Anda di halaman 1dari 18

Anemia Defisiensi Besi

OLEH :

KELOMPOK D6

ANGGOTA KELOMPOK :
MANDA MALIA UBRA

(102009047)

JERRY BERLIANTO BINTI

(102009100)

NICHOLAS WIJAYANTO

(102010021)

CINDY DEWINTA

(102010109)

CLAUDIA NARENDAR

(102010209)

SUFRIANUS BRIAN RANTESALU

(102010231)

ELSA TJAHYA

(102010311)

FRANSISKA AYU K

(102010313)

PRICILLIA

(102010397)

Pendahuluan
Anemia adalah penurunan kuantitas sel-sel darah merah dalam sirkulasi, abnormalitas
kandungan hemoglobin sel darah merah, atau keduanya. Anemia dapat disebabkan oleh
gangguan pembentukan sel darah merah atau peningkatan kehilangan sel darah merah
melalui perdarahan kronis, perdarahan mendadak, atau lisis (destruksi) sel darah merah yang
berlebihan. Semua anemia mengakibatkan penurunan nilai hematokrit dan hemoglobin tetapi
nilai MCV, MCHC, dan RDW dapat bervariasi. Gejala terkait anemia bergantung pada durasi,
tingkat keparahan, dan usia penderita serta status kesehatan sebelumnya. Semua gejala pada
akhirnya berhubungan dengan reduksi dalam pengangkutan oksigen ke sel dan organ
penderita, sehingga mengganggu fungsi dan status kesehatan.
Anemia defisiensi besi adalah anemia mikrositik-hipokromik yang terjadi akibat
defisiensi besi dalam diet atau kehilangan darah secara lambat dan kronis. Zat besi adalah
komponen esensial hemoglobin yang menutupi sebagian besar sel darah merah. Defisiensi
besi adalah masalah pada toddler dan anak-anak yang membutuhkan peningkatan kebutuhan
gizi untuk pertumbuhan janin. Wanita haid yang berolahraga memiliki peningkatan risiko
karena olahraga meningkatkan kebutuhan metabolik sel-sel otot. Pada pria, defisiensi besi
biasanya terjadi pada pengidap ulkus atau penyakit hepar yang ditandai perdarahan.
Penurunan jumlah sel darah merah memacu sumsum tulang untuk meningkatkan pelepasan
sel-sel darah merah abnormal yang berukuran kecil dan kekurangan hemoglobin.1

Anamnesis
Anamnesis yaitu suatu proses wawancara dua arah antara dokter dengan pasiennya
untuk mendapatkan informasi mengenai keluhan yang membuatnya datang ke dokter.
Anamnesis bisa dilakukan secara autoanamnesis (langsung) ataupun alloanamnesis (tidak
langsung). Pada anamnesis, ditanyakan nama, umur, jenis kelamin, keluhan utama, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat sosial, riwayat keluarga, dan riwayat
obat. Pertanyaan yang bisa diajukan untuk kasus ini adalah :

Apakah ada rasa lelah, lesu, lemas?

Sudah merasakan lelah sejak kapan?

Apakah ada perdarahan?

Apakah mata berkunang-kunang dan telinga mendenging?

Pola makannya bagaimana?

Apakah wajah pucat?

Apakah ada penyakit yang diderita dalam waktu lama?

Apakah ada warna kuning di mata atau di kulit?

Apakah ada demam?

Apakah ada benjolan di leher, lipat ketiak, lipat paha?

Apakah ada mengkonsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama?

Apakah dulu pernah mengalami seperti ini?

Apakah keluarga ada yang seperti ini?

Apakah sudah di obati ?

