Anda di halaman 1dari 31

1 I. PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Dalam pembangunan jangka panjang II, pembangunan sektor pertanian khususnya sub sektor peternakan terus digalakan melalui usaha intensifikasi, ektensifikasi dan diversifikasi ternak, yang didukung oleh usaha pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk maka permintaan akan protein hewani terutama daging, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, sedang dipihak lain peningkatan hasil produksi bergerak sangat lambat. Sub sektor peternakan sebagai bagian dari bidang ekonomi untuk saat sekarang ini diharapkan mampu tampil sejajar dengan sub sektor lain, agar dapat meningkatkan pendapatan peternak, mendorong diversifikasi pangan, memperbaiki mutu gizi masyarakat serta pengembangan ekspor, agar dapat mengangkat taraf perekonomian negara secara umum dan peternak secara khusus. Di Propinsi Sulawesi Tenggara, khususnya Kota Kendari perkembangan produksi ternak khususnya ternak ayam broiler enam tahun terakhir menunjukkan kecenderungan meningkat sebagai mana ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Perkembangan Produksi Ternak Ayam broiler enam tahun terakhir (1996 - 2001). Tahun Jumlah (kg) Pertumbuhan dari tahun ke tahun 1996 10.200 1997 15.750 54,41 % 1998 38.650 145,40 % 1999 42.515 10,00 % 2000 46.766 10,00 % 2001 115.412 146,79 % Sumber: Kota Kendari Dalam Angka. 2 Pada Tabel 1, nampak bahwa pada tahun 1996 2001 terjadi peningkatan produksi. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya kebutuhan dan kesadaran masyarakat akan makanan yang berprotein hewani seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat pula. Keberhasilan dalam usaha pertanian akan terwujud apabila diikuti oleh peran kelembagaan maupun petani yang mampu mengelolah usahataninya. Mosher (1991) menyatakan bahwa dalam rangka pembangunan pertanian dalam segala kegiatan sebaiknya diarahkan kepada perubahan perilaku petani, mengubah proses-proses pertanian, dan mengubah corak dari masing-masing usahataninya. Untuk mengubah hal tersebut pembinaan petani harus secara terprogram dan berkesinambungan sesuai dengan kondisi dan situasi wilayah bersangkutan, melalui pembinaan petani diharapkan dapat timbul kepemimpinan non formal di pedesaan yang akan mampu menghimpun, menggerakkan, dan mengarahkan petani dalam melaksanakan usahataninya. Dalam pembinaan petani diperlukan sarana dan prasarana untuk penyaluran informasi pertanian, pemilikan bahan-bahan informasi harus selektif dan disesuaikan dengan kebutuhan sasaran atau pengguna. Setiap jenis media penyuluhan pertanian mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga harus selalu dipertimbangkan dalam pemilikan media yang akan digunakan. Salah satu media penyuluhan pertanian adalah media cetak brosur dimana media ini berperan sebagai sumber informasi, diharapkan mampu mempengaruhi pengetahuan, sikap, motivasi petani, dalam proses adopsi dan difusi inovasi pertanian, karena memiliki keunggulan yaitu selain bentuknya ringkas, sasaran dapat 3 memilih suasana dan saat yang tepat untuk membacanya, memilih metode dan kecepatan pesannya, dapat dibaca secara berulang-ulang, bisa disimpan sehingga dapat dibaca kembali bila dibutuhkan, dapat menjangkau sasaran dalam jumlah relatif banyak pada kondisi dan posisi yang menyebar (Kushartanti, 2001). Oleh karena itu, media cetak dinilai efektif apabila isi pesan tersebut dapat dipahami dan dimengerti oleh sasaran, dapat menambah pengetahuan, sikap dan perilaku serta isi pesan dari media bermanfaat untuk mendukung kegiatan pokok sasaran yaitu sebagai sumber inovasi pertanian. Inovasi yang dibutuhkan oleh petani adalah inovasi yang sesuai

dengan kebutuhan mereka, dan sifatnya cepat. Hal ini didukung oleh pendapat Astrid, (1973) yang menyatakan bahwa petani akan menerima inovasi pertanian, jika ia memperoleh harapan dan manfaat serta saluran-saluran komunikasi yang dipergunakan dianggap paling menguntungkan dirinya maupun kelompoknya. Jadi suatu pesan yang diusulkan oleh komunikator akan dapat diterima oleh petani jika petani menganggap ada harapan dan manfaat yang diperoleh. Inovasi baru yang merupakan hasil penelitian suatu instansi/lembaga penelitian bisa sampai kepada sasaran atau petani maka perlu adanya suatu proses alih informasi pertanian yaitu melalui media cetak brosur, sedangkan kecepatan adopsi inovasi pertanian dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor lain. Hal ini sesuai pendapat Rogers dan Shoemaker (1971) bahwa keputusan menolak atau menerima inovasi teknologi oleh para petani ditentukan oleh faktor-faktor sosial dan ekonomi petani itu sendiri. 4 Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu kota yang mampu memenuhi kebutuhan permintaan daging ayam dalam wilayahnya karena keadaan sosio-agroklimat sangat mendukung untuk pengembangan usaha ternak ayam broiler. Ada beberapa media penyuluhan pertanian diantaranya surat kabar, majalah pertanian, pamplet, leaflet, folder, poster, plakat dan salah satunya adalah brosur, dimana melalui media cetak ini merupakan media informasi pertanian yang efektif dan banyak digunakan saat ini dengan biaya yang relatif murah. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dipandang perlu untuk mengadakan penelitian tentang Pengaruh Media Cetak Brosur Dalam Proses Adopsi dan Difusi Inovasi Beternak Ayam Broiler di Kota Kendari. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh media cetak brosur terhadap faktor internal peternak (pengetahuan, motivasi kerja dan sikap peternak) dalam proses adopsi inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari ? 2. Seberapa besar tingkat adopsi peternak terhadap inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari? 3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi adopsi peternak terhadap inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari? 5 4. Apakah ada hubungan antara tingkat adopsi inovasi oleh peternak dengan tingkat difusi inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh media cetak brosur terhadap faktor internal peternak (pengetahuan, motivasi kerja dan sikap peternak) dalam proses adopsi inovasi beternak ayam broiler. 2. Mengetahui besarnya tingkat adopsi peternak terhadap inovasi beternak ayam broiler. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi peternak terhadap inovasi beternak ayam broiler. 4. Mengetahui hubungan antara tingkat adopsi inovasi oleh peternak dengan tingkat difusi inovasi beternak ayam broiler. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat berguna: 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi Lembaga Penyuluhan Pertanian/instansi penelitian dan pengambil kebijakan di sektor pertanian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam pengembangan inovasi beternak ayam broiler. 2. Bagi instansi yang berwewenang dan terkait, hasil penelitian ini diharapkan sebagai penyempurnaan pola pengembangan adopsi dan difusi inovasi pertanian dalam rangka menemukan alternatif mekanisme penyebaran informasi pertanian yang lebih efektif dan efesien. 6

