Anda di halaman 1dari 13

Patut dihargai bahwa masih ada generasi muda Tionghoa (Tee Boen

Liong) yang dapat mengapresiasi dan mewarisi seni wayang kulit ini,
sebelumnya juga pernah diketahui pada sebelum tahun 1967 seorang
Tionghoa bernama Gan Thwan Sing (1885-1966) mendalami seni wayang
kulit di Yogya yang disebut sebagai wayang "Cina Jawa" . Gan dikenal
sebagai orang yang mempelopori dan menciptakan seni wayang
kulit "Cina Jawa".

Wayang kulit "Cina Jawa" ini muncul untuk pertama kalinya di


Yogyakarta pada tahun 1925. Wayang kulit ciptaan Gan Thwan Sing ini
merupakan bentuk baru jenis wayang kulit bercorak Tionghoa. Lakon
atau cerita yang dimainkan adalah mitos dan legenda negeri Tiongkok,
namun penyajiannya mengikuti pola pertunjukan wayang kulit Jawa.
Bahasa pengantar adalah bahasa Jawa. Musik karawitannya gamelan Jawa.

Seperti umumnya dalang wayang kulit purwa, seorang dalang


wayang "Cina-Jawa" pun harus memiliki kemampuan seperti halnya dalang
wayang kulit purwa. Hal ini disebabkan karena teknik pertunjukan
wayang yang diciptakan oleh Gan Thwan Sing mengikuti pola pertunjukan
wayang kulit purwa. Misalnya, para dalang harus mengucapkan mantra
sebelum memulai pertunjukan wayang kulit. Selain itu, sang dalang
juga harus menguasai gendhing (lagu) atau tembang-tembang Jawa,
menguasai cerita, menguasai bahasa Jawa (di lingkungan keraton,
masyarakat biasa, dewa, pendeta, raksasa).

Berbeda dengan wayang kulit purwa, yang memiliki adegan banyolan


(punakawan : Semar, Gareng, Petruk, Bagong), pada mulanya dalam
pertunjukan wayang "Cina-Jawa" ini tidak dikenal adegan tersebut,
pada perkembangan selanjutnya, Gan Thwan Sing menciptakan tokoh-tokoh
mirip punakawan, yang diberi busana dan tata rambut bercorak
Tionghoa klasik, kecuali Semar. Tokoh Semar sengaja tidak diciptakan
karena Gan Thwan Sing memahami makna tokoh Semar bagi orang Jawa.
Tokoh Semar adalah lambang kemuliaan bagi orang Jawa.

Nama-nama para tokoh lakon, negara, kerajaan, kadipaten, kahyangan,


dan lain-lainnya ditulis menurut nama-nama aslinya (Hokkian). Akan
tetapi istilah-istilah kepangkatan, jabatan, gelar, dan lain-lain,
sebagian besar mempergunakan istilah-istilah Jawa. Seperti :
narendra, pangeran, patih, adipati, bupati, tumenggung, senapati,
pandhita, brahmana, radhyan, dyah, abdi, prajurit.

Pola pertunjukan wayang kulit ciptaan Gan Thwan Sing bukan bertumpu
pada pola pertunjukan wayang di negeri Tiongkok, melainkan bertolak
pada pola pertunjukan wayang kulit di Jawa. Bentuk wayang bercorak
Tionghoa, tetapi mempunyai pengaruh Jawa misalnya pada ragam hias,
gerakan tangan dll. Gan Thwan Sing juga membuat gunungan atau kayon
yang dalam pertunjukan wayang di negeri Tiongkok tidak ada Jadi
merupakan suatu wujud pembauran kultural atau akulturasi budaya
(selain wayang Potehi) dalam bentuk seni pewayangan sehingga lebih
tepat apabila disebut wayang "Cina Jawa".

Gan menulis sendiri lakon cerita wayangnya sekaligus memainkannya.


Buku-buku lakon tersebut ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa yang
bersumber dari folklor Tiongkok kuna. Sebagian besar naskah
wayang "Cina Jawa" ini disimpan di Perpustakaan Berlin-Jerman (39
naskah) dan hanya satu naskah yang disimpan di Museum Sonobudoyo (1
naskah) dan Naskah-naskah tersebut ditulis oleh Gan Thwan Sing dalam
bahasa dan aksara Jawa.

