Anda di halaman 1dari 19

1. Pendahuluan 1.1.

Proses Pembentukan Batubara & Jumlah Tetumbuhan yang dibutuhkan untuk menjadi Batubara

Zat

asal

batubara,

telah

diketahui berupa materi tetumbuhan yang dahulunya pernah hidup subur di permukaan bumi. Tanpa memandang jenis batubaranya, semuanya merupakan mineral organik dan semuanya berasal dari sisa-sisa tetumbuhan berbagai jenis yang dahulunya hidup subur di permukaan bumi. Tetumbuhan purba ini, masa hidup dan jenisnya juga berbeda sesuai dengan umur geologi dan daerah keterdapatannya. Selain itu, kondisi lingkungan tempat sisa tetumbuhan tadi tersedimentasi, ditambah adanya pengaruh tekanan dan panas bumi yang terjadi setelah itu, serta pergerakan struktur kerak bumi, semuanya berpengaruh terhadap proses pembentukan berbagai jenis batubara. Dengan demikian, maka adalah suatu hal yang wajar apabila kualitas dan karakteristik batubara mungkin berbeda antara satu lapangan batubara (coal field) dengan ladang lainnya. Pada lapisan yang sama sekalipun, kualitas dan karakteristiknya dapat berbeda tergantung lokasi sebaran horisontal dari lapisan tersebut, letak batubara itu sendiri, apakah ada dibagian atas atau bawah lapisan, dan juga kedalaman tempat lapisan itu berada. Secara ekstrim, barangkali dapat dikatakan bahwa satu bongkahan kecil batubara tidak akan ada yang sama persis kualitasnya dengan satu bongkahan kecil lainnya. Dengan alasan itulah maka satu bongkahan batubara tidak bisa mewakili keseluruhan batubara yang ada di suatu tambang dari segi kualitas dan karakateristiknya. Adanya hal semacam ini membuat upaya pembakuan (standarisasi) batubara sebagai satu komoditas dagang menjadi suatu hal yang tidak mudah. Proses perubahan yang terjadi terhadap sisa-sisa tetumbuhan, secara umum dapat dibagi menjadi proses pembusukan dan proses pembatubaraan. Pada proses pembususkan, sisa-sisa tetumbuhan tadi berada pada lingkungan dimana terdapat air dan oksigen dari udara bebas yang cukup, sehingga bakteri pembusuk akan bekerja untuk menguraikan sisa-sisa tetumbuhan tadi. Setelah melewati suatu waktu tertentu, sisa-sisa tetumbuhan ini berubah menjadi gas (CO2, metan, dan lain-lain) dan air. Selain kandungan abu dalam jumlah yang kecil, tidak dijumpai lagi sisa-sisa berupa padatan. Di sisi lain, pada proses pembatubaraan (coalification), sisa-sisa tetumbuhan berada pada lingkungan .yang hampir tidak tersentuh oleh udara, ditunjang oleh pengaruh bakteri pembusuk yang sangat kecil sehingga setelah melewati masa geologi yang panjang, barulah sisa-sisa tetumbuhan tadi perlahan terurai dan berubah menjadi zat yang kaya akan kandungan karbon. Sebagai contoh, misalkan saja di suatu daerah rawa atau di tepi pantai terdapat tetumbuhan yang tumbuh subur. Saat tetumbuhan tersebut layu, mengering dan mati, maka sebagian atau keseluruhan pohon akan jatuh ke dalam air dan terendam. Setelah itu, proses ini terjadi berulang-ulang dengan adanya tumbuhan lain yang hidup, tumbuh, lalu mati. Proses yang berulang serta adanya jumlah tetumbuhan yang sangat banyak, akan menyebabkan timbunan sisa tetumbuhan menjadi semakin tebal. Penambahan timbunan sisa tetumbuhan, tidak hanya dari tumbuhan yang kering yang mati saja. Bisa saja terjadi, misalnya timbul tanah longsor yang menyebabkan tetumbuhan di sekitarnya banyak yang tumbang, atau adanya banjir besar yang membawa sisa-sisa tumbuhan dari tempat lain, sehingga kemudian terkumpul di daerah tersebut. Selain itu, naik-turunnya lapisan tanah atau pergeseran maju-mundurnya garis pantai akan menyebabkan perubahan pada tingkat ketinggian air, dan ini kemudian diikuti dengan terbawanya batuan atau pasir laut bersama aliran air sehingga akhirnya menutupi lapisan endapan sisa-sisa tetumbuhan tersebut. Dengan kondisi seperti itu, dimana sisa-sisa tetumbuhan berada pada lingkungan yang tidak bersentuhan dengan udara bebas, maka yang mengalami perubahan adalah unsur-unsur yang ada pada tetumbuhan asal, seperti oksigen, hidrogen, karbon, dan lain-lain. Pertama-tama, oksigen dan hidrogen berikatan menjadi air, oksigen dan karbon berikatan membentuk gas karbon dioksida dan lainlain. Akibatnya, lama-kelamaan kandungan oksigen berkurang yang diikuti dengan ikatan antara hidrogen dan karbon membentuk gas metan dan gas hidrokarbon lainnya. Selama proses pembatubaraan, dan bersamaan dengan berjalannya waktu, terjadi proses yang berulang-ulang, baik itu berupa naikturunnya lapisan tanah, bertambah banyak atau sedikitnya jumlah tetumbuhan, pengendapan serpihan batuan dan lain-lain, sehingga lapisan sisa tetumbuhan tadi dilapisi lagi dengan berbagai lapisan batuan. Bila lapisan sisa tetumbuhan purba berada di bagian bawah dan mendapat beban dari lapisan-lapisan batuan yang ada di atasnya, maka efek tekanan dan panas bumi yang diterima oleh lapisan tetumbuhan purba akan semakin besar. Hal ini di sisi lain juga mendorong proses pembatubaraan, sehingga meningkatkan kandungan karbon dan nilai kerapatan (densitas) dari lapisan tersebut. Cepat-lambatnya proses pembatubaraan tidaklah selalu tergantung kepada seberapa lama tetumbuhan tersebut telah terkubur, namum lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor geologis seperti pergerakan kerak bumi, pengaruh gunung berapi, dan lain-lain. Jumlah tetumbuhan yang diperlukan untuk menjadi batubara, dikatakan sekitar 1720 kali jumlah tetumbuhan yang telah berubah menjadi gambut (peat). Tambahan lagi, untuk mendapatkan satu meter lapisan batubara, dibutuhkan waktu selama beribu-ribu tahun agar memperoleh jumlah tetumbuhan yang diperlukan. Jadi, untuk menghasilkan lapisan batubara setebal 10 meter, sekurang-kurangnya diperlukan tumpukan endapan tetumbuhan setebal 200 meter, atau bahkan lebih. Skala pergerakan kerak bumi ternyata juga tidak kecil, yaitu dengan ditemukannnya lapisan batubara di kedalaman 3000 meter di bawah dasar laut sewaktu melakukan pengeboran untuk survey minyak bumi di laut Cina Timur. 1.2. Jenis Batubara

Batubara merupakan campuran dari senyawa molekul besar alami yang memiliki struktur dan komposisi yang rumit. Karena jenis tumbuhan asal, masa pembentukan, dan kondisi geologi yang dialami berbeda, maka komposisi unsur kandungan dan karateristik batubara juga akan berbeda tergantung kepada lokasi dan jenis batubaranya. Karena itu, kita perlu memilih batubara dengan karakteristik dan kualitas yang sesuai dengan tujuan penggunaan yang diinginkan, selain tentunya faktor kemudahan handling dan nilai ekonomis. Penetapan suatu acuan untuk menunjukkan perubahan karakteristik dan komposisi berbagai jenis batubara, sebenarnya telah dirintis sejak lama. Akan tetapi, upaya ini hingga sekarang belum tertata dengan rapih, sehingga tiap negara masih memakai indeks acuan yang berbeda. Dalam beberapa tahun belakangan ini, terlihat upaya-upaya dari organisasi ilmiah maupun dunia usaha untuk melebur perbedaanperbedaan yang ada, dimana masing-masing pihak memiliki kelebihan dan kekurangan. Sayangnya upaya ini belum membuahkan hasil hingga sekarang. Melalui ISO dan badan-badan internasional lainnya, upaya penyeragaman ini terus berjalan. Jepang yang dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan prosentase jumlah batubara impor, kelihatannya sekarang juga tengah menyesuaikan langkah untuk menyongsong pemakaian suatu acuan yang suatu sat dapat menjadi standar internasional..

2. Metode Klasifikasi Batubara 2.1.1. Klasifikasi secara ilmiah Dalam klasifikasi batubara, pengelompokan secara ilmiah tidak dipakai dalam keperluan perdagangan. Klasifikasi ini lebih banyak dipakai pada bidang-bidang dasar yang menyangkut zat asal pembentuk batubara, survei geologi, komposisi dan stuktur batubara, dan sebagainya. Pada tahun 1993, komite batubara ECE (Economic Commission for Europe) mengusulkan suatu tabel pengelompokan seperti di bawah ini. Tabel ini menjadikan tingkat refleksi/ pantulan (R) dari vitrinite, yaitu suatu komponen dasar batubara, sebagai nilai acuan. Akan tetapi, untuk tingkat refleksi kurang dari 0,6%, nilai pengukurannya menjadi tidak akurat sehingga dipakai nilai kalori (calorivic value) sebagai nilai acuan tambahan. Tabel Klasifikasi Batubara Tingkat Refleksi R Meta >4,0 Orto 2,5-4,0 Semi Meta Orto Semi Peringkat rendah 2,0-2,5 1,4-2,0 1,0-1,4 0,6-1,0

Peringkat tinggi

Antrasit

Peringkat menengah

Bituminus

Sub-bituminus 0,4-0,6 Lignit <0,4 2.1.2. Klasifikasi secara praktis Klasifikasi praktis berawal dari kebutuhan akan adanya suatu pengelompokan untuk keperluan transaksi perdagangan maupun ekspor impor, serta dari sisi keperluan penggunaan batubara itu sendiri. Umumnya, tujuan pemanfaatan batubara bisa amat berbeda antara satu negara dengan negara lain, sehingga klasifikasi dan metode penamaannya juga sangat berbeda. Namun secara umum, kandungan zat terbang (volatile matter) diambil sebagai nilai acuan baku, dan terdapat kecenderungan yang hampir sama untuk kandungan zat terbang hingga sekitar 32%. Lewat dari angka ini, terdapat perbedaan yang cukup besar antara satu dengan yang lainnya, sehingga umumnya diambil nilai acuan tambahan berupa kandungan air (moisture), nilai kalori dan sebagainya. Sekarang ini, klasifikasi yang dilakukan relatif lebih tertata rapi. Salah satu contohnya adalah tabel klasifikasi ASTM dari Amerika Serikat yang memasukkan juga batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah (lihat D388 Tabel 1 Classification of Coal by Rank). 2.2. Karakteristik Batubara menurut Klasifikasinya Di sini, batubara dibagi menjadi lignit, sub-bituminus, bituminus, dan antrasit. 2.2.1. Brown Coal atau Lignite Dalam klasifikasi batubara, secara umum kelompok ini merupakan batubara dengan tingkat pembatubaraan yang paling rendah dan berwarna coklat atau coklat kehitaman. Kandungan air dan zat terbangnya tergolong tinggi, dan umumnya bersifat non-coking atau noncaking. Pada klasifikasi internasional, batubara ini didefinisikan memiliki nilai kalori (ash free basis) kurang dari 5700 kcal/kg. Penggunaan batubara ini, umumnya sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik. Namun karena kandungan airnya tinggi, maka adakalanya diperlukan proses dewatering terlebih dahulu. Di sisi lain, batubara ini dalam keadaan kering mudah sekali menimbulkan gejala terjadinya swabakar (spontaneous combustion), sehingga handling-nya pun tergolong merepotkan. Saat ini, pengunaan batubara jenis ini di Jepang sangat kecil. Terlepas dari masalah itu, penelitian dan pengembangan teknologi bagi perbaikan kualitas batubara untuk menunjang pemakaian yang lebih stabil terus dilakukan. Di Jepang, batubara dengan tingkat pembatubaraan yang lebih rendah lagi disebut dengan atan. Di dalam aturan industri pertambangan Jepang, atan dibedakan dari batubara, dan dianggap sebagai mineral yang berbeda dengan batubara. Namun secara ilmiah, atan masuk ke dalam golongan lignit atau brown coal. Catatan: Peat dan Grass Peat (=Gambut) Secara umum tidak termasuk golongan batubara. Komponen tetumbuhan asalnya dapat jelas ditentukan dengan mata telanjang, yang menunjukkan tingkat pembatubaraan sangat rendah. Selain itu, kandungan airnya banyak dan nilai kalorinya kecil, sehingga bukan merupakan bahan bakar yang baik. Karena banyak mengandung zat organik, gambut digunakan pula sebagai pupuk. Gambut yang berasal dari rerumputan disebut dengan grass peat (gambut rumput). Namun karena kebanyakan komponen peat adalah grass peat, maka istilah peat dan grass peat sering dipakai untuk menunjukkan arti yang sama. 2.2.2. Batubara Sub-Bituminus Dalam klasifikasi batubara, jenis ini mengalami tingkat pembatubaraan yang lebih tinggi dari lignit, namun masih lebih rendah dibandingkan batubara bituminus. Dari sisi caking property-nya, terbagi menjadi non-caking (tak bersifat caking) dan slightly-caking (sedikit menunjukkan sifat caking). Dibandingkan dengan batubara bituminus, kandungan zat terbang (volatile matter)-nya cukup tinggi, dengan nilai kalori yang masih tergolong rendah. Jepang mengimpor batubara jenis ini dari Indonesia, Amerika Serikat, dan lainlain, yang umumnya dipakai sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik. Namun dari sisi pemakaian, jumlahnya masih lebih sedikit bila dibandingkan dengan batubara bituminus. 2.2.3. Batubara Bituminus

