Liong) yang dapat mengapresiasi dan mewarisi seni wayang kulit ini,
sebelumnya juga pernah diketahui pada sebelum tahun 1967 seorang
Tionghoa bernama Gan Thwan Sing (1885-1966) mendalami seni wayang
kulit di Yogya yang disebut sebagai wayang "Cina Jawa" . Gan dikenal
sebagai orang yang mempelopori dan menciptakan seni wayang
kulit "Cina Jawa".
Pola pertunjukan wayang kulit ciptaan Gan Thwan Sing bukan bertumpu
pada pola pertunjukan wayang di negeri Tiongkok, melainkan bertolak
pada pola pertunjukan wayang kulit di Jawa. Bentuk wayang bercorak
Tionghoa, tetapi mempunyai pengaruh Jawa misalnya pada ragam hias,
gerakan tangan dll. Gan Thwan Sing juga membuat gunungan atau kayon
yang dalam pertunjukan wayang di negeri Tiongkok tidak ada Jadi
merupakan suatu wujud pembauran kultural atau akulturasi budaya
(selain wayang Potehi) dalam bentuk seni pewayangan sehingga lebih
tepat apabila disebut wayang "Cina Jawa".
Wayang kulit Gan ini atau disebut juga wayang thithi (Kata thithi
berasal dari suara alat musik yang terbuat dari kayu berlubang yang
jika dipukul akan mengeluarkan suara thek...thek...thek. Di telinga
orang Jawa, suara gemerincing kepyak terdengar seperti suara
thi...thi...thi) pernah dikenal Di Yogyakarta, pada tahun 1925
sampai dengan sekitar 1967, dan sejak wafatnya, seni pertunjukan
wayang kulit "Cina-Jawa" tidak lagi dikenal orang.
Hilangnya atau tidak dikenalnya lagi seni wayang "Cina Jawa" ini
lagi disebabkan oleh "jasa" rejim Orba yang melarang sertiap bentuk
ekspresi budaya Tionghoa selama 32 tahun. Tahun 1967, pemerintah
Orba mengeluarkan berbagai larangan yang menyatakan bahwa segala hal
yang berbau "Cina" dilarang untuk dikaji, diekspos, disiarkan atau
pun dimanfaatkan (Instruksi Presiden no. 14/1967). Berbagai peraturan
pemerintah di jaman Soeharto telah mematikan apresiasi budaya
Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, yang juga merupakan bagian
dari kekayaan budaya bangsa Indonesia (Dwi Woro R. Mastuti).
Selama pemerintahan Orba, jenis wayang "Cina Jawa" dan juga wayang
Potehi tidak diakui sebagai bagian dari warisan dan tradisi jenis
wayang yang dikenal dan dimainkan di Indonesia. Seorang penulis
tentang wayang pada tahun 1988 Pandam Guritno dalam bukunya
menguraikan 28 jenis wayang dan klasifikasinya, dari sekian banyak
jenis wayang tersebut wayang potehi dan wayang "Cina Jawa" tidak
disebutkan atau disangkal keberadaannya.(Pendam Guritno: Wayang,
Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Penerbit Universitas Indonesia,
1988).
Salam
G.H.
Sumber:
Dwi Woro R. Mastuti : "WAYANG CINA DI JAWA SEBAGAI WUJUD AKULTURASI
BUDAYA DAN PEREKAT NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA" (2004).
B. Soelarto, Ilmi Albiladiyah : "Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta"
(Depdikbud 1980/1981).
11 Februari 2008
Melihat Keanekaragaman Budaya di Kampung Ketandan
• Oleh Agung PW
KAMPUNG Ketandan di sisi timur Malioboro selama ini memang dikenal sebagai kawasan
pecinan. Maklum saja karena banyak warga etnis Tionghoa tinggal di sana. Kendati demikian
ada juga penduduk pribumi bahkan luar Yogyakarta yang berada di sana sejak zaman baheula.
Selama sepekan ini di sana digelar Pekan Budaya Tionghoa (PBT), sejak 7-11 Februari.
Berbagai kegiatan berlangsung mulai pagi menjelang siang hingga malam hari dalam rangka
memperingati tahun baru China, Imlek. Menariknya, tak hanya kegiatan bernuansakan Negeri
Tembok Besar namun ada pula tampilan pribumi. Berbeda namun indah, itulah yang kemudian
terlihat karena keanekaragamannya.
”Peringatan Imlek di sini tidak sekadar merayakannya tapi juga merupakan media interaksi
budaya, pengembangan toleransi. Karena itu, ada tampilan kesenian dan kebudayaan China
namun ada pula tradisional Jawa,” ungkap Ketua PBT Tri Kirana.