Selain itu diharapkan pula sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang berhubungan dengan masalah pengaruh media cetak brosur dalam proses adopsi dan difusi inovasi beternak ayam broiler. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani Penulis : Akhmad Musyafak dan Tatang M. Ibrahim Untuk mempercepat proses adopsi dan difusi inovasi pertanian dalam kegiatan PRIMA TANI, harus dilakukan beberapa strategi, yaitu: 1. memilih inovasi pertanian yang tepat guna (good innovation) Dalam proses adopsi dan difusi, inovasi adalah produk yang akan disampaikan ke petani (konsumen). Agar konsumen (petani) berminat menggunakan produk tersebut, maka produk tersebut harus tepat guna bagi konsumen (petani). Adapun strategi untuk memilih inovasi yang tepat guna adalah seperti yang sudah diuraikan di atas. memilih metode penyuluhan yang efektif (good extension method) Produk yang bagus, kalau cara/metode menjualnya tidak tepat akan menghambat adopsi. Sehingga langkah selanjutnya adalah memilih suatu metode penyuluhan yang tepat. Strategi memilih metode penyuluhan yang tepat harus mempertimbangkan dua hal, yaitu isi pesan yang akan disampaikan (bersifat umum atau khusus) dan target sasaran yang akan dituju (untuk kalangan terbatas atau umum). memberdayakan agen penyuluhan secara optimal (good extension agent) Tahapan berikutnya adalah memilih petugas penyuluh dan memberdaya-kan peran penyuluh seoptimal mungkin. Penyuluh selaku agen pembawa inovasi mempunyai misi yang cukup berat yaitu melakukan perubahan mental, sikap, dan perilaku petani agar dapat mengadopsi inovasi untuk peningkatan kesejahteraan dirinya dan jika memungkinkan perubahan bagi petani lain. Tugas yang berat tersebut membutuhkan agen penyuluh yang mempunyai motivasi dan dedikasi tinggi, tidak mudah menyerah, rela berkorban, dan berempati terhadap nasib petani. Keberhasilan adopsi dan difusi inovasi tidak hanya dipengaruhi oleh ketiga hal tersebut. Ada faktor lain yang secara signifikan ikut berpengaruh dan relatif lebih sulit untuk dilakukan intervensi, yaitu (a) faktor lingkungan perekonomian (jaminan pemasaran, harga produk, harga input, biaya transportasi, dan lain-lain), dan (b) faktor internal petani seperti umur, pendidikan, sikap terhadap risiko, sikap terhadap perubahan, pola hubungan petani dengan lingkungannya, motivasi berkarya, diagtotisme, dan karakteristik psikologi.

2.

3.

Arsip untuk PENYULUHAN PERTANIAN HUBUNGAN ANTARA PERAN PENYULUH DENGAN PARTISIPASI PETANI DALAM PROYEK SISTEM USAHATANI AGRIBISNIS PADI BERBASIS PHT MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DESA MENDAK KECAMATAN DELANGGU KABUPATEN KLATEN April 21, 2010 Disimpan dalam PENYULUHAN PERTANIAN Tagged agribisnis, padi, partisipasi petani, pengelolaan hama terpadu, peran penyuluh, pertanian berkelanjutan Pembangunan pertanian merupakan prioritas pembangunan dalam rangka menunjang perekonomian masyarakat, meskipun demikian permasalahan di bidang ini pun makin bertambah. Sehingga perlu dimunculkan berbagai macam solusi diantaranya dikembangkan proyek yang berbasis pada Pengelolaan Hama Terpadu. Agar pelaksanaan proyek pertanian dapat berjalan lancar maka diperlukan peran dari penyuluh pertanian maupun partisipasi dari petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran penyuluh pertanian dan partisipasi petani dalam proyek Sistem Usahatani Agribisnis Padi Berbasis PHT menuju Pertanian Berkelanjutan, serta menganalisis hubungan peran penyuluh dengan partisipasi petani dalam proyek Sistem Usahatani Agribisnis Padi Berbasis PHT menuju Pertanian Berkelanjutan.

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT DIFUSI INOVASI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI KECAMATAN POLOKARTO KABUPATEN SUKOHARJO April 13, 2010 Disimpan dalam PENYULUHAN PERTANIAN Tagged difusi inovasi, faktor-faktor sosial ekonomi, landasan teori, sistem pengelolaan tanaman terpadu, tinjauan pustaka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1.Difusi inovasi Difusi dapat diartikan sebagai suatu proses di mana suatu ide-ide baru (yang biasanya disebut sebagai inovasi) disebarkan pada individu atau kelompok dalam suatu sistem sosial tertentu. Dengan demikian sebelum seseorang melakukan suatu adopsi, maka proses difusi berjalan lebih dahulu; dengan kata lain cepat tidaknya adopsi inovasi banyak dipengaruhi oleh cepat tidaknya proses yang terjadi dalam difusi inovasi (Soekartawi,1988). Roger (1958) dalam Soekartawi (1988) mengemukakan bahwa dalam proses difusi inovasi ada empat elemen penting yang satu sama lain berkaitan, yaitu: (a) adanya inovasi, (b) adanya komunikasi, baik antar individu, antar kelompok maupun antar individu dan kelompok, (c) adanya suatu sistem sosial tertentu dan (d) adanya kesenjangan waktu (Soekartawi, 1988). Proses difusi inovasi adalah, perembesan adopsi inovasi dari satu individu yang telah mengadopsi ke individu yang lain dalam sistem sosial masyarakat sasaran yang sama. Berlangsungnya proses difusi inovasi sebenarnya tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Bedanya adalah, jika dalam proses adopsi pembawa inovasinya berasal dari luar sistem sosial masyarakat sasaran, sedang dalam proses difusi, sumber informasi berasal dari dalam sistem sosial masyarakat sosial itu sendiri. Seperti diatas sudah dikemukakan, kecepatan adopsi (dan difusi) juga tergantung kepada aktivitas yang dilakukan oleh penyuluh sendiri (Mardikanto, 1996). Menurut Roger dan Shoemaker dalam Abdillah H. (1986) difusi adalah tipe khusus komunikasi. Difusi merupakan proses dimana inovasi tersebar kepada anggota suatu sistem sosial. Pengkajian difusi adalah telaah tentang pesan-pesan yang berupa gagasan baru, sedangkan pengkajian komunikasi meliputi telaah tentang pesan-pesan yang berupa gagasan baru, sedangkan pengkajian komunikasi meliputi telaah terhadap semua bentuk pesan. Unsur-unsur difusi (penyebaran) ide-ide baru adalah : (1) inovasi yang (2) dikomunikasikan melalui saluran tertentu (3) dalam jangka waktu tertentu, kepada (4) anggota sistem sosial. Unsur waktu merupakan unsur yang membedakan difusi dengan tipe riset komunikasi lainnya. a). Inovasi Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal, sejauh dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide itu betul-betul baru atau tidak jika diukur dengan selang waktu sejak digunakannya atau ditemukannya pertama kali. Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan individu yang menangkapnya. Jika sesuatu ide dianggap baru oleh seseorng maka ia adalah inovasi (bagi orang itu). Baru dalam ide yang inovatif tidak berarti harus baru sama sekali. Suatu inovasi mungkin telah lama diketahui oleh seseorang beberapa waktu yang lalu (yaitu ketika ia kenal dengan ide itu) tetapi ia belum mengembangkan sikap atau tidak suka terhadapnya, apakah ia menerima atau menolaknya (Hanafi, 1987). Ada 5 macam sifat inovasi. Setiap sifat secara empiris mungkin saling berhubungan satu sama lain tetapi secara konseptual mereka itu berbeda. Kelima sifat itu ialah : (1) keuntungan relatif, (2) kompatibilitas, (3) kompleksitas, (4) trialabilitas, dan (5) observabilitas. Keuntungan relatif adalah tingkatan dimana suatu ide baru dianggap suatu yang lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif seringkali dinyatakan dengan atau dalam keuntungan ekonomis. Kompatibilitas adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima. Kompleksitas adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan. Triabilitas adalah suatu tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba dengan skala kecil. Observabilitas adalah tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain (Hanafi, 1987) Baca entri selengkapnya Komentar (3)

