Anda di halaman 1dari 14

1

PEMULIAAN TANAMAN SEMANGKA :


KERAGAMAN GENETIK &
KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT LAYU FUSARIUM

SEBUAH TINJAUAN PUSTAKA


[ Tag : pemuliaan semangka, layu fusarium, analisis komponen utama, keragaman genetik ]

re-compiled by:
名ず利
メダン, May 2011

critics & suggestions:


anki197@yahoo.com

semoga bermanfaat ☺
Asal-usul Tanaman Semangka

Tanaman semangka Citullus vulgaris (sekarang lebih dikenal dengan nama


C. lanatus) berasal dari wilayah kering Afrika Utara dan sekarang dibudidayakan
di hampir seluruh wilayah dunia sebagai buah yang memiliki nilai ekonomi yang
2

tinggi (Mohr 1986). Citrullus lanatus var. lanatus (Thunb.) Matsum & Nakai
adalah tetua dari semangka yang umumnya dibudidayakan. Citrullus lanatus
merupakan salah satu dari empat spesies diploid (n = x = 11) yang telah dikenal
baik, dimana spesies ini termasuk ke dalam genus Citrullus Schrad. Ex Eckl. &
Zeyh (Simmonds 1976).
Seperti halnya tanaman timun, labu, blewah, pare, tanaman semangka juga
termasuk ke dalam famili Cucurbitaceae (famili dengan sekitar 90 genus dan
mungkin 700 spesies). David Livingstone pada tahun 1850 menetapkan bahwa
Afrika sebagai daerah asal (center of origin) tanaman semangka. David
menemukan areal pertanaman semangka yang sangat luas di Gurun Kalahari dan
wilayah subtropis Afrika. Beberapa bukti juga menunjukkan kemungkinan
tanaman semangka berasal dari Amerika. Tanaman semangka diintroduksi
pertama kali di Cina sekitar abad ke-10 sesudah Masehi (Sackett 1975).
Pusat keanekaragaman tanaman semangka adalah Afrika Selatan,
meskipun kerabat liar tanaman ini ditemukan juga di Afrika Barat. Cina adalah
negara kedua pusat keanekaragaman tanaman semangka. Negara ini sekaligus
sebagai produsen terbesar di dunia dengan 3/4 produksi semangka dunia berasal
dari Asia. Genus Citrullus sendiri berdasarkan studi taksonomi terbaru dibagi
kedalam empat spesies : C. lanatus (sinonim C. vulgaris), C. ecirrhosus, C.
colocynthis, dan C. rehmii. Pada tahun 1930, L.H.Bailey membagi semangka
budidaya C. vulgaris kedalam 2 varietas botani: lanatus dan citroides. Varietas
citroides meliputi semangka citron atau semangka yang biasa dijadikan manisan
yang memiliki tekstur daging buah yang keras dan biji berwarna coklat atau hijau
(Wehner et al. 2007). Citrullus lanatus var. citroides (semangka Afrika)
dibudidayakan di Gurun Sahara Afrika terkenal dengan bijinya yang dikeringkan
yang kaya nutrisi (Minsart & Bertin 2008).

Botani Tanaman Semangka

Spesies C.vulgaris merupakan tanaman semangka yang memiliki ciri daun


hijau yang lebar, berbentuk bulat datar, segitiga sampai oval dan memiliki 3
sampai 5 jari daun dengan lekuk yang dalam dan terkadang hanya dijumpai
3

