
gerakan yang disadari dan bertujuan yang dikontrol oleh otak. Oleh karena gerakan reflek
tersebut merupakan tahap perkembangan normal, reflek ini menjadi sesuatu yang “normal”
pula apabila ada kelainan atau gangguan pada pengontrol yang lebih tinggi (otak), misalnya
akibat stroke dengan hemiplegianya.Sehingga reflek ini dapat dan seharusnya digunakan
untuk merangsang timbulnya gerakan yang hilang, seperti tahap perkembangan normal.
Proprioceptive dan exteroceptive juga digunakan dalam pendekatan ini untuk menimbulkan
gerakan bertujuan ataupun hanya perubahan tonus otot.

B. TERAPI WICARA
Berbicara dan berbahasa adalah kemampuan fundamental bagi manusia, baik untuk
pergaulan sosial maupun kehidupan intelektual pribadi. Gangguan bicara dan berbahsaa
merupakan sumber disabilitas yang besar. Paul Broca menyatakan bahwa terapi afasia yang

41
dilakukan dengan cermat dapat memberikan kemajuan dalam kemampuan berbahasa. Ia
merawat seorang pasien afasia untuk beberapa bulan. Setiap kali ia mengunjungi pasien tadi,
ia berbincang-bincang dan ia berhasil mengembangkan jumlah kosa kata pasien secara
bermakna (Henderson 1986)

Filosofi dan Konsep Rehabilitasi


Filosofi rehabilitasi dikaitkan dengan teori sistem fungsional tersebut yaitu melakukan
identifikasi adanya gangguan hubungan sistem fungsional tadi kemudian memperbaiki
gangguan hubungan tersebut agar menjadi satu sistem yang utuh kembali. Dengan kata lain,
konsep rehabilitasi dikaitkan dengan restorasi dengan fungsi spesifik. Rehabilitasi bertujuan
memperbaiki pasien dengan gangguan berbahasa agar menjadi produktif atau memperbaiki
kualitas hidupnya. (Goldstein 1987). Pendekatan ini memperbaiki fungsi spesifik serta
melibatkan pengenalan beberapa area yang dapat meningkatkan produktivitas pasien.

Manfaat Terapi
Darley (1977) membuat kesimpulan yang dikutip berikut ini :
1. Terapi yang intensif memberikan suatu manfaat pemuliahn nyata apabila
diberikan pada waktu terjadi pemulihan spontan
2. Hasil maksimal didapat apabila terapi dimulai awal dan berlanjut untuk periode
beberapa bulan
3. Makin muda umur pasien makin baik hasilnya, meskipun pada pasien usia
lanjut terapi juga ada manfaatnya
4. Derajat pemulihanbervariasi tergantung etiologi afasia. Pemulihan terjadi lebih
baik pada kasus trauma kepala tanpa luka tembus dan pada kasus dengan
gangguan vaskuler non hemorargik yang tunggal
5. Terapi pada derajat yang ringan lebih memberi manfaat dibandingkan dengan
derajat yang berat, meskipun pada afasia berat, terapi masih dapat memberikan
manfaat
6. Pasien yang bebas dari komplikasi dan dari gangguan kesehatan lainnya
mempunyai respon lebih menguntungkan terhadap terapi afasia
7. Derajat pemulihan afasia sebagian bergantung pada motivasi pasien dan
kesadaran dirinya serta kompetensi dari terapis wicara

42
8. Tidak ada satupun faktor yang berpengaruh secara negatif terhadap terjadinya
pemulihan yang dapat dipergunakan untuk alasan tidak mencoba terapi pada
pasien
9. Kemajuan dari terapi afasia dinilai dalam kemampuan mendengar, membaca,
bertutur dan menulis akan tetapi juga dilihat dari perubahan perilaku, afek dan
moral serta kontak sosial.

