38639
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Printed in 2006.
This paper has not undergone the review accorded to official World Bank publications. The findings, interpretations,
and conclusions expressed herein are those of the author(s) and do not necessarily reflect the views of the
International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank and its affiliated organizations, or those of
the Executive Directors of The World Bank or the governments they represent.
The World Bank does not guarantee the accuracy of the data included in this work. The boundaries, colors,
denominations, and other information shown on any map in this work do not imply any judgement on the part of
The World Bank concerning the legal status of any territory or the endorsement or acceptance of such boundaries.
Suara Masyarakat Miskin
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat
Miskin Di Indonesia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi
Nilanjana Mukherjee
Penelitian lapangan dan analisis yang didukung oleh Indonesia Poverty Analysis Program (INDOPOV), sebuah
program kemitraan Bank Dunia Indonesia yang dipimpin Jehan Arulpragasan. Studi Kualitatif ini ditujukan untuk
melengkapi analisis kuantitatif “Mengefektifkan Pelayanan bagi Masyarakat Miskin di Indonesia”.
Penelitian ini banyak menerima manfaat dari berbagai usulan, diskusi dan kritik dari anggota INDOPOV, terutama
Menno Pradhan, Vincente Paqueo, Peter Heywood, dan Ellen Tan. Suzanne Charles dan Ellen Tan memberikan
dukungan yang sangat berharga berupa penyuntingan naskah. Claudia Surjadjaya menyediakan perangkat
penilaian layanan kesehatan serta memberikan pengarahan kepada para peneliti. Konsultasi dengan masyarakat
miskin dilakukan oleh peneliti berasal dari berbagai LSM dan lembaga pendidikan di Indonesia.
Terimakasih yang sebesar-besarnya juga ditujukan kepada masyarakat miskin — perempuan dan laki-laki — yang
berada di Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat. Mereka telah bersedia membagi penilaian, pengalaman,
pandangan serta pengetahuan mereka untuk memberikan citra dan suara kemanusiaan pada penelitian ini. Besar
harapan mereka agar suaranya bisa didengar oleh para pembuat kebijakan.
Penulis sangat berterima kasih atas dukungan manajemen dari program Air dan Sanitasi Bank Dunia (WSP), yang
memungkinkan penulis melakukan penelitian ini. Khususnya, ucapan terima kasih kepada Richard Pollard, ketua tim
regional untuk WSP - Asia Timur dan Pasifik, dan Ede Jorge Ijjasz-vasquez, manajer program global.
sekolah dasar
Kotak 3: Tidak ada air bersih dama dengan tidak ada guru sekolah dan petugas kesehatan 11
Kotak 4: 92 Terdaftar tapi hanya 29 yang hadir 12
Kotak 5: Tanda-tanda bahaya kehamilan yang tidak dikenali 19
Kotak 6: Persalinan prematur berulang-ualng, tidak ada pemeriksaan pra-persalinan 25
Kotak 7: Tidak lagi kesurupan 26
Kotak 8: Empat hari terlambat 27
Kotak 9: Bagaimana bisa menyusui anak bila air susu ibu tidak keluar? 28
Kotak 10: Bayi meninggal karena diare di kota besar, dekat pelayanan kesehatan 28
Kotak 11: Penduduk miskin membayar 30 kali lebih besar daripada tarif PDAM untuk air – tapi tidak menyadarinya 30
Kotak 12: Terjebak monopoli layanan air 34
Kotak 13: “Mereka tidak memberikan pilihan kepada kami” 41
Kotak 14: “Karena saya miskin, dengan demikian saya juga bodoh” 44
Kotak 15: Pengguna kartu sehat membutuhkan kesabaran dan pengendalian diri 45
Daftar Gambar
Gambar 1: Proporsi suara bagi pilihan penyedia layanan pendidikan dasar 7
Gambar 2: Proporsi suara bagi pilihan penyedia layanan pra-persalinan 17
Gambar 3: Proporsi suara bagi pilihan layanan air yang digunakan 29
Gambar 4: Proporsi suara bagi pilihan fasilitas sanitasi yang digunakan 36
Daftar Tabel
Tabel 1. Lokasi penelitian 1
Tabel 2. Hasil pengamatan sekolah lanjutan di lokasi yang berbeda 14
Tabel 3. Biaya layanan air bersih dan air bersih yang digunakan oleh masyarakat miskin di delapan lokasi 32
penelitian
Madrasah Sekolah yang sebagian besar mata pelajaran dan sistem pendidikannya berdasarkan
agama Islam
Madrasah Sekolah dasar agama Islam setingkat SD
Ibtidaiyah
Madrasah Sekolah menengah agama Islam setingkat SMP
Tsanawiyah
Mantri Petugas kesehatan yang bertugas di puskesmas
MOE Ministry of Education (Departemen Pendidikan Nasional)
NGO Non Government Organization (Lembaga Swadaya Masyarakat)
kabupaten. Sejak saat itu, titik pusat inovasi bergeser ke tingkat kabupaten, sehingga dengan demikian pemerintahan
daerah memiliki otonomi yang sangat kuat untuk melakukan perubahan (baik positif maupun negatif ). Di Negara
yang berpenduduk sekitar 2201 juta jiwa dan terdiri dari 4402 kabuten dan Kotamadya, pergeseran orientasi kebijakan
ini telah menciptakan potensi yang sangat besar bagi pendekatan inovatif lokal dalam menyediakan layanan sektor
publik.
Inisiatif mengefektifkan ( Layanan bagi Masyarakat miskin di Indonesia ) bertujuan untuk memberikan dukungan
analisis bagi pemerintah Indonesia agar bisa meningkatkan akses dan mutu layanan dasar bagi masyarakat miskin
dalam era desentralisasi. Sasarannya, selain untuk merangkum kondisi layanan mendasar bagi masyarakat miskin,
juga menentukan dan menganalisis faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap kondisi saat ini, dan selain itu
mengusulkan kerangka kerja analisis serta langkah-langkah praktis untuk meningkatkan layanan bagi masyarakat
miskin.3
Sampai sekarang, tidak satu pun literatur, yang tergolong cukup lengkap, tentang desentralisasi menyertakan
juga analisis tentang pandangan masyarakat miskin mengenai pemberian layanan publik; laporan ini berusaha
untuk mengisi kesenjangan tersebut. Di samping itu, laporan ini juga berusaha untuk memahami hambatan yang
dihadapi masyarakat miskin, serta memahami alasan yang mendasari pilihan yang diambil masyarakat miskin di
daerah pedesaan dan perkotaan tentang layanan kesehatan dasar, pendidikan, penyediaan air bersih, dan sanitasi
yang mereka butuhkan. Laporan ini juga memberikan rekomendasi tentang kebijakan untuk meningkatkan layanan
bagi masyarakat miskin berdasarkan analisis dan saran dari masyarakat miskin, dan penyedia layanan publik yang
mampu meningkatkan akuntabilitas serta penguatan hubungan antara pengguna layanan, penyedia layanan, dan
pembuat kebijakan.
Ada delapan layanan kunci yang menjadi fokus penelitian ini sbb: 4
• layanan pra persalinan
• bantuan persalinan
• layanan kuratif untuk bayi usia 0-2 bulan
• layanan kuratif bayi >2 bulan hingga 5 tahun
• pendidikan dasar
• peralihan menuju sekolah menengah
• layanan air bersih
• fasilitas sanitasi (pembuangan tinja)
Peran aktif masyarakat miskin dalam penyediaan layanan rakyat masyarakat dengan memberikan tekanan pembuat
kebijakan dan penyedia layanan, berpotensi untuk meningkatkan mutu layanan yang akan mereka terima. Penelitian
ini berupaya menggali sejauh mana masyarakat miskin mampu dan mau melakukan hal tersebut dan mampukah
mereka melihat apakah peran serta yang mereka mainkan itu efektif atau tidak. Penelitian ini juga berusaha
mencermati bagaimana pandangan masyarakat miskin mampu menarik perhatian para pembuat kebijakan agar
mereka memperhatikan aspirasi masyarakat miskin, serta bagaimana pandangan dari mereka bisa membuat para
pembuat kebijakan mampu meningkatkan akuntabilitas penyedia layanan untuk meningkatkan pelayanan terhadap
kelompok tersebut.
Tanggapan kebijakan di Indonesia terhadap minimnya layanan mendasar bagi masyarakat miskin atau terhadap
layanan yang mengecewakan, pada umumnya berupa penentuan jumlah pemberian subsidi untuk menyediakan
layanan publik, seperti program kartu sehat dan pemberian beasiswa. Kebijakan ini memberikan asumsi bahwa
sektor publik merupakan lembaga yang paling efisien yang mampu memberikan layanan kepada masyarakat miskin.
Asumsi lain adalah bahwa masyarakat miskin tidak memanfaatkan layanan tersebut karena harganya yang terlalu
mahal bagi mereka. Penelitian ini dirancang untuk meninjau kembali hipotesis yang telah mendorong lahirnya
berbagai kebijakan di Indonesia dan memberikan saran-saran untuk menghasilkan kebijakan alternatif yang secara
lebih langsung terkait dengan berbagai kendala yang dihadapi masyarakat miskin.
Temuan-temuan yang diuraikan berikut ini mencerminkan suara masyarakat miskin yang berasal dari delapan
kabupaten yang terpilih di Indonesia. Namun demikian, tidak berarti kalau suara mereka mewakili seluruh masyarakat
miskin di seluruh negeri ini.
Beberapa pesan penting yang muncul secara berulang-ulang selama proses Konsultasi dengan masyarakat miskin
1. Pandangan masyarakat miskin terhadap mutu layanan sering kali berbeda dengan pandangan para ahli :
• Masyarakat miskin menganggap mutu layanan dukun beranak lebih baik daripada yang diberikan oleh bidan
yang terlatih.
• Air sumur dianggap bersih, sementara air sungai kotor. Walaupun anggapan yang kedua memang benar
adanya, anggapan yang pertama bahwa air sumur bersih, juga tidak benar.
keuntungan lebih yang diperoleh dari bantuan persalinan profesional. Mereka yang sadar tidak yakin bahwa
keuntungan tambahan tersebut sepadan dengan biaya tambahan yang tinggi.
3. Program untuk masyarakat miskin, seperti kartu sehat, sangat dihargai, namun para peneliti menemukan bahwa;
informasi tentang hal itu (tentang kebijakan untuk masyarakat miskin) biasanya tidak tersedia. Seringkali petugas
layanan publik atau pejabat pemerintah, yang merupakan satu-satunya sumber informasi tentang layanan bagi
masyarakat miskin, gagal memberikan informasi lengkap kepada masyarakat miskin, dan kadang-kadang mereka
bahkan menyalahgunakan kekuasaan mereka, dan menghalangi akses layanan ini bagi masyarakat miskin.
4. Para elit masyarakat – para petugas atau pejabat pemerintah – jarang mendengarkan masyarakat miskin ketika
rakyat seperti ini menyampaikan kebutuhan, keprihatinan, dan pendapat mereka untuk meningkatkan layanan
bagi rakyat. Masyarakat miskin memandang diri mereka sebagai “anak tiri”; para elit menganggap masyarakat
miskin “bodoh” dan tidak mau berinteraksi serta memberikan informasi bagi mereka. Satu-satunya cara agar
masukan masyarakat miskin dapat dihargai adalah melalui mitra perantara pihak ketiga.
5. Biaya di luar SPP (Sumbangan Pembangunan Pendidikan) untuk sekolah dasar (seperti seragam, buku, dan
sebagainya) merupakan beban berat bagi masyarakat miskin. Kebijakan baru untuk menghapus SPP bagi
masyarakat miskin tidak menuntaskan masalah biaya di luar SPP yang masih sangat besar.
6. Adanya persepsi publik bahwa masyarakat miskin tidak akan mampu membayar sarana air bersih dan sanitasi
yang bermutu adalah tidak benar. Masyarakat miskin perkotaan membeli air dari penjual swasta dengan harga
15 sampai 30 kali tarif Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Meskipun mampu membeli air dari PDAM dengan
tarif yang berlaku, masyarakat miskin tetap sulit mendapatkan sambungan karena mereka tidak memiliki hak sewa
atau hak milik yang jelas atas tanah yang mereka tinggali, masalah lainnya adalah tingginya biaya pemasangan
yang harus dibayar tunai. Ketika sebagian besar masyarakat miskin perkotaan mampu menanggung biaya
pembangunan WC umum yang murah, tetapi sekali lagi tidak adanya hak kepemilikan atau hak sewa lahan
pemukiman menjadi penghalang. Juga, kebanyakan dari mereka tidak menyadari adanya pilihan WC umum
berbiaya rendah, baik di pedesaan maupun perkotaan.
7. Di daerah kepulauan, masyarakat miskin sulit mendapatkan akses air bersih, sering kali karena sistem monopoli
yang dikuasai oleh penjual air. Hal ini juga terjadi di daerah perkotaan yang berpenduduk padat.
8. Ada perbedaan mutu yang besar antara penyedia layanan di perkotaan yang melayani daerah kumuh dan
9. Khususnya di daerah pedesaan, banyak anak yang sudah terdaftar di sebuah sekolah tidak mengikuti pelajaran
10. Ketidakhadiran guru di sekolah-sekolah serta tidak tersedianya petugas kesehatan di puskesmas pembantu
(pustu) di pedesaan seringkali berkaitan dengan kurangnya fasilitas infrastruktur dasar seperti sumber air dan
sanitasi di sekolah-sekolah dan pos-pos kesehatan. Para guru tidak bersedia bekerja dalam kondisi seperti itu
(walaupun mereka bersedia jika dibayar).
11. Jika tidak terdapat sekolah menengah di desa, gadis-gadis di Madura menikah segera setelah lulus sekolah
dasar dan hamil. Apabila ada kesempatan untuk melanjutkan ke sekolah menengah pertama, pernikahan dini
bisa dicegah. Ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk meningkatkan akses sekolah menengah bagi anak
perempuan untuk alasan-alasan yang lebih dari sekedar soal prestasi akademis.
Kriteria pemilihan lokasi di daerah pedesaan meliputi mata pencaharian utama (petani sawah di Jawa Barat, nelayan
kepulauan Nusa Tenggara Barat, penduduk dataran tinggi yang bergantung pada hasil hutan di Kalimantan Selatan,
dan rakyat petani lahan kering di Madura), lihat Tabel 1.
Dalam setiap musyawarah masyarakat miskin sangat mudah terabaikan. Mereka yang berada pada tangga sosial
terendah, jarang menghadiri pertemuan warga: mereka tidak bisa menyisihkan waktu kerja mereka dan sering tidak
diundang dalam acara tersebut. Pengalaman masa lalu membuat masyarakat miskin sulit untuk percaya pada pihak
luar. Mereka dapat berbicara dengan leluasa tentang pengalaman mereka — pengalaman yang sering kali sangat
berbeda dengan versi yang sudah “dipermak” dan dikumandangkan para pemimpin. Para peneliti dilengkapi dengan
perangkat analisis partisipatif dan penelitian kualitatif (digambarkan pada Lampiran 1, hal. 1-4) yang dirancang untuk
mengatasi hambatan komunikasi seperti yang digambarkan di atas dan mengumpulkan pandangan, penilaian, dan
pengalaman masyarakat miskin.
Empat tim peneliti yang masing-masing terdiri dari empat orang, melakukan penelitian selama empat hingga lima
hari di tiap komunitas. Setiap tim terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat
atau kelompok akademis, setiap tim melakukan pembahasan dengan kelompok laki-laki dan perempuan. Mereka
menjelaskan tujuan penelitian, pertama kepada para pemimpin formal dan kemudian kepada masyarakat miskin.
Minat warga di setiap lokasi sangat tinggi. Sebelumnya tidak pernah ada yang menanyakan kepada masyarakat
miskin tentang pendapat mereka mengenai layanan publik. Pada awalnya mereka heran, tapi kemudian lebih
ekspresif dalam memberikan penilaian dan penjelasan. Ketika penelitian berkembang, perangkat analisis visual
Untuk informasi rinci tentang lokasi dan kemiskinan, lihat Lampiran 2, hal. 5-11. Yang menarik untuk dicatat adalah
perbedaan antara derajat kemiskinan yang dibuat penduduk setempat lokal dengan standar resmi.
PAMINGGIR: Paminggir, sebuah desa terpencil yang terdiri dari 333 rumah tangga di Kecamatan Danau Panggang,
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, diklasifikasikan sebagai “desa tertinggal” oleh program pemerintah
Inpres Desa Tertinggal. Setengah dari jumlah rumah tangga tersebut tergolong miskin, menurut standar lokal. Tingkat
kesejahteraan diukur atas dasar kepemilikan, seperti kapal, peralatan menangkap ikan, kolam ikan, dan jumlah
kerbau. Sebaliknya, masyarakat miskin didefinisikan berdasarkan apa yang mereka tidak miliki. Desa ini hanya bisa
dicapai dengan kapal selama dua hingga enam jam dari ibukota kabupaten. Masyarakat sangat bergantung pada
sungai baik untuk mata pencaharian – menangkap ikan – maupun sebagai transportasi. Kondisi tanah berawa, tidak
cocok untuk pertanian. Curah hujan tinggi dan sering dilanda banjir. Penduduk di desa ini memiliki: satu sekolah
dasar negeri, satu sekolah menengah, dan satu puskesmas pembantu yang buka dua atau tiga hari dalam seminggu.
Bidan di desa terdekat berjarak enam kilometer, puskesmas terdekat 14 kilometer dan sulit dijangkau. Desa ini tidak
memiliki sumber air bersih dan fasilitas sanitasi. Paminggir baru menerima sambungan listrik PLN pada tahun 1999.
BAJO PULAU: Bajo Pulau merupakan sebuah desa kecil dengan 380 rumah tangga di sebuah pulau seluas
91 hektar, jauh dari tepi pantai Sumbawa, Kecamatan Sape, Nusa Tenggara Barat. Kebanyakan rumah tangga
bergantung pada mata pencaharian menangkap ikan. Pada dua dekade lalu, mereka menggunakan bahan peledak
dan potasium sianida untuk menangkap ikan. Sejak tahun 1987, mereka fokus pada budidaya lobster dan mutiara,
yang memberikan penghasilan lebih baik. Di sini hanya ada sedikit infrastruktur; tidak ada puskesmas atau praktik
dokter swasta di pulau ini. Air bersih harus dibawa dari pulau lain. Ada tiga sekolah dasar yang terlantar, yang hanya
berfungsi dua sampai tiga jam sehari. Guru-guru sekolah dan bidan di desa tidak tinggal di pulau ini sehingga
mereka jarang ada ketika diperlukan.
ALAS KOKON: Desa ini terdiri dari 508 rumah tangga di Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Modung, di Pulau
Madura. Desa ini memiliki tingkat kemiskinan 46% menurut peta kemiskinan BPS, dan 80% menurut kriteria BKKBN.