Batubara jenis ini mengalami tingkat pembatubaraan yang lebih tinggi dari batubara sub-bituminus, namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan antrasit. Kandungan zat terbang (volatile matter)-nya antara 20-40%, yang merupakan suatu rentang yang cukup besar. Karena itu, sering dibagi lagi menjadi high-volatile bituminous coal, medium-volatile bituminous coal, dan sebagainya. Selain dipakai sebagai bahan baku pembuatan kokas, batubara bituminus dengan caking/coking property yang rendah dipakai pula sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Batubara jenis inilah yang paling banyak digunakan di Jepang. 2.2.4. Antrasit Batubara ini memiliki tingkat pembatubaraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan batubara bituminus. Kandungan zat terbangnya juga yang paling kecil, dan reaktifitas saat pembakaran tergolong relatif rendah. Batubara jenis ini hampir tak memiliki sifat caking/coking. Penggunaan batubara jenis ini, dapat sebagai bahan baku pembuatan material karbon, briket dan lain-lain,.untuk pulverized coal injection (PCI) pada blast furnace, atau sebagai bahan bakar untuk fluidized bed boiler, kiln semen, dan lain-lain. 3. Karakteristik Batubara 3.1. Evaluasi Batubara secara Fisika dan Kimia Karakteristik batubara, dapat dinyatakan berdasarkan sifat fisika dan sifat kimia yang dimilikinya. Karakteristik batubara yang menunjukkan sifat fisikanya, antara lain diwakili oleh nilai kerapatan/densitas, kekerasan, ketergerusan (grindability), kalor jenis (specific heat), fluiditas, caking property, dan sebagainya. Di lain pihak, sifat kimia batubara ditunjukkan dengan hasil analisis proksimat, analisis ultimat, nilai kalori, komposisi abu, dan sebagainya. Pada analisis proksimat, biasanya dilakukan pengukuran untuk mendapatkan nilai-nilai:

1. 2. 3.
4.

Kandungan air (moisture) dalam batubara. Zat terbang (volatile matter) yang dilepas dalam bentuk gas saat batubara mendapat perlakuan panas. Kandungan karbon tetap (fixed carbon) dari suatu padatan dapat terbakar yang memiliki kandungan unsur utama berupa karbon (=batubara). Abu (zat oksida mineral yang terkandung dalam batubara) yang tertinggal saat batubara dibakar. Untuk mencari nilai kandungan unsur-unsur utama seperti karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan belerang, dilakukan analisis ultimat.

Selain unsur-unsur tersebut, batubara juga mengandung unsur-unsur lain seperti klor, fluor, dan lain-lain golongan halogen, serta aneka unsur logam seperti aluminium besi, dan juga silika yang kesemuanya terkandung di dalam abu. 3.2. Sifat yang diinginkan pada batubara menurut penggunaannya 3.2.1. Sifat yang diinginkan pada Batubara Boiler Karena batubara jenis ini sebagian besar dipakai pada boiler, maka diinginkan yang memiliki sifat menyala dan sifat habis terbakar yang bagus. Selain itu, diinginkan pula yang memiliki kandungan belerang, nitrogen, dan unsur mikro beracun sesedikit mungkin. Untuk temperatur leleh abu, makin tinggi adalah semakin baik. Kandungan abunya juga haruslah kecil, dan tak kalah pentingnya adalah nilai kalori yang cukup. Untuk mengetahui nilai dan performa dari sifat-sifat tersebut di atas, dilakukan berbagai macam uji dan analisis terhadap batubara boiler:

Analisis kandungan air (moisture), berupa total moisture, surface moisture, serta inherent atau residual moisture. Uji ukuran butir Uji ketergerusan (grindability), untuk menentukan nilai HGI (Hardgrove Grindability Index) Pengukuran nilai kalori, baik berupa gross heating value maupun net heating value Uji sifat leleh abu (ash fusibility test) Analisis ultimat Pengukuran tahanan listrik abu Analisis proksimat Pengukuran kandungan abu Pengukuran kandungan zat terbang (volatile matter) Penghitungan karbon tetap (fixed carbon) Penghitungan fuel ratio Penghitungan hidrogen efektif (available hydrogen) Pengukuran kandungan belerang, berupa total sulfur, sulfate, pyretic sulfur, dan organic sulfur

Analisis, uji, dan perhitungan terhadap kandungan klor, komposisi abu, combustibility, slagging, fouling, erosion, dan sebagainya. 3.2.2. Sifat yang diinginkan pada Batubara Kokas Batubara jenis ini, umumnya dipakai pada blast furnace (tungku peleburan pada pembuatan pig iron) sebagai bahan pereduksi besi oksida (=kokas). Kokas yang dipakai pada blast furnace (tanur tinggi), biasanya dimasukkan ke dalam tungku/tanur dari jarak yang cukup tinggi. Selain itu, kokas di dalam tanur akan membentuk tumpukan yang cukup tinggi, sehingga diperlukan kekuatan dan kekerasan yang cukup untuk dapat menahan benturan dan tekanan saat kokas dijatuhkan maupun saat ditumpuk. Di dalam tanur, diperlukan aliran udara yang cukup agar reaksi reduksi oleh gas CO dapat berjalan dengan baik. Karena itu, diperlukan batubara dengan tingkat kereaktifan yang tinggi, dan mampu untuk menjaga kondisi temperatur yang tinggi. Dengan kata lain, pada batubara

kokas dituntut adanya sifat fluiditas/plastisitas, sifat caking/agglomerating (lekat menggumpal), dan sifat coking (coking property) yang memadai. Umumnya, volume tanur tinggi (blast furnace) di Jepang tergolong besar, yaitu antara 4500-5245m 3, dengan jumlah produksi pig iron (besi cor kasar) mencapai berat 2 kali volume tanur tinggi per hari. Karena pada pembakaran abu kokas dan bijih besi akan terbentuk slag yang harus dikeluarkan dari tanur, maka slag ini harus memiliki viskositas yang cukup agar mudah dikeluarkan. Berbagai macam uji dan analisis yang dilakukan terhadap batubara kokas diantaranya: (catatan: D xxxx menunjukkan nomor standard ASTM)

Analisis petrografi Analisis maseral, dilakukan berdasarkan D 2799 Microscopical Determination of vol.% of Physical Components of Coal Pengukuran tingkat refleksi, berdasarkan D 2798 Microscopical Determination of the Reflectance of Vitrinite Uji muai krusibel, berdasarkan D 720 Free Swelling Index Uji muai, berdasarkan D 5515 Dilatometer Uji fluiditas, berdasarkan D 2639 Gieseler Plastometer, dimana dilakukan pengukuran terhadap softening temperature (1.0 DDPM), maximum fluidity temperature, resolidification temperature, range, DDPM=dial division per minute Uji pengkokasan (metode retort, metode can-firing) Uji sifat leleh abu, berdasarkan D 1857 Fusibility of Ash (for reducing atmosphere, for oxidizing atmosphere), dengan mengamati initial deformation temperature, softening temperature, hemispherical temperature, fluid temperature Uji Roga, untuk mendapatkan nilai index Roga Uji kuat kokas (uji ketahanan terhadap jatuh), berdasarkan D 3038 Drop Shatter Test

Uji drum, dengan D 3402 Drum Test or Tumbler Test, dan lain-lain 3.3. Metode Uji Batubara Metode uji dan analisis yang menjadi dasar pengelompokan dan klasifikasi batubara, ditetapkan standard-nya oleh masing-masing negara. Pada prinsipnya, metode uji dan analisis batubara dilakukan menurut standard yang diakui secara internasional dan disepakati oleh pihak pensuplai dan pihak pengguna. Di Jepang, diberlakukan ketentuan berdasarkan JIS (Japan Industrial Standard). Sejak awal, sebenarnya Jepang telah berusaha menitik beratkan standard-nya ke arah penyesuaian dengan standard internasional seperti ISO. Dengan alasan ini, maka pada tahun 1994 telah dihapuskan apa yang disebut equilibrium moisture basis, yang dahulunya biasa dipakai dalam transaksi perdagangan batubara Jepang. (catatan tentang equilibrium moisture basis: Sampel disimpan pada lingkungan dimana terdapat kesetimbangan dengan air garam jenuh. Biasanya, air garam jenuh ditaruh di bagian bawah desikator, sedang pada rak di atasnya, sampel disimpan dengan menaruhnya di dalam watch glass (wadah sampel berbentuk seperti kaca arloji)). Berdasarkan standard JIS, pengaturan metode uji dan analisis batubara ditetapkan sebagai berikut:

JIS M 8801: Metode uji terhadap batubara, meliputi uji ukuran butir, uji apung-endap, uji ketergerusan (grindability), uji muai krusibel, uji kemuaian, uji fluiditas, uji pengkokasan, uji kelelehan abu, dan uji Roga. JIS M 8811: Metode sampling dan pengukuran kandungan air total serta moisture untuk batubara dan kokas. JIS M 8812: Metode analisis proksimat untuk batubara dan kokas. JIS M 8813: Metode analisis ultimat untuk batubara dan kokas. JIS M 8814: Metode pengukuran nilai kalori untuk batubara dan kokas. JIS M 8815: Metode analisis abu batubara dan abu kokas. JIS M 8816: Metode pengukuran komponen mikro (maseral) dan tingkat refleksi batubara. JIS M 8817: Metode penentuan bentuk keterdapatan belerang dalam batubara. JIS M 8818: Metode penentuan zat-zat mineral dalam batubara

Tampilan Hasil Analisis. Untuk mempermudah perbandingan antara satu hasil analisis dengan yang lain, maka ditetapkan basis standard dengan persyaratan tertentu untuk setiap analisis maupun uji yang dilakukan. Basis standard tersebut adalah:

Air dried basis Dry basis Dry & ash free basis Pure coal (dry & mineral matter free) basis Adanya tampilan air dried basis menunjukkan bahwa uji dan analisis dilakukan dengan menggunakan sampel uji yang telah

dikeringkan pada udara terbuka, yaitu sampel ditebar tipis pada suhu ruangan, sehingga terjadi kesetimbangan dengan lingkungan ruangan laboratorium, sebelum akhirnya diuji dan dianalisis. Tampilan dry basis menunjukkan bahwa hasil uji dan analisis dengan menggunakan sampel uji yang telah dikeringkan di udara terbuka seperti di atas, lalu dikonversikan perhitungannya untuk memenuhi kondisi kering.

Dry & ash free basis merupakan suatu kondisi asumsi dimana batubara sama sekali tidak mengandung air maupun abu. Adanya tampilan dry & ash free basis menunjukkan bahwa hasil analisis dan uji terhadap sampel yang telah dikeringkan di udara terbuka seperti di atas, lalu dikonversikan perhitungannya sehingga memenuhi kondisi tanpa abu dan tanpa air. Pure coal basis berarti batubara diasumsikan dalam keadaan murni dan tidak mengandung air serta zat mineral lainnya. Kondisi ini disebut pula dengan nama dry & mineral matter free basis. Zat-zat mineral (%) dicari dengan menggunakan salah satu dari 3 metode berikut ini:

Metode penentuan langsung (JIS M 8818) Metode penggunaan berbagai macam perhitungan Nilai kandungan abu yang didapat dari hasil analisis proksimat maupun analisis ultimat dikalikan dengan faktor koreksi abu. Untuk batubara Jepang, faktor koreksi abu yang umum dipakai adalah 1,08 Tabel Basis Uji & Analisis serta Singkatan yang dipakai Unsur Kandungan Singkatan Sama seperti saat diterima ar Dikeringkan dg. udara bebas ad Tanpa kandungan air d Tanpa kandungan air dan abu daf Tanpa kandungan air dan zat mineral lain (dry, dmmf mineral matter free)

Basis As received basis Air dried basis Dry basis Dry, ash free basis Pure coal basis

3.4.