Periode Pemulihan Spontan


Pada observasi klinis ditemukan bahwa pemulihan spontan ini akan terhenti pada
periode 6 bulan setelah awal kejadian. Pemulihan berlangsung cepat pada bulan pertama
kejadian dan makin menurun pada bulan-bulan berikutnya (Darley 1977).
Menurut Geschwind (1974) pemuliah afasia pada anak dapat dketahui secara pasti :
100%. Dari observasi sederhana dijumpai bahwa proses pemulihan afasia pada dewasa dapat
terjadi pada waktu yang lama. Banyak pasien yang mengalami derajat afasia berta dalam 3
bulan, dapat mengalami perbaikan yang bermakna setelah 3 atau 12 bulan kemudian. Ia juga
menceritakan pengalaman pribadinya. Salah satu pasiennya dapat beraktivitas kantor normal
kembali tanpa pemberian terapi 2 tahun setelah kejadian. Banyak pasien yang mengalami
pemuliahan spontan secara bermakan sampai 6 tahun.

Prinsip Terapi Afasia


Terapi langsung pada pasien afasia dapat dilakukan dengan berbagai kategori antara
lain adalah :
1. Terapi didaktik bahasa. Asumsi pendekatan ini adalah kelainan otak yang
menyebabkan afasia dapat diperbaiki sehingga dapat berperan seperti semula
2. Terapi pendekatan proses. Mengupayakan modifikasi proses yang mengalami
afasia
3. Terapi pendekatan strategi komunikasi. Tujuan terapi ini adalah meningkatkan
kemampuan komunikasi pasien, meskipun ia masih mengalami afasia (Holland,
1982). Dasar-dasar yang dipergunakan adalah sebagai berikut
• Afasia merupakan gangguan berbahasa dan bukan berarti gangguan
berkomunikasi. Terapi afasia bukan hanya terarah pada perbaikan
kemampuan berbahasa akan tetapi terutama pada perbaikan kemampuan
berkomunikasi

43
• Afasia sebagai gangguan komunikasi verbal disebabkan oleh adanya
gangguan di hemisfer kiri, sedangkan hemisfer kanan masih utuh.
Penanganan afasia mempergunakan kemampuan komunikasi non verbal
hemisfer kanan yang masih utuh seperti isyarat tubuh dan anggota gerak,
tatapan muka dan mata, gerak-gerik wajah.
• Terapi afasia ditujukan untuk memperbaiki komunikasi dengan mencari
metode komunikasi yang cocok sebagai ganti. Aspek komunikasi yang
masih utuh dipakai dalam upaya ini
Dua metode yang paling banyak dipakai yaitu terapi aksi visual dan terapi intonasi
melodik. Terapi aksi visual dipergunakan terutama untuk sindroma afasia yang menunjukan
gangguan kemampuann pengertian bahasa yang berat. Terapi intonasi melodik dipergunakan
untuk syndroma afasia dengan curah verbal yang minim.

Metode Terapi Aksi Visual (Visual Action Therapy)


Metode terapi ini melatih para pasien afasia untuk mempergunakan simbol gestural
untuk berkomunikasi. Dasarnya adalah pasien afasia memiliki gangguan di hemisfer kiri akan
tetapi kemampuan hemisfer kanan masih baik sehingga kemampuan komunikasi non verbal
antara lain gestural masih dapat dikembangkan. Program ini menggunakan hierarki kesulitan,
sehingga kemampuan pasien pada satu langkah harus benar-benar baik sebelum melanjutkan
ke langkah berikutnya. Program ini terdiri dari 3 tingkat dengan 12 langkah.
Item yang digunakan adalah benda-benda seperti gunting, sisir, arloji, gelas dalam
ukuran yang sebenarnya dan ukuran lebih kecil.
Semua tugas yang diberikan oleh klinikus dan respon pasien harus secara nonverbal
gestural. Tingkat 1 terdiri dari 12 langkah :
• Langkah 1 : latihan mencari jejak agar pasien dapat mengenali gambar dengan
gambar sebenarnya
• Langkah 2 : menyamakan objek pada gambar ukuran sebenarnya
• Langkah 3 : menyamakan pada gambar ukuran kecil
• Langkah 4 : menggunakan objek
• Langkah 5 : latihan menggunakan objek dari gambar aksi
• Langkah 6 : mengikuti penggunaan objek sesuai gambar aksi
• Langkah 7 : peragaan gerak pantonim
• Langkah 8 : mengenal gerak pantonim

44
• Langkah 9 : latiahn gerak pantonim
• Langkah 10 : melakukan gerak pantonim
• Langkah 11 : latihan gerak penggunaan objek yang absen
• Latihan 12 : latihan pada langkah 11
Tingkat 2 terdiri dari langkah 7 sampai 12 yang mengulang dengan menggantikan
objek dengan gambar aksi.
Tingkat 3 terdiri dari langkah 7 sampai 12 yang mengulang dengan menggantikan
objek dengan gambar ukuran kecil.