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang kita lakukan adalah:
Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, dan suhu. Tekanan
darah normal, nadi meningkat, frekuensi nafas normal atau sedikit meningkat,

suhu normal.
Inspeksi
Pada inspeksi akan ditemukan kulit pucat (muka, telapak tangan, konjungtiva,
daun telinga, telapak kaki);
- kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga

berbentuk seperti sendok (koilonikia);


atrofi papil lidah dimana permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena

papil lidah menghilang;


stomatitis angularis (keilosis) peradangan pada sudut mulut berwarna pucat

keputihan.
Palpasi
Palpasi abdomen tidak ditemukan adanya perbesaran organ.
Auskultasi
Terdengar peningkatan denyut jantung (takikardi) yang merupakan kompensasi.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjamg yang dapat dilakukan adalah:
A. Pemeriksaan laboratorium
1. Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran


kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang.
2. Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau
menggunakan rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila
kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang.
MCV merupakan indicator kekurangan zat besi yang spesifik setelah
thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan
membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 82-92 fl,
mikrositik < 82 fl dan makrositik >92 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 2737 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 37 pg.
c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 32-37% dan hipokrom
< 32% .
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual dan akan
ditemukan gambaran anemia hipokrom mikrositik, anisositosis (banyak variasi
ukuran eritrosit), poikilositosis (banyak kelainan bentuk eritrosit), sel pensil,
kadang-kadang adanya sel target
4. Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum
karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang
rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan,
infeksi kronis, syok, pireksia, rheumatoid arthritis, dan malignansi. Besi serum
dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi
yang spesifik.
5. Serum Transferin (TI)

Transferin adalah protein transport besi dan diukur bersama-sama dengan besi
serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat
menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan
keganasan.
6. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan
suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin
dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai
pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat
jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan
kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara
khusus oleh plasma.
7. Serum Ferritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitive untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin < 20 g/l sangat spesifik
untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga
dapat dianggap sebagai diagnostic untuk kekurangan zat besi.
Rendahnya serum feritin menunjukkan serangan awal kekurangan zat besi,
tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya
sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian
range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi
serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukkan
cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada
decade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada
wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama
seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian
menstruasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara
dramatis dibawah 20 g/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang
mendapatkan suplemen zat besi.

Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi
kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alcohol. Serum feritin diukur dengan
mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA),
atau Essay immunoabsorben (ELISA).
B. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Sumsum tulang menunjukkan hyperplasia normoblastik ringan sampai sedang
dengan normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tidak teratur.
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan
cadangan besi yang negative (butir hemosiderin negative). Dalam keadaan normal 4060% normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai
sideroblas. Pada defisiensi besi maka sideroblas negative. Di klinik, pengecatan besi
pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi
besi, namun akhir-akhir ini perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin
serum yang lebih praktis. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif,
sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum. 2,3

Tabel 1. Tahap Defisiensi Besi. 2


feritin

Saturasi transferin

hemoglobin

Tahap 1

menurun

Normal

normal

Tahap 2

menurun

Menurun

normal

Tahap 3

menurun

Menurun

Menurun

Working Diagnosis
Pada kasus ini, diagnosis yang diambil adalah anemia defisiensi besi, diagnosis
anemia defisiensi besi diperoleh terutama dari pemeriksaan laboratorium, dan tidak terdapat
kriteria diagnosis khusus. Terdapat tiga tahap diagnosis anemia defisiensi besi: tahap pertama
adalah menentukan anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit, tahap kedua
adalah memastikan adanya defisiensi besi, tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari
defisiensi besi yang terjadi.
Anemia mikrositik hipokrom pada hapusan darah tepi, atau MCV kurang dari 80fL dan
MCHC kurang dari 31% dengan salah satu dari keempat poin:
Dua dari tiga parameter di bawah ini

Besi serum kurang dari 50 mg/dL


DIBT lebih dari 350 mg/dL
Saturasi transferrin kurang dari 15%, atau Ferritin serum kurang dari 20 mg/l,
atau Pengecatan sumsum tulang dengan biru Prussia menunjukkan cadangan
besi (hemosiderin) negative, atau dengan pemberian ferrous sulfat 3x200
mg/hari (atau preparat besi yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan
kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dL.4