Lihat saja pada acara pembukaan akhir pekan lalu, muncul kesenian Tionghoa seperti tari-tarian,
barongsai, dan lagu-lagu. Sementara itu, kesenian tradisional juga tampil, geguritan Jawa, tari
ndolalak, golek, dan musik rewe-rewe.
Tak ketinggalan wayang potehi khas China dan ludruk mataraman dengan pemain dari berbagai
latar belakang etnis.
Pembauran
Memang peringatan Imlek di Ketandan tak sebatas milik etnis Tionghoa. Seluruh masyarakat di
sana terlibat aktif. Bukan hanya kesenian bahkan makanan juga tampak berwarna-warni,
perpaduan makanan khas Imlek dan tradisional Jawa.
Di sepanjang Jl Ketandan setiap hari pengunjung dapat melihat pernik-pernik suvenir dan
menikmati jajanan, makanan kecil ataupun besar. Tak perlu khawatir makanan yang disajikan
karena jelas tertulis haram atau tidak. Jadi, pembeli benar-benar tahu apa yang dimakannya.
”Kegiatan ini merupakan instrumen pembauran dan agenda rutin tiap tahun yang sudah
memasuki tahun ke-3. Selama penyelenggaraannya ribuan orang berkunjung ke sini. Inilah bukti
kebersamaan tanpa melihat perbedaan,” papar Ketua I PBT, Thundaka Prabawa.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X membenarkan pernyataan tersebut dan terlihat
pada sambutan pembukaan PBT. Menurutnya, PBT ajang pembauran masyarakat dan integrasi
tanpa prasangka sosial.
”Pembauran ini memiliki makna luas tanpa menghilangkan ciri khas masing-masing juga sebagai
ajang pengembangan rasa toleransi. Dikotomi pribumi dan nonpribumi sudah harus dihilangkan
karena semuanya sama yaitu menjadi bagian dari bangsa Indonesia,” tandas Gubernur. (70)
Anti Cina, Kapitalisme Cina Dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina Di Indonesia
Oleh: Onghokham
Penerbit: Komunitas Bambu
Halaman: 200
Jenis/Kondisi: Buku baru(Bagus)
Sub/Kategori: Sejarah
Rp 42.500
Proses Asimilasi dan Integrasi Etnis Cina di Indonesia Terhadap Keutuhan dan Kesatuan
Bangsa
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa dan etnik baik yang asli
pribumi maupun emigran. Multi-etnik yang dimiliki Indonesia ini dapat berpotensi menghadapi
masalah perbedaan, persaingan dan tidak jarang pertikaian antar etnik yang tentunya dapat
mengancam keutuhan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Walaupun fenomena etnik
secara internal bisa berfungsi integratif, secara eksternal berpotensi konflik.
Orang-orang Etnik Cina atau yang lebih dikenal dengan Etnis Tionghoa sendiri merupakan salah
satu etnis minoritas di tengah kemajemukan etnik di Indonesia. Menurut Coppel (1983) dalam
Habib (2004)[1], pada tahun 1961, diperkirakan ada sekitar 2,45 juta jiwa Etnik Cina atau sekitar
2,5% dari total penduduk Indonesia. Dari segi tempat tinggal etnis Cina ini, ada perbedaan pola
sebaran antar berbagai pulau di Indonesia. Khusus untuk Jawa dan Madura, persentase terbesar
(78,4%) bertempat tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan sisanya (21,6%) bertempat tinggal di
wilayah pedesaan. Etnis Cina sendiri merupakan etnis keturunan asing yang paling banyak
jumlahnya sampai sekarang.
Secara umum jumlah penduduk Cina di Indonesia makin bertambah tiap tahunnya sebagaimana
terlihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1 Pertambahan Penduduk Tionghoa di Indonesia (dalam ribuan)[2]
Tahun Jawa Pulau-pulau luar Jawa Jumlah
Seluruhnya
jumlah persen Jumlah Persen
1860 150 67,6 72 32,4 222
1880 207 60,2 137 39,8 344
1895 256 54,6 213 45,4 469
1905 295 52,4 268 47,6 563
1920 384 47,5 425 52,5 809
1930 582 47,2 651 52,8 1.233
1956 1.145 52,0 1.055 48,0 2.200
1961 1.230 50,2 1.220 49,8 2.450
Sumber: Untuk tahun 1860-1930, Department van Economische Zaken, Volkstelling 1930, 7,
39-43; perkiraan tahun 1956 didasarkan pada penduduk yang tercatat seperti yang diterbitkan di
dalam Penduduk Indonesia (Jakarta, 1958); angka-angka untuk tahun 1961 merupakan proyeksi
yang dibuat oleh penulis dari perkiraan tahun 1956.