Metode Terapi Intonasi Melodik


Metode terapi ini terutama dipergunakan untuk pasien dengan curah verbal yang sangat
kurang yang disebabkan oleh kelainan di hemisfer kiri, sedangkan hemisfer kanan masih
utuh. Hemisfer kanan diketahui mempunyai fungsi untuk membuat intepretasi proses
nonverbal seperti musik atau melodi
Dasar metode ini adalah menyalurkan stimulasi melodi dari hemisfer kiri kearah hemisfer
kanan. Stimulus auditorik diterima oleh korteks auditorik primer di hemisfer kiri. Informasi
ini diteruskan ke korteks auditorik asosiasi ( area Wernicke). Informasi yang dioleh di area
Wernicke dilanjutkan ke area Broca didaerah frontal kiri melalui fasikulus arkuatus. Namun
karena area Broca tidak berfungsi pada afasia nonfluen, maka tidak akan terjadi curah verbal
sebagai respons informasi ini.
Hemisfer kanan berfungsi antara lain untuk stimulasi musik atau melodi dan bahwa ada
hubungan transkalosal antara korteks auditorik asosiasi pada hemisfer kiri dan kanan.
Berdasarkan itu, maka diasumsikan bahwa stimulus auditoris yang bersifat melodi diterima
korteks auditorik asosiasi kiri yang tidak dapat disalurkan ke area Broca kiri, akan disalurkan
transkalosal ke korteks asosiasi yang homolog sisi kanan dan dari sini dilanjutkan ke area
Broca yang homolog sisi kanan melalui fasikulus arkuatus. Dari area ini stimulus melodi ini
akan disilangkan lagi lewat korpus kalosum ke area pre-Rolandik di hemisfer kiri, dengan
menghindar daerah Broca kiri yang tidak dicapai oleh stimulus dari kiri. Dengan demikian,
diharapkan terjadi curah verbal yang bersifat melodi.
Metode terapi ini terutama dipergunakan untuk pasien afasia nonfluen dengan area pre-
Rolandik kiri yang tidak dapat menerima stimulasi dari area Broca kiri.
Terapi ini dilakukan dengan laju bertahap. Dimulai dengan sebuah seri kalimat dan frasa
yang diucapkan yang diucapkan dengan intonasi yang cermat, selanjutnya pasien afasia