Sampling Batubara dan Penyiapan Sampel Uji Agar dapat melakukan analisis batubara yang akurat, maka pengambilan sampel yang representatif (dapat mewakili keseluruhan)

merupakan hal yang amat penting. Pada prinsipnya, sampling dilakukan saat perpindahan lot, diambil dengan jarak yang konstan pada belt conveyor atau dengan auto sampler. Bila karena suatu hal sehingga pengambilan sampel harus dilakukan di stockyard atau dari batubara yang telah dimuat ke dalam kereta, maka pengambilan dilakukan pada tempat yang agak dalam dari permukaan ( 50cm) dan sedapat mungkin dilakukan di banyak titik sampling. Sampel yang diambil, lalu disimpan ke dalam suatu wadah yang bersih dan tertutup rapat, berupa kantong resin dan sebagainya. Terlebih untuk sampel yang akan diukur kandungan airnya, maka wadahnya harus sangat rapat, tidak menyerap kelembaban dari luar, dan terbuat dari bahan yang tidak dapat ditumbuhi jamur, terutama pada bagian dalam dimana sampel disimpan. Selain itu, pada kantong sampel harus dicantumkan nomor lot, tempat sampling, tanggal sampling, dan informasi penting lainnya. Sampel yang telah diambil, kemudian disiapkan untuk menjadi sampel uji dengan kondisi yang tetap dapat mewakili jumlah keseluruhannya. Untuk keperluan tersebut, sampel diremuk, digerus, dibagi, maupun diperkecil jumlahnya. Proses pekerjaan ini disebut dengan reduksi sampel. Karena analisis batubara biasanya dilakukan dengan jumlah sampel yang tidak terlalu banyak, maka proses reduksi harus dilakukan dengan benar agar didapatkan hasil analisis yang akurat. Proses reduksi dilakukan dengan salah satu atau gabungan dari cara-cara berikut ini:

Metode reduksi inkremen (increment reduction method) Metode reduksi dengan menggunakan Riffle Divider Metode reduksi dengan menggunakan mesin pereduksi (alat pembagi sampel) Metode reduksi berdasarkan proporsi masing-masing ukuran butir Metode conical quartering (kerucut bagi empat) dan alternate shovel sebenarnya dapat pula dipakai, tetapi karena error (kesalahan)

yang dapat timbul cukup besar, lebih baik dihindari saja. Tabel Ukuran Butir Maksimum dan Besarnya Inkremen (massa rata-rata) Ukuran butir maks (mm) <1 <5 < 10 < 15 < 20 < 30 Massa rata-rata Batubara 10 50 100 150 200 300 Kokas 50 100 150 200 300 500 gram Ukuran butir maks (mm) Massa rata-rata Batubara Kokas gram < 40 500 1200 < 50 1200 3000 < 75 3000 5000 < 100 5000 9000 < 125 9000 11000 < 150 11000 15000

Tabel Jumlah Minimum Inkremen yang harus diambil dari Satu Lot (batubara) Besar Lot (t) abu (%) jumlah minimum inkremen <15,0 >15,0 blm. terpilih +15 Besar Lot (t) abu (%) jumlah <15,0 minimum >15,0 inkremen blm. terpilih +15 <1000 10 30 45 20000~3 0000 50 150 225 1000~ 3000 15 45 65 30000~4 5000 65 195 290 3000~ 5000 20 60 90 45000~7 0000 80 240 365 5000~ 7000 25 75 110 70000~1 00000 95 285 440 7000~ 10000 30 90 135 >100000 100 300 450 10000~ 20000 40 120 180

Ukuran butir sampel lolos keseluruhan < 19,1 mm < 15,9 mm < 9,52 mm < 4760 m < 2830 m < 1000 m < 250 m 3.5.

Tabel Ukuran Butir dan Standard Reduksi Massa sampel setelah reduksi (kg) Kandungan abu <20% Kandungan abu > 20% > 100 > 50 > 10 >5 >2 > 0,1 > 0,05 > 200 > 100 > 20 > 10 >4 > 0,1 > 0,05

Total Moisture Yang dimaksud dengan kandungan air total (total moisture) adalah keseluruhan jumlah kandungan air berbagai jenis yang terdapat

dalam sampel batubara yang diambil. Pada prinsipnya, hal ini dihitung dari jumlah penurunan berat pra pengeringan (pre-drying loss) pada temperatur < 35C ditambah penurunan berat pengeringan panas pada 1072C. Kandungan air di dalam batubara dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah inherent moisture atau residual moisture, yaitu air yang terserap ke dalam batubara manakala batubara berada dalam kesetimbangan kelembaban dengan udara bebas. Yang kedua adalah surface moisture atau hygroscopic moisture (uap air higroskopis), yaitu air yang terserap dan menempel pada batubara oleh adanya proses sekunder, misalnya dari air tanah, air penyiraman saat penambangan, air yang dipakai untuk hydraulic mining, air pada proses preparasi batubara, air hujan, dan sebagainya. Jumlah kandungan kedua jenis air di dalam batubara inilah yang disebut dengan kandungan air total (total moisture). Adanya kandungan air yang berlebihan maupun terlalu sedikit dapat menimbulkan masalah dari segi handling. Bila kandungan air berlebihan, akan menyebabkan batubara lengket dan menempel di berbagai tempat. Bahkan dapat pula menjadi penyebab penyumbatan pada screen dan berbagai peralatan lainnya. Kebalikannya, bila kandungan air sangat kurang, akan timbul masalah dengan beterbangannya debu batubara. Kandungan total moisture merupakan salah satu unsur yang penting dalam transaksi perdagangan batubara, sehingga bila ternyata nilainya melebihi kontrak yang disepakati, maka nilai transaksi akan dikurangi sesuai dengan kelebihan yang terjadi. Dalam transaksi batubara domestik Jepang, umumnya nilai toleransi yang berlaku untuk batubara kokas adalah kurang dari 6%, dan untuk batubara pembangkit listrik adalah kurang dari 7%. Uap air higroskopis adalah kandungan air yang menempel di permukaan batubara, dan umumnya makin halus ukuran butirnya, maka biasanya jumlahnya juga semakin banyak. Secara umum, kandungan uap air higroskopis pada batubara kerakal dan batubara kerakal ukuran sedang adalah sekitar 2~3%, untuk batubara butir kecil/halus 6~7%, dan untuk batubara sangat halus/serbuk adalah sekitar 15~30%. Uap air higroskopis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini: totalmoisture[ar%] = surfacemoisture[ar%] + inherentmoisture[ad%] x (100 - surfacemoisture[ad%]) /100 Saat ini, istilah inherent moisture tidak tercantum di dalam ISO, JIS, maupun BS. Menurut ASTM, inherent moisture didefinisikan sebagai air yang dalam kondisi alami menunjukkan karakteristik lapisan batubara dari suatu ore deposit, dan hanya mencakup air yang menjadi bagian dari ore deposit tersebut, sehingga air yang menempel di permukaan tidaklah termasuk ke dalam inherent moisture. Inherent moisture memiliki hubungan yang erat pula dengan tingkat pembatubaraan, dimana semakin tinggi tingkat pembatubaraannya, maka kandungan airnya akan semakin berkurang, dan mencapai titik minimum pada C sekitar 90%. 3.6. Analisis Proksimat Standard bagi analisis proksimat batubara, ditetapkan melalui JIS M 8812. Dalam analisis proksimat tersebut, akan dilakukan suatu analisis kuantitatif untuk mendapatkan nilai kandungan air, abu, zat terbang (volatile matter), dan karbon tetap (fixed carbon). Tidak seperti analisis ultimat yang bertujuan untuk mendapatkan nilai mutlak dari unsur-unsur yang terkandung dalam batubara, analisis proksimat lebih merupakan suatu kesepakatan, agar pengguna dapat lebih mengetahui karakteristik batubara yang dibelinya. Selain itu, analisis ini juga relatif mudah untuk dilakukan. 3.6.1. Kandungan Air Tetap (Inherent Moisture) Kandungan air dinyatakan dalam persen massa yang menunjukkan nilai berkurangnya massa/berat dari sampel batubara, setelah dikeringkan dengan pemanasan pada 107C selama 1 jam. Sampel batubara yang dipakai adalah sampel yang telah dikeringkan di udara terbuka (air dried). Pada tahun 1993, saat hendak dilakukan revisi terhadap JIS, ada usulan untuk menghapus apa yang disebut equilibrium moisture, yang telah sejak lama dipakai secara eksklusif di Jepang. Alasan ini didasarkan pada kenyataan bahwa saat itu Jepang telah menjadi negara pengimpor batubara terbesar di dunia, sehingga perlu dilakukan upaya untuk lebih meningkatkan tingkat ketelitian dan keakuratan analisis terhadap batubara impor yang dibeli. Dengan diterimanya usulan ini, maka sejak 1994 equilibrium moisture basis tak lagi digunakan. 3.6.2. Kandungan Abu Menurut JIS, kandungan abu didefinisikan sebagai berikut. Di saat awal proses pengabuan (insinerasi, pembakaran menjadi abu), belerang organik dan belerang pirit (pyritic sulfur) terbakar menjadi oksida belerang. Dengan terus melakukan pemanasan sambil mengontrol agar jumlah sulfatnya berada pada tingkat minimum selama pengabuan, dan ditambah adanya penguraian sempurna dari karbonat, maka zat

sisa anorganik yang terjadi selama sulfat tidak mengalami penguraian itulah yang disebut kandungan abu. Pada analisis sebenarnya, sampel dibakar pada temperatur 81510C di dalam media udara dengan mengikuti pola peningkatan temperatur yang telah ditetapkan. Jumlah abu yang tertinggal, lalu dihitung sebagai persen massa dari sampel. Inilah yang kemudian disebut sebagai kandungan abu (%). Pada kondisi di atas, karbonat terurai, sedangkan sulfat tetap tinggal. Mineral lempung (clay minerals) kehilangan air pengkristalan, sehingga sebagian besar akan menjadi oksida logam. Dengan demikian, yang menjadi abu bukanlah mineral inorganik didalam batubara itu sendiri. Di Jepang, kandungan abu batubara kokas yang dipakai dalam proses pembuatan besi, dijaga pada angka kurang dari 10%, dengan penalti sebesar USD 1,20 per ton untuk kelebihan tiap 1% abu. Dilihat dari proses kejadiannya, kandungan abu pada batubara dapat dibagi menjadi kandungan abu bawaan (inherent ash) dan kandungan serapan. Kandungan Abu Bawaan: Kandungan abu bawaan diperoleh dari abu yang terkandung pada tumbuh-tumbuhan yang menjadi batubara, jumlahnya sedikit, dan sulit untuk diambil melalui proses pemisahan. Pada batubara kilap (bright coal) atau vitrite yang berasal dari proses pembatubaraan zat kayu pada tumbuhan, jumlah kandungan abunya sedikit. Abu ini diduga merupakan abu bawaan (inherent ash) yang banyak mengandung kapur dan mineral alkali (basa), sedangkan kandungan asam silikat dan alumina-nya sedikit. Di sisi lain, batubara kusam (dull coal) yang berupa durite (atau durain) dan fusite (atau fusain) berasal dari serpihan kayu, kulit pohon, serbuk bunga, spora dan lain-lain yang bercampur dengan lumpur dan pasir, lalu tersedimentasi dan mengalami proses pembatubaraan. Karena itu, kandungan abunya banyak. Kandungan Abu Serapan: Kandungan abu serapan terjadi akibat adanya intrusi lumpur dan pasir saat tetumbuhan tersedimentasi. Atau bisa pula terjadi setelah proses pembatubaraan berlangsung, dimana akibat adanya retakan dan sebagainya, menyebabkan lumpur dan pasir ikut tercampur masuk (intrusi). Abu jenis ini terdistribusi secara tidak merata di dalam batubara, dan banyak mengandung zat-zat seperti batu lanau (shale), pirit, gipsum, silikat, karbonat, sulfat dan sebagainya, dimana kandungan asam silikat dan alumina-nya banyak. Kandungan abu pada batubara, mempunyai hubungan yang erat dengan sifat-sifat batubara itu sendiri, seperti misalnya berat jenis, ketergerusan (grindability), sifat ketahanan api dari abu (ash fusibility), nilai kalori, dan sebagainya. Kandungan abu dan nilai kalori dari batubara, boleh dikatakan memiliki hubungan yang hampir linear. Selain itu, kandungan abu dan berat jenis juga memiliki korelasi yang sangat erat, dimana bila kandungan abunya banyak, maka biasanya berat jenisnya juga besar. Sifat ini lalu dimanfaatkan, sehingga dikembangkan proses pemisahan berat jenis seperti pada hydroseparation (jig) atau pada pemisahan media berat (HMS). Secara umum, adanya kandungan abu 1% akan berpengaruh terhadap perubahan berat jenis sebesar 0,01. Rumus pendekatan untuk mencari nilai berat jenis batubara diberikan sebagai berikut: Berat Jenis Batubara = 1,25 + 0,01 Kandungan Abu (%) 3.6.3. Zat Terbang (Volatile Matter) Sampel dimasukkan ke dalam krusibel bertutup, lalu sambil diupayakan agar tidak terjadi kontak dengan udara, sampel dipanaskan dalam waktu yang cukup singkat. Setelah itu, kehilangan massa akibat pemanasan terhadap sampel dihitung berdasarkan persen massa, kemudian nilai tersebut dikurangi nilai kandungan air dari analisa kuantitatif yang dilakukan bersamaan. Hasilnya inilah yang berupa kandungan zat terbang, yang terdiri dari unsur-unsur yang mudah menguap (volatile) di dalam batubara itu sendiri, atau zat-zat yang terlepas ke udara akibat proses pemanasan. Pertama-tama, sampel 1 gram dipanaskan selama 7 menit pada temperatur 90020C, kemudian ditimbang penurunan berat/massa-nya. Setelah itu, dikurangi dengan nilai kandungan air untuk mendapatkan kandungan zat terbang. Nilai kandungannya dinyatakan dengan perhitungan persen berat. Kandungan zat terbang memiliki hubungan yang erat dengan tingkat pembatubaraan, sehingga kadang dipakai pula sebagai acuan (index) dalam klasifikasi batubara. Untuk batubara bituminus, pengelompokan berdasarkan kandungan zat terbang dapat dilakukan sebagai berikut: Pengelompokan Batubara Bituminus berdasarkan Kandungan Zat Terbang (%) Klasifikasi menurut ASTM Klasifikasi menurut Asosiasi Kokas low volatile coal 14-22 LV coal 20 kurang medium volatile coal 22-31 MV coal 20-25 high volatile coal 31 lebih MV coal 25-30 HV coal 30 lebih Bila batubara memiliki kandungan zat terbang yang tinggi, maka sifat penyalaan (ignition) dan pembakaran (combustion)-nya pun baik. Akan tetapi, hal ini juga mengandung resiko swabakar (spontaneous combustion) yang tinggi. Hubungan antara zat terbang dan penggunaan batubara secara umum dapat diterangkan sebagai berikut. Bila kandungan zat terbang semakin tinggi, maka selain penyalaan dan pembakaran batubara menjadi mudah, nyala api yang dihasilkan juga bagus (panjang), dan pembakaran rendah NOx mudah dilakukan. Dan karena sifat mampu terbakar habis yang dimiliki cukup tinggi, maka cocok untuk boiler. Bila kandungan zat terbangnya sedikit, maka batubara menjadi susah untuk dinyalakan. Selain itu, sifat pembakarannya pun jelek, dan nyala api yang dihasilkan juga kurang bagus (pendek). Karena sifat mampu terbakar habis yang dimiliki cukup rendah, maka kandungan zat