Berdasarkan standar lokal, mereka merasa berada pada tingkat kemiskinan 67%. Rumah tangga bergantung pada
pertanian musiman lahan kering (jagung, kacang kedelai, cabai, kacang polong, dan tanaman musiman seperti
mangga, pisang dan kapuk). Alas Kokon memiliki satu sekolah dasar negeri dan satu sekolah dasar swasta. Ada
sebuah puskesmas pembantu dan polindes yang berjarak tujuh kilometer. Air bersih yang tersedia di dalam sumur
terbatas secara kuantitas dan sanitasi rendah.
di jalan utama memiliki sambungan air PDAM, sisanya termasuk masyarakat miskin menggunakan sumur galian.
Puskesmas berjarak lima kilometer; dan terdapat seorang bidan di desa. Kertajaya memiliki dua sekolah dasar negeri
dan satu sekolah dasar swasta.
ANTASARI: Kelurahan di perkotaan di Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, memiliki tingkat
kemiskinan lebih dari 30 persen (BKKBN). Penduduknya merupakan campuran dari berbagai suku dari Kalimantan dan
Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Kelurahan ini memiliki 1.243 rumah tangga yang terlibat dalam berbagai perdagangan
dan bidang jasa. Masyarakat miskin di Antasari kebanyakan bekerja sebagai buruh upahan di pasar, bidang konstruksi,
dan nelayan musiman di sungai. Desa ini memiliki dua sekolah dasar negeri, satu sekolah menengah negeri, dan satu
puskesmas. Walaupun PDAM menyediakan saluran pipa air ke rumah warga yang tergolong mampu, masyarakat
yang miskin tidak mendapatkan sambungan.
JATIBARU: Kelurahan ini terletak di kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang sering mengalami banjir. Mata
pencaharian penduduk yang berjumlah 1.886 rumah tangga perkotaan/pedesaan beragam. Pada musim tanam,
masyarakat miskin menjadi buruh tani di sawah di sekitar kota Bima. Pada musim lainnya mereka mengumpulkan
dan menjual kayu bakar atau bekerja sebagai penjual atau buruh harian di tempat pembakaran batu bata dan pabrik.
Jatibaru memiliki lima sekolah dasar negeri, dua sekolah menengah negeri, dan satu Puskesmas Pembantu dengan
tiga orang petugas kesehatan; sebuah Puskesmas dan sebuah rumah sakit umum yang berjarak dua kilometer.
Masyarakat miskin memperoleh air dari sumur galian tanpa penutup dan sumur galian dangkal. Ada sistem pipa
air yang dibangun oleh CARE perlu diperbaiki: “Penduduk tidak punya dana untuk memperbaikinya” adalah alasan
yang dilaporkan.
SIMOKERTO: Simokerto, sebuah kelurahan di Kecamatan Simokerto, Kabupaten Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Kelurahan ini, 10 kilometer dari Surabaya, terletak di tengah daerah komersial dan industrial, memiliki tingkat
kemiskinan 90% (BKKBN). Ada sedikit kesamaan sosial dari penduduknya yang berjumlah sekitar 3.500 rumah tangga.
Beberapa tinggal sebagai penghuni liar di tanah samping rel kereta api. Masyarakat miskin berjuang untuk bertahan
hidup dengan melakukan berbagai pekerjaan. Tidak ada layanan kesehatan di Simokerto, tetapi di wilayah ini ada
Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Simokerto memiliki delapan sekolah dasar negeri, dua sekolah dasar swasta
dan sebuah sekolah menengah atas swasta. Sekolah menengah pertama terdekat berjarak tiga kilometer. Tidak
banyak penduduk mampu yang memiliki sambungan PDAM. Sisanya membeli air bersih dari penjual. Masyarakat
miskin kebanyakan menggunakan air sumur galian. Beberapa rumah memiliki fasilitas sanitasi yang tidak baik yang
pembuangannya langsung ke selokan dengan air mengalir hitam. Masyarakat miskin yang menjadi penghuni liar
tidak memiliki akses sanitasi selain satu WC umum.
Kurangnya pendidikan merupakan fakta adanya masyarakat miskin di Indonesia. Enam dari delapan lokasi,
masyarakat miskin mempunyai karakteristik kemiskinan sebagai: “Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin sering
tidak terdaftar di sekolah dasar/tidak menyelesaikan sekolah dasar/hanya berhasil menyelesaikan sekolah dasar.”
Di bulan Juli 2005, pemerintah Indonesia berjanji untuk menyediakan pendidikan dasar sembilan tahun untuk
semua anak-anak usia sekolah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Meskipun demikian, masyarakat miskin
tetap harus membayar uang pangkal sekolah yang besar (kadang disebut sebagai biaya gedung), terutama di Jawa
(lihat Lampiran 3, Tabel 3.1).
Walaupun murid-murid dilaporkan tidak lagi membayar uang sekolah bulanan (yang berkisar antara Rp.2.000 dan
Rp.17.000 sebulan), biaya untuk pembelian uang buku, seragam, pelajaran komputer, ujian, dan ijazah bisa mencapai
Rp.100.000 – Rp.150.000 per anak per tahun. Biaya tambahan yang “terselubung” meliputi sepatu (diharuskan oleh
beberapa sekolah), tas sekolah, makanan ringan, dan sebagainya (lihat Lampiran 3, Tabel 3.1).
Masyarakat miskin lebih menyukai sekolah negeri. Sebagian besar lokasi, ada beberapa pilihan antara sekolah dasar
yang dikelola pemerintah (Sekolah Dasar Negeri atau SDN), dan ada juga sekolah Islam yang dikelola penduduk
(Madrasah Ibtidaiyah). Di tujuh lokasi, sekolah dasar yang dipilih oleh kebanyakan masyarakat miskin adalah SDN.
Alasan yang diberikan oleh masyarakat miskin dalam membuat pilihan ini adalah:
agama.
• Anak-anak yang menyelesaikan SDN menerima ijazah.
Penduduk Alas Kokon di Madura lebih menyukai Madrasah daripada SD Negeri. Alasan orang tua untuk pilihan ini adalah:
• Madrasah tidak mengharuskan seragam yang mahal.
• Guru-guru lebih disiplin dan menetap di Madrasah. Guru SDN sering kali absen/tidak disiplin.
• SDN hanya mengajarkan anak-anak untuk membaca, menulis dan berhitung. Di Madrasah mereka juga belajar
agama dan membaca Al Qur’an.
Laki-laki dan perempuan masyarakat miskin umumnya menganggap bahwa manfaat pendidikan dasar di sekolah
umum melebihi biaya yang harus dikeluarkan (lihat Gambar 1 dan Lampiran 3, Gambar 3.1 dan 3.2). Selanjutnya,
biaya pendidikan itu merupakan hambatan besar terutama jika memiliki beberapa anak.
Tingkat kepuasan bergantung pada mutu guru dan derajat keterbukaan masalah keuangan antara sekolah dengan
orang tua (lihat Kotak 1).
Masyarakat miskin merasa dibebani oleh biaya sekolah, (“Mengapa buku harus diganti setiap semester?”), (“Mengapa
tidak menggunakan buku yang bisa dipakai sepanjang tahun?”), (“Mengapa buku sekolah harganya mahal?”), (“Mengapa
kami dikenakan biaya untuk ijazah?”) adalah pertanyaan yang terus-menerus ditanyakan. Biaya masuk dan ijazah
yang belum dibayar menumpuk. Ijazah yang ditahan oleh sekolah menjadi beban tambahan bagi mereka yang
tidak mampu memenuhi kewajiban. Hal ini lalu menimbulkan kekecewaan dan pertentangan di antara para orang
tua dan pengelola sekolah. Bahkan, kepala dusun di Simokerto juga memiliki kesulitan membayar uang pendaftaran
(biasanya para kepala dusun lebih mampu secara finansial dibanding anggota masyarakat lainnya). Hanya satu dari
tiga anaknya yang telah menerima ijazah sekolah setelah melunasi pembayaran biaya sebesar Rp.750.000, yang kira-
kira setara dengan penghasilan keluarga miskin di sana selama tiga setengah bulan.
78%
86%
Biaya pendidikan di SDN sangat beragam pada lokasi penelitian (lihat Lampiran 3, Tabel 3.1). Di Paminggir (Kalimantan
Selatan), sekolah hampir gratis kecuali untuk biaya pendaftaran dan ijazah lulus sekolah; di perkampungan kumuh
Surabaya, biaya pendaftaran dan buku mencapai Rp.830.000.5 Di lokasi di Jawa Barat, para orang tua membayar 10
- 15 kali lebih besar daripada di tempat lain untuk mendapatkan ijazah lulus sekolah dasar. Di Soklat, responden
laki-laki mengeluhkan bahwa walaupun telah membayar Rp.68.000, mereka tetap tidak menerima ijazah. (Sebagai
perbandingan, Madrasah Ibtidaiyah yang dikelola swasta mengenakan biaya hanya Rp.5.000 – Rp.10.000 per
bulan).
Ayah seorang anak yang hanya menyelesaikan sekolah dasar, Soklat, Jawa Barat
5 Biaya pendaftaran dan biaya gedung berkisar dari Rp.50.000 – Rp.100.000 per anak di lokasi perkotaan NTB dan pedesaan Jawa Barat. Biaya-biaya
ini, yang dapat dibayar dengan cicilan, dilaporkan menyebabkan banyak murid yang keluar. Sebagai tambahan, pengulangan biaya-biaya selain
uang sekolah (buku-buku, uang komputer, seragam, tas dan sepatu, dan sebagainya) berkisar Rp.100.000 – 150.000 per tahun.
“Gratis? Apanya yang gratis? Memang kami tidak perlu membayar iuran bulanan sekarang, namun kami harus
mengeluarkan uang untuk membeli buku dan seragam, dan membayar uang gedung. Sebelumnya kami hanya
Suara Masyarakat Miskin
membayar Rp.10.000 – Rp.20.000 setiap bulan. Sekarang kami harus membayar Rp.200.000 pada awal tahun.”
Penjual sayuran, ibu dari dua anak sekolah di Jakarta,
The Jakarta Post, 17 Juli 2005
Sekolah Menengah Pertama Negeri merupakan beban utama secara finansial bagi keluarga miskin. Rumah tangga
miskin berusaha untuk mengirim setidaknya satu anak ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Sekolah
Menengah Pertama (SMP) — namun jarang bisa menanggung biaya untuk menyekolahkan semua anak.
Hanya tiga anak dari desa Kertajaya yang melanjutkan pendidikan hingga ke sekolah menengah – dan itu adalah
sekolah pesantren di luar desa. Bajo Pulau tidak memiliki sekolah menengah dan tidak ada anak yang dikirim untuk
bersekolah di luar desa.
Di daerah perkotaan Jatibaru, Simokerto dan Soklat, para responden mendaftarkan paling tidak satu anak di SMP
atau Madrasah – mana saja yang ada dan tidak terlalu jauh dari rumah. Mereka lebih menyukai Madrasah karena
tidak ada uang pangkal atau biaya gedung. Biaya masuk, pendaftaran, dan gedung tidak tetap, berkisar antara
Rp.200.000 – Rp.600.000 (lihat Lampiran 3, Tabel 2). Sekolah mengenakan biaya sesukanya, tergantung pada reputasi
dan popularitas mereka — dengan alasan, biaya tersebut digunakan untuk pelajaran tambahan atau fasilitas yang
ditawarkan. Dilaporkan, pengenaan biaya tersebut tidak memiliki dasar hukum.6 Ada pernyataan warga Kertajaya
yang membuat putus asa orang tua murid: “Untuk masuk SMP Negeri memerlukan setidaknya Rp.1,5 juta. Selain itu,
masih ada biaya transportasi, makan, dan sebagainya. Siapa yang sanggup?”
Pesantren atau sekolah Islam lainnya (Madrasah Tsanawiyah) lebih banyak dipilih dibanding SMP, oleh 37 persen
laki-laki dan perempuan dalam penelitian ini, dan merupakan pilihan populer di dua lokasi, Alas Kokon dan Antasari
(lihat Lampiran 3, Gambar 3.3). Kertajaya dan Bajo Pulau tidak memiliki sekolah menengah pertama dan sisanya,
empat lokasi memilih SMP yang ada di daerah tersebut.
Di Alas Kokon dan Antasari, para orang tua yang menyekolahkan anak mereka di Madrasah Tsanawiyah (sekolah-
sekolah agama yang dikelola Departemen Agama) tampaknya cukup puas. Di Alas Kokon, sekolah mengenakan
biaya Rp.1.500 perbulan; di Antasari, biaya tahunan Rp.100.000, tetapi tahun ini semua anak menerima bantuan
6 Menurut Direktur Pusat Reformasi Pendidikan Universitas Paramadina, Hutomo Danangjaya, sekolah-sekolah negeri tidak memerlukan dana tam-
bahan untuk pemeliharaan gedung karena mereka sudah memiliki gedung yang terawat baik. Jakarta Post, 17 Juli 2005.
SMP di Paminggir (Kalimantan Selatan) gratis, namun mutu fasilitas dan pendidikan sekolah rendah. Biaya SMP di
Jika harus membayar uang sekolah, masyarakat miskin menganggap bahwa SMP Negeri tidak menawarkan
layanan yang sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkan, tidak seperti Madrasah Tsanawiyah. Warga perempuan
khususnya, merasa tidak puas karena (lihat Lampiran 3, Gambar 3.4 dan 3.5):
• SMP berada jauh dari rumah – biaya transport tinggi/tidak berada di jalur kendaraan umum.
• SMP biayanya mahal. Selain itu, selain itu juga dikenakan biaya lain sebesar Rp.450.000 untuk mendapatkan
ijazah lulus (Simokerto).
• Ruang kelas dibagi dengan sekolah dasar (Jatibaru).
Kehidupan anak perempuan berubah drastis jika sekolah menengah tidak dapat dijangkau, baik karena jarak yang
jauh maupun karena biaya. Dalam keadaan demikian, anak perempuan akan segera menikah setelah lulus sekolah
dasar dan hamil pada saat mereka baru saja memasuki masa puber (lihat Kotak 2). Kematian ibu dan bayi, serta bayi
lahir cacat, biasa terjadi pada kehamilan seperti itu.
Kotak 2. Menikah pada usia 13 tahun, melahirkan di usia 14 tahun — satu-satunya pilihan setelah sekolah dasar
Pada 15 September 2005, di desa Alas Kokon di Madura, para peneliti bertemu dengan Nurhayati yang berusia 14 tahun. Dia baru saja mela-
hirkan anak pertamanya, setelah tiga hari tiga malam mengalami kesulitan persalinan. Awalnya dia dibantu oleh dukun beranak setempat,
namun kemudian bidan di desa harus dipanggil untuk menolong. Untung kali ini nyawanya tertolong. Karena tidak ada sekolah menengah
di desa ini, setiap anak perempuan langsung menikah setelah lulus sekolah dasar. Kehamilan di usia muda tidak dapat dihindari, ini berarti
kemungkinan angka kematian akan semakin tinggi. Bagaimana Nurhayati dan anak-anak perempuan muda lainnya bisa diberdayakan untuk
mendapatkan kontrol atas badan dan hidup mereka?
Laporan Lokasi, Alas Kokon, Madura
Di tujuh lokasi, para peneliti menemui dan mewawancarai guru di sekolah dasar negeri. Di Paminggir, penjaga
malam menggantikan posisi guru yang sering absen.
Guru di sekolah dasar di daerah pedesaan menyatakan bahwa mereka tidak bisa memberikan pendidikan yang
bermutu. Sekolah hanya memiliki dua atau tiga ruang kelas untuk dipakai oleh enam kelas. Gedung sekolah dalam
kondisi buruk, namun laporan ke Departemen Pendidikan tidak membawa hasil apapun. Sekolah pedesaan di
Para guru mengatakan bahwa anak-anak cenderung putus sekolah dan bekerja, begitu mereka mendapat
Suara Masyarakat Miskin
keterampilan dasar baca tulis dan berhitung. Orang tua tidak melihat keuntungan dari pendidikan lebih lanjut bagi
anak-anak mereka. Kadang sekolah menyediakan insentif, seperti biaya untuk transportasi atau seragam bekas untuk
mendorong anak-anak dari keluarga miskin agar tetap datang ke sekolah.
Pandangan guru sekolah dasar di perkotaan jauh lebih baik. Mereka percaya bisa memberikan layanan yang baik
untuk murid dari keluarga miskin, sesuai dengan biaya yang mereka keluarkan. Mereka menceritakan bahwa banyak
murid miskin di sekolah mereka, dan sekolah memberikan beasiswa serta menggalang dana untuk membayar
seragam, alat tulis, dan kegiatan ekstra kurikuler untuk murid miskin. Di Antasari dan Jatibaru, mereka mengatakan
bahwa para orang tua mengetahui mutu sekolah dan upayanya mendukung masyarakat miskin. Guru di dua sekolah
dasar di perkotaan mengatakan untuk murid miskin yang tidak memiliki buku pelajaran, menyarankan sekolah agar
meminjamkan buku kepada murid miskin.
Penilaian para pendidik dan orang tua kadang jauh berbeda. Kepala sekolah dasar di Soklat memuji mutu pendidikan
di sekolahnya “200 persen.” Dia menjelaskan bahwa pengelola sekolah sering berinteraksi dengan para orang tua,
menjaga transparansi dana, dan mengijinkan orang tua miskin membayar uang sekolah dengan mencicil. Orang
tua murid yang miskin tidak setuju, dan mengeluh bahwa ijazah lulus sekolah ditahan serta informasi tentang
pencabutan uang sekolah tidak pernah dipublikasikan.
Peneliti mewawancarai guru-guru sekolah menengah negeri di Soklat, Jawa Barat dan Antasari Kalimantan Selatan.
Di Paminggir, kepala desa menjadi guru sukarela, menggantikan guru pegawai negeri yang absen.
Guru di Soklat berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat sepenuhnya gratis. Sekolahpun menyadari kemampuan
ekonomi orang tua murid, untuk itu sekolah mengijinkan mereka membayar uang pendaftaran/biaya gedung
dengan cara mencicil. Menurutnya, masalah biaya pendidikan terlalu dibesarkan: “Jika saja mereka mengurangi satu
batang rokok sehari, kemungkinan dapat menyimpan uang untuk membayar biaya pendidikan sebesar Rp.15.000
perbulan.”
Kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah, sekolah percontohan di Antasari, mengatakan dana pemerintah cukup
untuk menutup semua biaya keperluan sekolah termasuk materi pelajaran lain dan ekstrakurikuler bagi murid yang
dikategorikan miskin. Orang tua miskin memberi nilai tinggi untuk mutu sekolah yang besar ini, yang memiliki tujuh
dari delapan kelas untuk setiap jenjang kelas, dengan total 23 ruang kelas. Sekolah ini dibiayai oleh Departemen
Agama.
