Anda di halaman 1dari 17

Nama : I Kadek Purnama Adi Putra

Nim : 0716051046

Mata Kuliah : Hukum Pidana

KESALAHAN

Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non

facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka

pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban

tindak pidana.Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya

perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan

perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat

tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga

mempunyai kesalahan.

Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang

disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya

dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana

terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur

dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan
dibelakangnya dan harus dibuktikan. Sengaja berarti juga adanya kehendak yang

disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan

pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja,

terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan

willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu

perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah

menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah

mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.

Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel

maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak

membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari

perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari

dilakukannya perbuatan itu.

Jika unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya

dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena

memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil-

maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan

melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si

pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada

waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya


tersebut.Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur

kelalaian atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai

kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau

bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat

menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.

Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat

didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan

itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun

pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang

oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.

Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai

kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan

akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa

pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu

akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.Maka dari uraian

tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan

akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan

hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka

hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu.
Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan

akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban. Jan

Remmelink mendefinisikan: “Kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh

masyarakat- yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu-

terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat

dihindarinya”, berperilaku bertentangan terhadap tuntutan masyarakat hukum untuk

tidak melanggar garis yang ditentukan dan menghindari perbuatan yang dicela oleh

umum, yang dipertegas oleh Jan Remmelink yakni berperilaku dengan menghindari

egoisme yang tidak dapat diterima oleh kehidupan dalam masyarakat.

Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tak tertulis dalam hukum positif

Indonesia yang menyatakan ‘tiada pidana tanpa kesalahan’. Artinya, untuk dapat

dipidananya suatu perbuatan diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri

pembuat untuk dapat dimintai pertanggungjawaban atasnya. Chairul Huda yang

melihat kesalahan secara normati menyatakan: “Kesalahan adalah dapat dicelanya

pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya ia dapat

berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Definisi ini disusun oleh

tiga komponen utama, yaitu: ‘dapat dicela’, ‘dilihat dari segi masyarakat’ dan ‘dapat

berbuat lain’.”‘Dapat dicela’ suatu perbuatan dapat diartikan sebagai ‘dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana’ dan ‘dapat dijatuhi pidana’. Arti

pertama merupakan kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi preventif hukum

pidana dan arti yang kedua dalam hubungannya dengan fungsi represif dalam hukum
pidana. Dapat dicelanya pembuat bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidana

yang diteruskan secara subyektif sebagai celaan terhadap pembuat. Dalam hal ini

celaan terhadap tindak pidana tidak terikat pada moral yang berarti dalam

menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, Negara tidak terikat pada sistem

moral yang ada dalam masyarakat,

Arti kesalahan ( Sudarto, dalam bukunya ; Hukum Pidana I):

1. kesalahan dalam arti seluas – luasnya, yang dapat disamakan dengan

pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana ; didalamnya

terkandung makna dapat dicelanya ( verwijtbaarheid ) si pembuat atas

perbuatannnya. Jadi, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti

bahwa dapat dicela atas perbuatannya

2. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan ( schuldvorm ) yang berupa :

 kesengajaan ( dolus, opzet, vorsatz, atau intention )

 kealpaan ( culpa, onachtzaamheid, nelatigheid, fahrlassigkeit, atau

negligence )  ini pengertian kesalahan yuridis

3. kesalahan dalam arti sempit ialah kealpaan ( culpa ) seperti yang disebutkan di

atas. Sudarto menganjurkan menggunakan istilah kealpaan saja untuk

kesalahan dalam arti sempit.


Dengan diterimanya pengertian kesalahan ( dalam arti luas ) sebagai dapat

dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka pengertian kesalahan yang psychologis

menjadi pengertian kesalahan yang normarif ( normativer schuldbegriff ).Pengertian

kesalahan psychologis, dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan

psychologis ( batin ) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan bating tersebut

bisa berupa kesengajaan dan pada kealpaan. Jadi dalam hal ini yang digambarkan

adalah keadaan batin si pembuat, sedang yang menjadi ukurannya adalah sikap batin

yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan. Pengertian

kesalahan yang normatif, pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan

kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara

pembuat dengan perbuatannya, tetapi juga ada unsur penilaian atau unsur normatif

terhadap perbuatannya.

