Anda di halaman 1dari 11

Praktik Guiding Pada Tanggal 11 Januari 2011

Nirvana Hotel ( AKPAR ) – Maha Vihara Budha


Maitreya – Medan Zoo
Sejarah Berdirinya Vihara Budha Maitreya.

Ikuanisme, I Kuan Tao atau Yi Guan Dao (一貫道) adalah aliran bukan agama
yang bermula dari Republik rakyat cina awal Abad ke-20. "I Kuan" berarti persatuan atau
kesatuan, sementara Tao berarti jalan, kebenaran atau juga ke-Tuhan-an. Di Indonesia
sering diterjemahkan sebagai Jalan Ke-Tuhan-an. Ajaran Ikuanisme menekankan ajaran
moral berasal dari Tiongkok, menggabungkan aliran Konfusianisme, Taoisme
danBuddha. Ikuanisme bukan aliran atau kepercayaanTaoisme.

I Kuan Tao di Indonesia dikenal sebagai agama Buddha Maitreya. I Kuan Tao
berkembang di Indonesia berasal dari Taiwan sekitar tahun 1950-an. Di Taiwan, I Kuan
Tao berdiri sendiri sebagai sebuah agama baru dan tidak mendompleng agama Buddha.

I Kuan Tao menyatakan bahwa pencipta alam semesta, bumi dan seluruh mahluk
hidup adalah Tuhan yang berupa seorang Ibunda yang disebut Lao Mu. Lingkaran hidup
bumi dan alam semesta adalah 108 000 tahun, dan kita berada dalam zaman terakhir
dimana manusia telah hidup 60 000 tahun. Manusia sebagai anak-anak dari Tuhan (Lao
Mu) karena telah terlalu lama di bumi, tersesat dalam hidup duniawi, terjerumus dalam
dosa menyebabkan mereka hidup dalam roda reinkarnasi dan tidak bisa kembali ke
Surga. Lao Mu sangat merindukan anak-anaknya di bumi ini, dan mengutus 10 Buddha
untuk menyelamatkan anak-anaknya di bumi. 7 Buddha pertama telah datang saat
bermulanya kebudayaan manusia, dan 3 Buddha terakhir mengemban tugas
penyelamatan. Sehingga dibagi 3 zaman: Zaman Pancaran Hijau, Pancaran Merah, dan
Pancaran Putih. Buddha Dipankara diutus saat Zaman Pancaran Hijau (sekitar 3000 SM)
sampai lahirnyaSiddharta Buddha. Zaman Pancaran Merah bermula dengan diutusnya
Siddharta Gautama. Zaman Pancaran Putih atau zaman terakhir bermula saat Buddha
Maitreya diutus. Menurut Ikuanisme Buddha Maitreya telah datang ke dunia sebagai
Guru ke-17 Lu Zhong I.

Sejarah resmi I Kuan Tao membagi perkembangan Tao dalam 3 periode. Periode
pertama disebut sebagai 18 Sesepuh Pertama dari Timur, yang bermula dari awal adanya
manusia. Sesepuh pertama adalah Fu Shi, tokoh mistis dari Tiongkok, pencipta pa kwa (8
triagram). Kemudian berlanjut ke tokoh mitos dan sejarah: Shen Nong (penemu
pertanian), Huang Ti (Kaisar Kuning), diteruskan ke raja-raja Tiongkok, sampai Kong Hu
Cu, dan terakhir Lau Ce (Penulis Tao Te Ching). Dikatakan bahwa karena perang saudara
di daratan Tiongkok, menyebabkan Lao Ce membawa Tao ke India dan meneruskan
keSiddhartra Gautama. Di sini bermula periode ke-2 yang disebut 28 Sesepuh dari Barat,
bermula dari Siddharta Gautama, diteruskan ke Mahakassapa, dan menurut aliran Zen
sampai terakhir Bodhidharma. Bodhidharma dikatakan membawa Tao kembali ke
Tiongkok, dan bermulalah periode ke-3: 18 Sesepuh Terakhir dari Timur. Bermula dari
Bodhidharma sampai sesepuh ke-6 Hui Neng (sama seperti aliran Zen). Dari sesepuh ke-
7 bermula nama-nama dari sekte atau aliran bawah tanah Tiongkok. Guru ke-9 yang
bernama Huan te Hui (1624-1690) adalah juga pendiri sekte "Shien Thien Tao" 先天道
(atau Jalan Surga Pertama). Aliran Shien Thien Tao masih ada di Indonesia dalam bentuk
kelenteng kelenteng yang dipegang oleh Bhiksuni (Chai Ma). Sehingga disebutlah I
Kuan Tao bercabang dari Shien Thien Tao. Dokumen dinasti Ching yang ditemukan
belakangan ini menunjukkan bahwa Wang Cue Yi 王覺一, sesepuh ke-15, mendirikan
aliran "I Kuan Ciao" (Agama I Kuan) di zaman dinasti Ching (sekitar tahun 1850).
Sejarah I Kuan Tao menunjuk ke sesepuh ke-17 Lu Chong I 路 中 一 sebagai jelmaan
Buddha Maitreya, merupakan awal Zaman Pancaran Putih (zaman terakhir) di tahun
1905.