lekukan yang sederhana. Bunga tanaman semangka pada umumnya bersfiat


monoecious, meskipun pada varietas lama dan kerabat liar biasanya bersifat
andromonoecious. Bunga berukuran kecil dengan warna yang kurang atraktif
dibandingkan dengan bunga tanaman Cucurbiataceae lainnya. Buah memiliki
bentuk bundar sampai lonjong. Buah normal berukuran sedang sampai besar,
dengan kulit buah yang tebal dan daging buah yang padat dengan kandungan air
yang tinggi. Daging buah berwarna merah, kuning atau putih. Daging buah
semangka merupakan endokarp (plasenta) berbeda dengan daging buah melon
yang merupakan mesokarp. Berat buah bisa mencapai antara 4 sampai 16 kg,
meskipun kultivar semangka dengan berat 1-4 kg lebih populer di Asia. Bentuk
biji oval, tipis sampai lonjong dengan kulit biji berwarna putih atau cokelat.
(Basset 1986; Wehner et al. 2007).
Kultivar semangka yang populer dibudidayakan untuk produksi komersil
hampir seluruhnya merupakan hibrida dan hanya beberapa yang merupakan
kultivar bersari bebas (open-pollinated) (Maynard 2001). Berdasarkan
terbentuknya biji, varietas semangka dibedakan ke dalam tiga kelas: bersari bebas
(open-pollinated), hibrid F1 dan triploid (non-biji). Varietas bersari bebas
dikembangkan melalui beberapa generasi seleksi, memiliki benih true-to-type
(benih tetap memiliki karakter yang sama dari generasi ke generasi) dan harganya
lebih murah. Hibrida F1 dikembangkan melalui persilangan dua galur murni,
memiliki keseragaman bentuk dan waktu panen yang tinggi serta hasil yang lebih
baik (20-40% lebih tinggi dari varietas bersari bebas pada kondisi yang sama).
Kelemahan benih hibrida F1 adalah ketersediaan benih dan biaya yang besar
dalam pengembangan varietasnya. Tipe yang ketiga adalah semangka non-biji
(triploid). Varietas ini dikembangkan dengan menyilangkan tetua yang telah
digandakan kromosomnya (tetraploid) dengan tetua yang normal (diploid).
Varietas ini lebih mahal dari hibrida F1 (Boyhan et al. 1999).

Pemuliaan Tanaman Semangka

Di dalam pemuliaan tanaman, kehilangan satu sifat utama (misalnya warna


daging merah tua) dapat menyebabkan kultivar semangka dengan buah yang tidak
laku di pasar tertentu. Hal ini membuat pemuliaan untuk perbaikan kultivar
4

tanaman semangka cukup sulit dilakukan, mengingat harus mempertahankan


beberapa sifat utama sekaligus. Akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan memulai
program pemuliaan menggunakan kultivar unggulan yang kemudian disilangkan
dengan kultivar elit lainnya, sehingga memungkinkan untuk mempertahankan
level ekspresi sifat-sifat penting di saat memperbaiki satu atau lebih sifat lainnya.
Sasaran pemuliaan tanaman semangka saat ini diantaranya adalah karakter
produksi, panjang batang rambatan, kualitas bagian luar maupun dalam buah, tipe
(bentuk dan ukuran) buah, ketahanan terhadap penyakit, biji maupun non-biji
(Wehner 2007).
Produsen semangka menginginkan produksi per hektar dengan ukuran-
ukuran buah yang diterima pasar. Pada umumnya pemulia semangka melakukan
seleksi untuk karakter produksi, meskipun kemajuan yang diperoleh belum
signifikan. Karakter ukuran, bentuk, warna dan corak lurik serta warna daging
buah juga penting didalam program pemuliaan semangka, mengingat sebagian
konsumen maupun pemasok cenderung menyukai penampilan buah tertentu.
Ketahanan terhadap penyakit juga merupakan tujuan penting didalam pemuliaan
semangka. Pengujian didalam rumah kaca dilakukan terhadap beberapa penyakit
penting seperti layu fusarium, antraknosa, embun tepung dan nekrosis kulit buah
(Wehner 2008).
Koleksi dan pemilihan calon tetua yang tepat adalah langkah yang sangat
penting dilakukan ketika pemulia sudah menentukan sasaran didalam program
pemuliaan. Pemulia harus tahu tetua mana yang akan mampu menyumbangkan
karakter yang diinginkan beserta metode pemuliaannya. Oleh karena itu, pemulia
mengumpulkan sebanyak-banyaknya aksesi berupa galur-galur murni, kultivar,
dan individu hasil pemuliaan lainnya. Karakter penting seperti kualitas buah dan
ketahanan terhadap penyakit seharusnya diintrogresikan kepada galur berdaya
hasil tinggi sebelum membentuk kultivar baru. Hal ini sekaligus meningkatkan
diversitas genetik di antara kultivar modern (Gusmini & Wehner 2005).
Korelasi Antar Karakter Kuantitatif dan Parameter Genetik

