Anda di halaman 1dari 14

Antimikroba dari Tumbuhan (Bagian

Kedua)
Sumber: Berita Iptek Topik: Pangan Tags: Antimikroba, dinding sel, Enzim,
lipofilat, mikrosidal, mikrostatik

Pada bagian kedua tulisan ini penulis mencoba menguraikan mekanisme kerja
penghambatan senyawa antimikroba dan faktor-faktor yang mempengaruhi
aktivitas antimikroba dalam pengolahan pangan.

Mekanisme Kerja Penghambatan Senyawa Antimikroba

Keefektifan penghambatan merupakan salah satu kriteria pemilihan suatu


senyawa antimikroba untuk diaplikasikan sebagai bahan pengawet bahan
pangan. Semakin kuat penghambatannya semakin efektif digunakan. Kerusakan
yag ditimbulkan komponen antimikroba dapat bersifat mikrosidal (kerusakan
tetap) atau mikrostatik (kerusakan sementara yang dapat kembali). Suatu
komponen akan bersifat mikrosidal atau mikrostatik tergantung pada konsentrasi
dan kultur yang digunakan.

Mekanisme penghambatan mikroorganisme oleh senyawa antimikroba dapat


disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) gangguan pada senyawa
penyusun dinding sel, (2) peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat
menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktivasi enzim,
dan (4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik.

1. Menggangu pembentukan dinding sel

Mekanisme ini disebabkan karena adanya akumulasi komponen lipofilat yang


terdapat pada dinding atau membran sel sehingga menyebabkan perubahan
komposisi penyusun dinding sel. Terjadinya akumulasi senyawa antimikroba
dipengaruhi oleh bentuk tak terdisosiasi. Pada konsentrasi rendah molekul-
molekul phenol yang terdapat pada minyak thyme kebanyakan berbentuk tak
terdisosiasi, lebih hidrofobik, dapat mengikat daerah hidrofobik membran protein,
dan dapat melarut baik pada fase lipid dari membran bakteri.

Beberapa laporan juga meyebutkan bahwa efek penghambatan senyawa


antimikroba lebih efektif terhadap bakteri Gram positif daripada dengan bakteri
Gram negatif. Hal ini disebabkan perbedaan komponen penyusun dinding sel
kedua kelompok bakteri tersebut. Pada bakteri Gram posiitif 90 persen dinding
selnya terdiri atas lapisan peptidoglikan, selebihnya adalah asam teikoat,
sedangkan bakteri Gram negatif komponen dinding selnya mengandung 5-20
persen peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida, dan
lipoprotein.
2. Bereaksi dengan membran sel

Komponen bioaktif dapat mengganggu dan mempengaruhi integritas membran


sitoplasma, yang dapat mengakibatkan kebocoran materi intraseluler, seperti
senyawa phenol dapat mengakibatkan lisis sel dan meyebabkan deaturasi
protein, menghambat pembentukan protein sitoplasma dan asam nukleat, dan
menghambat ikatan ATP-ase pada membran sel.

3. Menginaktivasi enzim

Mekanisme yang terjadi menunjukkan bahwa kerja enzim akan terganggu dalam
mempertahankan kelangsungan aktivitas mikroba, sehingga mengakibatkan
enzim akan memerlukan energi dalam jumlah besar untuk mempertahankan
kelangsungan aktivitasnya. Akibatknya energi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan menjadi berkurang sehingga aktivitas mikroba menjadi terhambat
atau jika kondisi ini berlangsung lama akan mengakibatkan pertumbuhan
mikroba terhenti (inaktif).

Efek senyawa antimikroba dapat menghambat kerja enzim jika mempunyai


spesifitas yang sama antara ikatan komplek yang menyusun struktur enzim
dengan komponen senyawa antimikroba.

Corner (1995) melaporkan bahwa pada konsentrasi 0,005 M alisin (senyawa aktif
dari bawang putih) dapat menghambat metabolisme enzim sulfhidril. Minyak
oleoresin yang dihasilkan dari kayu manis, cengkeh, thyme, dan oregano dapat
menghambat produksi ethanol, proses respirasi sel, dan sporulasi khamir dan
kapang.

4. Menginaktivasi fungsi material genetik

Komponen bioaktif dapat mengganggu pembentukan asam nukleat (RNA dan


DNA), menyebabkan terganggunya transfer informasi genetik yang selanjutnya
akan menginaktivasi atau merusak materi genetik sehingga terganggunya proses
pembelahan sel untuk pembiakan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Antimikroba dalam Pengolahan


Pangan

Kemampuan senyawa antimikroba untuk menghambat aktivitas pertumbuhan


mikroba dalam sistem pangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya temperatur, pH (keasaman), ketersediaan oksigen, dan
interaksi/sinergi antara beberapa faktor tersebut.

