Anda di halaman 1dari 12

BIOMARKER IRON DAN VITAMIN B1

BAGIAN 1. IRON

1.1.

Parameter dan Tahap Defisiensi Besi Apabila kebutuhan besi tubuh tidak terpenuhi melalui makanan yang dikonsumsi

maka cadangan besi dalam tubuh akan berkurang (iron depletion), yang ditandai dengan rendahnya serum ferritin menjadi di bawah 12 mg/l. Jika keseimbangan negatif ini berlangsung lama maka ketersediaan besi dalam tubuh akan dikompensasi sehingga terjadi eritropoiesis defisiensi besi. Pada fase ini maka akan terjadi peningkatan awal konsentrasi sTfR secara progresif disertai dengan peningkatan free erythrocyte porphyrin (FEP), serta penurunan saturasi transferin (Sat) sehingga terjadi penurunan kadar Hb. Jika defisiensi besi ini berlanjut akan berakhir sebagai anemia defisiensi besi (Raspati, dkk, 2005 dan Hartfield, dkk, 2009). 1.2. Tahap defisiensi besi Menurut Raspati, dkk (2005), Kisworini, dkk (2004), dan Dwiprahasto (2004) terdapat tiga tahap defisiensi besi, yaitu: 1. Stadium Prelaten Stadium ini juga sering disebut iron depletion atau storageiron deficiency. Pada stadium ini terjadi penurunan cadangan besi tetapi besi di plasma dan eritrosit masih normal. Keadaan ini dapat diketahui melalui pemeriksaan pewarnaan besi pada aspirat sumsum tulang dan pengukuran kadar feritin serum. 2. Stadium Laten atau iron deficient erythropoiesis Pada stadium ini terjadi penurunan cadangan besi maupun besi di plasma tetapi di eritrosit masih normal. Keadaan ini dapat diketahui melalui penurunan kadar serum iron (SI) dan saturasi transferin sedangkan total iron binding capacity (TIBC), free erytrhrocyte porphyrin (FEP) dan sTfR meningkat. 3. Stadium anemia defisiensi besi. Pada stadium ini terjadi penurunan zat besi, baik dalam cadangan, di plasma maupun di eritrosit sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb dan Ht. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositik hipokromik.

1.3.

Pemeriksaan Defisiensi Besi Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) dan I Dewa (2001)

pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain: 1.3.1. Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli (Riswan, 2003). Nilai normal hemoglobin yang paling sering dinyatakan adalah 14-18 gm/100ml untuk pria dan 12-16 gm/100ml untuk wanita. Beberapa literature lain menunjukkan nilai yang lebih rendah, terutama pada wanita, sehingga memungkinkan seseorang tidak dianggap menderita anemia sampai Hb kurang dari 13 gm/100 ml pada pria dan 11 gm/100 ml untuk wanita (I Dewa, 2001).

1.3.2. Hematokrit (HCT) Hematokrit merupakan proporsi volume darah yang terisi oleh sel darah merah. Perubahan jumlah dan bentuk eritrosit dapat mempengaruhi kadar hematokrit. Nilai normal hematokrit 40%-54% untuk pria dan 37-47% untuk wanita. HCT biasanya hampir 3 kali nilai hemoglobin. Penentuan hematokrit dilakukan secara duplikat menggunakn darah kapiler atau darah vena yang diantikoagulasikan dengan EDTA. Pada saat menggunakan proses dengan EDTA ini, akan digunakan tabung kapiler blue banded yang berisi antikoagulan (I Dewa, 2001).

1.3.3. Serum Ferritin (SF) Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin <12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung

lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (ELISA) (Riswan, 2003).

1.3.4. Besi Serum (Serum Iron = SI) Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik (Riswan, 2003).

1.3.5. Eritrosit Protoporfirin (EP) EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang (Riswan, 2003) .

1.3.6. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.

Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma (Riswan, 2003).

1.3.7. Penentuan Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus: a. Mean Corpusculer Volume (MCV) MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl. b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg. c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.

1.3.8. Serum Transferin (Tf) Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan (Riswan, 2003).

1.3.9. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag.