Saat menyelidiki bathin orang yang melakukan perbuatan, bukan bagaimana

sesungguhnya keadaan bathin orang itu yang menjadi ukuran, tetapi bagaimana

penyelidik menilai keadaan batinnya, dengan menilik fakta – fakta yang ada.Menurut

Moeljatno seyogyanya kita ( Indonesia ) menggunakan pengertian kesalahan yang

normatif, sebab dalam KUH-Pidana kita ( antara lain pasal 44). Sering dikatakan

bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang besar, sedangkan kealpaan kesalahan yang

kecil. Karenanya dalam KUH-Pidana kita sistemnya ialah bahwa delik – delik dolus

diancam dengan pidana yang jauh lebih besar daripada ancaman bagi yang culpa.

Contohnya pasal 338 mengenai pembunuhan( dolus) diancam 15 tahun, pasal 359
menyebabkan mati karena kealpaan diancam 5 tahun penjara atau kurungan 1 tahun,

pasal 354 penganiyayaan berat diancam 8 tahun dan jika sampai mengakibatkan mati

diancam penjara 10 tahun. Pasal 480 KUH-Pidana adalah pasal yang sesungguhnya

ganjil, karena dalam pasal ini delik dolus dan culpa ancamannya sama. Moeljatno

tidak begitu setuju jika dikatakan bahwa kesengajaan adalah bentuk kesalahan yang

besar dan kealpaan dipandang sebagai bentuk kesalahan yang kecil. Jika dipandang

dari perspektif orang yang melakukan perbuatan, mungkin memang demikian. Karena

orang yang melakukan perbuatan dan mengerti bahwa itu dilarang menunjukkan

sikap bathin yang lebih jahat daripada sikap bathin orang yang karena alpa atau lalai

tentang kewajiban – kewajiban, menimbulkan perbuatan ( tindak ) pidana.

Dengan kata lain terdakwa bukanlah penjahat melainkan hanya lalai, kurang

berhati – hati. Jika dilihat dari segi masyarakat yang dirugikan karena perbuatan tadi,

menurutnya keduanya adalah sama beratnya, tidak ada yang besar dan tidak ada yang

kecil, yang ada hanya dalam corak atau jenis berlainan. Dari pengertian – pengertian

yang telah diuraikan di atas, maka kesalahan terdiri atas beberapa unsur ( menurut

Sudarto), yakni :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat ( schuldfahigkeit

atau zurechnungsfaghigkeit ) artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal


2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa

kesengajaan ( dolus ) atau kealpaan ( culpa ) yang disebut bentuk – bentuk

kesalahan

3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf

Ad. 1) dalam hal ini dipersoalkan apakah oarng tertentu menjadi “ normadressat ”

yang mampu

Ad. 2) dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pembuat terhadap

perbuatannya

Ad.3) meskipun yang disebut dalam a dan b, ada kemungkinan bahwa ada keadaan

yang mempengaruhi si pembuat sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan

adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa ( pasal 49 ayat 2 KUH-Pidana[18] ).

Sedangkan menurut Moeljatno untuk adanya suatu kesalahan, terdakwa harus :

 Melakukan perbuatan pidana ( sifat melawan hukum )

 Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab

 Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan

 Tidak adanya alasan pemaaf


Selain itu kesalahan juga ada hubungannya dengan kebebasan kehendak. Mengenai

hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada dan tidak adanya kesalahan ada

tiga pendapat dari :

a) Kaum indeterminis ( penganut indeterminsme), pada dasarnya berpendapat

bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari

segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada

kesalahan, apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada pencelaan sehingga

tidak ada pemidanaan.

b) Kaum determinis ( penganut determinisme ) mengatakan bahwa manusia tidak

mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya

oleh watak ( dalam arti nafsu – nafsu manusiad dalam hubungan kekuatan

satu sama lain) dan motif – motif, ialah perangsang – perangsang yang datang

dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti

bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan

mempunyai kesalahan,sebab ia tidak mempunyai kehendak bebas. Namun

tidak berarti orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena tidak ada kehendak

bebas maka ada pertanggungjawaban dari seseorang atas perbuatannya.