Walaupun semua sekolah dasar dirancang untuk Kelas 1 sampai dengan 6, sekolah di pedesaan hanya memiliki
dua atau tiga ruang kelas, sehingga beberapa kelas harus dikelompokkan bersama. Tidak satupun sekolah dasar
pedesaan yang memiliki air bersih. Separuh sekolah tidak memiliki fasilitas sanitasi. Fasilitas sanitasi di sekolah lain
tidak dapat digunakan. Tidak satu sekolahpun memiliki sambungan listrik atau perpustakaan. Tiga sekolah memiliki
atap yang rusak.
Tingkat kehadiran dalam satu hari pengamatan di empat sekolah pedesaan berkisar antara 28 hingga 92 persen.
Ruang kelas berdebu dan kotor, dengan lantai rusak, namun ada cukup banyak kursi, ventilasi, dan cahaya matahari.
Papan tulis merupakan satu-satunya perangkat mengajar di ruang kelas. Tidak ada hasil karya murid yang dipajang
di dinding. Sering kali, murid ditinggalkan sendirian di ruang kelas tanpa guru. Tingkat disiplin rendah.
Guru tidak tinggal di desa melainkan datang dan pergi dari daerah perkotaan, dan sering terlambat atau tidak hadir.
Alasan mereka: kurangnya air bersih dan layanan sanitasi (Bajo Pulau, Paminggir, Alas Kokon), lihat juga Kotak 3.
Pada murid di kelas yang diamati hanya kurang dari seperempat yang memiliki buku pelajaran dan alat tulis;
pengajar menunjukkan kemampuan mengajukan pertanyaan yang terbatas dan tidak melakukan interaksi dengan
murid-murid, selain itu, tidak ada murid yang bertanya di kelas manapun. Para guru menunjukkan tidak ada bias
jender dalam menghadapi murid-murid, dan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan
bahasa daerah.
Kotak 3: Tidak ada air bersih sama dengan tidak ada guru sekolah dan petugas kesehatan
Pak Sahrul, penjaga sekolah/guru pengganti sekolah dasar negeri di Paminggir mengatakan guru negeri sering kali absen.
Lihat hasil wawancara
“Saya masuk kelas dan mengajar apa saja yang saya bisa ketika guru yang resmi tidak hadir,” tukasnya. “ Ini lebih baik daripada membiarkan
murid-murid membuang waktu mereka.”
Sahrul mengatakan guru tinggal di kota, jauh dari desa, walaupun mereka ada penginapan gratis. Paminggir tidak memiliki persediaan air
bersih dan setiap orang harus menggunakan air sungai untuk segala keperluan – masak, minum, cuci, mandi, demikian juga buang air besar.
Guru PNS dari kota tidak terbiasa dengan hal tersebut. Mereka kembali ke kota untuk mencuci dan sering terlambat memberitahukan kapan
bekerja kembali.
Laporan lokasi, Paminggir, Kalimantan Selatan
dapat sekitar Rp.100.000 sebulan, dan memberikan sebagian besar pendapatannya kepada ayahnya.
Saat ditanya mengapa dia lebih menyukai bekerja daripada tetap berada di sekolah, Tison mengatakan, dia sudah belajar membaca, menulis
dan berhitung dan tidak mempelajari banyak hal lainnya. Guru datang dari daratan, tiba terlambat pada pukul 9 dan menyuruh anak-anak
pulang pada pukul 11. Sekolah bubar pada pukul 11. Kelas 2, 3, 4 dan 5, 6 digabung menjadi satu. Akibatnya, mereka susah diatur dan terlalu
banyak jumlahnya untuk dikendalikan. Sekeliling sekolah tampak suram: tidak ada fasilitas air atau sanitasi, tidak cukup kursi, dan atap bocor.
Bukan itu saja, Tison bosan.
Di pulau ini, anak lelaki umumnya berhenti sekolah antara kelas tiga dan lima, selebihnya anak perempuan yang terdaftar di sekolah. Pada hari
para peneliti mengunjungi sekolah, hanya 29 dari 92 anak yang hadir.
Sekolah Dasar Perkotaan: Sebaliknya, sekolah di perkotaan secara signifikan lebih baik daripada rekan mereka di
pedesaan dalam hal fasilitas, dan proses mengajar.
Ilustrasi 1 : Perbedaan Perkotaan/Pedesaan: Keadaannyai baik di sekolah dasar negeri perkotaan, seperti yang di-
tunjukkan oleh kelas di Soklat, Jawa Barat (kiri) dan di Simokerto, Jawa Timur (kanan), sekolah ini memiliki perpus-
takaan.
Empat sekolah dasar perkotaan (SDN) semuanya memiliki air bersih yang dapat diandalkan. Fasilitas sanitasi, meskipun
ada dan berfungsi, sangatlah minim, dengan hanya satu atau dua WC untuk digunakan hingga 200 anak. Seluruh
sekolah memiliki sambungan listrik dan ruang kelas yang cukup, namun hanya dua yang memiliki perpustakaan dan
lapangan olah raga. Dua sekolah memberikan kelas komputer. Ruangan kelas yang diamati dalam keadaan bersih,
memiliki ventilasi yang bagus, dan dalam kondisi yang baik. Terdapat pelbagai perangkat ruang kelas seperti papan
tulis dan peta dinding, dan perangkat ini digunakan, kursi dan meja tersedia cukup untuk murid dan guru.
Tingkat kehadiran murid pada hari pengamatan tinggi, 87-100 persen di dua lokasi, secara signifikan anak perempuan
lebih sedikit daripada anak laki-laki.
Secara umum, fasilitas yang tersedia dan proses pendidikan sekolah-sekolah menengah negeri mutunya jauh lebih
baik daripada di sekolah dasar negeri.
Pilihan sekolah menengah tersedia dan diamati di seluruh empat lokasi perkotaan, namun hanya satu terdapat di
lokasi pedesaan (SMP Negeri di Soklat, Simokerto, Jatibaru, Paminggir, dan Madrasah Tsanawiyah Negeri Model di
Antasari).
Ilustrasi 2 : Ruang kelas di sekolah dasar negeri di pede- Di tiga sekolah, dua WC digunakan untuk 200-300 anak sehingga
saan Bajo Pulau yang hancur karena badai dan banjir keduanya cepat rusak. Di dua sekolah lainnya, enam sampai
delapan WC terpelihara dengan baik. WC murid terpisah dengan
WC guru bagi guru-guru.
Lebih dari tiga perempat murid memiliki buku catatan, pena atau pensil, kurang dari seperempat yang memiliki buku
paket. Guru kelas memiliki persiapan mengajar yang baik. Di dua lokasi, guru mengajar hanya dalam Bahasa Indonesia.
Di lokasi lain mengajar hanya dalam Bahasa Indonesia dan bahasa daerah
1. Mutu layanan pendidikan dasar di daerah pedesaan yang diamati sangat buruk. Kondisi infrastruktur sekolah
tidak menunjang kegiatan untuk belajar.
3. Ketidakhadiran guru merupakan masalah utama di daerah pedesaan yang kekurangan air bersih dan sanitasi.
Ini merupakan salah satu sebab guru dari daerah perkotaan tidak bersedia tinggal di desa. Bila mereka tidak
hadir, anak-anak dibiarkan keluar sekolah, tinggal di dalam kelas tanpa guru, atau diajar oleh guru pengganti
yang tidak terlatih dengan metode mengajar yang sangat buruk, dan tingkat pengetahuan yang tidak lebih dari
lulusan sekolah menengah.
4. Kurangnya sarana air bersih dan fasilitas sanitasi di sekolah dasar di pedesaan juga menyebabkan upaya
mengajarkan kebersihan di tingkat dasar menjadi sesuatu tidak mungkin. Anak-anak yang diamati memiliki
kebersihan yang rendah.
5. Sekolah dasar negeri di perkotaan lebih baik daripada sekolah dasar di pedesaan dalam hal infrastruktur,
kecuali untuk sanitasi. Sekolah dasar di perkotaan memiliki guru dengan keterampilan mengajar yang cukup
memuaskan. Kebanyakan murid kekurangan buku pelajaran.
6. Mutu infrastruktur dan pendidikan, sebagaimana mutu pengajaran pada sekolah menengah, jauh lebih baik
dibandingkan pada sekolah dasar. Namun hal ini memberi sedikit perbedaan bagi masyarakat miskin, karena
menurut penelitian, anak dari keluarga miskin jarang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari
sekolah dasar.
7. Dari seluruh sekolah yang diamati, SDN Murung Sari 2 dan Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Sungai Malang,
keduanya di Antasari, tampaknya lebih menonjol dibanding sekolah lain, diikuti oleh SMP di Paminggir. Yang
menarik adalah sekolah tersebut ternyata memungut biaya paling rendah dan memberikan kesempatan
beasiswa kepada murid dari keluarga miskin. Ketiga sekolah ini berada di Kalimantan Selatan. Orang tua sangat
puas dengan sekolah tersebut, kemungkinan karena pemerintah setempat memiliki dedikasi yang lebih besar
dalam mendanai pendidikan bermutu bagi masyarakat miskin dibanding pemerintah dari daerah lainnya.
Tersedianya berbagai jenis layanan publik serta persepsi tentang nilai dan mutu layanan tersebut merupakan faktor
penentu apakah rakyat akan memilih terhadap kesehatan atau tidak. Biasanya, perempuan memilih berdasarkan
penyedia layanan tersebut, sementara pilihan laki-laki menentukan pilihan bereka berdasarkan besarnya-kecilnya
biaya (rata-rata Rp.10.000,-). Setiap pilihan sangat rasional, berdasarkan pertimbangan keuntungan dan biaya
sejauh dijangkau oleh masyarakat miskin. Kebijakan untuk meningkatkan layanan kesehatan kepada rakyat hanya
dapat efektif jika pembuat kebijakan semacam itu mampu memahami cara berpikir dan hal-hal yang melandasi
pengambilan keputusan mereka.
Selama tahun 1990-an, bidan di desa yang sudah terlatih diperkenalkan di seluruh Indonesia sebagai upaya untuk
menurunkan tingkat kematian ibu yang tinggi. Satu dekade kemudian, bidan di desa tampaknya tidak mengubah
kecenderungan masyarakat miskin untuk memilih menggunakan jasa dukun beranak yang juga memberikan
layanan pra-persalinan dan persalinan.
Sekitar 65 persen dari seluruh masyarakat miskin yang diteliti menggunakan penyedia layanan kesehatan rakyat
seperti bidan di desa, Puskesmas atau Puskesmas pembantu (Pustu), sementara 35 persen sisanya menggunakan
dukun beranak tradisional yang dikenal dengan pelbagai macam sebutan seperti dukun bayi, dukun beranak, sando,
paraji, bidan kampung (lihat gambar 2).
Dukun beranak merupakan pilihan paling populer di seluruh lokasi di luar Jawa. Di Jawa, baik pedesaan maupun
perkotaan, bidan desa atau Puskesmas/Pustu merupakan pilihan yang lebih disukai, kecuali di desa Alas Kokon di
Madura.
Pada umumnya, perempuan hamil atau anggota keluarga perempuan yang lebih tua memilih penyedia layanan
kesehatan pra-persalinan. Jumlah biaya yang dikeluarkan dan perbandingan biaya kedua layanan ini dapat dilihat
pada diagram di bawah ini (lihat Lampiran 3, Tabel 3.3).
26% 23%
34% 35%
Masyarakat miskin yang menggunakan jasa dukun beranak untuk layanan pra-persalinan menyadari bahwa dukun
beranak tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai untuk mendeteksi atau menangani kehamilan yang
berisiko tinggi; juga tidak memberikan vitamin tambahan atau imunisasi TT. Meskipun demikian, mereka memilih
untuk menggunakan jasa dukun beranak dengan alasan berikut:
• Dukun beranak selalu ada di tempat, sementara bidan jarang ada di Polindes atau Pustu setempat.
• Dukun beranak tinggal dekat dengan rumah mereka, sementara Puskesmas berada jauh dan membutuhkan
biaya transportasi.
• Dukun beranak mengenakan biaya Rp.1.000 sampai Rp.5.000 per kunjungan, kadang-kadang hanya dibayar
dengan beras atau kelapa; biaya bidan tiga sampai lima kalinya (Alas Kokon).
• Dukun beranak tahu bagaimana mengubah posisi janin ”jika kepalanya tidak berada di posisi yang benar”.
• Berpengalaman, telah banyak membantu persalinan bayi sehat sebelumnya.
• Terpercaya dan terkenal.
Di Jawa Puskesmas dan Pustu lebih mudah dijangkau, tetapi masyarakat miskin lebih suka menggunakan layanan
kesehatan yang tidak mahal. Dengan biaya sebesar Rp.2.500 – Rp.5.000, mereka bisa mendapatkan pertolongan
bidan, suplemen zat besi serta imunisasi TT, dan dapat mengetahui apakah kehamilan mereka berisiko atau tidak.
Perempuan lebih suka menghubungi bidan di desa di rumahnya pada sore hari untuk mendapatkan layanan
perawatan pra-persalinan, karena layanan dilakukan dengan lebih penuh perhatian dan tidak perlu menunggu.
Bagaimanapun, biaya lima kali lebih besar daripada layanan Puskesmas kalau biaya transportasi ditambahkan.
Di sisi lain, perjalanan ke bidan di desa biasanya tidak memerlukan transportasi. (Sekalipun di Jawa, masyarakat
miskin mengeluarkan biaya transportasi sebesar Rp.6.000 – Rp.12.000 untuk memperoleh layanan perawatan pra-
persalinan)yang besarnya Rp. 3000 - Rp. 5000 di Puskesmas atau Rp. 10.000 - Rp. 15.000 di rumah bidan desa.
Secara umum, layanan perawatan pra-persalinan dari dukun beranak bagi masyarakat miskin tampaknya sepadan
Kokon, Jatibaru). Namun demikian, di seluruh lokasi Pulau Jawa, masyarakat miskin memilih Puskesmas atau bidan
desa untuk layanan perawatan pra-persalinan daripada dukun beranak. Tindakan ini untuk meminimalkan risiko
persalinan yang sulit serta besarnya biaya tak terduga selama persalinan – melalui deteksi berkala untuk melihat
kemungkinan kehamilan berisiko tinggi.
Biaya per Kelahiran yang dibantu : Proses persalinan diharapkan berjalan normal, dan untuk
SOKLAT/Jawa Barat melakukan hal ini dukun beranak hampir selalu merupakan
Paraji (Dukun beranak): pilihan pertama. Kecuali daerah perkotaan yang berpenduduk
Rp.50.000 – Rp.100.000 atau pada seperti Simokerto, di seluruh lokasi dukun beranak
Rp.50.000 + 5 kg beras merupakan pilihan pertama di antara para perempuan (76%)
bidan desa: dan laki-laki (64%) ( lihat Lampiran 3, Diagram 3.7). Walaupun
Rp.300.000 – Rp.400.000 biaya merupakan alasan yang menentukan pilihan masyarakat
miskin, ada sejumlah faktor yang membuat mereka lebih memilih
layanan yang diberikan oleh dukun beranak. Biaya layanan yang diberikan oleh bidan di desa untuk membantu
persalinan lebih besar daripada penghasilan rata-rata rumah tangga miskin dalam satu bulan. Di samping itu, biaya
tersebut pun harus dibayar tunai. Sebaliknya, pembayaran terhadap dukun beranak lebih lunak – secara uang tunai
dan ditambah barang. Besarnya tarif dukun hanya sepersepuluh atau seperlima dari tarif bidan desa. Dukun beranak
juga bersedia pembayaran mereka ditunda atau dicicil – tergantung kapan keluarga memiliki uang untuk
membayarnya (lihat Soklat dan Lampiran 3, Tabel 3.4).
Yang lebih penting, masyarakat miskin puas dengan layanan dukun beranak dan mereka merasa mendapatkan
layananan yang sepadan dengan uang yang dibayarkan (lihat Lampiran 3, Gambar 3.8 dan 3.9). Menurut mereka
dukun beranak lebih perhatian dan sabar daripada bidan, baik selama persalinan maupun sesudahnya. Perempuan
miskin mengatakan bahwa dukun beranak dapat melanjutkan layanan untuk 10-14 hari pasca melahirkan, dengan
sabar memanjakan ibu baru dan bayinya. Dia mencuci dan membersihkan ibu setelah melahirkan, menemani
anggota keluarga agar ibu bisa beristirahat dan memulihkan diri. Sebaliknya, bidan seringkali tidak tersedia saat
dibutuhkan atau bahkan tidak mau datang saat dipanggil (Bajo Pulau, Paminggir, Alas Kokon, Jatibaru). Saat akhirnya
dia datang, dia hanya membantu sampai melahirkan bayi dan plasentanya.
Masyarakat miskin menyadari bahwa bidan lebih terlatih dalam menangani persalinan yang sulit. Namun enam
7 Keuntungan dan Nilai untuk Biaya yang Dikenakan (Benefits and Value for Cost) merupakan sebuah perangkat dari metodologi penilaian partisa-
toris (Methodology for Participatory Assessment). Untuk penjelasan, lihat Sustainability Planning and Monitoring in Community Water Supply and
Sanitation. Mukherjee dan Van wijk, WSP-IRC-World Bank. 2003.
Kecemburuan profesional lebih lanjut mengancam kesehatan ibu dan bayi. Masyarakat miskin melaporkan
Masyarakat miskin jarang menyadari masalah yang muncul selama kehamilan atau persalinan (lihat Kotak 5).
Mereka bergantung pada penyedia layanan kesehatan pilihan mereka (kebanyakan memilih dukun beranak) untuk
mengambil tindakan atau merujuk perempuan hamil ke fasilitas kesehatan yang lebih baik. Sistem perawatan
kesehatan ternyata belum berhasil membuat masyarakat miskin menjadi lebih waspada terhadap tanda-tanda
kehamilan atau persalinan yang berisiko dan tindakan apa yang harus diambil.
Rumah sakit umum di Jawa dan Puskesmas dianggap menyediakan layanan yang paling memuaskan (lihat Lampiran
3, Gambar 3.8) namun biaya yang tinggi membuat orang menjauh. Puskesmas dan rumah sakit umum digunakan
hanya bila terjadi keadaan darurat yang mengancam jiwa.
3.3. Layanan Kesehatan bagi Anak di bawah Usia 5 tahun (Balita): Layanan
Publik Lebih Disukai
Di seluruh lokasi masyarakat miskin cenderung menyukai layanan sektor publik untuk layanan kesehatan bayi dan anak
di bawah lima tahun. Mereka mengatakan: pemeriksaan yang lebih baik, pemulihan lebih cepat, dan kesanggupan
membayar. Dari 80 hingga 85 persen memilih penyedia layanan dari sektor publik untuk perawatan kesehatan anak,
khususnya bidan di desa dan Puskesmas (lihat Lampiran 3, Gambar 3.10 dan 3.11). Di lokasi pedesaan, Puskesmas
atau Pustu merupakan pilihan pertama. Lokasi perkotaan, bidan desa atau Pustu. Walaupun dokter swasta disadari
menyediakan layanan yang lebih baik namun biayanya mahal (Soklat, Bajo Pulau).