Diferrential Diagnosis

Tabel 2. Pemeriksaan laboratorium differential diagnosis anemia defisiensi Fe.4

Talasemia
Termasuk dalam kelainan hemoglobinopati, di mana didapatkan kelainan pada
struktur maupun sintesis molekul Hb. Pada keadaan ini yang abnormal hanya
globinnya saja sedangkan hem nya normal.
Pada talasemia , terjadi kelebihan rantai globin dan sebaliknya. Rantai
bebas tsb tidak stabil dan akan mengalami presipitasi dalam eritrosit dan membentuk
badan inklusi sejak eritrosit masih muda, sehingga eritrosit ini harus dihancurkan.
Eritrosit yang lolos ke sirkulasi darah akan dihancurkan di limpa, dengan akibat
terjadi splenomegali sampai hipersplenisme. Ketidakseimbangan rantai dan ini
berkurang bila talasemia dan terjadi bersamaan dan dengan demikian gambaran
klinisnya lebih ringan.5

Talasemia
Pada keadaan normal, ada 4 gen globin, di mana masing-masing terdapat 2
pada kromosom 16. Derajat keparahan talasemia tergantung dari gen yang tidak
ada, atau disfungsional.
Hidrops fetalis
Pada hidrops fetalis, keempat gen inaktif. Fetus tidak dapat membuat Hb A
fetal (22) maupun dewasa (22). Terjadi kematian in utero (stillbirth) atau
neonatal death.6 Secara klinis bayi dengan kelainan ini tampak pucat (anemia berat),
bengkak, kalaupun mampu lahir hidup hanya untuk beberapa saat saja. Abdomen
membesar,

hepatosplenomegali,

hemopoiesis

ekstramedular,

sumsum

tulang

hiperplastik, hemolisis berat, dan terdapat endapan hemosiderin dalam RES. Sering
disertai kelainan congenital lainnya.
Hasil pemerisaan laboratoriumnya adalah Hb rendah (3-10g/dL),anemia
mikrositik hipokrom, hitung retikulosit meningkat, aniso-poikilositosis berat, banyak
eritrosit berinti. Pada elektroforesis Hb dengan buffer alkalis ditemukan Hb Barts 8090% sedangkan Hb F nihil.6

Hb H disease
Disebabkan delesi atau gangguan dari 3 dari 4 gen . Didapatkan anemia
mikrositik hipokrom yang menonjol (Hb 6-11.0 g/dL), dan splenomegali. Tidak
terjadi deformitas tulang dan gejala kelebihan zat besi. Elektroforesis hemoglobin
menunjukkan 4-10% hemoglobin H (4) dan pewarnaan supravital menunjukkan sel
golf ball.4
Trait talasemia
Didapatkan delesi dari 1 atau 2 gen dengan eritrosit mikroskopik hipokrom
dengan peningkatan hitung eritrosit (lebih dari 5.5x109/L). Terjadi anemia ringan
pada beberapa kasus dengan delesi dari 2 gen .6 Delesi dari 1 gen akan
menunjukkan hasil Hb A dan Hb F yang normal, tidak terjadi anemia, namun nilainilai MEV menurun.