45
dituntun melalui langkah berurutan dengan meningkatkan panjang unit bahasa, mengurangi
ketergantungan pada klinikus dan mengurangi penggunaan intonasi.
Terapi dibagi dalam 4 tingkat yang secara hirarkis makin sulit ;
• Tingkat 1 : klinikus memberikan pola melodi batas 3 atau 4 nada. Pada saat yang
sama klinikus membantu dengan ketukan jari mengikuti ritme dan tekanan stimulus
melodi tersebut. Selanjutnya klinikus dan pasien bersenandung dan mengetuk melodi
tadi selaras bersama.
• Tingkat 2 : terdiri dari 5 langkah :
1. Setelah klinikus memberi isyarat pada pasien untuk tidak mengulang, maka ia
menyajikan pola melodi sekali, kemudian mengulangi dengan menambah
kata-katanya. Sebagai respons, pasien dan klinikus mengetuk tekanan ritme
kalau klinikus memberi stimulus.
2. Klinikus memberi contoh lagu 1 kali, kemudian meminta pasien agar
mengikutinya dalam beberapa percobaan kalau ad kemajuan. Sebagai respons,
klinikus dan pasien secara selaras melagukannya disertai ketukan tekanan
ritme.
3. Sekali lagi klinikus memberi contoh lagu dan memintai pasien mengikutinya.
Klinikus mengurangi peranannya secara oral, tetapi tetap mengikuti dengan
ketukan tekanan ritme.
4. Klinikus memberi isyarat agar pasien mendengarkan, kemudian pasien
melagukan sendiri. Memberi isyarat agar pasien mengulanginya. Mengetuk
tekanan ritme bersama pasien dan setelah itu pasien melanjutkan tekanan ritme
sendiri.
• Tingkat 3 : teridiri dari 4 langkah :
1. Setelah memberi isyarat agar pasien tidak mengulangi, klinikus menyajikan
lagu yang diulangi 2 kali.kemudian pasien dan klinikus mengetuk tekanan
ritme bila klinikus memberikan stimulus
2. Klinikus mengurangi peranannya secara oral tetapi tetap ikut melanjutkan
ketukan tekanan ritme.
3. Klinikus memberi isyarat agar pasien mendengarkan, kemudian menyanyikan
lagu. Memperbolehkan pasien untuk menunda respon sampai 2-5 detik.
Kemudian member isyarat pada pasien untuk mengulangi. Mengetuk tekanan

46
ritme bersama pasien. Sebagai respons, pasien melagukan pengulangan setelah
diberi isyarat lalu melanjutkan ketukan tekanan ritme bersama klinikus.
4. Klinikus memberikan pertanyaan yang didasarkan pada informasi lagu dan
pasien melanjutkan dengan jawaban yang cocok.
• Tingkat 4 terdiri dari 5 langkah :
1. Klinikus memberi isyarat kepada pasien agar mendengarkan, kemudian
melagukan, waktu penundaaan yang diperbolehkan bagi pasie adalah 2 detik
atau lebih. Kemudian memberi isyarat kepada pasien untuk mengulang.
Mengetuk tekanan ritme bersama pasien.
2. Klinikus menyajikan dalam bentuk “ sprechgesang”, minta agar pasien ikut
serta. Mengurangi peranannya. Pasien bergabung dengan klinikus melakukan
pengulangan dalam “sperchgesang” bila diberi isyarat. Klinikus mengurangi
peranannya tetapi tetap melanjutkan ketukan tekanan ritme.
3. Klinikus memberi isyarat agar pasien mendengarkan, kemudian menyajikan
dalam bentuk “sprechgesang”. Waktu penundaan yang diperbolehkan untuk
member respon adalah 2 detik atau lebih. Kemudian memberi isyarat pada
pasien untuk mengulangi tanpa ketukan. Pasien mengulangi lagu dalam bentuk
bicara normal bila diberi isyarat. Tidak diperlukan tekanan ritme.
4. Klinikus mengajukan 2 atau lebih pertanyaan yang berkaitan dengan informasi
lagu. Kemudian pasien dapat menjawab pertanyaan dengan cocok dan cermat.

Peran anggota keluarga pada pasien Afasia


Program terapi yang dibuat dan dilaksanakan oleh klinikus juga dibicarakan dengan anggota
keluarga agar terapi tersebut dapat dilanjutkan di rumah.
Anggota keluarga diharapkan mau mengambil peran tersebut dan melanjutkan program terapi
dirumah sesuai dengan saran-saran yang diajukan oleh klinikus dan terapis.
Anggota keluarga harus paham akan latar belakang dan prosedur latihan wicara yang
diberikan oleh klinikus dan terapis. Hubungan antara anggota keluarga dan pasien afasia
harus bebas juga dari ketegangan-ketegangan.

