Rina Budiyati (F24060756), Palestina Santana (F24061093), Nicho Afiandi (F24061661), dan
Sandra Mariska (F24062269)
Golongan/Kelompok: P3/3
Rabu, 2 dan 9 September 2009
ABSTRACT
The purposes of the research are to know the antioxidant capacity (activity) in food (tea)
and to predict the total amount of antioxidant (total amount of phenol) in plant (tea). In
antioxidant capacity measurement, the tea (green tea and black tea) used as liquid sample was
reacted by DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil or 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). Then, the
absorbance of the sample was measured in wavelength of 517 nm. In total amount of phenol
measurement, the liquid sample of tea was reacted by ethanol 95%, Folin Ciocalteau 50%, and
Na2CO3 5%. After that, the absorbance of this sample was measured in wavelength of 725 nm.
The result showed that the green tea has antioxidant capacity relatively higher than the
black tea. This data was also confirmed by the result of the total amount of phenol in green tea
which is higher than in black tea. It is affected by its making process that the green tea is not
fermented as the black tea is.
I. PENDAHULUAN
+ 50 ml akuades
mendidih
Saring
Tepatkan hingga 50 ml
dengan akuades
+ 2 ml larutan DPPH
Timbang 50 mg
sampel kering teh
Ambil 0.5 ml
supernatan
Masukkan ke dalam
tabung reaksi
Diamkan campuran
selama 5 menit
+ Na2CO3 5%
Vortex hingga
homogen
Ukur absorbansi
larutan pada 725 nm
1.6
1.4
Abso rba nsi
Penentuan IC50:
y = 0.5 (Ablanko) = 0.5 (1.515) = 0.7575 → y = -0.5194x + 1.4588
0.7575 = -0.5194x + 1.4588
x = 1.3502
IC50 = 1.3502 mg/ml
1.6
1.4
A b s o r b a n si
1.2
1 y = -0.5306x + 1.1927
0.8 2
0.6 R = 0.6979
0.4
0.2
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Gambar 5. Kurva kapasitas antioksidan pada teh Sariwangi Celup (teh hijau)
Penentuan IC50:
y = 0.5 (Ablanko) = 0.5 (1.515) = 0.7575 → y = -0.5306x + 1.1927
0.7575 = -0.5306x + 1.1927
x = 0.8202
IC50 = 0.8202 mg/ml
1.6
A b so r b a n si
1.4
1.2 y = -1.2456x + 1.4902
1 2
R = 0.9647
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Gambar 6. Kurva kapasitas antioksidan pada teh Kepala Jenggot (teh hitam)
Penentuan IC50:
y = 0.5 (Ablanko) = 0.5 (1.515) = 0.7575 → y = -1.2456x + 1.4902
0.7575 = -1.2456x + 1.4902
x = 0.5882
IC50 = 0.5882 mg/ml
2
Absorbansi
1.5
y = -0.5332x + 1.2551
1 2
R = 0.7831
0.5
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Gambar 7. Kurva kapasitas antioksidan pada teh Kepala Jenggot (teh hijau)
Penentuan IC50:
y = 0.5 (Ablanko) = 0.5 (1.515) = 0.7575 → y = -0.5332x + 1.2551
0.7575 = -0.5332x + 1.2551
x = 0.9332
IC50 = 0.9332 mg/ml
1.6
1.4
A bso r ba nsi
1.2
1
y = -0.5804x + 1.3523
0.8 2
0.6 R = 0.8387
0.4
0.2
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Gambar 8. Kurva kapasitas antioksidan pada teh Sosro Celup (teh hitam)
Penentuan IC50:
y = 0.5 (Ablanko) = 0.5 (1.515) = 0.7575 → y = -0.5804x + 1.3523
0.7575 = -0.5804x + 1.3523
x = 1.0248
IC50 = 1.0248 mg/ml
1.2
20x
1
0.5000 1.125
y = -0.5149x1.515
+ 1.3711 25.7426
2
Blanko
0.8 0.0000 1.515 R = 0.88521.515 0.0000
0.6
0.4
0.2
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Gambar 9. Kurva kapasitas antioksidan pada teh Cap Botol (teh hitam)
Penentuan IC50:
y = 0.5 (Ablanko) = 0.5 (1.515) = 0.7575 → y = -0.5149x + 1.3711
0.7575 = -0.5149x + 1.3711
x = 1.1917
IC50 = 1.1917 mg/ml
1.2
1
0.8
Absorbansi
y = 0.0045x - 0.0540
0.6 2
R = 0.9900
0.4
0.2
0
-0.2 0 50 100 150 200 250 300
Konsentrasi Asam Galat (mg/L)
Contoh perhitungan:
Sampel Teh Kepala Jenggot (teh hitam)
y = absorbansi sampel = 2.290 → y = 0.0045x – 0.0540
2.290 = 0.0045x – 0.0540
x = 520.8889 mg/L
Total fenol = 520.8889 mg/L
IV. PEMBAHASAN
Teh merupakan jenis minuman yang digemari oleh masyarakat dan sangat bermanfaat,
terbuat dari pucuk tanaman teh (Camellia sinensis) melalui proses pengolahan tertentu.
