Anda di halaman 1dari 26

KEKERASAN TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA

(Studi Kasus tentang Kekerasan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri)

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Kewiraan tahun Akademik 2007/2008 dari Dosen Ir. Agus Benyamin

Disusun Oleh :
Wahyu Ghazali Nuku : 053050017
Delabes Ricky Oktari : 073050001
Dian Fitriyani : 073050003
Frans Pranata : 073050009
Siti Maryam Khoirunnisa : 073050016
Sapta Ari Wijaya : 073050019

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2007
JAMINAN KEAMANAN TENAGA KERJA INDONESIA
DI LUAR NEGERI

A. Pendahuluan

Akhir-akhir ini, dengan mencuatnya masalah tenaga kerja

Indonesia yang bekerja di luar negeri semakin menambah beban

persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Baik yang menyangkut

ketidakadilan dalam perlakuan pengiriman tenaga kerja oleh

Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PPJTKI),

penempatan yang tidak sesuai, standard gaji yang rendah karena tidak

sesuai kontrak kerja yang disepakati, kekerasan oleh pengguna tenaga

kerja, pelecehan seksual dan lain-lainnya seperti tenaga yang tidak sah

atau illegal.

Berdasarkan data yang dihimpun Konsorsium Buruh Migran

Indonesia (Kopbumi), pada tahun 2002 tercatat kasus kekerasan

terhadap TKI : sebanyak 37.508 orang (11,75 persen) mengaku terkena

masalah; penyiksaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, pemecatan

sepihak sampai gaji yang tidak dibayar. penelantaran (2.478), penipuan

(1.685), penyekapan (470) pelecehan seksual (31), pemerkosaan (27) serta

kematian (177).

Sedangkan menurut data Sementara Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi tahun 2002 mencatat sedikitnya dari 319.029 TKI, pulang

melalui Terminal 3 bandara Internasional Soekarno-Hatta,


Dari sekian banyak persoalan, jarang yang menempatkan persoalan

pendidikan sebagai salah satu faktor terjadinya proses kekerasan

terhadap TKI, padahal kalau dirunut secara seksama, faktor pendidikan

sangat penting dalam pertimbangan penentuan ''menjadi'' TKI di luar

negeri. Alasannya? Indikator tingkat pendidikan inilah yang acapkali

dijadikan ukuran penempatan (placement) tenaga kerja, yang notabene

sangat terkait dengan keamanannya di tempat mereka dipekerjakan.

Argumentasi tentang rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja

Indonesia yang bekerja di luar negeri seringkali menjadikan nasib TKI

semakin kurang menguntungkan. Meskipun alasan itu tidak seluruhnya

benar namun dari kenyataan yang ditemui di lapangan rata-rata yang

terkena musibah perlakuan ketidakadilan seperti penganiayaan,

pemerkosaan, dan berbagai perlakuan yang bersifat merugikan lainnya

kebanyakan mereka yang rata-rata tingkat pendidikannya kurang.

B. Pembahasan

Dapat digambarkan bahwa, Pekerja Indonesia dan Filipina paling

banyak melakukan kriminalitas di Malaysia maupun dinegara lain

dalam periode Januari hingga Maret 2007, kata Deputi Menteri

Keselamatan Dalam Negeri Mohd Johari Baharum, sebagaimana

dikutip harian Metro, di Kuala Lumpur, Selasa.

Dalam periode Januari hingga Maret 2007, ada 947 kasus

kriminalitas yang dilakukan oleh pekerja asing, kata Johari. Ia


mengungkapkan, ada 20 kasus pembunuhan yang dilakukan pekerja

asing, di antaranya, 10 kasus dilakukan pekerja Indonesia, Filipina 5

kasus, Myanmar 2 kasus, dan Vietnam dan Bangladesh masing-masing

1 kasus. Ada juga 24 kasus pelesehan seksual, sebanyak 16 kasus

dilakukan oleh pekerja Indonesia, 7 kasus dilakukan pekerja Filipina, 1

kasus Myanmar.

Menurut dia, pekerja Indonesia dan Filipina juga banyak terlibat

dalam kasus pemerasan dan ancaman dimana ada 10 dan 45 kasus.

Kasus pemerasan, ada 7 kasus yang dilakukan oleh pekerja Indonesia,

2 kasus Filipina dan 1 kasus pekerja Pakistan.

Menanggapi hal itu, atas penerangan KBRI Eka A Soeripto

mengatakan, wajar saja karena pekerja Indonesia merupakan pekerja

asing yang terbesar di Malaysia.

"Dari 1,8 juta pekerja asing, 1,2 juta merupakan pekerja Indonesia.

