Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS SWOT TERHADAP SIX SIGMA

UNTUK PENENTUAN STRATEGI MASA DEPAN

Wenny Chandra
Jurusan Teknik Industri, Universitas Kristen Maranatha
wenny.chandra@eng.maranatha.edu

Abstrak

Sejak Motorola pertama kali mengembangkan program kualitas bernama Six Sigma di
tahun 1988, telah banyak literatur dan artikel yang bermunculan berkaitan dengan
penerapan dan keberhasilan Six Sigma. Tapi tidak banyak penelitian yang membahas
tentang potensi dan keterbatasan aktual, serta kemungkinan perbaikan pendekatan
kualitas ini, baik metode-metode yang digunakan maupun penerapan Six Sigma dalam
berbagai jenis organisasi.

Sama halnya seperti organisasi yang harus mengenali kekuatan & kelemahan internal
maupun eksternal untuk dapat mengembangkan strategi jitu supaya lebih berhasil di
masa depan, demikian pula dengan Six Sigma. Untuk dapat bertahan bahkan untuk
mencapai penggunaan yang lebih luas, Six Sigma harus mengenali kemampuannya
(baik kekuatan maupun kelemahan), kesempatan untuk pengembangan, juga
hambatan yang mungkin ditemui.

Hal tersebut dicapai dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities,


Threats) terhadap Six Sigma. Selain itu, untuk melihat bagaimana pengaruh
lingkungan yang dinamis terhadap kekuatan & kelemahan Six Sigma, dilakukan
analisis pengaruh (impact analysis).

Hasil dari studi ini adalah bahwa untuk mencapai penggunaan lebih luas, Six Sigma
harus memanfaatkan secara maksimal kekuatan yang sudah dimiliki. Sedangkan
untuk memperbaiki kelemahannya, Six Sigma harus dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan industri non manufaktur, perencanaan skenario untuk lingkungan yang
dinamis, dan pencapaian optimum global, bukan lokal.

Kata kunci: Six Sigma, analisis SWOT, analisis pengaruh.

Pendahuluan

Di tahun 1988, Motorola Inc. mengembangkan suatu program peningkatan kualitas


yang dinamakan Six Sigma. Sigma atau σ sebenarnya adalah suatu simbol yang
digunakan untuk melambangkan nilai suatu populasi yang berdistribusi normal.
Secara matematis, 99,73% populasi akan berada di dalam batas 3 sigma di atas dan di
bawah nilai rata-rata populasi tersebut. Sedangkan Six Sigma adalah suatu cara untuk
menyatakan kemampuan suatu proses menghasilkan produk/jasa dengan hanya 3,4
cacat per juta unit produk/kesempatan.

Standar pengukuran ini memungkinkan adanya suatu perbandingan antar proses yang
serupa maupun berbeda dalam perusahaan kecil maupun besar. Dalam perkembangan
selanjutnya, Motorola menjalankan program Six Sigma bukan hanya untuk
menghasilkan produk “hampir” bebas cacat, tapi juga menghilangkan cacat di seluruh
proses dalam organisasi tersebut.

Sejak saat itu, program kualitas ini menyebar ke perusahaan lain seperti General
Electric (GE), Allied Signal, dan IBM. GE dalam laporan tahunannya melaporkan di
tahun 1999 bahwa penerapan Six Sigma menghabiskan lima ratus juta dollar namun
menghasilkan penghematan sebesar lebih dari dua miliar dollar.

Dengan meningkatnya perhatian pada Six Sigma, makin banyak juga artikel atau buku
yang ditulis dengan topik Six Sigma. Pembaca yang pertama kali mengenal Six Sigma
mungkin menyimpulkan bahwa tidak ada yang baru di dalamnya. Six Sigma
menggunakan metode-metode yang sudah dikenal sejak lama seperti 7 Tools,
ANOVA dan DOE. Namun yang membedakan dan menjadi kunci sukses adalah cara
Six Sigma mengemas pemakaian metode tersebut dalam kerangka proyek-proyek yang
dijalankan dengan tujuan yang jelas, jangka waktu yang pasti, dan target yang
dinyatakan dalam satuan uang.