Berdasarkan prosesnya, teh dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu teh hijau, teh hitam, dan teh
oolong. Teh hijau merupakan teh yang berasal dari pucuk daun teh yang sebelumnya mengalami
pemanasan dengan uap air untuk menonaktifkan enzim oksidase atau fenolase sehingga oksidasi
terhadap katekin dapat dicegah (Hartoyo, 2003). Teh hitam merupakan teh yang berasal dari pucuk
daun teh segar yang dibiarkan layu sebelum digulung, kemudian daun-daun tersebut dibiarkan
selama beberapa jam sebelum dipanaskan dan dikeringkan. Selama itu, enzim yang terdapat pada
daun-daun teh akan mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa-senyawa yang ada di dalam teh
sehingga menghasilkan warna, rasa, dan aroma. Teh oolong merupakan teh yang dihasilkan
melalui proses pemanasan yang dilakukan segera setelah proses rolling (penggulungan daun)
dengan tujuan untuk menghentikan proses fermentasi (Hartoyo, 2003).
Teh mengandung berbagai macam komponen aktif yang mempunyai fungsi tertentu di
dalam tubuh. Komponen aktif dalam teh yang mempunyai kemampuan antioksidan paling efektif
adalah polifenol (Miean dan Mohamed, 2001). Polifenol merupakan komponen bioaktif pada teh
yang merupakan kunci utama khasiat teh. Senyawa polifenol dapat berperan sebagai penangkap
radikal bebas (antioksidan) hidroksil (OH*) sehingga tidak mengoksidasi lemak, protein, dan
DNA dalam sel.
Radikal merupakan senyawa yang bersifat oksidat (mudah mengoksidasi) karena
memiliki elektron yang tidak berpasangan sehingga berada dalam bentuk yang tidak stabil. Karena
bentuk yang tidak stabil ini, senyawa radikal akan merebut elektron dari senyawa lain seperti asam
lemak tidak jenuh pada membran sel (lipid), protein, atau asam nukleat (dapat menyebabkan
mutasi gen) yang pada akhirnya dapat menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit degeneratif pada
manusia. Oleh karena itu, untuk dapat meredam kereaktifan senyawa radikal tersebut, diperlukan
senyawa antioksidan, seperti polifenol pada teh, untuk dapat mendonorkan H + kepada senyawa
radikal sehingga stabil.
Walaupun ketiga jenis teh yang ada berasal dari tanaman yang sama (Camellia sinensis),
terdapat perbedaan yang cukup berarti dalam kandungan polifenolnya (senyawa yang diyakini
bermanfaat bagi kesehatan) sehingga kapasitas (aktivitas) antioksidan pada teh pun berbeda-beda.
