Wenny Chandra
Jurusan Teknik Industri, Universitas Kristen Maranatha
wenny.chandra@eng.maranatha.edu
Abstrak
Sejak Motorola pertama kali mengembangkan program kualitas bernama Six Sigma di
tahun 1988, telah banyak literatur dan artikel yang bermunculan berkaitan dengan
penerapan dan keberhasilan Six Sigma. Tapi tidak banyak penelitian yang membahas
tentang potensi dan keterbatasan aktual, serta kemungkinan perbaikan pendekatan
kualitas ini, baik metode-metode yang digunakan maupun penerapan Six Sigma dalam
berbagai jenis organisasi.
Sama halnya seperti organisasi yang harus mengenali kekuatan & kelemahan internal
maupun eksternal untuk dapat mengembangkan strategi jitu supaya lebih berhasil di
masa depan, demikian pula dengan Six Sigma. Untuk dapat bertahan bahkan untuk
mencapai penggunaan yang lebih luas, Six Sigma harus mengenali kemampuannya
(baik kekuatan maupun kelemahan), kesempatan untuk pengembangan, juga
hambatan yang mungkin ditemui.
Hasil dari studi ini adalah bahwa untuk mencapai penggunaan lebih luas, Six Sigma
harus memanfaatkan secara maksimal kekuatan yang sudah dimiliki. Sedangkan
untuk memperbaiki kelemahannya, Six Sigma harus dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan industri non manufaktur, perencanaan skenario untuk lingkungan yang
dinamis, dan pencapaian optimum global, bukan lokal.
Pendahuluan
Standar pengukuran ini memungkinkan adanya suatu perbandingan antar proses yang
serupa maupun berbeda dalam perusahaan kecil maupun besar. Dalam perkembangan
selanjutnya, Motorola menjalankan program Six Sigma bukan hanya untuk
menghasilkan produk “hampir” bebas cacat, tapi juga menghilangkan cacat di seluruh
proses dalam organisasi tersebut.
Sejak saat itu, program kualitas ini menyebar ke perusahaan lain seperti General
Electric (GE), Allied Signal, dan IBM. GE dalam laporan tahunannya melaporkan di
tahun 1999 bahwa penerapan Six Sigma menghabiskan lima ratus juta dollar namun
menghasilkan penghematan sebesar lebih dari dua miliar dollar.
Dengan meningkatnya perhatian pada Six Sigma, makin banyak juga artikel atau buku
yang ditulis dengan topik Six Sigma. Pembaca yang pertama kali mengenal Six Sigma
mungkin menyimpulkan bahwa tidak ada yang baru di dalamnya. Six Sigma
menggunakan metode-metode yang sudah dikenal sejak lama seperti 7 Tools,
ANOVA dan DOE. Namun yang membedakan dan menjadi kunci sukses adalah cara
Six Sigma mengemas pemakaian metode tersebut dalam kerangka proyek-proyek yang
dijalankan dengan tujuan yang jelas, jangka waktu yang pasti, dan target yang
dinyatakan dalam satuan uang.
Namun, ada juga suara negatif dalam penerapan Six Sigma ini. Pelatihan untuk
menghasilkan Green Belt, Black Belt, Master Black Belt, dan Champion – hirarki
sumber daya manusia yang terlibat dalam proyek Six Sigma – membutuhkan modal
awal puluhan bahkan ratusan ribu dollar yang tidak mungkin dimiliki oleh perusahaan
skala kecil sampai menengah. Motorola meskipun melaporkan keberhasilan di tahap
awal penerapan Six Sigma, namun pada akhirnya tetap dikalahkan para pesaingnya
karena ketidakmampuan mengenali keinginan konsumen.
Melihat hal-hal di atas, makalah ini mencoba membahas strategi apa yang harus
diterapkan Six Sigma, seperti layaknya yang dilakukan suatu organisasi, untuk tetap
bertahan bahkan mencapai pemakaian yang lebih luas di masa depan.