Namun, ada juga suara negatif dalam penerapan Six Sigma ini. Pelatihan untuk
menghasilkan Green Belt, Black Belt, Master Black Belt, dan Champion – hirarki
sumber daya manusia yang terlibat dalam proyek Six Sigma – membutuhkan modal
awal puluhan bahkan ratusan ribu dollar yang tidak mungkin dimiliki oleh perusahaan
skala kecil sampai menengah. Motorola meskipun melaporkan keberhasilan di tahap
awal penerapan Six Sigma, namun pada akhirnya tetap dikalahkan para pesaingnya
karena ketidakmampuan mengenali keinginan konsumen.

Melihat hal-hal di atas, makalah ini mencoba membahas strategi apa yang harus
diterapkan Six Sigma, seperti layaknya yang dilakukan suatu organisasi, untuk tetap
bertahan bahkan mencapai pemakaian yang lebih luas di masa depan.

Metodologi Penelitian

Untuk mendapatkan strategi yang jitu, suatu perusahaan harus mengenali kekuatan
dan kelemahannya, dan bagaimana perubahan lingkungan yang dinamis dapat
dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan atau diwaspadai sebagai suatu ancaman.
Untuk mendapatkan strategi jitu untuk memperluas pemakaian Six Sigma, maka akan
dilakukan suatu analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)

Dalam makalah ini, kekuatan dan kelemahan Six Sigma akan dilihat dari struktur
internal Six Sigma. Kekuatan berasal dari definisi dan penerapan Six Sigma yang
menjadi sumber manfaat penerapan Six Sigma. Sedangkan kelemahan adalah isi dari
Six Sigma yang perlu ditingkatkan untuk mencapai pengaruh yang lebih besar.

Di lain pihak, kesempatan bagi Six Sigma adalah faktor-faktor luar yang bisa
dimanfaatkan untuk perubahan Six Sigma ke arah penerapan yang lebih luas.
Sedangkan ancaman merupakan masalah-masalah yang dapat mengurangi penerapan
Six Sigma atau membuat Six Sigma tergantikan oleh program kualitas lain di masa
depan
Untuk mengevaluasi perubahan lingkungan yang dinamis terhadap kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki Six Sigma, dilakukan analisis pengaruh (impact analysis).
Dalam analisis ini diberikan nilai +5 sampai –5 untuk tiap kekuatan dan kelemahan
Six Sigma dalam setiap perubahan lingkungan. Melalui penilaian ini akan dikenali:
™ Perubahan lingkungan yang paling kritis
™ Kekuatan yang akan sama atau malah berubah menjadi kelemahan dalam
lingkungan yang sudah berubah
™ Unsur internal yang paling terpengaruh oleh perubahan lingkungan

Arti dari nilai yang diberikan adalah:


Nilai positif menunjukkan kekuatan Six Sigma yang akan membantunya
memanfaatkan kesempatan atau menyelesaikan masalah yang ditimbulkan
perubahan lingkungan. Nilai positif juga menunjukkan kelemahan Six Sigma
yang terbantu oleh perubahan lingkungan.
Nilai negatif menunjukkan kekuatan Six Sigma yang akan berkurang karena
adanya perubahan lingkungan. Nilai negatif juga menunjukkan kelemahan
Six Sigma yang akan menghambatnya mengatasi masalah baru yang
disebabkan perubahan lingkungan.
Nilai nol menunjukkan bahwa kekuatan atau kekuatan Six Sigma tidak
terpengaruh oleh perubahan lingkungan.

Hasil & Pembahasan

1. Analisis SWOT

KEKUATAN

Six Sigma melakukan pengukuran


Baik proses produksi yang diukur performansinya dari jumlah cacat, atau jasa
yang bisa diukur dari waktunya, semua proses mengalami pengukuran. Baik
ukuran yang menunjukkan performansi dahulu, sekarang, dan target untuk
peningkatan di masa depan. Dengan demikian semuanya lebih nyata, arah &
tujuan ke depan lebih jelas.

Semua diterjemahkan menjadi satuan uang


Karena pengukuran dinyatakan dalam angka, maka lebih mudah untuk
menerjemahkannya menjadi penghematan dalam bentuk uang. Akibatnya
dapat dirasakan langsung dalam peningkatan keuntungan perusahaan.

Kemudahan mengenali proyek yang layak dilakukan


Penghematan dalam bentuk uang memungkinkan perhitungan rasio usaha
terhadap akibat dari tiap proyek [4]. Jika uang yang dikeluarkan (usaha) lebih
besar dari hasil yang akan didapat (akibat), proyek tersebut tidak layak
dijalankan. Proyek yang mempunyai rasio terkecil akan mendapat prioritas
untuk dijalankan lebih dahulu.