Itu yang legal, yang tidak legal kemungkinan pekerja Indonesia di

Malaysia mencapai dua juta orang," katanya.

Selain itu, ia mengemukakan, harus dilihat dulu mengapa

seorang pekerja asing hingga membunuh. "Sebagai contoh, ada

beberapa pekerja Indonesia terpaksa membunuh majikannya di

Terengganu Malaysia karena berbulan-bulan gajinya tidak dibayar.

Bicara baik-baik hingga keras dicuekin maka kemudian membunuh

majikannya," katanya.
Pemerintah Malaysia melarang pekerja asing kawin atau

membawa istri maka sulit bagi mereka untuk menyalurkan hasrat

seksnya. Akibatnya, banyak pekerja asing yang melakukan pelecehan

seksual.

Atase penerangan Eka A Soeripto mengungkapkan, menurut

kepala polisi Malaysia Musa Hassan, kepada pers, dari seluruh kasus

kriminal pada tahun 2006, hanya dua persen yang dilakukan pekerja

asing. Itu artinya, 98 persen kasus kriminal di Malaysia dilakukan oleh

orang Malaysia sendiri.

Dan, lanjut dia, menurut Deputi Menteri Keselamatan Dalam

Negeri Fu Ah Kiow, sebanyak 34 % dari 35.000 tahanan di Malaysia

merupakan pekerja asing. Itu berarti 66 % tahanan di Malaysia

merupakan orang Malaysia.

"Kalau bicara tahanan. Orang Indonesia yang ditahan itu

disebabkan karena masalah imigrasi, overstay dan ijin kerja. sebagian

besar bukan karena kriminal," katanya.

Penyebab terjadinya ketidakamanan yang diderita oleh para

TKI, khususnya tenaga kerja wanita (TKW) antara lain:

Pertama, tingkat pendidikan yang rendah. Dari sekian banyak TKI

yang bekerja di luar negeri rata-rata pendidikan tertinggi hanya

setingkat SLTA. Kondisi demikian ini yang menjadikan TKI kurang


bisa memberikan daya tawar kepada majikan atau perusahaan yang

memperkerjakannya. Karena keterbatasan pengetahuan, terutama

yang menyangkut tata kerja dan budaya masyarakat setempat.

Tingkat pendidikan juga akan sangat berpengaruh terhadap

penguasaan bahasa, akses informasi teknologi dan budaya dimana

mereka bekerja, terutama bagi TKI yang bekerja pada lembaga-

lembaga atau institusi seperti rumah sakit, restoran, pertokoan

maupun lembaga lain yang menjadikan bahasa sebagai alat

komunikasi adalah persoalan yang sangat krusial.

Ini berarti kualitas pendidikan seyogyanya menjadi

pertimbangan penting dalam mengirim tenaga kerja ke luar negeri,

dan ini pula seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk

membekali pendidikan ketrampilan kepada masyarakat.

Memang menjadi TKI bukanlah hanya pertimbangan skill atau

teknis keahlian semata, tetapi pemahaman dan wawasan terutama

budaya masyarakat tempat dimana mereka bekerja merupakan hal

yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena kualitas tenaga kerja dan

tingkat pendidikan selalu memiliki keterkaitan. Sinergisme demikian

ini bagi tenaga kerja Indonesia, khususnya yang bekerja di luar negeri

masih kurang.

Hal ini terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh The Political

and Economic Risk Consultancy (PERC), yang memposisikan kualitas


pendidikan Indonesia berada pada peringkat ke-12 setelah Vietnam

dengan score 6,56.

TKI yang memiliki tingkat pendidikan baik, kebanyakan mereka

terserap pada lembaga jasa seperti rumah sakit, pertokoan, restoran

dan lain sebagainya yang memang memerlukan keahlian khusus dari

pekerjanya. Tentunya ini sangat berkaitan dengan latar belakang

pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki. Dan pola

rekrutmennya biasanya dilakukan melalui lembaga-lembaga

pendidikan kejuruan yang memiliki jaringan kerja sama penempatan

tenaga kerja dengan luar negeri.

Lapisan ini pulalah yang nasibnya sedikit lebih beruntung,

berbeda jauh dengan mereka yang berangkat hanya berbekal nekat

tanpa dilengkapi bekal pendidikan dan keahlian yang memadai. Dari

segi penempatan pun, TKI yang mempunyai latar pendidikan pas-

pasan lebih banyak ditempatkan pada sektor informal seperti menjadi

pembantu rumah tangga, driver, pekerja kebun/ perkebunan dan lain

sebagainya.