Talasemia
Talasemia

mayor/Cooleys anemia/Mediterranean

anaemia. Adanya

kegagalan sintesis rantai baik subtotal (+) maupun total (0) akibat 200 mutasi titik
berbeda atau delesi dari gen globin pada sekuens pengontrolnya pada kromosom
11.6 Didapatkan ketidakseimbangan berat dari rantai :+ dengan deposisi dari
rantai pada eritroblas. Kelainan ini didapat dari perkawinan sepasang suami-istri
dengan trait talasemia .5
Gejala klinis yang dapat ditemukan adalah eritropoiesis inefektif, anemia
berat, hepatosplenomegali, timbunan besi, dan hemopoiesis ekstramedular.
Sumsum tulang akan mengalami hyperplasia dan sumsumnya berekspansi ke
tulang, di mana pada wajah akan tampak sebagai thalassaemic facies. Terjadi
penipisan korteks tulang, kecenderungan terjadi fraktur patologik. Pada foto cranium
terdapat ekspansi dari tulang dengan gambaran hair-on-end appearance.
Dari sediaan darah tepi ditemukan gambaran anemia mikrositik hipokrom
berat (Hb 2-6 g/dL), eritrosit berinti, retikulositosis, sel sasaran, basophilic stippling,
eritroblas, dan sering mielosit.
Dalam elektroforesis ditemukan Hb A sangat kurang atau nihil, Hb F meningkat dan
Hb A2 normal atau agak meningkat. Rasio rantai / meningkat. Analisis DNA
memperlihatkan mutasi atau delesi spesifik.

Thalasemia intermedia
Lebih ringan dari talasemia mayor dengan onset lebih lama dan ditandai
dengan anemia mikrositik hipokrom yang memerlukan sedikit transfuse atau tidak
sama sekali. Terjadi defek rantai yang lebih ringan daripada talasemia mayor,dengan
peningkatan

rantai

atau

penurunan

sintesis

rantai

Dapat

terjadi

hepatosplenomegali, hemopoiesis ekstramedular, anemia, dan deformitas tulang, juga


overload besi akibat transfusi berulang.
Trait talasemia
Anemia mikrositik hipokrom dengan peningkatan jumlah eritrosit (lebih dari
5.5x1012/dL) dan peningkatan kadar Hb A2 (lebih dari 3.5%). Simpanan besi normal.

Diagnosis yang akurat memungkinkan dilakukannya konsultasi genetic dan terapi besi
yang tidak sesuai.4
2

Anemia akibat penyakit kronis


Merupakan salah satu penyakit yang paling banyak diderita pada pasien
dengan penyakit inflamasi kronis dan malignansi. Inflamasi kronis dapat disebabkan
oleh infeksi (misalnya abses paru, pneumonia, TB paru) dan penyakit bukan infeksi
(misalnya rheumatoid arthritis, SLE, sarkoidosis, penyakit Crohn). Penyakit
keganasan yang dapat menyebabkan anemia diantaranya adalah limfoma, karsinoma,
dan sarcoma.5
Dapat ditemukan:

Morfologi eritrosit normokromik, normositik, atau hipokromik ringan (MCV

jarang kurang dari 75 fL)


Anemia ringan dan non-progresif (hemoglobin jarang kurang dari 9.0 g/dL) di

mana beratnya anemia tergantung dari penyakit dasarnya.


Besi serum dan daya ikat besi total berkurang, reseptor transferrin serum normal
Ferritin serum normal atau meningkat
Elektroforesis Hb normal
Simpanan zat besi retikuloendotelial sumsum tulang normal namun zat besi
eritroblas berkurang.
Anemia ini tidak berespon terhadap terapi zat besi dan harus diterapi penyakit

dasarnya, di mana eritropoietin rekombinan dapat memperbaiki anemianya dalam


beberapa kasus.

Anemia sideroblastik
Merupakan anemia yang refrakter di mana pada pemeriksaan sumsum tulang
ditemukan peningkatan zat besi yang terlihat sebagai granul yang tersusun
membentuk cincin sekitar nukleus dari eritrosit yang sedang berkembang (ringed
sideroblast), setidaknya pada 15% sel.6 Normalnya, granula zat besi tersebar secara
acak pada eritroblas.
Anemia sideroblastik terbagi menjadi beberapa tipe, dan yang paling sering
adalah defek pada sintesis hem. Pada bentuk yang herediter, anemianya biasanya

ditandai dengan gambaran mikrositik hipokrom yang sangat jelas, di mana mutasi
yang paling sering adalah pada gen ALA-S yang terkait kromosom X. 6