Gangguan komunikasi

47
Gangguan komunikasi paling banyak terjadi pada gangguan pembuluh darah di otak. Stroke
dapat menyebabkan afasia.
Afasia adalah gangguan dari salah satu atau beberapa kemampuan berkomunikasi dibawah
ini :
1. Mengerti apa yang dikatakan orang lain
2. Bertutur kata
3. Mengingat nama objek atau orang
4. Membaca
5. Menulis
6. Melihat waktu
7. Kalkulasi
8. Mengeja
9. Tata bahasa
10. Mengontrol emosi

Masalah yang Dihadapi pasien

1. Pengertian bahasa

Beberapa pasien afasia mengalami kesulitan untuk memahami apa yang


dikatakan orang lain, ia memang kehilngan kemampuan untuk mengerti bahasa.
Tidak jarang uga pasien tidak mengenal bahasa isyarat sehingga gerak – gerik
anggota tubuh orang lain yang betujuan untuk memperjelas arti pembicaraanya juga
tidak dimengerti pasien.

2. Bertutur

Sering pasien afasia sukar atau tidak mampu mengeluarkan kata – kata yang
hendak dituturkan. Ia berbicara terbata - bata dengan kalimat pendek – pendek. Pada
pembicaraan ia sering berhenti untuk mengingat – ingat atau mencari kata – kata
yang dilupakannya. Malahan tidak jarang ia mengucapkan kata yang salah atau tidak
ada artinya. Misalnya ia hendak mengucapkan “ kursi “ tetapi yang keluar ucapan “
meja” atau “kudsi “. Ia mengetahui kesalahan tersebut akan tetapi tidak mampu
memperbaikinya.

48
3. Membaca dan menulis

Juga kemampuan membaca dan menulis pasien menjadi kurang. Ia hanya


mampu membaca kata – kata yang lepas. Kalau diminta membaca sebuah kalimat ia
tidak mengerti artinya. Tulisannya juga tidak terbaca atau tidak ada artinya.

Masalah Lain

Masalah lain yang mungkin dihadapi seorang pasien afasia adalah sebagai berikut :

1. Kelumpuhan separuh tubuh – dapat setengah lumpuh atau lumpuh total – biasanya
sebelah kanan.

2. Pasien tidak dapat mengucpkan kata – kata dengan baik, karena ada gangguan
gerakan otot bibir dan lidahnya. Ia tahu akan kesalahan yang dibuatnya, akan tetapi
tidak sanggup memperbaikinya.

3. Bicaranya menjadi lamban dan sulit karena otot mulut, lidah dan tenggorok kurang
berfungsi baik. Selain itu, keadaan ni sering menimbulkan kesukaran untuk
mengunyah dan menelan.

4. Beberapa pasien dapat mengalami penciutan lapangan pandang sehingga kurang dapat
melihat suatu sisi. Biasanya kalau ada kelumpuhan tubuh sisi kanan, maka lapangan
pandang sisi kanan juga kurang dapat dilihatnya.

5. Pasien afasia dapat menunjukkan gejala selalu mengucpkan kata atau kalimat yang
sama. Ia tidak dapat melepaskan kata atau kalimat tesrbut, seolah – olah melekat
padanya.

Perasaan Pasien Afasia

Setalah pasien afasia menyadari apa yang telah terjadi dengan dirinya, ia merasa
terpukul, karena ia kehilangan kontak dengan lingungannya. Ia merasa seolah – olah tidak
mampu melakukan apa – apa lagi.

Pada awal saitnya ia merasa banyak mengalami kesulitan dengan pengertian bahasa.
Bahasa yang dipakai sehari – hari sebelum sakit berubah menjadi bahasa “asing”, yang hanya
dimenegrti sepatah dua patah kata.

49
Cara Berbicara Dengan Pasien Afasia

1. Anda tidak berbicara dengan suara dan nada yang keras epada pasien, karena ia tidak
tuli

2. Pandanglah dia bila anda berbicara padanya.

3. Berbicaralah dengan kalimat pendek dan lambat agar pasien mempunya waktu untk
mengerti dan mengingat – ingat.

4. Jangan berbicara dengan nada kekana – kanakan. Berbuatlah seperti sebelum ia sakit.

5. Berilah waktu padanya, jangan berbiacara sepintas saja dengan terburu – buru.

6. Bila ia tida mengerti pembicaraan anda, carilah cara lain agar ia mengerti.

7. Bebicarala tentang hal – hal sehari – hari atau masalah yang dahulu ia sukai.

8. Akan lebih menyenangkan bagi pasien kalau ia diberitahu tentang apa yang
dibicarakan. Jangan cepat beralih dari satu judul ke judul yang lain.

