Anda di halaman 1dari 11

Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan Minum

Obat Anti Tuberkulosis


Tahan P. Hutapea
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

ABSTRACT
The use of DOTS strategy for tuberculosis treatment has not been successful,
while the cases of tuberculosis multidrug resistance is increasing. We therefore
require to know how far effect of family support to increase compliance in taking anti
tuberculosis drugs. The research was observational study with cross sectional
design. From the findings of the research, it was concluded that: There was family
support influence to compliance rate to take anti tuberculosis drugs. The regresion
ordinal analysis showing that there is a effect of family support with compliance to
taking anti tuberculosis drugs. The result show value of F = 5.502 and p = 0.001
(p<0.05) and correlation coefisient r = 0.210. This indicating higher family support,
also make higher compliance to taking anti tuberculosis drugs. If take more analysis,
from 4 variabels of family support in this research (encouragement going to clinic,
family not stayed away from sufferer, transportation support, and attention to
success of medical treatment) toward compliance to taking anti tuberculosis drugs,
the biggest efford variabel is attention to success of medical treatment,
transportation support, encouragement going to clinic, and the last family not avoid
from sufferer.
Keywords : Family support, compliance, Tuberculosis

PENDAHULUAN
Penyakit Tuberkulosis paru telah dikenal lebih dari satu abad yang lalu, yakni
sejak diketemukannya kuman penyebab Tuberkulosis oleh Robert Koch tahun 1882,
namun sampai saat ini penyakit Tuberkulosis (TB) masih tetap menjadi problema
kesehatan di seluruh dunia dan sebagai penyebab kematian utama yang diakibatkan
oleh penyakit infeksi.1 Pada April 1993 WHO menyatakan TB sebagai suatu
problema kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius di seluruh dunia
serta merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (Global
Emergency), karena satu dari 3 penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi dengan
Mycobacterium tuberkulosis (disebut juga Basil Tahan Asam = BTA) sebagai kuman
penyebab TB yang dibuktikan dengan pemeriksaan Mantoux tes.2 Sekitar 95%
penderita TB terdapat di negara sedang berkembang dengan sosioekonomi rendah
termasuk Indonesia dan 75% dari penderita TB tersebut terjadi pada usia produktif.3
Setiap tahun terdapat sekitar 4 juta penderita baru TB paru menular di dunia.4
Menurut WHO diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 8,74 juta penderita baru TB
dan akan menjadi 10,2 juta penderita baru TB pada tahun 2005. Di kawasan Asia
Tenggara diduga terjadi lebih dari 3,5 juta penderita baru TB dan lebih dari 1,3 juta
kematian akibat penyakit ini, dan diperkirakan pada tahun 2005 terdapat 3 juta
penderita baru TB.5
2

Di Indonesia dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)


Departemen Kesehatan (DepKes) tahun 1995 didapatkan Tuberkulosis merupakan
penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit Kardiovaskuler dan penyakit infeksi
saluran pernafasan serta peyebab kematian nomor 1 pada semua golongan umur
dari golongan penyakit infeksi. WHO (1998) memperkirakan terdapat 450.000
penderita baru TB paru dengan ditemukan BTA pada dahaknya (BTA (+)) di
Indonesia serta terdapat 175.000 kematian karena TB setiap tahunnya.6
Pemberantasan TB di Indonesia telah dilaksanakan secara nasional sejak
tahun 1969 melalui Program Pemberantasan Tuberkulosis (P2TB) oleh DepKes, dan
sejak tahun 1995 lebih diintensifkan dengan cara pengobatan yang mempergunakan
strategi“DOTS” (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan
oleh WHO. Namun pada kenyataan setelah berjalan 9-10 tahun program “DOTS”,
angka keberhasihan pengobatan masih belum mencapai target yang ditetapkan
Dep.Kes yaitu dapat menyembuhkan 85% dari penderita TB dengan BTA (+) yang
diobati. Dari hasil surveillance secara global dilaporkan telah terjadi resistensi kuman
TB terhadap OAT pada penderita TB untuk satu jenis OAT (DR-TB,Drug Resistant-
TB) sebesar 12,6% dan untuk lebih dari 2 jenis OAT (MDR-TB,Multi Drug Resistant-
TB) sebesar 2,2%.
Data dari the third report of the WHO/IUATLD Global Project on Anti
Tuberculosis Drug Resistance Survellance pada 75 area dari 13 negara tahun 1999-
2002, menunjukkan MDR-TB berkisar antara 6,5% sampai 14% pada kasus baru
(resisten primer) dan 30% sampai 60% pada kasus yang pernah diobati (resisten
sekunder). Di Indonesia, RS. Persahabatan Jakarta (data dari WHO tahun 2003),
(dikutip dari 31)
melaporkan angka MDR-TB sebesar 4,3% pada kasus baru dan 34,44%
pada kasus yang pernah diobati.