Wayang kulit Gan ini atau disebut juga wayang thithi (Kata thithi
berasal dari suara alat musik yang terbuat dari kayu berlubang yang
jika dipukul akan mengeluarkan suara thek...thek...thek. Di telinga
orang Jawa, suara gemerincing kepyak terdengar seperti suara
thi...thi...thi) pernah dikenal Di Yogyakarta, pada tahun 1925
sampai dengan sekitar 1967, dan sejak wafatnya, seni pertunjukan
wayang kulit "Cina-Jawa" tidak lagi dikenal orang.

Hilangnya atau tidak dikenalnya lagi seni wayang "Cina Jawa" ini
lagi disebabkan oleh "jasa" rejim Orba yang melarang sertiap bentuk
ekspresi budaya Tionghoa selama 32 tahun. Tahun 1967, pemerintah
Orba mengeluarkan berbagai larangan yang menyatakan bahwa segala hal
yang berbau "Cina" dilarang untuk dikaji, diekspos, disiarkan atau
pun dimanfaatkan (Instruksi Presiden no. 14/1967). Berbagai peraturan
pemerintah di jaman Soeharto telah mematikan apresiasi budaya
Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, yang juga merupakan bagian
dari kekayaan budaya bangsa Indonesia (Dwi Woro R. Mastuti).

Selama pemerintahan Orba, jenis wayang "Cina Jawa" dan juga wayang
Potehi tidak diakui sebagai bagian dari warisan dan tradisi jenis
wayang yang dikenal dan dimainkan di Indonesia. Seorang penulis
tentang wayang pada tahun 1988 Pandam Guritno dalam bukunya
menguraikan 28 jenis wayang dan klasifikasinya, dari sekian banyak
jenis wayang tersebut wayang potehi dan wayang "Cina Jawa" tidak
disebutkan atau disangkal keberadaannya.(Pendam Guritno: Wayang,
Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Penerbit Universitas Indonesia,
1988).

Dwi Woro R. Mastuti (Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya


Universitas Indonesia, Program Studi Jawa) menyebutkan bahwa hasil
karya Gan Thwan Sing, baik wayang kulit maupun naskah lakon wayang,
telah memperkaya budaya nusantara yang menjadi warisan budaya dunia
yang sangat berharga dan tinggi nilainya, kehilangannya dapat
diartikan sebagai musnahnya sebagian kebudayaan dunia, yaitu wayang
kulit "Cina Jawa". Dan seperti diketahui bahwa seni wayang telah
ditetapkan sebagai warisan budaya milik dunia pada tahun 2004, dengan
diterimanya penghargaan berupa Masterpiece of the Oral dan Intengible
Heritage of Humanity dari UNESCO di Paris bulan April 2004.

Salam
G.H.