Metodologi Penelitian
Untuk mendapatkan strategi yang jitu, suatu perusahaan harus mengenali kekuatan
dan kelemahannya, dan bagaimana perubahan lingkungan yang dinamis dapat
dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan atau diwaspadai sebagai suatu ancaman.
Untuk mendapatkan strategi jitu untuk memperluas pemakaian Six Sigma, maka akan
dilakukan suatu analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)
Dalam makalah ini, kekuatan dan kelemahan Six Sigma akan dilihat dari struktur
internal Six Sigma. Kekuatan berasal dari definisi dan penerapan Six Sigma yang
menjadi sumber manfaat penerapan Six Sigma. Sedangkan kelemahan adalah isi dari
Six Sigma yang perlu ditingkatkan untuk mencapai pengaruh yang lebih besar.
Di lain pihak, kesempatan bagi Six Sigma adalah faktor-faktor luar yang bisa
dimanfaatkan untuk perubahan Six Sigma ke arah penerapan yang lebih luas.
Sedangkan ancaman merupakan masalah-masalah yang dapat mengurangi penerapan
Six Sigma atau membuat Six Sigma tergantikan oleh program kualitas lain di masa
depan
Untuk mengevaluasi perubahan lingkungan yang dinamis terhadap kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki Six Sigma, dilakukan analisis pengaruh (impact analysis).
Dalam analisis ini diberikan nilai +5 sampai –5 untuk tiap kekuatan dan kelemahan
Six Sigma dalam setiap perubahan lingkungan. Melalui penilaian ini akan dikenali:
Perubahan lingkungan yang paling kritis
Kekuatan yang akan sama atau malah berubah menjadi kelemahan dalam
lingkungan yang sudah berubah
Unsur internal yang paling terpengaruh oleh perubahan lingkungan
1. Analisis SWOT
KEKUATAN
Pendekatan top-down
Dalam cerita sukses tipikal Six Sigma, pendekatan top-down ini selalu
dilakukan. Inisiatif dan komitmen penuh berasal dari manajemen atas dahulu,
baru kemudian “ditularkan” pada tiap orang dalam organisasi, baik sebagai
suatu pendekatan atau bahkan menjadi filosofi dalam rangka peningkatan
kualitas.
KELEMAHAN
Biaya pelatihan
Sumber daya untuk memberi pelatihan kepada sejumlah orang, bukan hanya
biaya pelatihan tapi juga kegiatan yang terganggu atau harus digantikan orang
lain. Dengan biaya puluhan bahkan ribuan dollar hanya perusahaan besar yang
mempunyai modal awal cukup untuk memulai program Six Sigma ini.
Pengukuran CTQ
Sangat mudah untuk mengukur jumlah cacat pada produk hasil proses
manufaktur. Tapi pada organisasi pemberi jasa, membutuhkan lebih banyak
pemikiran dan manipulasi untuk mendefinisikan CTQ. Misalnya dengan
memberikan penilaian subjektif (skala 1 sampai dengan 10) untuk suatu atribut
pelayanan. Jika nilai yang didapat kurang dari 5, maka pelayanan tersebut
dianggap cacat. Hasilnya yang didapatkan adalah ukuran yang subjektif.
Dengan mengubah batas penentuan cacat tidaknya suatu pelayanan, akan
didapatkan level sigma yang berbeda tentang suatu operasi.
ANCAMAN
Krisis ekonomi
Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, banyak perusahaan di Indonesia
yang belum pulih kondisi keuangannya. Tingginya modal awal yang
dibutuhkan untuk memulai program Six Sigma merupakan hambatan besar
meluasnya penerapan Six Sigma di banyak perusahaan.
2. ANALISIS PENGARUH
Hasil dari Analisis Pengaruh dapat dilihat dalam Tabel 1.