Seleksi yang dilakukan berdasarkan pada karakter fenotipik, merupakan


teknik utama di dalam program pemuliaan tanaman. Evaluasi terhadap hibrida-
hibrida untuk satu karakter tertentu biasanya melibatkan banyak karakter di dalam
5

pengamatannya. Meskipun karakter produksi lazim menjadi fokus utama di dalam


program seleksi atau program lain pemuliaan, namun karakter-karakter lain harus
tetap diukur. Analisis koefisien korelasi mengukur hubungan mutualisme di antara
berbagai karakter tanaman dan menentukan karakter mana yang digunakan untuk
meningkatkan produksi (Joshi 2005).
Variasi genetik sangat penting artinya bagi para pemulia, tanpa adanya
variasi genetik tersebut maka tidak akan ada perbaikan genetik terhadap karakter
tanaman yang dapat diwariskan (Poehlman 1979). Apabila suatu karakter
memiliki keragaman genetik cukup tinggi, maka hasil setiap individu dalam
populasi akan tinggi pula, sehingga seleksi akan lebih mudah untuk mendapatkan
sifat-sifat yang diinginkan. Oleh sebab itu, informasi keragaman genetik sangat
diperlukan untuk memperoleh varietas baru yang diharapkan (Helyanto et al.
2000). Keanekaragaman genetik tidak saja mampu mengurangi resiko ‘patah’nya
ketahanan tanaman oleh patogen ras baru, namun pada saat yang bersamaan juga
dapat mempercepat perbaikan karakter agronomi seperti peningkatan produksi
(Cui et al. 2001).
Variasi fenotipik yang terdapat di dalam populasi muncul karena efek
genotip dan lingkungan. Variabilitas fenotipik merupakan variasi terukur yang
muncul di suatu karakter di dalam sebuah populasi; variasi ini terdiri dari variasi
genotipik dan lingkungan sehingga akan memunculkan perbedaan pada kondisi
lingkungan yang berbeda. Variasi genotipik, di sisi lain, merupakan komponen
variasi yang disebabkan oleh perbedaan genotipik di antara individu-individu di
dalam populasi atau antar populasi didalam satu spesies, dan merupakan fokus
perhatian para pemulia. Fenotipe berdasarkan karakter kuantitatif dan memiliki
dasar genotipik kuat meski seringkali tidak dapat dikaitkan secara langsung
dengan genotipe (Loos 1993; Vaylay & Santen 2002). Jika pengamatan fenotip
dilakukan terhadap jumlah sampel yang cukup besar dan karakter yang terukur
menunjukkan perbedaan nyata di antara populasi, maka nilai fenotip cukup
mewakili keseluruhan penampilan genetik (Humphreys 1991).
Tujuan utama di dalam pengukuran heritabilitas dan parameter genetik
penyusunnya adalah untuk membandingkan dugaan perolehan hasil dari seleksi
berdasarkan strategi seleksi alternatif. Seorang pemulia dapat menggunakan
6

perhitungan heritabilitas untuk memprediksi kemajuan hasil yang diperoleh dari


seleksi (Hoi et al. 1999).

Analisis Komponen Utama


Metode pengelompokkan dan variabilitas genetik perlu dilakukan seiring
meningkatnya jumlah sampel di dalam materi dan plasma nutfah pemuliaan yang
digunakan untuk merakit suatu kultivar. Pemanfaatan algoritma statistik
multivariat yang tepat adalah strategi yang penting di dalam pengelompokkan
plasma nutfah, menghitung variabilitas untuk jumlah aksesi yang besar atau
menganalisa hubungan genetik di antara materi pemuliaan (Mohammadi &
Prasanna 2003). Analisis gerombol, Analisis Komponen Utama (AKU), Analisis
Koordinat Utama (AKoU) dan Skala Multidimensi (Multidimensional
Scaling/MDS) saat ini merupakan analisis multivariat yang paling sering dipakai.
Analisis Komponen Utama (AKU) merupakan suatu metode reduksi data untuk
memperjelas hubungan dua atau lebih karakter dan membagi ragam total seluruh
karakter awal ke dalam satu atau beberapa set komponen utama berisi variabel-
variabel yang tidak berkorelasi.
Reduksi data diperoleh melalui transformasi linear dari variabel-variabel
awal menjadi satu set baru terdiri dari variabel-variabel yang tidak berkorelasi
yang disebut Komponen Utama (KU). Langkah pertama AKU adalah menghitung
eigenvalue, yang merupakan jumlah total variasi yang ditampilkan pada sumbu-
sumbu KU. Sementara, eigenvector mencirikan hubungan sumbu komponen
tersebut dengan data (variabel) awal. Komponen Utama 1 mencirikan hampir
seluruh keragaman dari data awal, sementara KU 2 mencirikan keragaman selain
yang telah dicirikan oleh KU1, begitu seterusnya. Oleh karena bersifat independen
satu dengan lainnya, masing-masing KU mencirikan karakter (properties) yang
berbeda-beda dari data awal dan seharusnya diinterpretasikan secara independen
(Jolliffe 1986; Mohammadi & Prasanna 2003).
Analisis Kekerabatan