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT DIFUSI INOVASI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI KECAMATAN POLOKARTO KABUPATEN SUKOHARJO April 13, 2010 Disimpan dalam PENYULUHAN PERTANIAN Tagged difusi inovasi, faktor-faktor sosial ekonomi, pendahuluan, sistem pengelolaan tanaman terpadu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian penting dari pembangunan nasional, karena pembagunan pertanian berkaitan erat dengan pembagunan industri, perbaikan pangan dan kesehatan, perbaikan ekonomi dan penyediaan sandang, serta lapangan kerja. Kegiatan pertanian dimasa mendatang akan tetap penting dan diperlukan, maka perlu dijaga agar kegiatan dapat terus berlangsung. Karakteristik keberlanjutan dalam pembangunan pertanian nasional harus memperhatikan aspek lingkungan, aspek daya produksi dan aspek kebersamaan atau keadilan sebagai satu kasatuan yang utuh. Keberlanjutan dalam aspek lingkungan mengarah kepada suatu kegiatan pertanian ramah lingkungan (Solahuddin, 1999). Pembangunan pertanian dimasa datang akan mengalami kecenderungan untuk menerapkan sistem pertanian yang akrab lingkungan. Diantaranya sistem pertanian yang menerapkan konservasi tanah dan air dengan penggunaan lahan dan air yang sedikit, penggunaan bibit ungggul yang menghasilkan produksi yang tinggi, tahan hama dan penyakit dan perubahan iklim, penggunaan bahan kimia yang semakin sedikit yang dapat mencegah pencemaran lingkungan, pengendalian hama terpadu. Demikian pula dengan sistem ini akan berkembang sistem pertanian dengan penggunaan tenaga kerja yang sedikit terampil dan dengan menerapkan sistem mekanisasi dan otomatisasi (Solahuddin, 1999). Upaya untuk terus meningkatkan produksi padi dihadapkan oleh berbagai tantangan. Adanya konversi lahan subur menjadi lahan non pertanian gangguan kekeringan, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), dan penurunan kualitas sumber daya lahan, menyebabkan penurunan produksi padi nasional sekiatar 6,5 persen pada tahun 1998. Sementara kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pendududuk. Sebagai akibat penurunan produksi padi tersebut, pemenuhan akan permintaan beras dipenuhi melalui import yang cenderung meningkat. Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat, perlu diupayakan terobosan teknologi intensifikasi padi yang mampu meningkatkan produktivitas tanaman dan biaya per satuan produksi (Anonim, 2002 ). Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produktivitas padi sawah dan menekan biaya produksi per kilogram gabah adalah melalui pendekatan sistem Tengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Melalui pendekatan PTT, maka kondisi lingkungan tumbuh tanaman diupayakan seoptimal mungkin. Sistem pengelolaan tanaman terpadu adalah tindakan usahatani secara terpadu yang bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan tanaman optimal, kepastian panen, mutu produk tinggi, dan kelestarian lingkungan (Anonim, 2002). Dengan penerapan komponen teknologi produksi melalui pendekatan sistem PTT ini dirasa tepat sebagai upaya memacu tingkat produktivitas padi di daerah sentra produksi padi yang mengalami pelandaian produktivitasnya. Meningkatnya produktivitas tanaman padi dan pendapatan serta kesejahteraan petani dalam jangka panjang akan mampu meningkatkan usaha intensifikasi yang selanjutnya mampu mempertahankan keberlanjutan usahataninya. Program intensifikasi padi sawah melalui pendekatan sistem PTT dapat dijadikan model penanganan didalam upaya peningkatan produktivitas padi, peningkatan pendapatan petani dan upaya melestarikan lingkungan yang dapat diterapkan saat ini dan dimasa mendatang. Kabupaten Sukoharjo merupakan daerah yang memiliki potensi besar untuk pengembangan pertanian terutama pada komoditas padi. Dalam rangka upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian khususnya padi, Kabupaten Sukoharjo melakukan sebuah gerakan menerapkan sistem intensifikasi padi melalui pendekatan sistem pengelolaan tanaman terpadu. Langkah awal yang dilakukan yaitu dengan melakukan demplot oleh setiap petugas penyuluh pertanian lapang ditiap wilayah binaannya. Dalam hal ini Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) selain harus menerapkan demplot mereka juga bertugas untuk menyebarkan inovasi dan informasi yang berkaitan dengan sistem PTT kepada petani sehingga proses difusi inovasi akan berlangsung dan cepat tersebar. Selain dipengaruhi oleh aktivitas penyuluh proses difusi inovasi sangat dipengaruhi oleh anggota sistem masyarakat terutama kondisi sosial ekonominya dan faktor yang lebih luas yaitu stuktur kekuasaan dalam masyarakat. Cepat tidaknya adopsi inovasi banyak dipengaruhi oleh cepat tidaknya proses yang terjadi dalam difusi inovasi, dengan demikian tingkat penyebaran (difusi) inovasi sistem pengelolaan tanaman terpadu akan sangat menentukan keberhasilan upaya peningkatan produksi padi di Kabupaten Sukoharjo kususnya Kecamatan

Polokarto, sehingga tingkat difusi inovasi sistem pengelolaan tanaman terpadu kususnya pada padi sawah perlu untuk dikaji. Baca entri selengkapnya Komentar (2) cara pengendalian dan pemberantasan hama walang sangit pada tanaman padi oleh petani di Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen April 4, 2010 Disimpan dalam PENYULUHAN PERTANIAN Tagged Penyuluhan, PERTANIAN, tanaman padi, walang sangit Pengendalian terhadap hama penyakit sangat penting karena hama, penyakit tanaman dan gulma merupakan faktor pembatas dalam usaha produksi pertanian. Agar usaha produksi pertanian memberikan hasil yang memuaskan maka tanaman harus bebas dari serangan hama dan penyakit. oleh sebab itu apabila hidup tanaman terganggu oleh serangan hama dan penyakit perlu dilakukan tindakan pemberantasan, hal ini untuk menjamin agar tidak terjadi kerusakan yang mengakibatkan kerugian. Pemberantasan hama, penyakit tanaman dan gulma adalah usaha untuk membatasi kerugian karena hilangnya hasil tanaman baik kualitatif maupun kuantatif di lapangan dan setelah hasil dipungut. Salah satu hama yang banyak menyerang tanaman padi adalah walang sangit (Leptocorisa acuta), untuk penyuluhan kali ini dikhususkan untuk hama walang sangit. Karena jika hama walang sangit tidak dikendalikan secara tepat maka dikhawatirkan akan mengganggu dan mengurangi produksi padi di Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen. Sehingga diperlukan penyuluhan agar petani dapat mengendalikan hama pada padi khususnya walang sangit tersebut. Untuk lebih jelasnya Silahkan Downloan LINK di bawah ini : http://www.ziddu.com/download/9606087/anpadiolehpetanidiKecamatanMasaranKabupatenSragen.rtf.html Komentar (1) Rekacipta Penyuluhan Pembangunan dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Jawa Timur April 4, 2010 Disimpan dalam PENYULUHAN PERTANIAN Kebutuhan akan bahan sutera (raw silk) dunia mencapai lebih dari 90 ribu ton, sedangkan produksi tidak lebih dari 70 ribu ton, bahkan dari produksi tersebut sebanyak 90% di antaranya dihasilkan di negara-negara Asia. Saat ini konsumen terbesar sutera ialah Jepang, yang mengonsumsi lebih dari sepertiga konsumsi sutera alam di dunia. Di tingkat nasional, saat ini kebutuhan akan sutera setiap tahun mencapai 450 ton, padahal produksi kurang dari 100 ton. Sehubungan dengan itu pemerintah menargetkan produksi sutera alam sebesar 2 ribu ton pada akhir tahun 2000. Pengelolaan persuteraan alam di Jawa Timur saat ini masih dilakukan oleh Perhutani dengan skala terbatas, sedangkan keterlibatan masyara-kat hanya sebagai pekerja dengan pendapatan rendah. Selain itu peralatan pemintalan benang sudah tidak ekonomis dan jumlahnya terbatas, padahal permintaan benang sutera baik di dalam negeri maupun di luar negeri mempunyai prospek yang cerah. Baca entri selengkapnya Teori difusi inovasi Difusi Inovasi adalah teori tentang bagaimana sebuah ide dan teknologi baru tersebar dalam sebuah kebudayaan[1] . Teori ini dipopulerkan oleh Everett Rogers pada tahun 1964 melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations. Ia mendefinisikan difusi sebagai proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui berbagai saluran dan jangka waktu tertentu dalam sebuah sistem sosial. Inovasi merupakan ide, praktik, atau objek yang dianggap baru oleh manusia atau unit adopsi lainnya. Teori ini meyakini bahwa sebuah inovasi terdifusi ke seluruh masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka mendengar inovasi tersebut. Sedangkan

