Anda di halaman 1dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Akhir -akhir ini proses penegakan hukum sebagai suatu wacana dalam masyarakat kembali menjadi topik yang sangat hangat dibicarakan. Berbagai komentar dan pendapat baik yang berbentuk pandangan ataupun penilaian dari berbagai kalangan masyarakat selalu menghiasi media massa yang ada di negeri ini. Beberapa hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum tersebut adalah masalah tidak memuaskan atau bahkan bisa dikatakan buruknya kinerja sistem dan pelayanan peradilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum1, yang disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan, atau bahkan kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam sistem peradilan, baik hakim, pengacara, maupun masyarakat pencari keadilan, selain tentunya disebabkan karena adanya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses beracara di lembaga peradilan. Semua hal tersebut akhirnya melahirkan pesimisme masyarakat untuk tetap menyelesaikan sengketa melalui lembaga peradilan, sehingga yang terjadi adalah main hakim sendiri2. Sebagai suatu sistem, kinerja peradilan sekarang ini berada pada titik nadir yang sangat ekstrim. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah -olah sudah tidak dapat lagi menjad i media kontrol bagi lembaga tersebut untuk selanjutnya melakukan berbagai perbaikan yang signifikan bagi terciptanya suatu sistem peradilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat. Secara praktek, teori peradilan yang mempunyai asas sederhana, cepat, dan biaya ringan terlihat sudah sangat sulit untuk ditemukan dan diterapkan oleh lembaga dan aparat peradilan yang ada saat ini. Keadaan tersebut diperparah oleh lemahnya manajemen perkara di pengadilan, yang salah satunya dapat dilihat dari permohonan kasasi kasus praperadilan Ginandjar Kartasamita. Permohonan kasasi tersebut sempat tertunda selama lebih kurang enam bulan, karena

1 2

Suara Pembaharuan, 31 Maret 2002. Suara Pembaharuan, 23 September 2001

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 1 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

berkas perkara yang ada di dalam disket milik panitera terkena virus sehingga membutuhkan waktu enam bulan untuk mendapatkannya kembali 3. Kriteria buruknya pelayanan lembaga peradilan dapat dilihat dan diukur juga dari pelayanannya yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat sangat tidak optimal. Pelayanan yang tidak optimal tersebut diantaranya adalah, lambatnya proses penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap suatu kasus, banyaknya persyaratan administratif yang harus ditempuh saat pendaftaran perkara di pengadilan, banyaknya pungutan di luar biaya administrasi resmi4 dan banyaknya perkara kasasi yang menumpuk di Mahkamah Agung 5 sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini. DATA PERKARA KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI YANG MASUK DAN DIPUTUS MAHKAMAH AGUNG RI PERIODE 1997 2001

PERKARA MASUK NO 1 1 2 3 4 5 TAHUN 2 1997 1998 1999 2000 2001 Jumlah Kasasi 3 5.259 7.815 6.958 7.325 5.740 33.097 4 837 883 850 899 884 4.353 PK 5 6.096 8.698 7.808 8.244 6.624 37.470 Jumlah

PERKARA PUTUS Kasasi 6 5.884 7.723 9.780 6.594 4.208 34.189 7 1.063 1.792 969 297 404 4.525 PK Jumlah 8 6.947 9.515 10.749 6.891 4.612 43.239 KETERANGAN 9 Sisa 1996 Kasasi : 12.916 PK : 3.200 Perkara th

Jumlah :16.116 Perkara Th 2001 Jan Sep 2001

Kompas, 15 Januari 2002

4 Untuk pendaftaran perkara perdata di pengadilan seorang pencari keadilan harus membayar biaya pendaftaran perkara yang tidak bisa ditentukan secara tepat, walaupun dalam formulir telah tertera biaya resminya, namun untuk memperlicin maka dikenakan biaya tidak resmi yang bervariasi. (Laporan hasil pemantauan peradilan terhadap pola -pola korupsi pada proses beracara di peradilan umum). Hal ini diperkuat dengan pernyataan pengacara AI, untuk memperoleh putusan ia harus mengeluarkan biaya mencapai Rp.500.000 , padahal dalam salinan putusan tertulis Rp. 125.000, -. Lihat Kompas, 30 Nopember 2001) 5 Tumpukan perkara di Mahkamah Agung pada awal tahun 2001 adalah 11.892, perkara tersebut adalah perkara sisa dari penyelesaian perkara yang masuk di MA (laporan akhir tahun 2000 MA).

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 2 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1997 1998 1999 2000 2001 Kasasi PK

Gbr. Diagram perkara Kasasi dan PK yang masuk di MA


10000 8000 6000 Kasasi 4000 2000 0 1997 1998 1999 2000 2001 PK

Gbr. Diagram penyelesaian perkara Kasasi dan PK di MA berdasarkan data diatas tersebut dapat diketahui : Rata rata perkara yang masuk pertahun Perkara kasasi Perkara PK = 33.097 = 6.619 5 = 4353 = 5 Rata rata perkara yang putus pertahun adalah Perkara kasasi Perkara PK = 34.189 = 6837 5 = 4525 5 Proses perkara pengadilan yang dilalui mulai dari pendaftaran sampai keluar putusan terlalu berbelit -belit, tidak efisien dan mahal. Ditambah lagi dengan buruknya manajemen pembagian perkara serta penunjukan hakim untuk menangani perkara = 905 870

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 3 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

dianggap tidak proporsional dan acceptable. Selain itu prosedur penetapan putusan pengadilan juga dianggap tidak transparan oleh publik. Hal diatas menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan semakin menipis dari hari ke hari. Sedangkan di sisi lain, ada tuduhan bahwa lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman pada umumnya sudah tidak independen dan mandiri dalam menjalankan kinerja serta mengeluarkan putusan-putusannya. Campur tangan pihak eksekutif dalam proses peradilan menjadi salah satu indikasi ketidakmandirian lembaga peradilan terseb ut, keadaan demikian seperti yang terjadi pada masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid. Pada saat itu Presiden secara terbuka telah menyatakan penghentian proses hukum yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap tiga orang konglomerat. Dugaan atas penyimpangan tersebut diperkuat oleh Tap MPR No. VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Pada Sidang Tahunan dimana MPR berpendapat terjadinya penumpukan perkara adalah disebabkan karena kinerja Mahkamah Agung yang lamban, kecenderungan pengajuan proses hukum ke tingkat kasasi, penanganan perkara yang tidak profesional di Mahkamah Agung, masih terdapat indikasi KKN, dan pengaruh pihak -pihak lain di luar Mahkamah Agung. Atas dasar laporan tersebut, MPR dalam ketetapannya merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pembenahan dalam rangka peningkatan kinerja untuk penegakkan hukum, antara lain: a. Mahkamah Agung perlu secara terus menerus meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi seluruh jajaran hakim di semua tingkatan agar integritas, moralitas, wawasan, profesionalisme, dan keterampilannya dapat mendukung pelaksanaan tugasnya; b. Mahkamah Agung perlu segera menyelesaikan tunggakan-tunggakan perkara dengan meningkatkan jumlah dan kualitas putusan; c. Mahkamah Agung perlu segera menerapkan asas-asas sistem peradilan terpadu (Integrated Judiciary System); d. Mahkamah Agung perlu membuat peraturan untuk membatasi masuknya perkara kasasi. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 4 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Sistem peradilan terpadu sebagaimana yang terdapat dalam butir c, akhir-akhir ini memang telah mejadi wacana yang cukup hangat di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Salah satu sebabnya adalah diakibatkan oleh kesadaran publik yang semakin baik tentang peradilan, kemudian menjadikan suatu pemahaman yang lebih dalam bahwa proses peradilan dari awal sampai akhir merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah -pisahkan. Hal tersebut sebagaimana juga diutarakan dalam salah satu teori tentang peradilan terpadu itu sendiri, yaitu the collective institutions through which in accused offender passes until the accusations have been dispossed of or the assessed punishment concluded 6. Dalam hal ini dapatlah dinyatakan bahwa kesatuan dalam pelaksanaan sistem adalah bagian terbaik untuk mendapatkan hasil yang optimal bagi kepentingan semua unsur yang terkait dengan sistem. Namun dalam hal ini, sistem peradilan pidana terpadu bukanlah suatu sistem yang bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu secara harfiah melainkan adanya kombinasi yang serasi antar sub sistem untuk mencapai satu tujuan. Hal keterpaduan, sebagaimana yang dinyatakan Pillai the concept of an Integrated Criminal Justice System does not envisage the entire system working as one unit or department or as different section on one unified service. Rather, it might b said to work on the principle of unity in diversity e somewhat like that under which the armed forces function. Each of the three main armed services own its distinctive roles, its training schemes, its own personnel, and its own operational method7. B ertolak dari keadaan itu, maka sangatlah diperlukan suatu konsep atau teori yang menjabarkan tentang keterpaduan sistem peradilan tersebut. Untuk selanjutnya dijadikan sebagai landasan dalam dunia hukum kita pada saat berpraktek dalam proses peradilan , baik secara administrasi ataupun dalam hal manajemennya.Berkaitan dengan sistem peradilan terpadu tersebut, dalam hukum acara pidana sebenarnya telah lama menjadi suatu wacana yang sangat penting dan perlu terus dielaborasi untuk mendapatkan suatu

6 7

Bryan A Garner, Black Law Dictionary, St. Paul, Minn: West Group. P. 381.

NV Pillai, The Adminisstartion of Criminal Justice: Unity in Divesity, in Criminal Justice in Asia: the Quest for n Integrated Approach, Tokyo, UNAFEI, 1982.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 5 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

kondisi yang ideal. Muladi menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, pemberantasan kejahatan, dan untuk mencapai kesejahteraan sosial8. Adapun yang menjadi fungsi yang seharusnya dijalankan oleh SPPT ini adalah9: a. Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, dan melakukan upaya inkapasiti terhadap orang yang merupakan ancaman terhadap masyarakat. b. Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada hukum, dengan menjamin adanya due process of law dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan. c. Menjaga hukum dan ketertiban. d. Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang dianut. e. Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan. Dengan demikian, atas dasar teori dan fakta yang telah disebutkan di atas, sudah sewajarnya bila saat ini d ibentuk suatu konsep pengawasan, baik yang berbentuk lembaga atau berupa sistem yang bertugas sebagai sarana kontrol bagi pelaksanaan sistem peradilan, khususnya sistem peradilan pidana terpadu yang ada sekarang. Konsep dan metode pengawasan yang baik dan dapat dijalankan secara benar menjadi harapan masyarakat agar dapat menghilangkan penyimpangan yang terjadi, setidaktidaknya dapat menekan jumlah keluhan masyarakat atas kinerja aparat penegak hukum. Selain itu pembentukan konsep pengawasan ini juga merupakan langkah strategis untuk menciptakan kinerja dan pelayanan peradilan yang lebih baik, seperti yang diinginkan oleh masyarakat. Sehingga diharapkan dapat terjadi pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Davies, 1995

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 6 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

B. RUANG LINGKUP PERMASALAHAN Pokok pemasalahan dalam penelitian ini didasarkan pada asumsi adanya distorsi, bahwa pengadilan tidak menjalankan hukum acara pidana dan hukum acara lainnya secara benar. Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat suatu penafsiran yang berbeda-beda dari para aparat penegak hukum, bahkan seringkali mengarah pada ketidakpatuhan terhadap hukum positif yang ada, baik dalam hukum acara pidana, hukum acara lainnya maupun administrasi peradilan dalam praktek sehari-hari di lembaga peradilan. Berangkat dari hal tersebut maka timbul suatu kebutuhan untuk membentuk satu konsep pengawasan, baik dalam bentuk lembaga ataupun sekedar sistem yang mempunyai otoritas dalam menyatakan bahwa seorang aparat lembaga peradilan telah melanggar hukum acara, serta mempunyai kewenangan memberikan sanksi langsung melalui instansinya. Adapun yang menjadi poin -poin utama yang akan kami teliti dan elaborasi lebih jauh dalam penelitian ini adalah : 1. Seperti apakah bentuk dan kedudukan lembaga pengawas sistem peradilan (pidana) terpadu yang sesuai dan dapat diterapkan pada sistem administrasi kekuasaan kehakiman yang dianut oleh Indonesia? 2. Sampai sejauh manakah fungsi, tugas dan wewenang dari lembaga pengawas sistem peradilan pidana terpadu ini dalam makro sistem kekuasaan kehakiman Indo nesia? 3. Siapa sajakah yang berhak duduk sebagai anggota dari lembaga pengawas sistem peradilan pidana terpadu ini dan bagaimanakah mekanisme pemilihannya? 4. Bagaimanakah metode kerja dan bentuk pertanggungjawaban lembaga pengawas sistem peradilan pidana terpadu ini dan kepada siapakah pertanggungjawaban tersebut diberikan? C. MAKSUD DAN TUJUAN Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah : a. Mendapatkan semua informasi dan pengetahuan yang cukup mendalam tentang segala hal yang berkaitan dengan konsep pengawasan, baik dalam hubungannya ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 7 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

dengan sistem dan atau lembaga pengawasan. Selanjutnya, informasi tersebut dapat dijadikan masukan dasar bagi pembentukan konsep/model lembaga pengawas sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia yang berdasarkan pada hukum positif dan peraturan perundang -undangan yang baru dibentuk atau merupakan penyempurnaan dari peraturan yang sudah ada. b. Menciptakan sistem yang optimal sebagai modal dasar bagi terciptanya keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. D. SASARAN Sedangk an yang menjadi sasaran utama dari penelitian ini adalah lembaga-lembaga yang terkait dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, dalam hal ini dimulai dari lembaga yang bertugas dalam proses penyelidikan hingga pada lembaga yang bertugas dalam tahap pelaksanaan putusan . Adapun untuk peradilan -peradilan lainnya seperti perdata dan tata usaha negara dalam penelitian ini akan dijadikan sebagai sasaran tambahan untuk melengkapi data yang dapat digunakan sehubungan dengan pembentukan lembaga pengawas sistem peradilan pidana terpadu. Lembaga-lembaga yang menjadi sasaran penelitian ini adalah: a. Kepolisian b. Kejaksaan c. Pengadilan d. Lembaga Pemasyarakatan e. Advokat E. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian ini bersifat eksplanatoris. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Dalam hal ini analisis kualitatif digunakan untuk menggali asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan lembaga peradilan dan untuk mengetahui pendapat dari narasumber serta masyarakat hukum lainnya.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 8 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

2. Daerah Penelitian dan Responden Penelitian ini dilaksanakan di empat kota besar di Indonesia, yaitu di Jakarta, Medan, Surabaya dan Makasar dengan lebih menitikberatkan pada aparat-aparat dan lembagalembaga yang terkait dengan sistem peradilan di masing-masing kota tersebut. Adapun pemilihan kota-kota tersebut didasarkan pada tingginya tingkat aktivitas perekonomian, aktivitas politik, dan aktivitas sosial kemasyarakatan yang menjadikan kompleksitas permasalahan hukum yang ada lebih beragam dibanding kota-kota lainnya. Dalam hal ini keadaan tersebut juga akan sangat berpengaruh pada tingkat permasalahan hukum yang ada di kota yang bersangkutan. Adapun untuk responden dalam penelitian ini datanya adalah sebagai berikut:

Profesi Jakarta Akademisi Pengurus LSM Polisi Jaksa Hakim Panitera Pengacara/ Advokat Jumlah 160 10 8 43 43 19 17 20

Jumlah Responden Medan 9 6 42 19 19 17 20 Makasar 9 6 42 19 19 17 20 Surabaya 9 6 42 19 19 17 20

132

132

132

Sedangkan yang dipilih sebagai nara sumber adalah para pakar dan ahli yang berkaitan dengan lembaga dan sistem peradilan, khususnya dalam hal administrasi dan pengawasan. Pakar dan ahli tersebut berasal dari kalangan akademisi, praktisi hukum seperti hakim, jaksa, polisi dan pengacara, serta aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di dunia hukum. Adapun daftar nara sumber tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. Abdul Rahman Saleh Achmad Lopa

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 9 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Ahwil Luthan Asmara Nababan Bambang Widjojanto Denny Kailimang H.P. Panggabean Irianto Subiakto Johnson Panjaitan Luhut M. Pangaribuan M. Surahman Ramelan Yan Apul

3. Alat dan Teknik Pengumpulan Data Alat dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis bahan -bahan hukum, baik bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder. Sedangkan studi lapangan digunakan untuk mengumpulkan data berupa pendapat dari masyarakat hukum dan non hukum mengenai pembentukan konsep pengawasan ini. Studi lapangan dilakukan dengan cara: a. Wawancara mendalam (indepth interview) Metode ini bertujuan untuk menangkap pendapat dan pemikiran para ahli yang menjadi narasumber dalam penelitian ini. Instrumen yang digunakan dalam wawancara mendalam ini adalah pedoman wawan cara (interview guidelines), dimana instrumen tersebut disusun dengan mengacu pada masalah yang akan dikaji. b. Kuesioner Metode yang dipakai dalam penyebaran kuesioner ini adalah metode purposive. Dalam metode ini responden dipilih secara sengaja dan sesuai dengan kriteria responden penelitian yang telah ditentukan sebelumnya, serta memiliki kaitan dengan objek penelitian.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 10 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

4. Analisis Data Hasil penelitian akan dianalisis secara kualitatif dengan cara melakukan penggabungan data hasil studi literatur dan studi lapangan. Data tersebut kemudian diolah dan dicari keterkaitan serta hubungannya antara satu dengan yang lainnya, sehingga diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Namun dalam hal penelitian ini, berkaitan dengan analisis data yang dilakukan, terdapat beberapa keterbatasan dan kelemahan, yaitu objek penelitian ini dinilai terlalu luas, hal ini dikarenakan pengertian peradilan itu sendiri memiliki pengertian yang luas dan beragam. Cakupan penelitian yang luas ini tidak diimbangi dengan ketersediaan waktu dan biaya yang cukup. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kami membatasi pada persoalan yang dinilai memiliki potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang -undangan. 5. Jadwal Penelitian dengan tema Administrasi peradilan : Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu, merupakan kerjasama antara Komisi Hukum Nasional (KHN) dengan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Univrsitas Indonesia (MaPPI-FHUI) yang dilakukan selama 12 bulan. Dalam kurun waktu tersebut terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan sebagai sarana untuk memperoleh data guna mendapatkan hasil akhir yang cukup optimal.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 11 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

BAB II. ANALISIS ADMINISTRASI PERADILAN


Apabila kita berbicara mengenai masalah administrasi, maka terdapat dua macam pengertian administrasi. Pertama; court administration, yang dalam hal ini berarti keadministrasian atau tertib administrasi yang harus dilaksanakan berkaitan dengan jalannya kasus tindak pidana dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pelaksanaan putusan dalam sistem peradilan pidana, dan kedua; administration of justice yang dalam hal ini dapat berarti segala hal yang mencakup tertib hukum pidana formil dan materiil yang harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara dan tata cara serta praktek litigasi 10. Dua makna yang terkandung di dalam pengertian administrasi peradilan tersebut sangat berkaitan erat dengan kesatuan tanggung jawab yudisial (judicial responsibility) yang mengandung tiga dimensi pertanggungjawaban, yaitu11: 1. Tanggung jawab administrasi (administrative responsibility) 2. Tanggung jawab prosedural (procedural responsibility), yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acara yang dipergunakan 3. Tanggung jawab substansi (substantif responsibility), yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku Berdasarkan pemahaman tentang administrasi tersebut, maka untuk mencapai tujuan yang demikian diperlukan suatu sistem dan manajemen yang mengatur sistem tersebut, terutama dalam hal ini berkaitan dengan wacana yang mengemuka yaitu mengenai penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Dan karena yang menjadi fokus perhatian tidak termasuk badan -badan di luar tugas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemasyarakatan atau yang lebih dikenal dengan tugas peradilan pidana, maka kemudian munculah istilah sistem peradilan pidana12.

10 Muladi, Peranan Administrasi Peradilan dalam sistem peradilan pidanan terpadu (suatu kerangka diskusi), the habibie centre, hal. 3. 11 12

ibid

Rudi Satriyo, Pengawasan Bidang Administrasi Peradilan Dalam tahap Penyidikan dan Penuntutan (makalah disampaikan dalam seminar dan lokakarya tentang Administrasi Peradilan:

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 12 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

A. Proses Perjalanan Perkara 1. Pidana a. Tahap Penyelidikan Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini13. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab14. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup15. Adapun bukti permulaan yang cukup adalah sebagaimana disebutkan dalam SK Kapolri No.Pol.SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua diantara: 1. Laporan polisi; 2. Berita acara pemeriksaan polisi; 3. Laporan hasil penyelidikan; 4. Keterangan saksi/Saksi ahli; dan 5. Barang bukti16.

Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia pada tanggal 30-31 Mei 2002)
13

UU Nomor 26 tahun 2000, Pasal 1 angka 5.

Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, ps 5.
15 16

14Indonesia,

Ibid, ps. 17 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998).

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 13 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of Innocence) sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan kepada Penyidik Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik, penyelidik dapat segera melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan 17. Selain itu penyelidik juga dapat melakukan pemeriksaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelompok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu penyelidik juga dapat membawa dan menghadapkan orang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik. b. Tahap Penyidikan Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing18 (Belanda) dan investigation19 (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia), KUHAP sendiri memberikan pengertian dalam Pasal 1 angka 2, sebagai berikut: Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

17 Hal tertangkap tangan diatur dalam UU No.26 tahun 2000 Pasal 11 Ayat (4), bandingkan dengan Pasal 102 Ayat (2) Jo Pasal 5 Ayat (1) huruf b UU NO.8/1981. 18 Menurut de Pinto, opsporing berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum (Hamzah, Op.cit, halaman 72)

Investigation is an examination for the purpose of discovering information about something (the new webster Dictionary, Ibid.)
19

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 14 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Penyidik yang dimaksud di dalam ketentuan KUHAP adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan oleh UU. Adapun wewenang yang dimiliki penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b sampai dengan huruf j KUHAP, yaitu ; 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya suatu tindak pidana 2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian; 3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang; 7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 9. Mengadakan penghentian penyidikan; 10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab; Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan kepada penuntut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme S urat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah tidak ada ketegasan dari ketentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum20. Tiap kali penyidik melakukan tugas dalam lingkup wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP tanpa mengurangi ketentuan dalam undang-undang, harus selalu dibuat berita acara tentang pelaksanaan tugas tersebut.

Adisoeryo, Lembaga Pengawas sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan Administrasi Peradilan sistem Peradilan Terpadu, (Makalah disampaikan pada Semiloka II: Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Siatem Peradilan Terpadu, Jakarta, 16 Juli 2002), hal. 13.

20Soeparno

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 15 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Apabila dalam penyidikan tersebut, tidak ditemukan bukti yang cukup atau peristiwa tersebut bukanlah peristiwa pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan 21. Dalam hal ini apabila surat perintah penghentian tersebut telah diterbitkan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Apabila korban atau keluarganya tidak dapat menerima penghentian penyidikan tersebut, maka korban atau keluarganya, sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme keberatan tersebut diatur dalam Pasal 77 butir a KUHAP tentang praperadilan. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas tersebut, maka penyid ikan dianggap selesai. c. Tahap Penuntutan Setelah proses penyidikan dilakukan maka penyidik melimpahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Ketika berkas perkara telah diterima oleh penuntut umum atau telah dianggap lengkap oleh penuntut umum maka telah masuk dalam penuntutan. Ketentuan dalam KUHAP memberikan batasan pengertian tentang penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7, yaitu: Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang -undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan.