Bukan berarti yang memiliki tingkat pendidikan tinggi tidak

menyentuh sektor pekerjaan kasar ini. Hasil survei penulis tentang

tenaga kerja Indonesia di luar negeri khususnya Malaysia dan Arab

Saudi di sebuah kecamatan di Kabupaten Pati Jawa Tengah

menunjukkan bahwa sepuluh dari seratus tenaga kerja Indonesia di


Luar negeri, khususnya di Malaysia dan Arab Saudi merupakan

lulusan perguruan tinggi (sarjana).

Kebanyakan mereka adalah laki-laki yang berasal dari keluarga

petani, sebagian kecil dari pedagang dan sebagian lagi keluarga

pegawai negeri sipil -khususnya guru- Meskipun tujuan utamanya

bukan menjadi tenaga kerja kasar di luar negeri, tetapi menjadi TKI

adalah sebagai "batu loncatan" sambil menunggu pekerjaan yang

dianggap sesuai dengan jenjang pendidikannya. Dan, menjadi

pegawai negeri sipil, adalah alternatif utama setelah bekerja di luar

negeri.

Tidak sedikit dari mereka yang merelakan uang dari jerih

payahnya bekerja di luar negeri untuk koneksi agar bisa diangkat

menjadi PNS. Begitulah, meskipun tidak semuanya yang

menggunakan uang ber-hasil lolos menjadi pegawai negeri, dan

akhirnya kembali merantau dengan jalan pintas.

Kedua, perilaku pengguna tenaga kerja yang kurang menghargai

dan menghormati hak-hak pekerjanya. Karakter keluarga atau majikan

yang keras acapkali menjadi sebab terjadinya kasus kekerasan. Ini

terjadi karena perbedaan budaya, ritme atau suasana kerja yang ada di

negara-negara di mana tempat TKI bekerja. Posisi tenaga kerja kita

yang sangat lemah, tidak memiliki keahlian yang memadai, sehingga

mereka hanya bekerja dan dibayar. Dengan demikian ada yang lebih
berkuasa dalam sistem kerja, yakni mereka yang memiliki uang.

Dalam hal ini adalah majikan atau perusahaan di mana mereka

dipekerjakan.

Ketiga, regulasi atau peraturan pemerintah yang kurang berpihak

kepada tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Hal ini terbukti belum

adanya aturan main termasuk di dalamnya belum disahkannya

Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia di Luar Negeri. Sementara Undang-Undang

Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, masih berkutat pada

persoalan pengaturan tenaga kerja di Indonesia, dan masih

mengandung banyak persoalan yang cenderung menghambat

terbentuknya fleksibilitas pasar. Antara lain, berkaitan dengan pekerja,

outsourcing, penggunaan jasa tenaga kerja, pembayaran gaji, dan

larangan bekerja malam bagi perempuan di bawah usia 18 tahun. Juga,

masih terjadi dualisme kebijakan terhadap bursa tenaga kerja di

Indonesia, terutama berkaitan dengan tingkat pendidikannya.

Tenaga Kerja Wanita

Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan

pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna

menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Hal ini sesuai denagn undang-undang Nomor 14 tahun 1969, pasal 1


tentang ketentuan-ketentuan pakok mengenai tenaga kerja. GBHN 1988

dalam bidang peranan wanita dalam pembangunan bangsa, wanita baik

sebagai warga negara maupun sebagai sumber instansi bagi

pembangunan mempunyai hak,kewajiban dan kesempatan yang sama

dengan pria disegala bidang kehidupan bangsa dalam segenap kegiatan

pembangunan. Demikian juga jika tenaga kerja wanita yang bekerja di

perusahaan atau pabrik maupun yang menjual jasa dari tenaganya, harus

mendapat perlindungan yang baik atas keselamatan, kesehatan, serta

kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan

martabat manusia dan moral agama. Hal ini telah diterapkan dalam pasal

10 UU No.1969, yang berlaku baik tenaga kerja pria maupun wanita yang

menyebutnya bahwa pemerintah membina perlindungan kerja yang

mencakup :

a. Norma Keselamatan Kerja

b. Norma Kesehatan Kerja dan hygiene perusahaan

c. Norma Kerja

d. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitas dalam hal

kecelakaan kerja

Pemerintah mempunyai kewajiban membina perlindungan kerja

bagi tenaga kerja Indonesia, dan tidak membedakan antara tenaga kerja

laki-laki dan tenaga kerja wanita. Undang-undang No. 14 tahun 1969,

pasal 2 menyebutkan bahwa : “ Didalam menjalankan undang-undang ini


serta peraturan pelaksaannya tidak boleh diadakan diskrininasi”. Namun

dalam kenyataan menunjukkan bahwa ada peraturan-peraturan atau

ketentuan yang hanya diperuntukkan sifat kodrat wanita, yang pada saat

tertentu mengalami haid, hamil, melahirkan dan sebagainya. Mengingat

hal demikian pemerintah membina perlindungan kerja yang khusus bagi

tenaga kerja wanita.