Hanya rakyat di Bajo Pulau, NTB, yang lebih menyukai dukun beranak. Alasannya sederhana: bidan desa “tidak pernah
ada di desa”. Hal lain berkaitan dengan kepercayaan: menurut tradisi setempat, bayi-bayi yang dibantu persalinannya
Dalam memilih penyedia layanan kesehatan untuk anak-anak mereka yang berusia di bawah 5 tahun (balita),
Suara Masyarakat Miskin
masyarakat miskin memiliki beberapa pertimbangan. Persyaratan yang paling penting yaitu menggemakan
kepedulian mereka terhadap layanan pra-persalinan dan persalinan. Penyedia layanan harus:
• Ada saat diperlukan.
• Berada dekat rumah/biaya transportasi tidak ada atau rendah.
• Menunjukkan layanan yang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan (terutama Puskesmas, karena bidan desa
atau Mantri tidak menerima Kartu Sehat di luar Puskesmas).
• Memeriksa anak sakit dengan seksama. Pada saat orang tuanya sudah berusaha membawa anaknya ke
Puskesmas, mereka harus dapat menemui dokter, bukan mantri.
• Hanya memberikan obat-obatan yang manjur dan menjelaskan berapa lama pengobatan diperlukan sebelum
hasilnya dapat terlihat.
• Menjelaskan kepada orang tua penyebab penyakit dan memberi nasihat bagaimana cara merawat anak
tersebut (pemeriksaan, resep, obat-obatan, imunisasi, suplemen, dan sebagainya).
Masyarakat miskin mempertimbangkan pilihan yang ada, dan cenderung menentukan pilihan mereka berdasarkan
tingkat kesulitan masalah: Mereka tahu bahwa mutu dukun beranak tidak cukup, tetapi hanya untuk konsultasi
penyakit ringan. Salah seorang berujar: “(Dukun hanya dapat berdoa, menawarkan pijatan, memberi jamu-jamuan,
dan jarang memberikan jaminan penyembuhan dalam waktu cepat).”
Masyarakat miskin mengatakan biaya konsultasi dengan dukun dan Pustu atau Puskesmas sebanding dengan
layanan, akan tetapi mereka mencatat biaya transportasi ke Pustu dan Puskesmas secara signifikan dapat menaikkan
biaya berobat ke Pustu atau Puskesmas (lihat Lampiran 3, Tabel 5, hal. 14).
Di desa, masyarakat miskin dengan Kartu Sehat tertarik dengan Puskesmas atau Pustu, dengan uang “pendaftaran”
senilai Rp.2.500 – Rp.3.000 untuk memperoleh layanan dan obat gratis. Di Simokerto, biaya “pendaftaran” Pustu
menurut masyarakat miskin, sebesar Rp.5.000, tetapi menurut penyedia layanan kesehatan biaya pendaftaran
sebesar Rp.3.000 ,-.
Hal ini menunjukkan masalah besar dalam penyediaan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin: Secara hukum,
masyarakat miskin dengan Kartu Sehat harusnya menerima layanan dan obat-obatan di Puskesmas secara gratis.
Dengan memungut biaya “pendaftaran”, Puskesmas mengumpulkan uang secara ilegal. Karena kurangnya informasi
tentang pengaturan biaya, masyarakat miskin selalu harus membayar lebih.
Layanan dari bidan di desa pada jam praktik dirumahnya dinilai tinggi, walaupun biaya umumnya dua kali lipat,
Rp.15.000, namun: “(Tidak perlu menunggu dalam antrian panjang dan obat-obatan lebih manjur).”
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, fakta bahwa perempuan lebih terlibat daripada laki-laki dalam merawat
bayi yang sakit, menyebabkan ada perbedaan jender dalam hal tingkat kepuasan terhadap berbagai penyedia
layanan kesehatan (lihat Lampiran 3, Gambar 13, hal. 27). Perempuan kurang puas dibandingkan laki-laki mengenai
layanan bidan (Soklat, Kertajaya, Bajo Pulau), Pustu (Paminggir), dan Puskesmas (Soklat). Ketika responden laki-laki
cenderung tidak menjelaskan penilaian mereka, responden perempuan miskin justru memiliki banyak masukan
mengenai pengalaman mereka.
tidak membaik, datang lagi minggu depan.” Tapi jika saya kembali lagi – obat-obatan yang diberikan akan sama
saja.”
Dukun beranak diwawancarai di pedesaan Paminggir, Alas Kokon, Kertajaya, dan daerah perkotaan Soklat, mengenai
pendapat mereka tentang mutu layanan yang mereka sediakan.
Dukun beranak merasa mereka telah menyediakan layanan pra-persalinan dan pertolongan persalinan bermutu
tinggi dengan harga terjangkau. Mereka mengatakan bahwa pasien miskin sangat puas, dan tidak melihat perlunya
peningkatan layanan mereka. Paraji di Kertajaya menambahkan: “Bagi kami, membantu persalinan merupakan
tugas kemanusiaan yang mulia. Mereka membayar kami dengan apa saja dan kapan saja mereka bisa – beras, kelapa,
gula, uang. Kami menyediakan layanan selama 40 hari pasca persalinan, siang dan malam. Itulah sebabnya mengapa
masyarakat miskin begitu senang dengan layanan kami.” Para responden yang memilih pra-persalinan dan bantuan
persalinan dalam penelitian ini tentu saja memperkuat kebenaran pernyataan itu. (Lihat hasil wawancara)
Dua dari empat dukun beranak yang diwawancarai telah menerima pelatihan dari dokter-dokter Puskesmas pada
tahun 1990-91. Mereka merasa pelatihan dan peralatan persalinan yang diberikan saat pelatihan, sangat bermanfaat.
Indikasi menunjukkan bagaimana ketatnya dana: Para dukun beranak masih menggunakan peralatan yang sama –
sebut saja sepasang gunting operasi untuk menggunting tali pusat. Mereka sendiri heran mengapa pelatihan tidak
tersedia lagi, dan menyarankan pemerintah seharusnya menyediakan peralatan persalinan baru dan timbangan
untuk menimbang bayi yang baru lahir.
Dua dukun beranak lainnya (di NTB dan Madura) menolak pelatihan dan peralatan persalinan. “Saya terlalu tua untuk
belajar hal-hal baru dan saya tidak mau membawa buku dan tas,” ujar dukun beranak dari Madura. “Pengalaman dan
pengetahuan tradisional saya sudah cukup untuk pekerjaan saya.”
Situasi ini mencerminkan hubungan yang tidak nyaman antara dukun beranak yang sudah tua dan dihormati,
dengan bidan di desa yang merupakan pegawai negeri terlatih dari luar rakyat. Idealnya, keduanya harus bekerja
sama. Namun kenyataannya, dukun beranak enggan mengakui bahwa bidan di desa lebih mampu menangani
persalinan sulit. Akibatnya, rujukan kadang tertunda dengan konsekuensi yang tragis.
Tetap, dukun beranak melihat kebutuhan peningkatan pada sektor kesehatan publik. Dukun beranak di Paminggir
Menurut bidan desa, besarnya biaya yang ia kutip sepadan dengan layanan yang diberikan. Mereka mengatakan
bahwa masyarakat miskin tidak realistis menganggap mereka mengenakan biaya terlalu tinggi: “Masyarakat miskin
mengharapkan keajaiban jika mereka membayar,” kata Bidan Windarti dari Alas Kokon. Bidan mengatakan mereka
sudah menyesuaikan biaya dengan kemampuan pasien untuk membayar.
Bidan desa memiliki beberapa saran untuk meningkatkan layanan yang dapat dilakukan oleh pemerintah:
• Lebih banyak lagi masyarakat miskin yang membutuhkan Kartu Sehat atau kartu jaminan Kesehatan. Sering
kali, saat bidan merujuk masyarakat miskin ke rumah sakit dalam keadaan darurat, pasien tidak memiliki Kartu
Sehat.
• Menambah jumlah dan mutu persediaan obat-obatan di Puskesmas atau Pustu, agar masyarakat miskin bisa
memperolehnya dengan menggunakan Kartu Sehat.
Pustu perkotaan agaknya mulai kehilangan pasien. Bidan di Simokerto mengatakan hanya masyarakat miskin yang
datang ke Pustu, bahkan kehadiran mereka berkurang. Dia menunjuk keterbatasan jam buka Pustu: “Mungkin jam
buka Pustu bersamaan dengan jam kerja mereka..... Kami biasanya melayani hingga 70 pasien per hari di Pustu ini.
Sekarang hanya 20-30 pasien per hari.”
Daerah terpencil lebih bermasalah: mantri melakukan kunjungan mingguan ke Bajo Pulau untuk menemui pasien;
rakyat tidak mengunjungi Pustu di daratan tetapi mereka memanggilnya melalui telepon selular hanya jika ada
seseorang yang sakit parah.
Masyarakat miskin jarang bisa menemui bidan atau mantri di Pustu di Paminggir. Seorang mantri berkata, “Saya tidak
bisa tinggal di desa karena saya memiliki banyak tugas di kota.” Bidan di desa, penggantinya, juga tidak tinggal di desa,
karena dia dilaporkan sedang bersiap-siap naik haji. Penduduk desa tidak bisa menerima alasan tersebut sebagai
pembenaran atas ketidakhadiran mereka.
Tiga dokter Puskesmas diwawancarai di Jawa Barat dan Jawa Timur (Madura) dan NTB mengenai layanan yang ada
dan mutunya.
Suara Masyarakat Miskin
Para dokter setuju bahwa Puskesmas sangat penting bagi masyarakat miskin, terutama sebagai wadah untuk
mendapat obat-obatan gratis dan layanan kesehatan yang murah. Mereka mengatakan bahwa di masa lalu, obat-
obatan tidak banyak tersedia, namun sekarang Puskesmas berwenang membeli persediaan obat-obatan dengan
menggunakan dana yang tersisa dari anggaran tahunan. Mereka khawatir masyarakat miskin memiliki kesan
bahwa obat-obatan generik, yang dijual atau didistribusikan tanpa merek, kurang efektif daripada yang obat yang
bermerek.
Pendapat mereka berbeda tentang mutu layanan yang disediakan oleh para petugas kesehatan terhadap masyarakat
miskin. Di kedua lokasi di Jawa Barat, mereka mengatakan para petugas kesehatan menyediakan layanan yang
baik di Puskesmas; berinteraksi dengan pasien miskin di Posyandu; dan terlatih dengan “prosedur jaminan kualitas.”
Menurut mereka, satu alasan mengapa masyarakat miskin tidak sepenuhnya puas dengan klinik adalah karena
letaknya jauh dari tempat tinggal mereka, sehingga biaya transportasi menjadi mahal.
Semua dokter mengatakan bahwa Kartu Sehat tidak secara tepat tertuju kepada masyarakat miskin. Banyak yang
memiliki dan menggunakannya adalah orang mampu, sementara banyak orang yang benar-benar miskin tetap
tidak memiliki Kartu Sehat atau Asuransi Kesehatan. Pencatatan dan pendaftaran untuk Askes dimulai pada bulan
Januari 2005 dan tidak selesai pada saat penelitian ini berlangsung (Oktober 2005). Dengan kuota yang tetap dan
tidak memadai, kartu Askes tidak akan dapat diberikan kepada semua yang membutuhkan.
Dokter umum di Puskesmas sekitar perkotaan di NTB mengatakan kebanyakan petugas kesehatan yang menjangkau
rakyat tidak memberikan layanan dengan baik. Untuk meningkatkan mutu layanan, dia menyarankan Depkes
harus:
• Menentukan indikator kinerja yang praktis bagi para petugas kesehatan, yang dapat dengan mudah dimengerti
dan diuji oleh mereka dan para pasiennya.
• Memberi penghargaan tetapi juga sanksi oleh yang berwenang kepada para petugas kesehatan seperti yang
sudah dilakukan di sektor swasta. Menentukan standar seperti jumlah pasien yang dilayani per hari.
• Mengurangi gaji para petugas kesehatan ketika mereka absen.
• Mengumumkan hak masyarakat miskin tentang layanan-layanan kesehatan melalui media massa.
Penelitian ini menunjukkan banyaknya penggunaan jasa dukun beranak untuk pra-persalinan dan persalinan. Bukan
hanya biaya dukun beranak lebih rendah dan mudah dijangkau, tapi juga masyarakat miskin menyadari tingginya
mutu layanan mereka.
Masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan memiliki sedikit pemahaman tentang kriteria layanan pra-
persalinan yang baik, dan wanita hamil tidak melihat perawatan berkala pra-persalinan sebagai hal penting. Dukun
beranak mereka umumnya tidak mengenali keadaan patologis yang mungkin berkembang selama kehamilan.
Sehingga tidak ada pengenalan dan penanganan adanya komplikasi pada ibu dan serta faktor risiko lainnya
karena tidak memperoleh layanan perlindungan seperti imunisasi TT dan suplemen zat besi. Hal ini menyebabkan
meningkatnya risiko-risiko kematian ibu, kematian bayi saat dilahirkan, dan kematian pasca persalinan (Kotak 6).
Tahun berikutnya, Sri hamil lagi, dia tidak memeriksakan kehamilannya, dan ia menderita rasa mual yang hebat selama kehamilan dan lagi-lagi
melahirkan pada usia kandungan 7 bulan. Bayi keduanya ini lahir selamat, beratnya hanya 1,4 kilogram dan juga tidak dapat bertahan.
Sri dan suaminya menyerah dari usaha memiliki anak. Mereka tidak punya uang untuk perawatan kehamilan, dan takut kecelakaan yang sama
terulang kembali. Sri menggunakan kontrasepsi suntik setiap tiga bulan.
Laporan Lokasi, Simokerto, Jawa Timur
Perawatan pra-persalinan oleh dukun beranak hanya meliputi penentuan posisi janin (dengan pemijatan untuk
memperbaiki posisi janin). Beberapa kematian janin yang tidak dapat dideteksi, kematian ibu, dan kematian bayi
saat dilahirkan, selain disebabkan oleh praktik tersebut, juga karena terlambat merujuk mereka kepada petugas
kesehatan yang profesional. Dukun beranak kurang dilengkapi dengan keterampilan profesional. Sebagai contoh,
tingkat pelatihan mereka tidak memungkinkan mereka mampu membuat prediksi persalinan yang handal.
Kegagalan mengikuti standar perawatan, misalnya dengan tidak memberikan imunisasi TT, bisa mengakibatkan
kematian bayi (Kotak 7).
Ibu Rusmini kehilangan 3 anaknya dengan cara seperti ini, ketiga anaknya meninggal ketika berusia 9 bulan, 1 bulan dan 2 minggu.
Hari ini, di tahun 2005, orang-orang mengetahui tetanus dan berusaha mendapatkan imunisasi TT untuk para ibu hamil. Namun mereka masih
tetap menggunakan layanan dukun beranak dalam persalinan. Dukun beranak tetap memotong tali pusat dengan sebilah bambu, yang sekarang
ini direbus sebelum digunakan.
Laporan Lokasi, Kertajaya, Jawa Barat
Secara positif, hampir dua pertiga dari warga perempuan dan laki-laki yang diwawancarai menggunakan satu dari
tiga jenis penyedia layanan kesehatan seperti Puskesmas, Pustu atau bidan di desa. Kebutuhan untuk mendapatkan
imunisasi tetanus toksoid bagi ibu hamil merupakan salah satu alasan untuk mengunjungi penyedia layanan
kesehatan.
Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa, layanan yang diberikan oleh bidan di desa terlatih pada umumnya
baik karena mereka mampu memenuhi standar minimum. Namun, mereka cenderung mengabaikan pentingnya
peningkatan kesehatan/pendidikan. Selama pemeriksaan awal terhadap pasien, mereka cenderung tidak
menanyakan riwayat pasien, status kandungan dan riwayat kesehatan, serta status sosial ekonomi mereka. Hal ini
terjadi mungkin karena antara petugas dan pasien sudah saling kenal. Yang mengejutkan, tidak satu pun dari para
penyedia layanan kesehatan ini yang mencuci tangan mereka sebelum memeriksa pasien. Pemeriksaan fisik oleh
bidan hanya mengukur tinggi rahim dan berat ibu. Mereka tidak memeriksa payudara, tangan, kaki, kepala dan leher.
Para bidan biasanya memberikan imunisasi tetanus toksoid dan tablet zat besi. Tetapi mereka mengenakan biaya ini
kepada pasien, sehingga biaya yang dikenakan lebih tinggi daripada dukun beranak.
Selama pemeriksaan pra-persalinan oleh bidan desa baik di dalam atau di luar pusat kesehatan, tidak ada perempuan
yang mendapat informasi tentang tanda-tanda bahaya selama kehamilan yang seharusnya mendorong mereka
untuk segera mencari pertolongan dari petugas kesehatan yang terlatih.
Pertolongan Persalinan
Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan orang lebih memilih untuk menggunakan dukun beranak. Sementara
itu, definisi mereka tentang mutu layanan berbeda dari definisi standar medis. Kelemahan utama dari mutu layanan
adalah tidak dipenuhinya standar minimal medis oleh para dukun beranak, seperti dengan praktik yang tidak steril
(memotong tali pusat dengan sebilah bambu dan meniup lubang hidung bayi yang baru lahir dengan mulut).
Riwayat kasus kematian ibu dan janin dalam penelitian ini menggambarkan apa yang terjadi jika dukun beranak
gagal mengetahui tanda bahaya pada masa kehamilan dan persalinan serta rujukan yang terlambat (lihat Kotak 8).
Puskesmas merupakan penyedia kesehatan yang lebih disukai. Rakyat menganggapnya tidak mahal dan dapat
dipercaya. Namun karena lebih mudah, mereka membawa anak-anak mereka terlebih dahulu ke bidan atau mantri
desa. Bila warga miskin mau menghabiskan banyak waktu dan mengeluarkan biaya untuk pergi ke puskesmas,
mereka berharap agar anak mereka diperiksa oleh dokter atau bahkan oleh dokter spesialis, dan bukan oleh mantri
dan bidan. Pemeriksaan dianggap terlalu cepat (hal ini diperkuat selama pengamatan oleh peneliti dengan melihat
daftar yang dibuat oleh seorang dokter).
Pemeriksaan dan penggolongan: Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa sangat sedikit anak sakit yang
dibawa ke puskesmas, benar-benar diperiksa dan dirawat dengan baik oleh bidan atau mantri. Tidak satu pun dari
para petugas ini yang mencuci tangan mereka sebelum memeriksa pasien. Bahkan mutu pemeriksaan dan cara
mereka menentukan penyakit pasien sangat rendah, bila diukur menurut dengan standar IMCI. Hanya ada satu
petugas kesehatan yang mampu menyampaikan tiga hal yang menunjukkan keadaan berbahaya (satu-satunya
pusat kesehatan yang memiliki seorang dokter hanya mampu mendeteksi dua dari tiga hal tersebut).