Data pada Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2004 menunjukkan
15% dari penderita TB paru yang diobati di seluruh Puskesmas di Jawa Timur yang
mempergunakan program pengobatan strategi “DOTS”, tidak melanjutkan
pengobatan sampai selesai (tidak patuh minum obat). Bila dilihat tiap daerah tingkat
II, didapatkan beberapa daerah dimana didapatkan persentase penduduknya yang
menderita TB paru dan tidak patuh berobat antara lain : Bangkalan (37%); Sidoarjo
(29%); Lamongan (27%); Sumenep (24%); Situbondo (23%); Gresik (22%). Pada
tahun 2005 total yang tidak patuh berobat sebesar 14% dengan daerah tingkat II
terbanyak adalah: Ngawi (38%); Jember (36%); Bangkalan (28%); Kabupaten
Malang (25%); Gresik (20%).
Data ketidakpatuhan berobat penderita TB paru dari klinik dan rumah sakit
dapat dilihat dari data penderita TB paru yang berobat di RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang, BP4 Surabaya. (lihat tabel 1).

Tabel 1. Data ketidakpatuhan berobat penderita TB paru (%) di RSUD Dr.Saiful Anwar Malang
(1999 dan 2001) dan BP4 Surabaya (2003-2004)

Tempat Penelitian Waktu penelitian Tidak patuh berobat


RSUD Dr. Saiful Anwar Malang 1998 53,7%
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang 2001 28,37%
BP4 Surabaya 2003 27%
BP4 Surabaya Januari – Juni 2004 34%
Sumber: Abiyoso (1999) , Rustina (2001) dan Laporan perkembangan pelayanan BP4
Surabaya (2003, 2004)
3

Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya


angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak
ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan
standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia
serta memperberat beban pemerintah (DepKes). Dari berbagai faktor penyebab
ketidakpatuhan minum obat penderita TB Paru, dapat disimpulkan bahwa faktor
manusia, dalam hal ini penderita TB paru sebagai penyebab utama dari ketidak
patuhan minum obat.
Berbagai teori tentang kepatuhan berobat dan usaha agar berperilaku patuh
berobat dikemukakan beberapa penulis, antara lain:
1). Kepatuhan berobat sangat dipengaruhi oleh perilaku penderita;
2). Cara terbaik mengubah perilaku adalah dengan memberikan informasi serta
diskusi dan partisipasi dari penderita.28,30
3). Agar perilaku penderita lebih patuh dibutuhkan memperkuat driving force dengan
menggalakkan persuasi dan memberi informasi (teori Force field Analysis dari
Lewis).
Pengaruh dukungan keluarga dalam keberhasilan pengobatan berbagai
penyakit banyak diteliti para peneliti, antara lain: Elvi Syahrina (Univeritas Syah
Kuala, 2005) pada penderita depresi di Keutapang Dua Banda Aceh; Dieter Naber
(Jerman, 2007) pada pasien psikiatri pada penderita Kusta di Kabupaten Asahan.9
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, masalah yang akan dikaji adalah
apakah dukungan keluarga berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis.
BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross
sectional. Penelitian dilakukan di Balai Pengobatan dan Pemberantasan Penyakit
Paru (BP4) atau RS Karangtembok Surabaya.. Populasi adalah semua penderita TB
paru BTA (+) baru yang pertama kali berobat di BP4 / RS Karangtembok Surabaya.
Besar sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebesar 134 orang penderita
(semua penderita TB paru BTA (+) baru yang pertama kali berobat dalam periode 4
bulan sejak 1 Maret 2006). Variabel yang diteliti adalah dukungan keluarga dan
kepatuhan penderita minum obat anti tuberkulosis. Pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara menggunakan kuesioner dan melakukan pengamatan OAT yang
tersisa pada penderita. Analisis data dilakukan dengan regresi ordinal.
Karakteristik Penderita
Jenis kelamin penderita TB Paru dalam penelitian ini didapatkan laki-laki 76 orang
(56,7%) dan wanita 60 orang (43,3%)
Sebagian besar penderita TB Paru dalam penelitian ini berusia antara 21-30 tahun
sebanyak 43 orang 32,1%, usia 41-50 tahun 30 orang 22,4%, 31-40 tahun 27 orang
20,1% dan usia 61-70 tahun 5 orang (3,7%) (lihat tabel 2).
Umur rata-rata penderita TB Paru dalam penelitian ini 37,48 ± 13,30 tahun.
Penderita termuda berumur 15 tahun dan tertua 70 tahun.
4