Perlindungan kerja bagi tenaga kerja wanita

A. Secara umum hak dan kewajiban bagi tenaga kerja laki – laki

maupun wanita adalah sama, seperti halnya

a. Pengaturan jam kerja / kerja lembur

Didalam Undang – Undang nomor 1 tahun 1951 tentang

pernyataan berlakunya Undang – Undang Nomor 12 tahun 1948 pasal 10

ayat 1 mengatakan : “ Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari

7 jam sehari dan 40 jam seminggu “.

Ini berarti bahwa waktu kerja dibatasi hanya dalam jangka waktu 7

jam sehari dan 40 jam seminggu. Kenyataannya banyak perusahaan yang

memperkerjakan pekerjaannya melebihi ketentuan tersebut diatas. Hal

tersebut diperbolehkan asal ada izin dari Departemen Tenaga Kerja

sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 peraturan pemerintah No 4

tahun 1951 pasal II sub pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : Dengan

izin dari kepala jawatan perburuhan atau yang ditunjuk olehnya, bagi

perusahaan yang penting untuk penbangunan negara, majikan dapat


mengadukan aturan waktu kerja yang menyompang dari pasal 10 ayat 1,

kalimat pertama ayat dua dan tiga Undang – Undang kerja tahun 1948.

Didalam surat keputusan izin penyimpangan waktu kerja dan waktu

istirahat dicantumkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh pihak

pengusaha. Pengaturan tentang kerja lembur tersebut diatur dalam

keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP. 608/MEN/1989 tentang : “

Pemberian izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat bagi

perusahaan – perusahaan yang memperkerjakan pekerjaan 9 jam sehatri

dan 54 jam seminggu “.

b. Waktu kerja dan waktu istirahat

Pengaturan jam kerja diatur dalam Undang - Undang No. 1 tahun

1951, pasal 10 ayat dan ayat 3 :

- Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus

diadakan waktu istirahat yang sedikit–dikitnya ½ jam lamanya diadakan

waktu istirahat tidak termasuk waktu jam bekerja.

- Untuk tiap–tiap minggu harus diadakan sedikitnya satu hari istirahat.

Hal ini dimaksudkan agar para pekerja setelah menjalankan pekerjaan

didalam batas waktu tertentu setelah mendapat istirahat agar dapat

segera menghadapi pekerjaan selanjutnya, dan diharapkan produktivitas

kerja akan naik dengan terjaminnya keselamatan dan kesehatan kerja.

c. Pengaturan istirahat / cuti tahunan


Bagi tenaga kerja yang sudah memiliki masa kerja 12 bulan

berturut–turut berhak untuk mendapat istirahat / cuti tahunan. Hal ini

diatur dalam Undang–Undang No. 1 tahun 1951 pasal 14 peraturan

pemerintah No. 21/54 dan diperluas dengan surat keputusan menteri

tenaga kerja dan Tranmigrasi No. 69/MEN/80 tentang perluasan

lingkungan istirahat tahunan bagi buruh. Dalam pasal 14 disebutkan

bahwa:

- Setelah waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13 buruh

menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari suatu

organisasi harus diberi izin untuk beristirahat sedikit-dikitnya dua

minggu tiap-tiap tahun.

- Pemberian waktu istirahat tersebut disesuakan dengan jumlah hari

masuk kerja selama 1 tahun.

d. Jaminan sosial dan Pangupahan

Agar para pekerja dapat menjalankan pekerjaanya dengan

semangat dan bergairah, masalah jaminan sosial dan pengupahan perlu

diperlukan oleh perusahaan. Jaminan sosial yang dimaksud antara lain

jaminan sakit ,hari tua, jaminan kaesehatan, jaminan perumahan, jaminan

kematian dan sebangainya. Mengenai jaminan sosial ini sudah diatur

secara normatip didalam perundangan, sehingga bagi perusahaan yang

belum atau tidak memenuhi standard yang sudah ditetapkan dapat

dikenakan sangsi. Perihal perlindungan upah diatur dalam peraturan


pemerintah No. 8 tahun 1981, antara lain mengatur tentang upah yang

diterima oleh para pekerja apabila pekerja sakit, halangan atau kesusahan.

Disamping itu diatur pula tentang larangan diskriminasi antara tenaga

kerja laki-laki dan tenaga kerja wanita didalam hal menetapkan upah

untuk pekerjaan yang sama nilainya.