Analisis gerombol dapat memperlihatkan pola yang rumit, multidimensi


dari keanekaragaman, sementara analisis Koordinat dan Komponen Utama
terbatas pada dua dimensi saja. Kelemahan analisis gerombol adalah tidak mampu
menjelaskan lebih detail mengenai pembentukan pola gerombol, meskipun
7

analisis ini baik untuk menjelaskan pola keanekaragaman. Sementara di sisi lain,
Analisis Komponen Utama dapat menginterpretasi pola data mutivariat melalui
analisis magnitud dan skor nilai eigenvector (Sneller 1994).
Jarak genetik dalam kultivar dapat digunakan untuk mengukur divergensi
genetik rata-rata antar kultivar. Informasi mengenai hubungan genetik antara
genotipe-genotipe dalam satu spesies sangat bermanfaat untuk seleksi tetua dalam
program hibridisasi. Program pemuliaan suatu spesies hendaknya dimulai dengan
memilih tetua-tetua yang memiliki jarak genetik yang jauh, tetapi dengan sifat-
sifat agronomis yang baik (Machado 2000). Analisis gerombol bertujuan untuk
mengelompokkan individu-individu atau objek berdasarkan karakter-karakter
yang mereka miliki, sehingga individu-individu dengan deskripsi yang sama akan
dikumpulkan ke dalam gerombol yang sama secara matematis (Hair et al. 1995).
Ada dua tipe penggerombolan: metode berbasis jarak dan metode berbasis
model. Metode berbasis jarak (distance-based method) menggunakan matriks
jarak berpasangan sebagai input untuk analisis algoritma penggerombolan tertentu
sehingga memunculkan gambar grafik seperti dendogram (Johnson & Wichern
1992). Sementara metode berbasis model adalah metode yang berlandaskan
beberapa model parametrik dimana observasi dari masing-masing gerombol
diasumsikan bersifat acak dan menginferensi parameter-parameter yang
berhubungan dengan masing-masing gerombol serta pengelompokkan masing-
masing individu dilakukan dengan menggunakan metode statistik standar seperti
metode maximum-likelihood atau Bayes. Algoritma penggerombolan lazim
mengadopsi metode aglomeratif hierarki UPGMA (Unweighted Paired Group
method using Arithmetic averages) (Sneath & Sokal 1973).
Informasi yang dihasilkan dari analisis gerombol (cluster analysis)
bermanfaat bagi pemulia dalam kaitannya dengan keanekaragaman genetik
(genetic diversity). Secara teori, perbedaan fenotipik umumnya juga
mencerminkan perbedaan (keanekaragaman) genetik. Beranjak dari konsep ini,
Autrique et al. (1996), van Beunigen dan Busch (1997) dan Johns et al. (1997)
menggunakan karakter tumbuh kembang, fisiologi dan morfologi untuk
menghitung jarak dan keanekaragaman genetik dari sejumlah besar koleksi
tanaman budidaya.
8

Beberapa studi memperlihatkan keberhasilan dan konsistensi metode


UPGMA (Unweighted Paired Group Method using Arithmetic averages) dalam
membentuk gerombol berdasarkan data karakter morfologis dan agronomis
(Ajmone-Marsan et al. 1992; Mohna et al. 1992; Mumm et al. 1994), meskipun
metode jenis single clustering ini tidak selalu mampu menjelaskan hubungan
genetik secara optimal dan efektif (Mohammadi & Prasanna 2003).