Sumber:
Dwi Woro R. Mastuti : "WAYANG CINA DI JAWA SEBAGAI WUJUD AKULTURASI
BUDAYA DAN PEREKAT NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA" (2004).
B. Soelarto, Ilmi Albiladiyah : "Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta"
(Depdikbud 1980/1981).
11 Februari 2008
Melihat Keanekaragaman Budaya di Kampung Ketandan
• Oleh Agung PW
KAMPUNG Ketandan di sisi timur Malioboro selama ini memang dikenal sebagai kawasan
pecinan. Maklum saja karena banyak warga etnis Tionghoa tinggal di sana. Kendati demikian
ada juga penduduk pribumi bahkan luar Yogyakarta yang berada di sana sejak zaman baheula.
Selama sepekan ini di sana digelar Pekan Budaya Tionghoa (PBT), sejak 7-11 Februari.
Berbagai kegiatan berlangsung mulai pagi menjelang siang hingga malam hari dalam rangka
memperingati tahun baru China, Imlek. Menariknya, tak hanya kegiatan bernuansakan Negeri
Tembok Besar namun ada pula tampilan pribumi. Berbeda namun indah, itulah yang kemudian
terlihat karena keanekaragamannya.
”Peringatan Imlek di sini tidak sekadar merayakannya tapi juga merupakan media interaksi
budaya, pengembangan toleransi. Karena itu, ada tampilan kesenian dan kebudayaan China
namun ada pula tradisional Jawa,” ungkap Ketua PBT Tri Kirana.
Lihat saja pada acara pembukaan akhir pekan lalu, muncul kesenian Tionghoa seperti tari-tarian,
barongsai, dan lagu-lagu. Sementara itu, kesenian tradisional juga tampil, geguritan Jawa, tari
ndolalak, golek, dan musik rewe-rewe.
Tak ketinggalan wayang potehi khas China dan ludruk mataraman dengan pemain dari berbagai
latar belakang etnis.
Pembauran
Memang peringatan Imlek di Ketandan tak sebatas milik etnis Tionghoa. Seluruh masyarakat di
sana terlibat aktif. Bukan hanya kesenian bahkan makanan juga tampak berwarna-warni,
perpaduan makanan khas Imlek dan tradisional Jawa.
Di sepanjang Jl Ketandan setiap hari pengunjung dapat melihat pernik-pernik suvenir dan
menikmati jajanan, makanan kecil ataupun besar. Tak perlu khawatir makanan yang disajikan
karena jelas tertulis haram atau tidak. Jadi, pembeli benar-benar tahu apa yang dimakannya.
”Kegiatan ini merupakan instrumen pembauran dan agenda rutin tiap tahun yang sudah
memasuki tahun ke-3. Selama penyelenggaraannya ribuan orang berkunjung ke sini. Inilah bukti
kebersamaan tanpa melihat perbedaan,” papar Ketua I PBT, Thundaka Prabawa.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X membenarkan pernyataan tersebut dan terlihat
pada sambutan pembukaan PBT. Menurutnya, PBT ajang pembauran masyarakat dan integrasi
tanpa prasangka sosial.
”Pembauran ini memiliki makna luas tanpa menghilangkan ciri khas masing-masing juga sebagai
ajang pengembangan rasa toleransi. Dikotomi pribumi dan nonpribumi sudah harus dihilangkan
karena semuanya sama yaitu menjadi bagian dari bangsa Indonesia,” tandas Gubernur. (70)
Anti Cina, Kapitalisme Cina Dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina Di Indonesia
Oleh: Onghokham
Penerbit: Komunitas Bambu
Halaman: 200
Jenis/Kondisi: Buku baru(Bagus)
Sub/Kategori: Sejarah
Rp 42.500
Proses Asimilasi dan Integrasi Etnis Cina di Indonesia Terhadap Keutuhan dan Kesatuan
Bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa dan etnik baik yang asli
pribumi maupun emigran. Multi-etnik yang dimiliki Indonesia ini dapat berpotensi menghadapi
masalah perbedaan, persaingan dan tidak jarang pertikaian antar etnik yang tentunya dapat
mengancam keutuhan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Walaupun fenomena etnik
secara internal bisa berfungsi integratif, secara eksternal berpotensi konflik.
Orang-orang Etnik Cina atau yang lebih dikenal dengan Etnis Tionghoa sendiri merupakan salah
satu etnis minoritas di tengah kemajemukan etnik di Indonesia. Menurut Coppel (1983) dalam
Habib (2004)[1], pada tahun 1961, diperkirakan ada sekitar 2,45 juta jiwa Etnik Cina atau sekitar
2,5% dari total penduduk Indonesia. Dari segi tempat tinggal etnis Cina ini, ada perbedaan pola
sebaran antar berbagai pulau di Indonesia. Khusus untuk Jawa dan Madura, persentase terbesar
(78,4%) bertempat tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan sisanya (21,6%) bertempat tinggal di
wilayah pedesaan. Etnis Cina sendiri merupakan etnis keturunan asing yang paling banyak
jumlahnya sampai sekarang.
Secara umum jumlah penduduk Cina di Indonesia makin bertambah tiap tahunnya sebagaimana
terlihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1 Pertambahan Penduduk Tionghoa di Indonesia (dalam ribuan)[2]
Tahun Jawa Pulau-pulau luar Jawa Jumlah
Seluruhnya
jumlah persen Jumlah Persen
1860 150 67,6 72 32,4 222
1880 207 60,2 137 39,8 344
1895 256 54,6 213 45,4 469
1905 295 52,4 268 47,6 563
1920 384 47,5 425 52,5 809
1930 582 47,2 651 52,8 1.233
1956 1.145 52,0 1.055 48,0 2.200
1961 1.230 50,2 1.220 49,8 2.450
Sumber: Untuk tahun 1860-1930, Department van Economische Zaken, Volkstelling 1930, 7,