Teh hijau mengandung lebih dari 36% polifenol, sekalipun jumlah ini masih dipengaruhi oleh
cuaca (iklim), varietas, jenis tanah, dan tingkat kemasakan (Sibuea, 2003). Teh hijau ini memiliki
kandungan polifenol tertinggi, kemudian teh oolong, dan yang terendah adalah teh hitam.
Perbedaan kandungan polifenol pada berbagai jenis teh, terutama dipengaruhi oleh
tahapan fermentasi pada saat pengolahannya. Pada awal tahap fermentasi, akan terbentuk
theaflavin dan berkurangnya jumlah polifenol (epigalokatekin, epigalokatekin galat, atau
epikatekin galat). Pada akhir tahap fermentasi, sebagian theaflavin akan diubah menjadi
thearubigin. Komponen polifenol mudah teroksidasi menjadi bentuk lain yang dapat mengurangi
kemampuannya sebagai antioksidan.
Pada praktikum kali ini, sampel yang digunakan adalah teh hijau dan teh hitam dari
berbagai merek teh, seperti Teh Sariwangi (teh hitam), Teh Sariwangi Celup (teh hijau), Teh
Kepala Jenggot (teh hitam), Teh Kepala Jenggot (teh hijau), Teh Sosro Celup (teh hitam), dan Teh
Cap Botol (teh hitam). Kemudian setiap sampel teh tersebut akan diukur kapasitas antioksidannya
dengan menggunakan DPPH.
Pokorny (2001) menyatakan bahwa pengukuran kapasitas antioksidan menggunakan
DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil) merupakan aplikasi dari
metode radical-scavenging. Metode tersebut merupakan mekanisme utama dari aktivitas
antioksidan dalam makanan. Pengukuran kapasitas antioksidan dengan DPPH merupakan metode
untuk mengkaji aktivitas antioksidan menggunakan radikal sintetis dalam larutan organik polar,
seperti metanol, pada suhu ruang.
DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil) adalah suatu
radikal stabil yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk suatu senyawa yang stabil atau
bereaksi dengan atom hidrogen (yang berasal dari suatu antioksidan) membentuk DPPH tereduksi
(DPPH-H). Pada metode ini, DPPH yang telah mencapai keadaan stabil akibat peranan antioksidan
yang diujikan, diukur absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm. Nilai absorbansi yang
terukur akan mengalami penurunan dibandingkan blanko karena adanya reduksi oleh antioksidan
(AH) ataupun bereaksi dengan radikal (R .) dalam mekanisme pemutusan rantai autooksidasi.
Berikut ini ialah reaksi yang umum terjadi.
DPPH. + AH → DPPH-H + A.
DPPH. + R. → DPPH-R
Atau: DPPH + H → DPPH-H
(Ungu) (Antioksidan teh) (tidak berwarna atau berwarna kuning)
Larutan DPPH berwarna ungu, sedangkan DPPH tereduksi tidak memiliki absorpsi maksimum
pada panjang gelombang sinar tampak. Dengan demikian, semakin kuat kapasitas antioksidan
suatu senyawa, maka semakin pudar warna ungu yang dihasilkan. Kapasitas antioksidan (%) dapat
dihitung dengan rumus:
( Ablanko Asampel )
Kapasitas antioksidan (%) = 100%
Ablanko
Untuk pengukuran kapasitas antioksidan menggunakan DPPH ini, blanko yang digunakan adalah 8
ml metanol.
Reaksi cepat dari DPPH terjadi dengan beberapa jenis senyawa fenolik seperti α-
tocopherol, walaupun reaksi sekunder yang lambat masih mungkin terjadi dan mempengaruhi
penurunan absorbansi sehingga keadaan steady state hanya dapat dicapai dalam hitungan jam
(Pokorny et al., 2001). Oleh karena itu, umumnya laporan mengenai uji kapasitas antioksidan
dengan DPPH berisi laporan reaksi oksidasi yang terjadi pada waktu reaksi 10-15 menit. Data
tersebut umum disebut dengan istilah IC 50 yakni konsentrasi antioksidan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan penghambatan radikal DPPH sebesar 50%.