Kehadiran Etnis Cina di Indonesia sejak awal pertama sampai para pendatang berikutnya yang
secara bergelombang mendarat di Indonesia, telah menimbulkan masalah. Burhanuddin (1988)
[3] menyebutkan bahwa masalah yang pertama adalah mengenai identitas mereka sebagai
emigrant dari luar kelompok etnis Indonesia dan wilayah Indonesia yang berlangsung hingga
Indonesia memperoleh kemerdekaannya, bahkan hingga sekarang ini. Lebih jauh
Koentjaraningrat (1964)[4] menyebutkan bahwa walaupun orang Cina di Indonesia telah hidup
berabad-abad lamanya, mereka belum juga bisa mengintegrasikan kehidupan mereka dengan
cara atau kebudayaan Indonesia, sehingga masih terlihat adanya garis pemisah dalam bentuk
kehidupan orang Cina tersebut.
Permasalahan yang ditimbulkan dari kehadiran serta keberadaan Etnis Cina di Indonesia serta
hubungannya dengan keutuhan dan kesatuan Indonesia inilah yang akhirnya mendorong penulis
untuk menulis Proses Asimilasi dan Integrasi Golongan Etnis Cina di Indonesia Terhadap
Keutuhan dan Kesatuan Bangsa sebagai judul tugas makalah akhir untuk matakuliah Berpikir
dan Menulis Ilmiah.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam menyusun karya ilmiah ini, penulis membuat sejumlah perumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kehidupan etnis Cina di Indonesia yang merupakan etnis minoritas di
Indonesia?
2. Bagaimana proses asimilasi dan integrasi etnis Cina di Indonesia?
3. Bagaimana hubungan keberhasilan asimilasi etnis Cina dengan keutuhan dan kesatuan
bangsa?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis tentang kehidupan etnis Cina di Indonesia yang merupakan etnis
minoritas.
2. Untuk menganalisis proses asimilasi dan integrasi etnis Cina di Indonesia.
3. Untuk menganalisis hubungan keberhasilan asimilasi etnis Cina dengan keutuhan dan
kesatuan bangsa.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat akademis, yaitu dengan memberikan gambaran umum tentang proses asimilasi
etnis Cina di Indonesia serta kaitannya dengan keutuhan dan kesatuan bangsa.
2. Manfaat social, yaitu tercapainya keutuhan dan kesatuan bangsa melalui asimilasi dan
integrasi antaretnik.
3. Manfaat praktis, yaitu melalui kebijakan-kebijakan menyangkut asimilasi dan integrasi
yang lebih baik lagi.
Sumber: berdasarkan penelitian Burhanuddin berjudul Ance’ dan Baba hal. 21 yang diterbitkan
dalam buku yang berjudul: Stereotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial
Dalam kenyataan sehari-hari, kita telah dapat melihat bahwa golongan keturunan Cina di
Indonesia telah bergaul secara luas dan intensif dengan suku bangsa di Indonesia. Akan tetapi
baru terbatas pada tingkat penyesuaian perorangan dan belum terjadi integrasi. Koentjaraningrat
menyebutkan bahwa walaupun orang Cina di Indonesia telah hidup berabad-abad lamanya,
mereka belum juga bisa mengintegrasikan kehidupan mereka dengan cara atau kebudayaan
Indonesia, sehingga masih terlihat adanya garis pemisah dalam bentuk kehidupan orang Cina
tersebut.[12]
Perasaan Chinese Culturalism menjadi salah satu faktor penghambat integrasi etnis Cina di
Indonesia. Chinese Culturalism[13] adalah perasaan yang selalu mengagungkan kultur nenek
moyang. Perasaan yang mana mengarahkan mereka kepada sikap untuk senantiasa berorientasi
kepada budaya leluhur yang mempunyai tradisi lebih dari 3000 tahun. Contohnya Etnis Cina
mengandalkan integritas suatu hubungan antar etnis Cina di bidang ekonomi dan kekeluargaan.