I Kuan Tao mulai berkembang pesat saat sesepuh ke-18 Chang Thien Ran 張天然
memegang pemimpin. Sesepuh Chang lahir tahun 1889 pada tanggal Imlek 19 bulan 7, di
Ji Ning, propinsi Shan Tong. Sesepuh Chang mengikuti aliran I Kuan Tao sejak tahun
1914. Sesepuh ke-17 Lu Zhong I yang dipercaya adalah jelmaan Buddha Maitreya
melihat talenta Sesepuh Chang. Dan setelah meninggalnya sesepuh ke-17 tahun 1925,
Sesepuh Chang diangkat menjadi sesepuh ke-18 tahun 1930. Sesepuh Chang dikatakan
sebagai jelmaan Ci Kung, Buddha Sinting, atau disebut Buddha Hidup Ci Kung. Sesepuh
Chang Thien Ran disebut sebagai Se Cun 師 尊 (Bapak Guru Agung). Sesepuh Chang
dikatakan atas mandat Lao Mu, menikahi Sesepuh Sun Su Chen 孫 素 真 yang disebut
sebagai jelmaan Bodhisatwa Yek Huei 月慧菩薩 (Dewi Bulan Bijaksana). Sesepuh Sun
Su Chen besama Sesepuh Chang Tien Jan menjabat sebagai sesepuh ke-18 I Kuan Tao.
Sun dihormati sebagai Se Mu 師母 (Ibu Guru Suci).

I Kuan Tao menyebar pesat dari tahun 1930 sampai 1936. Dari tahun 1937-1947
selama kekuasaan Jepang, I Kuan Tao juga berhasil menarik penganut dari utara, tengah
sampai selatan Tiongkok. Sesepuh Chang Tien Ran meninggal tahun 1947 saat komunis
mulai berkuasa di Tiongkok.

Dengan meninggalnya Sesepuh Chang, dan berkembangnya komunis di China, I


Kuan Tao tidak dalam keadaan yang bersatu. Para muridnya secara tersendiri melarikan
diri ke Hong Kong dan Taiwan. Sesepuh Sun Su Cen (Se Mu) mengambil alih kedudukan
dan membawa ajaran Ikuanisme ke Hong Kong dan Taiwan. Dari Taiwan I Kuan Tao
berkembang pesat dan menyebar ke Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura,
Thailand). Sementara itu, para murid Sesepuh Chang secara individual menyebarkan
ajaran I Kuan Tao, sehingga muncul kelompok-kelompok Ikuanisme dengan sesepuh
atau pemimpin yang berbeda-beda. Di Taiwan, I Kuan Tao mulai resmi diakui
pemerintah sejak tahun 1987.