Tabel 2. Distribusi Umur Penderita

Kelompok umur N %
≤ 20 thn 11 8,2
21-30 thn 43 32,1
31-40 thn 27 20,1
41-50 thn 30 22,4
51-60 thn 18 13,4
61-70 thn 5 3,7
Jumlah 134 100,0

Pendidikan penderita terdistribusi seperti pada tabel berikut.


Tabel 3. Distribusi Pendidikan Penderita

Pendidikan N %
Rendah 47 35,0
Menengah 79 59,0
Tinggi 8 6,0
Jumlah 134 100,0

Terdapat 59,0% dari peserta penelitian berpendidikan menengah (SLTP dan SLTA).
Pekerjaan penderita TB Paru dalam penelitian ini cukup bervariasi. Distribusi
pekerjaan penderita TB Paru dalam penelitian seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Distribusi Pekerjaan Penderita

Pekerjaan N %
Tidak bekerja 62 46,2
PNS/TNI/Polri 1 0,7
Kary. Swasta 40 29,9
Wiraswasta 15 11,2
Pedagang 10 7,5
Lain-lain 6 4,5
Jumlah 134 100,0

Terdapat 46,2% dari peserta penelitian tidak mempunyai pekerjaan. Hal ini terjadi
karena pada kelompok tidak bekerja termasuk para ibu Rumah Tangga, anak yang
masih bersekolah atau belum berumah tangga yang tidak mempunyai pekerjaan
sendiri.
Pendapatan keluarga rata-rata penderita TB Paru dalam penelitian ini adalah Rp.
711.111 ± Rp. 270.161. Pendapatan terendah Rp. 350.000 dan tertinggi Rp.
2.000.000.
Dukungan Anggota Keluarga
Dorongan anggota keluarga untuk berobat teratur
Didapatkan 73,1% penderita menyatakan anggota keluarga mendorong untuk
berobat secara teratur.
5

Tabel 5. Distribusi Drongan Aggota Kluarga Utuk Brobat Teratur

Keluarga mendorong berobat n %


Ya 98 73,1
Tidak 36 26,9
Jumlah 134 100

Didapatkan 22,4% penderita menyatakan anggota keluarga menghindari penderita


setelah tahu menderita TB Paru.
Tabel 6. Distribusi adakah anggota keluarga yang menghindari penderita karena menderita TB Paru

Keluarga menghindari penderita n %


Ya 30 22,4
Tidak 104 77,6
Jumlah 134 100

Terdapat 62,7% dari penderita menyatakan anggota keluarga tidak memberikan


bantuan transport kepada penderita atau mengantar penderita kontrol ke sarana
pelayanan kesehatan.
Tabel 7. Distribusi adanya bantuan transport dari anggota keluarga untuk kontrol ke sarana
pelayanan kesehatan

Bantuan transport dari keluarga N %


Ada 50 37,3
Tidak 84 62,7
Jumlah 134 100,0

Didapatkan 50,7% dari penderita menyatakan tidak adanya perhatian atas kemajuan
pengobatan penderita dari anggota keluarga.
Tabel 8. Distribusi adakah keluarga yang memperhatikan kemajuan pengobatan penderita