1.3.10. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW) Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.

1.3.11. Pemeriksaan Sumsum Tulang Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum. 1.4. Pembahasan Pemeriksaan untuk diagnosis anemia defisiensi besi meliputi pemeriksaan komponen simpanan besi, komponen di plasma dan komponen yang ada di eritrosit.

1.4.1. Pemeriksaan Komponen Simpanan besi Komponen simpanan besi dapat langsung diperiksa dengan aspirasi sumsum tulang kemudian dilanjutkan dengan pengecatan. Walaupun cara ini adalah paling baik, tetapi cara ini tidak praktis dan terlalu invasif pada pasien. Pada anemia defisiensi besi hasil pengecatan kurang dapat menyerap warna (Tallen, 1993). Pemeriksaan ferritin serum merupakan pemeriksaan alternatif yang dipandang tidak invasif terhadap pasien. Kadar ferritin dalam serum sangat kecil, secara garis besar sebanding dengan simpanan besi sehingga dapat membantu untuk evaluasi status besi termasuk menegakkan diagnosis kekurangan besi.

Kadar ferritin dipengaruhi oleh beberapa kondisi yaitu perubahan umur, jenis kelamin, inflamasi. Kadar ferritin lebih rendah pada wanita. Adar feritin yang lebih rendah dari normal merupakan indikasi deplesi simpanan besi.

1.4.2. Pemeriksaan Komponen Transport Besi Pemeriksaan yang bertujuan mengetahui komponene transpor besi serum adalah besi serum (SI), transferin dan TIBC. Saturasi transferin merupakan indikator pemriksaan IDE, tetapi pada deplesi besi kurang sensitif dibanding pemeriksaan ferritin (Pauli, 1988). Sedangkan untuk TIBC, kadarnya akan meningkat pada konsentrasi besi rendah dan menurun pada besi seerum tiggi. Pemeriksaan TIBC kurang sensitif untuk pemeriksaan defisiensi besi karena perubahan TIBC terjadi setelah deplesi besi.

1.4.3. Pemeriksaan Komponen pada Eritrosit Eritrosit protoporpirin meningkat sebagai indikator awal IDE, bukan sebagai indikator rendahnya simpanan. Jika melihat reseptor transferin, pemeriksaan ini tidak dipengaruhi inflamasi dan variasi, tapi pemeriksaan ini sulit didapat dan mahal. Hemoglobin dan hematokrit, sering digunakan karena biaya yang murang. Pemeriksaan hemoglobin bersifat lanngsung dan sensitif. Pemeriksaan ini merupakan indikator akhir pada stadium defisiensi besi. Dengan kata lain, tes ini spesifik untuk menentukan anemia defisiensi besi (Pauli, 1988). Diantara MCV, MCH dan MCHC maka parameter MCV adalah yang paling mempunyai makna dalam anemia defisiensi besi. Tetapi perubahan morfologi eritrosit terjadi pada defisiensi besi stadium akhir, sehingga MCV merupakan indikator yang jelek untuk defisiensii besi tahap awal (1995). 1.5. Metabolisme besi Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan hemoglobin. Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari hemoglobin eritrosit tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem retikuloendotelial. Pada kondisi seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara dengan 25 mg besi yang difagositosis oleh makrofag setiap hari, tetapi sebanyak itu pula eritrosit yang akan dibentuk dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari. Besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 12 mg, sebanyak itu pula yang dapat hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin dan tinja. Besi plasma atau besi yang beredar

