Tax Planning atau Perencanaan Pajak dapat didefenisikan sebagai upaya manajemen
keuangan untuk meminimalkan biaya pajak dengan merancang investasi, jenis usaha dan
sistem pencatatan pendapatan dan biaya mana yang menghasilkan beban pajak yang paling
kecil. Tax Planning sering pula disamakan dengan Tax Management atau manajemen pajak
yang didefinisikan sebagai sarana memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi
jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan
likuiditas yang diharapkan (Lumbantoruan,1994).
1. Tax Avoidance (Penghindaran Pajak): Usaha meminimalkan biaya pajak masih dalam
koridor Undang-Undang dan peraturan yang berlaku.
Kita jangan pernah berpikir melakukan tax evasion karena beresiko dituntut secara pidana
dan sanksi hukumnya sangat berat baik secara denda finansial, aset kita dapat dilelang
secara paksa, hukuman cekal belum lagi hukuman kurungan. Sebisa mungkin juga kita tidak
melakukan aggressive tax planning karena secara psikologis akan membuat aparatur pajak
menjadi antipati terhadap kita. Kita akan banyak mendapat pengawasan dan permintaan data
yang membuat compliance cost menjadi besar.
Kita dapat melakukan penghematan pajak dengan cara yang sederhana namun tetap dapat
memberikan hasil yang maksimal sebagai berikut:
1. Lapor pajak tepat waktu dan tepat perhitungannya >> Hindari sanksi telat lapor, telat
bayar dan kurang bayar.
2. Mendaftarkan NPWP >> UU PPh baru (UU No 36 Th 2008) memberikan tarif pajak
yang lebih tinggi kepda Wajib Pajak yang tidak mempunyai NPWP.
Usaha orang pribadi tarifnya progresif 5%-35% sedangkan untuk badan tarifnya tunggal 28%
dengan fasilitas UU PPh pasal 31 E yaitu pengurangan 50% PPh badan untuk bagian yang
beromset dibawah Rp. 4,8 M. Sehingga bila beromset besar, sebaiknya lebih memilih bentuk
badan. Bentuk Firma memiliki keuntungan dengan tarif tunggal dan tidak dipajakinya bagi
hasil usaha ke pemilik namun firma tidak bisa membiayakan gaji direksi seperti PT selain itu
sulit bila ingin mengembangkan modal di pasar saham atau obligasi. Sayangnya koperasi
walaupun dianggap sebagai pendorong ekonomi rakyat tidak memiliki fasilitas seperti firma
dimana tetap ada pemajakan final 10% pada SHU yang diberikan pada anggotanya.
Ilustrasinya dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini.
1. Memilih metode rata-rata tertimbang dibanding FIFO untuk persediaan bila terjadi
inflasi.
2. Memilih metode penyusutan saldo menurun metode garis lurus bila ada trend
penurunan tarif pajak.
3. Lebih baik menyewa aset atau leasing daripada membeli aset >> Bila menyewa biasa
dapat mengkreditkan PPN Masukan tiap bulan, dan tagihan sewa semuanya, tidak
seperti bila membeli aset biasa yang pembiayaannya melalui depresiasi. Bila leasing,
biaya angsuran tiap bulan dapat dibiayakan namun keuntungannya ada PPN Masukan
di awal yang cukup besar untuk cash saving dan perusahaan dapat mennghemat biaya
administrasi karena pembayaran angsuran capital lease dikecualikan dari pemotongan
PPh 23 dan PPN. (KMK No 1169/1991)
1. Dapat dimanfaatkan dengan cara memecah usaha yang berlaba besar menjadi
beberapa unit untuk mendapat tarif pemajakan yang lebih kecil (fasilitas UU PPh pasal
31 E, tarif 14% untuk badan dengan omset kurang dari Rp. 4,8 Milyar)
2. Aset dipecah-dipecah ke berbagai anak perusahaan untuk mendapat tarif PBB lebih
rendah (dimana asessment ratio 20% untuk NJOP di bawah Rp. 1 Milyar)
1. Memastikan PPN Masukan dan PPh yang dipungut pihak ketiga dapat dikreditkan
>>Bila tidak dapat dikreditkan, merupakan biaya bagi perusahaan dan akhirnya akan
membebani harga jual.
2. Memohon sentralisasi PPN>>Untuk menghemat biaya administrasi dan resiko faktur
pajak masukan cacat.
3. Investasi pada negara yang memiliki tax treaty dengan Indonesia untuk menghindari
pengenaan pajak yang sama di lebih dari 2 negara
4. Sinergi industri hulu-hilir untuk menghindari pengenaan PPNBM berkali-kali untuk
produk yang sama, misalnya loudspeaker dan TV sama-sama dikenakan PPNBM
5. Penyertaan modal pada PT dihindar dalam bentuk tanah dan bangunan untuk
menghindari BPHTB
1. Mengadakan Advance Pricing Agreement dimana ada harga trasfer pricing yang
merupakan kesepakatan WP dan pihak fiskus.
2. Memperhatikan peraturan mengenai Debt Equity Ratio untuk menghindari koreksi UU
PPh pasal 18 ayat 1
3. Investasi pada negara yang memiliki tax treaty dengan Indonesia untuk menghindari
pengenaan pajak yang sama di lebih dari 2 negara.