1. Temperatur
Pengaruh temperatur terhadap aktivitas pertumbuhan mikroba telah diketahui
sejak lama, terutama pemakaian pada suhu tinggi (pemanasan) dan suhu
rendah (pendinginan dan pembekuan).

Minyak cengkeh dan minyak sage dengan konsentrasi satu persen mampu
menurunkan jumlah sel L. monocytogenes sebanyak 2 log pada suhu 4oC
selama 14 hari penyimpanan, bila dibanding pada suhu 24 oC selama 24 jam
(Ting & Deibel, 1992). Minyak atsiri dari kayu manis, pala, thyme, dan cengkeh
mempunyai efek bakteristatik dan bakterisidal terhadap E. coli, S. aureus, L.
monocytogenes, Salmonella enteridis, dan C. jejuni lebih baik pada suhu 4oC
dibanding suhu 35oC (Palmer et al. 1998).

Aktivitas antimikroba dengan menurunkan suhu mencapai 4oC akan lebih efektif
menghambat pertumbuhan beberapa strain bakteri. Mekanisme penghambatan
disebabkan oleh terhambatnya aktivitas enzim pada suhu rendah dan penetrasi
minyak atsiri lebih efektif pada suhu rendah terhadap membran sel sehingga
akan mempengaruhi keseimbangan komposisi sel.

2. Keasaman (pH)

Mekanisme penghambatan yang berhubungan dengan penurunan pH


menunjukkan bahwa bentuk tak terdisosiasi semakin efektif. Penghambatan
yang terjadi melalui difusi yang cepat molekul tak terdisosiasi melalui membran
plasma. Bentuk tak terdisosiasi suatu komponen antimikroba akan semakin
mengakibatkan proton lebih cepat masuk ke dalam sel.

Jika pH diturunkan (asam) maka proton yang terdapat dalam jumlah tinggi dalam
medium akan masuk ke dalam sitoplasma sel. Sehingga proton ini harus
dikeluarkan untuk mencegah terjadinya pengasaman dan denaturasi komponen-
komponen sel. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan gradien
konsentrasi sehingga memerlukanenergi. Semakin rendah pH semakin
dibutuhkan energi dalam jumlah tinggi untuk menghilangkan proton tersebut dan
lama-kelamaan sel akan mengalami kematian.

3. Interaksi (sinergi)

Kemampuan senyawa antimikroba untuk menghambat pertumbuhan mikroba


akan semakin efektif jika dalam suatu pengolahan melibatkan beberapa faktor
pengolahan yang saling bersinergi antara satu faktor pengolahan dengan faktor
lainnya.

Adanya interaksi sinergi beberapa faktor pengolahan pangan untuk


mengawetkan produk olahan pangan telah menciptakan teknologi hurdle
(rintangan). Teknologi ini melibatkan interaksi temperatur, aw (water activity),
pH, potensial redok, dan bahan pengawet (senyawa antimikroba) berperan nyata
terhadap kestabilan produk pangan.
Kesimpulan

Pada akhir-akhir ini terjadinya penurunan penggunaan aditif kimia dalam


pengolahan makanan karena faktor kesehatan meyebabkan perhatian penelitian
penggunaan bahan-bahan alami sebagai bahan pengawet makanan semakin
meningkat, salah satunya adalah penggunaan bahan pengawet alami dari
tanaman.

Aplikasi penggunaan senyawa antimikroba dari tanaman sebagai pengawet


makanan merupakan potensi besar yang dapat dikembangkan. Penggunaannya
baik secara tunggal, kombinasi dengan bahan antimikroba lainnya, dan
interaksi/sinergi dengan faktor pengolahan pangan lainnya.

Ekplorasi senyawa-senyawa baru dengan memanfaatkan keanekaragaman


hayati sumber tanaman Indonesia merupakan potensi besar yang perlu
dikembangkan. Semoga!

Sumber bacaan:

1. Corner, DE. 1995. Naturally occuring compounds in Antimicrobial in Food.


Eds., by Davidson PM & Branen AL, Eds. Marcell Dekker, Inc., New York, pp.
441-468.

2. Palmer, SA., Stewart J., Fyfe, L. 1998. Antimikrobial properties of plant


essential oils and essences againts five important food-borne pathogen. Letters
Appl. Microbiol. 26: 118-122.