Perhatian atas kemajuan N %


pengobatan
Ada 66 49,3
Tidak 68 50,7
Jumlah 134 100

Kepatuhan minum OAT


1. Keteraturan minum OAT (dari kuesioner)
Tabel 9. Distribusi keteraturan minum OAT (dari kuesioner)

Keteraturan minum Obat N %


Tiap hari 93 69,4
Kadang lupa 41 30,6
Jumlah 134 100
6

Didapatkan 69,4% penderita meminum OAT setiap hari, 30,6% penderita


menyatakan minum obat tidak tiap hari.
2. Cara minum OAT (dari kuesioner)
Cara minum OAT penderita TB Paru tergambar pada tebel distribusi berikut.
Tabel 10. Distribusi Cara Minum OAT

Cara Minum obat N %


Sekaligus 97 72,7
Tdk sekaligus 36 26,9
Lain-lain 1 0,7
Jumlah 134 100

Didapatkan 72,7% penderita menyatakan minum obat sekaligus, 26,9%


menyatakan minum obat tidak sekaligus.
Dalam bentuk skor, kepatuhan penderita dalam minum obat skor rata-rata 4,55 ±
1,37. (Skor terendah 1 dan tertinggi 6). Dalam bentuk kategori, tingkat kepatuhan
penderita dalam minum obat sebagai berikut.

Tabel 11. Distribusi Tingkat Kepatuhan Minum OAT

Tingkat kepatuhan minum obat N %


Tidak patuh 24 17,9
Kurang patuh 66 49,3
Patuh 44 32,8
Jumlah 134 100

Bila dijabarkan lebih rinci kepatuhan penderita dalam minum obat menurut hasil
pengamatan kesesuaian jumlah obat yang tersisa dengan yang seharusnya,
keteraturan minum obat menurut PMO, keteraturan minum obat menurut penderita
sendiri, dan cara minum obat, didapatkan hasil sebagai berikut.
3. Kepatuhan minum OAT (berdasarkan kesesuaian jumlah obat yang tersisa)
Dari hasil pengamatan dengan melihat sisa obat yang ada pada penderita
saat dilakukan kunjungan rumah, apakah sesuai dengan sisa obat yang seharusnya,
maka didapatkan gambaran hasil pengamatan kepatuhan minum obat selama 8
minggu seperti tergambar pada tabel berikut.
Tabel 12. Distribusi jumlah penderita yang memiliki sisa obat sesuai dengan seharusnya (per-minggu)

Minggu N %
1 87 64,9
2 85 63,4
3 83 61,9
4 92 68,7
5 96 71,6
6 98 73,1
7 106 79,1
8 107 79,9
7

Kepatuhan minum OAT (menurut penderita)


Berdasarkan pengamatan pada penderita dengan menanyakan apakah mereka
meminum obatnya setiap hari, didapatkan gambaran hasil observasi tersebut
selama 8 minggu seperti tergambar pada tabel berikut.
Tabel 13. Distribusi Jumlah Penderita yang Minum OAT Tiap Hari Menurut Penderita
(per-minggu)

Minggu N %
1 84 62,7
2 89 66,4
3 91 67,9
4 102 76,1
5 111 82,8
6 104 77,6
7 117 87,3
8 121 90,3

Kepatuhan minum OAT (menurut cara minum obat)


Berdasarkan pengamatan pada penderita dengan menanyakan bagaimana cara
mereka meminum obat, didapatkan gambaran hasil observasi tersebut selama 8
minggu seperti tergambar pada tabel berikut.
Tabel 14. Distribusi jumlah penderita yang minum OAT sekaligus pada pengamatan tiap minggu

Minggu N %
1 81 60,4
2 78 58,2
3 81 60,4
4 91 67,9
5 97 72,4
6 106 79,1
7 106 79,1
8 110 82,1

Kepatuhan minum OAT (menurut waktu minum obat)


Berdasarkan pengamatan pada penderita dengan menanyakan waktu minum obat,
didapatkan gambaran hasil observasi tersebut selama 8 minggu seperti tergambar
pada tabel berikut.