Fokus pada pelanggan


Pelanggan adalah raja. Six Sigma mengharuskan proses ditujukan untuk
mendapatkan apa yang pelanggan inginkan. Ini dicapai dengan mendefinisikan
CTQ (Critical to Quality), faktor yang menjadi cerminan kebutuhan konsumen.

Pendekatan top-down
Dalam cerita sukses tipikal Six Sigma, pendekatan top-down ini selalu
dilakukan. Inisiatif dan komitmen penuh berasal dari manajemen atas dahulu,
baru kemudian “ditularkan” pada tiap orang dalam organisasi, baik sebagai
suatu pendekatan atau bahkan menjadi filosofi dalam rangka peningkatan
kualitas.

Infrastruktur dengan hirarki yang jelas

Gb. 1 Hirarki Personel Six Sigma [7]

Seperti terlihat pada gambar 1, di ujung piramid terbalik ada manajemen


tingkat atas, kemudian makin ke atas makin banyak orang yang berfungsi
sebagai Champion, Master Black Belt dan seterusnya. Pada bagian teratas,
pelanggan menjadi dasar yang kuat.

Infrastruktur semacam ini memungkinkan adanya kerja tim. Manajemen


tingkat atas dan Champion berfungsi sebagai pemimpin. Master Black Belt &
Belt sebagai pelaku utama karena keahlian mereka dalam statistik. Pada saat
yang sama mereka juga mengawasi Green Belt yang merupakan orang-orang
lapangan yang paling menguasai proses yang sedang ditangani.

Personel yang berdedikasi dan berkualitas


Dalam banyak cerita sukses Six Sigma, orang-orang yang dipilih untuk
mengerjakan proyek-proyek Six Sigma adalah yang terbaik dalam perusahaan
tersebut. Setelah menyelesaikan pelatihan, seorang Black Belt akan bekerja
penuh untuk proyek Six Sigma. Rata-rata dia dapat menyelesaikan empat
sampai 6 proyek, di samping pada saat yang sama juga melatih Green Belt [7].

Penyelesaian masalah dengan dukungan data dan pendekatan statistik


Karena sangat mementingkan pengukuran, Six Sigma sangat bergantung pada
data. Metode-metode statistik kemudian diterapkan untuk menganalisis data
yang terkumpul. Kemudian sistem dinyatakan secara statistik dalam bentuk
Level Sigma yang tercapai. Ini adalah gambaran sistem yang jelas, yang dapat
diperbandingkan antara proses-proses yang ada.

Metodologi penyelesaian masalah yang terstruktur


DMAIC (Define Measure Analyze Improve Control) untuk proses yang sudah
ada dan DMADV (Define Measure Analyze Design Verify) untuk proses baru.
Ini adalah tahapan lewat mana proyek Six Sigma dilaksanakan. Merupakan
suatu prosedur yang mudah diikuti dan berlaku umum untuk semua pelaku Six
Sigma.

Bahasa yang sama antar departemen atau industri


Sebelum munculnya Six Sigma, tiap perusahaan khususnya manufaktur bisa
menerapkan ukuran yang berbeda-beda: Cp, Cpk, % yield, waktu siklus.
Demikian juga perusahaan non manufaktur dengan istilahnya masing-masing.
Dengan Six Sigma semua performansi dikenali dengan istilah Level Sigma,
baik untuk proses produksi maupun pelayanan. Dengan satu ukuran dan
bahasa yang seragam, dicapai pengertian yang cepat dan tepat.

KELEMAHAN

Phobia terhadap statistik


Butuh waktu dan kemauan untuk mempelajari statistik yang menjadi dasar Six
Sigma. Banyak orang langsung ‘alergi’ mendengar kata statistik.

Biaya pelatihan
Sumber daya untuk memberi pelatihan kepada sejumlah orang, bukan hanya
biaya pelatihan tapi juga kegiatan yang terganggu atau harus digantikan orang
lain. Dengan biaya puluhan bahkan ribuan dollar hanya perusahaan besar yang
mempunyai modal awal cukup untuk memulai program Six Sigma ini.