Namun reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan berupa tindakan untuk


ketertiban masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti “ penderitaan sebagai

hasil dari kesalahan oleh si pembuat “

c) Golongan ketiga mengatakan ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu

untuk hukum pidana tidak menjadi soal ( irrelevant ). Kesalahan seseorang

tidak dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas.

 Kesengajaan ( opset/ dolus )

Kesengajaan adalah merupakan bagian dari kesalahan ( schuld ). Kesengajaan

pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat atu berkaitan terhadap suatu

tindakan ( terlarang/ keharusan ) dibanding dengan culpa. Karnanya ancaman pidana

pada suatu delik jauh lebih berat, apabila dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa

tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana,

yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti

misalnya penggelapan( pasal 372 KUHP ). Merusak barang-barang ( pasal 406

KUHP ) dan lain sebagainya. Banyaknya para sarjana mengemukakan pendapatnya

mengenai pengertian dari kesengajaan ( opset), dalam rangka memperincinya. Dalam

beberapa hal tidak terdapat keseragaman tafsiran antara para sarjana tersebut.

Perbedaan tafsiaran tersebut antara lain terdapat dalam bidang peristilahan yang

digunakan dalam perumusan perundang-undangan, dlam bidang gradasi kesengajaan


dan terutama dalam bidang “penentuan” erat/ renggangnya atau jauh/dekatnya

kejiwaaan seorang pelaku kepada tindakan yang dilakukan, termasuk penyebab dan

akibatnya.Ulasan-ulasan mengenai kesengajaan ( opset) dapat dilakukan dari

berbaagai sudut atau pandangan. Dengan demikian dalam uraian-uraian pada nomor-

nomor berikutnya akan diutarakan dari berbagai sudut, yaitu dari sudut memori

penjelasan dan dari sudut terbentuknya.

Kesengajaan (opset) menurut memori penjelasan

Menurut memori penjelasan ( memorie van Toelichting), yang dimaksudkan

dengen kesengajaan adalah “menghendaki dan menginsyafi” terjadinya suatu

tindakan beserta akibatnya, ( willens en wetens veroorzaken vaneen gevolg). Artinya,

seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta

menginsafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya. Dari seseorang yang melakukan

suatu tindakan karena ia dipaksa (ditodong), tidak dapat dikatakan bahwa ia

melakukan perbuatan itu karena kehendakanya sendiri. Demikian pula seseorang

yang gila yang lari dengan telanjang di muka umum, atau seseorang anak yang

mempertunjukan gambar-gambar porno, tidak dapat dikatakan bahwa ia 

menghandaki dan menginsyafi perbuatan merusak kesulitan di muka umum.

Kesengajaan (opset) dari sudut terbentuknya


Manusia yang sehat mempunyai bermacam keinginan. Adakalanya keinginan

itu menjurus kepada tindakan yang  dilarang dan diancam dengan pidana oleh

perundang-undang. Misalnya untuk memiliki sebuah benda berharga yang

dibutuhkan, tetapi ia tidak sanggup untuk membelinya. Bilamana ia sangat bernafsu

memiliki benda tersebut, pada suatu ketika dapat terjadi bahwa ia akan melakukan

tindakan apapun, demi untuk memiliki benda tersebut, kendati dilarang oleh

perundang-undangan. Nafsu untuk benda tersebut adalah merupakan perangsang atau

motif dari kelakuanya selajutnya. Jika ia selajutnya merencanakan cara-cara yang

akan dilakukannya untuk memiliki benda tersebut, maka padanya telah ada kehendak.

Untuk terjadinnya suatu tindak pidana, maka kemudian ia melaksanakan tindakan

yang dikehendakinya itu. Singkatnya, dalam rangka mewujudkan kehendak itu, ada

tiga tingkatan / stadia yang dilaluinya yaitu:

a.      Adanya perangsang

b.      Adanya kehendak

c.      Adanya tindakan

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa kesengajaan (opset) adalah suatu

kehendak ( keinginan) untuk melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh

pemenuhan nafsu. Dengan perkataan lain kesengajaan itu ditunjukan terhadap suatu

tindakan. Jelas bahwa proses kejiwaan yang mendahului pengembailan ketetapan

untuk melakukan tindakn yang terlarang, memainkan peranan yang penting.