tak terbakar dalam abu menjadi semakin banyak, sehingga tidak cocok untuk boiler. Dalam hal ini, diperlukan desain tungku pembakaran yang tepat, yang dapat menutupi kekurangan pada kondisi di atas. Untuk pembakaran batubara sangat halus, idealnya berupa batubara yang memiliki kandungan zat terbang di atas 30% pada kondisi kering dan tanpa abu (dry, ash free basis), karena mudah dinyalakan dan mampu terbakar habis. 3.6.4. Karbon Tetap (Fixed Carbon) Kandungan karbon tetap didapatkan dari analisis tak langsung, dan dihitung dari persamaan berikut. Dari sisa pembakaran, setelah hasilnya dikurangi dengan kandungan abu, maka hasilnya inilah yang berupa nilai karbon tetap. Fixed Carbon (%) = 100 {Water (%) + Ash (%) + V.M. (%)} Antara kandungan zat terbang dan karbon tetap terdapat korelasi yang saling berlawanan, dalam arti bila kandungan zat terbang naik, maka nilai karbon tetap akan turun, dan demikian sebaliknya. Secara umum, bila tingkat pembatubaraan semakin tinggi, maka kandungan zat terbang akan semakin turun; sebaliknya, nilai karbon tetap akan bertambah. 3.6.5. Rasio Bahan Bakar (Fuel Ratio) Kandungan zat terbang dan karbon tetap dalam analisis proksimat, menunjukkan kandungan efektif batubara sebagai bahan bakar. Fuel ratio yang ditunjukkan oleh persamaan berikut ini, nilainya akan naik secara signifikan sebanding dengan tingkat pembatubaraan yang dialami. Karena itu, fuel ratio merupakan salah satu parameter di dalam penentuan klasifikasi ataupun untuk menunjukkan karakteristik khusus batubara. Fuel Ratio = Fixed Carbon (%) / Volatile Matter (%) Umumnya, nilai fuel ratio untuk masing-masing kelompok batubara diberikan sebagai berikut: Brown coal atau Lignite Kurang dari 1 Batubara Bituminus 1-4 Antrasit Lebih dari 4 3.7. Analisis Ultimat (analisis unsur) Analisis ultimat terhadap batubara, ditetapkan dan diatur di dalam standard JIS M 8813, dan terbagi atas 5 buah kandungan unsur, yaitu

(abu) karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan belerang. Bila dibandingkan dengan heavy oil, persentase kandungan karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen dalam batubara sangat berbeda. Untuk heavy oil, kandungan hidrogen meliputi kira-kira separuhnya, sedangkan oksigen dan nitrogen hampir tak ada sama sekali. Berlawanan dengan itu, di dalam batubara terkandung oksigen sekitar 10% dan nitrogen 13%. Untuk mengetahui struktur kimia ataupun karakteristik batubara, analisis ultimat memiliki peranan yang sangat penting. 3.7.1. Karbon dan Hidrogen Penentuan kandungan karbon dan hidrogen, dapat dilakukan dengan metode Liebig ataupun metode temperatur tinggi Scheffeld. Kedua metode ini, menggunakan sampel sebanyak 0,1~0,5 gram yang dimasukkan ke dalam pipa pembakaran (combustion pipe), lalu dibakar. CO2 maupun H2O yang terjadi, lalu diserap dengan menggunakan pipa absorpsi. Dari penambahan berat yang terjadi, lalu dihitung persentase kandungan karbon dan hidrogen. Karbon merupakan parameter yang penting untuk menunjukkan tingkat pembatubaraan, dan persentase kandungan karbon C% dihitung dalam kondisi kering dan bebas abu (dry, ash free basis). Pada saat terjadi pembakaran, semua oksigen di dalam batubara dianggap bereaksi dengan hidrogen membentuk air. Hidrogen yang tersisa, yang merupakan hidrogen di dalam batubara yang siap dimanfaatkan secara efektif, disebut dengan available hydrogen, dan dicari dari persamaan berikut ini: Available Hydrogen (%) = Hydrogen (%) Oxygen (%) / 8 Available hydrogen memiliki hubungan dengan tingkat pembatubaraan. Bila tingkat pembatubaraan semakin tinggi, oksigen akan semakin berkurang, dan akibatnya available hydrogen akan naik. Nilai ini menjadi maksimum pada kandungan karbon sekitar 85%. Setelah itu, pada zona antrasit, kandungan oksigen maupun hidrogen akan turun, sehingga available hydrogen juga turun. Available hydrogen digunakan dalam perhitungan teoritis mengenai jumlah udara dan nilai kalori pada pembakaran. 3.7.2. Nitrogen Penentuan kandungan nitrogen dilakukan dengan metode Kjeldahl atau metode semi-mikro Kjeldahl. Di dalam batubara, terdapat kandungan nitrogen sekitar 0,5~2,0%. Pada saat terjadi pembakaran, sebagian nitrogen dalam batubara akan berubah menjadi NOx dan dilepas ke udara, sehingga berpengaruh terhadap lingkungan. Rasio/persentase perubahan ini sangat tergantung kepada kondisi persenyawaan dalam batubara dan kondisi pembakarannya itu sendiri. Sebenarnya tidak terdapat hubungan yang khusus antara kandungan nitrogen di dalam batubara dengan tingkat pembatubaraan, namun terdapat kecenderungan bahwa kandungan nitrogen cukup tinggi untuk batubara berasap, dan sedikit untuk batubara antrasit. 3.7.3. Oksigen Penentuan kandungan oksigen tidak dilakukan secara langsung, akan tetapi dihitung dari persamaan berikut ini: O (%) = 100 {C (%) + H (%) + S (%) + N (%) + ash (%) 100 / (100-water)}

Dengan memperhatikan persamaan di atas, kita bisa mengetahui bahwa kesalahan pengukuran terhadap kandungan berbagai unsur dan abu akan sangat berpengaruh terhadap hasil perhitungan kandungan oksigen. Karena itu, boleh dikatakan bahwa tingkat reliabilitas-nya sebagai hasil analisis adalah rendah. Di dalam batubara, oksigen terdapat dalam bentuk gugus hidroksil, karboksil, karbonil, eter, dan sebagainya. Karena gugus karbonil dan eter memiliki temperatur penguraian antara 350~500C, maka batubara yang memiliki kandungan oksigen cukup banyak biasanya memiliki kecenderungan untuk mempunyai kandungan zat terbang yang banyak pula. 3.7.4. Belerang Total (Total Sulfur) Belerang total, merupakan nilai penjumlahan dari belerang dalam abu (sulfur in ash) [dahulu disebut non-combustible sulfur] dan belerang terbakar (combustible sulfur). Atau dapat pula dikatakan sebagai penjumlahan antara nilai belerang inorganik dan belerang organik. S (%) = Stotal (%) 100 / [100-water (%)] Sin ash (%) menjadi abu dengan kondisi pengujian tertentu. Yang dimaksud dengan combustible sulfur adalah nilai yang didapat sebagai hasil pengurangan total sulfur dengan sulfur in ash. Di dalam batubara, kandungan belerang total biasanya antara 0.1-2%, namun untuk brand produk tertentu, kadang dijumpai pula kandungan belerang lebih dari 3%. Di dalam standard JIS, penentuan kandungan belerang dilakukan dengan metode Eschka atau metode pembakaran temperatur tinggi (high-temperature combustion). Bentuk ikatan belerang yang terdapat di dalam batubara, menurut standard ISO, diukur dalam bentuk belerang inorganik berupa belerang sulfat (sulfate sulfur) dan belerang pirit (pyritic sulfur), serta belerang organik (organic sulfur). Yang dimaksud dengan belerang sulfat adalah belerang dalam batubara yang membentuk senyawa sulfat. Sampel diekstraksi dengan menggunakan asam klorida (hydrochloric acid) encer, lalu gugus sulfat dalam larutan diukur. Yang dimaksud dengan belerang pirit adalah belerang dalam batubara yang terdapat dalam bentuk pirit atau markasit. Pertama-tama, sampel diekstraksi dengan menggunakan asam klorida encer. Setelah itu, diekstraksi lagi dengan menggunakan asam nitrat encer, dan kemudian diukur kandungan besi di dalam larutannya. Dari situ, baru dihitung kandungan belerangnya. Yang dimaksud dengan belerang organik adalah belerang yang berikatan dengan zat batubara, dan nilainya dihitung sebagai hasil pengurangan kandungan belerang sulfat dan belerang pirit terhadap kandungan belerang total. Pada proses pembakaran, kandungan belerang dalam batubara akan berubah menjadi gas SO2 dan SO3. Selain menjadi penyebab terjadinya polusi udara, gas-gas ini juga menjadi penyebab terjadinya korosi terhadap permukaan penghantar panas pada boiler. Karena itu, kandungan belerang total pada batubara boiler sebaiknya kurang dari 1%. Sekarang ini, hampir semua peralatan pembakaran berskala besar telah dilengkapi dengan fasilitas desulfurisasi. Kandungan belerang di dalam kokas, dapat menjadi penyebab berbagai masalah di dalam proses pembuatan besi (misalnya besi menjadi getas dan rapuh). Karena itu, batubara yang digunakan dituntut untuk memiliki kandungan belerang tidak lebih dari 0,6%. Penalti yang dikenakan terhadap kelebihan kandungan belerang setiap 0,1% adalah USD 0,60 per ton. 3.7.5. Klor Kandungan klor di dalam batubara, biasanya berkisar antara 0,01~0,02%, dan kebanyakan terdapat sebagai NaCl, KCl, dan sebagainya. Senyawa-senyawa ini, pada temperatur 1400-1500C akan berbentuk uap. Akan tetapi, pada zona temperatur antara 900~1000C, senyawa tersebut akan kembali ke bentuk cair dan dalam kondisi sebagai leburan/lelehan. Selain menjadi penyebab korosi temperatur tinggi dan temperatur rendah di dalam boiler, dan juga fouling oleh natrium dan kalium, klor juga berpengaruh atas terjadinya korosi pada peralatan desulfurisasi asap buangan. 3.8. Nilai Kalori Nilai kalori merupakan panas yang dilepaskan saat unit kuantitas batubara terbakar sempurna. Nilai kalori ini dibagi menjadi 2, yaitu: (dry basis) Yang dimaksud dengan sulfur in ash adalah persentase kandungan belerang di dalam abu hasil analisis abu, dimana sampel dibakar