Penyakit Layu Fusarium


Cendawan patogen penyebab penyakit layu fusarium, F. oxysporum,
termasuk dalam phylum Plantae, divisi Amastigomycota, subdivisi
Deuteromycotina, kelas Deuteromycetes, subkelas Hypomycetidae, ordo
Moniliales, famili Tuberculariae, genus Fusarium, spesies Fusarium oxysporum
(Alexopoulos & Mims 1979).
Identifikasi positif dengan menggunakan mikroskop 100 x atau lebih
sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi cendawan seperti Fusarium atau
Phytophthora. Selain itu, menumbuhkan cendawan pada media buatan sangat
penting untuk mengkonfirmasi cendawan. Diagnosa gejala yang paling baik dan
paling konsisten adalah melihat perubahan warna jaringan pembuluh pada irisan
melintang batang utama atau batang akar dari tanaman semangka. Layu fusarium
ditandai dengan adanya lingkaran berwarna coklat di bagian tengah pembuluh,
sementara lapisan luar pembuluh tetap terlihat hijau (Roberts et al. 2006)
Patogen F. oxysporum f.sp. niveum memiliki warna keunguan dengan
bentuk koloni berkelompok dan agak tipis. Klamidospora berbentuk bulat,
terbentuk pada hifa dan konidia, terminal dan intercaler. Mikronidia berlimpah,
berbentuk oval dan berukuran (3-12) x (1.5-3) μm. Makrokonidia hampir lurus,
basal cell pendek, bersekat 3-7 dan berukuran (18-36) x 1.65 μm. Mikrokonidia
dan makrokonidia terbentuk pada konidiofor yang pendek (Budiasti 2005).
Cendawan yang menyebabkan layu dapat bertahan pada benih hingga 2
tahun atau lebih, hidup dari musim ke musim pada batang rambatan yang tua, dan
dapat hidup mandiri di dalam tanah yang terinfeksi. Cendawan Fusarium pada
tanaman semangka dapat menginfeksi pada suhu 150 – 350C, tetapi suhu optimum
infeksi fusarium adalah 230 – 280C. Kerusakan yang paling parah pada tanaman
9

semangka dan melon bisa terjadi pada suhu di bawah 260C (Babadost 1988).
Fusarium melakukan penetrasi melalui ujung akar dan celah/luka pada akar.
Selanjutnya, cendawan tumbuh di dalam pembuluh angkut (xylem) dimana
cendawan ini kemudian menghambat aliran air ke bagian atas tanaman sehingga
tanaman menjadi layu (Wehner 2007).
Layu fusarium pada semangka memiliki tingkat keparahan paling serius.
Kecambah yang terkena penyakit ini akan mengalami damping off dan mati.
Tanaman yang dewasa akan terlihat layu di siang hari, kemudian segar kembali.
Ujung daun mengering dan akan mati pada beberapa hari berikutnya. Selama
periode musim kering dan hangat, keparahan penyakit akan meningkat.
Pengendalian terbaik adalah dengan rotasi jangka panjang dengan tanaman yang
bukan satu famili, membuang bekas-bekas pertanaman semangka serta fumigasi
tanah. Cendawan Fusarium juga dapat menyerang pada stadia pembentukan buah,
yang menyebabkan buah menjadi kecil dan tidak dapat dijual. Tanaman semangka
tahan fusarium, akan tumbuh lambat dan kerdil jika terinfeksi penyakit ini. Akar
tampak normal pada awalnya, tetapi akan berubah menjadi coklat kemerahan dan
mati (Babadost 1988; Sikora 2004).
Efektifnya sistem ketahanan suatu inang sangat tergantung kepada
penyebaran ras-ras spesifik patogen dan tingkat inokulum di tanah. Pengetahuan
tentang ras-ras dan kepadatan inokulum F. oxysporum f.sp. niveum di lahan
komersil dapat mem-fasilitasi pengembangan strategi-strategi manajemen regional
pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman semangka (Zhou & Everts
2003). Pada awalnya, Flor dan Oort mengajukan konsep gene for gene dalam
sistem ketahanan tanaman terhadap penyakit, dimana satu alel dari patogen hanya
akan cocok (kompatibel) untuk satu alel ketahanan pada tanaman. Namun,
fenomena ‘patah’nya ketahanan tanaman menunjukkan bahwa terdapat variasi alel
pada patogen (Basset 1986).
Russel (1978) menyatakan bahwa variabilitas cendawan penting bagi
pemulia tanaman sehubungan dengan perkembangan dan penyebaran ras-ras
fisiologis baru yang memiliki kemampuan untuk menyerang varietas-varietas
yang sebelumnya merupakan varietas tahan. Ras-ras fisiologis baru ini disebut
dengan ras yang ‘mematahkan’ sifat ketahanan. Hal yang perlu ditekankan adalah
10

bahwa satu ras fisiologis tertentu dapat meliputi banyak genotip yang berbeda.
Genotip-genotip ini hanya punya satu kesamaan yakni gen virulensi yang dapat
menimbulkan penyakit, dikontrol dengan gen yang terkait gen pada tanaman
inang. Sehingga ras fisiologis bisa terdiri dari individu-individu yang memiliki
gen virulen yang sama tetapi akan menunjukkan morfologi, fisiologis dan
virulensi yang berbeda jika menyerang tanaman inang yang lain dengan gen
ketahanan yang berbeda.