beberapa kelompok masyarakat lainnya membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengadopsi inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh sejumlah orang, hal itu dikatakan exploded atau meledak. Difusi inovasi sebenarnya didasarkan atas teori di abad ke 19 dari seorang ilmuwan Perancis, Gabriel Tarde. Dalam bukunya yang berjudul The Laws of Imitation (1930), Tarde mengemukakan teori kurva S dari adopsi inovasi, dan pentingnya komunikasi interpersonal. Tarde juga memperkenalkan gagasan mengenai opinion leadership , yakni ide yang menjadi penting di antara para peneliti efek media beberapa dekade kemudian. Tarde melihat bahwa beberapa orang dalam komunitas tertentu merupakan orang yang memiliki ketertarikan lebih terhadap ide baru, dan dan hal-hal teranyar, sehingga mereka lebih berpengetahuan dibanding yang lainnya. Orang-orang ini dinilai bisa memengaruhi komunitasnya untuk mengadopsi sebuah inovasi. [2]

[sunting] Tahapan peristiwa yang menciptakan proses difusi 1. Mempelajari Inovasi: Tahapan ini merupakan tahap awal ketika masyarakat mulai melihat, dan mengamati inovasi baru dari berbagai sumber, khususnya media massa. Pengadopsi awal biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan menonton televisi, sehingga mereka bisa menangkap inovasi baru yang ada. Jika sebuah inovasi dianggap sulit dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika yang dianggapnya baru merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa jenis inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi interpersonal dan kedekatan secara fisik. Pengadopsian: Dalam tahap ini masyarakat mulai menggunakan inovasi yang mereka pelajari. Diadopsi atau tidaknya sebuah inovasi oleh masyarakat ditentukan juga oleh beberapa faktor. Riset membuktikan bahwa semakin besar keuntungan yang didapat, semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadap kemampuan seseorang. Sebelum seseorang memutuskan untuk mencoba hal baru, orang tersebut biasanya bertanya pada diri mereka sendiri apakah mereka mampu melakukannya. Jika seseorang merasa mereka bisa melakukannya, maka mereka akan cenderung mangadopsi inovasi tersebut. Selain itu, dorongan status juga menjadi faktor motivasional yang kuat dalam mengadopsi inovasi. Beberapa orang ingin selalu menjadi pusat perhatian dalam mengadopsi inovasi baru untuk menunjukkan status sosialnya di hadapan orang lain. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu tersebut serta persepsi dirinya. Jika sebuah inovasi dianggapnya menyimpang atau tidak sesuai dengan nilai yang ia anut, maka ia tidak akan mengadopsinya. Semakin besar pengorbanan yang [3] dikeluarkan untuk mengadopsi sebuah inovasi, semakin kecil tingkat adopsinya. Pengembangan Jaringan Sosial: Seseorang yang telah mengadopsi sebuah inovasi akan menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di sekitarnya, sehingga sebuah inovasi bisa secara luas diadopsi oleh masyarakat. Difusi sebuah inovasi tidak lepas dari proses penyampaian dari satu individu ke individu lain melalui hubungan sosial yang mereka miliki. Riset menunjukkan bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat satu sama lain mengadopsi inovasi melalui kelompoknya. Dalam proses adopsi inovasi, komunikasi melalui saluran media massa lebih cepat menyadaran masyarakat mengenai penyebaran inovasi baru dibanding saluran komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal memengaruhi manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh media massa.

2.

3.

[sunting] Lima tahap proses adopsi 1. Tahap pengetahuan: Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elektronik, media cetak , maupun komunikasi interpersonal di antara masyarakat Tahap persuasi: Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan ia dapat jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi atau menolak inovasi tersebut.

2.

3.

4. 5.

Tahap pengambilan keputusan: Dalam tahap ini, seseorang membuat keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah inovasi. Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini lantas menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian. Tahap implementasi: Seseorang mulai menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut. Tahap konfirmasi: Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi.

[sunting] Kategori pengadopsi Rogers dan sejumlah ilmuwan komunikasi lainnya mengidentifikasi 5 kategori pengguna inovasi : a. Inovator: Adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memeiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi. Pengguna awal: Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru. Mayoritas awal: Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hatihati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat. Mayoritas akhir: Kelompok zang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi. Laggard: Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman.

b.

c.

d.

e.

MENGKRITISI KURVA ADOPSI INOVASI ROGERS (1983): MENCARI JALAN KELUAR DARI KEMANDEGAN INOVASI
Oleh: Iwan Setiawan Pendahuluan Secara historis empiris, umur penyuluhan pertanian di Indonesia sudah 99 tahun (19052004), atau 189 tahun jika dihitung dari awal pendirian Kebun Raya Bogor (1815). Suatu masa yang semestinya sudah menempatkan penyuluhan pertanian sebagai kelembagaan yang matang dan siap, seperti halnya penyuluhan pertanian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, Taiwan, dan lainnya. Kecenderungannya, penyuluhan pertanian Indonesia semakin tenggelam. Sementara Better Farming, Better Business, Better Living, Better Environment, and Better Community tinggal selogan, karena kenyataannya sebagian besar petani tetap berada pada kondisi subsistensi. Lebih celakanya, pada saat penyuluhan pemerintah melemah, informasi yang dibutuhkan petani tidak serta merta tereliminasi oleh media massa, penyuluh swasta atau semi swasta, asosiasi petani atau kelompok tani, perguruan tinggi, maupun lembaga swadaya masyarakat. Meskipun informasi pertanian dari media massa ada tetapi sangat minim, penyuluh pertanian pemerintah tetap terpuruk dan keterkaitannya dengan petani dan peneliti (triangulasi) semakin menunjukkan kesenjangan yang serius (World Bank, 1985; Kaimowitz, 1990), formulator (penyuluh dari perusahaan swasta) cenderung mengejar kepentingan mereka yang dapat bersifat eksploitatif dan destruktif (Roling, 1990), LSM yang hubungannya semakin kuat dengan masyarakat bawah sebagian besar lemah dalam bidang teknik pertanian (Chambers et al, 1989), Pusat Informasi Pasar dan Pertanian (PIP) belum efektif, dan Kelompok Tani atau Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) belum bisa diandalkan (van den Ban dan Hawkins, 1995). Padahal bagi petani, informasi (atau inovasi) yang terkait dengan pertaniannya adalah kebutuhan yang bersifat dinamis. Apalagi pasca Revolusi Hijau petani menghadapi permasalahan yang sangat kompleks, seperti kerusakan lingkungan, resurgensi, erosi genetik, penurunan produktivitas lahan, perubahan iklim, ketergantungan atas pupuk dan pestisida sintetis, perubahan pola tanam, pemasaran, pencemaran, dan sebagainya, yang