3. Ting, EWT & Deibel, KE. 1992. Sensitivity of Listeria monocytogenes to spices
at two temperature. J. Food Safety 12: 19-137.

Sambungan

Melihat kondisi ini Sedarnawati Yasni dan Hanny Dulimarta, peneliti dari Institut Pertanian Bogor
(IPB) membuat terobosan minuman kesehatan yang dikenal dengan Cinna-ale (jahe), demikian
dijelaskan oleh Kepala Humas IPB, drh Agus Lelana di Bogor, Selasa.

"Minuman kesehatan ini terdiri dari rempah-rempah asli Indonesia," katanya dan menambahkan
bahwa ramuan Kayu Manis dan jahe (Cinna-Ale) hasil penelitian itu berpotensi sebagai
Antioksidan dan Antimikroba

Bahan yang diambil dari bumi Indonesia ini memiliki karakteristik warna merah, aroma dan rasa
yang khas. Nama Cinna-ale berasal dari nama latin kayu manis (Cinnamomum burmannii) dan
jahe (Zingiber officinale).
Selain mengembangkan produk Cinna Aale, kedua Dosen Departemen Teknologi Pangan dan
Teknologi Industri IPB ini, juga meneliti aspek komponen aktif, aktivitas antioksidan dan
antimikrobanya.

Cinna-Ale terdiri dari campuran 17 macam rempah-rempah, yaitu jahe, kayu secang, cabai jawa,
kayu manis, sereh, lada putih, lada hitam, daun pandan, cengkeh, kembang pala, adas manis,
kapulaga besar, kapulaga kecil, jintan hitam, pekak dan kayu mesoyi.

Secara umum proses pembuatan Cinna-ale meliputi penyiapan bahan baku, ekstraksi,
penyaringan, dekantasi (pengendapan), pembotolan, dan sterilisasi.

Komponen aktif yang dikandung oleh minyak atsiri formula Cinna-ale diantaranya ialah trans-
kariofilena, eugenol, miristin, N-terpinena, 1,8-sineol, terpineol, Z-sitral, geranial, 3-karena, 1-
limonena, dan N-pinena.

Kesebelas komponen yang terdeteksi tersebut sangat berperan bagi kesehatan tubuh manusia,
yaitu dapat mencegah masuk angin, batuk, influensa, rematik, muntah-muntah, memperlancar
pencernaan, mengurangi keletihan tubuh dan sebagai antidiare.

Di samping itu, Cinna-ale berpotensi besar sebagai antioksidan alami.

Aktivitas antioksidan minyak atsiri formula Cinna Ale yang terukur IC50 = 56.70. Aktivitas
antioksidan Cina ale ini lebih besar dibandingkan dengan aktivitas antioksidan sintetik butylated
hydroxytoluene (BHT), yaitu IC50 = 60.81.

Antioksidan dapat berfungsi untuk menangkal radikal bebas, membentuk kompleks dengan
logam pro-oksidan, bahan pereduksi dan memutuskan formulasi oksigen singlet sehingga
melindungi tubuh dari penyakit degeneratif seperti kanker, penyakit jantung koroner, dan
diabetes.

Hal ini dibuktikan dari hasil uji in vivo dengan menggunakan tikus Sprague Dawley jantan.
Minuman kesehatan Cinna-ale 10% (w/v) dengan pH 5.74 dan total padatan terlarut 3.830Brix
cukup efektif, menurunkan kadar kolesteraol serum darah pada dosis 1 ml/hari.

Aktivitas antimikroba minyak atsiri ini terhadap mikroba perusak dan patogen menunjukkan
bahwa Cinna-ale memiliki kemampuan mengawetkan, sehingga tidak perlu lagi menambahkan
bahan pengawet dan mencegah terjadinya keracunan makanan.
Hal ini terlihat dari aktivitas antimikrobnya yang sangat peka menghambat pertumbuhan
Salmonella thypii (bakteri Gram negatif penyebab tipus), Bacillus cereus, dan Staphilococcus
aureus (bakteri Gram positif penyebab gangguan pencernaan).

Keunggulan Teknologi Cinna-ale dapat dikonsumsi dalam keadaan panas, hangat, ataupun
dingin dengan efek hangat di badan yang tetap dapat dirasakan. Cinna-ale tersebut dibuat dari
bahan-bahan alami yang terrdiri atas rempah-rempah asli Indonesia, memiliki rasa yang disukai
dan daya awet yang cukup baik.

Cinna Ale juga memiliki khasiat untuk kesehatan tubuh terutama mencegah masuk angin, batuk,
influensa, rematik, muntah-muntah, melancarkan pencernaan, mengurangi keletihan tubuh, dan
sebagai antidiare.