B. Perlindungan yang sifatnya khusus untuk tenaga kerja wanita

a. Kerja malam

Kebutuhan dari beberapa sektor industri menuntut tegara kerja

wanita bekerja malam hari. Berdasarkan peraturan perundangan pada

prinsipnya tenaga kerja wanita dilarang untuk bekerja pada malam

hari, akan tetapi mengingat berbagai alasan, maka tenaga kerja wanita

diizinkan untuk bekerja pada malam hari antara lain : a. alasan sosial,

b. alasan teknis, c. alasan ekonomis.

Ketentuan yang mengatur kerja malam tenaga kerja wanita

pada pasal 7 ayat 1 UU No. 12 tahun 1984 yang menetapkan : “ Orang

wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali

jikalau pekerjaan itu menurut sifat , tempat, dan keadaan seharusnya

dijalanka oleh wanita”. Tata cara mempekerjakan tenaga kerja wanita

pada malam hari telah dikeluarkan dengan peraturan Menteri Tenaga

Kerja R.I./ No. Per.04/MEN/1989 yang terdiri dari lima pasal, antara

lain, harus ada izin dari Depnaker setempat dengan dengan syarat

yang harus dipenuhi, misalnya : mutu produksi harus lebih baik bila
memepekerjakan wanita, pengusaha harus menjaga keselamatan,

kesehatan dan kesusilaan ( tidak boleh mempekerjakan wanita dalam

keadaan hamil, ada angkutan antar jemput dan sebagainya ),

penyediaan makanan ringan, ada izin dari orang tua / suami dan lain–

lain. Namun Kenyataan masih banyak perusahaan yang belum

melaksanakan peraturan tersebut misalnya tenaga kerja wanita tidak

disediakan angkutan antar jemput malainkan datang sendiri ke tempat

kerja.

b. Cuti haid

Bagi wanita yang normal dan sehat, pada usia tertentu akan

mengalami haid. Didalam prakteknya, banyak wanita yang sedang

dalam masa haid tetap bekerja tanpa gangguan apapun. Tetapi kalau

keadaan fisiknya tidak memungkinkan sehingga yang bersangkutan

tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini diatur dalam UU

No. 1 tahun 1951, pasal 13 ayat 1 dinyatakan: Buruh wanita tidak boleh

diwajibkan bekerja pada hari pertama dan hari kedua waktu haid.

Pelaksaan dari ketentuan tersebut diatur* dalam peraturan pemerintah

No. 4 tahun 1951, pasal 1 sub pasal 1 ayat 2 : dalam menjalankan

aturan tersebut dalam UU No. 1 tahun 1951 pasal 13 ayat 1, maka

majikan dianggap tidak mengetahui tentang keadaan haid dari

buruhnya, bila yang bersangkutan tidak memberitahukan hal itu

kepadanya.
c. Cuti hamil, melahirkan dan gugur kandungan

Bagi tenaga kerja wanita yang hamil, dilindungi oleh UU dalam pasal

13 ayat 2 dan ayat 3 yang menyatakan :

- Buruh wanita harus diberi istirahat selama saru setengah bulan

sebelum saatnya ia melahirkan menurut perhitungan dan satu

setengah bulan setelah melahirkan anak atau gugur kandungan.

Ketentuan tersebut dinyatakan berlaku dengan peraturan

pemerintahan No. 4 tahun 1951 pasal 1 sub pasal 1 yang berbunyi :

bagi tenaga kerja yang akan menggunakan hak cutinya diwajibkan :

- Mengajukan permohonan yang dilampiri surat keterangna dokter,

bidan atau keduanya tidak ada, dapat dari pegawai pamong praja atau

sederajatnya camat.

- Permohonan diajukan selambatnya 10 hari sebelum waktu cuti mulai.

Cuti sebelum saatnya melahirkan dimungkinkan untuk diperpanjang

apabila ada keterangan dokter yang menerangkan bahwa yang

bersangkutan perlu mendapatkan istirahat untuk menjaga

kehamilannya. Perpanjangan waktu istirahat sebelum melahirkan

memungkinkan sampai selama – lamanya tiga bulan.

d. Kesempatan menyusukan anak

Bagi tenaga kerja wanita yang masih menyusukan anak. Harus

diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anak. Didalam


penjelaskan pasal 13 ayat 4 tersebut ditentukan bahwa dipikirkan oleh

pemerintah kemungkinan mengadakan tempat penitipan anak.

e. Pengapusan perbedaan perlakuan terhadap tenaga kerja

wanita Peningkatan perlindungan bagi tenaga kerja wanita, dapat

dilihat pula dengan adanya beberapa ketentuan yang menghapuskan

adanya pebedaan perlakuan terhadap tenaga kerja wanita. Adapun

ketentuan tersebut adalah :

- UU No. 80 tahun 1957 tentang retifikasi konvensi ILO No. 100 tahun

1954 mengenai upah yang sama antara laki–laki dan wanita untuk

pekerjaan yang sama nilainya. Dalam prakteknya benyak sekali

keluhan dari para pekerja wanita tersebut, misalnya :

a. tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan

tambahan atas beban perusahaan,

b. adanya distriminasi atas pengupahan yang sama untuk masa

kerja yang sama dan oekerjaan yang sama nilainya, dan sebagainya.