9. Berbicaralah pada ruangan yang tenang.

10. Berbicaralah dengan kalimat pendek yang mempunyai satu arti, contoh :

“ maukah anda secangkir kopi?”

Jawab pasien : “ ya” atau “ tidak “

“ pakai gula?”

Jawab pasien : “ ya “ atau “ tidak “

Reaksi yang diberikan pendengar terhadap pasien afasia :

1. Berilah waktu padanya untuk menyatakan pikiran dan perasaanya.

2. Jangan pura – pura mengerti kalau sebenarnya anda tida mengerti pembicarannya.

3. Kalau pasien menjawab pertanyaan dengan salah, jangan menunjukkan muka yang
terperanjat. Berlakulah biasa.

50
4. Jangan memperbaii kata yang salah. Lebih baik memiiran apa yang dimaksudkan
pasien.

5. Bila ia tidak dapat menemukan kata atau alimat untuk menyatakan ehendaknya,
sebaiknya anda membantunya.

Bergaul Dengan Pasien Afasia

Sangat penting bagi seorang pasien afasia mendapat dukungan dan pertolongan dari
orang disekitarnya.

1. Anda dapat menolong psien afasia dengan berlaku sabar dan memberikan kesan
bahwa anda siap menolongnya sewatu – waktu.

2. Anda jangan berpikiran untuk membatasi pembicaraan dengan pasien afasia, malah
diharapkan anda banyak berbicara padanya.

3. Anda diharapkan sebanyak munkin menyertakan pasien afasia dalam suatu


pembicaraan dan tidak “ tak acuh” padanya.

Penanganan Disartria
Pada beberapa kasus, terapis bicara lebih menitikberatkan terapi disartia pada
kemampuan ia untuk berbicara. Bagaimanapun sebaiknya terapi juga memperhatikan kondisi
pasien secara umum. Aktivitas terapi bertujuan untuk mebuat kemajuan pada kondisi fisik
yang pada akhirnya dapat membantu kemajuan komunikasi verbal. Terapis akan berusaha
secara simultan untuk memaksimalkan sistem neuromotor yang mengalami gangguan untuk
proses komunikasi.
Penanganan pada disartria flasid meliputi peningkatan tonus dan kekuatan otot serta
range of motion .Meningkatkan aktivitas dari otot hypotonus yang berperan dalam proses
bicara dapat dilihat dari kekuatan lain otot pasien, seperti ketika ia mengangkat kursi,
menggerakan lengan menahan tekanan.
Penanganan pada disartria spastik meliputi kekuatan dan kecepatan otot, range of
motion serta menginhibisi tonus yang berlebihan. Relaksasi merupakan metode inhibitorik.
Sehingga terpis menitikberatkan pada kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan pasien
untuk pengontrolan. Ketika pada saat latihan terjadi peningkatan kecepatan yang berlebihan,
terapis akan mengajarkan pasien untuk melambatkan.

51
Kemajuan penanganan pada disartria ataksik terlihat dari kemampuan pasien untuk
mencapai kondisi bicara yang stabil. Tujuan utama dari terapi ini adalah meningkatkan
koordinasi dari mekanisme bicara pasien.
Penanganan pada disartria hypokinetik membutuhkan kemajuan pada range of motion
dan mengurangi tonus yang meningkat akibat rigiditas. Peningkatan pergerakan terlihat
ketika pasien didesak untuk mengerahkan usaha yang lebih.
Pada disartria hiperkinetik penanganan lebih terfokus pada menginhibisi pergerakan
involunter melalui terpi bicara. Posisi dan postur merupakan hal penting dlam mengurangi
tonus otot selama latihan. Relaksasi berguna untuk menginhibisi gerakan yang berlebihan
pada beberapa kasus.

