Anda di halaman 1dari 3

KONTROVERSI KLONING MANUSIA

Pembicaraan seputar masalah kloning tidak akan pernah ada habisnya, karena kloning itu
sendiri masih mengalami metamorfosa agar menghasilkan sesuatu (makhluk hidup pada kloning
reproduksi/organ tubuh pada kloning terapeutik) yang sesuai dengan keinginan manusia.
“Seiring dengan kekuatan besar, datang tanggung jawab yang besar pula” sebuah pesan moral
dari film yang sangat terkenal, senada dengan pesan tersebut kloning pun berakibat demikian,
dimana keberadaan kloning itu sendiri menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan.
Sebenarnya kloning merupakan salah satu diantara bioteknologi, disamping kultur
jaringan dan rekayasa genetik. Sedangkan bioteknologi sendiri adalah istilah yang digunakan
untuk merujuk pada penggunaan sistem Biologi alami untuk menghasilkan suatu produk yang
diinginkan manusia, dan hal ini telah dilakukan sudah berabad-abad yang lalu. Misalnya tempe,
keju, tapai, dan yoghurt adalah produk Bioteknologi alami. Namun, pada perkembangan
selanjutnya penggunaan istilah Bioteknologi menjadi semakin luas dengan adanya kloning,
kultur jaringan dan rekayasa genetik. Misalnya vaksin dan obat-obatan adalah produk rekayasa
genetik.
Berdasarkan estimologi, istilah kloning atau klonasi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari
kata Klonus yang berarti ranting, stek atau cangkok. Pada hakikatnya kloning merupakan suatu
pembiakan vegetatif atau reproduksi aseksual bertujuan untuk menghasilkan individu baru yang
seragam. Individu hasil kloning tersebut disebut klon. Kloning pada tumbuhan telah berlangsung
sejak lama dan banyak dilakukan khususnya di bidang pertanian dengan tujuan untuk
memperbanyak tanaman melalui stek atau cangkok sehingga dihasilkan sejumlah tanaman yang
sama sifatnya, sekarang teknologi kultur jaringan tumbuhan (In Vitro) telah berkembang dengan
pesat sehingga kloning pada tumbuhan selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan kloning
pada hewan. Hal ini karena sifat totipotensi sel tumbuhan, baik sel somatik maupun sel
embrional pada umumnya lebih mudah untuk melakukan diferensiasi membentuk organ dan
individu baru (klon) daripada sel hewan. Disamping itu dampak sosial, etika maupun moral pada
kloning tumbuhan selama ini dipandang lebih ringan dibandingkan pada hewan.
Sebenarnya kloning juga seringkali terjadi di alam dan umumnya dilakukan oleh
organisme dalam rangka melestarikan jenisnya. Kloning alami tersebut banyak dilakukan oleh
organisme uniseluler dengan cara membelah diri (reproduksi aseksual) seperti pada bakteri,
amuba, paramecium, dan protozoa lainnya pada kondisi lingkungan yang sesuai, sedangkan pada
organisme multiseluler (hewan tingkat rendah) dapat dijumpai pada cacing palanaria sp. serta
pada hewan-hewan partenogenetik lainnya seperti pada lebah dan beberapa jenis serangga.
Kloning alami pada tumbuhan dapat dengan jelas kita amati pada tanaman cocor bebek.
Meskipun reproduksi aseksual (kloning) dapat dengan cepat, tetapi tidak selamanya
menguntungkan bagi kelestarian jenisnya. Hal ini karena individu yang sama sifatnya umumnya
mempunyai kemapuan untuk menanggulangi perubahan lingkungan yang sama pula, sehingga
apabila terjadi perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan (drastis), maka besar
kemungkinan organisme tersebut akan mati serta musnah jenisnya dari alam. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa kloning telah terjadi sejak lama di alam dan merupakan sistem alami
yang telah tertata dengan rapi sehingga terjadi keseimbangan ekosistem. Pada akhirnya
pengetahuan tentang kloning tersebut dimanfaatkan manusia untuk memperoleh jenis-jenis
tanaman dan hewan unggul, serta diupayakan juga untuk melestarikan tumbuhan maupun hewan
langka dari kepunahan.
Kata kloning menjadi tak asing lagi di telinga kita, karena pada 1996 kita dikejutkan
dengan adanya domba Dolly yang merupakan hasil kloning dari ilmuwan Ian Wilmuth, Keith
Campbell dan tim di Roslin Institute – Skotlandia. Kata Kloning kali pertama diusulkan oleh
Herbert Webber pada tahun 1903 untuk mengistilahkan sekelompok makhluk hidup yang
dilahirkan tanpa proses seksual. Pada tahun 1963, ahli Biologi Inggris, J.B.S. Haldane,
mengenalkan istilah clone dalam pidatonya yang berjudul Biological Possibilities for the Human
Species of the Next Ten Thousand Years (Kemungkinan-Kemungkinan Biologis bagi Spesies
Manusia pada Sepuluh Ribuan Tahun Mendatang).
Sebelumnya para ilmuwan mengklaim telah berhasil mengkloning Kecebong (1952),
Ikan (1963), Tikus (1986). Hanya terpaut beberapa bulan setelah keberhasilan kloning domba
Dolly disusul Domba Polly yang telah disisipi materi genetik manusia, dunia ilmu pengetahuan
kembali digemparkan oleh keberhasilan kloning sapi jantan yang diberi nama Gene hasil
rekayasa perusahaan ABS Global Inc. yang bergerak di bidang teknologi reproduksi hewan
ternak yang bermarkas di Deforest, Wisconsin, Amerika Serikat. Muncul pula hasil kloning lain
pada Monyet (2000), Lembu “Gaur” (2001), Sapi (2001), Kucing (2001) dan dikomersialkan
pada 2004, Kuda (2003), Anjing, Serigala dan Kerbau.