dalam sirkulasi darah terutama terikat oleh transferin sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratorik sering diukur sebagai protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi. Secara normal 2545% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks saturasi transferin.Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya 0,1% dari total besi tubuh. Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke prekursor eritrosit di sumsum tulang yang memiliki banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak 4% digunakan untuk sintesis mioglobin di otot, 1% untuk sintesis enzim pernafasan seperti sitokrom C dan katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Kompleks besi transferin dan reseptor transferin masuk ke dalam sitoplasma prekursor eritrosit melalui endositosis. Sebanyak 8090% molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit akan dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin akan dipakai lagi, sedangkan transferin akan kembali ke dalam sirkulasi. Besi yang telah dibebaskan dari endosom akan masuk ke dalam mitokondria untuk diproses menjadi hem setelah bergabung dengan protoporfirin, sisanya tersimpan dalam bentuk feritin. Dalam keadaan normal 3050% prekursor eritrosit mengandung granula besi dan disebut sideroblast. Sejalan dengan maturasi eritrosit, baik reseptor transferin maupun feritin akan dilepas ke dalam peredaran darah. Feritin segera difagositosis makrofag di sumsum tulang dan setelah proses hemoglobinisasi selesai eritrosit akan memasuki sirkulasi darah. Ketika eritrosit berumur 120 hari akan difagositosis makrofag sistem retikuloendotelial terutama yang berada di limpa. Sistem tersebut berfungsi terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk reutilisasi. Terdapat jenis makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag jaringan lain yang lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Proses penghancuran eritrosit di limpa, hemoglobin dipecah menjadi hem dan globin. Dalam keadaan normal molekul besi yang dibebaskan dari hem akan diproses secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui laluan cepat pelepasan besi (the rapid pathway of iron release) di dalam makrofag pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi, yang selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas. Maka molekul besi akan masuk jalur fase lanjut yang akan diproses untuk disimpan oleh apoferitin sebagai cadangan besi tubuh. Kemudian dilepas ke dalam sirkulasi setelah beberapa hari melalui laluan lambat (the slower pathway). Penglepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung, tetapi melalui proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan bentuk ferro menjadi ferri,

sehingga dapat diangkut oleh transferin plasma. Reaksi oksidasi tersebut dikatalisasi oleh seruloplasmin. Kecepatan pelepasan besi ke dalam sirkulasi oleh makrofag lebih cepat terjadi pada pagi hari, sehingga kadar besi plasma menunjukkan variasi. Pengukuran cadangan besi pada defisiensi besi Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menilai defisiensi besi antara lain: (1) kumpulan simpanan besi (storage pool): pengecatan besi di sumsum tulang dan kadar ferritin serum, (2) kumpulan plasma (plasma pool) besi serum (serum iron), kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity) dan penjenuhan (saturasi) transferin, (3) kumpulan komponen sel darah merah (red blood cell pool): reseptor transferin, protoporphirin eritrosit, indeks eritrosit, keluasan distribusi sel merah (Red cell Distribution Width, RDW), hemoglobin dan hematokrit. Untuk mengetahui cadangan besi tubuh dapat diperiksa kadar besi serum/serum iron (SI), kapasitas ikat besi total/Total Iron Binding capacity (TIBC), feritin serum. Pemeriksaan yang dapat memastikan cadangan besi berkurang ialah pemeriksaan hemosiderin sumsum tulang dengan pengecatan Prussian Blue. Pemeriksaan saturasi transferin merupakan hasil perhitungan kadar serum iron (SI) dibagi Total Iron Binding Capacity (TIBC) dikalikan 100%. Dalam keadaan normal saturasi transferin 2045%. Di anemia defisiensi besi didapatkan kadar SI menurun dan TIBC meningkat, sehingga saturasi transferin meningkat. Penurunan saturasi transferin sampai di bawah 5% memastikan diagnosis anemia defisiensi besi. BAGIAN 2. VITAMIN B1

2.1.

Sejarah Pada tahun 1880-an penyakit beri- beri mencapai tingkat endemis di daerah

koloni Belanda. Di Asia, beri- beri telah dikenal sejak ribuan tahun sebelumnya. Secara tiba- tiba, setelah ditemukannya metode pengolahan nasi putih yang diproyeksikan menjadi makanan pokok, penyakit tersebut berkembang menjadi salah satu penyakit yang paling banyak diderita masyarakat di wilayah tersebut. Oleh karena itu ilmuan asal Belanda Cristian Eijkman meneliti untuk menyingkap penyebab penyakit beri- beri. Pada awalnya ia mencoba menginfestasikan mikroorganisme hasil temuan rekannya terhadap kelinci dan monyet. Kedua hewan tersebut ternyata tidak menderita sakit sama sekali. Kemudian, Eijkman memilih ayam sebagai bahan percobaannya, dan ternyata ayam itu sakit. Eijkman khawatir penyakit ayam itu menular pada manusia, ia kemudian