Gross Calorific Value, Hg Net Calorific Value, Hn Yang dimaksud dengan gross calorivic value adalah nilai kalori total, dan nilai ini adalah nilai yang diperoleh dari hasil analisis. Di

dalam nilai tersebut, terkandung pula nilai kalor laten (= panas tersembunyi) dari uap air yang terbentuk akibat pembakaran kandungan air dan hidrogen dalam batubara. Akan tetapi, pada pembakaran sebenarnya dengan menggunakan boiler dan sebagainya, uap air ini dilepaskan begitu saja lewat cerobong asap tanpa proses kondensasi, sehingga pada hakikatnya kalor laten tersebut tidak dapat dimanfaatkan. Yang dimaksud dengan net calorific value adalah nilai kalori murni, yaitu setelah dikurangi dengan nilai kalor laten-nya. Nilai ini tidak tergantung kepada hasil pengukuran, dan hanya ditentukan berdasarkan persamaan berikut: Hn = Hg 600 (9H + W) [kcal/kg] Di sini, H adalah kandungan hidrogen pada kondisi equilibrium moisture (kg), dan W adalah kandungan air (kg). Batubara boiler yang biasa dipakai saat ini, banyak yang memiliki nilai Hg antara 6000-7000 kcal/kg. 3.9 Ketergerusan (Grindability)

Ketergerusan merupakan sifat mudah-sulitnya batubara untuk diremuk atau digerus. Besar kecilnya nilai ketergerusan ini, dinyatakan dengan suatu indeks yang disebut Hardgrove Grindability Index atau HGI. Semakin kecil nilai HGI, berarti semakin sulit penggerusannya; dan begitu pula sebaliknya. Pertama-tama, sampel digerus dan diayak hingga ukuran tertentu, yaitu antara 1190~ 590m. Setelah itu, 50g sampel dimasukkan ke dalam alat uji ketergerusan Hardgrove bersama dengan 8 buah bola. Setelah diputar sebanyak 60 kali, lalu diayak dengan ayakan 75m (200 mesh). Undersize product (hasil lolos ayakan) yang diperoleh lalu ditimbang, dan disubstitusikan ke persamaan berikut: HGI = 13 + 6,93W dimana W adalah berat undersize product (dalam gram) pada ayakan 75m. Hubungan antara ketergerusan dengan tingkat pembatubaraan: Nilai maksimum HGI untuk batubara Jepang, diperoleh pada batubara dengan kandungan karbon 86% (daf basis). Untuk batubara bituminus luar negeri (impor dari luar Jepang), nilai maksimumnya didapat pada kandungan karbon sekitar 90%. Secara umum, diketahui bahwa caking coal merupakan batubara yang paling mudah digerus, sedangkan brown coal atau lignite merupakan batubara yang paling susah digerus. Tentu saja hal ini tergantung pula kepada struktur batubara maupun banyak-sedikit kandungan abunya. HGI umumnya dinyatakan dalam rentang bilangan antara 30~120. Untuk batubara yang dipakai pada pembangkit listrik (steam coal), batubara digerus terlebih dahulu menjadi partikel halus sebelum dimasukkan ke dalam boiler. Bila batubara terlalu keras, yang berarti nilai HGI kecil, maka akan menurunkan performa dari mesin penggerus (mill). Dengan kata lain, bila nilai HGI semakin rendah, maka diperlukan daya yang lebih besar bagi mesin penggerus. Karena itu, para pengguna (user) banyak yang menetapkan nilai HGI di atas 45 untuk batubara yang mereka beli. Batubara yang saat ini dipakai di Jepang, kebanyakan memiliki nilai HGI skitar 50. 3.10. Temperatur Leleh Abu Saat batubara dibakar, maka abu dan kandungan inorganik lain akan meleleh. Lelehan ini lalu akan menempel dan mengeras di permukaan penghantar panas pada tungku membentuk klinker. Adanya klinker ini akan menyebabkan berbagai masalah, seperti penurunan daya hantar panas maupun daya ventilasi. Titik leleh abu mempunyai hubungan yang erat dengan pembentukan klinker. Bila titik lelehnya rendah, maka klinker akan mudah terbentuk. Titik leleh abu, umumnya berada pada kisaran 1000~1500C, dan idealnya bernilai 1300C ke atas. Pengukuran titik leleh abu, dilakukan sebagai berikut. Batubara yang telah terbakar habis menjadi abu, lalu digerus hingga berukuran lebih kecil dari 200 mesh, lalu dibentuk menjadi piramida segitiga (limas segitiga). Bentuk piramida segitiga ini lalu dimasukkan ke dalam tungku listrik (electric furnace), lalu temperatur tungku dinaikkan. Perubahan terhadap bentuk piramida segitiga akibat kenaikan temperatur lalu diamati dan dicatat. Temperatur dimana piramida segitiga mulai mengalami perubahan bentuk dinamakan titik pelunakan (softening point). Temperatur saat menjadi bentuk setengah bola, dinamakan titik leleh (melting point). Ketika temperatur terus dinaikkan sehingga akhirnya abu meleleh mengalir, dinamakan titik alir. Titik leleh abu batubara, selain dipengaruhi oleh komposisi abu, juga ditentukan oleh suasana gas (sifat oksidasi atau reduksi). Biasanya, nilainya berkisar antara 1000~1500C. Bila di dalam kandungan abu terdapat unsur-unsur bersifat asam seperti asam silikat (SiO2) dan alumina (Al2O3), maka titik lelehnya akan tinggi. Namun bila banyak mengandung unsur-unsur basa seperti oksida besi (Fe 2O3), kapur (CaO), magnesia (MgO), oksida basa (Na2O, K2O) dan sebagainya, maka titik lelehnya rendah. Secara umum, bila nilai perbandingan antara keduanya, yang dinyatakan dengan B/A, memiliki nilai mendekati 1, maka terdapat kecenderungan bahwa titik lelehnya akan rendah. Rasio B/A = (Fe2O3+CaO+MgO+Na2O+K2O) / (SiO2+Al2O3+TiO2) Selain itu, titik leleh dalam suasana gas reduksi seperti CO, H2, dan sebagainya, akan menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan suasana asam. Umumnya, perbedaan titik leleh ini dapat mencapai 50~100C. 3.11. Komposisi Abu Komposisi abu batubara berbeda-beda tergantung kepada jenis batubaranya. Untuk batubara Jepang, komposisinya tak jauh berbeda dengan mineral lempung (clay minerals), dengan kandungan utama berupa silika dan alumina. Umumnya, komposisi abu batubara Jepang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

SiO2: 40~60% Al2O3: 15~35% TiO2: 1~2% Fe2O3: 5~25% CaO: 1~15% MgO: 0,01~0,1% Analisis kimia terhadap Si, Fe, Al, Ca, Mg, dan S dilakukan dengan metode gravimetri dan volumetri, sedangkan untuk P dilakukan

dengan metode absorpsiometri dan volumetri. Sebagai referensi, analisis terhadap Ni, Ti, dan V dilakukan dengan metode absorpsiometri, sedangkan Na dan K dilakukan dengan analisis nyala (flame analysis) dan metode absorpsiometri atom (atomic absorptiometry).

Namun sekarang ini, makin banyak yang menggunakan peralatan fluoresensi sinar X (fluorescent X-ray device) untuk melakukan analisis secara sekaligus. Analisis komposisi abu seperti yang disebutkan di atas, merupakan faktor penting dalam memprediksi slagging, fouling, electric dust collection, high-temperature corrosion, dan denitrification catalyst degradation. Catatan: Bila dilakukan proses pemisahan berat jenis, biasanya kandungan zat bersifat basa dalam abu produk yang lebih ringan akan meningkat. 3.12. Ukuran Butir Metode pengukurannya, telah ditetapkan di dalam standard JIS M 8801. Untuk sampel batubaranya, dipakai jumlah keseluruhan dari gross sample. Sampel ini dikeringkan, lalu diayak dengan menggunakan ayakan yang telah ditentukan. Setelah itu, butiran yang tertinggal di atas masing-masing ayakan ditambah dengan yang lolos ayakan terkecil ditimbang satu persatu, lalu dituliskan persentase berat masing-masing terhadap keseluruhan sampel. Di antara ukuran ayakan yang telah ditetapkan dalam JIS Z 8801, penentuan ayakan yang akan dipakai diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Ukuran ayakan untuk ayakan jala-jala (net): 125mm, 106, 90, 75, 63, 53, 45, 37.5, 31.5, 26.5, 22.4, 19, 16, 13.2, 11.2, 9.5, 8, 6.7, 5.6, 4.75, 4, 3.35, 2.8, 2.36, 2, 1.7, 1.4, 1.18, 1mm. 850m, 710, 600, 500, 425, 355, 300, 250, 212, 180, 150, 125, 106, 90, 75, 63, 53, 45, 38, 32, 25, 20m. Untuk ayakan plat/lempeng, ditetapkan secara terpisah. 4. Uji dan Analisis terhadap Batubara Kokas 4.1. Analisis Petrografi Bila kita perhatikan permukaan batubara dengan lebih seksama, akan terdapat bagian-bagian yang mengkilap dengan struktur berbentuk garis-garis (belang) yang berlapis-lapis. Struktur batubara yang tampak dengan mata telanjang semacam ini, dibagi menjadi 2 dengan sebutan batubara kilap (bright coal) dan batubara kusam (dull coal). Struktur yang dengan mata telanjang tampak merata dan sama sekalipun, bila dilihat dengan mikroskop akan terlihat tersusun dari struktur yang lebih halus lagi. Komponen struktur yang halus tersebut, dinamakan maseral (maceral). Maseral dibagi menjadi 11 jenis, dimana akhirannya menyandang nama [nit] (nite). Maseral yang di bawah mikroskop menunjukkan karakteristik yang sama, digolongkan lagi menjadi 3 kelompok maseral (maceral group). Metode analisis maseral: a. Sampel: 850-74m, kira-kira 10g Pembuatan Briket: Sampel yang telah digerus diambil sebanyak 2g dan dicampur dengan resin poliester. Kemudian dengan mesin pembuat briket, dibuat briket yang memiliki luas permukaan poles/gosok (polishing area) 400mm2 atau lebih. Permukaan sampel kemudian digosok/diampelas, lalu dilihat di bawah mikroskop.

b.

c.

Pengukuran: Sampel yang telah digosok lalu dinaikkan ke atas dudukan obyek (sample holder) yang bisa digeser ke 4 penjuru, kemudian dipasang di bawah mikroskop. Dudukan tersebut lalu dihubungkan ke alat pencacah (point count). Sambil menekan tombol counter, dudukan sampel digeser untuk melihat maseral di dalam partikel batubara. Point counter berfungsi untuk mencacah jumlah maseral tanpa harus melepaskan pengamatan dari mikroskop. Pengukuran/pencacahan dilakukan terhadap keseluruhan permukaan sampel, dengan persyaratan dan kondisi sebagai berikut.

d.

Persyaratan dan Kondisi Pencacahan: Mikroskop: dilengkapi alat penerangan pemantul cahaya (illuminator) Pembesaran: 200 kali atau lebih oil immersion (gliserin) Jarak pergeseran sampel (arah horisontal): 0,3~0.5mm Titik pengukuran: 500 titik lebih (arah tegak lurus): 0,5~1mm

e.

Komponen Analisis: Vitrinite: Telinite, Collinite, dan lain-lain Exinite: Sporinite, Cutinite, dan lain-lain Inertinite: Micrinite, Fusinite, dan lain-lain Mineral matter (mm) dicari dengan persamaan berikut: mm = 100{(1,08A+0,55S)/2,8} / [{100 (1,08A+0,55S)}/1,35 + (1,08A+0,55S)/2,8]

f.

Perhitungan: Persentase kandungan masing-masing maseral dihitung dengan persamaan berikut.