Aliran Buddha Maitreya di Indonesia


Vihara Maitreya di Indonesia

I Kuan Tao bermula di Indonesia di tahun 1949 di Malang oleh seorang pengikut I
Kuan Tao dari Taiwan bernama Tan Pik Ling (Hokkian) atau Chen Po Ling (Mandarin)
atau dikenal sebagai Maitreyawira (Indonesia). Tan adalah seorang dokter gigi, pertama
sekali datang ke Indonesia sejak tahun 1930. Ia dikatakan diutus oleh Se Mu (Ibu Guru
Suci) dan Pan Hua Ling 潘華齡 pemimpin Kelompok Pau Kuang 寶光組. Sejarah lain
dari kelompok Pau Kuang Cien Te 寶光建德 mengatakan bahwa sesepuh Li Su Ken 呂
樹根 mengutus Tan Pik Ling ke Indonesia. Vihara Maitreya pertama didirikan di Malang
bernama Chiao Kuang di tahun 1950. Vihara ini adalah Fo Tang 佛 堂 pertama yang
berdiri di luar China dan Taiwan. Di bawah pimpinan Tan, Ikuanisme (Buddha Maitreya)
berkembang pesat ke Surabaya, Jakarta, Medan, Pontianak dan seluruh Indonesia. Tan
meninggal tahun 1985. Di Indonesia, I Kuan Tao menempel sebagai agama Buddha,
karena pemerintah hanya mengakui 5 agama resmi. Sehingga di Indonesia Buddha
Maitreya muncul sebagai aliran agama Buddha, membentuk Majelis Pandita Buddha
Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) dan bernaung di bawah Walubi.

Se Mu 師母(Ibu Suci) sewaktu di Taiwan berada di bawah asuhan Wang Hao Te 王好德
(atau sesepuh Ong) selama 11 tahun, Wang sendiri adalah pengikut kelompok Pao Kuang
寶 光 組 . Dengan meninggalnya Se Mu 4 April 1975, Wang Hao Te mengaku sebagai
penerus asli Ikuanisme yang diangkat oleh Se Mu. Hanya melalui beliau Kuasa Firman
Tuhan Tien Ming dapat diberikan, Sesepuh Ong mengaku sebagai penerus Benang Emas
yang sejati. Banyak kelompok I Kuan Tao yang menolak sehingga Wang Hao Te
membentuk aliran sendiri yang disebut Tao Agung Maitreya 彌勒大道. Tan Pik Ling di
Indonesia yang juga pengikut kelompok Pao Kuang memutuskan untuk bergabung
dengan Wang Hao Te.
Ikuanisme membentuk organisasi sendiri dengan kantor pusat di El Monte,
California, pada tahun 2000 membentuk organisasi I Kuan Tao Indonesia dan Yayasan
Eka Dharma (dari kelompok Pau Kuang Cien Te). I Kuan Tao tidak mengakui aliran
Maitreya dan sebaliknya juga. Namun aliran Buddha Maitreya di Indonesia jauh lebih
pesat dan lebih banyak pengikutnya daripada I Kuan Tao.

Aliran Buddha Maitreya berkembang sebagai agama unik Indonesia. Aliran ini
mengadopsi istilah-istilah Indonesia dan Sansekerta Buddha. Disebabkan juga oleh
tekanan pemerintah ORBA yang melarang penggunaan bahasa Mandarin, liturgi dan
upacara keagamaan juga menggunakan Bahasa Indonesia. Larangan juga untuk
menggunakan patung-patung non-buddhis (seperti Kuan Kong). Dalam era reformasi
sekarang, vihara Maitreya kembali lebih bebas menggunakan bahasa Mandarin. Vihara
Maitreya di Indonesia juga unik, berciri khas tercantum kalimat "Tuhan Maha Esa" dan
mengikuti perayaan Buddha seperti Waisak, Kathina, dan menggantungkan gambar
Siddharta Buddha. Walaupun dalam perayaan-perayaan ini, aliran Maitreya mempunyai
cara sendiri yang mana tidak berhubungan dengan perayaan yang sebenarnya. Ciri-ciri ini
jarang ditemukan di vihara Maitreya di Taiwan, karena I Kuan Tao mengajarkan bahwa
agama Buddha telah ketinggalan zaman, dan sekarang adalah zaman Buddha Maitreya.

Ajaran I Kuan Tao mengajarkan pantangan-pantangan seperti yang umat Buddha


awam percaya, Sang Buddha Siddharta Gautama berikan. Berbagai doktrin dan filosofi
dipelajari serta diajarkan kepada umat I Kuan Tao, termasuk falsafah Konfusius dan
filosofi/akhlak kehidupan seperti San Zi Jing (三字经/三字經). Pengikutnya ditekankan
untuk menghormati kepercayaan dan penganut Agama lainnya. Aliran Maitreya juga
diterima baik oleh kalangan masyarakat di Amerika Serikat.

Aliran Maitreya berkembang paling pesat di antara aliran Buddha di Indonesia.


Para pengikut aliran Maitreya dianjurkan untuk menjadi vegetarian, dan menyebarkan
ajaran ini dengan membawa teman atau saudara untuk memohon jalan ke-Tuhan-an.
Sejarah lengkap dapat ditemukan dalam makalah penelitian antropologi dari
Amerika dan Eropa. Makalah terlengkap oleh David Jordan dalam bukunya The Flying
Phoenix.

Penyebaran vihara Budha Maitreya Sudah sangat banyak di Indonesia. Salah satunya
terdapat di Medan yang dikenal dengan nama Maha Vihara Budha Maitreya.

General Information Maha Vihara Budha Maitreya


Di Medan Sendiri Maha Vihara Maitreya terletak di Jalan Cemara Boulevard Utara No 8
Kompleks Perumahan Cemara Asri, lokasi berdirinya Maha Vihara Maitreya, yang
terbesar di Asia Tenggara. Masuk dari jalan utama kompleks kemudian berputar
melewati sirkuit gokart maka tampaklah bangunan berwarna orange anggun berdiri di
sana. Relief naga di bagian depan dua bangunan memberi kesan kekuatan.
“Kita memang yang terbesar di Asia Tenggara makanya namanya Maha Vihara Maitreya
bukanVihara,”
Sesuai dengan namanya, hampir setiap bagunan menampilkan patung Budha Maitreya,
sosok dengan perut besar dan selalu tersenyum. Kabarnya, semua patung didatangkan
dari daratan Tiongkok-Taiwan. Ditemani Herman, Sumut Pos pun memulai
perjalanannya dari Gedung A, bagian paling kanan gedung. Gedung dengan luas 96x 30
meter terdiri dari empat lantai.

Lantai I diperuntukkan untuk perkantoran dengan luas 10×8 meter. Terdapat 10 kantor di
situ. Sementara lantai dua, tiga, dan empat merupakan mes bagi pengurus. Lantai dua
berisi 32 kamar, lantai tiga ada 26 kamar dan lantai empat ada 16 kamar berukuran 10×4
meter. Ini menunjukkan bagaimana pengelolaan yang dilakukan menggunakan metode
yang profesional.

Di pintu masuk, pengunjung akan disambut oleh Patung Budha Maitreya yang terbuat
dari kayu Hong, jenis dari Taiwan yang selalu menyebarkan bau harum yang khas.
Begitu pun di pintu samping gedung sekretariat ini ketiga patung Budha Maitreya
didampingi oleh Bodi Satva Kwan Im dan Panglima Perang, Bodhisatva Satyakalama
atauKwanKong.

Di bagian samping Gedung Sekretariat ini dipajang lonceng berukuran besar yang disebut
Kuai Le Zhong atau Genta Kebahagiaan. Genta berbobot tujuh ton itu didatangkan dari
Tiongkok, posisinya digantung pada bangunan yang menaunginya. Tampak di sisi genta
terukir aksara Tiongkok yang berisikan Dharma Hati. “Dharma Hati ini merupakan ajaran
untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup,” jelas Herman.
Genta raksasa ini merupakan tujuan wajib para pengunjung yang datang ke Maha Vihara
Maitreya. Tidak hanya untuk mengagumi, para pengunjung dipersilakan untuk
membunyikan genta dengan kayu pemukul yang dipasang di sebelahnya. “Dengan
memukul genta sebanyak tiga kali diharapkan akan membawa kebaikan dan rezeki
kepadanya,”tambahnya.

Setelah Gedung A, perjalanan pun dilanjutkan ke sebelahnya yaitu Gedung B yang kalau
dilihat dari depan merupakan gedung tengah. Menuju ke bagian tengah melintasi kolam
Bodhisatva Kwan Im yang berada di antara Gedung A dan Gedung B. Tampak patung
Bodhisatwa Kwan Im berwarna putih berdiri tegak di atas seekor naga dengan latar relief
yang menggambarkan alam kehidupan nirwana. Patung Bodhisatva Kwan Im ini diapit
oleh dua jembatan kebahagiaan di sebelah kiri dan jembatan kesehatan di sebelah kanan.

Beberapa ekor ikan koi beraneka warna berenang bebas di kolam memberi kesegaran dan
kenyamanan saat berada di situ. “Orang berkunjung kemari tidak hanya untuk beribadah,
bisa juga rekreasi. Dengan rekreasi segala penat akan hilang dan kembali bersemangat
dalam menjalani kehidupan ini,” terang Herman.