Selain itu, untuk memperkirakan total (kapasitas) antioksidan yang berasal dari tanaman
(teh), dilakukan pula pengukuran total fenol. Dalam hal ini, fenol digunakan sebagai parameter
pengukuran karena fenol merupakan antioksidan utama yang berasal dari tanaman (teh). Senyawa-
senyawa fenolik memiliki aktivitas antioksidan karena kemampuannya mendonorkan atom
hidrogen dari gugus hidroksilnya kepada senyawa radikal.
Dalam praktikum, digunakan reagen Folin Ciocalteau 50% karena fenol dapat bereaksi
dengan Folin membentuk larutan berwarna yang dapat diukur absorbansinya. Semakin tinggi
kandungan fenol (jumlah gugus hidroksil fenolik) suatu sampel, maka semakin tinggi pula
absorbansinya. Selain itu, digunakan pula Na2CO3 5% untuk menciptakan kondisi basa untuk
mendorong terjadinya reaksi antara senyawa fenol dengan reagen Folin Ciocalteau. Prinsip dari
metode ini adalah terbentuknya senyawa kompleks berwarna biru yang dapat diukur pada panjang
gelombang 725 nm. Warna biru dihasilkan dari reduksi kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat
yang terdapat dalam pereaksi Folin Ciocalteau oleh senyawa fenol dalam suasana basa.
Penyimpanan campuran larutan di ruang gelap bertujuan untuk mencegah terpaparnya
komponen fenol (katekin) oleh cahaya yang dapat menyebabkannya teroksidasi menjadi
theaflavin, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kesalahan negatif pada analisis.
Untuk pengukuran total fenol ini, larutan standar yang digunakan adalah asam galat atau asam
3,4,5-trihidroksibenzoat (C6H2(OH)3CO2H) dengan variasi konsentrasi 0, 50, 100, 150, 200, dan
250 mg/L. Struktur kimia asam galat adalah sebagai berikut:
Gambar 11. Struktur kimia asam galat (Hernawan dan Setyawan, 2003)
Komponen fenol yang dihitung pada percobaan ini adalah komponen fenol keseluruhan
yang terdapat di dalam teh sehingga disebut sebagai total fenol. Analisis dilakukan dengan
menggunakan reagen Folin Ciocalteau dan diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 725 nm. Metode ini didasarkan pada kekuatan reduksi gugus hidroksil fenolik
dan sangat tidak spesifik karena tidak membedakan antarjenis komponen fenolik, namun semua
jenis fenol dapat dideteksi dengan sensitifitas yang bervariasi.
Berdasarkan data praktikum dan hasil perhitungan pada praktikum pengukuran kapasitas
antioksidan menggunakan DPPH, diperoleh bahwa:
Sampel Teh IC50 (mg/ml)
Teh Sariwangi
1.3502
(Teh Hitam)
Teh Sariwangi Celup
0.8202
(Teh Hijau)
Teh Kepala Jenggot
0.5882
(Teh Hitam)
Teh Kepala Jenggot
0.9332
(Teh Hijau)
Teh Sosro Celup
1.0248
(Teh Hitam)
Teh Cap Botol
1.1917
(Teh Hitam)
Berdasarkan hasil tersebut, terbukti bahwa kapasitas (aktivitas) antioksidan pada teh hijau relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas (aktivitas) antioksidan pada teh hitam. Hal ini dapat
dilihat dari nilai IC50 yang relatif lebih rendah pada teh hijau, yaitu 0.8202 (teh Sariwangi Celup)
dan 0.9332 (teh Kepala Jenggot) daripada teh hitam, yaitu 1.3502 (teh Sariwangi), 0.5882 (teh
Kepala Jenggot), 1.0248 (teh Sosro Celup), dan 1.1917 (teh Cap Botol), yang menunjukkan bahwa
teh hijau dengan konsentrasi teh yang lebih rendah daripada teh hitam dapat memberikan efek
penghambatan yang sama terhadap radikal DPPH, yaitu sebesar 50%. Hal ini berarti bahwa
kapasitas (aktivitas) antioksidan pada teh hijau memang lebih tinggi dibandingkan dengan teh
hitam. Ini disebabkan oleh proses fermentasi yang dialami oleh teh hitam yang menyebabkan
kandungan senyawa antioksidannya menurun.