Kandungan (vol%) = [(cacah tiap maseral) / (jumlah cacah semua maseral)] x 100 4.2. Rasio Pantulan Rata-rata 4.2.1. Pengukuran RasioPantulan

Dengan mikroskop yang sama seperti yang digunakan pada analisis struktur (analisis petrografi), dipasang alat pengukur pantulan tipe tabung fotoelektrik, dan cahaya dilewatkan filter polarisasi terlebih dahulu sebelum menerangi sampel. Pantulan cahaya dari permukaan filter, setelah melewati filter akan berupa cahaya monokrom (umumnya dengan panjang gelombang = 5465nm). Setelah diarahkan ke tabung fotoelektrik, tegangan listrik yang terjadi lalu dibaca dari alat pencatat. Yang perlu diingat adalah bahwa diameter bidang pengamatan saat melakukan pengukuran diatur mewakili jarak 20m. Pengukuran biasanya dilakukan dalam kondisi tercelup minyak (oil immersion). Rasio pantulan (reflectance) ditentukan dengan membandingkannya terhadap material standard (kaca standard). Kaca standard diletakkan di bawah mikroskop, lalu fokusnya diatur. Setelah listrik untuk masing-masing peralatan dinyalakan, tunggu sampai jarum pada alat pencatat menjadi stabil. Setelah stabil, catat nilai saat itu (VS1). Setelah itu, ganti kaca standard dengan sampel batubara. Dengan metode pencacahan, catat intensitas cahaya pantulan (VA) dari masingmasing vitrinite di permukaan gosok briket. Dengan cara ini, setelah melakukan pengukuran terhadap kira-kira 25 titik, sampel batubara diganti lagi dengan kaca standard. Catat nilai VS2 saat itu. Tingkat pantulan dihitung dari persamaan berikut. 4.2.2. R0 (%) = rasio pantulan kaca standard (RS) (VA rata-rata)/(VS1-S2 rata-rata) Tampilan Hasil Analisis Hasil analisis maseral maupun pengukuran rasio pantulan dilaporkan dengan mengisi tabel seperti yang tercantum di bawah ini. Tabel Analisis Maseral Brand Reactive Entities Vitrinoid Types Type 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Vitrinoids 1/3S.Fus Resiboids Exinnoids %

Total Reactives Inert Entities 2/3S.Fus Micrinoids Fusinoids Min. Matter Sclerotinits Weathered

Total Inerts Mean Refl Strength Index Comp, Bal. Index Calcul. Strength

4.3. Uji Muai 4.3.1. Metode Uji Muai metode Button Sebagai salah satu metode untuk menilai sifat caking batubara secara mudah, di Jepang digunakan apa yang disebut Button Number (BN). Button number disebut juga dengan free swelling index (FSI), crucible swelling number (CSN), atau crucible button index (CBI). Di dalam ISO maupun ASTM, standard yang hampir sama juga diberlakukan. Metode ini termasuk mudah, dan merupakan satu hal penting dalam menyatakan sifat caking suatu batubara. Seperti diketahui, sifat caking merupakan suatu parameter yang dipakai dalam metode klasifikasi batubara internasional. Metode pengukuran dilakukan melalui prosedur sebagai berikut. Pertama-tama, sampel yang telah dikeringkan di udara terbuka (air dried) diambil seberat 1g, lalu dimasukkan ke dalam krusibel. Krusibel bersama sampel kemudian dipanaskan dengan gas atau tungku listrik, sehingga dalam 1 menit 30 detik temperatur mencapai 80010C, dan setelah 2 menit 30 detik temperatur mencapai 8205C. Setelah dingin, coke button yang terbentuk lalu dibandingkan dengan profil standard, dan dijadikan indeks Button. Profil standard merupakan angka dari 1 sampai 9, dengan inkremen (kenaikan) sebesar 1/2. Semakin tinggi angkanya, semakin kuat sifat caking yang dimiliki. Penentuan tingkat caking berdasarkan button index adalah sebagai berikut: 9 6,5 6 4,5 4 2,5 caking kuat caking sedang caking lemah

21 tidak bersifat caking 4.3.2. Uji Muai metode Dilatometer Pada metode ini, serbuk batubara dimasukkan ke dalam suatu wadah dengan bentuk tertentu, lalu dipadatkan. Setelah itu, padatan serbuk batubara tersebut dimasukkan ke dalam tungku dan dipanaskan. Perubahan bentuk yang terjadi akibat pemanasan ini, kemudian diamati. Dalam klasifikasi batubara internasional, metode ini dipakai untuk menentukan sifat pengkokasan. Setelah diangin-anginkan dan kering, sampel yang telah digerus hingga berukuran kurang dari 0,150 mm diambil sebanyak 10 gram, lalu dicampur air sebanyak 1 ml. Dengan menggunakan alat (wadah), sampel dibentuk sesuai ukuran yang ditetapkan (diameter minimum 6mm, berbentuk tongkat sepanjang 60 mm dengan 1/50 bagian berupa taper), lalu dipadatkan dengan memberikan tekanan. Di atas sampel diletakkan piston langsing-panjang (berat 150 gram) yang memiliki pen di bagian ujungnya. Temperatur tungku listrik dinaikkan dengan kecepatan 3C/menit, dan setelah mencapai 300C, retort dimasukkan ke dalam tungku. Kondisi penyusutan dan pemuaian sampel secara otomatis dicatat oleh alat pencatat berdasarkan gerakan naik-turun piston, dan bersamaan dengan itu, dilakukan pencatatan terhadap temperatur.

Temperatur pelunakan (softening temperature), T1 (C) Temperatur susut maksimum (maximum contraction temperature), T2 (C) Temperatur muai maksimum (maximum dilatation temperature), T3 (C) Rasio susut maksimum (maximum contraction), a (%) Rasio muai maksimum (maximum dilatation), b (%) Rasio muai total (total dilatation), a+b (%) Rasio muai total sebanyak 50~200% dianggap standard. Bila terlalu tinggi, maka akan menyebabkan retakan (crack), sehingga

kekuatan kokas menurun. Angka minus berarti tidak bagus sama sekali. 4.4. Uji Fluiditas Bila batubara kokas (caking coal) dipanaskan, maka pada temperatur sekitar 400C akan mulai melunak. Bila temperatur pemanasan terus naik, batubara kokas akan meleleh mengeluarkan gas dan tar. Bila temperatur naik menjadi sekitar 500C, maka lelehan plastis tadi akan kembali mengeras membentuk kokas. Karakteristik pelunakan dan pelelehan hingga menjadi bentuk yang plastis, berbeda untuk tiaptiap batubara. Untuk menerangkan keadaan seperti di atas, digunakan istilah fluiditas. Untuk mengetahui tingkat fluiditas batubara, di Jepang biasanya digunakan uji Gieseler Plastometer. ASTM juga memakai uji tersebut. Pada uji Gieseler plastometer, sampel digerus hingga berukuran di bawah 425m, lalu dikeringkan di udara terbuka. Setelah itu, 4,5g sampel dimasukkan ke dalam krusibel dengan menggunakan batang pengaduk, lalu dipasang pada sebuah dudukan. Kemudian, sampel dipadatkan dengan cara meletakkan pemberat 10 kg di atasnya dan ditekan selama 15 menit. Sebagai alternatif, pemadatan dapat dilakukan dengan memberikan pemberat statis seberat 9 kg, kemudian ke atasnya dijatuhkan pemberat 1 kg dari ketinggian 11,4 cm sebanyak 3 kali. Sampel kemudian dipasang di dalam metal bath, yang sebelumnya telah dipanaskan terlebih dahulu. Pemanasan sampel dilakukan dengan

kecepatan 30,1C/menit, dan tiap 1 menit penunjukan temperatur serta jarum dial gauge dibaca. Pengukuran dilakukan sampai jarum penunjuk berhenti berputar. Hasil pengukuran akan menampilkan data sebagai berikut:

Temperatur pelunakan (softening temperature) [C], yaitu temperatur saat jarum penunjuk mencapai 1,0 DDPM (dial division per minute). Temperatur fluiditas maksimum (maximum fluidity temperature) [C], yaitu temperatur saat jarum penunjuk mencapai angka maksimum. Temperatur pengerasan kembali (resolidification temperature) [C], yaitu saat jarum penunjuk berhenti. Rentang fluiditas (fluidity range) [C], yaitu selisih antara temperatur pelunakan dan temperatur resolidifikasi. Fluiditas maksimum (maximum fluidity) DDPM, yaitu tingkat fluiditas saat jarum penunjuk mencapai angka maksimum. Bila nilai fluiditas maksimumnya tinggi, maka dikatakan bahwa fluiditasnya bagus; dan bila nilai fluiditas maksimumnya rendah,

berarti fluiditasnya jelek. Secara umum, bila kandungan zat terbang (volatile matter)-nya tinggi, maka fluiditasnya juga semakin baik. Pada kandungan zat terbang sekitar 40%, diperoleh fluiditas yang paling baik. Melewati angka tersebut, fluiditas kembali turun secara drastis. Fluiditas batubara kokas dalam negeri (Jepang): Tingkat fluiditas yang tinggi serta rentang fluiditas yang lebar terutama ditunjukkan oleh batubara Mike. Selain itu, batubara Yubari serta Nishi Kyushu juga termasuk bagus. Di bawahnya, terdapat batubara Sorachi yang memiliki tingkat fluiditas yang lebih rendah serta rentang yang lebih sempit. Fluiditas batubara impor: L American coal, Canadian coal, Australian strong-caking coal, dan Australian weak-caking coal menunjukkan fluiditas yang rendah, sedangkan M American coal, Australian medium-volatile coal, Kailan coal, dan Poland coal termasuk batubara yang memiliki fluiditas cukup baik. 4.5. Uji Kuat Kokas 4.5.1. Metode Small-Retort Sampel dalam jumlah yang cukup banyak dikarbonisasi, lalu kokas yang terbentuk diuji kekuatannya untuk melihat sifat pengkokasan yang terjadi. Pada standard JIS, diatur tentang metode karbonisasi sampel seberat 1,5 kg. Pertama-tama, sampel sebanyak 1,5 kg dicampur air sebanyak 180 ml (12%), kemudian diaduk sampai merata. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam retort dan permukaannya diratakan. Diatasnya kemudian diletakkan papan asbes setebal 3~4 mm, dan ditindih lagi dengan pemberat 50,5 kg. Retort kemudian dimasukkan ke dalam tungku listrik yang sebelumnya telah dipanaskan terlebih dahulu. Proses pemanasan berlangsung selama 2 jam pada temperatur 70010C. Setelah 2 jam, tegangan dinaikkan hingga temperatur mencapai 105010C dalam waktu 90~100 menit. Setelah temperatur yang ditentukan tercapai, aliran listrik dimatikan. Retort kemudian dikeluarkan dan didinginkan pada suhu kamar. Setelah itu, kokas dikeluarkan, dan semua bongkahan berukuran 15 mm atau lebih digunakan sebagai sampel untuk uji kekuatan. Hasil 3 kali pengujian lalu dirata-rata hingga satu angka desimal, dan digunakan sebagai indeks kekuatan retort-kecil (Small-Retort Strength Index). 4.5.2. Metode Pembakaran Kaleng (Can-Firing) Pada metode ini, batubara sampel dimasukkan ke dalam kaleng (can) minyak dan sebagainya, lalu dikarbonisasi di dalam tungku (furnace) bersamaan dengan kegiatan operasi sehari-hari. Kokas sampel yang terjadi dianggap sebagaimana layaknya kokas yang dihasilkan bersama-sama dari tungku. Kokas sampel tersebut lalu diuji untuk melihat sifat pengkokasannya. Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama-tama, ambil gross sample sebanyak 100 kg atau lebih, lalu diremuk hingga ukuran 10 mm atau kurang. Sampel yang telah diperkecil ukurannya tersebut lalu diaduk merata, dan direduksi hingga menjadi kurang lebih 41 kg (berat kering). Kemudian sampel dicampur air secukupnya sehingga kandungan air totalnya menjadi sekitar 10%, lalu diaduk merata. Setelah itu sampel dibagi menjadi 3 bagian, dan masing-masing dimasukkan secara hati-hati ke dalam kaleng isi 18 liter. Kaleng lalu dijatuhkan 1 kali dari ketinggian 300 mm, kemudian ditutup. Di permukaan samping kaleng, dibuat lubang secukupnya agar gas yang nanti terbentuk dapat lewat dengan mudah. Selain itu, kaleng diikat dengan kawat agar nanti pada saat mengeluarkan dari tempat pembakaran, kaleng tidak terguling. Sebelum menambahkan batubara ke dalam tungku karbonisasi, 3 buah kaleng sampel dimasukkan berjajar terlebih dahulu ke bagian dasar tungku yang memiliki temperatur merata. (pada tungku pengkokasan, kaleng dimasukkan dengan mesin pendorong kira-kira 1,5m ke arah dalam di dasar tungku). Setelah proses karbonisasi selesai, dan api sudah mati, kokas dikeluarkan. Dari dalam tumpukan kokas yang terjadi, kaleng diambil lalu dibuka, dan kokas yang ada di dalamnya dikeluarkan. Kokas dari dalam kaleng tersebut, lalu dipakai sebagai sampel untuk uji kekuatan dan uji kualitas lainnya. Uji kekuatan dilakukan dengan mengacu pada standard JIS K 2151 poin 5 (uji jatuh/ drop shatter test) atau poin 6 (uji putar-jatuh/ tumbler test). Pengujian dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali, lalu diambil nilai rata-rata. Untuk uji kekuatan, nilai rata-rata diambil hingga 1 angka desimal dan dinyatakan sebagai indeks kekuatan kokas pada can-firing. Untuk uji kualitas yang lain, pelaporan hasil dan sebagainya dilakukan berdasarkan standard JIS yang telah ditentukan. 5. Kualitas dan Pemanfaatan Batubara 5.1. Proses Pemanfaatan Batubara dan Pokok-pokok Penilaian Kualitas 5.1.1. Tingkat Pembakaran (Combustibility) Bila batubara dimasukkan ke dalam tungku bertemperatur tinggi, maka batubara akan menyala dan terbakar. Dalam proses itu, akan dilepaskan kalor pembakaran. Boiler merupakan suatu alat yang berfungsi untuk menyerap kalor pembakaran dan mengubah air menjadi uap air yang memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi. Karena itu, batubara di dalam tungku idealnya harus dapat terbakar habis. Persentase batubara yang dapat terbakar di dalam tungku disebut dengan rasio dapat-terbakar (combustible ratio), sedangkan persentase yang tertinggal