- Peraturan pemerintah No. 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah

yang menyatakan adanya pemberian sanksi terhadap pelanggaran

ketentuan yang telah ditetapkan tersebut.

- Peraturan menteri tenaga kerja No.per.04/MEN/1989 tentang

larangan PHK bagi tenaga kerja wanita karena hamil atau melahirkan.

Peraturan menteri ini memuat bahwa pengusaha tidak boleh

mengurangi hak–hak tenaga kerja wanita yang karena hamil dan


karena fisik dan jenis pekerjaan tersebut tidak memungkin dikerjakan

olehnya. Artinya walaupun pekerja tersebut cuti dan tugasnya

dialihkan kepada orang lain, namun haknya untuk mendapatkan upah

tetapa tiap bulan dan jika ia sudah dapat bekerja lagi maka upah

tersebut harus diterima kembali. Apabila perusahaan tidak

memungkinkan untuk melaksakan peraturan tersebut, pengusaha

wajib memberikan cuti diluar tanggungan perusahaan sampai timbul

hak cuti hamil seperti yang telah ditetapkan oleh pasal 13 UU No. 1

tahun 1951. Apabila perusahaan melanggar ketentuan yang telah

disebutkan diatas pengusaha dapat diancam atau didenda setinggi-

tingginya seratus ribu rupiah sesuai dengan pasal 17 UU No. 14 tahun

1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja pada

pasal 6 peraturan mentei No.03/MEN/1989.

Dualisme ketenagakerjaan di Indonesia biasanya ditandai

dengan dua masalah dasar:

Pertama, terjadinya kelebihan tenaga kerja kasar, tenaga non-ahli

yang tingkat pendidikannya rendah. Kedua, sedikit atau terbatasnya

persediaan atau permintaan tenaga ahli. Biasanya untuk posisi yang

demikian ini selalu diduduki pekerja yang memiliki tingkat

pendidikannya tinggi. Implikasinya adalah, banyak tenaga kerja asing

(TKA) yang bekerja di Indonesia (import tenaga kerja), sementara di


sisi lain Indonesia banyak mengirim tenaga kerja kasar ke luar negeri

yang jumlahnya sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah TKA

di Indonesia.

Menurut data Proyeksi dari Biro Pusat Statistik dan Depnaker -

sekarang Depnakertrans, jumlah TKA terus naik dari tahun ke tahun.

Tahun 1999 saja misalnya terdapat 146.953 orang dengan total upah

6,17 miliar dolar AS.

Sementara jumlah TKI di luar negeri saat ini, seperti di Arab

Saudi saja terdapat 335 ribu TKI, jumlah sebesar itu terdiri 305

perempuan sementara hanya 30 ribu laki-laki, yang bermasalah

sebanyak 400 orang perempuan (Kedaulatan Rakyat, 22/10/2003).

Yang mengejutkan, sumbangan TKI ter hadap devisa pada tahun 2002

saja sudah mencapai angka 1.029 juta dolar AS.

Karena jumlah pengangguran semakin besar, Survei Angkatan

Kerja Nasional (2001) mencatat lebih dari 38 juta jiwa penganggur, jika

dilihat dari tingkat pendidikannya adalah pengangguran terdidik yang

berpendidikan SLTP hingga perguruan tinggi.

Untuk itu melakukan kemitraan atau kerja sama antarlembaga

pendidikan yang memiliki keahlian bidang tertentu dengan lembaga-

lembaga pendidikan adalah salah satu pilihan untuk mempersiapkan

dan menjamin keamanan bila ingin menjadi TKI di luar negeri. Seperti

yang telah dilakukan beberapa SMK di Yogyakarta, bekerjasama


dengan PPJTKI dan beberapa perusahaan di Malaysia, Singapura,

Korea, Taiwan serta Jepang.