Selain itu, minuman ini bisa mencegah terjadinya oksidasi di dalam tubuh manusia, sehingga
dapat melindungi tubuh dari penyakit degeneratif seperti kanker, penyakit jantung koroner, dan
diabetes.

Produk Cinna-ale merupakan upaya dalam diversifikasi produk rempah-rempah, harganya dapat
bersaing dengan minuman lain yang sudah ada di pasaran. Produk ini juga akan mendukung
peningkatan citra produk pangan tradisional Indonesia.

Saat ini baru dikembangkan Cinna-ale instan dengan teknik spray dying dengan kadar formula 10
persen (w/v) dan bahan pengisi maltodekstrin 5 persen (b/v), serta total padatan terlarut berkisar
antara 3.03 -3.750Brix.

"Temuan dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan-bahan alami dari tumbuhan di
Indonesia harus terus dikembangkan karena ternyata punya manfaat secara luas bagi
masyarakat," demikian Agus Lelana.

Sambungan II

Antimikroba dari Tumbuhan (Bagian


Pertama)
Sumber: Berita Iptek Topik: Pangan Tags: Antimikroba, carvacrol, thymol

Sejak lama manusia telah dihadapkan oleh kerusakan atau penurunan mutu
bahan pangan, terutama bahan pangan yang mengandung kandungan air dan
gizi yang tinggi. Penambahan bahan pengawet pada makanan merupakan salah
satu cara yang dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan
pada bahan pangan. Bahan pengawet untuk mencegah kerusakan biologi yang
disebabkan oleh mikroorganisme disebut dengan antimikroba.

Beberapa bahan pengawet atau komponen antimikroba telah digunakan sejak


lama. Bahan atau zat pengawet kimia atau sintetis tersebut antara lain nitrit,
paraben, asam benzoate, asam sorbat, asam propionat, dan lain-lain, akan tetapi
pemakaian penggunaan zat-zat tersebut masih menimbulkan berbagai keraguan
dari aspek kesehatan, apalagi jika penggunaannya melebihi dosis/jumlah yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.

Tingginya permintaan konsumen pangan terhadap pangan agar bebas dari


penambahan senyawa-senyawa kimia sintetis memunculkan berkembangnya
metode-metode pengawetan dengan menambahkan komponen atau zat
pengawet alami. Contoh-contoh pengawet diantaranya adalah asam-asam
organic yang dihasilkan dari fermentasi buah-buahan, bakteri asam laktat, dan
komponen-komponen minyak atsiri dari ekstrak tumbuhan (rempah-rempah,
tanaman tahunan, dan rumput-rumputan).

Fungsi utama penggunaan rempah-rempah dalam pengolahan pangan adalah


sebagai bahan pemberi citarasa khas pada makanan. Beberapa penelitian
terakhir menunjukkan bahwa rempah-rempah ternyata mempunyai aktivitas
antimikroba. Tanaman atau rempah-rempah secara empiris mempunyai aktivitas
antimikroba dan secara tradisional telah banyak digunakan untuk
pengobatan. Sediaan bentuk segar, ekstrak, dan minyak atsiri digunakan
sebagai obat anti-radang, analgesik, dan obat anti-diare. Sediaan dalam bentuk
ekstrak atau minyak atsiri mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri
pathogen dan penyebab kerusakan bahan pangan.

Usaha untuk mencari sumber antimikroba baru, terutama tanaman indigenus


yang terdapat di Indonesia terus dilakukan. Tumbuhan yang digunakan secara
tradisional dapat dijadikan sebuah alternatif pencarian senyawa antimikroba,
karena pada umumnya memiliki senyawa aktif yang berperan sebangai senyawa
antimikroba.

Pada bagian pertama tulisan ini, penulis mencoba menguraikan komponen-


komponen antimikroba tumbuhan dan pada tulisan bagian kedua terdiri dari
mekanisme kerja penghambatan senyawa antimikroba dan faktor-faktor yang
mempengaruhi aktivitas antimikroba dalam pengolahan pangan.

Komponen-komponen antimikroba tumbuhan

Komponen antimikroba adalah suatu komponen yang bersifat dapat


menghambat pertumbuhan bakteri atau kapang (bakteristatik atau fungistatik)
atau membunuh bakteri atau kapang (bakterisidal atau fungisidal). Zat aktif yang
terkandung dalam berbagai jenis ekstrak tumbuhan diketahui dapat menghambat
beberapa mikroba patogen maupun perusak makanan. Zat aktif tersebut dapat
berasal dari bagian tumbuhan seperti biji, buah, rimpang, batang, daun, dan
umbi.