39-43; perkiraan tahun 1956 didasarkan pada penduduk yang tercatat seperti yang diterbitkan di
dalam Penduduk Indonesia (Jakarta, 1958); angka-angka untuk tahun 1961 merupakan proyeksi
yang dibuat oleh penulis dari perkiraan tahun 1956.
Kehadiran Etnis Cina di Indonesia sejak awal pertama sampai para pendatang berikutnya yang
secara bergelombang mendarat di Indonesia, telah menimbulkan masalah. Burhanuddin (1988)
[3] menyebutkan bahwa masalah yang pertama adalah mengenai identitas mereka sebagai
emigrant dari luar kelompok etnis Indonesia dan wilayah Indonesia yang berlangsung hingga
Indonesia memperoleh kemerdekaannya, bahkan hingga sekarang ini. Lebih jauh
Koentjaraningrat (1964)[4] menyebutkan bahwa walaupun orang Cina di Indonesia telah hidup
berabad-abad lamanya, mereka belum juga bisa mengintegrasikan kehidupan mereka dengan
cara atau kebudayaan Indonesia, sehingga masih terlihat adanya garis pemisah dalam bentuk
kehidupan orang Cina tersebut.
Permasalahan yang ditimbulkan dari kehadiran serta keberadaan Etnis Cina di Indonesia serta
hubungannya dengan keutuhan dan kesatuan Indonesia inilah yang akhirnya mendorong penulis
untuk menulis Proses Asimilasi dan Integrasi Golongan Etnis Cina di Indonesia Terhadap
Keutuhan dan Kesatuan Bangsa sebagai judul tugas makalah akhir untuk matakuliah Berpikir
dan Menulis Ilmiah.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam menyusun karya ilmiah ini, penulis membuat sejumlah perumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kehidupan etnis Cina di Indonesia yang merupakan etnis minoritas di
Indonesia?
2. Bagaimana proses asimilasi dan integrasi etnis Cina di Indonesia?
3. Bagaimana hubungan keberhasilan asimilasi etnis Cina dengan keutuhan dan kesatuan
bangsa?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis tentang kehidupan etnis Cina di Indonesia yang merupakan etnis
minoritas.
2. Untuk menganalisis proses asimilasi dan integrasi etnis Cina di Indonesia.
3. Untuk menganalisis hubungan keberhasilan asimilasi etnis Cina dengan keutuhan dan
kesatuan bangsa.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat akademis, yaitu dengan memberikan gambaran umum tentang proses asimilasi
etnis Cina di Indonesia serta kaitannya dengan keutuhan dan kesatuan bangsa.
2. Manfaat social, yaitu tercapainya keutuhan dan kesatuan bangsa melalui asimilasi dan
integrasi antaretnik.
3. Manfaat praktis, yaitu melalui kebijakan-kebijakan menyangkut asimilasi dan integrasi
yang lebih baik lagi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Asimilasi
Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas
kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-
usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk mengurangi perbedaan itu,
asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan
memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama.
Hasil dari proses asimilasi yaitu semakin tipisnya batas perbedaan antarindividu dalam suatu
kelompok, atau bisa juga batas-batas antarkelompok. Selanjutnya, individu melakukan
identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan
kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
2.2 Syarat Terjadinya Asimilasi
Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut:
• terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
• terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang
relatif lama.
• Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.
2.3 Faktor Pendorong dan Faktor Penghalang
Faktor-faktor yang mendorong atau mempermudah terjadinya asimilasi adalah sebagai berikut:
• Toleransi di antara sesama kelompok yang berbeda kebudayaan
• Kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi
• Kesediaan menghormati dan menghargai orang asing dan kebudayaan yang dibawanya.
• Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
• Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan universal
• Perkawinan antara kelompok yang berbeda budaya
• Mempunyai musuh yang sama dan meyakini kekuatan masing-masing untuk menghadapi
musuh tersebut.
Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya asimilasi antara lain sebagai
berikut.
• Kelompok yang terisolasi atau terasing (biasanya kelompok minoritas)
• Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan baru yang dihadapi
• Prasangka negatif terhadap pengaruh kebudayaan baru. Kekhawatiran ini dapat diatasi
dengan meningkatkan fungsi lembaga-lembaga kemasyarakatan
• Perasaan bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan
kelompok lain. Kebanggaan berlebihan ini mengakibatkan kelompok yang satu tidak mau
mengakui keberadaan kebudayaan kelompok lainnya
• Perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit atau rambut
• Perasaan yang kuat bahwa individu terikat pada kebudayaan kelompok yang
bersangkutan
• Golongan minoritas mengalami gangguan dari kelompok penguasa