Selain itu beberapa lembaga riset telah berhasil mengkloning bagian tubuh manusia
(kloning terapeutik) seperti tangan, kloning bagian tubuh manusia dilakukan untuk kebutuhan
medis, seperti tangan yang hilang karena kecelakaan dapat dikloning baru, begitu juga jika
terjadi ginjal yang rusak (gagal ginjal), juga bisa menjadi terapi penyakit Alzheimer, parkinson,
jantung, diabetes, dan penyakit yang lainnya.
Dan terakhir ada berita pengkloningan manusia yakni pertama, Ginekolog Italia, Severino
Antinori, pada 5 April 2002 mengaku telah sukses melakukan kloning manusia. Dia mengatakan,
dengan memanfaatkan sel telur hasil kloning, seorang wanita peserta program kloning telah
hamil. Kedua, seorang ilmuwan asal Amerika Serikat, dr Panayiotis Zavos, mengkloning
manusia. Zavos melakukan hal yang berbeda dalam kloning manusia. Bila sebelumnya ilmuwan
melakukannya dengan meletakkan embrio di tabung percobaan, Zavos langsung menaruhnya di
rahim manusia. Manusia yang dikloning Zavos adalah tiga orang yang sudah meninggal. Satu
diantaranya adalah embrio seorang anak berusia 10 tahun bernama Cady. Anak tersebut
meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Amerika Serikat. Sel darah Cady dibekukan dan
dikirim ke zavos. Ketiga, Keberhasilan tim dokter di Rumah Sakit Van Helmont, Belgia yang
dipimpin oleh Dr. Martine Nijs dalam mengklon bayi kembar yang berawal dari
ketidaksengajaan Dr. Nijs menggosok permukaan sel telur beku yang telah dibuahi dengan
sebatang kaca sehingga sel telur tersebut terbelah menjadi dua dalam rahim si ibu dan kemudian
berkembang menjadi janin, disusul dengan lahirnya dua anak kembar.
Kontroversi pun mencul akibat dari perkembangan kloning yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi ini. Kontroversi terhadap kloning (kloning reproduksi) tidak terbatas hanya
pada fenomena kloning manusia, tetapi juga pada keberhasilan kloning itu sendiri. Untuk
menciptakan Dolly saja diperlukan 277 kali percobaan. Hal ini karena sulitnya proses yang harus
dilalui dan banyaknya hal yang terjadi di luar kekuasaan ilmuwan, seperti janin tidak tumbuh
atau tiba-tiba mati. Kalaupun sudah terlahir seekor individu hasil kloning, apakah individu
tersebut akan hidup normal?
Pada Januari 2002, Dolly mengalami arthritis (radang sendi) yang biasanya diderita oleh
biri-biri yang sudah tua. Dolly pun mati pada tanggal 14 Februari 2003 setelah mengalami
infeksi paru-paru yang semakin parah sehingga diputuskan untuk dibunuh. Umur Dolly hanya
separuh dari 12 tahun rata-rata biri-biri.
Percobaan kloning pada Tikus, menghasilkan banyak tikus yang mengalami keguguran
spontan, kerusakan sistem kekebalan tubuh, radang paru-paru, kegagalan fungsi hati dan
berbagai keabnormalan lainnya yang dapat mengarahkan pada kematian. Kloning sapi di Prancis
menghasilkan sapi yang memiliki kelainan darah dan kelainan fungsi jantung. Kloning kambing
“Yangyang” di Cina mati 36 jam setelah dilahirkan.
Pada 13 Mei 1997, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara bulat mengecam usaha
pengkloningan manusia, teknologi yang bisa menghasilkan generasi Hitler baru. Menurut WHO
pengkloningan manusia tidak bisa diterima dan bertentangan dengan integritas dan moralitas
manusia. Resolusi yang dikeluarkan itu disepakati dengan konsensus bersama 191 negara
anggota WHO.
Hal ini tentunya sangat wajar jika banyak yang mengecam kloning manusia. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa kloning pada Mamalia saja menghasilkan hewan-hewan kloning
yang mengarah pada umur pendek, tanda-tanda penuaan dini, dan berbagai pembentukan organ
yang tidak sempurna ini, apalagi kloning terhadap manusia. Selain itu, kalangan yang menolak
kloning, juga khawatir terhadap kondisi fisik dan psikis organisme hasil kloning tersebut.
Disamping itu, kloning juga melanggar batas-batas keagamaan, kemanusiaan, etika, dan moral.
Meskipun Bioetika mengenai Bioteknologi, teknologi reproduksi dan Kloning telah
dibuat serta selalu diperbaharui oleh banyak pihak seperti badan dunia (UNESCO), Amerika
Serikat, Negara-negara Eropa dan lembaga-lembaga ilmiah lainnya, serta kloning manusia
diperkirakan baru akan terlaksana dalam kurun waktu 25 tahun mendatang. Sebaiknya sudah
dipersiapkan aturan mengenai kloning manusia ini. Bagaimanapun teknologi merupakan buah
karya pikiran manusia yang jauh dari kesempurnaan dan bukankah sebuah teknologi yang baik
harus memiliki lebih banyak manfaatnya daripada kerugiannya.
Dari berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai