re-compiled by:
名ず利
メダン, May 2011
semoga bermanfaat ☺
Asal-usul Tanaman Semangka
tinggi (Mohr 1986). Citrullus lanatus var. lanatus (Thunb.) Matsum & Nakai
adalah tetua dari semangka yang umumnya dibudidayakan. Citrullus lanatus
merupakan salah satu dari empat spesies diploid (n = x = 11) yang telah dikenal
baik, dimana spesies ini termasuk ke dalam genus Citrullus Schrad. Ex Eckl. &
Zeyh (Simmonds 1976).
Seperti halnya tanaman timun, labu, blewah, pare, tanaman semangka juga
termasuk ke dalam famili Cucurbitaceae (famili dengan sekitar 90 genus dan
mungkin 700 spesies). David Livingstone pada tahun 1850 menetapkan bahwa
Afrika sebagai daerah asal (center of origin) tanaman semangka. David
menemukan areal pertanaman semangka yang sangat luas di Gurun Kalahari dan
wilayah subtropis Afrika. Beberapa bukti juga menunjukkan kemungkinan
tanaman semangka berasal dari Amerika. Tanaman semangka diintroduksi
pertama kali di Cina sekitar abad ke-10 sesudah Masehi (Sackett 1975).
Pusat keanekaragaman tanaman semangka adalah Afrika Selatan,
meskipun kerabat liar tanaman ini ditemukan juga di Afrika Barat. Cina adalah
negara kedua pusat keanekaragaman tanaman semangka. Negara ini sekaligus
sebagai produsen terbesar di dunia dengan 3/4 produksi semangka dunia berasal
dari Asia. Genus Citrullus sendiri berdasarkan studi taksonomi terbaru dibagi
kedalam empat spesies : C. lanatus (sinonim C. vulgaris), C. ecirrhosus, C.
colocynthis, dan C. rehmii. Pada tahun 1930, L.H.Bailey membagi semangka
budidaya C. vulgaris kedalam 2 varietas botani: lanatus dan citroides. Varietas
citroides meliputi semangka citron atau semangka yang biasa dijadikan manisan
yang memiliki tekstur daging buah yang keras dan biji berwarna coklat atau hijau
(Wehner et al. 2007). Citrullus lanatus var. citroides (semangka Afrika)
dibudidayakan di Gurun Sahara Afrika terkenal dengan bijinya yang dikeringkan
yang kaya nutrisi (Minsart & Bertin 2008).
analisis ini baik untuk menjelaskan pola keanekaragaman. Sementara di sisi lain,
Analisis Komponen Utama dapat menginterpretasi pola data mutivariat melalui
analisis magnitud dan skor nilai eigenvector (Sneller 1994).
Jarak genetik dalam kultivar dapat digunakan untuk mengukur divergensi
genetik rata-rata antar kultivar. Informasi mengenai hubungan genetik antara
genotipe-genotipe dalam satu spesies sangat bermanfaat untuk seleksi tetua dalam
program hibridisasi. Program pemuliaan suatu spesies hendaknya dimulai dengan
memilih tetua-tetua yang memiliki jarak genetik yang jauh, tetapi dengan sifat-
sifat agronomis yang baik (Machado 2000). Analisis gerombol bertujuan untuk
mengelompokkan individu-individu atau objek berdasarkan karakter-karakter
yang mereka miliki, sehingga individu-individu dengan deskripsi yang sama akan
dikumpulkan ke dalam gerombol yang sama secara matematis (Hair et al. 1995).
Ada dua tipe penggerombolan: metode berbasis jarak dan metode berbasis
model. Metode berbasis jarak (distance-based method) menggunakan matriks
jarak berpasangan sebagai input untuk analisis algoritma penggerombolan tertentu
sehingga memunculkan gambar grafik seperti dendogram (Johnson & Wichern
1992). Sementara metode berbasis model adalah metode yang berlandaskan
beberapa model parametrik dimana observasi dari masing-masing gerombol
diasumsikan bersifat acak dan menginferensi parameter-parameter yang
berhubungan dengan masing-masing gerombol serta pengelompokkan masing-
masing individu dilakukan dengan menggunakan metode statistik standar seperti
metode maximum-likelihood atau Bayes. Algoritma penggerombolan lazim
mengadopsi metode aglomeratif hierarki UPGMA (Unweighted Paired Group
method using Arithmetic averages) (Sneath & Sokal 1973).