Sehingga rbentuk usaha atau perusahaan keluarga, sudah menjadi ciri etnis Cina
Leo Suryadinata dalam bukunya berjudul Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa
menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah telah cukup sukses dalam pengertian bahwa lebih
banyak Tionghoa totok menjadi peranakan dan lebih banyak Tionghoa peranakan menjadi lebih
Indonesia. namun, sebagian kelompok etnis Tionghoa tetap dapat dikenali. Dalam bentuk
kebudayaan, orang Tionghoa telah menjadi lebih Indonesia. tetapi penggolongan antarkelompok
tetap jelas[14].
3.3 Keutuhan dan Kesatuan Bangsa
Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan tantangan besar dalam proses keutuhan dan
kesatuan bangsa. Golongan-golongan, etnik-etnik pasti menyimpan potensi konflik. Potensi-
potensi konflik yang tesimpan ini tentunya dapat menjadi hambatan dalam mencapai kesatuan,
persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia bila tidak dimanajemen dengan baik.
Untuk itu keberhasilan proses asimilasi dan integrasi suatu etnis sangat mendukung tercapainya
keutuhan dan kesatuan bangsa. Etnis minoritas seperti Etnis Cina juga memiliki peranan dalam
pencapaian keutuhan dan kesatuan bangsa Indonesia walaupun jumlah mereka termasuk
minoritas diantara kemajemukan suku bangsa di Indonesia.
Proses peleburan dalam sebuah asimilasi harus diarahkan sampai pada suatu kondisi di mana
istilah “minoritas Tionghoa” menjadi tak ada. Untuk mencapai kondisi demikian, perlu asimilasi
yang komprehensif sekaligus butuh campur tangan pemerintah. Melalui asimilasi, eksklusivitas
jadi hilang sehingga terbentuk perasaan saling memiliki. Hal tersebut dapat memperkuat
keutuhan dan kesatuan bangsa. Untuk mempercepat pembauran etnis di Indonesia, maka
persamaan pandangan, saling belajar, dan saling menghormati antar kelompok etnis sangat
diperlukan.
BAB IV KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Etnis Cina di Indonesia merupakan etnis minoritas di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Asimilasi dan integrasi Etnis Cina di Indonesia masih agak sukar untuk dilakukan meskipun
sudah mulai telihat adanya asimilasi dalam bentuk pernikahan dengan peranakan maupun
pribumi. Hal ini lantaran Chinese Culturalism yang masih kental dalam diri mereka. Demi
tercapainya keutuhan dan kesatuan bangsa, golongan Cina ini mesti dapat berasimilasi dan
berintegrasi dengan kaum pribumi di Indonesia.
4.2 Saran
Diperlukan kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih baik lagi untuk tercapainya proses
asimilasi dan integrasi Etnis Cina di Indonesia. Selain itu diperlukan kesadaran dari masyarakat
khususnya golongan Cina itu sendiri akan pentingnya kesatuan dan persatuan bangsa agar
mereka terdorong untuk berbaur dan berasimilasi.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, dkk. 1988. Stereotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial. Jakarta: PT Pustaka Grafika
Kita.
Encep. 2009. Perilaku Ekonimi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an. (http://kotaudang-
sap.blogspot.com/2009/08/perilaku-ekonimi-etnis-cina-di.html, diakses tanggal 4 Januari 2010).
Habib Achmad. 2004. Konflik Antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa.
Yogyakarta: LKis Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1964. Pengantar Antropologi. Jakarta: Universitas.
Suryadinata Leo.1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Tan Melly G. 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan
Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia.
[1] Achmad Habib, Konflik Antaretnik di Pedesaan: Pasang surut Hubungan Cina-Jawa,
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004), h.1.[2] Mely G Tan, Golongan Etnis Tionghoa di
Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: PT Gramedia, 1981),h.4
[3] Burhanuddin dkk. Stereotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial. (Jakarta: PT Pustaka Grafika
Kita, 1988) h.225
[4] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas, 1964), h.34
[5] Achmad Habib, Op.Cit., h.10.
[6] Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, (Jakarta: LP3ES, 1999), h.170.
[7] Encep. Perilaku Ekonimi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an. (http://kotaudang-
sap.blogspot.com/2009/08/perilaku-ekonimi-etnis-cina-di.html, 2009, diakses pada 4 Januari
2010)
[8] Koentjaraningrat, Op.Cit., h.147
[9] Burhanuddin dkk, Op. Cit, h.225
[10] Ibid, h.224
[11] Ibid, h.281
[12] Koentjaraningrat, Op.Cit., h.34.
[13] Burhanuddin dkk, Op.Cit, h.222.
[14] Leo Suryadinata, Op.Cit., h.187
Tags: asimilasi, Cina, eintegrasi, Indonesia, kesatuan, konflik, persatuan