Komponen aktif yang terdapat pada bawang putih mempunyai efek


penghambatan terhadap beberapa mikroba patogen seperti Staphylococcus
aureus, E. coli, dan Bacillus cereus dan menghambat produksi toksin dari
Clostridium botulinum tipe A dengan menurunkan produksi toksinnya sebanyak 3
log cycle.

C. Botulinum adalah bakteri berspora yang dapat memproduksi toksin pada


kondisi yang memungkinkan, dapat dihambat pertumbuhannya oleh minyak
bunga dan biji pala, minyak daun salam, minyak lada hitam dan lada putih
dengan konsentrasi 125 ppm. Laporan lain juga menyebutkan bahwa ekstrak
minyak lada dapat menghambat pertumbuhan S. aureus, E. coli, dan Candida
albicans.

Komponen aktif yang terdapat pada minyak thyme diantaranya thymol, carvacrol,
(ro)-cymene, dan (gamma)-terpiene diketahui mempunyai efek sebangai
senyawa antimikroba terhadapa pertumbuhan bakteri. Bakteri-bakteri yang
dapat dihambat pertumbuhannya antara lain Salmonella sp., S. aureus, E. coli,
Listeria monocytogenes, Campylobacter jejuni, dan B. Cereus. Dari laporan
tersebut dapat juga diperoleh informasi bahwa bakteri gram positif lebih sensitif
dibanding dengan bakteri gram negatif.

Efek penghambatan senyawa antimikroba dari rempah-rempah tidak hanya


dapat menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi dapat juga menghambat
pertumbuhan khamir seperti Candida albican dan Sacharomyces cerevisiae.
Komponen-komponen aktif pada minyak thyme, minyak sage, minyak rosemary,
minyak cumin, minyak caraway, dan minyak cengkeh dapat menghambat khamir
dengan konsentrasi 0,5-2.0 (mg/mL).

Bakteri dalam bentuk sel vegetatif lebih sensitif dibanding dalam bentuk
sporanya, hal ini dibuktikan oleh Ultee et al. (1998) yang meneliti efek
penghambatan komponen carvacrol yang terdapat pada minyak thyme dan
oregano terhadap pertumbuhan bakteri B. cereus.

Pada konsentrasi 1,75 mmol/L bentuk sel vegetatif lebih sensitif dibanding
bentuk sporanya. Hal ini disebabkan struktur spora yang lebih komplek
dibanding bentuk sel vegetatif, seperti adanya komponen asam dipikolinat yang
dapat melindungi spora terhadap gangguan faktor lingkungan (suhu dan pH
ekstrim). Lebih lanjut Ultee et al. (1998) menyebutkan bahwa pada konsentrasi
1.75 mmol/L dapat mneghambat kecepatan pertum buhan B. cereus sehingga
fase lag diperpanjang. Semakin lama fase lag maka aktivitas B. cereus sebagai
penyebab kerusakan bahan pangan dapat dicegah.
Komponen-komponen antimikroba yang terdapat pada minyak cengkeh, minyak
kayu manis, minyak oregano, minyak thyme, minyak bawang putih, dan bawang
merah dapat menghambat spesies kapang diantaranya adalah Aspergillus
flavus, A. parasiticus, A. versicolor, A. ochraceus, Candida sp., Crytococcus sp.,
Rhodotorulla sp., Torulopsis sp., dan Tricosporon sp.

Kapang adalah mikroorganisme penyebab kerusakan bahan pangan terutama


biji-bijian dan produk tepung-tepungan dengan kadar air rendah. Beberapa
spesies kapang dapat menghasilkan toksin (mikotoksin) adalah Aspergillus sp.,
Penicllium sp., dan Fusarium sp., yang dapat menghasilkan aflatoksin, patulin,
okratoksin, zearalenon, dan okratoksin. — (bersambung).

Sumber bacaan;
Ultee A, Gorris LGM, Smid EJ. 1998. Bacterial activity of carvacrol toward the
food-borne pathogen Bacillus cereus. J. Appl. Microbiol: 213-218

Sambungan III

BUMBU SEBAGAI ANTIMIKROBA


By kutankrobek

PENDAHULUAN

Produk pangan harus tetap dijaga kualitasnya selama penyimpanan dan


distribusi, karena pada tahap ini produk pangan sangat rentan terhadap
terjadinya rekontaminasi, terutama dari mikroba patogen yang berbahaya bagi
tubuh dan mikroba perusak yang dapat menyebabkan kerusakan pada makanan.