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Etnis Cina di Indonesia
Kehadiran Etnis Cina (atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tionghoa ini) di tengah-tengah
masyarakat Indonesia yang majemuk sudah berlangsung sejak lama. Bahkan jauh sebelum masa
kolonial. Hal ini lantaran Etnis Cina atau yang lebih dikenal golongan Tionghoa, sejak masa
kerajaan-kerajaan Budha Indonesia sering berimigrasi ke Indonesia untuk tujuan berdagang dan
atau memperdalam dan memperluas agama Budha.
Etnik keturunan Cina di Indonesia memiliki banyak sebutan. Achmad Habib (2004)[5]
menyebutkan antara lain, Baba dan Tionghoa yang digunakan untuk menunjuk keturunan
perpaduan antara laki-laki Cina imigran yang datang ke Indonesia sebelum abad ke-19 dan
perempuan lokal atau perempuan yang terlahir dari hubungan demikian. Sementara itu Totok
adalah imigran yang datang setelah pergantian abad.
Suryadinata (1999)[6] menyebutkan bahwa Tionghoa dapat dipecah menjadi peranakan yang
lahir di Indonesia dan berbahasa Indonesia, serta orang Tionghoa totok yang lahir di dalam atau
luar negeri, dan berbahasa Cina. Tionghoa peranakan sebagian besar berdiam di Jawa, sedangkan
totok umumnya berdiam di Kepulauan Luar.
Seperti yang telah disebutkan di atas, Etnis Cina di Indonesia merupakan etnis minoritas. Ada
sebagian Etnik Cina yang benar-benar diterima oleh kaum pribumi, tetapi ada juga dari mereka
yang ditolak dan mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Aksi kekerasan anti-Tionghoa di
Nusantara sudah terjadi berulang-ulang pada jangka waktu yang cukup lama.
Pandangan negatif tentang Tionghoa diperparah oleh kebijakan-kebijakan para penguasa
Nusantara sejak dari jaman VOC, raja-raja Mataram, Pemerintah Hindia Belanda dan diteruskan
sampai kepada pemerintahan Republik Indonesia. Selama Orde Baru berjaya dalam 3 dekade
lebih, selama itu pula etnis Cina banyak mengalami diskriminasi. Hal itu terlihat dari adanya
beberapa peraturan dan kebijakan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia[7]:
1. Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama.
2. Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian
Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu
sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
3. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok
WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses
asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya
anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti
dengan nama Indonesia.
4. Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan
utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40% dan setiap kelas
jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
5. Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-
kelenteng di Indonesia.
6. Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang
larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat semasa Orde Baru tersebut sebenarnya bertujuan untuk
pembauran total. Etnis Tionghoa diharapkan dilebur ke dalam budaya pribumi sehingga tercapai
asimilasi seperti yang diharapkan. Namun pengistilahan “Tionghoa” sendiri terhadap etnis ini
membuat proses asimilasi tersebut sulit dicapai apalagi didukung dengan stereotipi tentang etnis
“tionghoa” tersebut.
Dalam beberapa aspek kehidupan, orang Cina peranakan maupun totok lebih banyak berorientasi
kepada kultur nenek moyangnya. Bentuk konkret ekonomi etnis Cina cenderung bergerak di
bidang perdagangan (retail) dan keuangan, usaha-usaha yang sifatnya bukan usaha besar (karena
usaha-usaha vital pengelolaannya dikuasai oleh negara). Perilaku ekonomi yang cenderung
proaktif, berbentuk usaha atau perusahaan keluarga, sudah menjadi ciri etnis Cina di kawasan
Asia termasuk Indonesia.
3.2 Proses Asimilasi dan Integrasi Etnis Cina di Indonesia
Menurut Koentjaraningrat[8], proses asimilasi akan timbul apabila ada tiga unsure, yaitu: (a)
adanya kelompok manusia yang berasal dari lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda, (b)
individu dan kelompok saling bergaul langsung secara intensif dalam waktu yang cukup lama,
dan (c) kebudayaan dari kelompok itu berubah saling menyesuaikan diri.
Burhanuddin (1988) menjelaskan lebih lanjut mengenai asimilasi yaitu:
“… asimilasi itu proses social yang telah lanjut yang ditandai oleh makin kurangnya perbedaan
antara individu dan antarkelompok dan makin eratnya persatuan aksi, sikap dan prose mental
yang berhubungan dengan kepentingan dan tujuan yang sama” (Burhanuddin, 1988, h.225).[9]
Sementara itu integrasi adalah proses sosial yang cenderung kepada harmonisasi dan penyatuan
bermacam-macam kesatuan yang berbeda-beda yang terdiri dari individu atau kesatuan social
yang lebih besar (David L. Sills, 1968 dalam Burhanuddin, 1988)[10].
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Burhanuddin di Polewali, Sulawesi Selatan, dengan
status yang masih asing, para etnis Cina ini agak sukar untuk muncul ke permukaan menghirup
udara bebas bersama masyarakat setempat. Selain itu proses pewarganegaraan yang terlalu sulit
juga merupakan hambatan utama bagi usaha asimilasi mereka. Namun tanda untuk dapat
terciptanya proses asimilasi telah tampak. Hal ini dapat terlihat dari perkawinan campuran,
keluarga dari golongan totok yaitu dengan wanita peranakan yang mencapai jumlah 53% dan
dengan wanita pribumi sebanyak 7%. Adanya pergaulan yang langsung dan terbuka di mana
33% dari mereka berdiam dan bertetangga dengan masyarakat pribumi, dan 27% berada dalam
lingkungan campuran. Dengan menguasai bahasa daerah, di mana 53% tergolong menguasai
bahasa daerah dengan baik, komunikasi akan terjadi dengan lancar.
Tabel 2.2 Distribusi Persentase Pemakaian Bahasa Oleh Responden Keturunan Cina di
Polewali[11]
R Pemakaian Bahasa
Di Rumah N% Sesama Cina N% Masyarakat N%
C I D C I D C I D
WNA 6 67 27 100 20 33 47 100 - 47 53 100
WNI - 35 65 100 - - 100 100 - - 100 100