dampaknya akan dirasakan oleh petani, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Reijntjes, et al., 1992). Beban petani Indonesia ternyata tidak semakin ringan dengan berkembangnya sektor industri, sektor jasa, dan sektor-sektor lainnya, bahkan cenderung semakin berat. Sebagai pihak yang dibebani untuk menyediakan kecukupan pangan bagi 210 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, petani harus merangkak dalam himpitan kebijakan (pencabutan subsidi, ledakan produk impor akibat kurangnya proteksi, dan polusi politik), konversi lahan, pencemaran lingkungan, degradasi mutu lahan, resurgensi, banjir, kekeringan, fluktuasi pasar, dan involusi. Beban petani semakin bertambah berat seiring dengan digulirkannya isyu-isyu global yang dituangkan dalam berbagai skema perjanjian perdagangan bebas. 2 Namun sejak Robetson (1971), Geertz (1983), Rogers (1983), Scott (1993), hingga van den Ban dan Hawkins (1996), petani tetap didudukkan sebagai pihak yang salah, karena lamban. Padahal sudah sejak semula para aktor sosial mengatakan bahwa petani itu sesungguhnya tidak bodoh, berdaya juang tinggi, rasional daalm menjalankan usahataninya, sangat responsif dan siap mengusahakan komoditas apa saja yangdipandang akan memberikan keuntungan kepadanya. Adapun keterlambatan atau keengganan petani untuk mengadopsi suatu inovasi, bukan disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka atas inovasi tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh lambat, tidak sesuai, dan kurang lengkapnya informasi yang disampaikan kepada petani. Bagi petani di jaman sekarang ini, penyuluhan tidak terlalu dipersoalkan, yang penting pasarnya terjamin dan fasilitasnya terjangkau, petani pasti mengejar prasyaratnya. Meskipun implementasi penyuluhan pertanian di Indonesia terjebak dalam rekayasa sosial dengan prinsif dipaksa, kapaksa, terpaksa, dan biasa yang digulirkannya selama program revolusi hijau, namun penyuluhan pertanian sedikit banyak telah membawa perubahan

pada perilaku petani. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh petani, maka perubahan perilaku dan daya adaptasi petani pun berjalan lebih cepat lagi, sementara penyuluh malah melemah. Bahkan ketika teknologi komunikasi dan informatika berkembang pesat, penyuluh masih berkutat dengan Metode Tetesan Minyak. Pada perkembangnya, ketika negara-negara maju mulai menerapkan swastanisasi penyuluhan dan memaksimalkan pemanfaatan teknologi komunikasi bagi pembangunan pertanian, penyuluh malah melembagakan dan terjebak dalam teori adopsi inovasi Rogers (1983). Kondisi tersebut terus terbawa meski pendekatan pembangunan pertanian sudah bergeser ke agribisnis. Kecenderungannya, kelembagaan penyuluhan swasta dan semi swasta pun terbawa arus teori Rogers. Kondisi seperti ini pada kenyataannya kurang dikritisi, padahal jelas-jelas bisa membawa petani Indonesia tetap tertinggal, rugi, dan tidak beranjak dari subsistensi. Apalagi dalam arus informasi, permintaan, dan perubahan selera atau gaya hidup yang berjalan cepat seperti sekarang ini. faktor-faktor pendukung proses tersebut, termasuk faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi menurut Rogers dan Shoemaker (1983). Langkah-langkah untuk mewujudkannya adalah: 1) Menegakkan Undang-Undang Penyiaran bagi media massa; 2) Swastanisasi Penyuluhan Pertanian; 3) Meningkatkan Partisipasi Media Komunitas; 4) Mentautkan kembali peneliti-penyuluh-swasta; 5) Memperbaiki Pendekatan Pendokumentasian dan Pengelolaan Inovasi; 6) Mengefektifkan Penyuluh Pemerintah; 7) Mengembangkan kelembagaan petani; 7) Meningkatkan dan Mengefektifkan Pemberdayaan Petani; dan sebagainya. Gambar 1. Klasifikasi Rogers Gambar 2. Klasifikasi Baru Catatan Akhir

Mendominankan kelompok Inovator dan Early Adopter adalah kondusif bagi Indonesia untuk dapat mengejar ketertinggalan dan melepaskan diri dari ketergantungan atas inovasi luar. Informasi, kreativitas, fasilitas, dan political will merupakan senjata untuk meningkatkan daya saing yang akan menjadi jargon di Abad ini. Mensinergikan inovasi lokal dengan inovasi global merupakan langkah awal (prakondisi) atau jembatan untuk mengglobalkan inovasi lokal. Daftar Pustaka
Chambers, R., Pacey, A, and Thrupp, L.A. (1989). Farmer First: Farmer Innovation and Agricultural Research. London: Intermediate Technology Publications. Departemen Pertanian (2002). Kebijaksanaan Nasional Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian (2002). Profil Kelembagaan dan Ketenagaan Penyuluhan Pertanian. Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, Jakarta. Kaimowitz, D. (1990). Making The Link: The Agricultural Research/Technology Transfer Interface in Develoving Nations. Boulder, CO: Westview Press. Rivera, W.M., and Gustafson, D.J. (1991). Agricultural Extension: Worldwide Institutional Evolution and Forces for Change. Elsevier Science Publishing, Amesterdam. Roling, N. (1990). The Agricultural Research-Technology Transfer Interface: A Knowledge System Perspective. Boulder, CO: Westview Press. Scott, J. (1993). Perlawanan Kaum Tani. LP3ES Press, Jakarta. Soewardi, H. (1972). Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi Produksi Pertanian Terutama Padi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Van den Ban and Hawkins, H.S. (1999). Penyuluhan Pertanian: Terjemahan Agricultural Extension oleh Agnes Dwina Herdiasti. Kanisius, Yogyakarta. World Bank (1985). Agricultural Research and Extension: An Evaluation of The World Banks Experience. Washington, DC: World Bank.

Difusi Inovasi

PENDAHULUAN Teori difusi inovasi telah ada sejak tahun 1950-an. Pada saat itu pemerintah Amerika Serikat ingin mengetahui bagaimana dan mengapa sebagian petani di sana mengadopsi teknik-teknik baru dalam pertanian dan sebagian lainnya tidak. Everett M Rogers pada waktu itu menjadi bagian dari tim eksplorasi ini. Meskipun pada awalnya teori difusi ini ditujukan untuk memahami difusi dari teknik-teknik pertanian tapi pada perkembangan selanjutnya teori difusi ini digunakan pada bidang-bidang lainnya. Pada tahun 1962 Everett Rogers menulis sebuah buku yang berjudul Diffusion of Innovations yang selanjutnya buku ini menjadi landasan pemahaman tentang inovasi, mengapa orang mengadopsi inovasi, faktor-faktor sosial apa yang mendukung adopsi inovasi, dan bagaimana inovasi tersebut berproses di antara masyarakat. A. Apakah Difusi Inovasi itu?

Inovasi Rogers menyatakan bahwa inovasi adalah an idea, practice, or object perceived as new by the individual. (suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu). Dengan definisi ini maka kata perceived menjadi kata yang penting karena pada mungkin suatu ide, praktek atau benda akan dianggap sebagai inovasi bagi sebagian orang tetapi bagi sebagian lainnya tidak, tergantung apa yang dirasakan oleh individu terhadap ide, praktek atau benda tersebut. Difusi Difusi didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. B. Unsur-Unsur Difusi Inovasi Proses difusi inovasi melibatkan empat unsur utama, meliputi 1. Innovation ( Inovasi), yaitu ide, praktek, atau benda yang dianggap baru oleh individu atau kelompok. 2. Communication channel ( saluran komunikasi ), yaitu bagaimana pesan itu didapat suatu individu dari individu lainnya. 3. Time ( waktu ), ada tiga faktor waktu, yaitu : Innovation decision process ( proses keputusan inovasi ) Relative time which an inovation is adopted by individual or group. ( waktu relatif yang mana sebuah inovasi dipakai oleh individu atau kelompok ) Innovations rate of adoption ( tingkat adopsi inovasi ) 4. Social System ( sistem sosial ), yaitu serangkaian bagian yang saling berhubungan dan bertujuan untuk mencapai tujuan umum.

Yang akan dibahas oleh penulis adalah mengenai sub bagian unsur waktu, yaitu Innovation Decision Process ( proses keputusan inovasi ) yang juga merupakan salah satu elemen yang penting dalam difusi inovasi.