Pemuliaan Ketahanan terhadap Penyakit Layu Fusarium

Salah satu alternatif untuk menghindari pemakaian pestisida adalah


dengan mengembangkan ketahanan tanaman budidaya melalui program
pemuliaan. Sejak seabad lalu, telah diketahui bahwa tanaman memiliki sistem
ketahanan terhadap penyakit yang secara genetik dapat diwariskan, dan para
pemulia memanfaatkan variasi genetik dari sifat tersebut untuk mengembangkan
varietas tahan melalui persilangan-persilangan.
Ketahanan terhadap penyakit adalah karakter yang diwariskan yang dapat
dilihat dari berkurangnya kejadian dan/atau keparahan penyakit. Sifat tahan
biasanya merupakan hasil pemuliaan dan seleksi tanaman selama bertahun-tahun
dalam upaya mengintrogresikan gen-gen ketahanan ke dalam varietas hortikultur
yang disukai. Ketahanan utuh (complete resistance) merupakan ketahanan yang
paling baik di mana tidak ada gejala penyakit yang muncul, bahkan jika tanaman
tersebut ditanam berkali-kali pada lahan yang terinfeksi patogen layu fusarium.
Namun, karena populasi patogen berubah secara konstan pada wilayah yang
berbeda, ketahanan utuh mungkin tidak bisa efektif secara universal. Varietas
yang menunjukkan ketahanan utuh terhadap strain patogen lokal suatu wilayah
bisa jadi tidak tahan terhadap strain lokal di wilayah yang lain (Latin 2007).
Ketahanan terhadap penyakit terutama penyakit layu fusarium adalah salah
satu aspek pemuliaan tanaman semangka. Untuk mengurangi serangan penyakit
fusarium terhadap tanaman semangka, alternatif cara yang efektif adalah dengan
pembentukan varietas yang tahan (Mohr 1986). Pemuliaan untuk sifat ketahanan
terhadap layu fusarium telah menjadi problematika tersendiri dikarenakan
11

interaksi yang kompleks antara inang, patogen dan lingkungan tanah. (Boyhan et
al. 2003).
Seringkali dilaporkan tanaman-tanaman budidaya menunjukkan sifat tahan
terhadap penyakit pada suatu daerah, tetapi menjadi rentan jika dibudidayakan
pada daerah lain. Kondisi seperti ini umumnya menunjukkan ketahanan tanaman
bersifat spesifik ras. Materi pemuliaan seharusnya diuji dengan sebanyak
mungkin ras patogen sehingga dapat diketahui genotipe-genotipe yang bersifat
spesifik ras dalam pemanfaatannya bagi program pemuliaan (Russel 1978).
Program pemuliaan ketahanan terhadap penyakit berpijak pada 2 tipe
ketahanan, monogenik dan kuantitatif (poligenik). Bekerja dengan ketahanan
monogenik lebih mudah, namun seringkali menghasilkan ketahanan yang tidak
durable. Sebaliknya, bekerja dengan ketahanan poligenik lebih sulit, namun
mampu menghasilkan ketahanan yang bertahan lebih lama (durable) (Keller et al.
2000). Gen Fo-1 adalah gen dominan untuk ketahanan terhadap cendawan
penyebab penyakit layu fusarium Fusarium oxysporum f.sp. niveum ras 1 yang
ditemukan pada varietas ’Calhoun Gray’ dan ’Summit’, sedangkan gen resesif fo-
1 ditemukan pada varietas ’New Hampshire Midget’. Namun, pada spesies liar,
ketahanan terhadap penyakit ini dilaporkan bersifat poligenik. Ketahanan terhadap
ras 2 ditemukan pada galur PI 296341 (Guner & Wehner 2004; Wehner 2007)
Pengujian ketahanan terhadap penyakit yang dilakukan di dalam rumah
kaca memiliki beberapa kelebihan dibandingkan di lapang, antara lain (1)
inokulasi dapat terkontrol dengan baik dengan kondisi lingkungan relatif stabil
dan optimal bagi pertumbuhan penyakit (2) kemungkinan adanya escape rendah
(3) kontaminasi patogen kepada areal pertanaman dapat ditekan. Kelemahan
pengujian yang dilakukan di rumah kaca adalah hasil evaluasi yang diperoleh
umumnya kurang representatif dari apa yang sebenarnya terjadi di lapang (Niks &
Landhout 2000).
DAFTAR PUSTAKA

Ajmone-Marsan P, Livini C, Messmer MM, Melchinger AE, Motto M.