Indonesia, UU Tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8, LN No. 76 tahun 1981, TLN No. 3209, ps. 109 ayat (2).
21

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 16 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Penuntutan perkara dilakukan oleh Jaksa penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang diembannya. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi wewenangnya, penuntut umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan hasil peyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus seg era dikeluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut diberitahukan kepada tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat dimohonkan praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Penuntutan yang telah selesai dilakukan secepatnya harus segera dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri setempat, dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum diberi tanggal dan ditandatangani olehnya. Surat dakwaan tersebut berisikan identitas tersangka dan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan. Dalam hal penuntut umum hendak mengubah surat dakwaan baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya, maka hal tersebut hanya dapat dilakukan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang 22. Perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari

22

Ibid. ps 144 ayat 1.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 17 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

sebelum sidang dimulai 23. Dalam hal penuntut umum melakukan perubahan surat dakwaan, maka turunan surat dakwaan disampaikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya dan penyidik24. d. Tahap Pemeriksaan Pengadilan Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Tindak pidana tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri yang berjumlah 3 (tiga) orang. Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya ditetapkan hari sidang.

Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir apabila tempat
25 tinggalnya tidak diketahui . Dalam hal ini surat panggilan memuat tanggal, hari serta

jam dan untuk perkara apa ia dipanggil. Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai. Surat panggilan kepada terdakwa tersebut dilakukan dengan adanya surat tanda penerimaan. Hal ini penting untuk menentukan apakah terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut atau tidak. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir di sidang tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan tersebut dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Dalam hal terdakwa lebih dari seorang dan tidak semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. Hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar terdakwa dihadirkan secara paksa, dalam hal telah dua kali dipanggil secara sah akan tetapi tidak hadir.

23 24 25

Ibid, ps 144 ayat 2. Ibid, ps 144 Ayat 3.

Masalah pemanggilan ini diatur dalam Pasal 145 UU NO.8/1981, termasuk tata cara pemanggilan dalam hal terdakwa tidak ada maka panggilan disampaikan kepada kepala desa dalam daerah hukum tempat kediaman terakhir dimaksud. Dalam hal terdakwa berada dalam tahanan maka surat panggilan disampaikan melalui pejabat rumah tahanan negara.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 18 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, kemudian setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Dalam hal keberatan diterima maka perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Namun apabila keberatan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Terhadap keputusan tersebut dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri. Dalam hal perlawanan diterima oleh pengadilan tinggi maka dalam waktu 14 (empat belas) hari, dalam surat penetapannya harus tertulis adanya pembatalan putusan pengadilan negeri tersebut dan memerintahkan agar pengadilan negeri yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan perkara tersebut. Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian berdasarkan undang -undang yang negatif (negatif wettelijk) 26. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang -kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan pada alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, yang terdiri dari: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; dan 5. Keterangan terdakwa.

26

Hamzah, Ibid, hal 262.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 19 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Disamping itu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana juga menganut minimum pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimum pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan sejumlah alat bukti. Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana memberikan batasan minimal penggunaan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh keyakinan hakim. Setelah pemeriksaan telah dilaksanakan, tuntutan pidana dan pembelaan telah diajukan dalam persidangan, maka tiba saatnya m ajelis hakim memberikan putusan. Putusan majelis hakim diambil dalam suatu musyawarah majelis hakim yang merupakan permufakatan bulat yang berhasil dicapai. Apabila kebulatan tidak dapat diperoleh maka didasarkan dengan suara terbanyak, apabila mekanisme tersebut masih belum dapat mencapai suara bulat, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang menguntungkan terdakwa. e. Tahap Pelaksanaan Putusan Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap tersebut dilakukan dengan tetap memelihara perikemanusiaan dan perikeadilan dan dilaksanakan jaksa setelah menerima salinan surat putusan pengadilan yang disampaikan oleh panitera. Dalam hal terpidana diputus hukuman mati oleh pengadilan, maka pelaksanaannya dilakukan tidak dimuka umum dan berdasarkan ketentuan undang -undang. Pelaksanaan pidana mati ini telah diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer27. Dalam hal terpidana diputus pidana penjara maka jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan yang dikirim kepada lembaga pemasyarakatan 28.

27

Hamzah, Op.cit. hal.320.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 20 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Apabila terpidana dipidana penjara dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan secara berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana penjara maka tata cara pelaksanaannya sesuai dengan UU No.12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Dalam rangka pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan pidana, terhadap terpidana yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan, maka pengawasan dan pengamatan termaksud dilakukan oleh seorang hakim yang ditunjuk dalam lingkup pengadilan yang menjadi cakupan peradilan umum. Hakim pengawas dan pengamat termaksud dipilih oleh Ketua Pengadilan untuk masa waktu dua tahun. Pengawasan yang dilakukan tersebut guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Adapun pengamatan dilakukan dalam rangka mengumpulkan bahan penelitian guna ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan. Pengamatan juga dilakukan setelah narapidana selesai menjalani pidananya. 2. Perdata a. Tahap Pendaftaran Perkara Pendaftaran perkara dilakukan di panitera pengadilan negeri setempat, dengan menyerahkan surat permohonan, gugatan, permohonan banding, permohonan kasasi, permohonan peninjauan kembali, permohonan eksekusi, dan permohonan somasi yang dilengkapi dengan Surat Keterangan Untuk Membayar (SKUM) kepada yang bersangkutan, agar membayar uang panjar perkara yang tercantum dalam SKUM kepada Pemegang Kas Pengadilan Negeri. Dalam menentukan besarnya panjar biaya perkara tersebut, haruslah mempertimbangkan jarak dan kondisi daerah tempat tinggal para pihak, agar proses persidangan yang berhubungan dengan panggilan dan pemberitahuan dapat terselenggara dengan lancar. Dalam memperhitungkan panjar biaya perkara, bagi Pengadilan tingkat Pertama, agar mempertimbangkan pula administrasi yang dipertanggungjawabkan dalam putusan sebagai biaya administrasi.

28

Ibid, hal.319.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 21 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Pendaftaran perkara tersebut dilanjutkan dengan mendaftarkan perkara yang masuk ke dalam register induk perkara perdata sesuai nomor yang tercantum pada SKUM/surat gugatan/permohonan. Pendaftaran ini diajukan setelah dilakukan pembayaran panjar biaya perkara. Nomor perkara dalam register sama dengan nomor perkara dalam buku jurnal. Perkara perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek tidak didaftarkan sebagai perkara baru. Sedangkan perlawanan pihak III (derden verzet) didaftar sebagai perkara baru. b. Tahap Penetapan Majelis Hakim Pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara harus dengan 3 (tiga) orang hakim, kecuali d itentukan lain oleh Undang -undang29. Penentuan majelis hakim didasarkan pada senioritas, dimana Ketua Pengadilan Negeri dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri selalu menjadi Ketua Majelis, kecuali dalam majelis yang tidak terdapat ketua Pengadilan Negeri atau Wakil Ketua maka Ketua majelis adalah Hakim senior. 30 Susunan Majelis hakim hendaknya ditetapkan secara tetap untuk jangka waktu tertentu. Dalam hal perkara khusus maka ketua PN dapat membentuk majelis khusus. Dalam menjalankan tugasnya majelis hakim dibantu oleh seorang panitera pengganti. Surat gugatan yang telah diberi nomor dan didaftar dalam buku register dalam waktu 3 (tiga) hari harus diserahkan ke ketua PN, untuk selanjutnya ketua PN menetapkan majelis hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara. P enetapan susunan majelis hakim dilakukan 3 (tiga) hari kerja setelah diterimanya berkas yang telah diregister. Pada prinsipnya penetapan majelis hakim dilakukan oleh Ketua PN, namun dalam hal Ketua PN karena kesibukannya berhalangan untuk menetapkan majelis hakim maka Ketua PN dapat melimpahkan wewenangnya sebagian atau seluruhnya kepada wakil Ketua PN atau Hakim senior yang bertugas di Pengadilan tersebut.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14, Ln. No. 74 tahun 1970, TLN. No. , pasal 15
29

Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan administrasi Pengadilan Buku II, (Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1998), hal 97.
30

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 22 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

c. Tahap Penetapan Hari Sidang Segera setelah menerima berkas perkara, hakim atau majelis hakim yang telah ditunjuk oleh Ketua PN, harus mempelajari berkas. Dalam waktu satu minggu setelah diterimanya berkas perkara harus sudah ditentukan hari sidang. Dalam hal penetapan hari sidang tersebut harus dipertimbangkan pula jadwal hari persidangan hakim yang bersangkutan agar tidak terjadi benturan hari sidang. Untuk itu hakim/ majelis hakim harus mempunyai jadwal sidang yang tetap. Penetapan hari sidang perkara gugatan, selalu harus dimusyawarahkan dengan sesama anggota Majelis Hakim dan dicatat dalam buku agenda masing-masing. Dalam menetapkan hari sidang, harus dipertimbangkan pula perihal jarak pihak yang akan dipangil. Untuk itu tenggang waktu pemanggilan hari sidang dilakukan paling sedikit adalah 3 (tiga) hari kerja, kecuali terdapat hal-hal yang mendesak31. d. Tahap Sidang Pengadilan Sidang pengadilan selalu harus dimulai pada jam 09.00, namun apabila karena keadaan yang luar biasa, sidang dapat dimulai pada waktu yang lain, namun hal itu harus diumumkan terlebih dahulu. Dalam hal sidang pengadilan tidak dapat dilakukan maka segera diumumkan pembatalannya. Sidang pemeriksaan perkara, harus selalu terbuka untuk umum, kecuali ditetapkan lain dalam Undang -undang atau peraturan yang bersangkutan 32. Hakim Ketua Majelis bertanggung jawab atas pemeriksaan perkara, serta bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara persidangan dan menandatanganinya sebelum sidang berikutnya. Pada prinsipnya setiap persidangan dimulai hakim majelis berkewajiban untuk mendamaikan para pihak. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan didahului dengan pembacaan surat gugatan yang dilakukan oleh Penggugat. Berikutnya setelah gugatan dibacakan maka kepada Tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban atas gugatan yang dilakukan penggugat. Dalam tahapan selanjutnya dilakukan tahap jawab

31 32

Indonesia,HIR/146 Rbg, pasal 122

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman , UU No. 14, LN. No. 74 Tahun 1970, TLN, No. pasal 17

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 23 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

menjawab, yang dalam hal ini terdapat kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat melalui replik atau duplik. Setelah tahap jawab menjawab telah dilakukan maka dilanjutkan dengan proses pemeriksaan alat bukti. Dimana para pihak mengajukan alat bukti yang telah disiapkan guna mendukung posisi hukumnya, tahapan ini dinamakan pembuktian. Dalam hal tahap pemeriksaan bukti telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan tahap kesimpulan para pihak. Yang selanjutnya apabila telah dilakukan maka dilanjutkan dengan pembacaan putusan majelis hakim atas perkara yang bersangkutan. e. Tahap Pelaksanaan Putusan Pelaksanaan putusan pengadilan dapat dilakukan dalam hal telah dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dapat dilaksanakan apabila tidak ada pengajuan upaya hukum atas putusan tersebut dari pihak lawan atau telah diterima baik oleh para pihak. Putusan deklaratoir yang hanya sekedar menerangkan atau , menetapkan suatu keadaan saja, tidak perlu dieksekusi, demikian pula putusan konstitutif, yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan. Putusan yang perlu dieksekusi adalah putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Putusan untuk melakukan sesuatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang33 dan selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang. Putusan untuk membayar sejumlah uang tersebut apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya telah disita34.

33

Indonesia, HIR pasal 225 dan Rbg pasal 259.

34

Indonesia, HIR pasal 200, dan Rgb dari pasal 214-224.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 24 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Penangguhan eksekusi hanya dapat dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin eksekusi. Dalam rangka pengawasan peradilan yang baik, Ketua Pengadilan Tinggi selaku Voorpost dari Mahkamah Agung, dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda atau diteruskan. Wewenang untuk menangguhkan atau meneruskan eksekusi tersebut ada pada Ketua Mahkamah Agung dan agar eksekusi dapat berjalan dengan baik perlu adanya kerja sama dengan instansi yang terkait di daerah. 3. Perkara Tata Usaha Negara a. Tahap Pendaftaran perkara Pendaftaran perkara dilakukan di panitera Pengadilan Tata Usaha Negara dalam lingkup wilayah hukumnya, dengan menyerahkan surat gugatan, permohonan banding, permohonan kasasi, permohonan peninjauan kembali dan permohonan eksekusi, yang dilengkapi dengan Surat Keterangan Untuk Membayar (SKUM) kepada yang bersangkutan, agar membayar uang panjar perkara yang tercantum dalam SKUM kepada Pemegang Kas PTUN. Panjar biaya perkara, dibayarkan untuk keperluan biaya kepaniteraan, materai, saksi, ahli, ahli bahasa, pemeriksaan setempat, dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan perkara atas perintah Hakim Ketua Sidang. Pendaftaran perkara tersebut dilanjutkan dengan mendaftarkan perkara yang masuk ke dalam register induk perkara sesuai nomor yang tercantum pada SKUM/surat gugatan. Pendaftaran ini dilakukan setelah dilakukan pembayaran panjar biaya perkara. Dalam hal ini nomor perkara dalam register sama dengan nomor perkara dalam buku jurnal. Sedangkan pada perkara perlawanan terhadap penetapan dismissal, dilakukan penambahan kode PLW pada nomor perkara tersebut. b. Tahap Proses Dismissal Proses Dismissal adalah proses pemeriksaan pendahuluan terhadap gugatan yang diajukan oleh penggugat, dimana dalam hal ini Ketua Pengadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan untuk membantu penggugat memenuhi kriteria yang disyaratkan undang -undang untuk mengajukan gugatan. Karena pada prinsipnya penggugat adalah pihak yang lemah, dibandingkan dengan lawan yang memiliki kekuasaan dalam bidang pemerintahan. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 25 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Dalam proses ini ketua pengadilan meminta pihak lawan untuk memberikan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan. Pemeriksaan pendahuluan ini adalah untuk menentukan apakah perkara tersebut dapat dilanjutkan untuk disidangkan atau tidak. Dalam hal ini akan ditetapkan apakah materi gugatan memang menjadi kewenangan absolut PTUN dengan memperhatikan alasan-alasan pengajuan gugatan serta memperhatikan pula mengenai batas waktu suatu gugatan yaitu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya suatu keputusan badan atau Pejabat TUN. Penetapan dilakukan dalam permusyawaratan dengan mengh adirkan kedua belah pihak yang bersengketa untuk mendengarkannya. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan. Atas ketetapan tersebut dapat diajukan perlawanan dalam tenggang waktu 14 hari setelah diucapkan. c. Tahap Penunjukan Majelis Hakim Pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara harus dengan 3 (tiga) orang hakim, kecuali ditentukan lain oleh Undang -undang35. Penentuan majelis hakim tersebut didasarkan pada senioritas, dimana Ketua Pengadilan Negeri dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri selalu menjadi Ketua Majelis, kecuali dalam majelis yang tidak terdapat ketua Pengadilan Negeri atau Wakil Ketua maka Ketua majelis adalah Hakim senior. Susunan Majelis hakim hendaknya ditetapkan secara tetap untuk jangka waktu tertentu. Dalam menjalankan tugasnya majelis hakim dibantu oleh seorang Panitera pengganti. Surat gugatan yang telah diberi nomor dan didaftar dalam buku register, harus diserahkan ke ketua Pengadilan untuk selanjutnya ketua Pengadilan menetapkan majelis hakim yang akan memerika dan memutus perkara. Penetapan susunan majelis hakim dilakukan setelah diterimanya berkas yang telah diregister. Pada prinsipnya penetapan majelis hakim dilakukan oleh Ketua Pengadilan, namun dalam h Ketua Pengadilan al karena kesibukannya berhalangan untuk menetapkan majelis hakim maka Ketua
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14, LN. No. 74 tahun 1970, YLN. No. ps. 15 jo Undang-Undang Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, UU No.5, Ln. No. Tahun 1986. ps. 68.
35

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 26 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Pengadilan dapat melimpahkan wewenangnya sebagian atau seluruhnya kepada wakil Ketua Pengadilan atau hakim senior yang bertugas di Pengadilan tersebut. d. Tahap Penetapan Hari Sidang Segera setelah menerima berkas perkara, hakim atau majelis hakim yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan, harus mempelajari berkas. Dalam waktu satu minggu setelah diterimanya berkas perkara tersebut, harus sudah dilakukan penentuan hari sidang. Dalam hal penetapan hari sidang ini harus dipertimbangkan pula jadwal hari persidangan hakim yang bersangkutan agar tidak terjadi benturan hari sidang. Untuk itu hakim/ majelis hakim harus mempunyai jadwal sidang yang tetap. Penetapan hari sidang perkara gugatan, selalu harus dimusyawarahkan dengan sesama anggota Majelis Hakim dan dicatat dalam buku agenda masing -masing. Dalam menetapkan hari sidang, harus dipertimbangkan pula perihal jarak pihak yang akan dipangil. Untuk itu tenggang waktu pemanggilan hari sidang dilakukan paling sedikit adalah 3 (tiga) hari kerja, kecuali hal yang mendesak. e. Tahap Sidang Pengadilan Sidang pengadilan selalu harus dimulai pada jam 09.00, kecuali karena adanya keadaan yang luar biasa, sidang dapat dimulai p ada waktu yang lain, namun hal itu harus diumumkan terlebih dahulu. Dalam hal sidang pengadilan tidak dapat dilakukan maka segera diumumkan pembatalannya. Sidang pemeriksaan perkara, harus selalu terbuka untuk umum, kecuali yang menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara persidangan dapat dinyatakan tertutup36. Hakim Ketua Majelis bertanggung jawab atas pemeriksaan perkara, serta bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara persidangan dan menandatanganinya sebelum sidang berikutnya. Pada prinsipnya setiap persidangan dimulai hakim majelis berkewajiban untuk mendamaikan para pihak. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan didahului dengan

Indonesia, Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5, LN. No. tahun 1986, TLN. No. pasal 70 ayat 2
36

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 27 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

pembacaan isi surat gugatan dan surat yang memuat jawaban yang dilakukan oleh hakim, dimana para pihak menjelaskan seperlunya hal yang diajukan mereka masingmasing. Dalam hal jawaban belum ada maka pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Dalam hal tahap jawab menjawab telah dilakukan maka dilanjutkan dengan proses pemeriksaan alat bukti. Dimana para pihak mengajukan alat bukti yang telah disiapkan guna mendukung posisi hukumnya, tahapan ini dinamakan pembuktian. Dalam hal tahap pemeriksaan bukti telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan tahap kesimpulan para pihak yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan putusan majelis hakim atas perkara yang bersangkutan. f. Tahap Pelaksanaan Putusan Pelaksanaan putusan pengadilan dapat dilakukan dalam hal telah dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dapat dilaksanakan apabila tidak ada pengajuan upaya hukum atas putusan tersebut dari pihak lawan atau telah diterima baik oleh para pihak. Dalam hal setelah 4 bulan putusan berkekuatan hukum tetap, Pejabat TUN diperintahkan untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang telah dikeluarkan, dan dengan demikian maka KTUN tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun apabila setelah 3 bulan Pejabat TUN tidak menjalankan perintah untuk mencabut KTUN dan mengeluarkan KTUN yang baru, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar pengadilan memerintahkan pejabat TUN melaksanakan putusan pengadilan. Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan memerintahkan pejabat TUN yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan pengadilan. Namun apabila dengan melalui instansi atasan ini pun tidak diindahkan, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 28 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

B. Diskrepansi Administrasi Peradilan 1. Administrasi Peradilan Dalam Praktek Apabila kita mencoba menelaah secara lebih mendalam tentang administrasi peradilan, terutama sehubungan dengan manajemen perkara semenjak dari tahap penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan sebagaimana tertulis dalam bagian A di atas. Dapatlah kita temukan beberapa diskrepansi dalam pelaksanaan administrasi tersebut di lapangan, yaitu sebagai berikut: a. Peradilan Pidana Terdapat beberapa diskrepansi yang bisa kita temukan dalam proses administrasi peradilan pidana. Dalam hal ini apabila kita melihat menurut tahapan proses beracara di peradilan pidana dapatlah diuraikan sebagai berikut: 1. Tahap Penyelidikan Dalam tahap ini beberapa hal yang umum terjadi dan dapat dikategorikan sebagai suatu diskrepansi. Salah satunya adalah penggelapan perkara yang biasanya dilakukan dengan cara menghentikan perkara dengan alasan tidak cukupnya bukti, padahal hal tersebut sebenarnya tidak demikian dan perkara tersebut telah memiliki unsur pidana dan layak untuk disidik 2. Tahap Penyidikan Dalam tahap ini diskrepansi yang umum terjadi adalah adanya rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Penyidik biasanya menawarkan pengaburan unsur unsur pidana dalam perkara tersebut sehingga dapat meringankan tersangka dalam persidangan37. Selain itu, pada tahap penyidikan ini sering kali dilakukan perpanjangan atau penguluran waktu penyidikan dan pembocoran BAP kepada pengacara. Tujuan dari perbuatan tersebut adalah agar terdakwa mau memenuhi apa yang diminta oleh penyidik apabila menginginkan unsur-unsur yang memberatkan dihindarkan darinya

37

Indonesian Corruption Watch , Profil Judicial Corruption di Peradilan Pidana.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 29 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

3. Tahap Penuntutan Dalam tahap ini, biasanya dikrepansi terjadi pada saat pembuatan surat dakwaan, dimana biasanya jaksa menawarkan pada piha tersangka pasal mana yang ingin k didakwakan kepadanya38 4. Tahap Pemeriksaan Pengadilan Dalam tahap ini yang paling sering terjadi dan dapat dikategorikan sebagai diskrepansi adalah tentang penentuan majelis. Pada proses ini biasanya panitera diminta oleh pengacara untuk menghubungi hakim yang dapat diajak kerjasama. Dalam modus ini, jaksa biasanya membicarakan kepada pengacara, siapa saja hakim yang dapat diajak bekerjasama39. Selanjutnya pada tahap ini sering terjadi juga penundaan pembacaan putusan. Disini jika perkara telah sampai pada saat pembacaan putusan, hakim biasanya menunda-nunda proses tersebut tanpa ada alasan yang jelas. 5. Tahap Pelaksanaan Putusan Dalam tahap ini terjadinya proses diskrepansi terlihat dengan adanya penundaan putusan yang dilakukan apabila pihak terpidana membayar sejumlah uang kepada pihak kejaksaan melalui calo perkara atau pelaksana eksekusi. Dalam bentuk lain, penundaan tersebut bisa juga dilakukan dengan menunjukan surat keterangan sakit dari dokter40. Selain itu, pada tahap ini diskrepansi juga terjadi dalam lembaga pemasyarakatan. Keadaan yang terjadi di lembaga pemasyarakatan berupa pungutan-pungutan tidak resmi yang dilakukan oleh aparat dari LP kepada narapidana yang ingin cuti atau kepada sanak saudara dari terpidana yang ingin menjenguk. Hal yang menarik untuk diketahui, bahwa ternyata hakim pengawas dan pengamat (kimwasmat) tidak berjalan sebagaimana mestinya41. Padahal menurut

38 39

ibid ibid

40

ibid Wawancara dengan Joko Harjono, Kepala Seksi Pembinaan di LP Cipinang tanggal 23

41

Mei 2002

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 30 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

keterangan nara sumber, kimwasmat yang bertugas dan berfungsi untuk mengawasi dan mengamati apakah putusan yang dikeluarkan sudah dilaksanakan dengan baik oleh jaksa dan apakah putusan tersebut mempunyai manfaat bagi terdakwa dan telah memenuhi rasa keadilan, mempunyai peranan yang sangat penting. b. Peradilan Perdata Selain dalam peradilan pidana, macam-macam diskrepansi juga bisa kita temukan dalam proses administrasi pada peradilan perdata yang terbagi menjadi peradilan contentieus (ada sengketa para pihak) dan peradilan volunter (tidak perlu ada sengketa para pihak). Menurut tahapan proses beracara di peradilan perdata yang contentieusdiuraikan sebagai berikut: 1. Tahap Pendaftaran Perkara Dalam tahap ini beberapa hal yang terjadi dan termasuk dalam kategori sebagai suatu diskrepansi ialah mengenai pembayaran biaya administrasi. Ketidakjelasan besar biaya yang harus dibayar dalam pendaftaran suatu perkara sangat bergantung pada permintaan dari pihak panitera. Selain itu, pihak yang akan berperkara dapat didahulukan perkaranya dibandingkan pihak lain, dengan cara memberikan sejumlah uang kepada panitera diluar jumlah biaya administrasi perkara yang telah dibayarkan sebelumnya.42 2. Tahap Penentuan Majelis Hakim Dalam tahap ini diskrepansi yang terjadi berupa campur tangan pihak pengacara dalam proses pemilihan hakim yang akan mengadili perkara kliennya, para pengacara tersebut bisa menghubungi Ketua Pengadilan Negeri/Tinggi yang bersangkutan. Pihak Panitera biasanya juga membantu para pengacara untuk dipertemukan dengan Ketua Pengadilan Negeri/Tinggi dalam hal pengurusan penunjukkan hakim ini. Dengan adan ya campur tangan dalam hal penunjukkan hakim oleh para pihak yang akan berperkara, diharapkan agar perkara tersebut dapat berjalan sesuai dengan keinginan para pihak tersebut.

42

Indonesian Corruption Watch , Profil Judicial Corruption di Peradilan Perdata.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 31 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

3. Persidangan Dalam tahap ini, biasanya diskrepansi terjadi ketika para pihak yang berperkara menghadap langsung Ketua Pengadilan atau Ketua Majelis Hakim atau salah satu dari Majelis Hakim yang mengadili perkaranya untuk meminta bantuan agar pihaknya bisa dimenangkan dengan memberikan tawaran tertentu. Hal ini juga bisa dilakukan dengan menggunakan jasa para calo misalnya pihak panitera maupun pegawai pengadilan lainnya sebagai penghubung antara para pihak tersebut.43 Selain itu, dalam tahap ini yang paling sering terjadi dan dapat dikategorikan sebagai diskrepansi adalah adanya kesepakatan antara para pihak dengan majelis hakim untuk menolak, atau menerima bukti tambahan yang diajukan pihak lawan. Umumnya kesepakatan ini terjadi sebelum acara pembuktian dimulai.44 4. Tahap Putusan Dalam tahap ini terjadinya proses diskrepansi terlihat dengan adanya permainan putusan yang dilakukan bila pihak yang sedang berperkara membayar sejumlah uang kepada majelis hakim, baik secara langsung maupun melalui panitera. Masing-masing pihak di hubungi secara terpisah untuk mengurangi resiko adanya kolusi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, pihak yang mampu membayar lebih tinggi dapat menentukan keputusan hakim sesuai dengan keinginannya. Terkadang, ada juga hakim yang menerima bayaran dari kedua belah pihak dan tetap memenangkan pihak yang membayar lebih banyak, tetapi biasanya hal ini jarang dilakukan mengingat resikonya lebih besar. Selanjutnya, tentang tata cara pembayaran dari pihak berperkara kepada hakim dapat dilakukan dengan mengundang hakim ke dalam sebuah seminar dan menerima bayaran sebagai pembicara dengan jumlah besar. Seminar tersebut bisa diselenggarakan oleh rekanan Kantor Hukum yang terkait atau meminta suatu LSM untuk mengadakan suatu seminar dengan mengundang hakim itu sebagai pembicaranya. Hakim juga dapat menerima kompensasi atas putusan yang

43

ibid

44

ibid

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 32 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

dikeluarkannya dengan membeli rumah atau mobil dengan harga dibawah harga sebenarnya. Apabila hakim itu sedang mengadakan suatu acara tertentu, misalnya perkawinan anaknya, maka pihak yang berperkara dapat memberikan kompensasi tersebut dalam bentuk sumbangan terhadap perkawinan anak dari hakim tersebut. Bentuk sumbangan ini bisa juga berbentuk pendanaan pesta perkawinan dari anak tersebut.45 5. Tahap Pelaksanaan Putusan Dalam tahap ini diskrepansi yang kerap kali terjadi adalah bahwa pihak yang di kalahkan tidak mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela dan di perlukan adanya bantuan pengadilan untuk melaksakan putusan secara paksa. Pihak yang memenangkan perkara bisa mengajukan permohonan pelaksanaan putusan ke pengadilan, dalam hal inilah Ketua PN, Panitera dan juru sita bisa mengambil kesempatan untuk mengambil keuntungan. Sedangkan pihak yang terkena sita biasanya melakukan kolusi dengan juru sita baik secara langsung maupun melalui pengacaranya, juru sita akan memainkan obyek sita, memanipulasi atau melakukan penundaan dengan alasan tertentu. Selain itu, pihak panitera bisa dengan sengaja menunda pelaksanaan eksekusi sita supaya pihak yang memperoleh hak sita memberikan bayaran yang diminta oleh panitera dan juru sita. Hal ini dapat dilakukan karena tidak adanya peraturan yang memerintahkan panitera maupun juru sita untuk segera melaksanakan sita eksekusi. 46 Sedangkan tahapan proses beracara di peradilan perdata yang sifatnya volunter (tidak perlu ada sengketa para pihak) terdapat dua bagian, yaitu Permohonan Hak dan Permohonan Penetapan Eksekusi Sita Jaminan, yang akan diuraikan sebagai berikut: 1. Tahap Pendaftaran Dalam tahap ini beberapa hal yang terjadi dan termasuk dalam kategori sebagai suatu diskrepansi ialah bahwa pihak yang mengajukan permohonan dikenakan biaya tambahan diluar ketentuan yang berlaku.
45 46

ibid ibid

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 33 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

2. Tahap Pemeriksaan Dalam tahap ini diskrepansi yang terjadi adalah pemberian kompensasi kepada hakim dengan tujuan agar permohonannya dapat langsung dikabulkan terlepas dari adanya syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang tidak atau belum dapat dipenuhi oleh pemohon. Singkatnya dalam tahap ini diskrepansi terjadi dengan tujuan agar pertimbangan-pertimbangan yang seharusnya dikeluarkan dapat di abaikan oleh hakim. 3. Tahap Penetapan Dalam tahap ini terjadinya proses diskrepansi terlihat dengan adanya pemberian imbalan terhadap hakim atas penetapan yang mengabulkan permohonannya. Khusus untuk Permohonan Sita Jaminan, pihak pemohon harus memberikan imbalan agar penetapannya dikeluarkan kepada Ketua PN, Hakim & Panitera. 4. Tahap Pelaksanaan Penetapan Hal ini hanya bisa terdapat dalam Permohonan Eksekusi Sita Jaminan, dimana proses diskrepansi terjadi ketika Panitera meminta pemohon untuk memberikan bayaran sebagai biaya eksekusi penetapan, jika hal ini tidak dilakukan maka Panitera tidak akan menunjuk juru sita untuk melaksanakan eksekusi. Selain itu pihak Panitera bisa menghubungi pihak yang tersita untuk memberikan imbalan agar proses penyitaan dapat ditunda atau penyingkiran h arta benda bergerak milik tersita sehingga dapat luput dari proses penyitaan. c. Mahkamah Agung Sebagai salah satu lembaga tinggi negara, Mahkamah Agung yang merupakan lembaga terakhir dalam kaitannya dengan proses penyelesaian perkara, tidaklah luput dari masalah diskrepansi. Berbagai bidang dan tahap dalam proses penyelesaian perkara di Mahkamah Agung telah menjadi tempat yang rawan terjadi diskrepansi. Adapun hal tersebut secara lebih lengkap dan sistematis dapat dibawah ini47: Diskrepansi Administrasi di Mahkamah Agung dilihat dalam tabel

47

Indonesian Corruption Watch , Profil Judicial Corruption di Mahkamah Agung.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 34 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

No. 1.

Jenis Diskrepansi - Hakim memperlambat pemeriksaan perkara - Hakim mengulur waktu penetapan pekara - Hakim melakukan tawar menawar putusan

Pelaku yang Terlibat -Hakim/Majelis -Asisten Koordinator/Panitera -Asisten Hakim Agung -Pengacara/pihak yang berperkara

2.

Tawar- menawar putusan

-Pengacara/pihak yang berperkara -hakim/Majelis

3.

Pengaturan nomor urut pendaftaran

-Direktur -Asisten Koordinator/panitera -Hakim/majelis -Pengacara/pihak yang berperkara

4.

Pihak berperkara ditawari untuk memakai jasa pengacara tertentu

-Hakim yang mempunyai hubungan istimewa dengan pengacara tertentu -Pengacara yang mempunyai hubungan istimewa dengan hakim tertentu -Pihak yang berperkara

5.

- Menghilangkan data perka ra - Membuat resume yang menguntungkan salah satu pihak

-Asisten hakim -Hakim/Majelis -Pengacara/pihak yang berperkara -Hakim Agung -Pengacara/Pihak yang berperkara

6.

Hakim menunda atau menghentikan eksekusi suatu perkara

Yang apabila dipaparkan lebih detail, maka modus operandi diskrepansi di Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:48 1. Dana Tambahan Administrasi Perkara B agian administrasi dengan cara yang sangat halus dan tidak vulgar meminta dana tambahan tanpa kwitansi kepada pihak yang mengajukan kasasi. Pihak dari MA sendiri menghubungi pengacara atau pihak yang berperkara dan menanyakan apakah mau memenangkan perkara, atau sebaliknya pihak yang berperkara sendiri menghubungi

48

Ibid.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 35 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

mereka dan meminta supaya perkara dimenangkan. Terjadi kolusi antara direktur MA, asisten koordinator/panitera dan ketua tim majelis (intern MA) dengan pihak berperkara untuk mengatur perkara agar jatuh ke majelis tertentu yang favourable. Selanjutnya tawarmenawar ini diserahkan kepada pihak yang berperkara dan hakim. 2. Pemerasan yang dilakukan hakim Salah satu modus yang banyak terjadi adalah pemerasan terhadap pengacara yang perkaranya sedang diperiksa oleh hakim. Pemerasan ini tidak dilakukan secara konvensional tetapi menjadi satu rangkaian dengan kasus yang sedang diperiksa oleh hakim yang bersangkutan, dalam hal ini hakim dapat memperlambat selesainya pemeriksaan perkara, mengulur waktu penetapan putusan, serta tawar menawar putusan. Untuk kasus di daerah, seorang hakim bersedia mengeluarkan uang sebesar Rp. 250 juta kepada pejabat-pejabat di Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman agar dapat menjadi ketua pengadilan . 3. Suap yang dilakukan oleh pihak yang berperkara Kasus suap ini terjadi pada pihak -pihak yang berperkara dan atau pengacaranya. Apabila pihak yang berperkara dan atau pengacaranya menolak memberikan uang suap, maka dia akan dikalahkan sekalipun bukti-buktinya cukup kuat. Kalau seorang pengacara dikalahkan oleh hakim maka sangat sulit bagi dia untuk mengadu ke MA karena tidak ada bukti tertulis. Penyuapan terhadap seorang hakim dapat juga terjadi karena pengacara yang sedang diperiksa perkaranya aktif menghubungi hakim atau majelis hakimnya. Dalam hal pengacaranya tidak ingin menyuap hakim, maka dia akan menyerahkan masalah suap menyuap tersebut kepada kliennya. 4. Pengaturan majelis yang favourable Bentuk yang agak unik adalah berkas perkara ke Mahkamah Agung sengaja tidak dilengkapi atau cacat salah satu dokumennya. Hal itu dilakukan agar perkara diperiksa oleh majelis hakim yang dikehendaki. Pemeriksaan perkara dilakukan atas dasar nomor urut dan setiap deretan urut tertentu telah ditetepkan oleh majelis hakimnya. 5. Tawaran untuk menggunakan jasa pengacara tertentu yang favourable

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 36 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Pihak yang berperkara ditawari untuk menggunakan jasa pengacara tertentu yang mempunyai hubungan istimewa dengan hakim agung, biasanya adalah pengacara yang mempunyai hubungan saudara atau bahkan anak dari seorang hakim agung tertentu. 6. Pengaburan perkara Modus pertama dalam pengaburan perkara dilakukan oleh asisten majelis hakim agung pembuat resume yang mempunyai kesepakatan khusus dengan pihak yang berperkara. Kedua, pengaburan perkara dilakukan dengan penghilangan data dari suatu perkara oleh panitera. Biasanya tindakan itu dilakukan oleh panitera senior. Supaya permainan ini lancar maka panitera tersebut bekerja sama dengan hakim yang akan memeriksa perkara yang didaftar. 7. Putusan Sekjen atau asisten hakim agung menghubungi salah satu pihak yang bersengketa dan menawarkan pada mereka suatu putusan yang dapat memenangkan perkara mereka. Putusan itu dapat dibuat sendiri oleh sekjen atau asisten hakim agung. Dalam hal ini setelah draft putusan dibuat oleh hakim agung, pihak administrasi yang bertugas menyusun dan mengetikkan draft putusan itu ke dalam format putusan melakukan pemalsuan putusan sesuai kehendak pihak yang membayarnya. C. Penegakan Hukum 1. Penurunan Kepercayaan Terhadap Aparat Akhir -akhir ini hukum sebagai garda terdepan benteng demokrasi yang diharapkan dapat memberikan rasa keadilan terhadap masyarakat berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Hal tersebut terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa sebagian masyarakat telah menganggap peradilan yang merupakan sarana terpenting dalam dunia hukum telah dianggap buruk dan tidak mencerminkan harapan dan aspirasi masyarakat. Dalam kuisioner yang diedarkan oleh tim peneliti, salah satu pertanyaannya adalah bagaimana kondisi peradilan Indonesia saat ini, yang diajukan untuk mengetahui pendapat responden mengenai kondisi dunia peradilan Ind onesia menurut sudut ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 37 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

pandangan profesi yang digeluti oleh responden (dalam hal ini peradilan yang dimaksud adalah peradilan dalam arti luas, khususnya menyoroti pelaksanaan tugas peradilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum). Jumlah responden yang memberikan jawaban sebanyak 536 orang. Para responden berasal dari kalangan praktisi hukum, seperti polisi, jaksa, hakim , advokat/pengacara, akademisi dalam bidang hukum, dan pengurus lembaga swadaya masyarakat yang memiliki perhatian pada bidang hukum. Adapun pertanyaan yang diajukan dilakukan secara terbuka, artinya setiap responden dapat mencantumkan pendapatnya secara bebas dan tidak terbatas pada pilihan-pilihan yang diberikan oleh peneliti Maka setelah diolah berdasarkan sifat dari jawaban yang telah diberikan, diperoleh beberapa pernyataan yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu, Kelompok pertama disebut kelompok A sebanyak 10,10% dari jumlah responden memiliki kriteria sebagai berikut: pernyataan tersebut bernada positif, memiliki tingkat optimistis yang baik terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Kelompok B sebanyak 31.92% dari jumlah responden memiliki kriteria sebagai berikut: pernyataan yang diberikan disertai dengan syarat-syarat tertentu, memiliki tingkat optimistis yang relatif berada di bawah kelompok A, pernyataan dapat pula bernada negatif yang disertai suatu syarat untuk memperbaikinya. Kelompok C sebanyak 56.97%. responden memiliki kriteria sebagai berikut: pernyataan yang diberikan bernada negatif, lebih mengarah pada sifat pesimis atas proses penegakan hukum yang saat ini sedang berjalan. Apabila kita coba uraikan satu persatu, kelompok A menyatakan bahwa kondisi peradilan sudah cukup baik. kondisi yang sudah baik tersebut ditandai dengan pemeriksaan terhadap para pejabat yang dinilai telah melakukan korupsi. Koordinasi yang dilakukan antar elemen peradilan sudah membaik, hakim dalam memutus suatu perkara tidak semena-mena, tidak ada intervensi dari instansi lain dalam melakukan tugas peradilan, dan semua proses dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 38 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Beberapa responden yang masuk ke dalam kelompok ini menyatakan bahwa penyebab nilai buruk kondisi peradilan adalah ulah dari pengacara yang kalah dalam persidangan. Pengacara tersebut sebagian melakukan tindakan -tindakan yang dinilai memojokan hakim melalui pemberitaan di media massa, atau melakukan pengerahan massa ke pengadilan. Pemberitaan melalui media massa tersebut cenderung tidak proporsional atas suatu perkara. Pemberitaan yang tid ak proporsional tersebut karena ada indikasi bahwa media massa hanya mengangkat berita yang didapat dari mereka yang kalah di persidangan. Selain itu faktor kesadaran hukum masyarakat menjadi salah satu faktor terjadinya kondisi peradilan yang buruk. Kelompok B merupakan kelompok yang memiliki penilaian atas proses penegakan hukum di Indonesia dengan mengajukan syarat-syarat. Berdasarkan hasil pengumpulan pendapat dalam kelompok ini, sebagian responden menyatakan bahwa kondisi peradilan Indonesia saat ini relatif baik. Namun perlu suatu koreksi agar nilai buruk yang diberikan oleh masyarakat kepada lembaga peradilan dapat berubah menjadi baik. Responden menilai terdapat banyak titik rawan yang harus diperhatikan dalam upaya memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Titik rawan tersebut antara lain adalah kualitas SDM yang kurang baik, mafia peradilan yang dapat mengatur proses peradilan serta putusan pengadilan, masih terdapat saling tidak percaya antara penegak hukum, budaya KKN masih sangat terasa dalam setiap proses peradilan. Perlu ada kontrol antara institusi yang satu dengan institusi yang lain dan permasalahan sarana prasarana serta kesejahteraan aparat penegak hukum menjadi salah satu kendala dalam memperbaiki kualitas penegakan hukum di Indonesia. Peraturan perundangundangan dianggap perlu untuk ditinjau kembali, karena banyak peraturan perundangan -undangan yang menimbulkan multi interpretasi sehingga tidak dapat memberikan keadilan pada masyarakat. Masalah koordinasi antara penegak hukum menjadi faktor penting dalam proses penyelesaian suatu perkara. Pada masa orde baru dan era reformasi saat ini, intervensi atas proses peradilan kerapkali terjadi, khususnya dilakukan oleh kalangan eksekutif dan legislatif. Intervensi yang k erap ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 39 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

kali dilakukan oleh kedua lembaga tersebut merupakan hal yang paling banyak mendapat sorotan dari para responden. Keluhan atas kelambatan hakim dalam menangani suatu perkara menjadi salah satu faktor penyebab wajah buruk peradilan Indonesia. Hakim banyak yang menunda-nunda putusan. Selain itu secara teknis, hakim cenderung menggampangkan masalah. Namun para responden menekankan perlu dibentuk lembaga pengawas, yang akan melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat peradilan. Selain kondisi rawan di atas, masalah kesejahteran para aparat penegak hukum harus mendapat perhatian. Peningkatan kesejahteraan tersebut dinilai dapat meningkatkan kinerja aparat hukum dan untuk mengurangi kecenderungan melakukan kolusi dan korupsi. Masalah kemandirian aparat penegak hukum menjadi salah satu unsur yang paling penting dalam upaya memberikan pelayanan hukum pada masyarakat. Kelompok C merupakan kelompok yang memiliki sikap pesimis atas proses penegakan hukum di Indonesia. Sebagian responden menyatakan bahwa kondisi peradilan saat ini sangat memprihatinkan. Alasan yang dikemukakan oleh responden pada umumnya tidak jauh berbeda dengan alasan yang telah dikemukakan oleh kelompok B. Permasalahan indikasi adanya mafia peradilan dan praktek jual beli putusan merupak an salah satu penyimpangan yang paling banyak ditemui oleh responden dari kalangan pengacara saat berpraktek di pengadilan. Kedua hal tersebut menimbulkan akibat sampingan, antara lain kecenderungan masyarakat untuk main hakim sendiri semakin tinggi. Masalah intervensi dari kalangan eksekutif dan legislatif atas kekuasaan yudikatif dinilai oleh responden sebagai salah satu faktor penyebab rusaknya peradilan di Indonesia. Berdasarkan penilaian dari responden tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses penegakan hukum di Indonesia belum dapat berjalan dengan baik sehingga belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Beberapa faktor yang dinilai menjadi penyebab hal tersebut adalah: adanya indikasi mafia peradilan yang melakukan jual beli putusan, praktek KKN dalam setiap proses peradilan kian marak, adanya intervensi lembaga

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 40 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

eksekutif dan legislatif terhadap lembaga yudikatif sehingga proses hukum yang dijalankan lebih kental nuansa politis dibandingkan hukum itu sendiri. Masalah peraturan perundang -undangan yang tumpang tindih menjadi salah satu faktor penyebab buruknya kondisi peradilan. Kesejahteraan aparat penegakan hukum harus mendapat perhatian sehingga mereka dapat bekerja dengan baik dan dapat menghindarkan diri dari kecenderungan untuk melakukan tindakan KKN. Dan terakhir, seluruh proses peradilan tersebut harus dapat diawasi, saat ini masalah pengawasan dinilai tidak berjalan dengan baik. Walaupun setiap institusi peradilan telah memiliki lembaga pengawas. Masalah pengawasan pada masa mendatang harus mendapat perhatian yang lebih baik dibandingkan saat ini. Dalam hal ini indikator kondisi peradilan yang buruk menurut masyarakat tersebut dapat lebih jelas terlihat menurut data-data yang diperoleh dari lapangan berikut ini:

No

Indikator Kondisi Peradilan yang Buruk Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara Akademisi/LSM

Lembaga peradilan tidak bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme

70.2

66.7

55.8

85.4

85.4

Tidak ada kemandirian aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas

61.4

76.7

71.4

80.6

80.6

Asas sederhana, cepat dan biaya ringan tidak dapat terlaksana dengan baik.

59.9

59.0

46.8

69.3

69.3

Terdapat berbeda

penafsiran terhadap

yang

48.2

70.4

25.6

43.5

43.5

peraturan 21.7 23.1 21.0 29.0 29.0

perundang-undangan 5 Lain lain

Adapun yang menjadi faktor dominan penyebab buruknya kondisi peradilan Indonesia itu apabila dikuantifisir adalah sebagai berikut:

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 41 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

No

Faktor Dominan Penyebab Buruknya Kondisi Peradilan di Indonesia Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara 39.1 45.0 33.0 31.6 Akademisi /LSM 37.0

Peraturan

perundang- undang-

undangan yang tumpang tindih 2 Perbedaan penafsiran atas 35.6 60.3 32.4 24.0 24.1

peraturan perundang undangan 3 4 5 6 SDM yang tidak berkualitas Terjadi KKN di lembaga Peradilan Lain-lain Tidak menjawab 48.0 60.5 25.1 0.00 62.9 47.4 28.4 0.00 50.4 91.1 19.2 0.00 60.7 82.3 34.1 0.00 62.8 74.2 27.4 1.6

Selain data yang telah disebutkan diatas, berdasarkan penuturan Jhonson Panjaitan 49, masalah sumber daya manusia merupakan permasalahan yang sangat mendesak untuk segera ditangani. Hal ini dapat dilihat sejak awal penerimaan yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk mengatasinya harus dimulai dengan menarik orang-orang terbaik dari universitas. Namun hingga saat ini belum ada konsep yang jelas untuk digunakan dalam upaya merekrut calon pejabat peradilan. Beberapa waktu yang lalu berkembang wacana untuk menerapkan pola perekrutan seperti yang dilakukan oleh Jepang50 dalam memilih petugas peradilan51. Berdasarkan sebaran responden tersebut masalah KKN dan kualitas SDM menjadi faktor yang paling penting untuk mendapat perhatian. Hal tersebut semakin dikuatkan dengan adanya data yang berhasil diperoleh dari lembaga ombudsman. Pandangan akan buruknya dunia peradilan dan sistem hukum serta kinerja lembaga-lembaga peradilan tersebut menyebabkan kepercayaan masyarakat semakin berkurang terhadap lembaga-

49Wawancara

dilakukan pada tanggal 17 April 2002.

50Pola perekrutan yang dimaksud adalah dengan mengumpulkan para calon unruk mengikuti ujian secara bersama-sama, kemudian berdasarkan hasil uji tersebut mereka dikelompokkan berdasarkan minat dan kemampuan untuk bertugas sebagai hakim, jaksa, atau pengacara. Setelah itu mereka diberi pelatihan secara bersama-sama dalam satu tempat. Mereka dilatih dengan dasar pengetahuan yang sama, sehingga pada akhir pelatuihan diharapkan mereka memiliki persamaan persepsi dalam upaya penegkan hukum. 51

Wawancara terhadap Luhut. M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M. Pada tanggal 2 Maret 2002.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 42 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

lembaga formal tersebut dan lari untuk mengadukan dan memperjuangkan nasibnya kepada lembaga yang sebenarnya secara tata kerja tidak berada secara langsung dalam sistem peradilan Indonesia seperti Komisi Ombudsman Nasional. Berdasarkan data pengaduan masyarakat yang masuk ke Komisi Ombudsman Nasional (KON) pada tahun 2001 menunjukan bahwa pengadilan adalah lembaga paling banyak diadukan, yaitu sebanyak 45% (261 laporan) dari total laporan yang masuk, 59% mengenai Pengadilan Negeri, meliputi 19% laporan mengenai Mahkamah Agung, 13% mengenai Pengadilan Tinggi, 5% mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara, dan 4% mengenai Peradilan Agama52. 2. Lemahnya Penegakan Hukum Bagi Aparat Apabila ditelaah lebih jauh, kualitas sumber daya manusia adalah salah satu bidang yang menjadi pusat perhatian masyarakat pemerhati hukum di Indonesia ini. Keprihatinan akan keadaan tersebut, diperparah oleh sistem pengawasan bagi aparat yang sangat lemah menyebabkan permasalahan kualitas SDM menjadi prioritas pembenahan dalam mewujudkan sistem peradilan di Indonesia. Hal ini tercermin dari tabel berikut:

Prioritas

Menata peraturan perundang-

kembali

Meningkatkan kualitas SDM (%)

Melakukan penggan-tian SDM (%)

Lain-lain (%)

Tidak menjawab (%)

undangan (%) 1 2 3 4 28.5 20.7 13.4 1.7 52.2 29.1 3.9 0.4 7.8 11.6 14.0 1.7 11.2 11.2 9.7 6.9 0.2 27.4 59.0 89.2

Secara umum, berdasarkan urutan kelompok prio ritas yang telah disusun dapat ditarik kesimpulan bahwa langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas SDM. Langkah kedua adalah menata kembali peraturan perundang -undangan. Pilihan melakukan penggantian SDM merupakan langkah ketiga yang disarankan untuk

Masduki, Ombudsman dan Pengawasan Lembaga Pengadilan, (Makalah disampaikan dalam seminar sehari Pengawasan Lembaga Peradilan, diselenggarkan oleh Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 18 Juli 2002. hal. 1.

52Teten

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 43 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

dilakukan. Tetapi pilihan tersebut merupakan pilihan yang dinilai cukup ekstrem sebagaimana pernah disarankan oleh salah satu narasumber dalam wawancara mendalam53. Secara umum jawaban yang berhasil didapat adalah sebagai berikut: 1. Meningkatan kesejahteraan para aparat penegak hukum 2. Meningkatkan sistem pengawasan internal dan eksternal. 3. Menerapkan sistem reward and punishment bagi aparat penegak hukum 4. Memperbaiki sistem birokrasi lembaga peradilan yang ada saat ini. 5. Memperbaiki sistem rekruitment petugas peradilan. Selanjutnya, sebagai tindakan preventif sekaligus represif agar tercipta suatu keadaaan dunia peradilan sebagaimana yang diharapkan adalah dengan menciptakan suatu sistem penegakan hukum bagi aparat peradilan secara lebih tegas. Luhut M.P. Pangaribuan berpendapat bahwa saat ini yang perlu untuk dibenahi adalah sistem yang berjalan dalam peradilan saat ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah diadakannya suatu sistem pengawasan bagi aparat peradilan. Hal tersebut sangat disadari oleh para aparat hukum itu sendiri, dimana pada semua sub sistem memperlihatkan data tentang kebutuhan atas keberadaan lembaga pengawasan, yaitu sebagai berikut:

No

Diperlukan Sistem Pengawasan untuk Menciptakan Kondisi Hakim Jaksa Peradilan yang Baik

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara 89.3 10.7 0.0 91.0 9.0 0.0 85.5 15.7 0.6 93.7 6.3 0.0 98.4 1.6 0.0 Akademisi /LSM

1 2 3

Ya Tidak Tidak menjawab

Walaupun dalam hal ini semua sektor mengakui perlu adanya lembaga pengawasan, namun berdasarkan data yang terkumpul dari lapangan, dapatlah disebutkan bahwa adanya sistem pengawasan (yang telah ada sekarang di setiap sektor) tersebut tidak memberikan jaminan guna menciptakan kondisi peradilan yang baik. Hal tersebut dapat terlihat sebagaimana data yang terdapat dalam tabel di bawah ini:

Wawancara mendalam dilakukan terhadap Johnson Panjaitan (PBHI), yang menyatakan langkah paling ekstrem yang dapat dilakukan untuk membenahi sistem peradilan adalah tumpas generasi atau mengganti seluruhnya dengan yang baru.
53

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 44 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

No

Apakah Peradilan

Sudah

Ada

Sistem Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara 95.1 3.5 1.4 98.7 0 1.3 80.7 17.5 1.8 92.5 5.1 0 53.2 41.9 4.8 Akademisi /LSM

Pengawasan terhadap Lembaga

1 2 3

Sudah Belum Tidak menjawab

Hal yang sama diutarakan pula oleh sejumlah narasumber. Mereka menyatakan memang telah ada sistem pengawasan di setiap lembaga. Namun hampir semua sistem pengawasan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Menurut mantan Hakim Agung H.P. Panggabean 54 selama ini pengawasan kurang berjalan karena sistem yang dipergunakannya kurang tepat. Pengawasan internal lembaga pengadilan, melalui hakim pengawasan peradilan selama ini terbukti tidak membuahkan hasil. Sementara lembaga eksaminasi untuk menguji putusan -putusan pengadilan yang kontroversial belum nampak ada keinginan untuk diterapkan. Karena itu, pengawasan eksternal menjadi sangat komplementer untuk dilakukan55. berikutnya, yaitu: Yang kemudian diperkuat dalam tabel

No

Apakah yang

Sistem Telah

Pengawasan Ada Dapat Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara 70.8 23.6 4.9 85.9 7.7 6.4 70.5 9.0 18.1 35.4 59.5 5.1 21.0 35.5 43.5 Akademisi/LSM

Menciptakan Kondisi Peradilan yang Baik 1 2 3 Ya Tidak Tidak menjawab

2002.

54Hasil

wawancara dengan Hakim Agung Henry .P. Panggabean pada tanggal 3 April Masduki, Op.cit.

55Teten

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 45 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Data di atas memperlihatkan tingkat kepercayaan aparat penegak hukum yang tidak terlalu baik terhadap sistem pengawasan yang berjalan di dalam lembaganya. Kelemahan lembaga pengawas internal56 tersebut disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah: 1. tingginya esprit de corps; 2. terbentuknya hukum baru berupa perlindungan profesi dan hukum tutup mulut bila itu menyangkut kelemahan/kesalahan sesama teman atau kelemahan organisasi; 3. ketiadaan kesepakatan mengenai tujuan yang sama dari seluruh sub sistem. (diduga keras menjadi penyumbang masalah terhadap kondisi ini) Meskipun mekanisme pengawasan yang bersifat internal telah terinkorporasi dalam setiap subsistem, yang juga sering disebut sebagai pengawasan melekat (waskat), walaupun effektivitasnya masih banyak diragukan (utamanya karena dugaan adanya ingroup feeling yang cenderung menutupi kesalahan sesama kolega). Beberapa hal yang ditenggarai potensi muncul dari pelaksanaan mekanisme pengawasan internal antara lain adalah 57: 1. Jarang sekali ada penjelasan dari lembaga mengenai hasil akhir pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya; 2. Produk dan mekanisme pengawasan internal pada umumnya tidak untuk konsumsi publik, tapi hanya bersifat internal; 3. Apabila ada anggota yang diproses, tidak mungkin dapat bersifat obyektif dalam melakukan investigasi terhadap anggotanya sendiri yang melakukan pelanggaran (solidaritas, in-group feeling); 4. Pelanggaran oleh personel SPPT mencerminkan kelemahan ataupun keburukan lembaga tersebut, termasuk fungsi pendidikan dan pelatihannya, sehingga sulit diharapkan bahwa hal semacam ini akan diekspose oleh suatu lembaga internal;

56Ahwil Luthan, Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawasan sistem Peradilan Terpadu, (Makalah disampaikan pada acara Semiloka II Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Terpadu, diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 16 Juli 2002.). hal. 3. 57Ibid,

hal. 4.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 46 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

5. proses investigasi oleh lembaga internal terhadap anggotanya cenderung diwarnai oleh conflict of interest sehingga hasilnya kurang kredibel. Rasa esprit de corps yang tumbuh di kalangan aparat penegak hukum disebabkan oleh sikap eksklusifisme yang berdampak dapat menghambat semangat interdependensi sesama lembaga penegak hukum58. Koordinasi antar sesama instansi lembaga penegak hukum merupakan salah satu elemen pokok dalam sistem peradilan terpadu, agar satu sama lain dapat mendukung dan memberikan dukungan untuk mencapai tujuan-tujuan objektif dari sistem peradilan terpadu tersebut. Untuk mengimbangi kelemahan -kelemahan dalam pengawasan internal, maka haruslah diberdayakan (empowerment) fungsi pengawasan eksternal sehingga dapat memperkuat dan mendorong fungsi pengawasan pada umumnya terhadap kinerja dan integritas masing-masing jajaran sebagai sub -sistem dalam proses penyelenggaraan peradilan. Pengawasan eksternal dapat ditempuh melalui dua mekanisme59 yaitu: 1. Sesama instansi penegak hukum atau subsistem dalam proses penegakan hukum, yang bersifat horisontal. Untuk mencapai koordinasi sebaik-baiknya, maka sesama sub sistem juga harus ada saling kontrol yang didasarkan pada concern bersama untuk mencapai tujuan bersama yaitu keterpaduan di dalam proses penegakan hukum. 2. Mekanisme yang memberdayakan kontrol oleh masyarakat (publik). Dalam hal ini sifat kontrol atau pengawasan lebih didasarkan pada prinsip akuntabilitas publik dalam tugas menjalankan pelayanan publik (public service) di bidang penegakan hukum bagi pencari keadilan dan sifat transparansi.

58Toton Suprapto, Lembaga Pengawas Sistem Peradilan terpadu, (Makalah disampaikan pada Semiloka II Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Terpadu. Diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Komisi Hukum Nasional. Jakarta, 16 Juli 2002). hal. 1-2. 59

Ibid, hal. 5-6.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 47 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

BAB III.

TINJAUAN TENTANG PENGAWASAN SISTEM

PERADILAN TERPADU
A. Tinjauan Umum Pengawasan 1. Definisi Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia asal katanya adalah awas, sehingga pengawasan merupakan kegiatan mengawasi saja, dalam arti melihat sesuatu dengan seksama. Tidak ada kegiatan lain diluar itu, kecuali melaporkan hasil keg iatan mengawasi tadi. Sedangkan istilah pengawasan dalam bahasa Inggris disebut controlling yang diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah controlling lebih luas artinya daripada pengawasan. Akan tetapi dikalangan ahli telah disamakan pengertian controlling dengan pengawasan. Jadi pengawasan termasuk pengendalian. Hal tersebut diperkuat dalam kenyataannya pada praktek sehari-hari dimana istilah controlling itu sama dengan istilah pengawasan dan istilah pengawasan itu telah mengandung pengertian yang luas, yakni tidak hanya sifat melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan melihat sesuatu sebagaimana diuraikan diatas tadi tetapi juga mengandung makna pengendalian, dalam arti: menggerakkan, memperbaiki dan m eluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Terdapat beberapa definisi pengawasan secara teori, salah satunya yaitu pengawasan adalah setiap usaha dan tindakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut ketentuan dan sasaran yang hendak dicapai. 2. Maksud dan Tujuan Pengawasan Maksud Pengawasan : 1. Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak;

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 48 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

2. Memperbaiki kesalahan -kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru; 3. Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang direncanakan; 4. Mengetahui pelaksan aan kerja sesuai dengan program (fase tingkat pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak; 5. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam planning. Tujuan Pengawasan : 1. Agar terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna. 2. Agar terselenggara tertib administrasi di lingkungan aparatur pemerintah. 3. Menjamin ketetapan pelaksanaan sesuai dengan rencana, kebijaksanaan dan perintah; 4. Menertibkan koordinasi kegiatan-kegiatan; 5. Mencegah pemborosan dan penyelewengan; 6. Menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang atau jasa yang dihasilkan; 7. Membina kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan organisasi. 3. Macam -macam Pengawasan a. Pengawasan Langsung dan Pengawasan Tidak Langsung 1. Pengawasan Langsung Yaitu pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas yang mengamati, meneliti, memeriksa, dan mengecek sendiri ditempat pekerjaan, dan menerima laporan-laporan secara langsung pula. Hal ini dilakukan dengan inspeksi. 2. Pengawasan Tidak Langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan -laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, serta mempelajari pendapatpendapat masyarakat dan sebagainya. b. Pengawasan Preventif dan Represif 1. Pengawasan Preventif ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 49 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Pengawasan ini dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan -persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. 2. Pengawasan Represif Pengawasan ini dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan ditempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya. c. Pengawasan Intern dan Ekstern 1. Pengawasan Intern Yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. 2. Pengawasan Ekstern Yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri. Menurut Instruksi Presiden RI No.1 tahun 1989 ditegaskan mengenai macam-macam pengawasan, yaitu: 1. Pengawasan Melekat Yaitu serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus-menerus, dilakukan oleh atasan langsung kepada bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara berdaya guna sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pengawasan Fungsional Yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional baik intern pemerintah maupun ekstern pemerintah, yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pengawasan Masyarakat Yaitu pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang disampaik an secara lisan atau tertulis kepada aparatur pemerintah yang berkepentingan berupa sumbangan pikiran, gagasan atau keluhan/pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui media.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 50 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

4. Pengawasan Legislatif Yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap kebijaksanaan dan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan. B. Pendekatan Normatif Struktural 1. Kepolisian a. Umum

Setiap polisi harus dapat mencerminkan kewibawaan negara dan menunjukkan disiplin yang tinggi dikarenakan polisi pada hakekatnya adalah sebagai pengatur di dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Kepolisian Negara R.I. No. 2 tahun 2002 tanggal 8 Januari 2002, yang menentukan bahwa Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan dan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat b. Pola Pengawasan dalam lingkup Kepolisian

Pengawasan merupakan salah satu alat kontrol atas kinerja lembaga kepolisian, khususnya dalam sistem peradilan pidana. Saat ini telah banyak ditenggarai oleh media massa dan masyarakat luas bahwa tingkat penyimpangan di lembaga kepolisian cukup tinggi. Maka diperlukan suatu mekanisme pengawasan yang baik dan fair, untuk itu diperlukan pengawasan yang bersifat internal dan eksternal. Pengawasan internal merupakan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan sedangkan pengawasan secara eksternal dilakukan oleh pihak lain di luar lembaga yang bersangkutan. Berikutnya, selain kedua jenis pengawasan tersebut ada juga yang dinamakan pengawasan horisontal yang merupakan salah satu bentuk pengawasan eksternal yang dilakukan oleh lembaga lain dalam hubungan horisontal. I. Pengawasan Internal

Pengawasan internal di dalam tubuh kepolisian dilakukan melalui pengawasan melekat yang dilakukan oleh atasannya langsung dengan mengacu pada kode etik kepolisian. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 51 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Kode etik profesi ini ditetapkan oleh Kepala Kepolisian R.I., sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I. Selanjutnya di dalam Pasal 35 Undang -undang yang sama ditentukan bahwa pelanggaran terhadap kode etik profesi Kepolisian diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana susunan organisasi dan tata kerja komisi tersebut diatur pula dengan keputusan kepala kepolisian R.I. Wewenang tertinggi pada kepolisian R.I ada pada Kepala Kepolisian R.I. Tetapi kewenangan tertinggi di dalam melakukan pengawasan terhadap setiap anggota kepolisian ada pada komisi kode etik kepolisian. Komisi kode etik kepolisian ini merupakan penentu keanggotaan dari seorang anggota kepolisian. Di dalam komisi tersebut seorang anggota po lisi harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya yang berhubungan dengan pelanggaran kode etik profesi. Maka wewenang untuk mempertahankan/melepaskan keanggotaan seorang polisi bukan kepala kepolisian, melainkan Komisi Kode Etik Profesi. II. a. Pengawasan Eksternal Pengawasan Eksternal

Pengawasan eksternal atas tugas lembaga kepolisian dalam sistem peradilan pidana dilakukan melalui mekanisme praperadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan bahwa pengadilan berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Ketentuan dalam pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa tindak an penyidik dan penuntut umum dapat dikoreksi. Koreksi tersebut dapat dilakukan terbatas pada ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP. Selain sistem pengawasan eksternal melalui mekanisme praperadilan, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia telah menentukan keberadaan Komisi Kepolisian. Keberadaan Komisi Kepolisian ini diatur dalam Bab VI yang terdiri dari Pasal 37 sampai dengan Pasal 40. Salah satu tugas dari Komisi Kepolisian ini adalah menerima saran dan pengaduan masyarakat meng enai kinerja kepolisian dan selanjutnya ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 52 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

disampaikan kepada Presiden. Lembaga ini diharapkan dapat menjalankan fungsi pengawasan eksternal yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat. b. Pengawasan Horisontal

Hubungan kepolisian dengan kejaksaan dalam rangka penegakan hukum dimulai dengan tahap pra-penuntutan. Tahap ini dimulai saat penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik.60 Dalam waktu tujuh hari Jaksa harus menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap. Lengkap dalam arti bukti-buktinya cukup dan berkasnya disusun menurut KUHAP. Kalau penuntut umum berpendapat berkasnya belum lengkap, ia harus mengembalikan kepada penyidik disertai dengan petunjuk-petunjuk.61 Dalam waktu empat belas hari penyidik harus menyelesaikan penyidikan tambahan itu sesuai dengan petunjuk -petunjuk penuntut umum.62 Sebaliknya, berkas perkara dianggap sudah lengkap apabila sejak penyerahan berkas tersebut penuntut umum tidak mengembalikannya kepada penyidik.63 Hal ini memperlihatkan hubungan yang ada di dalam kepolisian maupun kejaksaan, dimana terdapat sistem saling mengawasi antara penyidik dan penuntut umum dalam menangani suatu kasus yang terjadi. 64 Penyidik berkewajiban memberitahukan kepada penuntut umum dalam hal penyidik telah mulai melakukan atau menghentikan penyidikan. Pada kenyataannya masih sering terjadi penuntut umum menerima berkas perkara tanpa didahului dengan pemberitahuan telah dimulainya penyidikan. Ada kalanya surat pemberitahuan tersebut dikirim kepada penuntut umum bersama-sama pengiriman berkas perkara. Selain itu, pemberitahuan penghentian penyidikan tidak disertai uraian yang jelas tentang alasan-

Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukan, (Semarang: Sinar Grafika), hal.35.
61Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8, LN No. 76 tahun 1981,TLN No. 3209, ps.110 62Ibid, 63Ibid, 64R.M.

60R.M.

ps.138 ayat (2) ps. 110 ayat (4) Surachman dan Andi Hamzah, Ibid , hal. 37.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 53 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

alasan penghentian penyidikan, sehingga penuntut umum tidak dapat menarik kesimpulan apakah penghentian penyidikan tersebut sudah tetap.65 Sebagai pemecahannya maka di dalam Instruksi bersama Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI No. INSTR - 006/JA/10/1981 dan No. Pol. Ins-10/X/1981 Tentang peningkatan usaha pengamanan dan kelancaran penyidangan perkara-perkara pidana ditentukan, bahwa pemberitahuan dimulainya penyidikan harus segera diberitahukan kepada penuntut umum dan pemberitahuan penghentian penyidikan harus disertai alasan -alasan yang jelas. Alasan yang jelas ini dalam hal penuntut umum beranggapan bahwa alasan penghentian penyidikan tidak cukup, maka seyogyanya dapat segera dikoordinasikan dengan pihak penyidik melalui forum konsultasi.66 Apabila hal tersebut tidak dapat diselesaikan dalam forum konsultasi, maka penyelesaian atas kasus tersebut dilakukan melalui mekanisme praperadilan. Praperadilan merupakan sarana yang diberikan undang-undang kepada penyidik maupun penuntut umum untuk melakukan pengawasan secara horisontal. Pengawasan horisontal yang dimaksud adalah melakukan pengawasan atas penghentian penyidikan atau penuntutan. Hal t ersebut diatur dalam Pasal 80 KUHAP. 2. Kejaksaan a. Umum

Lembaga Kejaksaan sebagai penuntut umum dalam peraturan perundang-undangan tentang Organisasi Peradilan dan Kebijaksanaan Justisi atau Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der justitie (R.O), dikenal dengan sebutan Openbaar Ministerie (O.M), yang bertugas sebagai penuntut umum dan pelaksana dari putusan pengadilan pidana dari semua tingkat pengadilan.

Prakoso dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, (Bina Aksara: Jakarta), hal.48.
66Op.Cit,

65Djoko

hal. 49.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 54 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Di Hindia Belanda perihal O.M. itu diatur dalam Pasal 55 R.O., H.I.R dan Reglement op de Strafvordering (Sv) dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun tugastugasnya adalah: 1. Mempertahankan ketentuan dan undang-undang; 2. Melakukan penyidikan dan penyidikan lanjutan; 3. Melakukan penuntutan tindak-tindak pidana pelanggaran dan kejahatan; 4. Melaksanakan putusan-putusan pengadilan pidana. Tugas O.M di bidang hukum pidana dan hukum acara pidana, selain yang telah disebutkan di dalam no. 2, 3, dan 4 masih ada tugas dan wewenang lain, diantaranya ialah: 1. Berwenang untuk mengesampingkan perkara berdasarkan asas opportunitas tidak tertulis; 2. Dapat naik banding (appel) dan memajukan permohonan kasasi pihak atas putusan pengadilan yang berwenang yang tidak merupakan putusan bebas (Pasal 128, 169 dan 171 R.O.); 3. Procureur General (P.G) dapat memajukan kasasi demi kepentingan hukum baik dalam perkara pidana maupun perdata (Pasal 170 R.O); 4. Procureur General (P.G) adalah Kepala Kepolisian Kehakiman (gerechtelijke politie) preventif dan represif (Pasal 180 dan 181 R.O). Untuk keperluan pencegahan dan pemberantasan tindak-tindak pidana, P.G. berwenang untuk meminta keterangan selain dari para pegawai O.M. juga dari Angkatan Perang dan Pangreh Praja. Pasal 2 Osamu Seirei No. 3 Tahun 1942 menggariskan kekuasaan Kejaksaan sebagai berikut: 1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran. 2. Menuntut perkara. 3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal. 4. Mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilakukan menurut hukum. Tugas dan kewenangan Kejaksaan dalam lingkup peradilan semakin dipertegas dalam KUHAP, dimana posisi Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana. dalam perkara tindak pidana khusus, yang dalam hal ini adalah tindak pidana ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 55 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk menyidik perkara tersebut. Dalam lingkup tugas, wewenang dan institusional kejaksaan terdapat berbagai hal yang akan dibahas lebih lanjut. Dalam hal mana pembahasan ini dengan memperhatikan Report On Governance Audit Of The Public Prosecution Service of the Republic Indonesia, yang dibuat oleh Tim dari Kejaksaan Agung, yang didanai oleh Asian Development Bank. b. I. Pengawasan Dalam Lingkup Kejaksaan Pengawasan Internal

Dalam Pasal 8 Ayat (1) UU No. 5 tahun 1991, dinyatakan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung. Sedangkan pengertian jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (4). Mengingat jaksa mempunyai kualifikasi sebagai pejabat fungsional, maka bagi seseorang yang diangkat sebagai jaksa harus memenuhi syarat yang lebih dari seorang pegawai negeri. Sebagai pejabat fungsional, maka seorang Jaksa Agung dituntut mampu menunjukan kualitas yang lebih baik daripada seorang pegawai negeri pada umumnya. Bilamana tampilan kualitas yang lebih baik tidak mampu ditunjukkan, maka seorang jaksa dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 huruf d jo Pasal 13 huruf b UU No.5 tahun 1991. Pemberhentian ini dilakukan oleh Jaksa Agung, yaitu dengan cara sebagai berikut: Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatan fungsional Jaksa karena ternyata ia tidak cakap menjalankan tugasnya, misalnya karena ia banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya. Jaksa diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan fungsional jaksa, apabila ia terus menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan tugasnya, yaitu apabila ia dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang -undangan yang berlaku, tidak menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa suatu alasan yang sah.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 56 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Dalam kerangka pengawasan di lingkup kejaksaan, perihal lembaga yang mengawasi diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 86 tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dimana dalam Keppres tersebut disebutkan tentang Jaksa Agung Muda Pengawasan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23 Keppres 86 tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut: Jaksa Agung Muda Pengawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Mengenai tugas dan wewenang Jaksa agung Muda Bidang Pengawasan dinyatakan dalam Pasal 24 Keppres 86 tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut: Dalam melaksanakan tugas serta wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Jaksa Agung Muda Pengawasan menyelenggarakan fungsi : a. perumusan kebijaksanaan teknis pengawasan di lingkungan Kejaksaan; b. perencanaan, pelaksanaan, dari pengendalian pengamatan, penelitian, p engujian, penilaian, pemberian bimbingan, penertiban atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan terutama mengenai administrasi umum, administrasi di bidang kepegawaian, keuangan, perlengkapan, proyek pembangunan, intelijen, tindak pidana umum, tindak pidana khusus, perdata, dan tata usaha negara di lingkungan Kejaksaan serta pengadministrasiannya; c. pelaksanaan pengusutan, pemeriksaan atas adanya laporan, pengaduan, penyimpangan, penyalahgunaan jabatan atau wewenang dan mengusulkan penindakan terhadap pegawai Kejaksaan yang terbukti melakukan perbuatan tercela atau terbukti melakukan tindak pidana; d. pemantauan dalam rangka tindak lanjut pengawasan di lingkungan Kejaksaan; e. pembinaan dan peningkatan kemampuan, keterampilan serta integritas kepribadian aparat pengawasan di lingkungan Kejaksaan; f. pembinaan kerja sama dan pelaksanaan koordinasi dengan aparat pengawasan fungsional instansi lain mengenai pelaksanaan pengawasan pada umumnya; g. pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pengawasan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung; h. pemberian saran pertimbangan kepada Jaksa Agung dan pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai dengan petunjuk Jaksa Agung. Selain perangkat organisasi sebagaimana tersebut di atas, pihak Kejaksaan Agung mengeluarkan peraturan dalam rangka mendukung pelaksanaan penanganan perkara. Ketentuan tersebut tertuang di dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-132/J.A /11/1994 tanggal 7 Nopember 1994 tentang Perubahan Keputusan ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 57 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-120/J.A/12/1992 tanggal 31 Desember 1992 tentang Administrasi Perkara Pidana. Dengan ketentuan tersebut selain sebagai sarana tertib administrasi dalam penanganan perkara pidana, juga merupakan sarana pengawasan oleh atasannya atau unsur pimpinan di Kejaksaan pada setiap tingkat proses penanganan perkara pidana mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai eksekusi atupun dalam tingkat upaya hukum dan juga laporannya67. Dengan adanya keputusan Jaksa Agung tersebut yang sekaligus sebagai sarana pengawasan yang efektif apabila dilaksanakan dengan baik. Dan bila ditemukan penyimpangan dalam penanganan suatu perkara pidana akan dilakukan eksaminasi untuk mengetahui apakah benar telah terjadi penyimpangan atau tidak. Bila ternyata benar telah terjadi penyimpangan maka akan diteliti apakah karena kurang mampunya seorang jaksa/penuntut umum dalam menangani suatu perkara pidana atau karena telah melakukan perbuatan yang tercela. Kalau yang terjadi penyimpangan (diskrepansi) tersebut karena jaksa/penuntut umum dalam menangani perkara maka diberikan petunjuk, bimbingan atau arahan, tetapi bila karena perbuatan tercela misalnya menerima suap, maka kepada yang bersangkutan dilakukan pemeriksaan oleh pejabat pengawsan fungsional berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 tahun 1980 ataupun diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. Penjatuhan hukuman berdasarkan ketentuan PP N 30 tahun o. 1980 dilakukan secara fair berdasarkan kesalahannya. I. Pengawasan Eksternal

Pengawasan secara eksternal atas lembaga kejaksaan saat ini dilakukan melalui mekanisme praperadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 80 KUHAP, penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan atas suatu perkara dapat mengajukan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penuntutan. Pengajuan praperadilan tersebut secara tidak

67Soeparno

Adi Soeryo, Op. cit., hal 16-17.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 58 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

langsung merupakan pengawasan atas kewenangan untuk menerapkan asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung. Asas oportunitas merupakan kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum.

3. Pengadilan a. Umum

Salah satu akar permasalahan dalam bidang pengadilan adalah adanya upaya penyatuan pengadilan yang majemuk pada masa penjajahan Belanda. Menurut pemahaman Lev, faktor pendorong ke arah upaya penyatuan pengadilan adalah bersifat ideologis dan politis 68. Untuk menjelaskan berlangsungnya proses unifikasi lembaga pengadilan maka Lev memberikan berbagai contoh dari berbagai negara yang terdiri dari tiga macam proses unifikasi, yaitu: 1. Proses bertahap, dalam proses ini secara spasial lembaga-lembaga pengadilan menyebar, tetapi secara fungsional berada di bawah tekanan politis. Hal ini menyebabkan lembaga pengadilan berkembang dibawah pengaruh tersebut dan selanjutnya akan menyerap atau menghapus semua lembaga lain yang menjalankan fungsi yang sama; 2. Kaum elite yang memegang organisasi untuk memberlakukan berbagai lembaga baru terhadap masyarakat tanpa m empedulikan respon (penerimaan atau penolakan) dari masyarakat; 3. Melalui revolusi, dimana unifikasi terhadap lembaga-lembaga administrasi dan politik dapat diselesaikan dengan sangat cepat sebagai akibat dari gejolak dan mobilisasi sosial untuk dapat mewujudkan suatu perubahan yang radikal. Setelah proses unifikasi dengan berbagai romantika dan berbagai permasalahan dari sudut politis dan ideologis, masa kini timbul suatu permasalahan yaitu mengenai mekanisme pengawasan terhadap kinerja aparatur pengadilan. Dalam hal ini
Daniel S.Lev Hukum dan Politik di Indonesia. Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3ES, 1990.
68

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 59 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

permasalahan pengawasan dalam lingkup pengadilan menjadi perbincangan yang menarik, terutama setelah berbagai kasus penyuapan yang melibatkan hakim maupun panitera atau kasus putusan palsu yang akhirnya menyeret petugas pengadilan ke muka pengadilan.

b.

Pola Pengawasan dalam Pengadilan

Berdasarkan Pasal 10 Ayat (4) UU no. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan undang -undang69. Ketentuan di atas telah menyatakan ada lembaga pengawas yang ditetapkan oleh undang-undang, dalam hal ini dipegang oleh MA sebagai pengadilan negara tertinggi (Pasal 10 Ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970). Pengawasan tersebut diatur lebih lanjut di Pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 70. Secara umum Pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985 mengatur perihal pengawasan yang dilakukan MA terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan, termasuk di dalamnya mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya. Untuk melaksanakan fungsi pengawasan tersebut, MA memiliki kewenangan untuk meminta keterangan tentang halhal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan. Berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan disemua lingkungan peradilan. Kewenangan tersebut diberikan dengan disertai pembatasan. pembatasan yang dimaksud adalah tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memutus perkara.

69Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14, LN No. 14 tahun 1970, TLN. No. 2951, ps.10.

Undang -Undang Tentang Mahkamah Agung, UU No. 14, LN No. 73 tahun 1985, TLN. No. 3316, ps 32.

70Indonesia,

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 60 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dapat dibedakan menjadi dua yaitu, pertama, pengawasan terhadap lingkungan MA sendiri; kedua, pengawasan terhadap pengadilan di bawahnya71. Untuk pengawasan di lingkungan MA telah dibentuk beberapa aturan teknis misalnya dengan keputusan Ketua MA No. KMA/032/SK/IX/1992 tentang Organisasi, Tata Kerja, serta Pembagian Tugas dan Tanggung Jawab Korwassus (Koordinator Pengawasan Khusus). Koordinator Pengawasan Khusus dijabat oleh seorang Ketua Muda Mahkamah Agung RI yang diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung. Tugas pokok Korwassus adalah melaksanakan pengawasan internal terhadap pelaksanaan tugas pokok Mahkamah Agung. Dalam melaksanakan tugasnya Korwassus dibantu oleh Hakim Agung Pengawas Khusus (Hawassus) yang terdiri dari bidang yustisial, bidang pembinaan, bidang penelitian dan pengembangan, dan bidang pendidikan dan latihan72. Pengawasan terhadap pengadilan di bawah MA dilakukan oleh beberapa Hakim Agung Pengawas Daerah (Hawasda) yang masing-masing bertindak untuk dan atas nama Ketua Mahkamah Agung 73. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari Hawasda dikoordinasikan oleh Ketua Muda sebagai Koordinator Wilayah (Korwil)74. Selain Hawasda, dibentuk pula Hakim Tinggi Pengawas pada Mahkamah Agung (Hatiwasma) yang ditugaskan untuk membantu Hawasda melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan serta tingkah laku dan perbuatan Hakim dan Pejabat kepaniteraan, sesuai dengan wilayah, lingkungan peradilan dan bidang yang dibawahinya75.

71Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Discussion Paper untuk Workshop Strategi Pembaharuan Mahkamah Agung, ( Makalah disampaikan pada Workshop Strategi Pembaharuan Mahkamah Agung, Jakarta, Oktober 2001), hal. 22. 72Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pada Mahkamah Agung, Buku III, (Jakarta, Mahkamah Agung, 1994), hal. 316. 73 74

Ibid, hal. 315. Ibid, hal. 320.

75

Ibid, Hal 322.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 61 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Berdasarkan Keputusan Ketua MA No. KMA/005/SK/III/1994 tentang pengawasan dan evaluasi atas hasil Pengawasan oleh MA RI, dinyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh MA meliputi: 1. Teknis peradilan; 2. Administrasi peradilan; 3. Perbuatan dan tingkah laku hakim serta petugas pengadilan (di luar maupun dalam lingkup kedinasan) Pengawasan teknis peradilan dilakukan melalui pemeriksaan perkara dalam kasasi atau melalui upaya hukum lainnya dengan memperhatikan kemampuan teknis hakim dalam menangani perkara dan kualitas putusan serta dalam pelaksanaan eksekusi putusan 76. Pengawasan terhadap pelaksanaan administrasi peradilan dilakukan terhadap Hakim dan Pejabat Kepaniteraan Pengadilan. Pengawasan terhadap Hakim meliputi tertib pembuatan dan pengisian daftar yang berkaitan dengan kegiatan persidangan. Sedangkan terhadap Pejabat Kepaniteraan Pengadilan meliputi: 1. Tertib prosedur penerimaan perkara; 2. Tertib registrasi perkara; 3. Tertib keuangan perkara; 4. Tertib kearsipan; 5. Tertib laporan. Pengawasan tersebut dilakukan dengan cara pengawasan rutin dan pengawasan mendadak. Pada dasarnya pegawasan dilakukan oleh Ketua MA, namun dalam pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada Wakil Ketua MA, Ketua Muda MA atau Hakim Agung selaku Hakim Agung Pengawas Daerah. Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. KMA/006/SK/III/1994 tentang Pengawasan dan Evaluasi atas Hasil Pengawasan oleh Pengadilan Tingkat Banding dan Tingkat Pertama, menyatakan bahwa pengawasan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding terhadap jalannya peradilan di pengadilan tingkat pertama di daerah hukumnya. Tugas pengawasan

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Tentang Pengawasan Dan Evaluasi Atas Hasil Pengawasan Indonesia, Kep. No. KMA/005/SK/III/ 1994, ps. 3.
76

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 62 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

tersebut dapat didelegasikan kepada wakil ketua atau hakim yang ditunjuknya. Perihal lingkup tugas dan tata cara pengawasan tidak berbeda dengan keputusan Ketua MA No. KMA/005/SK/III/1994. Saat ini MA telah membentuk Ketua Muda bidang Pengawasan dan Pembinaan melalui SK Presiden No. 131/M Tahun 2001 Tanggal 23 April 2001. Keberadaan lembaga pengawas dan pembinaan ini akan melikuidasi keberadaan lembaga pengawas yang telah ada di Mahkamah Agung77. Tentunya keberadaan lembaga pengawas yang baru ini diharapkan dapat memperbaiki kondisi peradilan saat ini yang dinilai oleh sebagian masyarakat cukup buruk. Selain itu MA melakukan kebijakan lain dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 6 Tahun 2001 tanggal 13 September 2001 tentang Pengaduan Pelapor. Dalam surat edaran tersebut telah diperintahkan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk memeriksa pelapor maupun hakim serta pejabat pengadilan lainnya dalam rangka klarifikasi tentang adanya laporan penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim atau pejabat pengadilan lainnya78. Kebijakan yang diambil oleh MA melalui surat edaran tersebut merupakan terobosan yang menggembirakan, hal itu membuka peluang pada masyarakat untuk melakukan pengawasan secara eksternal atas kinerja para pejabat pengadilan. Selama ini pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, berupa pengaduan, disampaikan melalui kotak Pos 5000. Pengaduanpengaduan tersebut akan ditindaklanjuti oleh Ketua Muda Bidang Pengawasan dan Pembinaan, hasilnya akan disampaikan kepada atasan langsung yang bertanggungjawab untuk melakukan tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku79. Berdasarkan keterangan di atas, Ketua Muda Bidang Pengawasan dan Pembinaan hanya memeriksa pengaduan, sedangkan tindak lanjut dari hasil temuan tersebut tidak dilakukan olehnya. Tindak lanjut atas pengaduan tersebut dilakukan oleh atasan pejabat yang bersangkutan. Tentunya hal ini akan menyebabkan lembaga pengawasan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik.

77LeIP, 78

op. cit. hal. 25.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2001, (Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2001), hal. 4.
79

Ibid, hal. 6.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 63 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Karena ketua Muda Bidang Pengawasan dan Pembinaan tidak dapat mengambil tindakan yang diperlukan untuk mendisiplinkan pejabat yang dinilai melakukan kesalahan, misalnya penyalahgunaan wewenang. Pada saat ini Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ketiga telah menyatakan keberadaan komisi Yudisial. Komisi Yudisial ini merupakan amanat dari UUD 1945 yang harus dilaksanakan. Saat ini Komisi Yudisial masih dalam taraf persiapan pembentukan. Sebagai bahan perbandingan, akan disertakan pula konsep Komisi Yudisial dari New South Wales Australia. Komisi Yudisial ini memiliki beberapa fungsi, dalam hal ini salah satu fungsi yang berkaitan dengan penelitian ini adalah fungsi penerimaan pengaduan. Fungsi Pengaduan Komisi Yudisial

Salah satu tanggungjawab Komisi Yudisial sesuai dengan tugas yang diberikan oleh undang-undang adalah menangani pengaduan -pengaduan yang ditujukan kepada pejabat peradilan.

Pejabat Peradilan menurut Judicial Officers Act berarti: Hakim atau ketua Mahkamah Agung New South Wales; Anggota Komisi Hubungan Industrial New South Wales; Hakim Pengadilan Pertanahan dan Lingkungan New South Wales; Hakim Pengadilan Negeri di New South Wales; Hakim Pengadilan Ganti Rugi di New South Wales; dan Hakim Pengadilan Rendah

Definisi Pejabat Peradilan tidak mencakup orang-orang seperti Arbitrators dan praktisi hukum. Komisi Yudisial tidak memiliki hak untuk memeriksa pengaduan atas Pejabat Peradilan Federal atau orang yang tidak lagi menjadi hakim.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 64 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Sebagai tindak lanjut pemeriksaan awal, Komisi harus melakukan salah satu dari hal-hal sebagai berikut: 1. 2. 3. Menghentikan pemeriksaan Mengklasifikasikan sebagai pengaduan sumir Mengklasifikasikan sebagai pengaduan serius

Pemeriksaan dapat dihentikan atas dasar satu atau beberapa alasan menurut undangundang. Termasuk dalam alasan tersebut ialah jika Komisi berpendapat bahwa masalah yang diadukan bersifat tidak penting, iseng, atau tidak dilakukan dengan itikad baik, atau ada cukup alasan untuk mengatasi masalah tanpa harus melalui pengaduan, misalnya, jika ada hak untuk mengajukan banding. Komisi juga diharuskan menghentikan pengaduan jika yang diadukan bukan lagi seorang hakim. Jika pengaduan tidak dihentikan oleh Komisi maka pengaduan tersebut harus diklasifikasikan, baik sebagai pengaduan sumir ataupun pengaduan serius.Kriteria untuk mengklasifikan Kehakiman pengaduan serius dari adalah jika alasan -alasan pengaduan dapat lainnya memberikan justifikasi pertimbangan parlementer untuk memindahkan Pejabat yang diadukan kantornya. Pengaduan-pengaduan diklasifikasikan sebagai pengaduan sumir. Jika pengaduan dihentikan oleh komisi maka baik pengadu maupun pejabat kehakiman yang bersangkutan mendapat pemberitahuan tertulis tentang putusan tersebut. Jika pengaduan dirujuk kepada Divisi Perilaku untuk melakukan penyelidikan maka divisi perilaku tersebut menurut undang -undang wajib menyiapkan laporan hasil penemuannya. Dalam kaitannya dengan pengaduan-pengaduan sumir divisi perilaku memberikan laporan kepada Komisi Yudisial. Kewenangan untuk menjatuhkan hukuman dalam bentuk apapun terhadap para pejabat kehakiman tidak dimiliki oleh komisi, Conduct Division, atau bahkan Kepala Pemerintahan negara bagian. Komisi bukanlah suatu badan yang berfungsi sebagai Dewan Kedisiplinan dan keberadaannya memang tidak didesain untuk memiliki kekuasaan semacam itu. Komisi tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada seorang pejabat kehakiman dengan misalnya mengenakan denda, penurunan posisi, maupun jenis hukuman lainnya. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 65 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Proses terakhir dari suatu pengaduan yang dikategorikan sebagai pengaduan berat terhadap seorang adalah pengajuan usulan pemecatan pejabat kehakiman yang bersangkutan. Oleh Gubernur guna memperoleh persetujuan kedua kamar dalam parlemen. Dalam hal pengaduan yang dikategorikan sebagai pengaduan ringan kepala yurisdiksi kehakiman akan berkonsultasi dengan pejabat kehakiman yang bersangkutan, dan atau melakukan komunikasi kepada pengadilan dimana hakim tersebut bertugas untuk menghindari terulangnya masalah tersebut. Conduct Division dari Komisi Yudisial Conduct Division merupakan suatu panel yang terdiri dari tiga orang hakim, atau dua orang hakim dan satu orang pensiunan hakim, yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan penyelidikan atas pengaduan-pengaduan yang masuk atas seorang hakim, dalam menjalankan penyelidikan, maka panel tersebut juga mengadakan sidang -sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan tersebut. Sidang atas perkara yang termasuk pada pengaduan ringan dilakukan secara tertutup. Sementara sidang-sidang atas perkara yang termasuk pengaduan berat dilaksanakan secara terbuka. Meskipun begitu Conduct Division memiliki kewenangan untuk mengambil diskresi mengenai hal, penyidangan pengaduan berat secara tertutup. Kewenangan utama dari Conduct Division sehubungan dengan pengaduan adalah, untuk membuat laporan kepada Gubernur, dan menjelaskan hasil-hasil penyelidikannya, misalnya apakah penyelidikan telah dilakukan secara menyeluruh, atau hanya sebagian. Dan apakah hasil penyelidikan tersebut dapat memberikan justifikasi bagi parlemen untuk dapat memecat Pejabat Kehakiman tersebut. 4. Advokat a. Umum

Advokat atau penasehat hukum yang merupakan satu dari empat pilar dalam catur wangsa peradilan di Indonesia adalah suatu profesi yang sangat unik. Fungsi advokat adalah sebagai seorang atau lembaga yang mewakili kepentingan warga negara dalam hubungannya dengan pemerintah. Dalam keidealan yang mengiringi fungsinya tersebut terselip hal-hal negatif dalam perjalanan profesi advokat.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 66 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Praktek kecurangan ditunjukkan secara terang-terangan dan telanjang. Hal inilah yang saat ini menimbulkan keprihatinan terhadap peran advokat yang senagat luas dalam lingkup peradilan. Dimana advokat tak dapat dipungkiri turut andil dalam proses komersialisasi hukum, dimana perbuatan itu berdampak terpuruknya kewibawaan peradilan yang eksesnya merambat ke menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan. Namun demikian, keunggulan advokat sebagaimana disebutkan diatas selayaknya tidak hanya dapat mendatangkan hal-hal yang negatif saja. Akan tetapi sebenarnya diharapkan bahwa dengan segala kelebihan tersebut advokat dapat menjadi salah satu ujung tombak dalam program pembenahan peradilan di Indonesia ini, minimal sebagai pihak yang dapat memberikan kontrol yang kritis terhadap praktek penyelenggaraan dan kinerja penyelenggara peradilan. b. I. Pola Pengawasan Dalam Lingkup Advokat Pola Pengawasan Internal

Infrastruktur yang telah ada dan merupakan juga perangkat untuk mekanisme pengawasan adalah kode etik. Secara garis besar maksud diadakannya kode etik bagi suatu kalangan profesi adalah untuk menjaga dan meningkatkan kualitas moral, menjaga dan meningkatkan kualitas keterampilan teknis, dan melindungi kesejahteraan materiil para pengemban profesi. Dan semua itu dilandasi oleh suatu syarat utama yaitu menimbulkan kepatuhan bagi yang terikat oleh kode etik tersebut. Saat ini di Indonesia terdapat beberapa organisasi advokat, dalam hal ini IKADIN, AAI dan IPHI telah menyepakati untuk menggunakan satu kode etik advokat sedangkan SPI, AKHI dan HKHPM masih berpegang pada kode etik masing-masing. Apabila kode etik profesi dari organisasi-organisasi advokat tersebut dipelajari, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya substansi dari semua kode etik tersebut hampir sama. Hal-hal umum yang biasanya ada dalam kode etik adalah kepribadian advokat, hubungan dengan teman sejawat, hubungan dengan klien, cara bertindak dalam menangani perkara, ketentuanketentuan lain, pelaksanaan kode etik, kedudukan dan peran dewan kehormatan. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 67 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Berkenaan dengan dewan kehormatan, saat ini keberadaan dewan kehormatan dapat dikatakan tidak effektif dan harus diperbaiki. Secara umum, penegakan kode etik bagi profesi advokat dijalankan oleh suatu badan dalam organisasi yang disebut dengan Dewan Kehormatan yang berisikan orang-orang yang diakui integritas dan kualitas profesinya oleh seluruh anggota. Namun rupanya adanya dewan kehormatan dengan kualifikasi seperti itu bukanlah jaminan bagi tegaknya pelaksanaan kode etik. Sebagian besar advokat menganggap bahwa ketiadaan sanksi dalam kode etik merupakan hambatan pokok bagi penegakan kode etik. Bahkan beberapa mengusulkan aturan-aturan dalam kode etik disusun dalam sebuah undangundang agar bisa memuat aturan mengenai sanksi di dalamnya. II. Pola Pengawasan Horisontal

Salah satu langkah yang dapat diambil untuk melakukan pembenahan tersebut adalah melakukan suatu pengawasan yang baik bagi advokat atau penasehat hukum dalam melakukan aktivitasnya. Sehubungan dengan hal tersebut sebenarnya hukum positif di Indonesia telah mengakomodasinya, yaitu dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama No. KMA/005/SKB/VII/1987, dan No. M.03-PR.08.05 tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasehat Hukum oleh Ketua Mahkamah Agung RI saat itu, Ali Said dan Menteri Kehakiman RI, Ismail Saleh sebagai tindak lanjut dari Pasal 54 (4) UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum yang menentukan bahwa tata cara pengawasan dan penindakan serta pembelaan diri terhadap penasehat hukum diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman berdasarkan Undang-undang. Surat Keputusan Bersama ini memberi kekuasaan kepada para pejabat tata usaha negara di lingkungan peradilan umum, yaitu para Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Mahkamah Agung untuk bersama-sama pemerintah menyelenggarakan peradilan administratif sebagai hasil dari pengawasan yang dilakukan terhadap penasehat hukum diluar ataupun dimuka sidang pengadilan.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 68 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Sanksi yang bisa dijatuhkan dalam peradilan administratif tersebut berupa teguran secara lisan atau tulisan; peringatan keras dengan surat; pemberhentian sementara selama lebih dari enam bulan; dan pemberhentian dari jabatan sebagai penasehat hukum. Adapun tindakan yang dapat menyeret advokat ke peradilan administratif dirinci mulai dari mengabaikan atau menelantarkan kepentingan klien; berbuat atau bertingkah laku tidak patut terhadap lawan atau kuasa lawan; menunjukan sikap tidak hormat kepada hukum, undang -undang, kekuasaan hukum, pengadilan atau pejabatnya; berbuat hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, dan martabat profesinya; hingga pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Untuk memperjelas dan memberi petunjuk pelaksanaan SKB tersebut di lapangan, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 8 Tahun 1987. Dimana isinya tidak hanya menyangkut hal teknis, SEMA tersebut pun memberi ulasan tentang kedudukan hukum dari SKB, ruang lingkup pengawasan dan mempertegas bahwa di tengah pemberlakuan SKB, jalur pengawasan menurut hukum acara peradilan tetap berjalan. Namun pemberlakuan SKB mendapat perlawanan yang cukup luas dari kalangan advokat saat itu. Di mata sebagian advokat, materi SKB disusun secara serampangan dengan mengadopsi ketentuan RO yang mengunt ungkan pihak pengadilan dan pemerintah di satu sisi namun melupakan ketentuan -ketentuan yang memberi porsi cukup besar bagi kemandirian advokat di sisi lainnya.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 69 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

BAB IV. PEMBENTUKAN LEMBAGA PENGAWASAN SISTEM PERADILAN TERPADU


A. DIMENSI PENGAWASAN Dimen si pengawasan dalam kerangka penegakan hukum memegang peranan penting terutama dalam mengukur sejauhmana seorang penegak hukum menjalankan profesinya berdasarkan aturan yang telah ditetapkan. Mekanisme pengawasan yang dipraktekkan saat ini kurang mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat, hal ini tidak lain karena berbagai praktek-praktek menyimpang yang terjadi dalam pelaksanaan proses peradilan 80. Merebaknya praktek tersebut tidak lepas dari lemahnya sistem pengawasan yang ada selama ini. Berbicara tentang pengawasan, setidaknya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan, pertama aspek pendekatan dalam pengawasan misalnya pendekatan preventif, detektif, dan represif. Kedua adalah aspek pihak pelaksana dalam pengawasan, yang meliputi masyarakat dan lembaga formal (termasuk di dalam kelembagaan antara lain aspek kedudukan, sumber daya manusia serta mekanisme kerja). Ketiga, obyeknya, adalah pengawasan terhadap perilaku, kecakapan (skill) atau pelaksanaan tugas (performance) dalam hal administrastif, prosedural, keuangan serta metode pengawasannya81.

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan T erpadu, (Discussion Paper yang disampaikan pada seminar dan Lokakarya Penelitian MaPPI KHN, Jakarta 30 Mei 2002), hal 13 16. lihat Indonesian Corruption Watch, Profil Judicial Corruption di Peradilan, (laporan hasil Pemanatauan peradilan terhadap Pola-pola korupsipada proses beracara di peradilan, Jakarta, 2001). Karena perilaku korup yang ditunjukkan oleh berbagai elemen menempatkan Indonesia pada negara paling terkorup di Asia, pada tahun 2001 Indonesia menduduki peringkat 2 di Asia (lihat, Political and Econnomic Risk Consultancy, Corruption in Asia, dalam Adnan Buyung Nasution, prinsip-prinsip Umum Pengadilan Yang Baik (makalah disampaikan dalam Lokakarya mengenai Pengadilan khusus Korupsi. Jakarta, 19 20 Juni 2001) hal.2.
80

Rifqi S. Assegaf, Pengawasan Lembaga Penegak hukum dan Lembaga Peradilan , Makalah disampaikan pada seminar dan lokakarya yang diselenggarakan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia tanggal 30 31 Juni 2002.
81

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 70 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

1. Pendekatan Pengawasan a. Preventif Pendekatan Preventif pada intinya diperlukan untuk meminimalisasi penyebab dan peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran oleh aparat penegak hukum dan hakim82. Pendekatan ini penting dilakukan dalam rangka menunjang pengawasan yang efektif karena selama ini banyak aturan hukum di Indonesia yang masih bersifat umum dan memiliki loopholes sehingga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran. Salah satu titik tolak untuk melakukan upaya pengawasan preventif tersebut adalah pembenahan hukum acara, kode etik atau kode berperilaku, dan aturan teknis pelaksanaan tugas, antara lain dengan mengintegrasikan prinsip -prinsip transparansi, akuntabilitas, diskresi yang limitatif, obyektifitas, pembatasan perilaku yang spesifik, serta partisipasi masyarakat dan ketersediaan mekanisme check and balances di dalamnya. 1) Transparansi dan Akuntabilitas

Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas adalah salah satu faktor penyebab tumbuh suburnya penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran83. Selain itu, korupsi terjadi karena adanya monopoli kewenangan ditambah adanya diskresi yang luas serta kurangnya akuntabilitas (termasuk transparansi) 84. Oleh karena itu, selama tidak mempengaruhi upaya penegakan hukum, maka seluruh pelaksanaan tugas dan wewenang aparat penegak hukum dan hakim harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel)85.

82 Diolah dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (Jakarta, BPKP: 1999), hal.4. 83

Melawan Tirani Informasi (Jakarta, Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi, 2001) Klitgaard, Membasmi Korupsi (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998)

84 Robert 85

Lihat Mauro Cappaletti, Who watches the watchmen, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes, Judicial Independence The Contemporary Debate (Netherlands: Martinus Nijhoff Publisher), 1985 atau Oficials of Democracy and Governance, Guidance for Promoting Judicial Independence and Impartiality (Washington, 2001).

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 71 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

2)

Dikresi yang terbatas dan tolok ukur yang obyektif

Sebagaimana dijelaskan, luasnya diskresi membuka peluang untuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran. Hal ini jelas perlu diantisipasi dengan pengaturan yang lebih rinci, limitatif, dan memiliki tolok ukur yang obyektif untuk menilai bagaimana aparat penegak hukum dan hakim harus menjalankan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu pembatasan atas penggunaan diskresi bagi aparat penegak hukum dan hakim. Selain itu, untuk menutup peluang penyalahgunaan wewenang, pengaturan tentang diskresi yang teknis, baik itu standard operation procedure (SOP), buku pedoman, prosedur tetap atau istilah lainnya, penting sebagai dasar untuk menilai performance dan perilaku aparat penegak hukum dan hakim. 3) Pembatasan perilaku yang spesifik

Senafas dengan diskresi yang terbatas, adanya pembatasan perilaku yang spesifik bagi aparat penegak hukum, hakim dan advokat dalam menjalankan tugas merupakan hal yang tidak kalah pentingnya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran. 4) Partisipasi masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan merupakan hal yang penting, mengingat lemahnya lembaga pengawas formal selama ini serta keterbatasan keterbatasan yang mereka miliki. Bukankah seribu mata lebih mampu melihat b anyak hal dibandingk an dua mata. Dalam konteks hukum acara pidana, pengaturan mengenai praperadilan yang merupakan sarana check and balances harus dibenahi, antara lain dengan pemberian standing kepada masyarakat untuk mengajukan praperadilan atas penghentian penyidikan atau penuntutan. b. Detektif Pendekatan detektif pada intinya diperlukan untuk memudahkan upaya memperoleh informasi yang cepat dan akurat guna menunjang pengawasan86. Beberapa hal yang

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Stategi Pemberantasan Korupsi Nasional (Jakarta: BPKP, 1999) hal 58.
86

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 72 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

dapat dilakukan dalam hal ini misalnya pencatatan harta kekayaan dan sumber penghasilan (sebagaimana yang dilakukan oleh KPKPN), penyampaian gratifikasi sebagaimana diatur dalam UU korupsi yang baru (Pasal 12 UU No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang -Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), dan pendataan informasi kepegawaian yang baik87. c. Represif Pendekatan represif ini pada intinya merupakan langkah penegakan hukum (dalam konteks ini hukum administrasi), oleh lembaga pengawasan jika ada penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran oleh aparat penegak hukum dan hakim. Pada intinya penegakan hukum ini harus dilakukan secara non diskriminatif, transparan, akuntabel, objektif dan tegas. 2. Pelaksana Pengawasan Pengawasan hanya akan dapat efektif jika pihak yang melaksanakannya memiliki jaminan independensi, tidak memiliki keberpihakan, memiliki kemampuan (keahlian, waktu dan sebagainya) dan diikat dalam suatu sistem yang kondusif bagi pelaksanaan tugasnya. 3. Obyek Pengawasan Secara umum ada beberapa obyek yang harus menjadi bahan pengawasan, antara lain perilaku aparat penegak hukum dan hakim, kemampuan teknis (skill), pelaksanaan tugas (performance) dalam hal adminstratif, prosedural dan keuangan, dimana untuk setiap obyek tersebut metode pengawasannya dapat berbeda-beda, minimal dalam penek anannya.

Misalnya data tempat kelahiran, pendidikan dan sebagainya yang dapat dipergunakan sebagai petunj uk jika ada dugaan penyalahgunaan kewenangan misalnya kolusi- antara aparat penegak hukum atau hakim dengan pihak lain yang memiliki kesamaan empat tinggal, almamater pendidikan dan sebagainya.
87

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 73 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

B.

SISTEM PENGAWASAN

1. Pengawasan Dalam KUHAP Apabila dilihat lebih jauh didalam h ubungan koordinasi fungsional dan instansional dalam KUHAP terdapat esensi pengawasan terhadap pelaksanaan proses peradilan. Hubungan koordinasi tersebut memiliki makna adanya hubungan pengawasan horisontal diantara sesama pelaku dalam proses peradilan. Hubungan sebagaimana dimaksud diatas adalah sebagai berikut : a. Dimulainya suatu penyidikan, penyidik berkewajiban untuk memberitahukan tentang dimulainya penyidikan kepada penuntut umum (pasal 109 ayat 1) b. c. Penghentian penyidikan, atas hal tersebut penyidik memberitahukan kepada penuntut umum (pasal 109 ayat 2) Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum (110 ayat 1), dalam hal ini penuntut memeriksa hasil penyidikan apabila kurang lengkap maka dikembalikan dan diberikan petunjuk untuk melengkapinya. d . Untuk upaya paksa penggeledahan rumah (pasal 33), Penyitaan (pasal 38) dan pemeriksaan surat (pasal 47) diperlukan izin atau izin khusus dari Ketua Pen gadilan Negeri. e. Perpanjangan penahanan dalam tahap penyidikan dilakukan oleh penuntut umum (pasal 24 ayat 2), sedangkan perpanjangan penahanan dalam tahap penuntutan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri (pasal 25 ayat 2), sedangkan dalam tahap pemeriksaan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi atau banding perpanjangan penahanan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi (pasal 26 ayat 2 dan pasal 27 ayat 2), adapun untuk pemeriksaan perkara dalam perkara kasasi perpanjangan penahanan dilakukan oleh Ketua MA (pasal 29 ayat 2) 2. Konsep dan Strategi Pengawasan Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses peradilan sangat terkait dengan pelaksanaan beberapa prinsip dalam proses peradilan. Sehinggga berbicara tentang strategi pengawasan sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan sistem peradilan. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 74 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Pelaksanaan sistem peradilan yang baik sendiri adalah terlaksananya beberapa prinsip umum sebagai standar minimum dalam penerapan sistem peradilan yang terintegrasi dengan baik. Standar minimum termaksud adalah : a. (equality before the law) Prinsip yang dirumuskan dalam pasal 28 D ayat 1 Amandemen Kedua UUD 1945 dan pasal 5 ayat (1) UU No.14 tahun 1970 ini merupakan asas yang bersifat universal. Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights menjelaskan bahwa sall are equal before the law and are entitled without discrimination to equal protection of law. b. Due Process of Law Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan proses peradilan yang adil dan tidak memihak. Oleh karenanya kekuasaan ini perlu dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Asas ini tercermin dari pasal 6 ayat (1) dan pasal 7 UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok kekuasaaan Kehakiman. Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of law, akan tetapi merupakan unsur yang essensial dalam penyelenggaraan peradilan yang intinya adalah bahwa ia merupakan a law which hears before it condemns, which proceeds upon inquiry, and renders judgement only after trial. Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government. c. Sederhana dan cepat Salah satu hal yang dituntut publik ketika memasuki proses peradilan, mereka harus mendapat kemudahan yang didukung sistem. Proses yang berbelit-belit akan membuahkan kefrustasian dan ketidakadilan, akan tetapi harus diingat bahwa tindakan yang prosedural harus pula menjamin pemberian keadilan, dan proses yang sederhana harus pula menjamin adanya ketelitian dalam pengamb ilan keputusan. Dengan demikian maka undue procedure and delays harus dieliminasi atau setidaknya ditekan seminim mungkin, sebagaimana dicerminkan dalam Intenational Covenant on Civil and Political Rights pasal 9 butir 3 dan pasal 14 butir 3c (everyone shall be entitled to the following minimum guarantee, in full equalityto be tried without undue delay) . ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 75 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

d. Efektif dan Efisien Suatu proses peradilan harus dirancang untuk mencapai sasaran yang dituju yaitu hukum dan keadilan. Selanjutnya seluruh sub sistem dalam melaksanakan tugas dan kewajiban mereka harus pula : a) b) c) Berdaya guna dan berhasil guna; Dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional; Menggunakan sedikit mungkin sumber dana.

e. Akuntabilitas Pemberian kekuasaan membawa konsekuensi adanya akuntabilitas, dalam kerangka pelaksanaan akuntabilitas ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu adanya : a) b) c) Ketaatan pada hukum; Prosedur yang jelas, adil dan layak, serta Mekanisme kontrol yang efektif

Yang dapat dilakukan secara: - Internal (oleh lembaga yang bersangkutan sendiri, baik oleh peer group maupun atasan) - Eksternal (oleh pihak diluar lembaga) - Horisontal (oleh lembaga lain dalam hubungan horisontal), maupun - Vertikal (oleh pihak yang memiliki hubungan vertikal dengan personil atau lembaga) f. Transparansi

Makna transparansi bukanlah keterbukaan yang tanpa batas akan tetapi sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kebutuhan, asalkan ada kesempatan bagi publik untuk melakukan kontrol dan koreksi. Misalnya keterbukaan dalam sidan g pengadilan merupakan suatu keharusan akan tetapi pemeriksaan oleh lembaga kepolisian tentunya tidak terbuka untuk umum. Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights dengan tegas menentukan bahwa everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunalsof any criminal charges against him . Erat hubungannya dengan konsep ini adalah kebebasan untuk memperoleh informasi dengan syarat tidak membahayakan berjalannya proses peradilan. Berbeda halnya dengan keterbukaan putusan pengadilan

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 76 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

yang harus dapat diakses oleh publik untuk dapat mengetahui landasan diambilnya suatu keputusan. C. LEMBAGA PENGAWAS Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dapat dilakukan dengan dua cara, pertama melalui pendekatan struktur atau kelembagaan (institusional approach), kedua pendekatan sistem (system approach) 88. Pada metode yang pertama, fungsi pengawasan diserahkan pada lembaga tersendiri yang bertanggungjawab untuk melakukan pengawasan guna mengusahakan tercapainya tujuan organisasi tanpa mengalami kesulitan yang berarti, yang dalam hal ini untuk menjamin terlaksananya fungsi pengawasan secara efektif harus diperhatikan kedudukan lembaga dalam struktur organisasinya. Agar suatu lembaga pengawas mampu melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah : 1. Bebaskan lembaga ini dari fungsi operasional atau kegiatan operasional organisasi secara keseluruhan. Hal ini dimaksudkan agar posisinya dalam pengawasan itu, bebas dari kepentingan pribadi atau golongan. 2. Usahakan agar lembaga ini tetap dalam posisi independent dengan fungsi operasional maupun secara individual. Ia harus independen secara nyata dan bebas dari unsurunsur yang tidak independen. 3. Harus memiliki kemampuan, keahlian yang lengkap bahkan melebihi keahlian yang diawasi 4. Memiliki integritas pribadi, kejujuran dan bersih dari segala kemungkinan penyelewengan89. Pendekatan sistem sebagai salah satu metode dalam pengawasan fungsi organisasi

adalah metode pengawasan berdasarkan sistem sebagai elemen utama dalam melakukan pengawasan. Sistem sendiri adalah seluruh urutan prosedural (hubungan antar sub sistem) yang dianut dalam menyelesaikan kegiatan rutin organisasi/lembag a. Sistem
Sofyan Syafri Harahap, Sistem Pengawasan Manajemen (Management Control System), (Jakarta: Pustaka Quantum, 2001). Hal. 14.
88 89

Harahap, Ibid, hal.14.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 77 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan terjadinya hal-hal yang menyimpang dan harus menjamin efisiensi kerja dalam kerangka mencapai tujuan organisasi secara optimal dan hal inilah yang dinamakan pengawasan internal. Dalam sistem pengawasan unsur manusia sangat penting karena manusialah yang menjalankan fungsi pengawasan dan yang diawasi. Namun tak dapat dipungkiri bahwa manusia dan sistem memiliki korelasi yang kuat dalam melahirkan optimalisasi pengawasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarwono Kusumaatmadja sebagai berikut : saya melihat korupsi sebagai kelemahan sistem dan keserakahan individu. jadi sistemnya yang harus diperbaiki, artinya yang digunakan adalah pendekatan sistem. Dengan demikian , saya tak berharap adanya perubahan drastis dalam penanganan 90 korupsi. Namun yang harus dilihat adalah kemajuan secara bertahap . Pengawasan terhadap lembaga peradilan selain memperhatikan pengawasan internal, harus juga memperhatikan mekanisme pengawasan eksternal. Dalam pengawasan eksternal terdapat peran serta masyarakat, dan dapat menjadi counter part bagi pengawasan internal. Keikutsertaan pihak luar organisasi dalam melakukan pengawasan, sangat penting dalam rangka membangun kepercayaan publik terhadap institusi. Adanya kepercayaan publik terhadap institusi akan mengokohkan posisi institusi di masyarakat. Pembentukan tim pengawasan terpadu menjadi pilihan dalam menerapkan sistem pengawasan yang menyatukan pihak internal institusi dan eksternal institusi. Hal ini yang dinamakan dengan stake holders approach, pendekatan ini menggunakan metode multi stake holders profession dalam lembaga pengawas 91. Perlunya gagasan untuk menerapkan multi stake holders approach adalah dikarenakan adanya ketidakpercayaan apabila pengawasan hanya dilakukan pihak internal saja sehingga tidak tercipta objektifitas. Penggunaan pendekatan ini juga untuk mencapaian reputasi (prestige) yang baik bagi lembaga pengawasan termaksud. Studi ini dilakukan untuk memberikan sebuah bentuk pengawasan dalam pelaksanaan sistem peradilan.

wawancara Warta Ekonomi dengan Sarwono Kusumaatmadaja sebagaimana termuat dalam Warta Ekonomi No. 26 TH. II/ 2 Mei 1990.
90 91

Wawancara mendalam dengan Bambang Widjojanto, tanggal 28 Maret 2002.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 78 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Sebagaimana telah diungkapkan diatas bahwa paling tidak terdapat dua konsep pengawasan dalam suatu sistem guna mencapai tujuan organisasi, yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal92. 1. Pengawasan Internal

Pengawasan internal mencakup struktur organisasi dan seluruh metode dan prosedur yang terkordinasi yang diterapkan oleh organisasi untuk mendorong effisiensi dan effektifitas sehingga tercapai tujuan organisasi 93. Sistem pengawasan internal yang baik harus didukung oleh struktur organisasi yang baik dan mekanisme pertanggungjawaban yang baik pula. Struktur organisasi yang baik berarti adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas diantara para pihak yang terkait dalam sistem. Dengan adanya pembagian yang jelas maka akan memperjelas pula obyek pengawasan sebagaimana dijelaskan diatas. a. 1). Kepolisian Kedudukan dan Pertanggungjawaban

Kedudukan lembaga pengawas internal kepolisian, menurut hasil pengumpulan pendapat ini, terungkap bahwa lembaga pengawasan tersebut berada di bawah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (46.9%). Pendapat ini muncul disebabkan memang adanya keinginan bahwa lembaga pengawasan internal itu berada di bawah Kapolri, dan menjadi bagian dari struktur organisasi Kepolisian RI. Mengingat keduduk annya yang berada di bawah kapolri maka pertanggungjawaban diberikan kepada Kapolri (62%). Hasil dari pengawasan yang telah dilakukan oleh lembaga pengawasan tersebut juga disampaikan kepada publik (42,2%), meskipun dalam hal ini adapula yang menginginkan agar tidak dibuka ke publik (24,1%). Kedudukan lembaga pengawasan internal Kepolisian dimasa mendatang selayaknya memperhatikan kedudukan lembaga kepolisian sendiri yang telah berpisah dengan TNI. Independensitas lembaga pengawasan sangat berpengaruh

Widjojanto, Ibid. Committee on Auditing Procedure, Internal control element of Cordinate System and Its Importance to Management and the Independent Public Accountant, Tahun 1949, dalam Harahap, Op.Cit. hal 122.
92 93

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 79 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian sebagaimana yang telah diamanatkan oleh undang -undang. 2) Fungsi, Tugas dan Wewenang

Berbeda dengan beberapa responden dari lembaga profesi lain, responden dari kepolisian melihat fungsi lembaga pengawas internal kepolisian tersebut adalah mengawasi kinerja aparat di bidang kepolisian (66.8%), memberikan penilaian atas kinerja aparat kepolisian (49.9%), dan mengkritisi peraturan perundang-undangan (12.6%). Responden yang tidak menjawab pertanyaan berjumlah 29.5%. berdasarkan hasil tersebut, responden dari kalangan polisi lebih menitikberatkan pada faktor pengawasan dan memberikan penilaian atas kinerja polisi dalam melaksanakan tugasnya. 3) Keanggotaan

Bagi pihak kepolisian, responden menyatakan bahwa anggota lembaga pengawas internal terdiri dari polisi senior (42%), Kapolri (36%), dan purnawirawan polisi. Sebanyak 28.9% dari responden tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Adapun yang dapat dipilih sebagai anggota lembaga pengawas intern kepolisian ini adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan dibidang ilmu kepolisian ataupun pengetahuan dibidang hukum (66,2%). Untuk selanjutnya orang tersebut harus lolos dari uji kelayakan dan kepatutan (36,7%). Persyaratan umum lainnya mengikuti seperti apa yang telah diatur dalam UU. Namun ditengah persyaratan umum tersebut perlu ditambah untuk mengumumkan kekayaan pribadinya. 4) Tata cara Pemilihan

Menurut responden dari kalangan polisi, yang dapat melakukan pemilihan calon dan uji kelayakan dan kepatutan adalah lembaga independen yang dibentuk khusus untuk melakukan uji tersebut (46.9%). Kepala Kepolisian Republik Indonesia, menurut responden (25.8%) dapat melakukan pemilihan calon dan uji kelayakan dan kepatutan atas anggota lembaga pengawas. Namun sebagian memberikan jawabannya. dari responden (33.1%) tidak Dalam pemilihan terlihat adanya fenomena bahwa adanya

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 80 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

keiginan anggota lembaga pengawas dipilih oleh sebuah dewan pemilihan yang independen 94. b. Jaksa 1) Kedudukan dan Pertanggungjawab an

Responden dari lembaga kejaksaan sebagian besar memilih agar lembaga pengawas tersebut berada di bawah Jaksa Agung (48.7%), hanya 32.1% yang menyatakan lembaga tersebut berada di bawah Jaksa Agung Muda Pengawasan. Perihal pertanggungjawaban, 64.1% menyatakan agar pertanggungjawaban diberikan kepada Jaksa Agung. Hanya 16.7 % yang menyatakan pertanggungjawaban diberikan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan. Menyangkut bentuk pertanggungjawaban lembaga pengawas internal kejaksaan, sebagian besar (48.7%) memilih agar pertanggungjawaban tertutup untuk umum. Hanya 28.2% yang menyatakan terbuka untuk umum. Hasil jajak pendapat ini perlu untuk dicermati, karena jawaban responden seakan-akan mencerminkan sikap kejaksaan yang terkesan tertutup. 2) Fungsi, Tugas, dan Wewenang

Fungsi lembaga pengawas internal kejaksaan berdasarkan hasil jajak pendapat adalah mengawasi kinerja aparat kejaksaan (73%), dan memberikan penilaian atas kinerja aparat kejaksaan (64%). Hanya sedikit diantara responden yang memilih melakukan kritik atas peraturan perundang -undangan yang berkaitan dengan kejaksaan (20.5%). Hal tersebut dapat kita pahami karena memang tidak selamanya undang -undang harus menjadi suatu perhatian pokok dalam menjalankan fungsinya. Responden yang tidak memberikan jawaban berjumlah 26.9%. Sedangkan jumlah responden yang memilih jawaban lain-lain berkisar 7.6%.

Pola rekruitmen dilakukan oleh sebuah komisi pemilihan yang independen, hal ini sebagaimana suatu gejala keinginan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap mekanisme yang selama ini ada. Hal ini terjadi pada saat pemilihan anggota komisi nasional hak aasasi manusia, dimana nama- nama yang diusulkan oleh Komnas merupakan hasil keputusan lembaga seleksi tersebut.
94

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 81 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Tugas dan wewenang lembaga pengawas kejaksaan, menurut responden adalah melakukan pemeriksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh jaksa (70.5%). Menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukan (69.4%). Mengawasi kinerja jaksa dalam melakukan tugas di bidang peradilan (65.4%) serta memberikan pertanggungjawaban atas hasil pengawasan yang telah dilakukan kepada pihak yang berwenang (64.1%). Berdasarkan hasil tersebut, nampak terlihat bahwa responden dari lembaga kejaksaan masih menekankan pada faktor kesalahan dan penghukuman. Faktor pengawasan yang seharusnya dijalankan oleh lembaga ini belum menjadi titik perhatian dalam melakukan perbaikan di lembaga kejaksaan. Selain itu inisiatif yang seharusnya muncul berkenaan dengan tugas dan wewenang lembaga pengawas ini seakan-akan hilang, hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang berjumlah hanya 2.6% dari seluruh responden. 3) Keanggotaan

Bagi lembaga kejaksaan, responden mengusulkan agar anggota lembaga pengawas tersebut terdiri dari jaksa senior (57.7%). Para responden sangat sedikit sekali yang merekomendasikan mantan jaksa (5.2%) untuk duduk di dalam lembaga tersebut. Jumlah responden yang menempatkan Jaksa Agung di dalam lembaga pengawas hanya 15.4%. Sedangkan responden yang tidak menjawab berjumlah 28,2%. Kriteria yang harus dimiliki oleh anggota lembaga pengawas internal kejaksaan adalah memiliki pengetahuan yang cukup di bidang hukum (69.2%). Sedangkan keharusan untuk mengikuti dan lolos uji kelayakan dan kepatutan tidak terlalu banyak dipilih oleh responden (26.9%). Jumlah responden yang tidak menjawab pertanyaan tersebut sebanyak 26.9% Sedangkan responden yang menjawab lain-lain sebanyak 23%. 4) Tata cara Pemilihan

Pemilihan calon dan uji kelayakan dilakukan oleh Jaksa Agung (38.5%), atau dapat pula dilakukan oleh lembaga yang dibentuk khusus untuk itu (21.9%). Namun sebagian besar dari responden memilih untuk tidak menjawab (41%).

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 82 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

c. Hakim 1) Kedudukan dan Pertanggungjawaban

Kalangan hakim dan panitera berpendapat agar lembaga pengawasan tersebut berada di bawah Ketua Mahkamah Agung (48.6%), sedangkan kedudukan lembaga pengawas di bawah Ketua Muda Pengawasan dan Pembinaan tidak terlalu banyak (36.1%). Untuk itu perlu ada suatu pengkajian lebih lanjut atas keberadaan ketua muda bidang pengawasan, menyangkut efektifitas keberadaan lembaga tersebut. Menyangkut pertanggungjawaban, sikap responden tidak jauh berbeda dengan pertanyaan sebelumnya, 61.1% menyatakan agar lembaga pengawas tersebut bertanggungjawab kepada ketua Mahkamah Agung. Hanya 18.7% saja yang menyatakan pertanggungjawaban tersebut diberikan kepada ketua muda bidang pengawasan Perihal bentuk pertanggungjawaban, 43.1% responde n menginginkan

pertanggungjawaban tersebut dilakukan secara terbuka untuk umum. Alasan yang dikemukakan oleh responden adalah agar masyarakat dapat turut memantau pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan oleh MA. Serta dapat mengetahui permasalahan yang ada dalam upaya penegakan hukum. Sebagian responden (32.7%) memilih bentuk pertanggungjawaban secara tertutup untuk umum. Sebagian memberikan alasan agar tidak menimbulkan gejolak di masayarakat serta untuk menjaga nama baik. Alasan tersebut tentunya kuran g dapat diterima dan masih terkesan membela korps secara berlebihan. Sedangkan 27.1% responden lebih memilih untuk tidak memberikan jawabannya. 2) Fungsi, tugas dan wewenang

Fungsi lembaga pengawas internal pengadilan, berdasarkan hasil jajak pendapat, 68.7% menyatakan berfungi untuk mengawasi kinerja aparat peradilan di lembaga pengadilan. Selain melakukan pengawasan, lembaga ini juga akan memberikan penilaian atas kinerja aparat peradilan di lembaga tersebut (63.2%). Hanya 26.4 % responden hakim dan panitera yang menyatakan bahwa selain kedua fungsi di atas, lembaga ini pun dapat melakukan kritisi atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lembaga pengadilan. Sedikit sekali responden yang memberikan pendapat lain (5,6%). Pada ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 83 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

dasarnya pendapat lain -lain tersebut tidak jauh berbeda dengan tiga pendapat sebelumnya. Hanya 27.1% responden yang tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Tugas dan wewenang dari lembaga pengawas ini adalah mengawasi kinerja hakim dan panitera dalam melakukan tugasnya di bidang peradilan (67.5%). Tugas mengawasi tersebut dilengkapi dengan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas pelanggaran yang telah dilakukan (59.9%) dan dapat menjatuhkan sanksi atas pelanggaran tersebut (41.1%). Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas dan wewenang yang dimilikinya, maka lembaga ini harus memberikan pertanggungjawaban atas hasil pengawasan yang telah dilakukan kepada pihak yang memang berwenang untuk itu (48.7%), misalnya ketua MA. Responden yang tidak memberikan jawaban berjumlah 26.4%. 3) Keanggotaan

Perihal anggota pada lembaga pengawas tersebut, kalangan hakim memilih hakim senior (57.1%) untuk menjadi anggota pada lembaga pengawas. Pilihan kedua yang terbanyak adalah ketua Mahkamah Agung (30%) yang dipilih untuk duduk di dalam lembaga pengawas. Pilihan ketiga merupakan pilihan lain-lain (22.3%). Untuk pilihan lain-lain ini sebagian besar menempatkan masyarakat umum untuk turut serta di dalamnya. Sedangkan pilihan untuk mantan hakim hanya diusulkan oleh 18.2%, responden yang tidak memberikan jawaban berjumlah 26.4%. Kriteria yang harus dimiliki oleh anggota lembaga pengawas ini pada dasarnya tidak dibatasi oleh dua pilihan di atas. Pilihan mempunyai pengetahuan di bidang hukum merupakan syarat yang palin g banyak diusulkan oleh responden (62.5%). Sedangkan syarat/kriteria telah mengikuti dan lolos uji kelayakan dan kepatutan merupakan pilihan kedua yang diusulkan oleh responden (40.3%). Pilihan lain-lain (25%) dari jawaban responden pada umumnya menyatakan bebas KKN, tidak pernah terlibat dalam kriminal, dan berdedikasi tinggi.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 84 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

4)

Tata Cara Pemilihan

Perihal panitia yang dapat melakukan pemilihan calon dan uji kelayakan dan kepatutan, menurut responden dibentuk oleh ketua Mahkamah Agung (39%). Namun 31.3% menyatakan agar dilakukan oleh lembaga independen yang dibentuk khusus untuk melakukan pemilihan tersebut. Responden yang tidak memberikan jawaban sebanyak 33.3%, sedangkan responden yang menjawab lain-lain sebanyak 11.9%. d. Advokat/Pengacara 1) Kedudukan dan Pertanggungjawaban

Hasil jajak pendapat terhadap profesi advokat memperlihatkan keinginan profesi advokat untuk mandiri, terlepas dari pemerintah dan Mahkamah Agung. Sebanyak 34.1% responden menginginkan kedudukan lembaga tersebut berada di bawah ketua organisasi advokat. Alasan yang dikemukakan antara lain, agar ada jaminan untuk menjalankan tugas secara mandiri, menghindari kerancuan yang mungkin akan timbul dalam pelaksanaannya nanti. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan responden yang tidak memberikan jawaban. Hal itu mungkin disebabkan oleh beragamnya organisasi advokat yang ada di Indonesia. Sehingga sulit untuk menempatkan lembaga pengawas advokat ini dalam satu organisasi. Untuk masalah pertanggungjawaban, responden yang memilih agar pengawas bertanggungjawab kepada ketua organisasi advokat (24.1%) tidak sebanyak saat menyatakan kedudukan lembaga pengawas tersebut. Mereka yang memilih jawaban ini memberikan alasan, agar koordinasi dalam proses tindak lanjut atas suatu masalah menjadi lebih cepat. Sebanyak 34.1% memilih jawaban lain-lain, namun pada umumnya pilihan lain -lain ini diisi dengan pertanggungjawaban pada masyarakat atau lembaga lain yang independen. Jumlah terbesar dari kalangan advokat (38%) memilih untuk tidak menjawab. Hanya 10.2% yang memilih agar lembaga pengawas bertanggungjawab kepada Ketua Mahkamah Agung. Tentunya hal ini berbeda jauh dengan pertanyaan awal, mengenai kedudukan lembaga pengawas, yang sebagian kecil memilih di bawah Ketua Mahkamah Agung sebagai letak kedudukan lembaga pengawas.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 85 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

2)

Fungsi, Tugas dan Wewenang 38.8% responden menyatakan berfungsi untuk mengawasi kinerja

Fungsi lembaga pengawas internal untuk advokat/pengacara menurut hasil jajak pendapat, advokat/pengacara. Responden yang menyatakan berfungsi untuk memberikan penilaian atas kinerja advokat/pengacara (26.9%) dan mengkritisi peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan advokat/pengacara (22.8%). Responden yang memberikan jawaban lain -lain berjumlah 16.4%, jawaban lain-lain tersebut pada umumnya tidak jauh berbeda dengan tiga jawaban sebelumnya. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah jumlah responden yang tidak memberikan jawabannya. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan jumlah responden yang berpendapat bahwa fungsi lembaga pengawas untuk mengawasi kinerja advokat. Perihal tugas dan wewenang dari lembaga pengawas internal advokat/pengacara tidak jauh berbeda dengan pendapat yang diberikan oleh lembaga kejaksaan. Perbedaan yang dimaksud adalah penekanan yang diberikan oleh responden berkisar pada pemeriksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh advokat/pengacara (58.5%) dan penjatuhan sanksi atas pelanggaran tersebut (54.6%). Tugas untuk mengawasi (49.7%) dan memberikan pertanggungjawaban atas hasil pengawasan tersebut (33.1%) tidak terlalu banyak dipilih oleh responden. Sedangkan mereka yang tidak memberikan jawaban berjumlah 36.7%. Jumlah tersebut sama dengan jumlah responden yang tidak memberikan jawaban pada pertanyaan sebelumnya. Hal ini perlu pula untuk diperhatikan mengingat jumlah organisasi advokat dan pengacara yang banyak sehingga responden belum dapat memberikan suatu pendapat pasti akan lembaga pengawas internal yang ideal dalam pandangannya. 3) Keanggotaan

Bagi kalangan advokat/pengacara, responden memilih advokat/pengacara senior (53.3%) untuk duduk menjadi anggota lembaga pengawas. Sedangkan 25.5% responden memilih ketua oraganisasi advokat/pengacara untuk duduk menjadi anggota. Responden yang tidak memberikan jawaban sebanyak 36.7%. Kalangan advokat dan pengacara mensyaratkan agar anggota lembaga pengawas internal tersebut memiliki pengalaman praktek sebagai advokat/pengacara (59.4%). Kriteria selanjutnya, para calon anggota lembaga pengawas ini telah mengikuti dan lolos uji kelayakan dan kepatutan (56.9%). ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 86 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Kriteria selanjutnya adalah, bahwa para calon anggota tersebut harus memiliki pengetahuan yang cukup di bidang hukum (55.6%). Adapun responden yang tidak memilih berjumlah 36.7%. 4) Tata Cara Pemilihan

Uji kelayakan dan kepatutan dilakukan oleh lembaga independen yang dibentuk khusus (29.3%). Keterlibatan ketua Mahkamah Agung (6.5%) dan menteri kehakiman (5.2%) dalam melakukan uji kelayakan dan kepatutan tidak didukung oleh sebagian besar responden. Dukungan atas ketua organisasi advokat/pengacara tidak terlalu besar, hanya 18% responden. Pilihan lain terdapat di dalam kategori lain-lain (27.9%), jawaban pada umumnya berpendapat bahwa yang dapat melakukan pengujian harus melibatkan masyarakat dengan ketentuan mereka harus bersih dan bebas KKN. 2. Pengawasan Eksternal Mekanisme kontrol internal oleh beberapa kalangan dianggap kurang mampu mengatasi permasalahan penyimpangan dalam institusi penegak hukum yang ada saat ini. Lemahnya mekanisme kontrol pada tiap-tiap sub sistem tidak dapat dilepaskan dari ketentuan perundang-undangan yang mendasarinya. Selayaknya mekanisme kontrol dimaksudkan untuk memastikan kinerja setiap lembaga dalam mencapai tujuan organisasi yang telah digariskan. Lemahnya mekanisme kontrol ini tergambar dalam pandang an yang diberikan oleh responden dalam studi ini, sebagaimana yang telah diungkapkan diatas. Menanggapi adanya wacana dan fakta seperti itu, dewasa ini telah muncul berbagai lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan melakukan public control terhadap sistem peradilan, diantaranya Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Police watch, judicial watch serta lembaga lainnya yang serupa. Namun keberadaan lembaga tersebut hanya sebagai pressure group untuk peningkatan pengawasan karena berada diluar sistem internal.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 87 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Akan tetapi harapan dari berbagai kalangan tersebut adalah adanya lembaga pengawas eksternal yang lebih berdaya dalam memberikan tekanan kepada pihak dalam pelaksanaan sistem peradilan, sebagaimana yang tergambar dalam tabel berikut :

No

Perlukah Lembaga Baru

Dibentuk Pengawas Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara 13.9 14.6 71.5 3.8 3.8 92.3 9.0 18.7 74.1 48.1 17.7 34.2 69.4 8.1 22.6 Akademisi

1 2 3

Perlu Tidak Tidak menjawab

Mekanisme kontrol yang bersifat internal diakui sudah terinkorporasi dalam tiap subsistem, yang juga sering disebut sebagai pengawasan melekat (waskat), namun diragukan efektifitas dan kemampuannya (utamanya karena dugaan adanya in-group feeling yang cenderung menutupi kesalahan sesama kolega) dalam kerangka penciptaan sistem peradilan yang baik. Beberapa hal yang ditengarai dari pelaksanaan mekanisme kontrol internal antara lain adalah : 1. 2. 3. Jarang sekali ada penjelasan dari lembaga mengenai hasil akhir pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya; Produk dari mekanisme pengawasan internal pada umumnya tidak untuk konsumsi publik, tetapi hanya bersifat internal; Apabila ada anggota yang diproses, tidak mungkin dapat bersifat obyektif dalam 4. melakukan investigasi terhadap anggotanya yang melakukan pelanggaran (solidaritas, in group feeling, esprit de corps); Pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur yang berada dalam sub sistem peradilan mencerminkan adanya kelemahan atau keburukan lembaga tersebut, termasuk fungsi pendidikan dan pelatihannya, sehingga sulit diharapkan bahwa hal semacam ini akan diekspose oleh suatu lembaga internal. 5. Proses Investigasi oleh lembaga internal terhadap anggotanya cenderung diwarnai oleh conflict of interest sehingga hasilnya kurang credible. 95

Harkristuti Harkrisnowo, Komisi Pengawas eksternal pada Polri : Pembatas Kewenangan ataukah Pendorong Profesionalisme, (makalah disampaiakan dalam Seminar yang diadakan FISIP
95

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 88 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Sehingga disini apabila prinsip tersebut diterapkan secara ajeg maka dengan memperhatikan kelima faktor tersebut diatas, keberadaan lembaga pengawasan baru merupakan suatu keharusan dalam kerangka pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Dilema ini yang membuat para responden dari kalangan aparat penegak hukum memilih jalan tengah yaitu diam atau tidak menjawab, yang dalam hal ini para responden termaksud menentukan pilihan untuk menyerahkan pada mekanisme yang berlaku. Dari berbagai pendapat yang terkumpul dalam studi ini, keberadaan lembaga pengawasan baru atau eksternal diperlukan untuk penyeimbang mekanisme internal yang telah ada, dimana para responden memiliki optimisme untuk perbaikan lembaga pengawasan internal. Adapun untuk pembentukan lembaga pengawasan yang baru, studi ini telah berhasil merangkum berbagai pendapat yang terkumpul tentang bentuk lembaga pengawasan eksternal dimasa yang akan datang, yang mencakup 4 aspek yaitu bentuk dan kedudukan, tugas dan wewenang, keanggotaan serta mekanisme pengangkatan. a. Kedudukan dan Pertanggungjawaban Sebelum lebih jauh membahas tentang kelembagaan pengawas eksternal, terlebih dahulu dibicarakan tentang kedudukan lembaga tersebut. Dalam hal ini lembaga pengawas eksternal diharapkan berada di seluruh Indonesia. Dimana lembaga pengawas tersebut keberadaannya mengikuti kewenangan relatif pengajuan tuntutan. Harapannya, keberadaan lembaga pengawas ini nantinya dibentuk dengan Undang -undang tersendiri, dimana apabila memang dianggap sangat mendesak ke butuhan akan terciptanya suatu mekanisme pengawasan melalui lembaga pengawasan tersebut, bilamana perlu dapat dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)96.