memindahkan ayam-ayamnya tersebut ke tempat lain. Namun baru saja hal ini dilakukan, semua ayamnya berangsur pulih. Eijkman tidak mengerti apa yang terjadi, karena ia merasa tidak melakukan terapi apapun untuk proses penyembuhan itu. Eijkman menemukan titik terang melalui pegawai yang biasa memberi makan ayamayamnya. Pegawai tersebut menceritakan kepadanya, sebelumnya ia memberi nasi putih sisa dari rumah sebelah sebagai pakan ayam. Pada saat itulah semua ayamnya jatuh sakit. Namun, tukang masak baru di rumah tersebut tidak bersedia memberikan nasi putih sisa, sehingga ia kembali memberi makan ayam- ayamnya dengan butir- butir beras yang belum dibersihkan. Pada saat itulah semua ayamnya berangsur pulih. Eijkman menyadari, penyakit beri- beri ini ada hubungannya dengan jenis pakan yang diberikan, kemudian ia merancang percobaan- percobaan. Pada akhirnya ia berkesimpulan, pada nasi putih terdapat zat yang bisa bersifat racun atau menyebabkan mikroorganisme penyebab penyakit berkembang biak, dan pada kulit beras terdapat zat penangkalnya. Ia menyebut zat tersebut sebagai faktor anti beri- beri. Pada tahun 1906 seorang ahli biokimia Inggris, Federick Hopkins menyatakan, dalam makanan terdapat bahan lain selain protein, karbohidrat, lemak, garam, dan air. Tahun 1912, seorang ahli kimia Casimir Funk menyatakan telah menemukan zat yang disebut eijkman sebagai faktor anti beri- beri. Ia menamakannya vitamine ( gabungan dari vital dan amine) yang kemudian umum disebut vitamin. Namun Funk belum berhasil mensintesis zat yang tepat sampai tahun 1926. Struktur tiamin atau vitamin B1 baru dapat disintesis sepenuhnya pada tahun 1936. Dan sejak tahun 1940, jenis-jenis makanan seperti nasi, tepung, pasta dan sereal diperkaya dengan vitamin B1. Sejak saat itum penyakit beri- beri tidak lagi menjadi masalah besar dan praktik makanan bervariasi yang diperkaya dengan vitamin telah menyelamatkan jutaan jiwa. Kekurangan vitamin B adalah penyebab penyakit beri- beri , yang biasanya terjadi pada daerah yang menjadikan beras kupas bersih sebagai makanan pokok. Pada negara berkembang, pengembangan nutrisi dan fortifikasi tiamin pada tepung telah meminimalisir terjadinya defisiensi vitamin B1, kecuali pasien dengan sindrom gastrointestinal kronik dan pecandu alkohol, nantinya defisiensi tiamin dapat menyebabkan wernickeS encephalopathy. Iber et al (1982), memperkirakan bahwa 5% orang di US yan berumur > 60 tahun mengalami gangguan status tiamin dan prevalensinya diatas prevalensi kemiskinan, penyakit kronis, dan sebuah lembaga. Sumber tiamnin adalah cereals, kacang- kacangan, sayur segar, daging babi dan daging sapi.:

Metode terbaik pengukuran status tiamin pada populasi pengukuran stimulasi dari eritrosit transketolase pada jalur tiamin pyrophosphate (TPP) (Sauberlich et

al.,1974).Transketolase adalah enzim yang terdapat pada jalur pentose pyrophosphate dan membutuhkan Tiamin pyrophosphate. Pengukuran aktivitas translokase dilakukan sebelum dan sesudah penambahan TPP, dan peningkatan aktivitas enzim oleh TPP menunjukkan bahwa terdapat defisiensi thiamin endogen (Sauberlich et al, 1974). Perubahan dan pengembangan prosedur pengujian membuat metode ini lebih dapat diterapkan pada populasi yang lebih besar(Sauberlich,1984). Basu et al. (1974), telah mengembangkan metode kalorimetri untuk mengukur aktivitas transketolase pada 50l darah. Sedangkan, Jaques et al mendapatkan