Salah satu cara untuk menjaga kualitas pangan adalah dengan menambahkan
bahan aditif berupa zat antimikroba dalam bentuk rempahrempah. Rempah-
rempah merupakan bahan tambahan yang tidak asing lagi bagi masyarakat
Indonesia dan banyak digunakan sebagai bumbu dalam makanan tradisional.
Rempah-rempah adalah tanaman atau bagian tanaman yang dapat
dimanfaatkan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering.

Rempah-rempah yang digunakan dalam kegiatan pengolahan makanan sehari-


hari dengan konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan tetapi pada
konsentrasi tersebut rempah-rempah dapat membantu bahan-bahan lain yang
dapat mencegah pertumbuhan mikroba pada makanan. Efek penghambatan
pertumbuhan mikroba oleh suatu jenis rempah-rempah bersifat khas. Setiap
jenis senyawa antimikroba mempunyai kemampuan penghambatan yang khas
untuk satu jenis mikroba tertentu Beberapa jenis rempah-rempah yang diketahui
memiliki aktivitas antimikroba yang cukup kuat adalah bawang merah (Johnson
dan Vaughn, 1969), Bawang putih (Thomas, 1984), cabe merah (Dewanti, 1984),
jahe (Jenie et al, 1992), kunyit (Suwanto, 1983) dan Lengkuas (Rahayu, 1999)
(Rahayu, 2000). Ekstrak bawang merah mempunyai efek bakterisidal terhadap
Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae. Bubuk jahe mempunyai efek
bakterisidal terhadap Micrococcus varians, Leuconostoc sp., dan Bacillus
subtilis, serta bersifat bakteristatik terhadap Pseudomonas sp. dan Enterobacter
aerogenes. Ekstrak bawang putih mentah juga mempunyai aktivitas antimikroba
terhadap Escherichia coli, Staphylococcus sp, Proteus vulgaris, Bacillus subtilis,
Serratia marcescens, dan Shigella dysentriae (Astawan, 2010).

1. 1. LENGKUAS

LENGKUAS (Lenguas galanga atau Alpinia galanga) sering digunakan oleh para
ibu di dapur sebagai penyedap masakan. Selain itu lengkuas ternyata juga
punya peran dalam memperpanjang umur simpan atau mengawetkan makanan
karena aktivitas mikroba pembusuk. Pendeknya, lengkuas dapat berperan
sebagai pengganti fungsi seperti formalin.

Antimikroba

Peran lengkuas sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari kemampuan


lengkuas yang memiliki aktivitas antimikroba. Antimikroba adalah senyawa
biologis atau kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas mikroba,
khususnya mikroba perusak dan pembusuk makanan. Zat antimikroba dapat
bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat
pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat
pertumbuhan kapang), ataupun germisidal (menghambat germinasi spora
bakteri).

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar komponen di dalam


rempah-rempah bersifat sebagai antimikroba, sehingga dapat mengawetkan
makanan. Komponen rempah-rempah yang mempunyai aktivitas antimikroba
terutama adalah bagian minyak atsiri. Senyawa kimia yang terdapat pada
lengkuas antara lain mengandung minyak atsiri, minyak terbang, eugenol,
seskuiterpen, pinen, metil sinamat, kaemferida, galangan, galangol, dan kristal
kuning. Minyak atsiri yang dikandungnya antara lain galangol, galangin, alpinen,
kamfer, dan methyl-cinnamate.

Minyak atsiri memiliki aktivitas sebagai antijamur dan antibakteri (Elistina, 2005).
Minyak atsiri pada umumnya dibagi menjadi dua komponen yaitu golongan
hidrokarbon dan hidrokarbon teroksigenasi (Robinson, 1991 dalam Soetarno,
1990). Menurut Heyne (1987), senyawa-senyawa turunan hidrokarbon
teroksigenasi (fenol) memiliki daya anti bakteri yang kuat.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti di Jurusan Teknologi Pangan
dan Gizi, IPB yang dimotori oleh Winiati Pudji Rahayu misalnya telah
membuktikan bahwa lengkuas merah yang muda memiliki aktivitas antimikroba
yang tinggi, yaitu dengan daya hambat rata-rata 38,3 persen. Lengkuas ini
mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan perusak pada pangan
khususnya terhadap Bacillus cereus. Penelitian yang dilakukan terhadap ikan
kembung terbukti dapat memperpanjang masa simpan ikan kembung pada suhu
40 oC dari 5 hari menjadi 7 hari dengan menggunakan bubuk lengkuas 2,5
persen yang dikombinasikan dengan garam 5 persen.