Epidemiologi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik
diklinik maupun di masyarakat. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang sangat sering
di jumpai dinegara berkembang. Defisiensi zat besi terjadi pada sekitar 30% populasi dunia.
Dari berbagai data yang dikumpulkan sampai saat ini, di dapatkan gambaran prevalensi
anemia defisiensi besi seperti tertera di bawah ini.
Tabel 3. Prevalensi Anemia Defisiensi Besi.
Afrika

Amerika Latin

Indonesia

Laki dewasa

6%

3%

16-50%

Wanita tak hamil

20%

17-21%

25-48%

Wanita hamil

60%

39-46%

46-92%

Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan
absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:

1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :
- Saluran Cerna : akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID,
kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing
tambang.
-

Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia.

Saluran kemih : hematuria

Saluran napas : hemoptoe

2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan
rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan
dan kehamilan.

Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik. Pada orang
dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan
menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama.
Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara
tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu, pada wanita paling sering
karena menormetrorhagia. 2,7

Patofisiologi
Zat besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk ion bebas, tetapi selalu
berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan dengan sifat seperti
radikal bebas. Dalam keadaan normal, seorang pria dewasa mempunyai kandungan besi 50
mg/kgBB sedangkan wanita 35 mg/kgBB.
Tubuh memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyerap zat besi dan kehilangan zat besi
akibat pendarahan adalah hal yang sangat umum. Pemindahan dan penyimpanan zat besi
dalam tubuh banyak dimediasi oleh 3 protein: transferrin, reseptor transferrin 1 (TfR1) dan
ferritin. Transferrin mengantarkan zat besi ke jaringan yang memiliki reseptor transferrin,
terutama eritroblas pada sumsum tulang yang memasukkan zat besi ke dalam hemoglobin.
Transferrin kemudian akan digunakan kembali. Ketika eritrosit memasuki RES untuk
dihancurkan, zat besi akan terlepas dari hemoglobin dan memasuki plasma untuk berikatan
kembali dengan transferrin. Hanya sebagian kecil zat besi plasma yang diperoleh dari diet zat
besi dan hasil penyerapan duodenum dan jejunum. Sejumlah zat besi disimpan dalam
makrofag dalam bentuk ferritin dan hemosiderin, di mana kadarnya tergantung kadar zat besi
dalam tubuh. Ferritin adalah kompleks protein-zat besi yang larut air, dimana 20% dari
beratnya mengandung zat besi, serta tidak dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. Sedangkan
hemosiderin adalah kompleks protein-zat besi yang tak larut air dengan komposisi bervariasi
dan 37% dari beratnya mengandung zat besi, di mana hemosiderin dapat dilihat berada dalam
makrofag dengan menggunakan mikroskop cahaya setelah pewarnaan dengan Prussian blue.
Zat besi dalam ferritin dan hemosiderin berada dalam bentuk ferri, dan akan didistribusikan
setelah direduksi menjadi bentuk ferro, dibantu oleh vitamin C. Sedangkan seruloplasmin
mengkatalisa oksidasi zat besi menjadi bentuk ferri guna berikatan dengan transferrin plasma.
Kadar ferritin dan TfR1 tergantung dari kadar zat besi tubuh, dimana kelebihan zat besi akan
menyebabkan peningkatan ferritin jaringan dan penurunan jumlah TfR1, sedangkan
kekurangan zat besi akan menyebabkan penurunan ferritin jaringan dan peningkatan jumlah
TfR1. Ketika kadar zat besi plasma meningkat dan transferrin tersaturasi, akan terjadi