Perawatan: Tidak adanya pemeriksaan yang tepat untuk menentukan mutu perawatan, data tidak bisa mengukur
ketepatan perawatan.
Saran dan penyuluhan yang diberikan: Penelitian menunjukkan, kurangnya pendidikan tentang layanan
kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil, ibu baru, perawat bayi, dan pasien anak-anak. Para petugas kesehatan
tidak menjelaskan hasil pemeriksaan mereka, juga tidak menasihati orang tua/wali tentang bagaimana cara merawat
anak yang sakit. Mereka memberi penjelasan dengan cepat dan pasien tidak boleh bertanya (komunikasi satu arah).
Sebelum beralih ke pasien berikutnya, dengan cepat mereka menjelaskan cara pemakaian obat yang akan diberikan,
tetapi tidak memeriksa ulang apakah penjelasan itu sudah dimengerti dan apakah orang tua memahami berapa
lama obat tersebut harus diberikan.
Saat petugas kesehatan tidak berhasil memberikan penyuluhan kepada masyarakat miskin tentang nutrisi (gizi)
anak mereka, dan perlunya penanganan segera terhadap dehidrasi akibat diare, nyawa anak-anak berada dalam
risiko (Kotak 9 dan 10).
Hoiriyah berhenti memproduksi air susu ibu tujuh hari setelah Parhan lahir. Sejak itu, dia hanya diberi air sampai usia satu bulan, saat dia juga
Suara Masyarakat Miskin
diberikan nasi. Orang tuanya sudah membawanya ke bidan desa, sering kali untuk menyembuhkan diare. Untuk ini, bidan memberikan Oralit dan
bukannya nasihat tentang perbaikan gizi. Keluarga Parhan tetap tidak tahu bagaimana harus memberi makan bayi ini.
Para petugas kesehatan di pusat kesehatan terdekat menyebutkan bahwa hal ini merupakan pola yang sering terjadi di wilayah ini, namun mereka
tidak memikirkan pendekatan untuk pendekatan perbaikan atau upaya pencegahan.
Laporan Lokasi, Alas Kokon
Kotak 10: Bayi meninggal karena diare di kota besar, dekat pelayanan kesehatan
Keni yang berumur 6 bulan menderita diare tiba-tiba dan muntah-muntah. Orang tuanya membawanya ke Puskesmas terdekat yang tidak mempu-
nyai cukup staf dikarenakan hari libur nasional. Keni menunggu lam untuk diperiksa, ini menyebabkan dia menderita dehidrasi parah. Dia dirujukkan
ke rumah sakit kota. Tak seorangpun memberitahu orang tua Keni bahwa dengan menunda membawa Keni ke rumah sakit bisa berakibat fatal.
Ayah Keni tidak mempunyai kartu kesehatan. Karena khawatir biaya rumah sakit akan banyak, ayah Keni menunda membawa Keni ke rumah sakit.
Dia justru pulang dan menghubungi Kepala RT untuk mendapatkan surat keterangan miskin yang memberikan dia perawatan rumah sakit gratis.
Pada saat dia mendapatkan surat itu dan Keni sampai di rumah sakit, kondisinya sudah kritis. setelah dua hari diinfus Keni meninggal dunia.
Tidak satu pun dari responden masyarakat miskin dalam penelitian ini mengetahui tentang kebijakan resmi dari
Departemen Kesehatan (Danareksa), yang memungkinkan bidan desa untuk menyediakan layanan publik kepada
warga yang sangat miskin yang memerlukan pertolongan dalam keadaan darurat, dan mendapat penggantian
biaya layanan dari Puskesmas. Jika mereka mendapatkan informasi tersebut, banyak masyarakat miskin yang
akan terdorong untuk menghubungi bidan desa lebih awal; banyak kematian dalam proses persalinan akan bisa
dihindari.
Di daerah pedesaan, 40 persen masyarakat miskin menggunakan sumber air yang tidak memadai (sumur galian
tanpa penutup dan sungai) untuk minum dan masak (lihat Gambar 3,). Sementara 22 hingga 25% lainnya membeli
air dari para penjual dengan metode pengangkutan yang tidak higienis. Di Bajo Pulau, misalnya, seorang penjual
mengangkut air sumur galian dari pulau lain dengan menggunakan drum-drum terbuka yang disimpan di dalam
lambung kapal dan ditutupi dengan terpal kotor. Di Simokerto, air dijual dalam jerigen plastik yang sudah lama dan
kotor.
22% 5% 25% 4%
Di daerah pedesaan, tidak ada satu rumah tangga miskin terhubung dengan jaringan layanan air bersih. Warga
miskin membeli air PDAM dari tetangga yang memiliki saluran air atau dari penjual dan membayar 15 hingga 30 kali
tarif yang dikenakan PDAM untuk pelanggan berpenghasilan rendah. Karena mereka harus membeli melalui pihak
ketiga untuk mendapatkan air, masyarakat miskin membayar enam hingga delapan kali lebih banyak daripada yang
dibayar oleh kebanyakan rumah tangga mampu di kota-kota Indonesia.
Masyarakat miskin biasanya tidak menyadari bahwa mereka membayar tarif melebihi harga normal karena mereka
membeli dalam jumlah yang sedikit namun sering. Masyarakat miskin sering kali percaya bahwa mereka tidak mampu
membayar untuk sambungan air ledeng – mungkin benar mengingat besarnya biaya pemasangan dan kenyataan
bahwa mereka tinggal jauh dari jaringan penyaluran air. Akan tetapi, masyarakat miskin dapat menanggung biaya
konsumsi air dengan tarif PDAM, karena mereka sudah membayar berlipat-lipat melebihi tarif tersebut (lihat Kotak
11).
mambeli air tersebut dari tetangga kami yang lebih kaya, dan kami membayar Rp 100 untuk 10 liter
Peserta FGD Perempuan, Antasari, Kalimantan Selatan
“Kami tidak akan bisa mengharapakan sambungan rumah dari PDAM. Hal tersebut akan menelan biaya sekitar Rp.3 hingga 5 juta, karena jalur
pipanya harus melintasi rel kereta api, jalan tol, dan pasar, sebelum bisa mencapai Simokerto tempat kami tinggal. Siapa yang mampu membayar
sebanyak itu? Apalagi, kami bukan pemilik tanah, kami hanya tinggal di lahan ini, oleh karena itu kami tidak bisa meminta sambungan pipa. Tanah
ini adalah milik PT KA(Kereta Api)”
Peserta FGD Kelompok Laki-laki, Simokerto, Surabaya
Kenyataannya:
Masyarakat miskin di Antasari membayar tetangga mereka Rp.100 untuk 10 liter air PDAM. Hal ini berarti tarifnya Rp.10.000/ meter kubik – sekitar 13
kali lebih mahal daripada tarif PDAM, yaitu Rp.700/ meter kubik. Masyarakat miskin di Simokerto membeli air PDAM yang dijual kembali oleh penjual
dengan harga Rp.1.400 per hari untuk 50 liter air yang diantar ke rumah (atau Rp.700 per hari untuk 50 liter jika diambil sendiri dari toko penjual). Hal
ini berarti tarifnya Rp.28.000 per meter kubik untuk air yang diantar ke rumah. Tarif umum PDAM untuk saluran rumah tangga di Surabaya hanya
Rp.850 per meter kubik.
Air yang dapat diminum merupakan komoditas berharga bagi masyarakat miskin yang mereka gunakan untuk
masak dan minum. Mencuci dan mandi dengan air bersih adalah sebuah kemewahan yang tidak sanggup mereka
nikmati. Di semua lokasi, masyarakat miskin mandi dan mencuci pakaian mereka di sungai, sumur galian tanpa
penutup atau bahkan dengan air laut.
Hal ini membawa dampak kesehatan yang cukup berarti. Budaya yang kuat untuk membuang air besar di air yang
mengalir menyebabkan kebiasaan yang tertanam kuat untuk membuang air besar di sumber air alami. Proses
penilaian beberapa partisipan tentang air dan proyek sanitasi8 dan survei baseline untuk proyek WSLIC yang dikelola
oleh Universitas Indonesia pada tahun 2003 menemukan bahwa: “Hampir semua orang mencuci pakaian, mandi, dan
buang air besar di sungai walaupun mereka memiliki sumur. Buang air besar di sungai dianggap ‘bersih’, karena tidak
menyebabkan bau, seperti buang air besar di WC yang ventilasinya buruk.” Orang-orang juga sering kali membuang
sampah di sungai dan menggunakan sungai yang sama untuk memandikan ternak, mencuci pakaian dan sepeda
motor – sebagaimana juga mereka sendiri mandi.
Mereka yang tidak mencuci dan mandi di sungai dan kali, menggunakan air dari sumur galian tanpa penutup, tanpa
direbus terlebih dahulu. Di daerah padat di Surabaya, air yang dikonsumsi “kemerah-merahan, payau, dan berbau”.
Di Soklat, sumur tidak memiliki pelindung dari semen dan dikelilingi oleh kubangan lumpur. Di Jatibaru, dinding
sumur galian terbuat dari drum-drum besi tua yang dipakai untuk menyimpan bahan-bahan kimia industri. Sumur-
sumur ditempatkan di sebelah kandang kuda dan tidak memiliki dinding dari semen untuk mencegah terserapnya
Dalam benak masyarakat miskin, air sumur “bersih”, sementara air sungai tidak. Oleh karena itu, mereka yang bisa
4.3. Warga Paling Miskin Membayar Harga Paling Tinggi untuk Air
Air itu mahal. Rumah tangga termiskin – yang terdiri dari 51-73% rumah tangga penduduk di lokasi sampel –
menghabiskan biaya murah antara Rp.5.000 (Jatibaru), hingga yang mahal yakni Rp.60.000 (Bajo Pulau, Antasari,
Simokerto) perbulan untuk air (lihat Tabel 3). Ini berarti masyarakat miskin menghabiskan 15 persen dari penghasilan
mereka untuk air minum dan masak (Bajo Pulau).
Air yang paling mahal dibeli dari penjual. Cara paling murah bagi masyarakat miskin untuk memperoleh air
bersih adalah dengan mengambilnya dari mesjid atau sumur tetangga. Di daerah pedesaan, biasanya warga miskin
membayar sekitar Rp.5.000 perbulan untuk air sumur bor; membayar biaya listrik untuk memompanya dari sumur,
di kota, mereka membeli air PDAM dari rumah tetangga, dan membayar sekitar Rp.30.000 sebulan. Di Soklat dan
Kertajaya, warga miskin menghabiskan sekitar 30 jam sebulan untuk mengambil air sumur galian dari sumur tetangga
atau sumur umum. Rumah-rumah tangga di Alas Kokon menghabiskan 150 hingga 200 jam sebulan mengangkut
air untuk mencuci, mandi, dan ternak. Warga perempuan di desa itu mengatakan mereka butuh “dua sampai tiga kali
perjalanan ke sungai untuk membawa air dari sungai sejauh 1,5 kilometer,” sambil mengambil air, mereka juga mencuci
dan mandi, ketiga kegiatan ini “menghabiskan lebih dari tiga jam sehari.”
(Sungai. Tidak ada akses air (Air sumur galian dari pulau (Sumur galian umum yang (Pompa tangan umum)
oleh penjual)
• Minum air sungai, setelah • Rp.30.000 + 30 jam/ orang/ • Kuota 20 liter/ hari/rumah • 30 jam/orang/ bulan dan
diendapkan dan dididihkan. bulan untuk 35 liter/hari tangga, hanya untuk masak Rp.5.000 untuk membeli air
• Mandi dan mencuci di • Membeli air hanya untuk dan minum, waktu yang untuk masak dan minum dari
yang sama • Mandi dan mencuci di laut • Tidak ada bayaran • Kebanyakan juga buang air
• Buang air besar di pantai • Mengambil air sungai untuk besar di sungai yang sama
• Menggunakan lubang
rumah
Lokasi-lokasi Perkotaan
Antasari/Kalimantan Selatan Jatibaru/NTB Simokerto/Jawa Timur Soklat/Jawa Barat
(membeli air PDAM dari (membeli air dari sumur galian (membeli air PDAM dari (sumur galian tetangga – tidak
liter/hari dengan Rp.100/10 biaya listrik. Mengumpulkan liter air yang diantar ke rumah mengumpulkan air untuk
liter hanya untuk masak dan sekitar 120 liter air sumur setiap hari, untuk minum dan masak dan minum. Air
minum(> 13 kali tarif PDAM galian/hari untuk masak dan masak (> 30 kali tarif PDAM) matang untuk minum
• Menggunakan lubang sumur tetangga yang tidak • Buang air besar di lubang jamban bersih yang dipakai
jamban yang tidak diperbaiki dilindungi (tidak ada biaya) jamban di rumah/di pinggir bersama dengan beberapa
• Persentasi yang besar buang • Kebanyakan buang air besar rel kereta api/WC umum rumah tangga
air besar di sungai yang sama di sungai • Setengah lainnya buang air
Masyarakat miskin mendapat mutu terendah dengan harga tertinggi. Penelitian ini tidak memiliki kewenangan
untuk melakukan tes bakteriologi dari sampel air di lokasi penelitian. Pengamatan termasuk: a) memeriksa sifat
Masyarakat miskin menganggap air sumur galian bersih. Melihat kondisi fisik sumur galian dan lingkungan
Suara Masyarakat Miskin
sekelilingnya, kemungkinan air di hampir semua sumur galian tersebut sangat tercemar. Hanya Alas Kokon yang
memiliki sumur galian dengan penutup, namun kapasitasnya terbatas. Masyarakat miskin yang menjadi pengguna
diberi jatah hanya 20 liter per hari per rumah tangga, untuk diambil dan disimpan seminggu sekali. Air ini hanya
digunakan untuk masak dan minum.
Air diangkut secara tidak higienis dan diletakkan dalam lambung kapal, ditutupi dengan terpal kotor dan ditampung dalam drum-drum terbuka.
Air tercemar debu dan bekas minyak. Prioritas pertama penjual air adalah menjual air ke kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan, dan melayani
masyarakat miskin hanya dengan air yang masih tersisa. Warga perempuan sering kali menghabiskan dua jam di pantai menunggu kedatangan
penjual. Mereka hanya bisa berputus asa dan mengumpat jika penjual tidak muncul atau kehabisan air. Mereka menduga bahwa penjual sengaja
merusak pipa air yang dibangun di bawah laut oleh pemerintah. Karena Dinas Pekerjaan Umum merencanakan pembangunan pipa ini tanpa meli-
batkan rakyat, tidak ada organisasi setempat yang bertanggung jawab untuk mengelola dan menjaganya. Akhirnya, pipa itu pun rusak.
Laporan Lokasi, Bajo Pulau, NTB
Air bersih merupakan faktor penentu utama mutu kehidupan. Ketergantungan pada penjual air yang tidak menentu
menimbulkan rasa frustasi dan kemarahan warga perempuan miskin di Bajo Pulau: “Kami menunggu kapal penjual di
pantai. Kadang-kadang kami menunggu dari pagi dan dia datang atau baru pada pukul 2 siang. Jika persediaannya
habis terjual untuk kapal-kapal besar di pelabuhan, kami tidak mendapatkan apa-apa. Tunggu saja suatu hari saat
mereka membutuhkan pertolongan kami – kami akan balas dia!!”
Kenyataannya, banyak masyarakat miskin lokal yang bekerja sebagai penjual air untuk kartel (perusahaan monopoli)
yang melayani daerah padat yang ditunjuk. Kartel tersebut yang menentukan harga jual air dan tidak mengizinkan
persaingan yang dapat menurunkan harga. Tempat pengisian sudah ditentukan di setiap Kelurahan dan disuplai
oleh saluran PDAM; pelanggan dapat membeli air mereka di tempat pengisian air atau minta penjual mengantarnya
ke rumah mereka dengan harga dua kali lipat.
Ilustrasi 8: Kapal penjual air, Bajo Pulau, NTB Meskipun demikian, ada pihak lain yang
mengenali dampak dari air “gratis” terhadap
kesehatan seseorang. Seorang mantri dari pos kesehatan di Paminggir berkomentar: “Desa ini lebih memerlukan
persediaan air bersih daripada layanan kesehatan lainnya. Setiap tahun ada banyak kasus diare dan penyakit kulit karena
orang-orang menggunakan sungai untuk minum dan masak, selain untuk mandi, cuci dan buang air besar.”
telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Praktik sanitasi mencerminkan apa yang rakyat anggap bersih, cocok,
nyaman – dan apa yang tersedia.
Gambar 4 menunjukkan bahwa , kecuali minoritas kecil di Soklat (Jawa Barat), warga laki-laki dan perempuan miskin
di delapan lokasi tidak memiliki akses terhadap “fasilitas sanitasi yang layak” apa pun.10
25%
11% 41%
44%
16%
10%
9% 8% 17%
Pantai (buang air besar terbuka) Lubang tanpa perbaikan di luar rumah
Jamban rumah tangga – lubang tanpa perbaikan Jamban rumah tangga bersama
Rakyat Bajo Pulau di pesisir pantai buang air besar di pantai pada malam hari atau sebelum gelap, sehingga pasang
naik dapat menghanyutkan tinja. Pada enam lokasi lainnya, rakyat lebih suka untuk buang air besar di sungai, di
tempat mereka mencuci, mandi dan sikat gigi (lihat Tabel 3.6, Lampiran 3). Buang air besar di air tidak meninggalkan
kotoran yang kelihatan atau bau yang jelas, dan dengan demikian dianggap “bersih” dan bahkan merupakan “pilihan
yang lebih sehat” daripada menggunakan jamban yang bau, WC umum sederhana yang tersedia bagi mereka —
terlepas dari usaha pihak berwenang untuk memperkenalkan manfaat penggunaan jamban untuk kesehatan.
10 “Fasilitas sanitasi yang layak” didefinisikan oleh Program Monitoring bersama WHO-Unicef (dipakai untuk monitoring global target-target MDG)
sebagai: kakus cemplung yang layak dan berventilasi, jamban sistem leher angsa, jamban cemplung tertutup, atau koneksi ke sistem atau pipa
pembuangan air kotor. Definisi ini tidak termasuk kakus jongkok, kakus cemplung, kakus umum atau bersama, dan kakus yang dibuang langsung
ke sumber air.