KONSEP DASAR PROSES KEPUTUSAN INOVASI ( INNOVATION DECISION PROCESS) The innovation-decision process merupakan proses mental yang mana seseorang atau lembaga melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses keputusan inovasi untuk mengurangi ketidakyakinan tentang akibat atau hasil dari inovasi tersebut. Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan hierarchy-of-effect principle Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian ( uncertainty). Orang akan mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan memenuhi kebutuhan . Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. Lalu bagaimana mereka merasa yakin bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan dari berbagai segi, seperti : dari segi biaya, apakah inovasi tersebut membutuhkan biaya yang besar tetapi dengan tingkat ketidakpastian yang besar ? apakah inovasi tersebut akan mengganggu segi kehidupan sehari-hari ? apakah sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada ? apakah sulit untuk digunakan ?

PEMBAHASAN MATERI

A. PROSES KEPUTUSAN INOVASI Rogers menggambarkan The Innovation Decision Process ( proses keputusan inovasi) sebagai kegiatan individu untuk mencari dan memproses informasi tentang suatu inovasi sehingga dia termotivasi untuk mencari tahu tentang keuntungan atau kerugian dari inovasi tersebut yang pada akhirnya akan memutuskan apakah dia akan mengadopsi inovasi tersebut atau tidak Bagi Rogers proses keputusan inovasi memiliki lima tahap, yaitu : knowledge (pengetahuan) persuasion (kepercayaan) decision (keputusan) implementation, dan (penerapan) confirmation (penegasan/pengesahan) Kelima langkah ini dapat digambarkan seperti di bawah ini : Knowledge Stage/tahap pengetahuan Proses keputusan inovasi ini dimulai dengan Knowledge Stage. Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa ?, bagaimana ?, dan mengapa ? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada knowledge stage ini. Selama tahap ini individu akan menetapkan Apa inovasi itu ? bagaimana dan mengapa ia bekerja ?. Menurut Rogers, pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan (knowledge): 1. Awareness-knowledge merupakan pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.

1. How-to-knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini. 1. Principles-knowledge , yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan. Suatu inovasi dapat diterapkan tanpa pengetahuan ini, akan tetapi penyalahgunaan suatu inovasi akan mengakibatkan berhentinya inovasi tersebut. Lalu apakah peranan para agen perubahan dalam menghasilkan ketiga jenis pengetahuan tersebut ? Kebanyakan agen perubahan tampaknya memusatkan perhatian pada usaha untuk menciptakan awareness-knowledge yang sebenarnya untuk tujuan ini akan lebih efisien dengan menggunakan jalur media masa. Para agen perubahan mungkin akan memainkan peranan penting pada proses keputusan inovasi ini apabila mereka berkonsentrasi pada how-to-knowledge, yang mungkin akan lebih penting bagi para klien terutama pada tahap trial and decision pada proses tersebut. Early versus Late Knowers of Innovations Tabel berikut menggambarkan tujuh karakteristik dari early knowers yang perlu dipertimbangkan Persuasion Stage Tahap Persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat

ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi. Decision Stage Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti not to adopt an innovation. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection.

Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut.

passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.

Implementation Stage ( Tahap implementasi) Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si pengguna akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda. Kapankah implementasi inovasi ini akan berakhir ?

Penemuan kembali biasanya terjadi pada tahap implementasi ini, maka tahap ini merupakan tahap yang sangat penting. Penemuan kembali ini adalah tingkatan di mana sebuah inovasi diubah atau dimodifikasi oleh pengguna dalam proses adopsi atau implementasinya. Rogers juga menjelaskan tentang perbedaan antara penemuan dan inovasi (invention dan Innovation). Invention adalah proses di mana ide-ide baru ditemukan atau diciptakan. Sedang inovasi adalah proses penggunaan ide yang sudah ada. Rogers juga menyatakan bahwa semakin banyak terjadi penemuan maka akan semakin cepat sebuah inovasi dilaksanakan. Confirmation Stage Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka si penguna akan mencari dukungan atas keputusannya ini . Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu . Discontiuance ( ketidakberlanjutan) Discontinuance adalah suatu keputusan menolak sebuah inovasi setelah sebelumnya mengadopsinya. Ketidakberlanjutan ini dapat terjadi selama tahap ini dan terjadi pada dua cara :

Pertama atas penolakan individu terhadap sebuah inovasi mencari inovasi lain yang akan menggantikannya. Keputusan jenis ini dinamakan replacement discontinuance.

Yang kedua dinamakan disenchanment discontinuance. Dalam hal ini individu menolak inovasi tersebut disebabkan ia merasa tidak puas atas hasil dari inovasi tersebut. Alasan lain dari discontinuance decision ini mungkin disebabkan inovasi tersebut tidak memenuhi kebutuhan individu. sehingga tidak merasa adanya keuntungan dari inovasi tersebut.

B. IMPLEMENTASI DI TINGKAT SEKOLAH Inovasi sebagai suatu ide, gagasan, praktik atau obyek/benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi. Oleh sebab itu,

inovasi pada dasarnya merupakan pemikiran cemerlang yang bercirikan hal baru ataupun berupa praktik-praktik tertentu ataupun berupa produk dari suatu hasil olah-pikir dan olahteknologi yang diterapkan melalui tahapan tertentu yang diyakini dan dimaksudkan untuk memecahkan persoalan yang timbul dan memperbaiki suatu kedaan tertentu ataupun proses tertentu yang terjadi di masyarakat. Dalam bidang pendidikan, banyak usaha yang dilakukan untuk kegiatan yang sifatnya pembaruan atau inovasi pendidikan. Inovasi yang terjadi dalam bidang pendidikan tersebut, antara lain dalam hal manajemen pendidikan, metodologi pengajaran, media, sumber belajar, pelatihan guru, implementasi kurikulum, dsb. Dalam hal implementasi inovasi di sekolah, maka guru merupakan faktor terpenting yang harus melaksanakan inovasi dengan memperhatikan hal-hal berikut : Inovasi harus berlangsung di sekolah guna memperoleh hasil yang terbaik dalam mendidik siswa Ujung tombak keberhasilan pendidikan di sekolah adalah guru Oleh karena itu guru harus mampu menjadi seorang yang inovatif guna menemukan strategi atau metode yang efektif untuk mendidik Inovasi yang dilakukan guru pada intinya berada dalam tatanan pembelajaran yang dilakukan di kelas Kunci utama yang harus dipegang guru adalah bahwa setiap proses atau produk inovatif yang dilakukan dan dihasilkannya harus mengacu kepada kepentingan siswa Proses keputusan inovasi di tingkat sekolah berawal dari pengetahuan atau kesadaran para personil di sekolah / guru tentang kebutuhan akan sebuah inovasi yang akan membantu memecahkan persoalan yang mereka hadapi sampai dengan pengadopsian suatu inovasi. Untuk mencapai hal tersebut ada tiga tahap yang harus dilalui yaitu : 1) Tahap Akuisisi Informasi : Para guru memperoleh dan memahami Informasi tentang suatu inovasi, umpamanya tentang metodologi pengajaran, media pembelajaran yang baru dari berbagai sumber ( buku, jurnal, koran, dll). 2) Tahap Evaluasi Informasi : Orang mengevalusi informasi tentang inovasi, dengan berbagai pertimbangan apakah sesuai atau tidak dalam memenuhi kebutuhan. 3) Tahap Adopsi : Yaitu proses keputusan apakah akan melaksanakan atau menolak suatu inovasi Orang melaksanakan / menolak inovasi.