Penelitian ini telah berhasil menemukan sebuah pengawet alami untuk membuat
makanan tetap segar dan tahan lama. Pemanfaatan lengkuas diharapkan
mampu memperpanjang masa simpan bahan pangan dan minuman tanpa
mengurangi kualitas dan lebih penting tidak berdampak buruk bagi kesehatan.
Pengawet alami ini jelas lebih murah dan mudah didapat di sekitar kita
( Anonymous a, 2010).

Hasil Penelitian lainnya (Pamungkas dkk, 2009) menunjukkan bahwa terdapat


perbedaan antara ikan kembung A yang dilumuri dengan pati lengkuas dengan
ikan kembung B yang tidak diberi perlakuan. Hal tersebut dikarenakan pada pati
rimpang lengkuas mengandung senyawa antimikroba berupa minyak atsiri dan
senyawa fenol. Mekanisme kerja antimikroba antara lain dengan jalan merusak
dinding sel, merusak membran sitoplasma, mendenaturasi protein sel dan
menghambat kerja enzim dalam sel. Kandungan tanin dan terpenoid dalam
rimpang lengkuas juga dapat menjaga kulitas serta menambah cita rasa gurih
bahan yang diawetkan.

Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran akan
mengalami lisis. Seperti senyawa antimikroba lainnya, mekanisme kerja fenol
adalah menghambat pertumbuhan dan metabolisme bakteri dengan cara
merusak membran sitoplasma dan mendenaturasi protein sel. Sehingga
senyawa tersebut dapat bersifak bakterisidal atau bakteriostatis, bergantung
dosis yang digunakan (Parwata dan F.Feny,2008).

Menurut Corn dan Stumpf (1976) dalam Pudjiarti (2000) menyatakan bahwa
fenol merupakan suatu alkohol yang bersifat asam lemah sehingga disebut juga
asam karbolat. Sebagai asam lemah senyawa-senyawa fenolik juga dapat
terionisasi melepaskan ion Hˉ dan meninggalkan gugus sisanya yang bermuatan
negatif. Kondisi yang bermuatan negatif ini akan ditolak oleh dinding sel bakteri
garam positifyang secara alami juga bermuatan negatif. Kondisi yang asam pada
senyawa tersebut menyebabkan fenol dapat bekerja menghambat pertumbuhan
bakteri.

1. 2. Bawang Putih

Berdasarkan uji fitokimia tersebut, diketahui bahwa seluruh bentuk ekstrak


bawang putih tidak mengandung flavonoid. Akan tetapi seluruh ekstrak
mengandung tannin, alkaloid, dan saponin.Sejak tahun 1858, Louis Pasteur telah
menyatakan bahwa bawang putih mempunyai sifat antibakteri (Anonymous,
2004).
Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri juga didukung oleh penelitian
Yamada dan Azama (1977) yang menyatakan bahwa selain bersifat antibakteri,
bawang putih juga bersifat antijamur. Kemampuan bawang putih ini berasal dari
zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut adalah
Allicin. Allicin berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai
pertumbuhan jamur dan bakteri (Anonymous, 2004).

Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri juga didukung oleh penelitian


Yamada dan Azama (1977) yang menyatakan bahwa selain bersifat antibakteri,
bawang putih juga bersifat antijamur. Kemampuan bawang putih ini berasal dari
zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut adalah
Allicin. Allicin berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai
pertumbuhan jamur dan bakteri (Anonymous, 2004).

Alkaloid dari ekstrak bawang putih mengandung racun yang mampu


menghambat pertumbuhan bakteri atau dapat menyebabkan sel bakteri menjadi
lisis bila terpapar oleh zat tersebut. Selanjutnya tannin yang juga terkandung
dalam ekstrak akan mengganggu sel bakteri dalam penyerapan protein oleh
cairan sel. Hal ini dapat terjadi karena tannin menghambat proteolitik yang
berperan menguraikan protein menjadi asam amino (Harborne, 1996).

ekstrak air bawang putih dan ekstrak murni bawang putih yang dilarutkan dalam
air dengan konsentrasi 75% menunjukkan pembentukan diameter hambat
terbesar terhadap Streptococcus yaitu masing-masing sebesar 28,25 mm dan
28,5 mm serta terhadap Clostridium yaitu masing-masing sebesar 27.5 mm dan
27.75 mm. Pada bakteri uji lain, ekstrak bawang putih dengan pelarut air dan
ekstrak air bawang putih hanya memberikan pada semua tingkat konsentrasi
hanya memberikan ukuran antara 6,5 mm hingga 9.75 mm.

Ektrak murni bawang putih dengan pelarut etanol dan ekstrak etanol bawang
putih pada konsentrasi 75 % ternyata menunjukkan diameter hambat yang
terbesar pada Clostridium yaitu masing-masing sebesar 27.5 mm dan 23 mm.
Pada Streptococcus, kedua jenis ekstrak ini juga masih memberikan diameter
hambat yang cukup besar yaitu sebesar masing-masing 19.5 mm. Ekstrak
bawang putih dengan pelarut etanol pada konsentrasi 75 % ternyata
berpengaruh juga terhadap Pleisomonas, yaitu memberikan diameter hambat
sebesar 22,25 mm.

1. 3. cengkeh

Dalam industri makanan cengkeh digunakan dalam bentuk bubuk atau produk
hasil ekstraksi dari bunga cengkeh seperti minyak cengkeh atau oleoresin.
Cengkeh digunakan untuk keperluan sehari – hari di rumah tangga sebagai
penambah rasa dan aroma khususnya untuk memasak, dan juga dalam industri
makanan dan minuman. Penggunaannya biasanya dalam bentuk bubuk, tetapi
ada juga penggunaan dalam bentuk utuh seperti untuk pembuatan pikel atau
asinan sayuran.

Penelitian lain menunjukan bahwa minyak cengkeh dapat digunakan sebagai


bahan aktif dalam antiseptic ruangan dalam bentuk spray. Dalam bentuk tunggal
maupun sebagai campuran dalam formula cairan antiseptik dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella hypemerium dan E. coli.

Berdasarkan hasil penelitian di Balittro (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan


Obat), produk cengkeh berupa daun, gagang bunga, minyak cengkeh dan
eugenol dapat menekan bahkan mematikan pertumbuhan miselium jamur, koloni
bakteri dan nematoda. Karena itu produk cengkeh dapat digunakan sebagai
fungisida, bakterisida, nematisida dan insektisida. Sebagai fungisida cukup
potensial terutama untuk jenis patogen tanah antara lain P. capsici, R. lignosus,
Sclerotium sp dan F. oxysporum. Sebagai antibiotic bakterisida eugenol
dilaporkan sangat efektif secara in – vitro terhadap beberapa bakteri antara lain :
Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus dan Escherisia coli. Sebagai nematisida
minyak cengkeh dan eugenol berpengaruh terhadap Melodogyne incognita dan
Rodopolus similis dalam konsenterasi yang tinggi yaitu 1 – 10%. Sebagai
insektisida eugenol pada konsenterasi 10% dapat menyebabkan A. fasiculatus
tidak menghasilkan keturunan (Asman et al .,1997)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous a. 2007. Lengkuas Pengganti Formailin.


http://rempahspice.wordpress.com/

Anonymous. 2004. Garlic A(llium sativum). Diakses dari http://www.

Dietsite.com/dt/alternativenutrition/Herbs/garlic.asp. akses tanggal 29 Maret


2010

Asman, A. M. Tombe dan D. Manohara, 1997. Peluang produk cengkeh sebagai

pestisida nabati. Monograf Tanaman Cengkeh. Balai Penelitian Tanaman


Rempah dan Obat. Hal 90 – 102.

Astawan, made. 2010. Makan Rendang Dapat Protein dan Mineral.


http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_ntrtnhlth_rendang.php

Elistina, M. D., 2005, Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Dari Daun

Sirih (Piper betle L), Skripsi, Jurusan Kimia, FMIPA,


Harborne. 1996. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terbitan Kedua. Terjemahan : K. Padmawinata dan I. Soediro.
Bandung : Penerbit ITB

Heyne K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia II, Badan Litbang Kehutanan,
Jakarta

Pamungkas, Ratih Nila. 2010. jurnal : Pemanfaatan Lengkuas Sebagai pengganti


Formalin. Universitas Negeri Malang

Parwata, Oka Adi dan F. Fanny Sastra Dewi. Jurnal : Isolasi dan Uji Aktivitas
Antibakteri Minyak Atsiri dari Rimpang Lengkuas. Jurusan Kimia FMIPA.
Universitas Udayana

Rahayu, Winiati Pudji. 2000. Pustaka Pangan.


http://www.iptek.net.id/ind/pustaka_pangan/index.php

Robinson, T., 1991, Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, a.b. Kosasih

Padmawinata, ITB, Bandung, h.132-136

Anda mungkin juga menyukai