Informasi yang dihasilkan dari analisis gerombol (cluster analysis)
bermanfaat bagi pemulia dalam kaitannya dengan keanekaragaman genetik
(genetic diversity). Secara teori, perbedaan fenotipik umumnya juga
mencerminkan perbedaan (keanekaragaman) genetik. Beranjak dari konsep ini,
Autrique et al. (1996), van Beunigen dan Busch (1997) dan Johns et al. (1997)
menggunakan karakter tumbuh kembang, fisiologi dan morfologi untuk
menghitung jarak dan keanekaragaman genetik dari sejumlah besar koleksi
tanaman budidaya.
8
semangka dan melon bisa terjadi pada suhu di bawah 260C (Babadost 1988).
Fusarium melakukan penetrasi melalui ujung akar dan celah/luka pada akar.
Selanjutnya, cendawan tumbuh di dalam pembuluh angkut (xylem) dimana
cendawan ini kemudian menghambat aliran air ke bagian atas tanaman sehingga
tanaman menjadi layu (Wehner 2007).
Layu fusarium pada semangka memiliki tingkat keparahan paling serius.
Kecambah yang terkena penyakit ini akan mengalami damping off dan mati.
Tanaman yang dewasa akan terlihat layu di siang hari, kemudian segar kembali.
Ujung daun mengering dan akan mati pada beberapa hari berikutnya. Selama
periode musim kering dan hangat, keparahan penyakit akan meningkat.
Pengendalian terbaik adalah dengan rotasi jangka panjang dengan tanaman yang
bukan satu famili, membuang bekas-bekas pertanaman semangka serta fumigasi
tanah. Cendawan Fusarium juga dapat menyerang pada stadia pembentukan buah,
yang menyebabkan buah menjadi kecil dan tidak dapat dijual. Tanaman semangka
tahan fusarium, akan tumbuh lambat dan kerdil jika terinfeksi penyakit ini. Akar
tampak normal pada awalnya, tetapi akan berubah menjadi coklat kemerahan dan
mati (Babadost 1988; Sikora 2004).
Efektifnya sistem ketahanan suatu inang sangat tergantung kepada
penyebaran ras-ras spesifik patogen dan tingkat inokulum di tanah. Pengetahuan
tentang ras-ras dan kepadatan inokulum F. oxysporum f.sp. niveum di lahan
komersil dapat mem-fasilitasi pengembangan strategi-strategi manajemen regional
pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman semangka (Zhou & Everts
2003). Pada awalnya, Flor dan Oort mengajukan konsep gene for gene dalam
sistem ketahanan tanaman terhadap penyakit, dimana satu alel dari patogen hanya
akan cocok (kompatibel) untuk satu alel ketahanan pada tanaman. Namun,
fenomena ‘patah’nya ketahanan tanaman menunjukkan bahwa terdapat variasi alel
pada patogen (Basset 1986).
Russel (1978) menyatakan bahwa variabilitas cendawan penting bagi
pemulia tanaman sehubungan dengan perkembangan dan penyebaran ras-ras
fisiologis baru yang memiliki kemampuan untuk menyerang varietas-varietas
yang sebelumnya merupakan varietas tahan. Ras-ras fisiologis baru ini disebut
dengan ras yang ‘mematahkan’ sifat ketahanan. Hal yang perlu ditekankan adalah
10
bahwa satu ras fisiologis tertentu dapat meliputi banyak genotip yang berbeda.
Genotip-genotip ini hanya punya satu kesamaan yakni gen virulensi yang dapat
menimbulkan penyakit, dikontrol dengan gen yang terkait gen pada tanaman
inang. Sehingga ras fisiologis bisa terdiri dari individu-individu yang memiliki
gen virulen yang sama tetapi akan menunjukkan morfologi, fisiologis dan
virulensi yang berbeda jika menyerang tanaman inang yang lain dengan gen
ketahanan yang berbeda.
interaksi yang kompleks antara inang, patogen dan lingkungan tanah. (Boyhan et
al. 2003).
Seringkali dilaporkan tanaman-tanaman budidaya menunjukkan sifat tahan
terhadap penyakit pada suatu daerah, tetapi menjadi rentan jika dibudidayakan
pada daerah lain. Kondisi seperti ini umumnya menunjukkan ketahanan tanaman
bersifat spesifik ras. Materi pemuliaan seharusnya diuji dengan sebanyak
mungkin ras patogen sehingga dapat diketahui genotipe-genotipe yang bersifat
spesifik ras dalam pemanfaatannya bagi program pemuliaan (Russel 1978).
Program pemuliaan ketahanan terhadap penyakit berpijak pada 2 tipe
ketahanan, monogenik dan kuantitatif (poligenik). Bekerja dengan ketahanan
monogenik lebih mudah, namun seringkali menghasilkan ketahanan yang tidak
durable. Sebaliknya, bekerja dengan ketahanan poligenik lebih sulit, namun
mampu menghasilkan ketahanan yang bertahan lebih lama (durable) (Keller et al.