Pengukuran CTQ
Sangat mudah untuk mengukur jumlah cacat pada produk hasil proses
manufaktur. Tapi pada organisasi pemberi jasa, membutuhkan lebih banyak
pemikiran dan manipulasi untuk mendefinisikan CTQ. Misalnya dengan
memberikan penilaian subjektif (skala 1 sampai dengan 10) untuk suatu atribut
pelayanan. Jika nilai yang didapat kurang dari 5, maka pelayanan tersebut
dianggap cacat. Hasilnya yang didapatkan adalah ukuran yang subjektif.
Dengan mengubah batas penentuan cacat tidaknya suatu pelayanan, akan
didapatkan level sigma yang berbeda tentang suatu operasi.

Selain subjektivitas, CTQ juga terkadang tidak dapat mencerminkan kondisi


yang sebenarnya. Misalnya CTQ = jumlah pesawat yang tinggal landas tepat
waktu atau jumlah kecelakaan di suatu lokasi konstruksi. Ukuran ini tidak
mengukur seberapa terlambat pesawat tersebut atau seberapa serius kecelakaan
yang terjadi.
Kurangnya pelatihan untuk menangani proses non manufaktur
Sebagai suatu program yang lahir dari lingkungan manufaktur, metodologi
yang diperkenalkan dalam pelatihan adalah yang umum dipakai dalam
menangani masalah manufaktur yang kebanyakan mempunyai data-data
kuantitatif. Meskipun telah mengikuti pelatihan Six Sigma, industri non
manufaktur dengan karakteristik data kualitatif/atribut (misalnya hasil survei
pelanggan, status pembayaran pelanggan) tidak diperlengkapi dengan
metodologi yang tepat untuk menangani data semacam ini. Seringkali industri
non manufaktur harus mencari dan mempelajarai kembali metode-metode lain
yang sesuai dengan karakteristik data yang dimiliki [14].

Pen-dogma-an Six Sigma


Tidak setiap metodologi Six Sigma sesuai untuk menyelesaikan permasalahan
yang spesifik. Misalnya dalam pemasaran yang berkaitan langsung dengan
pelanggan, tidak tepat untuk melakukan desain eksperimen [6].

Kebanyakan metodologi Six Sigma juga terlalu kompleks untuk kebanyakan


kesempatan peningkatan kualitas [15]. Untuk masalah yang membutuhkan
respons cepat dan solusi segera, Six Sigma dengan struktur DMAIC bukanlah
pendekatan yang terbaik. Tapi seringkali pelaku Six Sigma terlalu terpaku
melakukan hal-hal dengan cara Six Sigma, sehingga cara lain dipandang kurang
tepat [1].

Asumsi kenormalan [6]


Banyak metodologi Six Sigma membutuhkan asumsi bahwa proses-proses
mempunyai perilaku yang berdistribusi normal. Misalnya proses yang
mempunyai level enam sigma hanya mempunyai 3,4 cacat dalam sejuta
kesempatan mensyaratkan variasi dalam proses tersebut mengikuti distribusi
normal.

Berdasarkan teorema limit sentral, suatu proses yang mempunyai banyak


sumber variasi akan berperilaku normal. Tapi beberapa proses yang hanya
dipengaruhi satu atau dua faktor penting tidak dapat dikatakan normal karena
tidak memenuhi syarat teorema limit sentral. Mengasumsikan kenormalan
dalam kasus ini akan mengakibatkan kesimpulan yang salah.

Tidak ada alasan pergeseran 1,5σ


Dalam perhitungan level sigma suatu proses, diiijinkan adanya suatu
pergeseran jangka panjang sebanyak 1,5σ. Jadi 3,4 cacat per sejuta
kesempatan sebenarnya adalah untuk jarak 4,5σ dari rata-rata proses. Tapi
tidak ada alasan yang kuat mengapa yang diambil adalah pergeseran sebanyak
1,5σ [13].

Ketidakmampuan melihat secara sistem


Penentuan tujuan per proyek menimbulkan resiko pemikiran pelaku Six Sigma
terkotak-kotak hanya pada proyek yang sedang dijalankan. Ini menyebabkan
tidak tercapainya peningkatan yang optimal. Dengan kata lain, yang tercapai
adalah optimum lokal, bukan global [5].
KESEMPATAN

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan perangkat lunak


Karena intensifnya penggunaan data dan metode statistik dalam Six Sigma,
perkembangan ini menciptakan peluang bagi perkembangan Six Sigma yang
lebih luas [6]:
⇒ Pengawasan otomatis, akses ke database besar
⇒ Ketersediaan & kemudahan penggunaan metode statistik yang
dimungkinkan software komersial
⇒ Pertukaran informasi global dengan bantuan internet dan e-mail.