disebut rasio tak-terbakar (incombustible ratio). Zat yang tak terbakar umumnya berupa kandungan abu dalam batubara, serta zat tak terbakar lain dengan kandungan utama berupa karbon. Bagian tak terbakar dalam kandungan abu disebut dengan incombustible ash. 5.1.2 Faktor Dampak Lingkungan Di dalam batubara, terdapat kandungan nitrogen dan belerang yang akan teroksidasi menjadi oksida nitrogen (NOx) dan belerang dioksida (SO2) akibat proses pembakaran. Gas-gas ini akan terlepas keluar dari dalam tungku pembakaran ke udara bebas, dan dianggap sebagai penyebab terjadinya kabut-asap fotokimia (photocemical smog) dan hujan asam (acid rain). Karena itu, jumlah pelepasan yang diperbolehkan diatur dalam peraturan perundangan yang berskala nasional, perfektur, kota, atau bahkan pedesaan, tergantung kepada kondisinya (=di Jepang). Selain itu, abu maupun kandungan tak terbakar berupa debu arang yang dilepas dari tungku juga diatur dengan cara yang sama. Dengan adanya hal ini, dan sebagai upaya untuk memenuhi aturan hukum, sebagian besar boiler dilengkapi dengan alat pengolah gas buangan untuk menangani NOx, SOx, dan debu arang yang timbul. Akan tetapi, seberapa pun bagusnya alat pengolah gas buangan yang ada, pasti tak akan bisa menekan/menghilangkan semua polutan. Karena itu, faktor kualitas batubara tetap ikut menentukan. 5.1.3. Pelekatan Abu Abu di dalam batubara, terdiri dari mineral-mineral dengan unsur utama berupa silika atau aluminium. Bila dipanaskan dalam temperatur tinggi, abu ini akan meleleh. Biasanya, temperatur leleh abu berkisar antara 1100~1500C, dan berpengaruh sangat besar terhadap kualitas batubara. Untuk tungku yang menggunakan serbuk halus batubara sebagai bahan bakarnya, temperatur gas pembakaran dapat mencapai 1600C. Karena itu, bila batubara yang digunakan memiliki titik leleh abu yang rendah, maka abu akan meleleh di dalam tungku dan melekat di daerah sekitar burner atau pada pipa penghantar panas yang sebenarnya berfungsi untuk menyerap panas di dalam tungku. Fenomena ini disebut juga dengan slagging. Adanya lekatan abu, tentu akan mengganggu kestabilan pengoperasian peralatan. Agar pengoperasian tungku dapat dilakukan dengan stabil, dan panas yang dihasilkan tungku dapat diserap secara efektif, maka harus diupayakan agar abu yang melekat hanya sedikit. 5.1.4. Pengumpulan Debu secara Elektrik Bila abu dengan kandungan zat tak-terbakar dilepaskan dari tungku begitu saja, besar kemungkinan akan tersandung oleh peraturan yang mengatur konsentrasi pelepasan debu maksimum. Karena itu, debu-arang yang timbul harus diambil terlebih dahulu sebelum dilepaskan, agar tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Secara umum, peralatan pengambil debu dapat dibagi menjadi Bag Filter yang menggunakan kain penyaring (filter cloth), dan Electric Dust-Collector yang bekerja dengan memberikan muatan listrik kepada partikel abu. Pada sistem electric dust-collector, kemampuan partikel untuk menerima muatan listrik sangat menentukan efisiensi pengumpulan debu. Kemampuan partikel untuk menerima muatan listrik, ditentukan oleh perbandingan senyawa yang ada di dalam abu. Karena itu, kemudahan pengumpulan abu untuk tiap batubara akan berbeda. 5.1.5. Penanganan Abu Di Jepang, abu yang timbul sebagai akibat proses pemanfaatan batubara ditangani dengan cara ditimbun atau dimanfaatkan kembali secara efektif sebagai bahan baku semen, material bangunan, atau material konstruksi sipil. Karena biaya yang dikeluarkan untuk menangani abu juga tidak sedikit, maka kandungan abu di dalam batubara merupakan faktor penting yang menentukan besar-kecilnya biaya operasi. Selain itu, karena pemanfaatan abu juga bergantung kepada ukuran butir abu, komposisi abu, dan jumlah kandungan zat tak-terbakar dari abu, maka faktor kualitas batubara kembali menjadi sangat penting. Untuk menimbun abu, terdapat peraturan menyangkut nilai batas kandungan logam mikro seperti timbal, air raksa (merkuri), krom 6+ dan sebagainya, sehingga hal-hal tersebut menjadi pokok penilaian yang penting. 5.1.6. Handling Ukuran butir maksimum untuk batubara boiler yang dipakai pada pembangkit listrik di Jepang, biasanya bernilai 50 mm atau kurang, dengan kandungan butir halus di pelabuhan bongkar tak lebih dari 30%. Permasalahan handling berupa penyumbatan yang sering dihadapi di coal bunker, coal feeder dan sebagainya, terutama diakibatkan oleh kandungan air ikat (moisture) dan ukuran butir. Selain itu, hal tersebut juga akan mengakibatkan penurunan performa dari mesin penggerus (mill). Secara umum, kandungan air ikat adalah sekitar 7-10%, dan semakin kecil ukuran butirnya akan semakin mudah menyebabkan penyumbatan. Sebaliknya, bila kandungan air ikat ini sangat besar, justru akan menyebabkan terjadinya aliran atau bahkan semburan. Bila kandungan air ikat sedikit, debu (partikel halus) batubara akan beterbangan. Karena itu, walaupun dalam kontrak jual beli dicantumkan nilai kandungan air, biasanya orang akan lebih suka kandungan air yang lebih besar daripada yang kurang, dengan tujuan untuk menghindari hamburan debu batubara. Adakalanya kelebihan kandungan air ini diatur dan disesuaikan sedemikian rupa melalui perhitungan. Ukuran butir maksimum untuk batubara kokas adalah 50 mm (2 inch) atau 38 mm (1,5 inch). Selama tidak ada masalah dari segi handling, persentase kandungan butir halus biasanya tidak diatur secara ketat. 5.2. Proses Pemanfaatan Besar-kecilnya faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, seperti tingkat pembakaran (combustibility), masalah lingkungan, melekatnya abu dan lain-lain, masih tergantung pula kepada proses pembakaran yang digunakan. Di Jepang, boiler untuk pembakaran dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu: boiler pembakaran batubara halus (pulverized fuel burning boiler), boiler unggun terfluida (fluidized bed boiler), dan boiler pembakaran Stoker. Dari ketiga tipe di atas, boiler pembakaran batubara halus adalah yang paling banyak dipakai. Berikut ini akan

dijelaskan sedikit tentang proses yang berlangsung pada tipe pembakaran batubara halus (pulverized coal firing) dan tipe pembakaran unggun terfluida (fluidized bed firing). 5.2.1. Pulverized Coal Firing Pada boiler pembakaran batubara halus, batubara terlebih dahulu digerus dengan mill hingga berukuran kurang dari 200m. Setelah itu,

batubara halus bersama dengan udara dimasukkan ke dalam tungku melalui burner. Akibat adanya temperatur yang tinggi di dalam tungku, maka partikel akan panas dan menyala sambil terbang bersama aliran udara ke arah aliran belakang. Dalam kondisi seperti itu, temperatur gas dapat mencapai 1600C. Panas yang terjadi akibat proses pembakaran lalu diserap melalui pipa air (pipa pendingin) dan juga bagian penghantar panas konveksi dari pipa penghantar panas yang dipasang di aliran belakang. Untuk NOx, jumlah yang dihasilkan di dalam tungku dapat dikurangi dengan cara pembakaran 2 tingkat (two-step firing). Setelah itu, NOx dan SOx diproses melalui fasilitas penanganan asap buangan yang ada di aliran belakang. Untuk debu-arang, diambil dengan electric dust collector. 5.2.2. Fluidized Bed Firing Pada pembakaran fluidized bed, biasanya batubara digerus kasar berukuran kurang dari 10mm terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam tungku. Di dalam tungku, terbentuk lapisan (bed) yang tersusun dari pasir, abu, batu kapur (limestone), dan sebagainya. Ke dalam lapisan ini batubara bersama udara pembakaran dikirim masuk dan dibakar. Panas pembakaran lalu diserap oleh pipa penghantar panas atau oleh bagian penghantar panas konveksi yang dipasang di dalam bed. Keunikan utama dari sistem pembakaran ini adalah terjadinya proses desulfurisasi di dalam tungku. Proses desulfurisasi dilakukan dengan memasukkan batu kapur ke dalam tungku, lalu kandungan S (belerang) diambil dalam bentuk senyawa CaSO4. Temperatur yang paling sesuai bagi terjadinya reaksi tersebut adalah sekitar 850C. Karena itu, temperatur di dalam tungku dijaga agar berada pada suhu tersebut. Selain itu, karena suhu pembakaran lebih rendah dibandingkan dengan tipe pulverized-coal firing, maka NOx yang dihasilkan juga relatif lebih sedikit. Untuk menangani debu-arang, biasanya digunakan bag filter. Fluidized bed dapat dibagi menjadi 2 jenis. Yang pertama adalah bubbling-type fluidized bed, dimana kecepatan aliran udara tidak terlalu tinggi, sedangkan yang kedua adalah circulating fluidized bed, dimana kecepatan aliran udara cukup tinggi dan partikel berputar-putar di dalam tungku. Di Jepang, terdapat kurang lebih 70 unit fluidized bed boiler yang beroperasi. 6. Penilaian terhadap Kualitas Batubara Untuk batubara yang dipakai di Jepang, karena tiap proses pemanfaatan batubara menuntut adanya batasan-batasan kualitas tertentu, maka penilaian dan evaluasi kualitas menjadi sangat penting. Selain itu, dalam upaya untuk mengurangi biaya bahan bakar (fuel cost) dengan memperbanyak pemanfaatan batubara, maka pemakaian pulverized coal firing boiler dan fluidized bed boiler tipe baru terus digalakkan di Jepang. Dengan upaya tersebut, hambatan yang dulu banyak ditemui dalam pemanfaatan batubara kini telah banyak berkurang. Di sisi lain, peraturan hukum yang baru menyangkut masalah lingkungan sehubungan dengan proses pemanfaatan batubara juga tengah dirancang. Rancangan peraturan baru yang lebih ketat tersebut, menghendaki adanya penurunan jumlah NOx dan SOx yang dilepas ke udara, serta peraturan-peraturan baru mengenai unsur logam mikro berbahaya (hazardous trace metals) dan lain-lain. Dengan demikian, tuntutan kualitas diperkirakan juga akan berubah di masa mendatang. Pengembangan Teknik Baru Penilaian Kualitas Batubara bisa memiliki karakteristik yang jauh berbeda tergantung kepada lokasi penghasil, brand name, serta metode dan proses preparasi yang dilakukan. Selain itu, tidak seperti minyak atau gas, batubara adalah produk berbentuk padatan yang sebenarnya belum merupakan produk yang benar-benar jadi, sehingga pengaturan kualitas dengan cara blending dan sebagainya masih dimungkinkan, walaupun hanya sampai batas-batas tertentu. Karena itu, teknik penilaian kualitas batubara menempati posisi yang sangat penting. Akan tetapi, penilaian kualitas berdasarkan analisis sesuai metode JIS yang ada sekarang, memiliki beberapa kelemahan: 1. Kondisi pengujian tidak mencerminkan kondisi proses pemanfaatan batubara yang sebenarnya. Batubara dianggap sebagai zat yang seragam (uniform), walaupun pada kenyataannya batubara merupakan suatu kumpulan unsur padatan dengan sifat zat, komposisi, maupun struktur kimia yang berbeda. Dengan kelemahan-kelemahan seperti di atas, keakuratan hasil analisis yang dilakukan sebenarnya tidak bisa disebut mencukupi. Untuk mengatasi persoalan tersebut, saat ini tengah dirancang dan dikembangkan suatu acuan penilaian yang lebih mencerminkan kondisi proses pemanfaatan batubara. Salah satu poin penting yang berhubungan dengan faktor lingkungan adalah terjadinya NOx, dimana penilaian biasanya dilakukan hanya dengan melihat banyak-sedikitnya kandungan nitrogen di dalam batubara. Akan tetapi, menilai hal tersebut hanya dari jumlah kandungan nitrogen saja tidak memadai, karena penentuan perilaku pelepasan senyawa nitrogen pada proses penguraian panas (pirolisis) yang menjadi faktor utama timbulnya Nox, dan penentuan sifat reaksi oksidasi-reduksinya sulit untuk dilakukan. Untuk itu, kandungan nitrogen dalam batubara dianalisis secara kuantitatif dalam bentuk senyawa yang terpisah, yaitu sebagai amine, pyridine, dan pyrrole. Untuk melakukan penilaian berdasarkan mekanisme pembentukan NOx, dikembangkan pula apa yang disebut NOx index. Pada sistem pembakaran batubara halus (pulverized coal firing), terdapat hubungan antara kandungan nitrogen dengan rasio pengubahan NOx (NOx conversion ratio) [=rasio perbandingan jumlah kandungan nitrogen dalam batubara yang berubah menjadi NOx], sehingga penilaian terhadap kemudahan terjadinya NOx tidak cukup hanya dari banyak-sedikitnya kandungan nitrogen saja.