Penyebab dari proses itu adalah motif dari pelaku, walaupun untuk tindakan pidana,

motif itu tidak mempunyai kepentingan.

Hanya dlam hal pemidanaanya persoalan motif mempunyai kepentingan.

Sehubungan dengan motif ini, dibentuklah alam pemikiran atau gagasan untuk

memenuhi nafsu tersebut. Setelah mengambil ketetapan maka proses kejiwaan itu

telah selesai. Kemudian diikuti oleh tingkah laku untuk mewujudkan kehendak

tersebut, dari tingkah laku mana dengan sengaja atau tidak. Karenanya dalam banyak

hal, kesengajaan itu dapat disimpulkan dari sikap pelaku, sebelum, selama, dan/atau

setelah tingkah laku/ tindakan yang terlarang itu.

Sehubungan dengan pembukitan kesengajaan (opset), memang kita terbentur

pada kesulitan-kesulitan, terutama bilamana pelakunya memungkirinya, bahakan

sering tidak dapat dibuktikan. Seiring dalam usaha yang telah terjadi. Dengan

perkataan lain pembuktian mengenai adanya kesengajaan, seiring dinilai dari

perbuatn-perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku beserta akibat-akibatnya.

Teori-teori Kesengajaan.

Dalam hukum pidana dapat disebut 2 teori, yaitu:

a) Teori Kehendak (wilstheorie), dan

b) Teori pengetahuan atau membayangkan (Voorstellings-theorie).

Corak kesengajaan

a) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu

tujuan (yang dekat); dolus directus


b) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewuszijn atau

noodzakelijkheidbewustzijn)

c) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau

voorwaardelijk opzet).

Untuk memudahkan pemahaman kita pada Kesengajaan ( opset/ dolus ) saya

memiliki contoh tindakannya, seperti:

 A menghendaki matinya B dengan kekuatan tanganya sendiri. A mencekik

leher B dan B mati.

 D mengarahkan bedilnya kepada kelompok manusia, yang dia anggap

sebagai lawan-lawannya. Tanpa mengunakan alat bidik, ditembakannya dan

menghendaki matinya salah seseorang dari mereka itu. Jadi sembarang saja,

siapa saja pokoknya ada yang mati.

 X melempar bom ke dalam gedung bioskop (theatre) yang penuh sesak

dengan penonton. Matinya beberapa orang yang ditimbulkan pecahan-

pecahan bom itulah yang di kehendaki X.

 Kealpaan (culpa)

Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu

pengetahuan hukum pidana diketahui pengertiannya:


a) Segaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karna mengunakan

ingatan/ otaknya secara slah, seharusnya ia mengunakan ingatanya (sebaik-

baiknya), tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan

suatu tindakan ( aktif atau pasif) dengan kurang kewarasan yang diperlukan.

b) Pelaku dapat memprakirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat

mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk

tindk melakukna tindkakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi

tindkana itu tidak dirugikan, atas tindkakan mana ia kemudian dicela, karna

bersifat melawan hokum.

M.v.T menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat:

a. kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan

b. kekurangan pengetahuan ( ilmu) yang diperlukan

c. kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

Kealpaan, sepertinya juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari

kesalahan. Kealpaan adlah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada

kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari

kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu

dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga


letak salah satu kesukaran ntuk membedakan antara kesengajaan bersyarat

(kesadaran-mungkin, dolus eventualis) dengan kealpaan berat ( culpa lata).

Dalam memahami tentang kealpaan atau culpa lebih mudah  saya akan

menguraikan contoh, yaitu:tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam

rumah yang terbuat dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran, tidak

membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada orang yang kerjatuh

karnannya.Dalam hal seperti contoh tindakan diatas kita temukan kealpaan yang

dapat dituntut menurut hokum pidana.

 
 

Anda mungkin juga menyukai