Tuntutan pelanggan yang makin beraneka ragam


Karena fokus Six Sigma adalah kepuasan pelanggan, perkembangan ini dapat
dipandang sebagai suatu kesempatan. Dengan pendefinisian multi-CTQ,
kepuasan pelanggan dapat tercapai sesuai tuntutan.

Kesadaran akan pentingnya sertifikasi


Pelanggan menjadi lebih kritis mengenai kualitas, mereka makin menuntut
suatu sertifikasi untuk meyakinkan bahwa suatu perusahaan memenuhi standar
untuk menghasilkan produk berkualitas. Misalnya dengan makin maraknya
sertifikasi ISO. Perkembangan ini menunjukkan adanya kesempatan bagi Six
Sigma untuk membuat sertifikasi bagi perusahaan yang telah mencapai level
sigma tertentu.

Perkembangan perusahaan-perusahaan non manufaktur


Walaupun Six Sigma lahir dan sampai sekarang lebih banyak digunakan dalam
proses manufaktur, tapi pemakaian Six Sigma tidak terbatas sampai di situ.
Dengan adanya krisis ekonomi yang lebih banyak mempengaruhi perusahaan
manufaktur, muncul suatu kesempatan bagi Six Sigma untuk lebih
memantapkan penggunaannya dalam lingkungan non manufaktur. Secara lebih
spesifik, dirasakan adanya kebutuhan untuk spesialisasi Six Sigma untuk
pelayanan yang sifatnya transaksi, atau untuk pembuatan software [4].

Lingkungan yang makin dinamis


Untuk mengantisipasi perubahan yang cepat, meningkatkan kreativitas,
mendorong langkah-langkah proaktif, maka dibutuhkan perencanaan skenario
untuk kemungkinan pencapaian performansi Six Sigma yang lebih baik [5].

ANCAMAN

Krisis ekonomi
Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, banyak perusahaan di Indonesia
yang belum pulih kondisi keuangannya. Tingginya modal awal yang
dibutuhkan untuk memulai program Six Sigma merupakan hambatan besar
meluasnya penerapan Six Sigma di banyak perusahaan.

Persaingan dari metodologi yang lain: Sertifikasi ISO


Sertifikasi ISO merupakan program kualitas yang menitikberatkan pada
pencapaian suatu standar kualitas yang sudah baku. Standar ISO dengan
banyak variasi untuk berbagai jenis perusahaan dan diakui secara internasional
menjadi saingan berat Six Sigma

2. ANALISIS PENGARUH
Hasil dari Analisis Pengaruh dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Pengaruh terhadap Six Sigma

Semakin pentingnya
teknologi informasi,

tuntutan pelanggan
software, internet

Lingkungan yang

Metodologi lain
Perubahan
Perkembangan

Krisis ekonomi
Meningkatnya
lingkungan

manufaktur
+ -

sektor non
(KESEMPATAN

dinamis
& ANCAMAN)

KEKUATAN
Pendekatan
kuantitatif, berbasis +5 0 +1 +2 0 0 +8 0
data, statistik
Fokus kepada
+3 +5 +3 +4 0 +1 +16 0
pelanggan
Infrastruktur sdm +2 0 0 0 0 +3 +5 0
Metodologi
terstruktur +5 +2 +2 +2 0 +3 +14 0
(DMAIC)
Bahasa seragam +3 +3 +2 +2 0 +2 +12 0
KELEMAHAN
Modal awal tinggi +1 0 -2 -3 -5 -2 +1 -12
Subjektivitas CTQ 0 -2 -2 -1 0 -2 0 -7
Kurangnya
pelatihan dalam 0 -1 -1 -5 -2 -3 0 -12
non manufaktur
Pen-dogma-an 0 -1 -2 0 0 +2 +2 -3
Tidak berpikir
0 0 -3 0 0 -3 0 -6
sistem
Nilai Pengaruh +25 +15 +10 +14 +2 +17
Lingkungan 0 -4 -10 -9 -7 -10

