Anda di halaman 1dari 2

Judul buku Pengarang Penerbit Tahun cetakan Tebal buku

: Menjaring Pelangi : Drs. I. B. Made Mertha : Adicita Karya Nusa : 1996 : vii + 126

Menjaring Pelangi
Wayan dan kedua adiknya, Karni dan Ranu, baru saja bertransmigrasi ke sebuah tempat yang belum pernah mereka datangi sebelumnya. Namun, mereka tidak sendiri bersama sebagian warga desa yang masih hidup setelah desa asal mereka terkena bencana banjir yang cukup besar. Kedua orang tua Wayan pun turut menjadi korban jiwa dalam bencana tersebut, sehingga Wayan harus hidup mandiri bersama kedua adiknya dalam sebuah rumah yang juga belum pernah mereka tinggali. Hari pertama mereka memulai kehidupan baru, mereka habiskan untuk beristirahat setelah berjam-jam menempuh perjalanan ke tempat itu. Sedangkan hari keduanya, mereka menata rumah, mulai dari mencuci pakaian hingga membuka lahan di belakang rumah. Sementara mereka bekerja, datanglah Pak Hadi sebagai petugas yang mendata para transmigran dengan menyebarkan formulir. Data itulah yang akan digunakan untuk menentukan jumlah bibit yang harus disediakan untuk ditanam warga, membentuk rukun tetangga, mengatur sekolah, dan kepentingan yang lainnya. Wayan pun segera mengisi formulir itu dengan baik agar cepat mendapat bibit pohon, dan segera bisa bercocok tanam. Setelah berhari-hari menunggu bibit pohon yang tak kunjung datang, Wayan pun mulai kesal. Padahal Pak Hadi berkata bibit itu akan segera dibagikan setelah semua formulirnya telah terkumpul. Namun, akhirnya Wayan sadar bahwa selama ini Pak Hadi bekerja sendirian mengurusi para transmigran yang berjumlah banyak. Pak Hadi pasti sangat lelah menyebarkan lalu mengumpulkan lagi formulirnya. Maka, waktu itu juga, Wayan datang ke rumah Pak Hadi dan meminta izin pada Pak Hadi untuk membantunya. Begitu Wayan menerima izin dan beberapa wejangan dari Pak Hadi, barulah ia mulai bertugas dengan mengumpulkan formulir yang belum terkumpul dari rumah ke rumah. Berbagai reaksi dari orang-orang yang ia temui ia terima dengan maklum. Begitu semua formulir telah terkumpul, barulah para pengurus transmigran termasuk Wayan, serta para kepala keluarga dikumpulkan untuk membahas program-program yang akan dijalankan pada awal kehidupan mereka di tempat baru tersebut. Pagi harinya, mereka memulai program itu dengan membuka lahan di pinggir hutan. Mereka bekerja dengan penuh semangat, begitu juga dengan Wayan yang ikut menebang pohon dengan terlalu bersemangat sampai-sampai lengannya pun melepuh. Meskipun begitu, ia masih tetap saja membantu membuka lahan. Hingga hari kelimanya, ia pun terpaksa dibawa ke dokter. Selagi tangannya masih sakit, Wayan menghabiskan banyak waktunya untuk mengurusi adik-adiknya, walaupun mereka berdua sudah bisa menjaga diri masingmasing. Wayan juga sempat membuat rak pakaian bersama kedua adiknya tersebut. Meskipun kaki raknya tinggi sebelah, yang penting rak itu bisa digunakan. Sementara itu, ketika Wayan berbicara dengan Karni, tiba-tiba Karni mengarahkan pembicaraan pada masalah tawaran Pak Made pada Wayan untuk menjadi guru di sekolah Karni yang baru. Sebenarnya sudah banyak orang yang mendukung Wayan untuk menjadi guru dengan alasan Wayan lebih pantas memegang kapur daripada memegang parang. Buktinya tangan Wayan yang melepuh setelah menebang hanya dalam satu hari saja. Namun, Wayan tidak mau menerimanya sebelum ia dapat membuktikan bahwa ia bisa bertani seperti orang desa lainnya.