Prinsip terapi pada penderita Demensia

Tujuan dari terapi pada penderita demensia tidak hanya belajar untuk memperbaiki
komunikasi penderita melainkan untuk membentuk system kognitif yang baik. Pengulangan,
konsistensi pada komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan secara terus menerus dapat
memfasilitasi memori penderita. Pembicaraan yang normal sehari-hari dapat membuat pasien
merasa bingung dan gelisah. Sehingga lebih baik menggunakan deskripsi yang sederhana
seperti instruksi tertulis, penggunaan bahasa tubuh dan nada bicara yang lembut dapat
mengurangi kebingungan dan kegelisahan pasien. Topik-topik pembicaraan yang diberikan
dapat berupa topik-topik yang menarik untuk pasien sehingga pasien dapat tetap mengingat
dan dapat memberikan perhatian yang baik dalam pembicaraan. Topik yang menarik bagi
pasien adalah membicarakan mengenai kenangan indah yang pernah dirasakan pasien.

Prinsip terapi pada pasien cedera kepala

Seperti pada pasien demensia, komunikasi dari pasien dengan cedera kepala
merupakan refleksi langsung dari gangguan kognitif yang dialaminya. Klinisi dapat
menggunakan komunikasi sebagai barometer bagi status kognitif klien dan memperkirakan
terapi yang akan digunakan. Sebagai contoh, kata – kata kasar, agitasi dan konfusi pada
cedera kepala sedang. Beberapa agitasi dapat dikurangi dengan pembatasan distraksi ( terapi
di samping tempat tidur, mengurangi input verbal). Suara yang lembut, perawat yang ramah,
kalimatyang sederhana dan pengurangan dapat dilakukaan pada pasien dengan konfusi. Pada

52
akhirnya, tujuan dan teknik dari latihan fisik sebaikanya disesuaikan untuk mengakomodasi
penyusunan kembali gungsi kognisi pasien.

BAB III
KESIMPULAN

Terapi okupasi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Setiap pendekatan untuk
terapi motorik dapat diawali dengan stimulasi sensorik yang benar pada reseptor yang tepat
akan merangsang proses perkembangan dari gerakan yang bersifat reflex ke gerakan yang
terkontrol.
Terapi wicara merupakan Terapi yang intensif memberikan suatu manfaat pemuliahn
nyata apabila diberikan pada waktu terjadi pemulihan spontan, Hasil maksimal didapat
apabila terapi dimulai awal dan berlanjut untuk periode beberapa bulan, Makin muda umur
pasien makin baik hasilnya, meskipun pada pasien usia lanjut terapi juga ada manfaatnya,
derajat pemulihanbervariasi tergantung etiologi afasia. Pemulihan terjadi lebih baik pada
kasus trauma kepala tanpa luka tembus dan pada kasus dengan gangguan vaskuler non
hemorargik yang tunggal, terapi pada derajat yang ringan lebih memberi manfaat
dibandingkan dengan derajat yang berat, meskipun pada afasia berat, terapi masih dapat
memberikan manfaat, pasien yang bebas dari komplikasi dan dari gangguan kesehatan
lainnya mempunyai respon lebih menguntungkan terhadap terapi afasia, derajat pemulihan

53
afasia sebagian bergantung pada motivasi pasien dan kesadaran dirinya serta kompetensi dari
terapis wicara, tidak ada satupun faktor yang berpengaruh secara negatif terhadap terjadinya
pemulihan yang dapat dipergunakan untuk alasan tidak mencoba terapi pada pasien,
kemajuan dari terapi afasia dinilai dalam kemampuan mendengar, membaca, bertutur dan
menulis akan tetapi juga dilihat dari perubahan perilaku, afek dan moral serta kontak sosial.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Journal of Occupational Therapy vol. 64 no. 1 10-17. February 2010.


http://ajot.aotapress.net/

2. Ragam Pendekatan Terapi Latihan Pada gangguan Neurologis


118.98.220.106/senayan/index.php?p=fstream&fid=6255
3. William and Wilkins, Occupational Therapy for Physical Dysfunction 2nd Edition.
Baltimore,London, 2000.

4. Kusumoputro, Sudiarto. Afasia Gangguan Berbahasa : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2000
5. Darcy Ann Umphred. Neurological Rehabilitation. 3rd ed. Calrifornia : Mosby . 1995.

54

Anda mungkin juga menyukai