Universitas Riau, di Pekanbaru, 15 16 November 1999), dalam Tim Universitas Indonesia fakultas Hukum, Sinkronisasi Ketentuan Perundang-undangan Mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asas-Asas Umum, (Jakarta, Juni 2001), hal 34. Hal ini diungkapkan oleh M.H. Silaban dalam Semiloka I MaPPI di Jakarta, 29-30 Mei 2001, hal ini menurut beliau keadaan yang mendesak karena apabila menunggu melalui pembahasan UU akan mermakan waktu lama sedangkan perilaku korup terus berlanjut.
96

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 89 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Lembaga pengawas eksternal ini adalah lembaga yang independen, untuk itu kedudukan lembaga tidak berada di bawah kepala lembaga internal yang ada. Untuk kedudukan ini ada beberapa alternatif kedudukan, diantaranya adalah berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 97. Alasannya agar lebih netral karena MPR merupakan perwujudan dari rakyat, selain itu agar tidak dapat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan sehingga masyarakat dapat mengawasi lembaga dengan baik. Dengan kedudukan yang berada di bawah MPR membawa dampak pertanggungjawaban lembaga dilakukan kepada MPR, namun dalam bagian lain ada keinginan bahwa pertanggungjawaban kepada MPR dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA). Mengenai hal ini, dapat diartikan bahwa pertanggungjawaban lembaga bersamaan dengan laporan yang disampaikan MA ke MPR. Alternatif pilihan lain bahwa lembaga pengawasan yang akan terbentuk nanti berada di bawah Presiden selaku Kepala Negara. Pilihan ini dimaksudkan bahwa kedudukan lembaga pengawas nanti sejajar dengan lembaga penegak hukum lainnya yang berada di bawah Presiden. Namun sejalan dengan perkembangan yang ada lahir keinginan agar lembaga tersebut berada sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Hal ini perlu mendapat kajian lebih dalam tentang kedudukan lembaga pengawas apabila sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, karena hal ini membawa dampak pada ketatanegaraan dalam posisinya di undang -undang dasar. Untuk alternatif kedua ini mekanisme pertanggungjawaban yang ditawarkan sangat beragam, namun kesemuanya mengarah pada mekanisme pertanggungjawaban kepada publik secara terbuka melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Alternatif ini merupakan pilihan yang paling banyak dipilih oleh peserta workshop, dimana dalam rekomendasinya mereka menginginkan lembaga berada di bawah MPR. Dalam studi lapangan yang dilakukan responden sebagian besar (25%) memilih berada dibawah MPR. Namun hal ini juga harus dipikirkan kembali mengingat perkembangan yang ada dalam pembahasan amandemen UUD 1945.
97

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 90 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

b. Fungsi, Tugas Dan Wewenang

No.

Fungsi Lembaga Pengawas Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara Akademisi/ LSM 80.5 43.5

1 2

Mengawasi kinerja aparat peradilan Mengkritisi perundangundangan peraturan

44.6 27.4

39.9 18.0

29.4 15.0

59.6 29.2

Mengawasi kemungkinan lembaga peradilan

terjadi

17.4

28.3

27.4

39.3

70.8

campur tangan atas kewenangan

Menerima pengaduan lembaga buruk

dan atas

menindaklanjuti kinerja yang aparat dinilai

18.6

33.4

33.6

33.0

72.5

peradilan

5 6

Lain-lain Tidak menjawab

8.6 54.8

5.2 57.7

40.8 54.8

14.0 35.4

24.2 14.5

Adapun untuk tugas dan wewenangnya tergambar d alam tabel dibawah ini

No.

Tugas dan Wewenang Pengawas

Lembaga Hakim 32.7 Jaksa 39.8

RESPONDEN (%) Polisi 36.3 Advokat/ pengacara 49.6 Akademisi/ LSM 61.2

Mengawasi Pelaksanaan Penegakan Hukum

Memberikan Pelaksanaan

Penilaian Penegakan hasil

Atas Hukum Penilaian

23.7

32.1

23.9

49.7

70.9

oleh Aparat Peradilan 3 Mengumumkan Kepada Publik 4 Memberikan Pelanggaran 5 6 Lain-lain Tidak menjawab Sanksi yang Terjadi Atas di 2.1 61.1 2.6 57.7 2.1 61.1 15.4 35.4 14.4 16.1 18.8 14.1 28.8 36.9 37.0 16.0 26.9 20.0 38.2 62.9

Lembaga Peradilan

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 91 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

c. Susunan Keanggotaan dan Mekanisme Pemilihan Anggota

No.

Yang

Berhak

Duduk

di Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ Pengacara Akademisi/ LSM 79.0 45.1 37.1 80.6

Lembaga Pengawas

1 2 3 4

Akademisi Mantan Hakim Mantan Jaksa Aktivis Hukum Organisasi di non Bidang Pemerintah

31.3 28.5 21.5 27.8

37.3 33.4 34.7 32.2

31.8 25.2 19.8 31.2

58.2 19.0 15.2 54.4

5 6

Lain-lain Tidak menjawab

16.7 61.8

18.0 57.7

16.8 54.8

34.2 35.4

45.1 14.5

Berdasarkan hasil jajak pendapat, diperoleh data bahwa yang dapat duduk di dalam lembaga pengawas tersebut terdiri dari kalangan akademisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat, mantan hakim, dan mantan jaksa. Tetapi sebagian besar responden yang berasal dari kalangan hakim , jaksa, dan polisi memilih untuk tidak menjawab. Hal yang berbeda jauh dengan kalangan advokat/pengacara dan akademisi/LSM, sebagian besar responden dari kalangan ini memilih akademisi dan aktivis LSM untuk duduk di dalam lembaga tersebut. Sedangkan kriteria yang harus dimilikinya adalah:

No.

Kriteria yang Harus Dimiliki oleh Anggota Lembaga Pengawas Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/peng acara 25.1 10.3 24.7 48.2 Akademisi/LS M 72.5

Tidak Menjadi Anggota/Pengurus Partai Politik Apapun

Mempunyai Pengetahuan yang memadai di Bidang Hukum

35.8

41.0

41.3

55.8

72.5

Telah Mengikuti dan Lolos uji Kelayakan dan Kepatutan

32.0

28.1

32.5

58.2

40.9

4 5

Lain-lain Tidak menjawab

7.0 62.5

10.3 57.7

10.8 54.8

17.8 35.4

33.8 16.1

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 92 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Sedangkan lembaga yang berwenang untuk melakukan pemilihan adalah sebagaimana tergambar dalam hasil studi dibawah ini:

No.

Yang Dapat Melakukan Pemilihan Calon dan Uji Kelayakan dan Kepatutan Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara 15.3 2.8 21.6 16.7 2.6 19.2 11.4 5.4 28.8 29.3 3.9 38.1 Akademisi/ LSM 25.7 8.0 66.0

1 2 3

DPR Presiden Lembaga Independen yang dibentuk khusus

4 5

Lain-lain Tidak menjawab

6.3 61.8

5.1 59.0

3.6 56.6

12.8 35.4

20.9 14.5

Hal tersebut setidak -tidaknya menunjukan bahwa responden menginginkan adanya netralitas dan kualitas yang baik dari setiap orang yang akan menjadi anggota pengawas. Alasan lain yang dikemukakan adalah bahwa lembaga indenpenden tersebut diharapkan bebas dari KKN, lebih objektif, dan dapat dipercaya netralitasnya. Selanjutnya dalam hal metode perekrutan anggota, studi ini menghasilkan beberapa data sebagai berikut:

No.

Metode Perekrutan Terhadap Calon Anggota Lembaga Pengawas Tersebut Hakim Jaksa

RESPONDEN (%) Polisi Advokat/ pengacara 36.1 1.4 62.5 41.0 2.6 57.7 36.1 8.4 55.4 63.3 1.3 35.4 Akademisi/ LSM 83.9 1.6 14.5

1 2 3

Terbuka Tertutup Tidak menjawab

3. Prinsip Prinsip Berfungsinya Lembaga Pengawas Guna penciptaan lembaga pengawas yang mampu menerapkan pengawasan secara efektif dan efisien serta memiliki daya dukung yang kuat, lembaga pengawasan eksternal dimasa mendatang sekurang-kurangnya harus memiliki prinsip-prinsip kelembagaan yang berdaya guna dan berhasil guna. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 93 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

prinsip independensi, yurisdiksi yang tegas dan wewenang yang memadai, kemudahan untuk diakses, efisiensi operasional dan pertanggungjawaban. 1) Independensi Sebuah lembaga yang efektif adalah lembaga yang mampu bekerja secara terpisah dari pemerintah, partai politik, serta segala lembaga yang mungkin dapat mempengaruhi pekerjaannya. Akan tetapi, independensi adalah konsep yang relatif. Kenyataan bahwa suatu lembaga diberi independensi tertentu untuk bekerja, membedakan lembaga tersebut dari instrumen pemerintah. Independensi suatu lembaga akan tercipta dengan baik sepanjang diterapkan makna independensi secara menyeluruh. Independensi suatu lembaga dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya meliputi independensi melalui otonomi hukum dan operasional, independensi melalui otonomi keuangan, independensi melalui prosedur pengangkatan dan pemecatan, independensi melalui komposisi. a. Otonomi Hukum dan Operasional Undang-undang pembentukan lembaga sangat penting dalam memastikan independensi hukumnya, terutama independensinya dari pemerintah. Idealnya lembaga yang independen diberi status yang berbeda dan terpisah dari pusat kekuasaan, terutama untuk menjalankan kekuasaan pembuatan keputusan secara independen. Dalam hal ini lembaga yang bersangkutan menjalankan fungsinya tanpa gangguan atau halangan dari cabang-cabang pemerintah atau lembaga-lembaga masyarakat atau swasta. Hal ini dapat dicapai dengan membentuk lembaga tersebut bertanggungjawab secara langsung kepada parlemen. Otonomi operasional berkaitan dengan kemampuan untuk menjalankan kegiatan sehariharinya secara terpisah dari individu, organisasi , departemen atau aparat manapun. Efektifitas lembaga tercermin dari merancang peraturan dan prosedurnya sendiri, dan peraturan ini tidak boleh diubah dari luar. Lembaga ini juga tidak bisa diperiksa oleh lembaga manapun kecuali ditentukan oleh Undang -undang yang membentuknya.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 94 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

b. Independensi Melalui Otonomi Keuangan Otonomi keuangan sangat terkait dengan otonomi fungsional, apabila tidak independen secara keuangan maka akan tergantung pada lembaga pemerintah yang berdampak pada intervensi fungsional. Dalam hal keuangan lembaga independen diberikan kekuasaan untuk mengatur anggarannya sendiri. peran parlemen hanya dalam pemeriksaan dan evaluasi atas laporan keuangan, hal ini terkait pemberian anggaran dalam anggaran negara. c. Independensi Melalui Prosedur Pengangkatan dan Pemecatan Pemberian otonomi hukum, teknis dan keuangan tidak cukup apabila tidak dibarengi independensi anggota secara individu maupun kolektif dalam ran gka mempertahankan dan menghasilkan tindakan yang independen. Metode pengangkatan seorang anggota lembaga sangat penting, karenanya perlu dipertimbangkan untuk mempercayakan tugas ini kepada parlemen. Hal ini juga harus didukung oleh aturan prosedur pengangkatan yang partisipatif dan terbuka, serta dukungan persyaratan pengangkatan yang jelas. Dalam mengatasi permasalahan pemecatan terhadap anggota lembaga, selayaknya diberikan independensi kepada lembaga untuk menjalankan fungsi tersebut. Dimana dasar pemecatan diatur dengan jelas, dalam hal ini juga terdapat mekanisme peradilan bagi pemeriksaan penyimpangan yang dilakukan anggota dan dalam menjalankan kegiatannya anggota lembaga diberikan imunitas terhadap hukum acara pidana dan perdata dalam menjalankan tugasnya secara resmi. d. Independensi Melalui Komposisi Komposisi lembaga harus mencerminkan jaminan independensinya, dimana komposisi lembaga menggambarkan pluralitas keanggotaan (multi stake holders). Dalam hal ini lembaga dimungkinkan untuk memastikan diri bahwa seluruh elemen (terutama dalam proses peradilan) yang ada terwakili. Keragaman anggota juga memperhatikan komposisi berdasarkan pertimbangan yang lain yang mencerminkan keragaman masyarakat.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 95 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

2) Yurisdiksi Yang Tegas dan Wewenang Yang Memadai a. Yurisdiksi tentang Pokok Persoalan Lembaga independen yang efektif akan memiliki yurisdiksi pokok permasalahan yang disebutkan secara jelas. Berbicara tentang yurisdiksi tidak hanya berdasarkan fungsinya belaka, namun melibatkan pemikiran mengenai d asar hukum yang tepat dari fungsifungsi tertentu. Dengan adanya yurisdiksi pokok permasalahan yang jelas maka akan memenuhi beberapa tujuan. b. Menghindari konflik Yurisdiksi Terkadang yurisdiksi pokok masalah antara satu lembaga dengan lembaga yang lain saling tumpang tindih. Untuk menghindari hal tersebut salah satu langkah yang harus dilakukan adalah kejelasan tujuan selama proses pra pembentukan. Konflik dan duplikasi agar dihindari yaitu dengan memastikan bahwa tiap lembaga diberi tanggung jawab berbeda yang tidak tumpang tindih. Pertemuan antar badan adalah cara lain utuk memperkuat sifat saling melengkapi, seperti halnya dengan pengembangan dan pemeliharaan komunikasi yang baik antara lembaga serupa. Menjalin dan membina hubungan yang dekat dengan badan-badan yang sama untuk mempromosikan kebijakan umum, dan menghindari konflik dalam kasus-kasus yurisdiksi yang tumpang tindih. 3) Kemudahan untuk diakses Lembaga yang efektif adalah lembaga yang mudah diakses oleh orang -orang atau kelompok yang kepentingannya harus diperjuangkan. Kemudahan akses tidak dapat diperoleh hanya melalui upayaupaya struktural melainkan dipengaruhi pula oleh seluruh aspek organisasi dan prosedur lembaga. Sebuah lembaga yang dianggap bertanggung jawab dan efektif, serta memiliki kepercayaan masyarakat secara otomatis akan meningkatkan kemudahan aksesnya.

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 96 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

4) Kerjasama Bahwa sebuah kenyataan dimana lembaga tidak dapat bekerja sendiri, tetapi harus menjalin dan memperkuat hubungan kerjasama dengan berbagai organisasi dan kelo mpok lain. Kerjasama yang dapat dijalin adalah kerjasama dengan organisasi non pemerintah. Kerjasama antar lembaga sejenis di negara lain pun penting dilakukan untuk saling tukar menukar informasi, dukungan dari negara yang lebih maju untuk memberikan bimb ingan dalam perancangan Undang-undang, pelatihan dan perekrutan personil dan pengembangan kerja yang efektif. Kerjasama juga berguna untuk saling bertukar laporan serta membahas isu-isu yang menjadi perhatian bersama. Kerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah digunakan untuk meningkatkan aktifitas lembaga dengan menggunakan sumber daya dan keahlian yang tersedia dalam organisasi pemerintah. 5) Efisiensi operasional Bahwa setiap lembaga harus dapat membuktikan metode kerjanya adalah paling efektif dan efisien. Efisiensi operasional meliputi semua aspek prosedur lembaga, mulai dari penerimaan seleksi personil, pengembangan metode kerja dan peraturan prosedur, sampai ke penerapan pemeriksaan kinerja rutin. Sumber daya manusia yang memadai serta pendanaan yang memadai dan berkesinambungan merupakan prasyarat efisiensi operasional. Manajemen sumber daya efektif memerlukan penetapan prioritas yang tegas dan ketaatan pada rencana anggaran yang telah disetujui. 6) Pertanggungjawaban Aspek pertanggungjawaban ini dilakukan melalui kewajiban pelaporan dan mengingat pentingnya hal ini, maka esensi laporan perlu ditegaskan dalam perundang-undangan. Hal yang perlu diatur dalam kaitan dengan pertanggungjawaban adalah frekuensi laporan, isu-isu yang harus dilaporkan, dan prosedur pemeriksaan laporan. Transparansi institusi dalam kerangka akuntabilitas publik dilakukan melalui publikasi dan penyebarluasan laporan, hal ini akan meningkatkan kredibilitas lembaga dimata masyarakat. ______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 97 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


A. KESIMPULAN Setelah melihat pemaparan yang ada dalam bab -bab sebelumnya dalam tulisan ini, maka dapatlah disimpulkan secara garis besar: 1. Bahwa proses berjalannya administrasi peradilan di Indonesia sering kali tidak berjalan sebagaimana aturan sebenarnya. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya: tumpang tindih peraturan, perbedaan penafsiran atas perundang-undangan, SDM yang tidak berkualitas dan terjadinya KKN di lembaga peradilan.

2. Bahwa sebenarnya dalam masing-masing lembaga yang ada dalam lingkup peradilan saat ini telah terdapat mekanisme pengawasan, baik secara internal vertikal maupun internal horisontal. Namun sangat disayangkan proses pengawasan yang ada tersebut masih tidak efektif dan tidak berjalan secara optimal. Hal tersebut salah s atunya adalah dikarenakan adanya semangat kesatuan (lsprit dcorps) yang demikian kuat dan proses koordinasi antar lembaga peradilan tersebut dalam mekanisme pengawasan tidak berjalan dengan baik. 3. Bahwa sebagai tindakan preventif dan represif, langkah-langkah yang dapat diambil untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam proses administrasi peradilan dan untuk menutup ketidakoptimalan kinerja mekanisme pengawasan, maka dapat dilakukan: Meningkatkan sistem pengawasan internal Membentuk suatu peng awasan eksternal Menerapkan sistem reward and punishment bagi aparat penegak hukum Meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 98 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

B. REKOMENDASI Selanjutnya sebagai rekomendasi awal dari studi ini, dapatlah diuraikan beberapa poin sebagai berikut: 1. Bahwa untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam proses administrasi di lingkungan peradilan perlu dimaksimalisasi mekanisme pengawasan internal secara sistemik (seperti pra peradilan, proses penghentian penyelidikan, penyidikan dan penuntutan) yang sekarang sudah ada dalam peraturan perundang-undangan. Pengawasan secara sistemik tersebut haruslah menganut prinsip-prinsip: Persamaan di muka hukum (equality before the law) Due Process of Law Sederhana dan Cepat Efektif dan efisien Akuntabilitas Transparan

Yang mana semuanya harus disebutkan secara jelas dalam peraturan perundangundangan yang melandasi berjalannya mekanisme pengawasan internal sistemik ini. 2. Bahwa sebagai langkah untuk menciptakan suatu lembaga peradilan yang berwibawa dan bersih dari KKN, sehingga menjadikan proses administrasi dan beracara dalam lembaga peradilan berjalan dengan baik, maka diperlukan pembentukan lembaga pengawas yang dapat mengawasi proses dan pelaku hukum dalam lingkungan peradilan, dengan: Bentuk : Eksternal yang bekerja sama dengan internal Kedudukan Diseluruh Indonesia dengan melihat kewenangan relatif, jadi tidak hanya berada di pusat

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 99 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Dibentuk dengan peraturan perundang -undangan tersendiri yang bisa berupa Kepres/Perpu

Pertanggungjawaban Kepada publik melalui DPR secara terbuka Yang diawasi adalah pelaksanaan sistem peradilan (KUHAP) Lembaga pengawas bersifat proaktif Menerima dan menindaklanjuti pengaduan atas kinerja aparat lembaga peradilan yang dinilai buruk Melakukan pencatatan/pemantauan/pelaporan serta memberikan usulan "reward and punishment" yang secara internal terikat untuk diterima Fungsi Fungsi pengawasan harus terpadu dan berada dalam satu frame-work Berfungsi sebagai lembaga kontrol dan lembaga evaluasi Mengawasi kinerja aparat peradilan Mengawasi kemungkinan terjadinya campur tangan pihak lain terhadap kewenangan lembaga peradilan Wewenang Mengawasi pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu Dapat mengambil tindakan langsung berbentuk teguran, sanksi, dan investigasi apabila terjadi pelanggaran dalam proses peradilan. Berhak melaporkan kepada publik statistik perkara peradilan dan hasil penilaian. WNI Bertaqwa kepada Tuhan YME Pendidikan minimal S1 (dari berbagai disiplin ilmu) Berdedikasi yang tinggi Tidak terlibat dalam perkara pidana Tidak menjadi anggota partai politik tertentu Sehat jasmani dan rohani Kriteria Anggota Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu a. b. c. e. f. g. h. Mekanisme Kerja

d. Memiliki integritas/moral yang baik

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 100 dari 101

A4-Administrasi Peradilan-Laporan Akhir

Mekanisme Tata Pemilihan Anggota a. Terdapat kriteria yang jelas akuntabel. c. e. Dilakukan Fit and Proper test (track record, visi dan misi) Diangkat oleh/dengan keputusan Presiden d. Dicalonkan oleh masyarakat dan/ mencalonkan diri sendiri Susunan Keanggotaan Jumlah anggota 5 orang dan berstatus sebagai pejabat negara dengan struktur : 1. Ketua (1 orang) 2. Wakil ketua (1 orang) 3. Koordinator Bidang (3 orang) Ditambah oleh staff Administrasi yang berstatus sebagai PNS dengan jumlah disesuaikan dengan kebutuhan. Se lanjutnya tedapat juga staff fungsional yang direkruit secara profesional sebagai tenaga ahli di lapangan, dengan jumlah disesuaikan kebutuhan. Selain itu sebagai mekanisme pengawasan internal, dibentuk suatu Dewan Pengawas yang bertugas mengawasi kinerja dari anggota lembaga pengawas ini. Adapun jangka waktu bertugas adalah 3 tahun dan bisa dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Mekanisme Pemberhentian Meninggal dunia Berakhir masa jabatan Mengundurkan diri Terbukti melakukan tindak pidana Berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama 3 bulan atau lebih tidak dapat melaksanakan tugasnya. b. Dilakukan dengan prinsip-prinsip transparan/terbuka, partisipatif, obyektif dan

______________________________________________________________________________ Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia 7 Februari hal 101 dari 101

Anda mungkin juga menyukai