Beberapa hari kemudian, Wayan kembali ke ladang bermaksud untuk membantu meratakan arang sisa pembakaran rerumputan. Namun sialnya, Wayan tidak sengaja menginjak arang sisa pembakaran yang masih membara yang membakar telapak kakinya hingga ia tak sadarkan diri. Lagi-lagi ia terpaksa dirawat di rumah sakit dan harus menginap di sana. Tiga hari kemudian, Wayan sudah diperbolehkan pulang. Namun, ternyata sudah banyak perubahan yang terjadi di desanya. Mulai dari pekarangan rumah warga yang telah bersih dari rumput, benih yang telah ditanam, hingga dibukanya pasar di dekat desa itu. Selain itu, desa barunya tersebut juga telah diberi nama baru, yaitu Desa Bahagia. Suatu ketika, Wayan datang menemui Pak Made untuk mengungkapkan kesediaannya untuk mencoba menjadi guru, setelah yakin dirinya memang tidak bisa bekerja di ladang. Kemudian, ia berkonsultasi dengan Bu Wiwiek yang mengajar kelas empat dan lima sebelum akhirnya ia memutuskan mengajar di kelas lima. Ia pun mengajar dengan cukup baik. Selain itu, ia mengembangkan halaman sekolah menjadi lapangan, sehingga warga desa bisa memakainya untuk selingan setelah beraktivitas. Sementara itu, meskipun Wayan telah bisa menggerakkan kegiatan desa, ia sangat kaku dan pemarah di rumah. Karni juga sangat curiga dan khawatir dengan kelakuan kakaknya itu yang sering terbangun tengah malam dan bertingkah seperti petani yang mengurusi tanamannya di halaman belakang. Karena takut ada yang tidak beres dengan kakaknya, Karni pun menceritakannya pada Pak Hadi. Pak Hadi lalu menasihati Karni bahwa kakaknya hanya rindu ingin menjadi petani sejak ia pindah ke desa itu, dan hal itu tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Waktu pun terus berlalu hingga tak terasa sebentar lagi akan panen jagung. Awalnya seluruh warga bergembira menyambut panen pertama ini, sebelum sekawanan babi hutan merusak tanaman jagung mereka. Akhirnya, para warga yang marah pun berusaha memburu babi hutan itu dengan senapan dan membuat jebakan. Namun, setelah lama dinanti, babi hutan itu tidak kunjung datang. Wayan pun mencoba membuat jebakan sendiri yang berbeda. Ia membuat dua buah jebakan di dekat ladangnya. Tangannya memang melepuh saat menebang pohon, kakinya boleh terbakar saat merapikan ladang, dan tak apa rak pakaian yang ia buat kakinya tinggi sebelah, tetapi kali ini ia tak boleh gagal lagi. Hingga suatu malam, gerombolan babi hutan itu datang lagi dan membuat suasana desa menjadi ramai terutama suara tembakan senapan api. Namun, yang berhasil menangkap babi hutan itu adalah jebakan milik Wayan. Tak tanggung-tanggung, ia berhasil menjebak dua ekor babi yang salah satunya adalah pimpinannya. Dengan membunuh pimpinan babi hutan itu saja sudah cukup untuk membuat babi hutan yang lainnya kembali ke hutan dan tidak kembali ke ladang lagi. Masalah babi hutan pun telah terselesaikan dan semua warga kembali menanam jagung dengan hati yang jauh lebih tentram. Begitu juga Wayan yang akhirnya bisa membuktikan pada semua orang bahwa ia bisa bertani seperti petani yang lainnya. Selain itu, ia juga masih menjadi guru di sekolahnya dan ia sangat menikmati pekerjaan itu. Ia tak menyangka akan mendapat rumah, ladang, sekaligus pekerjaan, dan yang lebih penting lagi, ia dapat mewujudkan keinginannya agar bisa bertani.

Anda mungkin juga menyukai