Jika dilihat secara keseluruhan, sampel yang memiliki nilai IC 50 terendah adalah teh
Kepala Jenggot (teh hitam). Hal ini berarti teh Kepala Jenggot (teh hitam) tersebut memiliki
kapasitas antioksidan tertinggi. Namun, hal ini tidak sesuai dengan teori, di mana teh hijau
memiliki kapasitas antioksidan yang relatif lebih tinggi daripada teh hitam. Hal ini mungkin
disebabkan oleh adanya kesalahan yang dilakukan oleh praktikan, yaitu ketidaktelitian praktikan
dalam melakukan analisis. Oleh karena itu, kemungkinan data tersebut kurang valid sehingga
sampel teh yang diperkirakan memiliki kapasitas antioksidan tertinggi adalah teh Sariwangi Celup
(teh hijau).
Berdasarkan data praktikum dan hasil pengukuran pada praktikum pegukuran total fenol,
diperoleh bahwa:
Berat Sampel yang Total Fenol
Sampel Teh
Dianalisis (mg) (mg/L)
Teh Sariwangi
50 188.0000
(Teh Hitam)
Teh Sariwangi Celup
100 649.3333
(Teh Hijau)
Teh Kepala Jenggot
50 520.8889
(Teh Hitam)
Teh Kepala Jenggot 100 603.1111
(Teh Hijau)
Teh Sosro Celup
50 87.5556
(Teh Hitam)
Teh Cap Botol
100 340.8889
(Teh Hitam)
Berdasarkan hasil tersebut, jika dilihat dari sampel teh yang beratnya 100 mg (teh Sariwangi Celup
(teh hijau), teh Kepala Jenggot (teh hijau), dan teh Cap botol (teh hitam)), terbukti bahwa
kandungan fenol pada teh hijau relatif lebih tinggi, yaitu 649.3333 mg/L (teh Sariwangi Celup)
dan 603.1111 mg/L (teh Kepala Jenggot) dibandingkan dengan teh hitam, yaitu 340.8889 mg/L
(teh Cap Botol). Ini disebabkan pula oleh proses fermentasi yang dialami oleh teh hitam yang
mengakibatkan kandungan senyawa antioksidannya (polifenol) menurun. Komponen polifenol ini
mudah teroksidasi (difermentasi) menjadi bentuk lain (theaflavin dan thearubigin) sehingga
jumlahnya berkurang. Akibatnya, kemampuan senyawa fenol tersebut sebagai antioksidan menjadi
berkurang. Oleh karena itu, data ini juga memperkuat data yang diperoleh pada pengukuran
kapasitas antioksidan menggunakan DPPH.
Pada sampel teh yang beratnya 50 mg (teh Sariwangi (teh hitam), teh Kepala Jenggot (teh
hitam), dan teh Sosro Celup (teh hitam)), terlihat bahwa nilai total fenol di antara ketiga sampel
tersebut cukup berbeda jauh (188.0000, 520.8889, dan 87.5556 mg/L) walaupun ketiga teh
tersebut tergolong dalam teh yang sama, yaitu teh hitam. Hal ini dapat dipengaruhi oleh cuaca
(iklim), varietas, jenis tanah, tingkat kemasakan, dan proses pengolahan yang dialami oleh masing-
masing merek teh.
Namun, secara keseluruhan, hasil percobaan ini juga tidak seluruhnya menunjukkan
kesesuaian dengan teori yang ada. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidaktelitian praktikan
dalam melaksanakan praktikum, seperti kesalahan praktikan saat menggunakan sampel untuk
pengukuran total fenol sebesar 100 mg (dua kali dari yang terdapat pada prosedur), namun
pereaksi yang digunakan tetap jumlahnya.
V. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA