Anda di halaman 1dari 10

Efektivitas Sterilisasi dan Disinfeksi Kamar Operasi dan Ruang UGD di Rumah Sakit Umum Bhakti Yudha Depok

<br /> <br />


Ririn Arminsih W.
Deskripsi Dokumen: http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76237&lokasi=lokal

----------------------------------------------------------------------------------------Abstrak Pelayanan rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan pada umumnya, yang memerlukan penanganan dan perhatian yang seksama. Sebagai tempat berkumpulnya orang sakit maupun sehat, rumah sakit juga merupakan tempat yang memungkinkan untuk terjadinya pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan dan atau dapat menjadi tempat penularan penyakit, yang disebut dengan infeksi nosokomial. Ruangan yang potensial untuk terjadi penularan antara lain kamar operasi, ruang.perawatan, ruang UGD, ruang umum. Upaya pengelolaan sanitasi rumah sakit merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, mengingat rumah sakit adalah sebagai sarana pelayanan kesehatan untuk masyarakat umum. Salah satu upaya sanitasi lingkungan rumah sakit dalam mengontrol pertumbuhan mikroorganisme adalah kegiatan disinfeksi dan sterilisasi. Dalam mencapai visinya sampai dengan saat ini RSU Bhakti Yudha Depok belum melakukan kegiatan pemeriksaan mikrobiologi udara ruangan (pengukuran angka kuman) dimana kegiatan pengukuran ini dapat mendeteksi terjadinya infeksi nosokomial. Penelititan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran efektivitas kegiatan disinfeksi dan sterilisasi pada kamar operasi dan ruang UGD dalam menurunkan jumlah total kuman di udara. Dalam pertumbuhannya mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain suhu, kelembaban, pencahayaan dan sebagainya yang mana semua itu diatur dalam Permenkes No. 9861MenkesIPerIXI/1992 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Hasil penelitian menunjukkan, jumlah koloni kuman di kamar operasi I pada minggu ke I sebelum kegiatan disinfeksi dan sterilisasi ada 2 koloni, sedangkan sesudah kegiatan ada 1 koloni sehingga efektivitas kegiatan disinfeksi dan sterilisasi adalah 50%. Sedangkan untuk minggu ke II jumlah koloni kumannya 59

koloni dimana 31 koloni diantaranya adalah bakteri. Tidak dapat dilihat efektivitasnya karena tidak dilakukan kegiatan disinfeksi dan sterilisasi. Identifikasi bakteri menunjukkan jenisnya adalah bukan sterptococcus. Faktor lingkungan yang berpengaruh disini adalah pencahayaan, hasil pengukurannya adalah berkisar antara 16-52 lux. Jumlah koloni kuman untuk kamar operasi II sebelum kegiatan disinfeksi dan sterilisasi pada minggu ke I adalah 2 koloni, untuk minggu ke II ada 29 koloni dimana 26 koloni diantaranya adalah bakteri. Untuk kegiatan sesudah disinfeksi dan sterilisasi untuk minggu ke I tidak ada hasilnya karena tidak dilakukan kegitan, sedangkan untuk minggu ke II hasilnya adalah 3 koloni, 2 koloni diantaranya adalah bakteri. Efektivitas kegiatan ini memberikan hasil 89.66%. Parameter pencahayaan masih di bawah standar yaitu 37186 lux Untuk ruang UGD jumlah koloni kuman sebelum kegiatan disinfeksi adalah 60 koloni sedangkan hasil sesudah kegiatan adalah 84 koloni. Justru terjadi peningkatan pada kegiatan sesudah disinfeksi sehingga efektivitasnya memberikan hasil -44%. Untuk pencahayaan di ruang UGD juga masih di bawah standar yaitu 13-27 lux. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan disinfeksi dan sterilisasi dapat menurunkan jumlah koloni kuman udara di kamar operasi walaupun pada pada kenyataannya masih ada bakteri yang tertinggal karena faktor lingkungan yaitu pencahayaan yang masih dibawah standar yang ditetapkan oleh Permenkes

Trauma, pernakah anda mendengarnya? Kemudian bagaimana cara mengatasi dan menghilangkan trauma? Pada waktu sekarang ini, banyak berita yang memuat tentang kejahatan, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain-lain. Tentu sangat memperhatinkan, belum lagi konflik dan peledakan bom diberbagai tempat. Mungkin esok hari berita sudah berganti dengan yang lain. Namun ada satu hal yang terlupakan, yakni efek dari kejadian tersebut. Lalu apa efek itu, efek itu adalah berupa trauma. Pada daerah pengungsian akibat konflik misalnya, bukan berarti begitu anak-anak atau wanita diungsikan lalu masalah selesai. Justru suatu masalah mungkin sedang dimulai. Jika berbicara tentang tindak kekerasan dan trauma, ada suatu istilah yang dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD (gangguan stres pasca trauma). Yaitu gangguan stres yang timbul berkaitan dengan peristiwa traumatis luar biasa. Misalnya, melihat orang dibunuh, disiksa secara sadis, korban kecelakaan, bencana alam, dan lain-lain. PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat, karena biasanya penderita mengalami gangguan jiwa yang mengganggu kehidupannya. Secara umum gejala PTSD dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Pertama, Reexperiencing. Perderita seperti mengalami kembali kejadian traumatis yang pernah dialami. Biasanya kondisi ini akan muncul ketika penderita sedang melamun atau melihat suasana yang mirip dengan pengalaman traumatisnya. Penderita dapat berperilaku mengejutkan, tiba-tiba berteriak, menangis, atau berlari ketakutan. Fenomena lain juga dapat muncul seperti takut untuk tidur, karena begitu ia tidur peristiwa traumatis muncul kembali. Misalnya, peristiwa diperkosa atau pembunuhan yang berlangsung didepan mata. Kedua, Hyperarousal. Suatu keadaan waspada berlebihan, seperti mudah kaget, tegang, curiga menghadapi gejala sesuatu, benda yang jatuh dia anggap seperti jatuhnya sebuah bom, dan tidur sering terbangun-bangun. Ketiga, Avoidance. Seseorang akan selalu menghindari situasi yang mengingatkan ia pada kejadian traumatis. Seandainya kejadiannya saat suasana ramai, dia akan menghindari mall atau pasar. Begitu juga sebaliknya jika ia mengalami pada waktu sendiri, maka ia akan menghidari tempat-tempat sepi. Jika PSTD tidak ditanganidengan benar, maka mempengaruhi kepribadian seseorang (perubahan kepribadian). Seperti paranoid (mudah curiga) misalnya. Kesulitan hal ini adalah jarang sekali penderita dengan kesadaranya

datang ke para ahli. Apalagi stigma yang beredar dimasyarakat bahwa psikiater identik dengan orang sakit jiwa atau gila. Lalu bagaimana cara mengatasi dan menghilangkan masalah trauma? Berbagai model psikoterapi telah dikembangakan untuk mengatasi PTSD, seperti, terapi perilaku, desensitisasi, hipnoterapi, semuanya cukup efektif asal penderita juga mendapatkan dukungan dari masyarakat lingkunganya dan juga orang terdekatnya. Perlu untuk dibedakan, apakah seseorang sudah mengarah pada PTSD atau masih PTS (post traumatic sympton). Kalaupun masih PTS tidak akan sampai menimbulkan gangguan berat, masih dapat ditangani oleh psikolog yang terlatih. Yang perlu dilakukan adalah jangan sampai PTS menjadi PTSD.

Pengertian Fraktur :

Fraktur (patah tulang) adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (smeltzer S.C & Bare B.G,2001) Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.( Reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001 )

Jenis Fraktur :
Agar lebih sistematis, jenis fraktur dapat dibagi berdasarkan :

Lokasi Fraktur dapat terjadi pada tulang di mana saja seperti pada diafisis, metafisis, epifisis, atau intraartikuler. Jika fraktur didapatkan bersamaan dengan dislokasi sendi, maka dinamakan fraktur dislokasi. Luas Terbagi menjadi fraktur lengkap (komplit) dan tidak lengkap (inkomplit). Fraktur tidak lengkap contohnya adalah retak. Konfigurasi Dilihat dari garis frakturnya, dapat dibagi menjadi transversal (mendatar), oblik (miring), atau spiral (berpilin/ memuntir seputar batang tulang). Jika terdapat lebih dari satu garis fraktur, maka dinamakan kominutif, jika satu bagian patah sedangkan sisi lainnya membengkok disebut greenstick. Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam ( sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah) disebut depresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi ( terjadi pada tulang belakang ) disebut kompresi. Hubungan antar bagian yang fraktur Antar bagian yang fraktur dapat masih berhubungan (undisplaced) atau terpisah jauh (displaced). Hubungan antara fraktur dengan jaringan sekitar Fraktur dapat dibagi menjadi fraktur terbuka (jika terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar) atau fraktur tertutup (jika tidak terdapat hubungan antara fraktur dengan dunia luar).

Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu : Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.

Etiologi :
Terjadinya fraktur akibat adanya trauma yang mengenai tulang yang kekuatannya melebihi kekuatan tulang. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur : Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang. Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi trauma, kelenturan, densitas serta kekuatan tulang.

Pengkajian
Riwayat Penyakit : Dilakukan anamnesa untuk mendapatkan riwayat mekanisme terjadinya cidera, posisi tubuh saat berlangsungnya trauma, riwayat fraktur sebelumnya, pekerjaan, obat-obatan yang dikomsumsi, merokok, riwayat alergi, riwayat osteoporosis serta riwayat penyakit lainnya. Pemeriksaan Fisik : 1. Inspeksi (look) Adanya deformitas (kelainan bentuk) seperti bengkak, pemendekan, rotasi, angulasi, fragmen tulang (pada fraktur terbuka). 2. Palpasi (feel) Adanya nyeri tekan (tenderness), krepitasi, pemeriksaan status neurologis dan vaskuler di bagian distal fraktur. Palpasi daerah ektremitas tempat fraktur tersebut, di bagian distal cedera meliputi pulsasi arteri, warna kulit, capillary refill test. 3. Gerakan (moving) Adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur. Pemeriksaan Penunjang : 1. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari :

Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral. Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal. Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal) Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.

2. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:


Darah rutin, Faktor pembekuan darah, Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi), Urinalisa, Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).

3. Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat fraktur tersebut.

Komplikasi :
Penyebab komplikasi fraktur secara umum dibedakan menjadi dua yaitu bisa karena trauma itu sendiri, bisa juga akibat penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik. Kompikasi Umum : Syok hipovolemia (karena perdarahan yang banyak), syok neurogenik (karena nyeri yang hebat), koagulopati diffus, gangguan fungsi pernafasan. Komplikasi ini dapat terjadi dalam waktu 24 jam pertama pasca trauma, dan setelah beberapa hari atau minggu dapat terjadi gangguan metabolisme yaitu peningkatan katabolisme, emboli lemak, tetanus, gas ganggren, trombosit vena dalam (DVT). Komplikasi Lokal : Jika komplikasi yang terjadi sebelum satu minggu pasca trauma disebut komplikasi dini, jika komplikasi terjadi setelah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut. Ada beberapa komplikasi yang terjadi yaitu :

Infeksi, terutama pada kasus fraktur terbuka. Osteomielitis yaitu infeksi yang berlanjut hingga tulang. Atropi otot karena imobilisasi sampai osteoporosis. Delayed union yaitu penyambungan tulang yang lama. Non union yaitu tidak terjadinya penyambungan pada tulang yang fraktur. Artritis supuratif, yaitu kerusakan kartilago sendi. Dekubitus, karena penekanan jaringan lunak oleh gips. Lepuh di kulit karena elevasi kulit superfisial akibat edema. Terganggunya gerakan aktif otot karena terputusnya serabut otot, Sindroma kompartemen karena pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga mengganggu aliran darah.

Penatalaksanaan :

Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu: 1. Mengurangi rasa nyeri, Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips. 2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur. Seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, fiksasi internal, sedangkan bidai maupun gips hanya dapat digunakan untuk fiksasi yang bersifat sementara saja. 3. Membuat tulang kembali menyatu Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. 4. Mengembalikan fungsi seperti semula Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya mobilisasi.

Proses Penyembuhan Tulang :


Fase Inflamasi : Fase ini berlangsung mulai terjadinya fraktur hingga kurang lebih satu sampai dua minggu. Peningkatan aliran darah menimbulkan hematom diikuti invasi sel-sel peradangan yaitu neutrofil, makrofag, sel fagosit, osteoklas, yang berfungsi untuk membersihkan jaringan nekrotik, yang akan mempersiapkan fase reparatif. Jika dirontgen, garis fraktur lebih terlihat karena telah disingkirkannya material nekrotik. Fase Reparatif : Dapat berlangsung beberapa bulan. Ditandai dengan diferensiasi dari sel mesenkim pluripotensial. Hematom fraktur diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan menjadi tempat matrik kalus. Pada awalnya terbentuk kalus lunak, terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas mengakibatkan mineralisasi kalus lunak menjadi kalus keras serta menambah stabilitas fraktur. Jika dirontgen maka garis fraktur mulai tidak tampak. Fase Remodeling : Fase ini bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga tahunan untuk merampungkan penyembuhan tulang, yang meliputi aktifitas osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan perubahan jaringan immatur agar menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga menambah stabilitas daerah fraktur.

Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan Anda memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan mengerikan. Mengalami penderitaan akibat perlakuan kejam yang berulang, ikut perang. Gejala-gejala umum meliputi : Kenangan yang muncul kembali dalam ingatan dan berulang-ulang, sangat mendalam dan mengganggu akibat peristiwa tersebut. Berusaha menghindari keadaan-keadaan yang mengingatkan Anda pada peristiwa tersebut. Menjadi mati rasa secara emosional dan suka menyendiri. Sulit tidur dan konsentrasi, ketakutan atas keselamatan pribadi. Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Apa sebabnya beberapa orang dari mereka akan berkembang menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama adalah tidak jelas. Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana Anda terlibat di dalamnya, dan seberapa hebatnya Anda bereaksi. Sementara itu penyebab sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Anda beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma jika Anda mempunyai riwayat keluarga yang mengalami depresi. Kemungkinan lain adalah dilepaskannya hormon-hormon tertentu oleh otak ( misalnya kortisol ) dan zat-zat kimia lainnya sebagai respons terhadap rasa takut. Hormon-hormon dan zat-zat kimia ini juga

akan membangkitkan kenangan-kenangan tersebut. Orang-orang dengan ketidakseimbangan zat kimia tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya gangguan stres pasca trauma akan meningkatkan. Gangguan stress pasca trauma berkembang dalam waktu 3 bulan setelah mengalami trauma, walaupun mungkin mula-mula terjadi pada bulan-bulan atau tahun-tahun berikutnya. Gejalagejala berakhir kira-kira 3 bulan dan ini terjadi pada sebagian dari mereka dengan gangguan stres pasca trauma. Penderita lainnya mengalami gejala yang hilang timbul beberapa kali selama beberapa tahun. Gangguan stres pasca trauma dapat diobati dengan baik. Terapi yang dilakukan berupa konseling dan kadang-kadang menggunakan obat-obatan ( seperti antidepresan ). Pengobatan awal adalah penting dan mungkin membantu mengurangi gejala-gejala jangka panjang. Sayangnya, kebanyakkan orang tidak mencari pengobatan dan tidak mengetahui gejala-gejala gangguan stres pasca trauma bahkan oleh seorang perawat sekalipun. Keadaan-keadaan lain sering terjadi bersamaan dengan gangguan stres pasca trauma ini, seperti depresi dan penyalahgunaan zat.

Anda mungkin juga menyukai