hubungan korelasi (r=0,02) antara pengukuran kalorimertri dengan pengukuran asupan tiamin dengan menggunakan food frekuensi pada 139 subyek. Meskipun HPLC merupakan teknik pengukuran yang tepat untuk mengukur kandunan vitamin B1 dalam plasma dan darah (Bettendorff et al.,1986), pengukuran ini tidak begitu efektif untuk mengukur status tiamin karena meskipun terdapat defisiensi tiamin, namun penurunan dalam darah terlalu kecil . Begitu juga kadar tiamin dalam urin bukan merupakan index yang sensitif untuk mengindikasikan terjadinya defisiensi tiamin, meskipun memeiliki intake yang cukup. Namun, pengukuran tersebut mungkin berguna untuk menegaskan dugaan klinis adanya defisiensi tiamin(Sauberlich, 1984). Akhir-akhir ini pengembangan metode HPLC untuk pengukuran tiamin di eritrosit dan darah (Herve et al.,1994)menyarankan bahwa pengukuran langsung dapat menjadi metode pilihan , meskipun hubungan antara metode tersebut dengan asupan tiamin tetap bisa ditentukan.

2.2.

Metode Metode otomatis pengukuran stimulasi eritrosit transketolase menunjukkan hasil

yang lebih sensitif dan mendekati dengan yang sebenarnya jika dibandingkan dengan metode manual(Waring et al.,1982). Koefisien korelasi yang didapatkan pada

pengujian berulang yang dilakukan dengan menggunakan metode otomatis adalah 2,7% dan 4,1% (Doolman et al.,1995). 2.3. Penyimpanan dan stabilitas : Daya stabilitas jangka panjang eritrosit transketolase masih belum pasti.

10

2.4.

Pengukuran dengan faktor lain Subjek dengan diabetes melitus dan polyneuritis memiliki aktivitas bebas eritrosit

transketolase yang rendah terhadap asupan tiamin, meskipun terdapat peningkatan aktivitas pada pasien animea pernisiosa (Kjosen dan seim, 1977) . Asupan alkohol yang berlebih tidak hanya menhjambat asorbsi tiamin, namun juga berdampak pada metabolisme (Iber et al.,1982). DAFTAR PUSTAKA

Dwiprahasto I. Terapi anemia defisiensi besi berbasis bukti. Dalam : Rina Triasih, ed Anemia defisiensi besi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM; 2004.p.68-82. Hartfield DS, Tan J, Yager JY, Rosychuk RJ, Spady D, Haines C, et al. The association between iron deficiency and febrile seizures in childhood. Clin Pediatr 2009 ; 20(10):1-7. I Dewa N S, Bachyar Bakri, Ibnu Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC Kisworini P, Sri Mulatsih. Clinical practice guidline anemia defisiensi besi. Rina Triasih, ed. Anemia defisiensi besi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM;2004.p.84-98. Mazza J.J, Fairbanks V.F. 1995. Iron Defisiensi Anemia in: Manual of Clinical Hematology. 2nd ed. Boston : Litlle Brown & co Pauli S, Karl P, Allan R, Kerttu I. 1988. Serum Transferrin Receptor-Ferritin Indeks Identify Healthy Subject sub clinic iron deficit. Blood. 92.1988 : 2934-9 Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam : Permono B, Sutaryo, penyunting. Buku Ajar Hematology Onkologi Anak. IDAI ; 2005. p.30-42. Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa Praktek Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera Utara. Talen M.J. 1993. The Mature of Eritrocyte in: Wintrobes Clinical Hematology. 9th ed. Philadelphia : Lea & Febiger

11

Willet, Walter. 1998. Nutritional Epidemiology, Monograph in Epidemiology and Biostatistics Volume 30. New York : Oxford University

12

Anda mungkin juga menyukai