Tabel 15. Distribusi jumlah penderita yang minum obat sebelum makan pada pengamatan tiap
minggu

Minggu N %
1 2 1,5
2 3 2,2
3 6 4,5
4 15 11,2
5 32 23,9
6 42 31,3
7 44 32,8
8 45 33,6
8

Analisis Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat Anti


Tuberkulosis
Analisis regresi ordinal menunjukkan adanya pengaruh dukungan keluarga terhadap
kepatuhan minum obat antituberkulosis. Hasil analisis menunjukkan nilai F=5,502
dan p=0,001 (p<0,05) dan koefisien korelasi sebesar r=0,210. Hasil analisis tersebut
menunjukkan semakin tinggi dukungan keluarga, semakin tinggi pula tingkat
kepatuhan penderita minum OAT.
Jika dianalisis lebih lanjut, dari 4 variabel dukungan keluarga yang diteliti (dorongan
berobat, adanya keluarga yang menghindari penderita, bantuan transport dan
perhatian atas kemajuan pengobatan) terhadap kepatuhan minum OAT, maka
pengaruh masing-masing variabel dapat digambarkan dalam tabel berikut.

Tabel 16. Besar pengaruh variabel dukungan keluarga terhadap kepatuhan penderita minum OAT
Variabel dukungan keluarga Beta P
Dorongan berobat 0,347 0,000
Menghindari penderita 0,311 0,000
Bantuan transport 0,423 0,000
Perhatian atas kemajuan pengobatan 0,429 0,000

Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap
kepatuhan minum obat penderita adalah perhatian atas kemajuan pengobatan,
disusul bantuan transport, dorongan berobat dan keluarga tidak menghindari
penderita yang sakit TB.

DISKUSI
Sebagian besar penderita berusia antara 21-50 tahun, hal ini sesuai dengan
berbagai penelitian yang menyimpulkan penyakit TB Paru terutama ditemukan pada
usia produktif (Crofton, 1999; Reichman 2000; Enarson, 2004). Pada penelitian ini
didapatkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki, tingkat pendidikan sampel
terbanyak adalah berpendidikan menengah (SLTP dan SLTA). Persentase
pendidikan ini menyerupai gambaran penduduk kota Surabaya, di mana sebagian
besar penduduk Surabaya berpendidikan menengah (SLTP dan SLTA) (Data
kependudukan kota Surabaya, 2004).
Dalam penelitian ini ditemukan dukungan keluarga yang dilakukan anggota
keluarga dengan mendorong penderita untuk berobat secara teratur, memperhatian
kemajuan pengobatan penderita, memberi bantuan transport dan tidak menghindari
penderita yang sakit TB. Perilaku patuh minum OAT dinilai dari:
1. Sisa OAT pada penderita sesuai dengan jumlah yang seharusnya
2. PMO menyatakan bahwa pasien meminum OAT setiap hari
3. Pasien menyatakan bahwa ia meminum OAT setiap hari. Ketiga data tersebut
didapat dari instrumen pengumpul data berupa lembar observasi dan catatan
mingguan oleh petugas pada saat melakukan kunjungan ke rumah penderita TB
yang menjadi peserta penelitian.
9

Pengaruh dukungan keluarga dalam keberhasilan pengobatan banyak diteliti


para peneliti, antara lain: Elvi Syahrina (Univeritas Syah Kuala, 2005) menemukan
hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat penderita depresi di
Keutapang Dua Banda Aceh. Dieter Naber (Jerman, 2007) pada penelitiannya
terhadap pasien psikiatri menemukan adanya dukungan keluarga yang menjalian
hubungan yang harmonis dengan pasien psikiatri, menyatakan pasien diuntungkan
lebih dari sekedar obat saja, dukungan keluarga juga membantu pasien tetap baik
dan patuh meminum obatnya.
Basaria Hutabarat (2007)9 menemukan pengaruh peran keluarga terhadap
kepatuhan minum obat penderita Kusta di Kabupaten Asahan. Berbagai teori
tentang kepatuhan berobat dan usaha agar berperilaku patuh berobat dikemukakan
beberapa penulis, antara lain :
1). Kepatuhan berobat sangat dipengaruhi oleh perilaku penderita
2). Cara terbaik mengubah perilaku adalah dengan memberikan informasi serta
diskusi dan partisipasi dari penderita (Sarwono, 1993; Notoadmodjo, 1997);
3). Agar perilaku penderita lebih patuh dibutuhkan memperkuat driving force dengan
menggalakkan persuasi dan memberi informasi (teori Force field Analysis dari
Lewis).