Ada perbedaan jender dalam perilaku penggunaan sanitasi (lihat Lampiran 3, Gambar 16 dan 17, hal. 30-31). Privasi
dilaporkan sebagai alasan utama yang paling penting untuk perilaku sanitasi, berhubungan dengan kenyamanan
dan “kebersihan” (air yang mengalir alami). Tanpa memandang mutu fasilitas jamban, fasilitas yang ada di rumah
lebih disukai daripada keluar untuk buang air besar – terutama di rumah-rumah yang jauh dari sungai atau laut (Alas
Kokon, Antasari, Soklat, Simokerto). Dibandingkan laki-laki, warga perempuan lebih suka menggunakan fasilitas
sanitasi di dalam rumah tangga daripada harus keluar rumah.
Halangan utama lainnya bagi warga miskin dalam mencapai akses sanitasi yang layak adalah kesalahpahaman yang
tersebar luas tentang sanitasi menggunakan jamban dalam rumah yang masih dianggap sebuah kemewahan yang
mahal. Masyarakat miskin mempunyai kesan bahwa membuat jamban menghabiskan banyak uang (Rp.750.000
– Rp.2.000.000). Biaya ini tidak terjangkau oleh rumah tangga miskin. Untuk negara yang separuh rakyatnya hidup
dengan penghasilan kurang dari Rp.20.000 sehari, pandangan seperti itu masuk akal. Kesalahpahaman lahir di
kalangan masyarakat miskin karena mereka hanya melihat toilet mahal yang dibangun oleh rumah tangga kelas
atas. Dinas Pekerjaan Umum tidak membantu, karena mereka hanya menawarkan model standar yang bersertifikat
“higienis” dan mahal harganya.
Masyarakat miskin tidak mendapat layanan sanitasi dasar. Penelitian ini mendapat hambatan dalam upaya
meningkatkan fasilitas sanitasi umum, antara lain mencakup: 1) Persepsi publik yang lebih suka buang air besar di
air yang mengalir; 2) Ketidaktahuan mengenai fasilitas sanitasi altenatif yang murah, dan adanya kesalahpahaman
bahwa sanitasi adalah suatu kemewahan yang tidak terjangkau; 3) kurangnya mekanisme untuk mempromosikan
fasilitas sanitasi yang lebih baik, selain itu juga kegiatan untuk meningkatkan kebersihan dan opsi peningkatan
fasilitas sanitasi yang lebih baik.
Baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, masyarakat lebih suka menggunakan sumber air alami yang tersedia
untuk sarana buang air besar; beberapa orang tetap memilih jalan demikian walaupun sudah memiliki jamban yang
dibangun di dalam rumahnya, melalui program bantuan, maupun subsidi, dengan alasan jamban yang tersedia
berbau tidak sedap dan kondisinya dinilai tidak sehat. Tindakan masyarakat tersebut berakibat pada timbulnya
kerusakan lingkungan yang tidak disadari, dan sangat mempengaruhi kondisi lingkungan hidup masyarakat, baik
yang miskin maupun yang tidak.
walaupun sudah ditarik iuran perawatan sebesar Rp. 200), masyarakat cenderung enggan menggunakannya,
terlebih lagi dengan adanya antrian pengguna yang panjang di pagi hari.
Terlepas dari kedua contoh diatas, berbagai jenis jamban, yang dibangun oleh masyarakat miskin, banyak ditemui
hampir diseparuh lokasi penelitian. Di wilayah pedesaan, kebanyakan berupa bilah bambu atau kayu yang didirikan
diatas sungai atau empang, kadang ditutupi selembar kain atau bahan lain yang direntang di antara bilah bambu,
atau kadang hanya berupa lubang yang digali di halaman belakang rumah warga.
Kekurangan sanitasi dasar ini berdampak terhadap layanan lain, misalnya layanan pendidikan. Di daerah pedesaan,
para guru kadang menolak untuk tinggal di desa—akibatnya mereka menjadi sering tidak hadir mengajar. Seorang
guru sukarela di SD di Paminggir menjelaskan bahwa guru utama di sekolah tersebut jarang ada di desa (walaupun
sudah disediakan tempat tinggal) karena fasilitas sanitasinya tidak memadai. Guru resmi yang ditunjuk untuk
mengajar disana selalu kembali ke kota untuk “mencuci pakaian” dan biasanya terlambat untuk kembali ke desa
untuk melaksanakan tugasnya. Guru di Bajo Pulau juga mengemukakan hal yang serupa.
Bagi masyarakat miskin, toilet umum yang mengenakan tarif malah menambah beban finansial. Seorang penjaga toilet
umum di pemukiman kumuh di Simokerto mengatakan bahwa setiap harinya kurang dari 30 orang menggunakan
toilet tersebut, padahal jumlah penghuni RW di daerah itu mencapai 300 rumah tangga, dan sebagian besar dari
mereka tinggal dalam radius 100 meter dari toilet umum tersebut. Menurutnya, ongkos Rp. 200 yang dikenakan untuk
fasilitas toilet umum itu masih telalu mahal bagi warga miskin.
“Petugas kesehatan tidak pernah memberi informasi kepada kami mengenai jenis alat kontrasepsi yang berbeda, berikut manfaat dan kelemahan
tiap-tiap alat. Jangan heran jika pada diskusi kelompok terfokus untuk kelompok perempuan, bahkan ada Ibu-Ibu yang belum pernah melihat
kondom!”
Hal ini telah dikonfirmasi oleh peneliti dengan hasil dari kelompok diskusi laki-laki di Kertajaya, Jawa Barat
Warga miskin tidak mengetahui biaya apa saja yang perlu dikeluarkan untuk mendapat pelayanan yang pro
masyarakat miskin—sebuah isu sentral di kehidupan masyarakat miskin. Karena kurangnya informasi, tidak satupun
Suara Masyarakat Miskin
warga miskin di lokasi penelitian mengetahui ketentuan dari Menteri Kesehatan (Danareksa) yang mencantumkan
bahwa Bidan di Desa akan mendapat bayaran untuk setiap layanan yang mereka berikan kepada warga yang sangat
miskin. warga di dua lokasi tidak tahu sama sekali mengenai kartu sehat. Warga miskin tersebut menyatakan bahwa
tidak pernah jelas pengobatan apa saja yang gratis bagi pemegang kartu sehat (Simokarto, Soklat, Jatibaru).
Di beberapa lokasi lain warga miskin menyadari keberadaan layanan seperti Beras untuk warga Miskin (Raskin)
dan kartu sehat. Di enam lokasi, informasi mengenai pembebasan uang sekolah sudah dipahami dengan baik,
mereka juga memahami bahwa Bantuan Operasinal Sekolah (BOS) baru akan dimulai pada bulan September 2005;
bahkan, saat itu baru bulan Juli. Di Jatibaru (NTB) dan Soklat (Jawa Barat), mereka terlambat mengetahuinya, mereka
mengetahuinya dari TV, pihak sekolah sendiri tidak memberi tahu mereka. Pihak sekolah juga tidak mengembalikan
uang sekolah yang sudah dibayarkan orang tua murid untuk bulan September 2005, sebelum orang tua murid
mengetahui bahwa uang sekolah sudah dihapuskan.
Seringkali masyarakat masih mengalami kebingungan mengenai apa saja yang disediakan oleh layanan yang pro
masyarakat miskin, dan siapa sajakah yang berhak mendapatkan layanan tersebut. Misalnya, kuota Raskin untuk
keluarga miskin perbulan berkisar 3 sampai 20 kilogram. Banyak warga yang bertanya-tanya mengenai siapa
yang berhak menjadi penyandang Kartu Sehat. Mereka mengeluh karena hanya sedikit sekali warga miskin yang
menerima kartu tersebut, sementara ada warga yang tergolong mampu juga menerima kartu tersebut karena
mereka merupakan kerabat dekat dari kepala desa (Soklat, Jatibaru, Antasari, Paminggir).
Para warga miskin berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui tugas para penyedia layanan
sektor publik. Hal ini bisa jadi sebagian benar karena pada kenyataannya selain bertugas pada Puskesmas, petugas
kesehatan juga bertugas melayani Pustu atau wilayah kerja diluar wilayah tersebut.
Tidak jelas bagi masyarakat miskin bagaimana keputusan dibidang layanan publik dibuat dan siapa yang
membuatnya. Di Soklat, masyarakat miskin berusaha mendekati pihak Puskesmas untuk mendapat Kartu Sehat,
sedikit sekali yang berhasil: “Semua orang melempar kami ke bagian lain – tidak satupun memberi jawaban yang
jelas.” Di Jatibaru, warga miskin menanyakan kepada pihak sekolah mengenai penerima beasiswa. Namun, mereka
hanya mendapat jawaban bahwa penerima beasiswa “sudah ditentukan dari atas”.
Masyarakat miskin merupakan lapisan paling bawah dari hierarki masyarakat. Di pulau Jawa yang padat penduduknya,
dimana tanah merupakan aset yang sangat berharga, masyarakat miskin seringkali tidak punya hak milik atas tanah
yang mereka tempati, hal tersebut menimbulkan rasa tak aman dan ketakutan untuk berbicara. Di Jati Baru, warga
mengaku merasa “tidak enak” untuk mengadu mengenai Bidan dan petugas Pustu, karena mereka memiliki kerabat
dan hubungan sosial ditengah masyarakat; di Madura, masyarakat miskin enggan untuk menghadap kepala desa
“hal itu hanya akan menimbulkan lebih banyak masalah bagi kami, nantinya.”
Ada beberapa warga desa yang sudah berupaya: di Kertajaya, Jawa Timur, warga miskin meminta kepala desanya agar
Bidan di Desa diwajibkan untuk tinggal di Pos Persalinan Desa (Polindes) yang sudah dibangun oleh masyarakat. Di
Kalimantan Selatan, warga mengajukan pengaduan resmi kepada dinas pendidikan kabupaten mengenai seorang
guru SD yang jarang hadir mengajar, walaupun sudah di sediakan tempat tinggal (Paminggir). Tidak satupun upaya
tersebut memberikan hasil yang diinginkan. “Bidan tetap tinggal di kota (Sape)”, kata warga perempuan di Bajo Pulau.
“Jika kita memanggilnya, dia selalu membuat banyak alasan untuk tidak datang, bahkan ketika ombak sedang kecil!
Dia tidak mau membasahi kakinya! kami tidak berani mengadu — dia masih kerabat sekretaris desa, dan beliau sangat
berkuasa.”
Masyarakat miskin tidak takut untuk mengadukan layanan sanitasi—karena memang tidak ada penyedia layanannya.
Di Bako Pulau, warga memang mengeluhkan monopoli yang dilakukan Penyedia Air Independen Skala Kecil (PISK),
Pada umumnya, masyarakat meminta pengarahan dari pihak yang berwenang—guru, petugas kesehatan, kepala
desa—mengenai layanan yang pro masyarakat miskin (ataupun kurangnya layanan tersebut): “Kami tidak banyak
bicara dan hanya menjalankan apa yang mereka perintahkan pada kami”, kata seorang warga di Soklat. “Paling-
paling kami bertanya pada Ketua RT jika beliau bisa menjelaskan.”
Kotak 14. “Karena saya miskin, maka saya pasti juga bodoh ”
Pak Yusuf memiliki 13 anak dan bermata pencaharian sebagai tukang kayu. Hanya satu anaknya yang berhasil masuk SMP; dua lainnya tidak
bisa melanjutkan selepas SD karena masalah biaya dan karena mereka tidak bisa menebus ijazah dari sekolahnya.
“Saya tidak mampu membayar Rp. 55.000 untuk tiap ijazah”, ujar Pak Yusuf, beliau kemudian menambahkan bahwa usahanya untuk minta
keringanan dari pihak sekolah tidak membawa hasil.
Sedangkan untuk mendaftarkan anak mereka ke SMP, Pak Yusuf dan istrinya hanya punya RP 20.000 dan satu-satunya barang berharga milik
mereka--kipas angin—untuk biaya masuk. Beliau masih tidak tahu darimana bisa mendapat Rp 50.000 untuk membayar buku dan seragam.
Beliau tidak pernah berupaya untuk mendapat surat keterangan miskin dari pemerintah, yang bisa membebaskannya dari keharusan mem-
bayar. Katanya: “Saya hanya orang miskin, dan karena itu saya juga bodoh. Tidak seorangpun pernah menjelaskan hal-hal semacam ini kepada
saya. Saya tidak tahu bagimana cara mendapat surat keterangan miskin, dan saya juga tidak mau mendapatkannya . Berdasarkan pengalaman
yang sudah-sudah, tidak ada yang benar-benar ingin menolong saya.”
Laporan dari lokasi, Soklat, West Java
Ketua RT seharusnya berperan sebagai pihak yang menjembatani proses dari pemerimtah, strukur pemerintah, dan
masyarakat. Namun pada kenyataannya, kepala desa, sekretaris Desa dan pejabat desa lainnya justru terlalu menjaga
jarak dengan warganya yang miskin. Warga Bajo Pulau yang terutama memiliki pendapat paling sengit tentang
pejabat desa: “Kepala Desa tidak peduli terhadap kami. Dia tidak pernah berkunjung ke dusun kami, bahkan jika ada
warga yang meninggal. Lempar saja dia ke laut!”, “Sekretaris Desa cuma bisa memakan uang desa!”, “Badan Perwakilan
Desa (BPD) cuma sekedar formalitas — tidak ada hubungannya dengan kami.”
“Kami merasa dianak tirikan. Mungkin karena kami tidak punya hak milik atas tanah yang kami tempati, dan tidak
membayar pajak kepada pemerintah desa. Kami tidak berhak mengharap pelayanan apapun dari mereka ….”
Kelompok Laki-laki miskin, Kertajaya
Banyak pengguna kartu sehat yang mengaku bahwa mereka harus menunggu di Puskesmas sampai semua pasien
yang membayar selesai dilayani; sedangkan di Pustu mereka bahkan diabaikan. Para Ibu di Kertajaya dan Jatibaru
mengatakan bahwa Bidan di Desa hanya mau membantu mereka selama persalinan, tidak lebih.
Kotak 15. Pengguna kartu sehat harus sabar dan bisa mengendalikan diri
“Dokter yang bertugas di RSU di Jereng juga membuka praktik swasta diluar RS. Istri saya menjadi pasien praktik pribadinya selama kehamilannya.
ketika waktunya melahirkan, karena saya tidak punya uang, saya membawa istri saya ke RSU Jereng karena merupakan RS yang terdekat yang
menerima Kartu Sehat. Sesampainya di RS saya diminta mengisi formulir untuk memberi informasi mengenai keadaan istri saya. Tak lama kemudian
dokter yang biasa memeriksa istri saya datang, dan mulai marah-marah ke saya karena saya tidak membawa istri saya ke RS Swasta,seperti yang
disarankannya sebelum ini. Saya bilang bahwa saya tidak punya uang untuk membayar biaya RS Swasta –tapi dokter itu tetap berteriak-teriak ke
kami…..”
Bapak Sobirin, Kampung Rancajaya, West Java
Menurut kelompok Laki-laki dan perempuan, keputusan mengenai penggunaan dana masyarakat dibuat hanya oleh
pejabat pemerintah dan pemimpin masyarakat formal. “tidak pernah ada pertemuan warga atau forum untuk memberi
tahu kami rencana pembangunan daerah atau alokasi dana pemerintah untuk memberikan layanan kepada warga. Jika
ada pertemuan warga, petugas Kelurahan tidak mengumumkannya” Kelompok Laki-laki Miskin, Simokerto.
Kadang kala, pendekatan yang sewenang-wenang yang dilakukan para pejabat ini memaksa warga miskin untuk
mengambil tindakan, dan mengeluarkan uang dari kantungnya sendiri untuk mendapat layanan publik yang
diperlukannya. “Walaupun ketua RT dan perwakilan warga merupakan BPD, kami tidak pernah tahu apa-apa mengenai
alokasi dana pelayanan-pelayanan dasar”, tukas seorang laki-laki dari Kertajaya. “Kami sudah berulang kali mengajukan
permohonan resmi kepada pejabat desa untuk pemasangan instalasi listrik. Sekarang kami terpaksa merogoh kocek
sendiri untuk mendapatkan sambungan listrik dari kampung lain.”
Ketika kaum laki-laki merasa putus asa dan suaranya tidak didengar pada proses pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan warga pada umumnya, dan mengenai layanan dasar pada khususnya, kaum perempuan
justru lebih terpinggirkan lagi: “kelompok perempuan di Kelurahan, kalaupun ada yang terlibat kegiatan-kegiatan,
biasanya berasal dari keluarga kaya”, tukas kelompok perempuan pada diskusi terfokus di Antasari.
Terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia adalah salah satu negara demokratis di dunia, masyarakat miskin ini tidak
merasakan kesetaraan.
Kelompok laki-laki miskin di Kertajaya berkata: “Kami merasa seperti anak tiri. Mungkin karena kami tidak memiliki
tanah yang kami tinggali, dan tidak membayar pajak bumai dan bangunan ke pemerintah desa. Kami tidak berhak
mengharap layanan apapun dari mereka….”
Kondisi tersebut diatas telah merubah kualitas proses partisipatoris dan kesetaraan dalam keluaran yang berupa
proyek pembangunan dengan tujuan pemberantasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat miskin. Komentar
yang tercetus dengan sendirinya selama proses diskusi kelompok terfokus mengenai proyek pembangunan yang
mengikut sertakan masyarakat (yang dianggap berhasil di Indonesia) membuktikan hasil tersebut:
“Kami baru mengetahui rencana pembuatan jalan di daerah kami, setelah para pekerja proyek yang berasal dari luar desa
didatangkan, walaupun memang jalan tersebut ditujukan untuk kepentingan warga kami”.
Kelompok Laki-Laki miskin, Antasari
Ilustrasi 14: Warga miskin di lokasi seperti, Nusa Tenggara Barat (kiri), dan Paminggir, Kalimantan (bawah) menyatakan bahwa para elit
setempat hanya maumendengar aspirasi mereka melalui fasilitator dari luar.
“Terdapat pompa air tangan di Desa, yang seluruhnya dibangun oleh fungsionaris proyek, mulai dari pemilihan kontraktor,
dan buruh, sampai tahap pembangunan. Hasilnya sebuah pompa air tangan di dekat masjid, tempat di mana kepala
desa menginginkanya. Air yang keluar ternyata payau. Tidak ada warga yang mau menggunakannya. Pompa tersebut
rusak dalam waktu satu tahun sejak selesai dibangun.”
Kelompok Perempuan Miskin, Kertajaya
Warga laki-laki dan perempuan miskin merasa yakin bahwa mereka akan bisa menyuarakan keinginan warga jika
saja mendapat dukungan. Warga Alas Kokon menjelaskan pandangan mereka: Intinya, mereka yakin bahwa mereka
butuh fasilitator dari luar masyarakat, yang bisa mengorganisir pertemuan atau mengadakan forum diskusi. Fasilitator
dari luar ini harus peduli pada masyarakat miskin dan punya keahlian mengidentifikasi siapa saja yang warga yang
tergolong miskin.