1992. Cluster analysis of RFLP data from related maize
inbred lines of the BSSS and LSC heterotic groups and
comparison with pedigree data. Euphytica 60:139–148.
12

Alexopoulos CJ, CW. Mims. 1979. Introductory Mycology. 3rd edition. New
York : John Wiley & Sons, Inc.
Autrique E, Nachit MM, Monneveux P, Tanksley SD, Sorells ME. 1996. Genetic
diversity in durum wheat based on RFLP’s, morphological traits and
coefficient of parentage. Crop Sci. 36:735-742.
Babadost Mohammad. 1988. Fusarium wilt of watermelon and muskmelon.
Report on Plant Disease no.904. University of Illinois. www.uiuc.edu
Boyhan GE, Granberry DM, Kelley WT. 1999. Commercial watermelon
production. Bulletin No. 996. The University of Georgia College of
Agricultural and Environmental Science. http://pubs.caes.uga.edu/pubs/
[31 Mei 2007]
Basset MJ. 1986. Breeding Vegetable Crops. United States of America : AVI
Publishing.
Budiasti Kartini. 2005. Penyebab layu tanaman semangka (Citrulus lanatus)
[skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Cui Z, Carter TE, Burton JW, Wells R. 2001. Phenotypic diversity of modern
Chinese and North American soybean cultivars. Crop Sci. 41:1954-1967
Guner N, Wehner TC. 2004. The Genes of Watermelon. HortScience. 39(6):1175-
1182.
Gusmini G, Wehner TC. 2006. Foundation of yield improvement in watermelon.
Crop Sci. 45:141-146.
Hair JR, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. 1995. Multivariate data analysis
with readings. 4th Edition. New Jersey : Prentice-Hall Englewood Cliffs.
Helyanto B, Budi US, Kartamidjaja A, Sunardi D. 2000. Studi parameter genetik
hasil serat dan komponennya pada plasma nutfah rosela. Jurnal Pertanian
Tropika. 8(1):82-87.
Hoi SW, Holland JB, Frey KJ. 1999. Heritability of lipase activity of oat
caryopse. Crop Sci. 39:1055-1059. Di dalam: Jules Janick. Editor. Plant
Breeding Reviews. John Wiley, New York. 2003.
Humphreys MO. 1991. A genetic approach to the multivariate differentiation of
perennial ryegrass (Lolium perenne L.) cultivars. Heredity.66: 437-443. Di
dalam: Vaylay R, van Santen E. Application of canonical discriminant
analysis for the assesment of genetic variation in tall fescue. Crop Sci. 42.
2002.
Joshi BK. 2005. Correlation, regression and path coefficient analyses for some
yield components in common and Tartary buckwheat in Nepal. Fagopyrum.
22:72-82
Jolliffe IT. 1986. Principal component analysis. Springer-Verlag. Berlin.
Johns MA, Skrotch PW, Neinhuis J, Hinrichsen P, Bascurand G, Munoz-Schick
C. 1997. Gene pool classification of common bean landraces from Chile
based on RAPD and morphological data. Crop Sci. 37:605–613.
13