Sumber: berdasarkan penelitian Burhanuddin berjudul Ance’ dan Baba hal. 21 yang diterbitkan
dalam buku yang berjudul: Stereotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial
Dalam kenyataan sehari-hari, kita telah dapat melihat bahwa golongan keturunan Cina di
Indonesia telah bergaul secara luas dan intensif dengan suku bangsa di Indonesia. Akan tetapi
baru terbatas pada tingkat penyesuaian perorangan dan belum terjadi integrasi. Koentjaraningrat
menyebutkan bahwa walaupun orang Cina di Indonesia telah hidup berabad-abad lamanya,
mereka belum juga bisa mengintegrasikan kehidupan mereka dengan cara atau kebudayaan
Indonesia, sehingga masih terlihat adanya garis pemisah dalam bentuk kehidupan orang Cina
tersebut.[12]
Perasaan Chinese Culturalism menjadi salah satu faktor penghambat integrasi etnis Cina di
Indonesia. Chinese Culturalism[13] adalah perasaan yang selalu mengagungkan kultur nenek
moyang. Perasaan yang mana mengarahkan mereka kepada sikap untuk senantiasa berorientasi
kepada budaya leluhur yang mempunyai tradisi lebih dari 3000 tahun. Contohnya Etnis Cina
mengandalkan integritas suatu hubungan antar etnis Cina di bidang ekonomi dan kekeluargaan.
Sehingga rbentuk usaha atau perusahaan keluarga, sudah menjadi ciri etnis Cina
Leo Suryadinata dalam bukunya berjudul Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa
menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah telah cukup sukses dalam pengertian bahwa lebih
banyak Tionghoa totok menjadi peranakan dan lebih banyak Tionghoa peranakan menjadi lebih
Indonesia. namun, sebagian kelompok etnis Tionghoa tetap dapat dikenali. Dalam bentuk
kebudayaan, orang Tionghoa telah menjadi lebih Indonesia. tetapi penggolongan antarkelompok
tetap jelas[14].
3.3 Keutuhan dan Kesatuan Bangsa
Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan tantangan besar dalam proses keutuhan dan
kesatuan bangsa. Golongan-golongan, etnik-etnik pasti menyimpan potensi konflik. Potensi-
potensi konflik yang tesimpan ini tentunya dapat menjadi hambatan dalam mencapai kesatuan,
persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia bila tidak dimanajemen dengan baik.
Untuk itu keberhasilan proses asimilasi dan integrasi suatu etnis sangat mendukung tercapainya
keutuhan dan kesatuan bangsa. Etnis minoritas seperti Etnis Cina juga memiliki peranan dalam
pencapaian keutuhan dan kesatuan bangsa Indonesia walaupun jumlah mereka termasuk
minoritas diantara kemajemukan suku bangsa di Indonesia.
Proses peleburan dalam sebuah asimilasi harus diarahkan sampai pada suatu kondisi di mana
istilah “minoritas Tionghoa” menjadi tak ada. Untuk mencapai kondisi demikian, perlu asimilasi
yang komprehensif sekaligus butuh campur tangan pemerintah. Melalui asimilasi, eksklusivitas
jadi hilang sehingga terbentuk perasaan saling memiliki. Hal tersebut dapat memperkuat
keutuhan dan kesatuan bangsa. Untuk mempercepat pembauran etnis di Indonesia, maka
persamaan pandangan, saling belajar, dan saling menghormati antar kelompok etnis sangat
diperlukan.