Warga Alas Kokon sudah merasa sangat empatis terhadap adanya intervensi dari luar: “Jika institusi atau petugas
pemerintah yang melakukannya, proses seperti ini tidak mungkin terlaksana. … Sampai saat ini, kami belum melihat
adanya institusi pemerintah yang menaruh perhatian terhadap layanan bagi masyarakat miskin, ataupun yang
memperhatikan aspirasi masyarakat miskin.”
1. Membuat prosedur yang memungkinkan masyarakat miskin mengupayakan dan mendapatkan layanan-
layanan yang pro masyarakat miskin tanpa harus bergantung pada pemimpin masyarakat atau kepada penyedia
layanan.
2. Menghilangkan ketergantungan masyarakat miskin terhadap penyedia layanan dan pemimpin masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan kondisi kesehatan mereka,
3. Paradigma bahwa masyarakat miskin hanya bisa pasrah menunggu didaftar atau di sertifikasi berdasarkan
Suara Masyarakat Miskin
penilaian pemimpin mereka, perlu dirubah. Sertifikasi dan klasifikasi warga miskin seharusnya lebih bersifat
partisipatoris dan dilakukan melalui metode penilaian kolektif sehingga benar-benar transparan, dan
memungkinkan karakteristik-karakteristik kemiskinan lokal teridentifikasi dan menjadi pertimbangan.
4. Ciptakan program koordinasi informasi untuk mengumumkan layanan yang tersedia bagi masyarakat miskin
dan membuat mereka menyadari manfaat dari program-program tersebut. Perlu juga dibuat program informasi
untuk membuat masyarakat menyadari tanda-tanda bahaya—situasi-situasi yang biasa ditemui, yang bisa dan
harus ditangani secepatnya untuk menghindari petaka.
5. Layanan-layanan yang pro masyarakat miskin perlu dikomunikasikan kepada masyarakat miskin melalui media
massa maupun institusional. Publikasi yang diperlukan adalah mengenai layanan-layanan yang pro masyarakat
miskin dan bagaimana cara mendapatkannya misalnya melalui radio, koran lokal, media publikasi visual yang bisa
ditempatkan di puskesmas, pustu, RSU, sekolah, masjid, banjar, kantor kelurahan, dan kendaraan umum, lembar
pengumuman yang dibagikan kepada tiap keluarga melalui Ketua RT, Arisan, PKK, atau yang sejenis. Mendirikan
pos-pos informasi di kabupaten/kota dan kecamatan dimana masyarakat miskin bisa mendapapatkan informasi
lengkap mengenai layanan-layanan pro masyarakat miskin yang tersedia di wilayah tersebut dari berbagai
penyedia swasta dan pemerintah; mengumumkan keberadaan pos-pos tersebut.
6. Berdayakan masyarakat miskin dengan memberikan informasi seputar standar layanan yang harus dipenuhi
oleh tiap penyedia layanan, dan tindakan apa yang harus mereka ambil jika standar-standar tersebut tidak
dipenuhi. Publikasikan hal ini secara sungguh-sungguh pada tiap loket pelayanan publik, dan buat peraturan
yang mewajibkan pemasangan informasi-informasi ini secara permanen.
7. Ciptakan mekanisme pelaporan yang mudah dan bebas risiko bagi pengguna layanan yang ingin melaporkan
kinerja penyedia layanan dasar. Program Pembangunan Kecamatan (PPK) atau Kecamatan Development
Program (KDP) di Indonesia telah berhasil menghasilkan sejumlah metode inovatif untuk menampung
pengaduan dari masyarakat mengenai tindak korupsi, yang bisa diadaptasi untuk mekanisme pelaporan ini.
Kembangkan cara agar pengguna layanan bisa menilai dan menyampaikan laporan mengenai penyedia
layanan tanpa menyebutkan identitas pelapor, karena kekerabatan sosial dengan penyedia layanan kadang
menjadi penghalang klien untuk melapor kinerja yang buruk. Menggunakan laporan dari pengguna layanan
dan mengaitkannya secara langsung dengan gaji dan tunjangan penyedia layanan, untuk menciptakan insentif
bagi penyediaan layanan yang baik.
8. Memublikasikan mekanisme-mekanisme dan standar pelayanan tersebut melalui media massa dan berbagai
titik pelayanan.
Selain menerapkan usulan-usulan tersebut diatas di bidang kesehatan, ada beberapa tambahan rekomendasi yang
mungkin bisa bermanfaat:
1. Meningkatkan transparansi dan kesetaraan prosedur untuk menunjukkan manfaat Kartu Sehat and Askes,
dengan menggunakan metode poin 3 tersebut diatas.
2. Informasi yang lengkap bisa menyelamatkan nyawa. Mengarahkan sistem layanan kesehatan agar lebih menitik
beratkan penyediaan informasi tindakan penyelamatan untuk lebih memberdayakan masyarakat miskin, antara
lain:
• Manfaat layanan yang jelas; kadangkala masyarakat miskin tidak menggunakan layanan karena mereka
mengkhawatirkan biaya.
• Tanda-tanda kehamilan yang berisiko, yang membutuhkan rujukan segera ke puskesmas. Masyarakat miskin
seharusnya tidak lagi tergantung pada dukun beranak atau pihak lain yang sejenis, untuk mulsi bertindak.
• Perbandingan antara pelayanan pra-natalitas dari dukun beranak dan dari puskesmas/pustu, dalam hal tindakan
pencegahan dan pengobatan, seperti imunisasi TT, dan tindakan persiapan bagi keluarga yang memiliki risiko
kelahiran bermasalah, seperti misalnya bimbingan keluarga agar mempersiapkan diri secara finansial dan
logistik untuk membawa si Ibu ke fasilitas kesehatan untuk melahirkan ketika kehamilan sudah di nyatakan
berisiko sejak awal.
• Bagaimana menyusui dan merawat bayi jika ASI tidak keluar, atau selama sakit. (Informasi juga seharusnya
sampai pada tahap menyediakan obat-obatan sederhana dan oralit).
3. Mengumumkan mekanisme yang membuat pelayanan dari Bidan di Desa yang terlatih menjadi lebih terjangkau,
misalnya Danareksa, dimana puskesmas akan mengganti biaya bidan setiap mereka melayani warga miskin.
Karena tidak satupun warga miskin laki-laki atau perempuan pernah mendengar mengetahui hal ini.
Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dasar di daerah, terdapat beragam isu yang perlu ditangani, antara
lain: hal-hal yang mendasari tingkat ketidakhadiran dan kinerja guru; ketersediaan dan kemampuan mendapatkan
1. Laporan mengenai ketidakhadiran guru terus menerus datang dari sekolah-sekolah di daerah; masalah ketidak
Suara Masyarakat Miskin
hadiran sangat terkait dengan tidak memadainya infrastruktur dasar di daerah, seperti air bersih, sanitasi dasar
dan, pada sejumlah kecil kasus, sambungan listrik. Para orang tua mengatakan bahwa kebanyakan guru ditarik
dari daerah perkotaan, dan enggan tinggal di desa ketika fasilitas dasarnya tidak memadai. Sarana air bersih
dan sanitasi selain penting bagi guru, juga penting bagi murid – yang tidak mungkin belajar kebersihan tanpa
adanya sarana air bersih dan sanitasi.
2. Departemen pendidikan nasional seharusnya mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan agar tiap sekolah
yang dibangun memiliki jaminan ketersediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar berupa toilet, dengan
perbandingan paling banyak satu toilet untuk 50 murid. Unit Kesehatan Sekolah (UKS) harus merancang
program untuk menggalakkan penggunaan fasilitas fasilitas tersebut dan praktik kebersihan utama, seperti
kebiasaan buang air besar hanya di toilet dan membiasakan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air
dan sebelum makan.
3. Kebijakan-kebijakan Depdiknas mengenai proyek pembangunan sekolah dasar sebaiknya ditinjau berdasarkan
anomali yang merusak kualitas pendidikan. Sekarang ini, banyak sekolah dasar yang dibangun hanya dengan
dua-tiga ruang kelas, yang artinya dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda terpaksa harus digabung untuk
proses belajar, akibatnya kualitas pelajaran yang di terima oleh murid tidak bisa maksimal dan pengalaman
belajarnya pun menjadi sangat tidak memadai.
4. Mengembangkan mekanisme agar orang tua murid bisa memantau dan melaporkan ketidak hadiran dan
kinerja guru kepada pihak yang berwenang terhadap guru dan berwenang atas gaji guru. Penggunaan daftar
hadir guru yang dikelola oleh komite sekolah, dan juga penilaian tahunan kinerja guru oleh orang tua murid,
dengan menggunakan lembar penilaian anonim yang kemudian dikaitkan dengan gaji guru dan kenaikan
gajinya. Depdiknas sebaiknya bisa lebih terlibat secara langsung dengan orang tua dalam memantau kehadiran
dan kinerja guru, serta penerapan sanksi.
5. Menyediakan buku pelajaran bagi murid yang berasal dari keluarga miskin. Antar lain dapat dilakukan dengan
jalan: pihak sekolah bisa membeli buku dan meminjamkan kepada murid yang berasal dari keluarga miskin (bila
perlu, dengan menggunakan tabungan dalam jumlah kecil yang digunakan sebagai tabungan). Atau jika murid
diwajibkan membeli buku, maka pihak sekolah harus membeli kembali buku tersebut pada akhir tahun ajaran.
Para orang tua murid juga mengusulkan agar masa penggunaan buku paling sedikit dua tahun ajaran, agar bisa
menghemat biaya.
6. Biaya pendaftaran sekolah menengah membatasi keinginan murid miskin. Sepertinya tidak ada biaya yang
tetap; sekolah mengenakan biaya sesuka hati mereka. Direkomendasikan agar pemerintah menetapkan biaya
Para pembuat kebijakan perlu melihat kenyataan bahwa masyarakat miskin membayar jauh lebih mahal untuk
mendapatkan air bersih—bahkan mencapai 30 kali harga yang berlaku. Tidak satupun dari 424 laki-laki dan
perempuan yang diwawancarai memiliki sambungan pipa sehingga mereka juga tidak mendapat manfaat dari
penggunaan air yang disubsidi dalam jumlah besar, yang ternyata justru di nikmati oleh masyarakat yang tidak
tergolong miskin. Dengan tidak adanya akses sarana air bersih umum, mereka terpaksa membeli air dari tetangga
mereka atau penjual air keliling. Masyarakat miskin di pedesaan bahkan hanya mengandalkan air tanah, yang
jumlahnya menyusut selama musim kemarau.
Sekitar separuh penduduk Indonesia, baik yang miskin maupun yang tidak, terus menggunakan air sumur (sumur
dangkal maupun dalam), sekalipun mereka sudah mendapat jaringan PDAM. Biasanya didaerah perkotaan, air
sumurnya tidak layak diminum.
Pada delapan lokasi penelitian masyarakat miskin hampir tidak memiliki akses ke sanitasi. Kondisi tersebut mewakili
kondisi di seluruh Indonesia. Baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan, warga menggunakan sumber air
alami terdekat untuk buang air besar. Tidak berhasilnya upaya memecahkan masalah sanitasi dasar untuk jutaan
warga miskin di pedesaan dan perkotaan telah menciptakan kerusakan lingkungan yang mempengaruhi seluruh
bangsa Indonesia. Para pembuat kebijakan perlu melihat potensi bencana yang jarang dilirik ini dan menangani
permasalahan sampai ke akarnya.
Beberapa Rekomendasi untuk Menyediakan Pasokan Air Bersih bagi Masyarakat Miskin
1. Untuk daerah perkotaan, lakukan penilaian terhadap biaya operasional riil dari PISK dan keuntungan yang
mereka dapat dengan menggunakan air PDAM. Tetapkan batas yang tidak bisa ditawar untuk harga yang
mungkin dikenakan oleh PISK sehingga semua pembeli di kota mendapat tarif yang sama. PISK tidak seharusnya
menikmati subsidi PDAM sementara mereka mengenakan tarif yang eksploitatif bagi masyarakat miskin.
2. Kebijakan dan Peraturan seharusnya bisa menjaga kompetisi yang terjadi di tingkat penyedia air, setidaknya di
daerah perkotaan, dimana secara ekonomi lebih memungkinkan untuk terdapat beraneka ragam penyedia air.
Umumkan batas harga untuk mendidik penyedia layanan dan mendorong masyarakat miskin untuk melaporkan
dan menghentikan pasokan bagi penyedia air yang mengenakan tarif eksploitatif.
3. Memahami bahwa masyarakat miskin di perkotaan mampu dan mau membayar harga yang mahal untuk
mendapatkan air bersih. Pelanggan yang merupakan warga miskin bukanlah beban bagi kelangsungan PDAM.
Masyarakat miskin selama ini sudah membayar penyedia air swasta dengan harga yang jauh lebih mahal
daripada harga yang dikenakan PDAM. Hambatan utama dalam memasukkan kediaman warga miskin tersebut
kedalam jaringan PDAM, yang harus ditangani dengan kreatif oleh kebijakan penyediaan layanan, adalah: a)
warga miskin biasanya tidak mampu membayar harga pemasangan sambungan yang mahal, dan harus dibayar
oleh warga miskin sekaligus, dan b) warga miskin biasanya tidak punya kepemilikan yang sah terhadap lokasi
kamar mandi ataupun jamban mereka – yang mana untuk saat ini hal tersebut tidak memungkinkan mereka
untuk mendapatkan sambungan air resmi.
4. Masyarakat miskin di Pulau Jawa mungkin bisa mendapat air bersih yang layak dari sumurnya, namun tidak
demikian dengan masyarakat miskin di NTB yang tanahnya tandus, atau warga di Kalimantan yang tanahnya
berawa, dan asam. Keanekaragaman topografi dan kondisi geo-hidrologi di Indonesia membutuhkan teknologi
pasokan air bersih yang beragam juga, sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Pendekatan penyediaan
sarana air bersih di pedesaan pada skala nasional harus bisa memanfaatkan tingginya kebutuhan sarana air bersih
di daerah pedesaan, dan bekerjasama dengan masyarakat miskin untuk mengidentifikasi dan mengembangkan
berbagai pilihan mekanisme yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menggunakan teknologi dan
pengaturan manajemen air yang bisa di jaga kelangsungannya oleh warga setempat.
1. Buat urutan penerapan pendekatan ditingkat masyarakat yang dinilai bisa meningkatkan perilaku hidup sehat di
kalangan masyarakat desa, dengan cepat.11 Merumuskan kebijakan nasional dan strategi untuk program sanitasi
daerah yang memungkinkan praktek terbaik yang teruji di lapangan secara konsisten di seluruh Indonesia.
2. Buat urutan kapasitas pemerintah daerah, untuk menyebarluaskan pilihan-pilihan sistem sanitasi biaya rendah
yang bisa diterima oleh masyarakat setempat, sehingga semua warga mampu mendapatkannya. Bisa berupa
jamban cemplung kering, sampai kepada jamban cemplung yang lebih canggih, Kakus Sopa Sandas, Jamban
11 Salah satu contohnya adalah pendekatan Community-Led Total Sanitation (CLTS) yang dikembangkan melalui program-program RWSS skala
besar yang terpilih. Yang membangun kesadaran tiap keluarga untuk membangun jamban tertutup, dengan menggunakan tekanan sosial dan
gerakan ditingkat komunitas. Uji coba lapangan yang dilakukan di Lumajang, sumbawa, Muara Enim, Muaro Jambi, dan Kabupaten Sambas,
sepertinya , menunjukkan hasil yang memuaskan. Informasi lebih lanjut tersedia di tulisan-tulisan seputar CLTS, atau di Newsletter PERCIK di situs
pemerintah Indonesia: www.ampl.or.id
3. Kembangkan opsi-opsi serupa bagi masyarakat miskin di daerah perkotaan. Salah satu contoh percobaan
4. Namun, terdapat masalah yang labih besar daripada masalah-masalah yang sudah disebutkan diatas, misalnya
vakumnya kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan layanan sanitasi. Sehingga untuk mengisi
kevakuman ini:
• Pembuat kebijakan daerah perkotaan harus memiliki pemahaman yang lebih terhadap besarnya biaya suatu
layanan yang berhasil, dan biaya untuk membuatnya berkesinambungan; Karena dua hal ini adalah kunci
keberhasilan dalam kemajuan sanitasi perkotaan. Semua kajian sektor analitis dan penelitian mendalam
mengenai bagaimana pembuat kebijakan memandang, dan opini pemimpin mengenai, sanitasi di Indonesia,
perlu menetapkan sasaran kampanye advokasi untuk mengumpulkan tekanan publik dalam rangka
meningkatkan layanan kesehatan. Selain itu perlu juga menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan
adanya investasi di bidang sanitasi yang bisa menguntungkan masyarakat miskin.
• Inovasi-inovasi yang ada harus bisa menarik komitmen politik di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi,
untuk meningkatkan layanan sanitasi di daerah perkotaan yang miskin. Ketidakberhasilan yang terus menerus
dibidang tersebut telah mengakibatkan krisis lingkungan dan kesehatan di daerah perkotaan, yang tersebar
di seluruh Indonesia – baik bagi masyarakat miskin maupun tidak miskin, tetapi ternyata isu tersebut tidak
mendapat tanggapan yang berarti dan bukan merupakan prioritas para pemimpin dan politisi. Untuk
mengangkat profil politis dari agenda sanitasi bisa dilakukan dengan jalan, melakukan analisa lintas sektor
untuk menilai biaya ekonomi dan human development cost yang harus ditanggung Indonesia akibat sistem
sanitasi yang buruk; mengaitkan antara pengelolaan sanitasi beserta sumber air bersih layak minum dengan
strategi penanggulangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi; mengorganisir konferensi tingkat tinggi
untuk membandingkan secara berkala kemajuan yang telah dicapai negara-negara tetangga dalam hal
komitmen mereka untuk mencapai tujuan pembangunan milenium (MGDs) di bidang sanitasi; meningkatkan
perhatian pelanggan dan pemilih mengenai dampak yang bisa menimpa seluruh penduduk Indonesia dari
ketiadaan layanan sanitasi dasar bagi masyarakat miskin.
12 Pilot program layanan sanitasi berbasis masyarakat yang dilaksanakan di tujuh kota di Indonesia selama tahun 2001-2003, bertujuan untuk mem-
promosikan solusi sanitasi berbasis masyarakat untuk wilayah perkotaan yang miskin.
insentif dan sanksi dalam pengalokasian anggaran operasional untuk sekolah-sekolah (BOS) terkait dengan
fungsionalitas fasilitas air sekolah dan sanitasi.