Hambatan terhadap Inovasi Dalam implementasinya kita sering mendapati beberapa hambatan yang berkaitan dengan inovasi. Pengalaman menunjukkan bahwa hampir setiap individu atau organisasi memiliki semacam mekanisme penerimaan dan penolakan terhadap perubahan. Segera setelah ada pihak yang berupaya mengadakan sebuah perubahan, penolakan atau hambatan akan sering ditemui. Orang-orang tertentu dari dalam ataupun dari luar sistem akan tidak menyukai, melakukan sesuatu yang berlawanan, melakukan sabotase atau mencoba mencegah upaya untuk mengubah praktek yang berlaku. Penolakan ini mungkin ditunjukkan secara terbuka dan aktif atau secara tersembunyi dan pasif. Alasan mengapa ada orang yang ingin menolak perubahan walaupun kenyataannya praktek yang ada sudah kurang relevan, membosankan, sehingga dibutuhkan sebuah inovasi. Fenomena ini sering disebut sebagai penolakan terhadap perubahan. Banyak upaya telah dilakukan untuk menggambarkan, mengkategorisasikan dan menjelaskan fenomena penolakan ini. Ada empat macam kategori hambatan dalam konteks inovasi. Keempat kategori tersebut adalah: a) hambatan psikologis b) hambatan praktis c) hambatan nilai-nilai, dan d) hambatan kekuasaan. a) Hambatan psikologis Hambatan-hambatan ini ditemukan bila kondisi psikologis individu menjadi faktor penolakan. Hambatan psikologis telah dan masih merupakan kerangka kunci untuk memahami apa yang terjadi bila orang dan sistem melakukan penolakan terhadap upaya perubahan. Kita akan menggambarkan jenis hambatan ini dengan memilih satu faktor sebagai suatu contoh yaitu dimensi kepercayaan/keamanan versus ketidakpercayaan/ketidakamanan karena faktor ini sebagai unsur inovasi yang sangat penting. Faktor-faktor psikologis lainnya yang dapat mengakibatkan penolakan terhadap inovasi adalah: rasa enggan karena merasa sudah cukup dengan keadaan yang ada, tidak mau repot, atau ketidaktahuan tentang masalah. Kita dapat berasumsi bahwa di dalam suatu sistem sosial, organisasi atau kelompok akan ada orang yang pengalaman masa lalunya tidak positif. Menurut para ahli psikologi perkembangan, ini akan mempengaruhi kemampuan dan keberaniannya untuk menghadapi

perubahan dalam pekerjaannya. Jika sebuah inovasi berimplikasi berkurangnya kontrol (misalnya diperkenalkannya model pimpinan tim atau kemandirian masing-masing bagian), maka pemimpin itu biasanya akan memandang perubahan itu sebagai negatif dan mengancam. Perubahan itu dirasakannya sebagai kemerosotan, bukan perbaikan. b) Hambatan praktis Hambatan praktis adalah faktor-faktor penolakan yang lebih bersifat fisik. Untuk memberikan contoh tentang hambatan praktis, faktor-faktor berikut ini akan dibahas: 1) waktu 2) sumber daya 3) sistem Ini adalah faktor-faktor yang sering ditunjukkan untuk mencegah atau memperlambat perubahan dalam organisasi dan sistem sosial. Program pusat-pusat pelatihan guru sangat menekankan aspek-aspek bidang ini. Ini mungkin mengindikasikan adanya perhatian khusus pada keahlian praktis dan metode-metode yang mempunyai kegunaan praktis yang langsung. Oleh karena itu, inovasi dalam bidang ini dapat menimbulkan penolakan yang terkait dengan praktis. Artinya, semakin praktis sifat suatu bidang, akan semakin mudah orang meminta penjelasan tentang penolakan praktis. Di pihak lain, dapat diasumsikan bahwa hambatan praktis yang sesungguhnya itu telah dialami oleh banyak orang dalam kegiatan mengajar sehari-hari, yang menghambat perkembangan dan pembaruan praktek. Tidak cukupnya sumber daya ekonomi, teknis dan material sering disebutkan. Dalam hal mengimplementasikan perubahan, faktor waktu sering kurang diperhitungkan. Segala sesuatu memerlukan waktu. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengalokasikan banyak waktu bila kita membuat perencanaan inovasi. Pengalaman menunjukkan bahwa masalah yang tidak diharapkan, yang mungkin tidak dapat diperkirakan pada tahap perencanaan, kemungkinan akan terjadi. Yang kedua, masalah pada bidang keahlian dan sumber daya ekonomi sebagai contoh tentang hambatan praktis. Dalam perencanaan dan implementasi inovasi, tingkat pengetahuan dan jumlah dana yang tersedia harus dipertimbangkan. Ini berlaku terutama jika sesuatu yang sangat berbeda dari praktek di masa lalu akan dilaksanakan, dengan kata lain jika ada

perbedaan yang besar antara yang lama dengan yang baru. Dalam kasus seperti ini, tambahan sumber daya dalam bentuk keahlian dan keuangan dibutuhkan. Pengalaman telah menunjukkan bahwa dana sangat dibutuhkan, khususnya pada awal dan selama masa penyebarluasan gagasan inovasi.. Ini mungkin terkait dengan kenyataan bahwa bantuan dari luar, peralatan baru, realokasi, buku teks dll. diperlukan selama fase awal. Sumber dana yang dialokasikan untuk perubahan sering kali tidak disediakan dari anggaran tahunan. Media informasi dan tindak lanjutnya sering dibutuhkan selama fase penyebarluasan gagasan inovasi. Dalam kaitan ini penting untuk dikemukakan bahwa dana saja tidak cukup untuk melakukan perbaikan dalam praktek. Sumber daya keahlian seperti pengetahuan dan keterampilan orangorang yang dilibatkan dalam upaya inovasi ini merupakan faktor yang sama pentingnya. Dengan kata lain, jarang sekali kita dapat memilih antara satu jenis sumber atau jenis sumber lainnya, melainkan kita memerlukan semua jenis sumber itu. Jelaslah bahwa kurangnya sumber tertentu dapat dengan mudah menjadi hambatan. c) Hambatan kekuasaan dan nilai Bila dijelaskan secara singkat, hambatan nilai melibatkan kenyataan bahwa suatu inovasi mungkin selaras dengan nilai-nilai, norma-norma dan tradisi-tradisi yang dianut orang-orang tertentu, tetapi mungkin bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut sejumlah orang lain. Jika inovasi berlawanan dengan nilai-nilai sebagian peserta, maka bentrokan nilai akan terjadi dan penolakan terhadap inovasi pun muncul.. Apakah kita berbicara tentang penolakan terhadap perubahan atau terhadap nilai-nilai dan pendapat yang berbeda, dalam banyak kasus itu tergantung pada definisi yang kita gunakan. Banyak inovator telah mengalami konflik yang jelas dengan orang lain, tetapi setelah dieksplorasi lebih jauh, ternyata mereka mendapati bahwa ada kesepakatan dan aliansi dapat dibentuk. Pengalaman ini dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa sering kali orang dapat setuju mengenai sumber daya yang dipergunakan. Kadang-kadang hal ini terjadi tanpa memandang nilai-nilai. Dengan demikian kesepakatan atau ketidaksepakatan di permukaan mudah terjadi dalam kaitannya dengan aliansi. Sering kali aliansi itu terbukti sangat penting bagi implementasi inovasi. PENUTUP A. KESIMPULAN

Dengan memperhatikan pembahasan di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa proses keputusan inovasi merupakan bagian dari difusi inovasi yaitu proses seseorang mulai dari tahu tentang inovasi sampai dengan mengambil keputusan apakah menerima atau menolak inovasi tersebut. Berikut ini adalah gambaran singkat tentang tahapan-tahapan dalam proses keputusan inovasi menurut Everett Rogers :

Knowledge Stage / tahap pengetahuan perolehan informasi tentang inovasi pemahaman pesan-pesan informasi pengetahuan atau keterampilan untuk adopsi inovasi

Persuasion Stage / tahap peyakinan


rasa suka terhadap mendiskusikan

inovasi

dengan orang lain inovasi

menerima pesan-pesan membentuk

gambaran positif tentang inovasi dari sistem

mendukung perilaku inovatif

Decision Stage / tahap keputusan


minat minat

untuk mencarai informasi lebih lanjut tentang inovasi untuk mencoba inovasi tersebut