Semakin pentingnya
teknologi informasi,
tuntutan pelanggan
software, internet
Lingkungan yang
Metodologi lain
Perubahan
Perkembangan
Krisis ekonomi
Meningkatnya
lingkungan
manufaktur
+ -
sektor non
(KESEMPATAN
dinamis
& ANCAMAN)
KEKUATAN
Pendekatan
kuantitatif, berbasis +5 0 +1 +2 0 0 +8 0
data, statistik
Fokus kepada
+3 +5 +3 +4 0 +1 +16 0
pelanggan
Infrastruktur sdm +2 0 0 0 0 +3 +5 0
Metodologi
terstruktur +5 +2 +2 +2 0 +3 +14 0
(DMAIC)
Bahasa seragam +3 +3 +2 +2 0 +2 +12 0
KELEMAHAN
Modal awal tinggi +1 0 -2 -3 -5 -2 +1 -12
Subjektivitas CTQ 0 -2 -2 -1 0 -2 0 -7
Kurangnya
pelatihan dalam 0 -1 -1 -5 -2 -3 0 -12
non manufaktur
Pen-dogma-an 0 -1 -2 0 0 +2 +2 -3
Tidak berpikir
0 0 -3 0 0 -3 0 -6
sistem
Nilai Pengaruh +25 +15 +10 +14 +2 +17
Lingkungan 0 -4 -10 -9 -7 -10
Dari Tabel 1 terlihat bahwa semua kekuatan mendapat nilai positif, berarti semua
kekuatan Six Sigma akan tetap menjadi kelebihannya dalam lingkungan yang berubah.
Sedangkan untuk kelemahan, faktor ‘modal awal tinggi’ dan ‘kurangnya pelatihan
dalam sektor non manufaktur’ mendapat nilai negatif yang paling tinggi yaitu –12.
Faktor yang juga perlu diperhatikan adalah ‘subjektivitas CTQ’ dan ‘tidak berpikir
sistem’ yang masing-masing mendapat nilai –7 dan –6. Keempat faktor yang
disebutkan terakhir (dengan prioritas pada dua faktor pertama) merupakan faktor yang
perlu diperbaiki kelemahannya supaya Six Sigma dapat tetap bertahan dalam
lingkungan yang berubah.
Dari sisi perubahan lingkungan, “perkembangan teknologi informasi, software,
internet” (+25), “metodologi lain” (+17), “meningkatnya tuntutan pelanggan” (+15)
dan “semakin pentingnya sektor non manufaktur” (+14) merupakan perubahan yang
harus dapat dimanfaatkan Six Sigma untuk perluasan pemakaiannya. Meskipun
demikian, dari keempat faktor tersebut, “metodologi lain” (-10) dan “semakin
pentingnya sektor non manufaktur” juga harus diwaspadai karena jika tidak disiasati
dengan baik, akan merupakan ancaman yang menghalangi pemakaian Six Sigma lebih
luas. Kesempatan yang ada jika tidak dimanfaatkan akan berbalik menjadi ancaman.
Selain itu, “lingkungan yang dinamis” (-10) dan “krisis ekonomi” (-7) merupakan
perubahan lingkungan yang perlu diwaspadai.
Kesimpulan
Penelitian ini menganalisis potensi maupun kelemahan internal Six Sigma, dan juga
pengaruh perubahan lingkungan terhadap kemampuan Six Sigma. Untuk tetap unggul
sebagai suatu inisiatif peningkatan kualitas, Six Sigma harus dapat mensiasati
perubahan lingkungan dengan cara:
• Memanfaatkan semaksimal mungkin kekuatannya
• Memperbaiki kelemahannya, terutama dengan menggunakan kesempatan yang
muncul dari semakin kuatnya sektor non manufaktur. Hal ini dapat dicapai
dengan cara:
o Meng-customized pelatihan untuk perusahaan non manufaktur
o Pendefinisian CTQ secara lebih analitis sesuai suara konsumen (misalnya
dengan QFD)
o Perencanaan skenario untuk melihat akibat perubahan lingkungan yang
dinamis
o Melihat secara sistem, optimum global, bukan lokal
Daftar Pustaka