2.

7. Kontrol Kualitas dalam Produksi Batubara yang sebenarnya 7.1. Penambangan (Kontrol Kualitas Batubara pada Perencanaan Pengembangan Tambang dan Perencanaan Penambangan) Perencanaan Pengembangan Tambang Dalam perencanaan pengembangan tambang batubara, kondisi lapisan batubara dapat diketahui melalui pengeboran eksplorasi. Selain itu, perlu dilakukan analisis kualitas terhadap inti (core) pengeboran, yang berguna pula dalam menentukan jumlah cadangan. Bila menjumpai lapisan batubara dengan ketebalan yang berubah-ubah secara drastis, kita pun perlu waspada terhadap perubahan kualitas yang mungkin timbul. Bila terdapat beberapa lapisan batubara yang memungkinkan untuk ditambang, kita perlu berpikir dengan hati-hati untuk menentukan urutan penambangannya, termasuk di dalamnya masalah perbedaan kualitas yang mungkin timbul. Bila hal tersebut tidak dipikirkan, sehingga keseragaman kualitas tidak dapat dijaga setelah penambangan dilakukan, maka kita dapat kehilangan pembeli, yang berarti juga kelangsungan perusahaan menjadi terancam. Perubahan kualitas biasanya terjadi pada area di sekeliling lapangan batubara (coal field). Perencanaan Penambangan Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan untuk tambang batubara dengan skala produksi yang kecil, mulai dilakukan upaya untuk memangkas biaya produksi, yang dilakukan dengan cara mengintensifkan panel penambangan yang ada. Untuk melakukan hal ini, tentunya perlu dipikirkan terlebih dahulu pengaruh perubahan kualitas yang terjadi pada satu panel penambangan terhadap kualitas batubara produk secara keseluruhan. Untuk tambang dalam, sering dijumpai kondisi seperti ini: Di sekitar suatu patahan/sesar (fault) yang besar, biasanya dijumpai patahanpatahan lain yang lebih kecil. Karena itu, untuk menjaga kestabilan produksi, diperlukan kemajuan heading yang cukup. Dengan melakukan channel sampling di lorong gate, kita dapat memprediksi kualitas batubara yang akan dihasilkan dari panel dan permukaan kerja tersebut. Tentu saja pada saat penggalian lorong gate, sampling batubara mentah juga dilakukan. Bila terdapat beberapa permukaan kerja, maka perlu dipikirkan perubahan prosentase perbandingan batubara yang ditambang dari masing-masing permukaan kerja. Bila terdapat kondisi khusus, misalnya kualitas yang menyimpang di bagian atap atau atap yang lunak, maka dilakukan perencanaan dengan selective mining (memasang penahan berupa roof-ply dan sebagainya). 7.2. Kontrol Kualitas pada Preparasi Batubara 7.2.1. Kontrol terhadap Batubara Mentah Dalam upaya menjaga kualitas batubara produk maupun keseragaman kualitas produk, dilakukan pencampuran terhadap batubara mentah. Sebagai alternatif cara ini, dapat pula batubara dari lokasi penambangan yang berbeda dipreparasi secara terpisah, lalu setelah menjadi batubara produk, barulah dilakukan pencampuran (blending). Cara manapun yang hendak dipakai, pada prinsipnya apabila dihasilkan batubara mentah dari lokasi penambangan yang berbeda-beda kualitasnya, maka batubara mentah tersebut harus ditangani secara terpisah. Untuk tambang dalam, batubara mentah yang dihasilkan dari tiap sektor dapat dianggap sebagai 1 satuan, dan disediakan poket batubara untuk tiap satuan sebagai tempat pengumpulan dan penyimpanan. Selain itu, poket untuk tiap satuan juga didirikan di luar tambang setelah batubara diangkut keluar, atau di fasilitas penerimaan batubara di unit preparasi. Dalam pengangkutan batubara hasil penambangan, terutama saat pergantian pengangkutan pada belt conveyor jalur utama, maka adanya kemungkinan keterlambatan waktu perlu dipikirkan, dan bila perlu dibuatkan fasilitas cadangan yang siap berfungsi seandainya masalah benar-benar timbul. Batubara yang masuk ke unit preparasi batubara, bilamana perlu akan dicampur dengan perbandingan tertentu agar mendapatkan kualitas yang tepat. 7.2.2. Proses Pengolahan/ Pemisahan Pertama-tama, dilakukan proses sizing terhadap batubara mentah sehingga diperoleh ukuran butir yang sesuai untuk masing-masing mesin pengolah. Namun sebelum proses pengolahan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengambilan terhadap material asing yang ikut terbawa dalam tumpukan batubara mentah. Hal ini terutama berlaku untuk tambang dalam, dimana pecahan dan serpihan berbagai benda dengan bentuk tak teratur dapat terbawa masuk, sehingga perlu sikap positif dari tiap pekerja untuk melakukan hand picking manakala ditemukan material asing yang terbawa dalam tumpukan batubara. Selain itu, pecahan logam dari benda dan material yang dipakai dalam kegiatan penambangan juga dapat terbawa masuk, sehingga penyediaan fasilitas berupa magnet catcher juga diperlukan. Karena ada kemungkinan jumlah benda/material asing yang terbawa cukup banyak, maka akan lebih baik bila tindakan pengambilan material asing ini dilakukan berulang-ulang dengan membagi proses pemeriksaan menjadi beberapa tingkat. Akhir-akhir ini, permintaan akan batubara kerakal (bongkahan) hampir tidak ada, sehingga langsung diremuk/digerus. Bila banyak pengotor berupa batu berbentuk bongkahan, maka batu tersebut dapat diambil dengan bantuan mesin peremuk seperti rotary breaker (BFB) atau mesin pemisah media berat (heavy medium separator). Setelah diproses dengan mesin pemisah media berat, batubara bersih yang diperoleh kemudian diremuk dan dipergunakan dalam proses penyesuaian ukuran butir (size-adjustment). Proses pengolahan/ pemisahan batubara halus dilakukan dengan bantuan siklon media berat (heavy medium cyclone) atau jig dengan memanfaatkan perbedaan berat jenis. Jig melakukan proses pemisahan berat jenis secara kontinu dengan bantuan denyutan air. Untuk memisahkan lapisan partikel berberat jenis tinggi dan rendah, bagus tidaknya struktur alat pemisahan yang dimiliki akan langsung berpengaruh terhadap kualitas batubara bersih yang dihasilkan. Untuk mendeteksi ketinggian lapisan batu (bed), dilakukan dengan bantuan float atau tekanan air di ruang pemisahan jig.

Penelitian tentang penggunaan isotop radio dan sebagainya untuk keperluan sejenis telah dilakukan, akan tetapi masih ditemui hambatan di sana-sini. Yang banyak dipakai adalah float, namun secara struktur dapat menjadi terlalu besar tergantung kepada ukuran partikel yang diproses, sehingga posisi kesetimbangannya mudah bergeser. Untuk menghindari adanya ketidak stabilan ini, telah dibuat berbagai macam bentuk float dengan mempertimbangkan bentuk (kondisi) batubara mentah. Bila bentuk batubara berubah, misalnya menjadi bentuk serbuk, maka posisi stabil/kesetimbangan dari float akan ikut berubah, sehingga walaupun terbentuk pelapisan yang normal berdasarkan berat jenis, adakalanya float terdorong ke atas. Dengan semakin berkembangnya teknologi komputer dan juga kemudahan dalam melakukan berbagai macam analisis yang populer, maka pendeteksian terhadap kondisi abnormal juga semakin mudah. Jala-jala pada jig juga bukan hanya sekedar jaring (net) berlubang, akan tetapi bentuk lubangnya dibuat sedemikian rupa dengan bagian bawah melebar, sehingga dapat terjadi proses pemisahan yang mulus (smooth). Selain itu, bermacam-macam cara digunakan untuk mendukung proses pemisahan, misalnya saja dengan membuat lubang jala-jala secara miring, sehingga batu dapat bergerak lebih mudah. Di Jepang, biasanya setelah jig dioperasikan secara penuh selama seminggu, maka batuan yang menumpuk di atas jala-jala diambil, logam yang terkumpul juga diambil, dan lubang yang tersumbat dibersihkan. Dengan cara itu, performa proses pemisahan jig dapat dipertahankan. Pada siklon media berat, serbuk halus magnetit dicampur air menjadi cairan suspensi media berat yang digunakan dan di-resirkulasi dalam proses pemisahan. Karena siklon menggunakan gaya sentrifugal untuk melakukan pemisahan, dan bila seandainya ukuran partikel magnetit terlalu besar, maka perbedaan berat jenis di dalam siklon akan terlalu besar sehingga proses pemisahan menjadi tidak stabil. Secara ekstrim, pengeluaran produk yang berberat jenis tinggi (berat) akan tersendat-sendat. Kualitas produk batubara bersih, ditentukan pula oleh sistem peralatan pengambil serbuk halus magnetit yang melekat pada produk. Setelah batubara mentah diayak, yang harus dilakukan pertama kali adalah mengambil batubara mentah berukuran halus. Di sini, faktor yang berpengaruh adalah banyak-sedikitnya kandungan serbuk halus dalam air pencucian yang juga merupakan air resirkulasi (recirculating water) serta tinggi rendahnya efisiensi pengayakan. Karena faktor keausan pada badan siklon sangat berpengaruh terhadap performa proses pemisahan, maka badan siklon dibuat dari bahan yang tahan aus. Pada unit preparasi batubara yang ada sekarang ini, adakalanya hasil pengukuran kandungan abu batubara bersih yang dilakukan dengan alat pengukur yang dapat memberikan hasil secara cepat dan kontinu (ash monitor) dihubungkan dengan alat pengatur berat jenis dari cairan media berat, yang dimaksudkan untuk lebih meningkatkan perolehan (yield) dan pengontrolan kualitas. Akan tetapi, berdasarkan prinsip kerjanya, penggunaan ash monitor akan efektif apabila kondisi batubara bersih stabil. Karena itu, perlu dilakukan pengecekan setiap saat antara hasil pengukuran ash monitor dengan nilai pengukuran abu yang sebenarnya. Di tambang dalam, material asing yang tercampur ke dalam batubara mentah diambil dengan bantuan tenaga air melalui proses apungendap, pengayakan, trapping, dan sebagainya. Di dalam proses preparasi batubara, adakalanya ikut tercampur suatu benda yang dalam keadaan normal tak mungkin bisa terbawa masuk. Karena itu, ada baiknya sewaktu merencanakan unit preparasi batubara, mendengarkan pula nasihat dan pengalaman dari teknisi yang sangat berpengalaman di lapangan. 7.2.3. Kontrol terhadap Penyimpanan Batubara Produk Berdasarkan kenyataan bahwa batubara adalah suatu kumpulan dari mineral yang beragam, maka untuk mendapatkan kualitas batubara dan kualitas produk hasil yang seragam, perlu dilakukan pencampuran (blending) dengan metode yang tepat dan berulang-ulang. Bila hanya memindahkan tumpukan saja, hal ini tidak bisa disebut blending.Blending dilakukan melalui penumpukan (piling), yang biasanya diwakili oleh metode Windrow atau Chevron, ditambah proses loading dan pengulangan terhadap bagian tertentu. Akan tetapi, bila waktu penyimpanan menjadi terlalu lama, maka kondisi batubara akan menurun. Karena itu, perlu dicari titik temu antara tuntutan pembeli dengan kondisi batubara hasil blending. Di sisi lain, batubara dengan umur pembentukan yang relatif muda cenderung mudah teroksidasi dan penurunan kualitasnya tergolong cepat. Dengan memikirkan kondisi saat sampai ke tangan end-user (konsumen), maka perlu ditegakkan prinsip FIFO (first-in first-out). Karena kontrol kualitas batubara produk merupakan aktivitas penambangan itu sendiri, maka perencanaan penambangan merupakan faktor yang penting. Aktivitas kontrol kualitas yang dijalankan oleh tambang batubara yang ada di Jepang, akan diterangkan secara terpisah pada penjelasan tentang kondisi lapangan masing-masing tambang batubara.

Anda mungkin juga menyukai