Dari Tabel 1 terlihat bahwa semua kekuatan mendapat nilai positif, berarti semua
kekuatan Six Sigma akan tetap menjadi kelebihannya dalam lingkungan yang berubah.
Sedangkan untuk kelemahan, faktor ‘modal awal tinggi’ dan ‘kurangnya pelatihan
dalam sektor non manufaktur’ mendapat nilai negatif yang paling tinggi yaitu –12.
Faktor yang juga perlu diperhatikan adalah ‘subjektivitas CTQ’ dan ‘tidak berpikir
sistem’ yang masing-masing mendapat nilai –7 dan –6. Keempat faktor yang
disebutkan terakhir (dengan prioritas pada dua faktor pertama) merupakan faktor yang
perlu diperbaiki kelemahannya supaya Six Sigma dapat tetap bertahan dalam
lingkungan yang berubah.
Dari sisi perubahan lingkungan, “perkembangan teknologi informasi, software,
internet” (+25), “metodologi lain” (+17), “meningkatnya tuntutan pelanggan” (+15)
dan “semakin pentingnya sektor non manufaktur” (+14) merupakan perubahan yang
harus dapat dimanfaatkan Six Sigma untuk perluasan pemakaiannya. Meskipun
demikian, dari keempat faktor tersebut, “metodologi lain” (-10) dan “semakin
pentingnya sektor non manufaktur” juga harus diwaspadai karena jika tidak disiasati
dengan baik, akan merupakan ancaman yang menghalangi pemakaian Six Sigma lebih
luas. Kesempatan yang ada jika tidak dimanfaatkan akan berbalik menjadi ancaman.
Selain itu, “lingkungan yang dinamis” (-10) dan “krisis ekonomi” (-7) merupakan
perubahan lingkungan yang perlu diwaspadai.

Kesimpulan

Penelitian ini menganalisis potensi maupun kelemahan internal Six Sigma, dan juga
pengaruh perubahan lingkungan terhadap kemampuan Six Sigma. Untuk tetap unggul
sebagai suatu inisiatif peningkatan kualitas, Six Sigma harus dapat mensiasati
perubahan lingkungan dengan cara:
• Memanfaatkan semaksimal mungkin kekuatannya
• Memperbaiki kelemahannya, terutama dengan menggunakan kesempatan yang
muncul dari semakin kuatnya sektor non manufaktur. Hal ini dapat dicapai
dengan cara:
o Meng-customized pelatihan untuk perusahaan non manufaktur
o Pendefinisian CTQ secara lebih analitis sesuai suara konsumen (misalnya
dengan QFD)
o Perencanaan skenario untuk melihat akibat perubahan lingkungan yang
dinamis
o Melihat secara sistem, optimum global, bukan lokal

Daftar Pustaka

1. Anon, GE Six Sigma a Joke?, The Emperor’s New Woes


2. Bayle, P., Farrington, M., Sharp, B., Hild, C. & Sanders, D., Illustration of Six
Sigma Assistance on a Design Project, Quality Engineering, 13(3), 341-348, 2001.
3. Fontenot, G., Behara, R., & Gresham, A., Six Sigma in Customer Satisfaction,
Quality Progress, December 1994.
4. Fuller, H. T., Observations about the Success and Evolution of Six Sigma at
Seagate, Quality Engineering, 12(3), 311-315, 2000.
5. Goh, T. N., The Eight Sigma Organization, Keynote Paper SQI Symposium, Oct
2001.
6. Hahn, G.J., Doganaksoy, N. & Hoerl, R., The Evolution of Six Sigma, Quality
Engineering, 12(3), 317-326, 2000.
7. Harry, M. & Schroeder, R., Six Sigma : The Breakthrough Management Strategy
Revolutionizing the World’s Top Corporations, Doubleday, 2000
8. Jones, Milton H., Six Sigma … at a Bank, Six Sigma Forum Magazine, 3(2), ASQ,
February 2004
9. Lee, C., Why You can Safely Ignore Six Sigma, Fortune, January 22, 2001.
10. Lucier, G.T. & Seshadri, S., GE takes Six Sigma beyond the Bottom Line,
Strategic Finance, May 2001.
11. Montgomery, D., Beyond Six Sigma, Quality and Reliability Engineering
International, 17(4), iii-iv, 2001.
12. Pearson, T. A., Six Sigma and the Knowledge Revolution, Quality Congress,
2000.
13. Snee, R. D., Impact of Six Sigma on Quality Engineering, Quality Engineering,
12(3), ix-xiv, 2000.
14. Steele, Andrew D., Six Sigma Toolkit at Your Service, Six Sigma Forum
Magazine, 3(2), ASQ, February 2004
15. At Sixes and Sevens

Anda mungkin juga menyukai