Johnson AR, Wichern DW. 1992. Applied multivariate statistical analysis. 3rd
Edition. New Jersey : Prentice-Hall Englewood Cliffs.
Keller B, Feuillet C, Messmer M. 2000. Genetics of disease resistance: basics
concepts and appplication in resistance breeding. Kluwer. Netherlands.
Latin R. 2007. Diseases and pests of muskmelons and watermelons. Department
of Botany and Plant Pathology, Purdue University, West Lafayette.
Loos BP. 1993. Morphological variation in Lolium (Poaceae) as a measure of
species reationship. Plant Sys Evol. 188:87-99. Di dalam: Vaylay R, van
Santen E. Application of canonical discriminant analysis for the assesment
of genetic variation in tall fescue. Crop Sci. 42. 2002.
Machado GF, dos Santos JB, de Nunes GH, Duarte JM. 2000. Efficiency of
genetic distance based on RAPD markers for choosing parents of common
bean. J.Genet. & Breed.54:251-258.
Maynard DN. 2001. Watermelon: Characteristics, Production and Marketing.
ASHS Press. Di dalam: Wehner TC, Shetty NV, Elmstrom GW.
Watermelons: Breeding Seed Production. North Carolina State University.
2007. http://cuke.hort.ncsu.edu [ 2 Desember 2009 ].
Minsart LA, Bertin P. 2008. Relationship between genetic diversity and
reproduction strategy in a sexually-propagated crop in a traditional farming
system Citrullus lanatus var. citroides. Di dalam: Pitrat M, editor.
Proceedings of the IXth EUCARPIA meeting on genetics and breeding of
Cucurbitaceae; Avignon, 21-24 May 2008. France: INRA.
https://w3.avignon.inra.fr [2 Desember 2009].
Mohammadi SA, Prasanna BM. 2003. Review and interpretation: analysis of
genetic diversity in crop plants-salient statistical tools and consideration.
Crop Sci. 43:10.

Mohna FI, Shen P, Jong SC, Orikono K. 1992. Molecular evidence supports the
separation of Lentinula edodes from Lentinus related genera. Can. J. Bot.
70:2446–2452.
Mohr HC. 1986. Watermelon Breeding, p.37-63. Di dalam: M.J. Basset (Ed.).
Breeding Vegetable Crops. Connecticut: AVI Publishing Company. 1986.
Mumm RH, Hubert J, Dudley JW. 1994. A classification of 148 U.S. maize
inbreds: II. Validation of cluster analysis based on RFLPs. Crop Sci.
34:852–865.
Niks RE, Lindhout WH. 2000. Breeding for Resistance against Disease and Pest.
Laboratory of Plant Breeding. Wageningen University. Netherlands.
Poehlman JM. 1979. Breeding Field Crop. 2nd Edition. United States of America :
AVI Publishing.
Roberts PD, Kucharek TA, McAvoy G. 2006. Field identification of some
common diseases of watermelon. Southwest Florida Research and Education Center.
www.swfrec.ifas.ufl.edu/liv/wgr3.htm/
14

Russel GE. 1978. Plant breeding for pest and disease resistance. Butterworths.
London.
Sackett C. 1975. Watermelon: fruit and vegetable facts and pointers. United Fresh
Fruit and Vegetable Association.
Sikora EJ. 2004. Plant Disease Notes: Fusarium Wilt of Cucurbits. Alabama
Cooperative Extension System. www.aces.edu
Simmonds NW. 1976. Evolution of crop plants. London : Longman. Hlm. 64–69.
Sneller CH. 1994. Pedigree analysis of elite soybean lines. Crop Sci. 34:1515-
1522.
Sneath PHA, Sokal RR. 1973. Numerical taxonomy. San Francisco : Freeman.
van Beuningen LT, Busch RH. 1997. Genetic diversity among North American
spring wheat cultivars: I. Analysis of the coefficient of parentage of matrix.
Crop Sci.37:570-579.
Vaylay R, van Santen E. 2002. Application of canonical discriminant analysis for
the assesment of genetic variation in tall fescue. Crop Sci. 42
Wehner, TC. 2007. Watermelons. Cucurbit Genetics Cooperative. North Carolina
State University. http://cuke.hort.ncsu.edu [ 2 Desember 2009 ].
Wehner, TC. 2008. Overview of the genes of watermelon. Proc. Cucurbitaceae
2008, EUCARPIA meeting, p. 79-89 (ed. M. Pitrat). Di dalam: Lou L.
Inheritance of Fruit Characteristics in Watermelon [Citrullus lanatus
(Thunb.) Matsum. & Nakai]. Thesis. Raleigh, North Carolina. 2009.
Wehner TC, Shetty NV, Elmstrom GW. 2007. Watermelons: Breeding Seed
Production. North Carolina State University. http://cuke.hort.ncsu.edu [ 2
Desember 2009 ].
Zhou XG, Everts KL. 2004. Races and inoculum density of Fusarium oxysporum
f. sp. niveum in commercial watermelon fields in Maryland and Delaware.
Plant Dis. 87: 692-698.

Anda mungkin juga menyukai