Begitu juga perguruan tinggi kejuruan, sekarang sudah banyak

yang menjajagi serta menjalin kerja sama dengan luar negeri terutama

berkaitan dengan penempatan tenaga kerjanya. Kondisi ini dirasa

lebih menguntungkan meskipun prosesnya sedikit memakan waktu,

berkaitan proses studi, dan pembiayaan pendidikannya. Karena, selain

mereka bisa mempersiapkan diri untuk berkompetisi di dalam negeri

mereka juga mempunyai peluang yang besar bekerja di luar negeri.

Memang, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tingkat

pendidikan TKI yang tinggi terbebas dari ancaman ketidakamanan,

tetapi paling tidak dengan bekal pengetahuan yang dimilikinya akan

bisa membantu menaikkan bergaining possition terhadap kejadian-

kejadian yang mengancam keamanannya.

Di samping itu DPR dan pemerintah secepatnya mengesahkan

Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia. Selama ini perlindungan pemerintah hanya berupa

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.104A/2002,

yang disinyalir lebih berpihak kepada PPJTKI, bukan pada TKI.

Sementera Toary Worang (Kepala Perwakilan Bidang Konsuler

telah membuat edaran tentang Resiko tenaga kerja illegal, di mana

disebutkan bahwa berdasarkan surat edaran Nomor: 907/05/XII/2004


tentang Resiko Menjadi tenaga Kerja Indonesia/TKI Illegal (tidak sah)

dijelaskan bahwa; Istilah TKI Ilegal umumnya dipakai untuk

menyebut orang Indonesia yang bekerja ke luar negeri tanpa

menggunakan cara yang sesuai dengan peraturan dan tidak memiliki

dokumen sah.

Mengapa Bisa Ilegal? Hal ini karena; 1) Sejak berangkat tidak

melalui prosedur yang benar, hanya berbekal paspor atau bahkan

tanpa paspor sama sekali alias masuk ke negara lain secara gelap; 2)

Berangkat ke luar negeri dengan tujuan bekerja namun tidak memiliki

visa kerja, melainkan menggunakan visa kunjungan sementara yang

masa berlakunya terbatas; 3) Sewaktu berangkat ke luar negeri

memang melalui prosedur resmi dan memiliki dokumen sebagai TKI,

namun dari tempat kerjanya semula kemudian berpindah-pindah atau

melarikan diri ke tempat kerja lain tanpa mengurus dokumen kerja

yang baru; 4) Dokumen kerja dan izin tinggal di negara itu telah habis

masa berlakunya namun yang bersangkutan terus bekerja atau tinggal

di negara itu tanpa memperpanjang dokumennya.

Sedangkan bahaya dan risiko menjadi TKI Ilegal kerana: a)

Sponsor atau orang yang menjanjikan pekerjaan sering melarikan uang

yang disetor calon TKI; b) Dalam proses penampungan dan perjalanan

ke luar negeri TKI diperlakukan tidak manusiawi. c) Jika tertangkap

aparat akan ditindak; Majikan membayar upah TKI lebih rendah dari
yang seharusnya atau malah tidak membayar; d) Majikan bebas

memperlakukan TKI semau-maunya, tidak manusiawi, dan membatasi

hak-hak TKI; Di luar negeri TKI selalu merasa was-was khawatir

ditangkap polisi; e) Jika tertangkap aparat di negara setempat, TKI

ilegal langsung dipenjara dan dideportasi (dipulangkan secara paksa)

ke perbatasan Indonesia; dan f) Jika TKI mengalami musibah, sakit

atau kecelakaan, tidak ada santunan asuransi.

Oleh karena itu, saran-saran dan imbauan KBRI kepada seluruh

TKI dan ABK seperti yang berada di Selbar, Samoa dan Tonga: a) Para

TKI/ABK diharuskan tinggal dan bekerja secara legal, yaitu dengan

memiliki visa  kerja (work visa/permit), paspor RI yang sah dan masih

berlaku serta kontrak kerja yang jelas;b) Jika terjadi masalah yang

terkait dengan kontrak kerja, misalnya mengenai gaji  atau perlakuan

kasar oleh majikan, para TKI/ABK diminta untuk memperhatikan dan

melakukan hal-hal sbb;

Pertama; Menyelesaikan masalah secara musyawarah dengan

pihak majikan. Jika tidak membuahkan hasil, TKI/ABK ybs dapat

menghubungi KBRI guna meminta bantuan. Bantuan yang dapat

diberikan KBRI antara lain sebagai penterjemah atau menjadi

penengah dalam penyelesaian masalah/ sengketa yang muncul. KBRI

tidak memberikan bantuan dalam bentuk uang atau materi lainnya;


Kedua; Menghindari  cara/tindak kekerasan terhadap majikan

dengan alasan apapun. Tindak kekerasan hanya akan membawa

konsekuensi hukum, yaitu kemungkinan pelaku akan segera dihukum

dan ditahan dan selanjutnya dipulangkan ke Indonesia;

Ketiga; Tidak pindah pekerjaan atau majikan secara sepihak atau

diam-diam. Jika hal ini dilakukan maka ybs akan segera berstatus

sebagai  tenaga kerja ilegal (hal ini sudah sering dilakukan oleh ABK di

Selandia Baru yang pada akhirnya dideportasi oleh pemerintah

Selandia Baru). Pindah majikan juga bisa mengakibatkan TKI/ABK

ybs kehilangan haknya atas gaji dan hak lainnya sebagaimana telah

diatur dalam kontrak.