2000). Gen Fo-1 adalah gen dominan untuk ketahanan terhadap cendawan
penyebab penyakit layu fusarium Fusarium oxysporum f.sp. niveum ras 1 yang
ditemukan pada varietas ’Calhoun Gray’ dan ’Summit’, sedangkan gen resesif fo-
1 ditemukan pada varietas ’New Hampshire Midget’. Namun, pada spesies liar,
ketahanan terhadap penyakit ini dilaporkan bersifat poligenik. Ketahanan terhadap
ras 2 ditemukan pada galur PI 296341 (Guner & Wehner 2004; Wehner 2007)
Pengujian ketahanan terhadap penyakit yang dilakukan di dalam rumah
kaca memiliki beberapa kelebihan dibandingkan di lapang, antara lain (1)
inokulasi dapat terkontrol dengan baik dengan kondisi lingkungan relatif stabil
dan optimal bagi pertumbuhan penyakit (2) kemungkinan adanya escape rendah
(3) kontaminasi patogen kepada areal pertanaman dapat ditekan. Kelemahan
pengujian yang dilakukan di rumah kaca adalah hasil evaluasi yang diperoleh
umumnya kurang representatif dari apa yang sebenarnya terjadi di lapang (Niks &
Landhout 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos CJ, CW. Mims. 1979. Introductory Mycology. 3rd edition. New
York : John Wiley & Sons, Inc.
Autrique E, Nachit MM, Monneveux P, Tanksley SD, Sorells ME. 1996. Genetic
diversity in durum wheat based on RFLP’s, morphological traits and
coefficient of parentage. Crop Sci. 36:735-742.
Babadost Mohammad. 1988. Fusarium wilt of watermelon and muskmelon.
Report on Plant Disease no.904. University of Illinois. www.uiuc.edu
Boyhan GE, Granberry DM, Kelley WT. 1999. Commercial watermelon
production. Bulletin No. 996. The University of Georgia College of
Agricultural and Environmental Science. http://pubs.caes.uga.edu/pubs/
[31 Mei 2007]
Basset MJ. 1986. Breeding Vegetable Crops. United States of America : AVI
Publishing.
Budiasti Kartini. 2005. Penyebab layu tanaman semangka (Citrulus lanatus)
[skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Cui Z, Carter TE, Burton JW, Wells R. 2001. Phenotypic diversity of modern
Chinese and North American soybean cultivars. Crop Sci. 41:1954-1967
Guner N, Wehner TC. 2004. The Genes of Watermelon. HortScience. 39(6):1175-
1182.
Gusmini G, Wehner TC. 2006. Foundation of yield improvement in watermelon.
Crop Sci. 45:141-146.
Hair JR, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. 1995. Multivariate data analysis
with readings. 4th Edition. New Jersey : Prentice-Hall Englewood Cliffs.
Helyanto B, Budi US, Kartamidjaja A, Sunardi D. 2000. Studi parameter genetik
hasil serat dan komponennya pada plasma nutfah rosela. Jurnal Pertanian
Tropika. 8(1):82-87.
Hoi SW, Holland JB, Frey KJ. 1999. Heritability of lipase activity of oat
caryopse. Crop Sci. 39:1055-1059. Di dalam: Jules Janick. Editor. Plant
Breeding Reviews. John Wiley, New York. 2003.
Humphreys MO. 1991. A genetic approach to the multivariate differentiation of
perennial ryegrass (Lolium perenne L.) cultivars. Heredity.66: 437-443. Di
dalam: Vaylay R, van Santen E. Application of canonical discriminant
analysis for the assesment of genetic variation in tall fescue. Crop Sci. 42.
2002.
Joshi BK. 2005. Correlation, regression and path coefficient analyses for some
yield components in common and Tartary buckwheat in Nepal. Fagopyrum.
22:72-82
Jolliffe IT. 1986. Principal component analysis. Springer-Verlag. Berlin.
Johns MA, Skrotch PW, Neinhuis J, Hinrichsen P, Bascurand G, Munoz-Schick
C. 1997. Gene pool classification of common bean landraces from Chile
based on RAPD and morphological data. Crop Sci. 37:605–613.
13
Johnson AR, Wichern DW. 1992. Applied multivariate statistical analysis. 3rd
Edition. New Jersey : Prentice-Hall Englewood Cliffs.
Keller B, Feuillet C, Messmer M. 2000. Genetics of disease resistance: basics
concepts and appplication in resistance breeding. Kluwer. Netherlands.
Latin R. 2007. Diseases and pests of muskmelons and watermelons. Department
of Botany and Plant Pathology, Purdue University, West Lafayette.