Dukungan keluarga dalam penelitian ini adalah dengan mendorong penderita


agar patuh meminum obatnya, memberi dorongan keberhasilan pengobatan dan
tidak menghindari penderita karena penyakitnya. Bila dukungan keluarga
mengingatkan agar meneruskan pengobatan secara teratur bagi keluarga yang sakit
tidak diberikan, bagi penderita penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan yang
lama, dapat terjadi kegagalan pengobatan penderita. Hal ini bisa terjadi seperti pada
penelitian Anderson (1986) di Hongkong seperti dikutip Niven (2002), yang
menyatakan bahwa hanya rata-rata 31% saja dari informasi yang diterima pasien
pada awal pengobatan yang diingat sampai selesai pengobatan penyakitnya. Juga
dapat terjadi karena lamanya waktu yang dibutuhkan harus memenuhi nasihat untuk
patuh minum obat seperti yang dinyatakan Sackett dan Snow (1979) dikutip oleh
Abraham (1997) yang menyatakan: derajat ketidak-patuhan rata-rata 50% dan
derajat tersebut bertambah buruk sesuai waktu. Leg dan Spelman (1967) seperti
dikutip Abraham (1997) menyatakan bahwa 37,5% penderita TB yang ditelitinya
gagal meminum OAT, pada penelitian ini didapatkan 20,1% memiliki sisa obat tidak
sesuai dengan yang seharusnya (tabel 12).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan diskusi penelitian ini menyimpulkan bahwa
dukungan keluarga dapat meningkatkan kepatuhan minum OAT penderita TB Paru.
Analisis regresi ordinal dari 4 variabel dukungan keluarga menunjukkan
bahwa yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan kepatuhan minum
OAT penderita TB Paru adalah perhatian atas kemajuan pengobatan, disusul
dengan bantuan transportasi, dorongan berobat dan tidak menghindarnya keluarga
dari penderita TB tersebut.
10

DAFTAR PUSTAKA

1. Reichman LB; SH.Earl. 2000. Tuberculosis. A Comprehensive International Approach. 2nd


Edit.Marcel Dekker, Inc.New York.
2. Abraham C, Shanly E. 1997. Dari perilaku sampai keyakinan sehat. Dalam: Psikologi Sosial untuk
Perawat. Alih Bahasa: Leoni SM. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta 26-34.
3. Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.Cetakan ke
8. Jakarta.
Pilheu JA. 1998. Tuberculosis: Problems and Solutions. Int J Tuberc Lung Dis.2:696-703.
4. Abiyoso, Siswanto. 1999. Penyebab putus berobat penderita tuberculosis rawat jalan di RSUD
Dr. Saiful Anwar. Makalah Konas VIII PDPI, Batu.
5. Enarson DA; CY.Chiang; JF.Murray. 2004. Global epidemiology of Tuberculosis. In:Tuberculosis.
Editors: Rom WN; Garay SM. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. pp 13-30.
6. Arikunto S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu pendekatan praktek. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
7. Azwar Saifuddin. 2000. Sikap dan Perilaku dalam Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya.
Edisi 2 . Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 3-15.
8. Balai Pengobatan dan Pemberantasan Penyakit Paru (BP4) Surabaya, Dinas Kesehatan Propinsi
Jawa Timur. 2003. Laporan perkembangan Pelayanan tahun 2002-2003. Surabaya.
9. Basaria H. 2007. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap kepatuhan minum obat
penderita Kusta di Kabupaten Asahan. http.//library.usu.ac.id.disitasi 22/7/2008
10. Benett N; Kucerts A. 1996. Isoniazid in: The use of antibiotics. 4th Edition. William Heinemann
Medical Books, London; 1351-82.
11. Bimo W,2002. Perlaku Manusia. Dalam : Psikologi Sosial. Penerbit Andi Yogyakarta.Edisi ke 3,
13-17.
12. Cole ST; A.Talenti. 1995. Drug resistant in Mycobacterium tuberculosis. Eur Respir J. 54: 24-28.
13. Crofton J; N.Horne; F.Miller. 1999. Clinical tuberculosis. The Mac Milan Press, London.
14. Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke
5. Jakarta.
15. DirJend P2M PLP Departemen Kesehatan RI. 1999. Gerakan terpadu nasional. Stop TB.
Jakarta.
16. Earnest M; JA.Sbarbaro. 1996. Tuberculosis: Adherence to Regimen and Directly Observed
Therapy. In: Tuberculosis. Editors: Rom WN; Garay SM. Boston. Little Brown & Co. pp.927-34.
17. Graeff JA; PE.John; MB.Elizabeth. 1996. Komunikasi Untuk Kesehatan dan Perubahan Perilaku.
Terjemahan: Hasanbasri M.Gajah Mada University Press.
18. Hutapea TP. 1997. Proposal of tuberculosis control programme in Indonesia.The Research
Institute of Tuberculosis, Japan Anti Tuberculosis Association, Tokyo.
19. Irawan S, 2002. Metode Penelitian Sosial. Suatu Teknik Penelitian bidang Kesejahteraan Sosial
dan Ilmu Sosial lainnya. Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
20. Kam KM; CW.Yip. 2001. Surveillance of Mycobacterium tuberculosis drug resistance in
Hongkong. Int J Tuberc Lung Dis. 87: 15-20
21. Kerlinger FN. 2003. Asas-asas Penelitian Behavioral. terjemahan: Landung RS.Gajah Mada
University Press.
22. Khuhawar MY; FMA.Rind. 2002. Liquid chromatographic determination of isoniazid, pyrazinamide
and rifampicin from pharmaceutical preparations and blood. Journal of Chromatography B,
766:367-363.
23. Laode M. 2004. Pengaruh Gender terhadap kepatuhan minum obat penderita Tuberkulosis
dengan menggunakan program DOTS di Kabupaten Purworejo. Tesis. Program Pascasarjana
UGM.Yogyakarta.
24. Lee KW; JM.Lee; KS.Jung. 2001. Characterization of pncA mutation of Pyrazinamide resistant
Mycibacterium tuberculosis in Korea. J.Korean Med Sci. 48:34-38.
25. Leonard NH; RW.Scholl. 1999. Work Motivation: The incorporation of self based Processes.
Human Relation, 52: 969-998.
26. Ngatimin H.M.Rusli. 2005. Ilmu Perilaku Kesehatan. Sari dan Aplikasi. Yayasan “PK-3” Makassar.
27. Niven Neil, 2002. Perlaku Kesehatan, Dalam : Psilokogi Kesehatan. Edisi ke-2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. 183-199.
28. Notoatmodjo S, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. NurAlam F.
2002. Analisis faktor budaya dalam keluarga yang mempengaruhi pengobatan dini dan
keteraturan berobat penderita kusta (studi pada keluarga penderita kusta di Kabupaten Gresik).
Program Pascasarjana Unair.
11