Di gedung inilah terletak Altar Utama tepatnya di lantai dua disebut juga dengan Graha
Maitreya (Mi Le Bao Dian) dengan ukuran 96×38 meter dan berdaya tampung seribu
orang. Di sini terdapat Patung Budha Maitreya dengan pose duduk bersila. Patung
setinggi tujuh meter ini terbuat dari tembaga yang didatangkan dari Taiwan. “Karena
terlalu besar patungnya dirakit di Indonesia. Dari Taiwan kita datangkan lempengan
patungnya,”beberHerman.

Di bagian belakang Altar Utama terdapat Graha Leluhur dengan luas 8 x 28 meter. Di
situ terdapat lima papan berisikan nama kelima sesepuh yang disusun sesuai urutannya.
Pintu dengan gaya khas Tiongkok memberi kesan tersendiri di bagian ini.
Turun ke lantai I terdapat Graha Sakyamuni (Da Xiong Bao Dian), Graha Guan Yin
(Guan Yin Bao Dian), dan Graha Guan Gong (Guan Sheng Bao Dian). Tampak juga
relief yang menceritakan Bodhisatva Kwan Im di sebelah kanan dan relief mengenai
Bodhisarva Kwan Kong di sebelah kiri. Bangunan ini ditopang oleh 12 pilar polos.

Sementara di bagian luar terdapat delapan pilar naga. Ke delapan pilar ini seperti
mengapit patung Budha Maitreya yang membawa kantung kebahagiaan serta sekeping
emas di tangan kanannya. Menurut Herman, semua pengunjung dipastikan menghampiri
untuk mengelus perut sang kebahagiaan ini. “Sampai perut sang patung Budha ini lecet
karena memang semua pasti mengelus perut. Diyakini akan mendatangkan rezeki,” kata
Herman seraya mengelus perut patung Maitreya dengan kedua tangannya.

Bagian akhir yaitu Gedung C dengan luas 96 meter x 30 meter terdiri atas tiga lantai.
Adapun lantai satu adalah Teko Healty Resto berukuran 80 meter x 30 meter. Seperti
namanya, restoran ini merupakan pusat jajanan ala vegetarian. “Budha Maitreya
merupakan vegetarian maka kita pemujanya juga penganut vegetarian,” lanjutnya.

Di antara Teko Healty Resto dan Gedung B terdapat sebuah tempat bermain bagi anak-
anak. Tampak replika kapal laut dilengkapi dengan celah yang sangat disukai anak-anak
juga beberapa miniatur untuk bermain. Patung Bodhisatva Kwan Im yang didampingi
patung malaikat kecil seolah menjadi saksi kebahagiaan mereka.
Di sisi luar resto, terdapat sebuah patung teko berwarna hijau. Bila dilihat sekilas, teko
yang terus menuangkan air ke dalam cangkir ini seolah terbang. Kesan Teko Terbang ini
pun kian nyata saat menyaksikannya di malam hari.

Bagian lain dari gedung C ini adalah serbaguna hall yang berada di lantai dua dan Sky
Convention Hall di lantai tiga. Kedua bahagian ini dapat digunakan untuk kegiatan
umum. Bahkan beberapa kali konser telah digelar di Sky Convention Hall. “Ruangan
menggunakan pengedap suara jadi dipastikan tidak akan mengganggu kegiatan ibadah
bila berlangsung bersamaan. Sky Convention Hall ini dapat menampung 3.000 orang,”
papar Herman.

Kedatangan ke Maha Vihara Maitreya ini tidak akan lengkap bila tidak membawa
cenderamata. Untuk souvenir tadi bisa didapatkan di Souvenir Shop yang satu bagian
dengan Teko Healty Resto. Di situ dapat ditemui miniatur Maha Vihara Maitreya dari
ukuran kecil hingga besar juga dalam beberapa pose. Demikian pula patung Budha
Maitreya, Bodhisatva Kwan Im, Bodhisatva Kwan Kong, Sakyamuni (Sidarta Gautama)
yang dibuat dengan beberapa bahan. Dua jam tak cukup rasanya melihat kemegahan dan
keunikan di Maha Vihara Maitreya.

By Yumna dan Zahara

Anda mungkin juga menyukai