Loos BP. 1993. Morphological variation in Lolium (Poaceae) as a measure of
species reationship. Plant Sys Evol. 188:87-99. Di dalam: Vaylay R, van
Santen E. Application of canonical discriminant analysis for the assesment
of genetic variation in tall fescue. Crop Sci. 42. 2002.
Machado GF, dos Santos JB, de Nunes GH, Duarte JM. 2000. Efficiency of
genetic distance based on RAPD markers for choosing parents of common
bean. J.Genet. & Breed.54:251-258.
Maynard DN. 2001. Watermelon: Characteristics, Production and Marketing.
ASHS Press. Di dalam: Wehner TC, Shetty NV, Elmstrom GW.
Watermelons: Breeding Seed Production. North Carolina State University.
2007. http://cuke.hort.ncsu.edu [ 2 Desember 2009 ].
Minsart LA, Bertin P. 2008. Relationship between genetic diversity and
reproduction strategy in a sexually-propagated crop in a traditional farming
system Citrullus lanatus var. citroides. Di dalam: Pitrat M, editor.
Proceedings of the IXth EUCARPIA meeting on genetics and breeding of
Cucurbitaceae; Avignon, 21-24 May 2008. France: INRA.
https://w3.avignon.inra.fr [2 Desember 2009].
Mohammadi SA, Prasanna BM. 2003. Review and interpretation: analysis of
genetic diversity in crop plants-salient statistical tools and consideration.
Crop Sci. 43:10.
Mohna FI, Shen P, Jong SC, Orikono K. 1992. Molecular evidence supports the
separation of Lentinula edodes from Lentinus related genera. Can. J. Bot.
70:2446–2452.
Mohr HC. 1986. Watermelon Breeding, p.37-63. Di dalam: M.J. Basset (Ed.).
Breeding Vegetable Crops. Connecticut: AVI Publishing Company. 1986.
Mumm RH, Hubert J, Dudley JW. 1994. A classification of 148 U.S. maize
inbreds: II. Validation of cluster analysis based on RFLPs. Crop Sci.
34:852–865.
Niks RE, Lindhout WH. 2000. Breeding for Resistance against Disease and Pest.
Laboratory of Plant Breeding. Wageningen University. Netherlands.
Poehlman JM. 1979. Breeding Field Crop. 2nd Edition. United States of America :
AVI Publishing.
Roberts PD, Kucharek TA, McAvoy G. 2006. Field identification of some
common diseases of watermelon. Southwest Florida Research and Education Center.
www.swfrec.ifas.ufl.edu/liv/wgr3.htm/
14
Russel GE. 1978. Plant breeding for pest and disease resistance. Butterworths.
London.
Sackett C. 1975. Watermelon: fruit and vegetable facts and pointers. United Fresh
Fruit and Vegetable Association.
Sikora EJ. 2004. Plant Disease Notes: Fusarium Wilt of Cucurbits. Alabama
Cooperative Extension System. www.aces.edu
Simmonds NW. 1976. Evolution of crop plants. London : Longman. Hlm. 64–69.
Sneller CH. 1994. Pedigree analysis of elite soybean lines. Crop Sci. 34:1515-
1522.
Sneath PHA, Sokal RR. 1973. Numerical taxonomy. San Francisco : Freeman.
van Beuningen LT, Busch RH. 1997. Genetic diversity among North American
spring wheat cultivars: I. Analysis of the coefficient of parentage of matrix.
Crop Sci.37:570-579.
Vaylay R, van Santen E. 2002. Application of canonical discriminant analysis for
the assesment of genetic variation in tall fescue. Crop Sci. 42
Wehner, TC. 2007. Watermelons. Cucurbit Genetics Cooperative. North Carolina
State University. http://cuke.hort.ncsu.edu [ 2 Desember 2009 ].
Wehner, TC. 2008. Overview of the genes of watermelon. Proc. Cucurbitaceae
2008, EUCARPIA meeting, p. 79-89 (ed. M. Pitrat). Di dalam: Lou L.
Inheritance of Fruit Characteristics in Watermelon [Citrullus lanatus
(Thunb.) Matsum. & Nakai]. Thesis. Raleigh, North Carolina. 2009.
Wehner TC, Shetty NV, Elmstrom GW. 2007. Watermelons: Breeding Seed
Production. North Carolina State University. http://cuke.hort.ncsu.edu [ 2
Desember 2009 ].
Zhou XG, Everts KL. 2004. Races and inoculum density of Fusarium oxysporum
f. sp. niveum in commercial watermelon fields in Maryland and Delaware.
Plant Dis. 87: 692-698.