“miskin” yang telah b. Pocket voting: Pemetaan penyedia jasa tidak cocok untuk mereka.
ditentukan lokal yang mendasar, untuk jasa Kesehatan, Menggali alas an mengapa hal itu
Pendidikan, Air Bersih, dan Sanitasi (Lihat dianggap bermanfaat/atau tidak:
2 kelompok Pedoman yang ada). • Opsi layanan apa yang ada?
berdasarkan jender, c. Penentuan Ranking dan skor atas pilihan • Siapa yang menyediakannya?
tiap Kelompok dan yang lebih disukai untuk layanan Kesehatan, • Tingkat pemakaian opsi yang
campuran jender Pendidikan, Air, dan Sanitasi tersedia.
yang sama terdiri dari Atau • Perkiraan biaya atas perbedaan
2 kelompok umur: Untuk pilihan yang paling banyak digu- pilihan yang tersedia secara
Perempuan muda (15 nakan dalam tiap kategori: tunai/waktu/upaya
- 30) d. Manfaat dan Biaya yang sesuai (Lihat • Siapa yang memutuskan/
Laki-laki muda (15-30) Pedoman yang ada) memilih setiap jenis pilihan
Perempuan yang e. Rating scales untuk tingkat kepuasan layanan yang digunakan?
lebih tua (>30 – 50) atas pilihan yang paling banyak dalam tiap • Pengeluaran sebenarnya
Laki-laki yang lebih kategori --- kriteria yang digunakan untuk untuk memperoleh layanan
tua (>30-50) menilai mutu layanan (Lihat Pedoman yang - tunai/waktu/upaya (tiap
ada) hari/minggu/bulan/sekali)
f. Jika layanan publik masuk ke dalam
kategori yang tidak atau sedikit digunakan, Hal-hal yang berhubungan
gali alasan mereka, pertimbangan nilai dengan laki-laki dan perempuan
sesuai biaya dan mutu layanan. miskin dalam hal:
_____________________________________ • Alas an atas pilihan yang
diambil
FGD: ISU TENTANG SUARA & KEKUATAN • Persepsi tentang besarnya
PENGGUNA LAYANAN biaya
Dengan Pedoman Diskusi tentang • Persepsi tentang tolok ukur
pengalaman masyarakat miskin, gagasan untuk layanan yang bermutu
menguatkan akuntabilitas penyedia layanan __________________________
dan pembuat kebijakan bagi masyarakat miskin Pendapat orang miskin dan
- Studi Kasus yang bisa dilaksanakan yang bisa pengalaman menerapkan kekua-
ditentukan lebih lanjut. tan klien, suara klien, pencarian
akuntabilitas oleh masyarakat
miskin
Selected health/ Interviews with selected Service providers, in Providers’ views re:
education/water and each category • Quality of (identified specific)
sanitation service services provided
providers • Preferences of the poor.
• Obstacles to improving
services for the poor
• What can help the poor
obtain better services.
Instrumen Analisis partisipatori13 berikut ini digunakan untuk menggali topik yang berbeda, kebanyakan terhadap
Kelompok laki-laki dan perempuan secara terpisah.
13 Uraian lebih rinci tentang * instrumen bertanda MPA dapat dilihat pada Sustainability Monitoring : A Guide to Methodology for Participatory As-
sessment for Community-Driven Development Programs . Mukherjee, Nilanjana dan Van wijk, Christine. Water and Sanitation Program, IRC Interna-
tional water and Sanitation Centre and the World Bank. 2003..
Laporan atas lokasi penelitian dalam Bahasa Indonesia disusun oleh para peneliti untuk keperluan studi lapangan,
beserta dokumentasi tentang hasil setiap analisis partisipatori. Analisis itu merupakan pekerjaan bersama dari ke-
banyakan petugas lapangan. Laporan ini disiapkan berdasarkan seluruh keluaran ini.
Tabel 2.1. Paminggir – Masyarakat Pedesaan yang terpencil dan tergantung pada hasil kehutanan, Kalimantan Sela-
tan
Tabel 2.3. Alas Kokon – Pedesaan, Masyarakat Petani Lahan Kering. Madura, Jawa Timur
Tabel 2.4. Kertajaya – Wilayah Pedesaan Dengan Masyarakat Petani Lahan Basah, Jawa Barat.
Indikator Kesejahteraan Kaya Sederhana Miskin
Rumah • Bangunan permanen • Dinding setengah • Rumah berdinding
berlantai keramik semen dan setengah bambu beratap
atau marmer di atas kayu dengan atap anyaman – bocor saat
lahan seluas 0,5 hektar, anyaman. hujan;
dengan pagar besi • Kamar mandi • Lantai tanah;
• Punya kamar mandi sederhana dan jamban. • Rumah dibangun di
sendiri dan toilet. Rumah di atas lahan atas tanah milik orang
sendiri seluas + 150m2; lain;
• Perabotan sederhana • Perabotan dari kayu
dari plastik. – buatan sendiri.
Table 2.6. Jatibaru – Kelurahan Miskin Di Perkotaan, Pinggir Kota Bima, Nusa Tenggara Barat
Indikator Kesejahteraan Kaya Sederhana Miskin
Kehidupan dan Aset Pegawai negeri sipil, peda- Tukang kayu dan sopir Buruh tani, tukang
gang bata/batu, petani delman, pedagang atau pembuat bata, pencari/
buruh penjual kayu api
Pendapatan Lebih dari Rp.1.000.000/ Kira-kira. Rp.10.000/hari, Kira-kira. Rp.5.000/hari.
bulan tidak teratur
Pendidikan anak-anak Universitas SMA Tamat/tak tamat SD
sungai
Aset • Punya tanah (1 ha); Rumah permanen (6-9 Rumah (4 pilar), bahan
• Rumah batu pilar), murah, atap bangunan yang mu-
permanent dengan anyaman, dinding rah, dinding/lantai dari
atas genting, lantai bambu atau bata. bambu.
keramik; • Punya kambing, ayam,
• Punya sapi/kambing + dan itik.
ayam (+ 10). • Punya tanah (10 are)
Pola makan 3 kali / hari, nasi, ikan 2 kali / hari, nasi dengan 2 kali / hari, nasi dengan
sayur, dan buah sayur sedikit ikan segar ikan asin dan sayur.
Proporsi seluruh rumah 18% 28% 54%
tangga
Tabel 2.7. Simokerto – Penduduk Kota Yang Miskin, Surabaya. Jawa Timur
Kehidupan dan Aset Dokter, PNS, pedagang, Wiraswasta, sopir, guru Buruh bangunan, tani,
rumah tangga wiraswasta, pemilik mini atau petani gadon pekerja di bengkel, pena-
market atau bengkel rik becak.
mobil.
Pengeluaran Rumah Pendapatan tinggi. Cukup untuk hidup. Pengeluaran besar tapi
tangga tiap hari pendapatan tak cukup.
Pendapatan Di atas Rp.3-4 juta /bulan. Rp.15.000-Rp.20.000/ hari. Paling banyak Rp.10.000/
Bisa Rp.50.000/ hari day.
Pendidikan Universitas SMP - SMA Hanya SD saja, atau
bahkan tak tamat SD.
Penyedia layanan keseha- Dokter, Rumah sakit Puskesmas, Bidan Desa, Tukang pijat, obat tradi-
tan swasta, bidan desa. dukun desa. sional, beli obat di kios.
Rumah Rumah bersih, sehat, besar Rumah bersih, lantai se- Mutu Rumah buruk, lantai
Clean. Healthy, bertingkat men, pagar bambu. tanah, atap genting tua,
. 2-3. Lantai keramik, pagar atap anyaman, tanpa
besi. pagar. Tak punya lahan
sendiri untuk Rumah.
Aset Punya kulkas, sofa, sepeda Punya TV, radio, sepeda, • Sepeda tua, radio kecil,
motor, TV dan Rumah kursi sederhana, becak, dapur sederhana.
mewah. jamban, sumur pompa. • Tak punya apa-apa
Proporsi seluruh rumah 20% 26% 54%
tangga
(setelah daftaran/ seragam (per bulan) (per tahun) Tas (tiap hari)
(SDN)
BAJO PULAU/ NTB
- - 140,000 / yr N.M. 60,000 55,000 1,000
(SDN)
ALAS KOKON/ Madura
- - 5-10,000** 10,000 - -
(Madrasah Ibtidaiyah)
KERTAJAYA/ W.Java 30,000 / yr 12,000
65,000 – 100,000 7,000** - 1,000
(SDN) -18,000
Kota
ANTASARI / S.Kalimantan 75,000 /
7,500 - 2,000** 15,000 1,000
– (SDN) 3 yrs
JATIBARU: NTB 65,000 /
5,000 100,000- - 20,000 35,000 -
(SDN) 3 yrs
SIMOKERTO: E.Java 17,000** +
copybooks
SOKLAT: W.Java
100,000 100,000- 30,000/yr 10,000** 60,000 - -
(SDN)
* Dapat dicicil selama sekolah SD. ** Semua melaporkan bahwa biaya-biaya ini tidak lagi dipungut sejak September 2005
CATATAN :
65
62.5
Score
50
26
RURAL URBAN
86
82.5
80 80
74 74
63
57.5
Score
50
0
PAMINGGIR BAJOPULAU ALASKOKON KERTAJAYA ANTASARI JATIBARU SIMOKERTO SOKLAT
SD Negeri SD Negeri Madrasah Ibtidaiyah SD Negeri SD Negeri SD Negeri SD Negeri SD Negeri
RURAL URBAN
Catatan:
SD Negeri = Sekolah Pemerintah (kelas 1 – 6)
Madrasah Ibtidaiyah = Sekolah berbasis Islam (kelas 1 – 6)
0 50 60 70 100
Suara Masyarakat Miskin
Bajopulau
0 25 50 75 100
Alas Kokon
0 50 75 100
Kertajaya
0 50 100
Antasari
0 50 60 100
Jatibaru
0 25 50 80 100
Simokerto
0 50 75 100
Soklat
Penilaian Penilaian
Keterangan
Perempuan Laki-laki
SD Negeri
Madrasah Ibtidaiyah
Skor 0 = Tidak puas sama sekali
Skor 100 = Sangat memuaskan
rahu.
KERTAJAYA Hanya 3 anak dari desa itu melanjutkan ke SMP di luar desa. Mereka dari keluarga kaya. Biaya masuk sebesar Rp.1,5 juta merupakan jumlah tak terbayangkan bagi masyarakat
miskin.
PAMINGGIR * SPP
ALAS KOKON *Rp.15.000 / bulan
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
15
Suara Masyarakat Miskin
Diagram 3.3 Proporsi suara untuk pilihan terhadap penyedia layanan pendidikan SMP
37%
37%
63% 62%
66
Score
50
No school
No school
0
SMP Negeri - Madrasah - Madrasah SMP Negeri SMP Negeri SMP Negeri
Tsanawiyah Tsanawiyah
RURAL URBAN
74 74
67.5 68.3
62.5
50
Score
No school
No school
0
PAMINGGIR BAJOPULAU ALASKOKON KERTAJAYA ANTASARI JATIBARU SIMOKERTO SOKLAT
SMP Negeri - Madrasah - Madrasah SMP Negeri SMP Negeri SMP Negeri
Tsanawiyah Tsanawiyah
RURAL URBAN
Catatan:
SMP Negeri = Sekolah Menengah Pertama yang dibiayai pemerintah (kelas 6 – 8 atau 7 – 9)
Madrasah Tsanawiyah = Sekolah berbasis Islam yang dibiayai sekolah (Departemen Agama) kelas 6 – 8
2 10 40 50 90 100
Paminggir
Suara Masyarakat Miskin
0 50 100
Bajopulau
0 25 45 50 75 100
Alas Kokon
0 50 100
Kertajaya
0 10 50 90 100
Antasari
0 50 60 100
Jatibaru
0 25 50 55 100
Simokerto
0 50 75 100
Soklat
SMP Negeri
MTSn
SMP Yayasan
Skor 0 = Tidak puas sama sekali
Skor 100 = Sangat memuaskan
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
Mengefektifkan Pelayanan Bagi Masyarakat Miskin Di Indonesia
19
Suara Masyarakat Miskin
Diagram 3.6 Manfaat dan Persepsi Nilai terhadap ANC sebagai penyedia layanan
95 95
93.3
90
74
72
70
62.5
50
46.67
Score
20
50
Score
Catatan:
Dukun beranak/paraji/bidan kampung/sando = orang yang membantu persalinan
Puskesmas = Pusat layanan kesehatan primer
Bidan Puskesmas = bidan yang sudah terlatih yang bertugas di Puskesmas, bekerja sebagai PNS.
14%
15%
64%
76%
22
Tabel 3.4. Biaya Bantuan Persalinan yang Digunakan oleh Masyarakat miskin di 8 Lokasi Studi
LOKASI DI PAMINGGIR / Kalimantan BAJOPULAU /
ALAS KOKON / Madura KERTAJAYA/ Jawa Barat
PEDESAAN Æ Selatan NTB
Paling banyak digunakan Bidan Kampung (TBA) Sando (TBA) Dukun (TBA) Paraji (TBA)
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
Bidan Desa tidak pernah ada Rp.10.000 untuk biaya trans-
jika diperlukan portasi
LOKASI DI ANTASARI/Kalimantan
JATIBARU/NTB SIMOKERTO/Jawa Timur SOKLAT / Jawa Barat
PERKOTAAN Æ Selatan
Paling banyak digunakan Bidan Kampung (TBA) Dukun (TBA) Bidan Desa Paraji (TBA)
Rp.50.000 - Rp. 200.000 + beras Rp.10.000 + 1 kg beras Ro.300.000 + Rp.20.000 untuk Rp.50.000 - Rp. 100.000 or
+ butir kelapa + gula pasir biaya transportasi Rp.50.000 + 5 kg beras
Perbandingan dengan Bidan Desa Bidan Desa Dukun (TBA) Bidan Desa
layanan lain yang tersedia
Rp.250.000 - Rp. 500.000 Rp.300.000 - Rp. 400.000 Tidak digunakan lagi Rp.300,000 -400,000
Tergantung pada lamanya +
rumitnya pekerjaan
CATATAN: Menurut laki-laki, suami memilih penyedia layanan untuk persalinan. Menurut istri, suami dan istri bersama-sama menentukan hal itu.
Diagram 3.8 Tingkat Kepuasan terhadap Penyedia Layanan Persalinan
Paminggir 3 30 50 70 100
0 45 50 75 100
Alas Kokon
0 25 50 100
Kertajaya
0 45 50 75 100
Antasari
0 50 100
Jatibaru
0 50 100
Simokerto
0 50 75 100
Soklat
RSU
TBA
Puskesmas
90 91.67
82
75
68.75 68.7
54
50
Score
Bidan kampung Sando (TBA) Dukun beranak Paraji Bidan kampung Sando (TBA) Bidan Puskesmas Paraji
RURAL URBAN
76
50
Score
RURAL URBAN
Catatan:
Dukun beranak/paraji/bidan kampung/sando = perawat traditional yang membantu persalinan
Puskesmas = Pusat Kesehatan Masyarakat (untuk layanan kesehatan primer)
Bidan desa = bidan terlatih, tinggal di desa dengan status pegawai negeri sipil
Bidan Puskesmas = bidan terlatih dengan status pegawai negeri sipil
2% 4% 9% 2% 3% 4%
7% 5%
23% 3%
17%
17%
36%
21%
35%
Diagram 3.11 Proporsi jumlah suara mengenai pilihan penyedia Layanan Kesehatan bagi Bayi (0 – 2 bulan)
17%
17%
33% 28%
26
Tabel 3.5. Biaya Pemakaian Jasa Satu Kali untuk Layanan Kesehatan Kuratif yang paling banyak digunakan Masyarakat miskin untuk anak Balita mereka
LOKASI PEDESAAN Æ PUSKESMAS PUSTU TBA/Dukun beranak Bidan Desa
PAMINGGIR Kalimantan Rp.5,000 Rp.5.000 – Rp.10.000 (karena layanan PUSTU tidak tersedia
Konsultasi kualitatif dengan masyarakat miskin di delapan lokasi yang ada di Indonesia
Jawa Barat portasi
LOKASI PERKOTAAN
ANTASARI Kalimantan Rp.3,000
Selatan
JATIBARU / NTB Rp.3.000 + Rp.3.000 untuk biaya trans-
portasi
SIMOKERTO E.Java Rp.5.000 + Rp.6.000
portasi
SOKLAT Rp.2.500 (jika belum sembuh lalu dibawa
obat)
Diagram 3.12 Manfaat dan Persepsi Nilai terhadap Layanan Kuratif bagi Bayi (0-2 bulan)
76.67 76
72
66
64
60
50 50
Score
0
PAMINGGIR BAJOPULAU ALASKOKON KERTAJAYA ANTASARI JATIBARU SIMOKERTO SOKLAT
Puskesmas Sando Bidan desa Bidan Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas
pembantu pembantu
RURAL URBAN
70
50
Score
RURAL URBAN
Catatan:
Pustu (Puskesmas pembantu) = Untuk layanan kesehatan sub-primer (dengan fasilitas penjangkauan
Puskesmas = Pusat Kesehatan Masyarakat (untuk layanan kesehatan primer)
Bidan desa = bidan terlatih, tinggal di desa dengan status pegawai negeri sipil
Bidan Puskesmas = bidan terlatih dengan status pegawai negeri sipil
Paminggir
0
Suara Masyarakat Miskin
Bajo Pulau
0
Alas Kokon
0
Kertajaya
0
Antasari
0 10
Jatibaru
0
Simokerto
0
Soklat
RSU
Bidan Desa
Posyandu
Dokter Swasta
Mantri
Dukun
63.3
50
Score
River Vendor from other Protected public Public handpump Buy PDAM water Unprotected dugwell Vendor reselling Unprotected public
island dugwell from neighbor PDAM water dugwell
RURAL URBAN
50
Score
River Vendor from other Protected public Public handpump Buy PDAM water Unprotected dugwell Vendor reselling Unprotected public
island dugwell from neighbor PDAM water dugwell
RURAL URBAN
0 100
Bajo Pulou
0 25 50 60 100
Alas Kokon
0 10 40 50 100
Kertajaya
0 30 50 80 100
Antasari
0 100
Jatibaru
0 50 75 100
Simokerto
0 50 85 100
Soklat
Sungai
Sumur gali
Sumur gali dengan pompa (sanyo)
Skor 0 = Tidak puas sama sekali
Sumur bor dengan pompa (sanyo) Skor 100 = Sangat memuaskan
Sumur pompa tangan
56.67
50
48
Score
River (open Beach (open Unimproved dry pit River (open Unimproved dry pit River (open Field (open Shared household
defecation) defecation) household latrine defecation) household latrine defecation) defecation) latrine
(drop)
RURAL URBAN
76
70
50
44
Score
36
RURAL URBAN
0 80 90 100
Paminggir
Suara Masyarakat Miskin
0 100
Bajo Pulou
0 25 50 100
Alas Kokon
0 5 25 100
Kertajaya
0 10 25 45 50 100
Antasari
0 50 75 100
Jatibaru
Simokerto 0 25 50 100
75
0 30 50 75 85 100
Soklat
Tambak
Got kecil jauh dari rumah