peningkatan distribusi zat besi ke dalam sel-sel parenkim (misalnya hati, organ endokrin,
pancreas, dan jantung) sehingga merupakan dasar dari perubahan patologis yang
berhubungan dengan kelebihan zat besi.
Zat besi juga terdapat dalam otot sebagai mioglobin dan pada kebanyakan sel-sel
tubuh dalam enzim yang mengandung zat besi (misalnya sitokrom, succinic dehydrogenase,
katalase), di mana zat besi dalam jaringan ini lebih sulit berkurang dibandingkan dengan
hemosiderin, ferritin, dan transferrin dalam keadaan defisiensi besi.
Hepsidin, merupakan polipeptida yang diproduksi oleh sel hati, yang merupakan
protein fase akut dan regulator hormonal yang dominan dalam homeostasis zat besi. Hepsidin
menghambat pelepasan zat besi dari makrofag, sel-sel epitel usus, dan dari sinsitiotrofoblas
plasenta. Produksi hepsidin akan meningkat akibat inflamasi, dan akan menurun bila terdapat
anemia defisiensi besi (diperantarai oleh reseptor transferin), hipoksia, dan eritropoiesis
inefektif. Zat besi berada dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida, kompleks ferriprotein, dan kompleks hem-protein, di mana secara umum dapat dikatakan bahwa daging
terutama hati merupakan sumber zat besi yang lebih baik daripada sayur-sayuran, telur,
maupun produk susu. Zat besi organic yang terdapat dalam diet sebagian akan diserap
sebagai hem dan sebagian akan dipecahkan menjadi besi inorganic di usus, di mana hem
kemudian akan dicerna untuk melepaskan zat besi. Sedangkan absorbsi besi inorganic
dipengaruhi oleh factor seperti asam (HCl dan vitamin C) dan agen-agen pereduksi (asam
amino; glutation) yang menyebabkan zat besi dalam lumen usus tetap berada dalam bentuk
ferro daripada ferri. Yang tergolong sebagai zat penghambat adalah tanat, fitat, dan serat
(fibre). Ferri reduktase berada pada permukaan apikal villi usus dan berguna untuk mengubah
zat besi dari ferri menjadi ferro, dan enzim lain yaitu hephaestin (yang mengandung tembaga)
mengubah ferro menjadi ferri pada permukaan basal sebelum berikatan dengan transferrin.
Perdarahan kronis menyebabkan kehilangan zat besi sehingga cadangan zat besi
makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau
negative iron balance, ditandai oleh kadar ferritin serum menurun dan peningkatan absorbsi
zat besi dalam usus, serta pewarnaan besi dalam sumsum tulang negative. Apabila
kekurangan zat besi berlanjut terus, cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan
besi untuk eritropoiesis berkurang tetapi anemia secara klinis belum terjadi, disebut sebagai
iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini, kelainan yang pertama ditemukan adalah adanya
peningkatan protoporfirin bebas atau zinc protoporphirin dalam eritrosit. Saturasi transferrin
menurun dan DIBT meningkat, juga peningkatan reseptor transferrin dalam serum. Apabila
jumlah besi menurun terus maka eritropoiesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin

menurun, timbul anemia mikrositik hipokrom (iron deficiency anemia). Pada saat ini juga
terjadi kekurangan besi epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala
pada kuku, epitel mulut, dan faring serta berbagai gejala lainnya.4

Manifestasi klinik
Gejala umum anemia yang disebut sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia
defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa: badan
lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, telinga mendenging. Pada anemia
defisiensi besi penurunan kadar hemoglobin terjadi secara perlahan-lahan sehingga gejala ini
tidak terlalu mencolok.
Gejala khas pada anemia defisiensi besi adalah :

Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis


vertikal dan menjadi cekung sehingga berbentuk seperti sendok.

Atrofi papil lidah dimana permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena

papil lidah menghilang.


Stomatitis angularis (keilosis): adanya peradangan pada sudut mulut sehingga

tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.


Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
Atrofi mukosa gaster sehinggamenimbulkan akhloridia.
Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es,

lem, dll.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan gejala
yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.2

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap anemia defisiensi besi adalah:
a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy).
Medikamentosa
Terapi besi oral. Diberikan ferrous sulphat (sulfas ferosus) merupaka preparat pilihan
pertama karena murah dan efektif. Dosis anjuran 3x200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus

mengandung 66 mg b esi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3x200 mg mengakibatkan


absorpsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali
normal.
Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous succinate.
Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan
sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan enteric coated yang dianggap memberikan efek
samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorpsi besi.
Preparat besi sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih
sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami
intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan.
Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dapat dijumpai
pada 15% sampai 20%, yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa
mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi diberikan saat makan
atau dosis dikurangi menjadi 3x100 mg.
Pengobatan besi diberikan 3 samapi 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12
bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis
pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika tidak diberikan dosis
pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali.
Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi dapat
meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati
dan daging yang banyak mengandung besi.
Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih
besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan
atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral adalah:
1. Intoleransi terhadap pemberian besi oral
2. Kepatuhan terhadap obat yang rendah
3. Gangguan pencernaan seperti colitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi
4. Penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi
5. Keadaan dimana/ kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup
dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary
hemorrhagic teleangiectasia
6. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu yang pendek, seperti paada kehamilan
trimester tiga atau sebelum operasi
7. Defisiensi besi fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal
ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia adalah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron
sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose
yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuscular dalam atau intravena

pelan. Pemberian secara intramuscular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam
pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang
(0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut
dan sinkop. 2
Non medika mentosa

Diet. Sebaiknya diberikan makana bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal
dari protein hewani.

Vitamin C: vitamin C diberikan 3x100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi.

Transfusi darah. ADB jarang memerlukan transfuse darah. Indikasi pemberian


transfudi darah pada ADB adalah adanya penyakit jantung anemic dengan ancaman
payah jantung, anemia yang sangat simptomatik (anemia dengan gejala pusing yang
sangat mencolok), pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat
seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi. Jenis darah yang diberikan
adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai
premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid intravena. 2,8

Komplikasi
Komplikasi seperti pada anemia yang lain apabila anemianya berat maka akan timbul
komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa dekompensatio cordis. Komplikasi lain yang
mungkin terjadi adalah komplikasi dari traktus gastrointestinal berupa keluhan epigastric
distress atau stomatis.

Pencegahan

Pendidikan kesehatan:
-

Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan


lingkungan kerja (memakai alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit
cacing tambang.

Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu


absorpsi besi.

Pemberantasan infeksi cacaing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang


paling sering dijumpai di daerah tropic.

Suplementasi besi yaitu pemberian besiprofilaksis pada segmen penduduk yang


rentan, seperti ibu hamil dan anak balita.

Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan
makan.2

Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.

Kesimpulan
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia mikrositik hipokrom. Untuk
membandingkannya dengan jenis anemia mikrositik hipokrom yang lain dapat dipastikan
dengan melakukan pemeriksaan laboratorium Pada kasus ini anemia defisiensi besi di dapat
karena kurangnya asupan besi dari nutrisi. Pengobatan anemia defisiensi besi dengan
menggunakan preparat besi, dan juga mengedukasi pasien untuk mengkonsumsi bahan
makanan yang mengandung zat besi seperti daging.

Daftar Pustaka
1
2

Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009.h.410,427


Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.1127-36


Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium ed 11.

Jakarta: EGC; 2004. h.70-2


Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi

ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 1130-1136


Mehta AB, Hoffbrand AV. At a glance hematologi [terjemahan]. Edisi ke-2. Jakarta:

Erlangga; 2008. H. 26-85


Rodak BF, Fritsma GA, Keohane EM. Hematology clinical principle. Ed 4. McGraw

Hill; 2005.p.1-12.
Mitchell, dkk. Buku saku dasar patologis penyakit Robbins & Cotran ed. 7. Jakarta:

EGC; 2008.h.373-6
8 Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC;
2005

Anda mungkin juga menyukai