BAB IV KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Etnis Cina di Indonesia merupakan etnis minoritas di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Asimilasi dan integrasi Etnis Cina di Indonesia masih agak sukar untuk dilakukan meskipun
sudah mulai telihat adanya asimilasi dalam bentuk pernikahan dengan peranakan maupun
pribumi. Hal ini lantaran Chinese Culturalism yang masih kental dalam diri mereka. Demi
tercapainya keutuhan dan kesatuan bangsa, golongan Cina ini mesti dapat berasimilasi dan
berintegrasi dengan kaum pribumi di Indonesia.
4.2 Saran
Diperlukan kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih baik lagi untuk tercapainya proses
asimilasi dan integrasi Etnis Cina di Indonesia. Selain itu diperlukan kesadaran dari masyarakat
khususnya golongan Cina itu sendiri akan pentingnya kesatuan dan persatuan bangsa agar
mereka terdorong untuk berbaur dan berasimilasi.

DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, dkk. 1988. Stereotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial. Jakarta: PT Pustaka Grafika
Kita.
Encep. 2009. Perilaku Ekonimi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an. (http://kotaudang-
sap.blogspot.com/2009/08/perilaku-ekonimi-etnis-cina-di.html, diakses tanggal 4 Januari 2010).
Habib Achmad. 2004. Konflik Antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa.
Yogyakarta: LKis Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1964. Pengantar Antropologi. Jakarta: Universitas.
Suryadinata Leo.1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Tan Melly G. 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan
Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia.
[1] Achmad Habib, Konflik Antaretnik di Pedesaan: Pasang surut Hubungan Cina-Jawa,
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004), h.1.[2] Mely G Tan, Golongan Etnis Tionghoa di
Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: PT Gramedia, 1981),h.4
[3] Burhanuddin dkk. Stereotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial. (Jakarta: PT Pustaka Grafika
Kita, 1988) h.225
[4] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas, 1964), h.34
[5] Achmad Habib, Op.Cit., h.10.
[6] Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, (Jakarta: LP3ES, 1999), h.170.
[7] Encep. Perilaku Ekonimi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an. (http://kotaudang-
sap.blogspot.com/2009/08/perilaku-ekonimi-etnis-cina-di.html, 2009, diakses pada 4 Januari
2010)
[8] Koentjaraningrat, Op.Cit., h.147
[9] Burhanuddin dkk, Op. Cit, h.225
[10] Ibid, h.224
[11] Ibid, h.281
[12] Koentjaraningrat, Op.Cit., h.34.
[13] Burhanuddin dkk, Op.Cit, h.222.
[14] Leo Suryadinata, Op.Cit., h.187
Tags: asimilasi, Cina, eintegrasi, Indonesia, kesatuan, konflik, persatuan

Anda mungkin juga menyukai