Implementation
mendapatkan

informasi tambahan tentang inovasi inovasi

menggunakan penggunaan

inovasi yang berlanjut

Confirmation Stage

pengakuan

tentang keuntungan mengimplementasikan inovasi inovasi secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari

mengintegrasikan mempromosikan

inovasi pada orang lain

DAFTAR PUSTAKA

1. Rogers, Everett M (1983), Diffusion of Innovation, The Free Press, A Division of Macmillan Publishing C., Inc. New York. 2. Rogers, Everett M and F. Floyd Shoemaker (1971), Communication of Innovations, A Cross-Cultural Approach. 3. Sumber lainnya

Tugas Kelompok Makalah Individu

PROSES DIFUSI DAN INOVASI

NAMA NIM

: MUH. RUSDIANSYAH : I 211 09 272

KELOMPOK

: 3( TIGA )

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

Senin, 30 November 2009 , 07:06:00 Adopsi Inovasi Pendidikan Oleh: Aswandi*

ADOPSI inovasi pendidikan adalah suatu keputusan untuk menggunakan inovasi atau gagasan, tindakan dan barang yang dianggap baru dalam bidang pendidikan oleh seseorang

atau satuan pengguna lainnya. Adopsi inovasi pendidikan dan pembelajaran adalah penting dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Singapura adalah salah satu contoh sebuah negara sekalipun telah mencapai prestasi persekolahan terbaik di dunia tetap menaruh perhatian sangat besar terhadap adopsi inovasi pendidikan dan pembelajaran, dalam posisi teratas atau prestisius tersebut tidak membuatnya berada di Zona Kenyamanan, ia tetap berupaya memperbaharui pendidikan dan pembelajaran melalui berbagai upaya adopsi inovasi pendidikan dan pembelajaran.

Terakhir penulis mengetahui negara Lion tersebut sedang membangun Pendidikan Berbasis Pikiran (Thinking School). Untuk mensukseskan adopsi inovasi tersebut tidak tanggungtanggung ia hadirkan pakar mind Tony Buzan dan pakar pemikiran literal Edward De Bono menjadi tinggi. konsultan pendidikan dan pembelajaran dengan bayaran yang sangat

Memperhatikan prestasi yang telah dicapai oleh Singapura, maka tidaklah salah jika

banyak negara berguru kepadanya. Penulis menyambut baik keinginan Drs. Alexius Akim, MM selaku Kadis Pendidikan Kalimantan Barat meningkatkan kualitas pendidikan di daerah ini melalui adopsi inovasi metodologi pelaksanaan kurikulum Singapura, khususnya bidang studi sains, matematika, dan bahasa Inggris. Menyikapi peningkatan mutu pendidikan di era otonomi pendidikan, bangsa ini telah menggalakkan inovasi pendidikan dan pembelajaran, seperti adopsi model pengelolaan sekolah yang telah diterapkan di berbagai negera, model pengelolaan sekolah yang dimaksud adalah School Based Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yakni sebuah model pengelolaan sekolah yang berintikan pada; (1) pemberian otonomi yang seluas-luasnya pihak kepada sekolah untuk mengelola dirinya, dan: (2) meningkatkan partisipasi aktif stakeholder sekolah. Sejak tahun 2001, untuk beberapa perguruan tinggi di Indonesia termasuk FKIP Universitas Tanjungpura telah mengujicoba sebuah model pembinaan profesi pendidik melalui program Lesson Study yang diadopsi dari Jepang melalui fasilitasi Japan International Cooperation Agency (JICA). Saat ini juga sedang diujicoba sebuah adopsi inovasi bidang studi Matematika yang telah diterapkan di negeri kincir angin Belanda, di Indonesia dikenal sebagai Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI), yakni pengintegrasian nilai-nilai ke dalam pendidikan matematika, seperti pengintegrasian nilai demokrasi, multicultural, perdamaian dalam pendidikan matematika. Fullan (1993) dalam bukunya The New Meaning of Educational Change dan Everett M. Rogers (1994) dalam bukunya Diffusion of Innovations menyatakan bahwa setiap kali adopsi inovasi pendidikan dilakukan, maka setidaknya diperhatikan tiga hal berikut ini: (1)

sifat

inovasi;

(2)

proses

adopsi

inovasi,

dan

(3)

faktor

adopsi

inovasi.

Sebelum adopsi inovasi dilakukan, adopter harus mengenali terlebih dahulu sifat-sifat inovasi. Sifat inovasi yang dimaksud adalah; (1) KEUNTUNGAN RELATIF, artinya sejauhmana suatu inovasi dianggap lebih baik dari pada gagasan sebelumnya; (2) KESESUAIAN, dalam arti sejauhmana suatu inovasi dipandang sejalan dengan nilai yang ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan para calon memakai; (3) KERUMITAN, dalam arti sejauhmana suatu inovasi dipandang sulit dipahami dan/atau dipakai, kegagalan adopsi inovasi lebih disebabkan ketidak jelasan informasi atau pesan inovasi; (4) KETERCOBAAN, artinya sejauhmana suatu inovasi dapat dicoba dalam skala kecil; dan (5) KETERAMATAN, artinya sejauhmana hasil suatu inovasi dapat dilihat orang lain.

Selain sifat inovasi, adopter harus memahami dan melaksanakan proses adopsi inovasi secara benar dan tetap. Rogers mengemukakan suatu model proses keputusan adopsi inovasi melalui lima tahapan, yakni sebagai berikut; (1) PENGENALAN, terjadi ketika seseorang atau unit lainnya dihadapkan pada keberadaan suatu inovasi dan memahami bagaimana inovasi itu berfungsi; (2) PERSUASI, terjadi ketika seseorang membentuk sikap suka atau tidak terhadap inovasi;(3) KEPUTUSAN, terjadi ketika seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada suatu penentuan untuk menerima atau menolak inovasi; (4) PELAKSANAAN, terjadi ketika seseorang atau unit adopter lainnya menggunakan inovasi; dan (5) PENGUKUHAN, terjadi ketika seseorang mencari penguat terhadap keputusan inovasi sebelumnya, dan bisa saja ia merubah keputusannya karena dihadapkan pada pesanpesan yang bertentangan.

Disamping sifat inovasi dan proses adopsi, seorang adopter atau unit lainnya harus mengenal pula faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi karena setiap upaya adopsi inovasi pendidikan dan pembelajaran tidak selalu berjalan secara efektif karena selalu ada pihak yang mendukung dan menolaknya. Faktor-faktor tersebut berasal dari dalam diri seseorang adopter (internal) dan faktor eksternal di luar diri seseorang adopter. Everett M. Rogers (1994) mengkategorikan sikap adopter terhadap sebuah inovasi, yakni sebagai berikut: (1) inovator atau seorang petualang yang selalu memiliki obsesi dan kreativitas untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, jumlahnya hanya sedikit, yakni 2,5%; (2) adopter awal terhadap inovasi sebanyak 13,5%; (3) mayoritas awal yang sangat berhati-hati mendukung inovasi sebanyak 34%; (3) mayoritas akhir yang bersikap skeptis terhadap inovasi sebanyak 34%; dan (4) orang terakhir yang mengadopsi suatu inovasi sebanyak 16%. Kategori adopter dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor sosial ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi. Misalnya; adopter awal memperoleh pendidikan lebih

lama atau lebih terpelajar dari adopter akhir, adopter awal memiliki empati, kemampuan berpikir abstrak dan rasionalitasnya lebih besar dari pada adopter akhir, adopter awal memiliki partisipasi sosial dan keterkaitan dengan sistem sosialnya lebih tinggi dari adopter akhir, adopter awal memiliki informasi/pengetahuan, sering kontak dengan agen perubahan dan akses ke media massa lebih dari pada adopter akhir.

Anda mungkin juga menyukai