Dari pengalaman yang ada, beberapa ABK yang bekerja di

Selandia Baru memutuskan melarikan diri dari kapal dan bekerja di

tempat lain (al sebagai pemetik buah dan sayur) setelah mendengar

bujukan orang luar dan tergiur dengan besarnya penghasilan yang

akan diperoleh jika bekerja di tempat lain;

Keempat; Jika karena satu dan lain hal ada TKI/ABK yang

ditahan, diadili dan hendak dipulangkan (dideportasi) oleh pihak

imigrasi, maka jangan ragu untuk menghubungi KBRI;

Kelima; Patut diperhatikan bahwa dalam memberikan bantuan

dan perlindungan kepada WNI di luar negeri, pihak KBRI selalu


menghormati dan tidak dapat melanggar segala peraturan, ketentuan

dan hukum yang berlaku di negara setempat;

Keenam; Setibanya di Selandia Baru, Samoa ataupun Tonga, para

TKI dan ABK diharuskan untuk melakukan hal-hal sbb:a) melaporkan

kedatangannya ke KBRI (bidang konsuler); b) memberikan fotocopy

kontrak kerja yang dimiliki ke KBRI (jauh lebih baik jika KBRI telah

menerima fotocopy kontrak kerja jauh sebelum kedatangan TKI/ABK

ybs); c) memberikan data-data  (nama dan nomor telepon)

perusahaan/majikan yang mempekerjakan mereka serta Perusahaan

Pengerah Tenaga Kerja (PJTKI) di Indonesia yang mengirim mereka ke

Selandia Baru, Samoa atau Tonga.

Segera setelah kontrak kerja berakhir dan ijin tinggal (visa kerja)

telah habis, para TKI/ABK diharuskan untuk memperpanjangnya

dengan majikan ybs atau PJTKI  di Indonesia dan dengan badan

imigrasi negara setempat. Jika tidak dapat dilakukan di  negara

tersebut, diharapkan ABK ybs segera pulang ke Indonesia dan

mengurus perpanjangan kontrak kerja serta visa kerja agar dapat

kembali tinggal dan bekerja secara legal

C. Kesimpulan

Dari uraian yang dikemukakan di atas, ada beberapa hal yang

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :


1. Akhirnya, informasi yang transparan terhadap eksistensi TKI di

luar negeri adalah hal yang sangat penting, begitu juga pendidikan

calon TKI yang difasilitasi pemerintah. Transparansi informasi

memiliki nilai positif agar mereka yang berkeinginan bekerja di

luar negeri mampu membekali dirinya dengan keahlian atau

ketrampilan, sehingga mereka tidak hanya berbondong-bondong

bekerja ke luar negeri hanya terbius oleh bayangan yang

menggiurkan saja. Tetapi melihat pekerjaan yang aman sebagai

modal untuk kehidupan masa depan yang kuat, sebagaimana

dikatakan Mahatma Gandhi: "Kalau modal adalah kekuatan,

demikian pula bekerja".

2. Tenaga kerja Indonesia dituntut memiliki kemampuan dan skill

yang dibutuhkan agar dapat bekerja di luar negeri dengan posisi

penting dan tidak dipandang rendah yang akan membawa resiko

dalam hidupnya.

3. Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dituntut untuk memahami

dan mematuhi ketentuan-ketentuan yang sudah ditentukan agar

tidak mendatangkan resiko yang dapat merenggut nyawa.

4. Pihak sponsor pengirim tenaga kerja Indonesia harus mem

pertimbangkan dan menjamin keamanan dan memberikan

perlindungan agar tenaga kerja tidak menjadi sasaran penyiksaan

yang dapat membahayakan hidupnya.


5. Pemerintah harus ketat dan konsisten dalam menerapkan aturan

yang sudah dibuat agar terjamin keamanan tenaga kerja Indonesia

di luar negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo.SH,Dardji,Prof.dkk.1991.Santiaji Pancasila.Usaha

Nasional:Surabaya

www.google.com

www.kapanlagi.com

Anda mungkin juga menyukai