29. Otok S. 1997. Resitensi primer kuman M.tuberkulosis terhadap obat Streptomisin, INH,
Rifampisin dan Etambutol di Balai Pengobatan dan Pemberantasan Penyakit Paru (BP4)
Surabaya.Karya Akhir PPDS Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR.
30. Sarwono SW, 1993. Pendidikan kesehatan dan beberapa model perubahan perilaku.Dalam:
Sosiologi Kesehatan. Gajah Mada University Press.
31. Soedarsono. 2005. Resistensi Obat Tuberkulosis: Problema dan Penatalaksanaannya.dalam:
Simposium TB, tropical Disease Center (TDC) Unair. Surabaya.
32. Tety R. 2008.Pengaruh dukungan sosial dan pengetahuan tentang penyakit TB terhadap motivasi
untuk sembuh penderita Tuberkulosis Paru yang berobat di Puskesmas. Puslitbang system dan
kebijakan kesehatan. http://diglib.litbang. depkes.go.id. disitasi 02/09/2008
33. Wu X: J.Zhang; Y.Zhuang. 1999. Molecular mechanism of drug resistance in Mycobacterium
tuberculosis clinical isolated. Clin Med J. 114: 18-22.
34. WHO/IUATLD. 1999-2002. Anti Tuberculosis drug resistant in the World. The WHO/IUATLD
Global Project on Anti Tuberculosis Drug Resistance Surveillance.
35. Yessica HT. 2004 Hubungan persepsi dan pengetahuan orang tua tentang penyakit Tuberkulosis
dengan kepatuhan pengobatan Tuberkulosis pada anak di Kabupaten Purworejo. Program
Pascasarjana UGM.
36. Yew WW; CH.Chau. 1995. Drug Resistant TB in 1990. Eur Respir J. 124: 26-29

RR
Correspondence : Tahan P.Hutapea, Saiful Anwar General Hospital, Jl. Jaksa Agung
Soeprapto No.2 Malang East Java, Email:drtphutapea@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai