Anda di halaman 1dari 90

LAPORAN HASIL

PENGKAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI INTEGRASI KAMBING KAKAO DI SULAWESI TENGAH


TAHUN ANGGARAN 2005

Oleh: F.F. Munier, dkk

KERJASAMA BPTP SULAWESI TENGAH, LRPI, PUSLITBANGNAK, PUSLITBANGTANAK DAN PUSLITKOKA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2005

PENGKAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI INTEGRASI KAMBING - KAKAO DI SULAWESI TENGAH Abstrak Kabupaten Donggala merupakan produsen kakao utama untuk propinsi Sulawesi Tengah. Luas pertanaman kakao di Kabupaten Donggala kurang lebih 42.407 ha atau 54 % dari luas tanaman kakao di Sulawesi Tengah. Akan tetapi, menurut hasil PRA yang dilakukan BP2TP di 10 desa miskin di Kabupaten Donggala menunjukkan bahwa produktivitas kakao rakyat di desa-desa tersebut hanya 300 600 kg/ha/th. Berasarkan masalah yang dilaporkan dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh BP2TP, BPTP maupun PSE, maka jenis teknologi yang disarankan untuk dilaksanakan pada pertanaman kakao milik petani koperator yaitu; pemangkasan yang benar dan pengelolaan tanaman penaung, pemupukan yang efisien, pengendalian hama dan penyakit, rehabilitasi tanaman kakao dewasa dan optimalisasi pemanfaatan lahan dengan penanaman ulang (replanting) untuk tananam kakao yang mati. Disamping untuk menjaga kelangsungan produktivitas lahan tetap optilmal perlu dilakukan kegiatan konservasi terutama pada lahan miring. Produktivitas kambing dapat ditingkatkan dengan perbaikan manajemen pemeliharaan seperti perbaikan perkandangan, pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan kambing, adanya pengendalian penyakit dan parasit. Kegiatan usahatani integrasi kambing dan kakao memerlukan dukungan kelembagaan yang berfungsi sebagai fasilitator, adanya jejering kerjasama petani yang baik serta pemberdayaan petani sebagai pelaku kegiatan usahatani. Berdasarkan hasil pengkajian ini adanya peningkatan rataan produktivitas kakao kering mencapai 345,5 kg/0,5 ha/4 bulan, atau 1.382 kg/ha/tahun. Adanya rataan pertambahan bobot badan harian kambing meningkat yaitu 56,3 g yang diikuti oleh kenaikan rataan bobot akhir yang tinggi yakni 4,2 kg. Hasil analisa kelayakan SUT integrasi kambing dan kakao pola introduksi selama 4 bulan dengan R/C 1,47. Adanya dukungan kelembagaan dalam kegiatan usahatani integrasi kambing dan kakao, adanya forum komunikasi antar pelaku kegiatan usahatani integrasi kambing dan kakao serta pemberdayaan petani maka dapat membentuk jejaring kerjasama antara petani dengan pelaku agribisnis dan pemerintah yang semakin kuat dan luas. 1. LATAR BELAKANG Kabupaten Donggala merupakan produsen kakao utama untuk propinsi Sulawesi Tengah. Luas pertanaman kakao di Kabupaten Donggala kurang lebih 42.407 ha atau 54 % dari luas tanaman kakao di Sulawesi Tengah. Akan tetapi, menurut hasil PRA yang dilakukan BP2TP di 10 desa miskin di Kabupaten Donggala menunjukkan bahwa produktivitas kakao rakyat di desa-desa tersebut hanya 300 600 kg/ha/th (Anonim, 2003b). Angka produktivitas tersebut jauh lebih rendah dibanding rata-rata produktivitas kakao nasional yang mencapai 932,94 kg/ha/th, apalagi bila dibandingkan dengan potensi produksi kakao yang dapat mencapai 2 3 ton/ha/th. Masalah lain yang dihadapi usaha

kakao di Sulawesi saat ini adalah mutu biji kakao yang rendah (hanya mencapai grade 3) sehingga harga yang diterima oleh petani juga relative rendah. Lebih lanjut hasil PRA melaporkan bahwa rendahnya produktivitas kakao rakyat di desa-desa miskin di Kabupaten Donggala antara lain berkaitan dengan teknik produksi yang belum intensif, terutama berkaitan dengan aspek bahan tanam, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, pemangkasan, dan naungan. Sementara itu, rendahnya mutu produksi kakao di desa-desa tersebut selain karena tidak dilakukan fermentasi juga karena terjadi serangan hama penggerek buah kakao (PBK, Conopomorpha cramerella) dan busuk buah. Selain itu, tidak adanya lembaga ekonomi petani yang tangguh

menyebabkan para petani mendapat kesulitan dalam memperoleh input dan modal (yang mereka perlukan untuk meningkatkan produksi) serta dalam memperoleh jaminan harga kakao yang memadai. Sebenarnya peluang pasar bahan baku industri makanan cokelat yang berupa biji kakao berkualitas untuk ekspor sangat besar. Konsistensi mutu dan kuantum yang cukup sesuai dengan kebutuhan pasar sangat berperan dalam mendapat pasar yang baik. Kebutuhan biji kakao bermutu (terfermentasi) saat ini sangat besar, misalnya kebutuhan Malaysia sangat besar untuk mencukupi bahan baku industri hilirnya. Selama ini kakao yang ada dipasar mempunyai mutu rendah sehingga petani belum dapat menikmati harga yang optimum, dengan melakukan peningkatan mutu biji kakao para petani optimis akan mendapatkan manfaatnya khususnya dari sisi kesejahteraan. Peningkatan kesejahteraan petani kakao juga dapat dicapai dengan melakukan diversifikasi usaha yang berbasis pada komoditas kakao, yaitu integrasi kakao + kambing + hijauan pakan ternak serta melalui upaya pengelolaan lahan berbasis teknologi konservasi dan pemanfaatan air. Tumpangsari antara kakao dengan usaha ternak kambing sangat tepat karena kulit buah kakao dapat digunakan sebagai pakan ternak. Selain itu kotoran kambing dapat

digunakan sebagai bahan baku produksi bahan organik (pupuk kandang) sehingga penggunaan input pupuk kimia diharapkan dapat ditekan dan produk kakao yang dihasilkan bisa diarahkan kepada produk organik. Permintaan produk-produk organik di pasaran internasional cukup banyak sehingga akan meningkatkan daya saing produk kakao tersebut.

Masalah lain yang dihadapi para petani kakao di Kabupaten Donggala adalah kendala-kendala biofisik lahan yang relatif buruk. Berdasarkan survei pendasaran (baseline survey) oleh tim terdahulu, daerah ini umumnya memiliki iklim kering dengan curah hujan bervariasi antara 760-1.959 mm/tahun. Kondisi ini sangat beresiko pada pemenuhan kebutuhan air untuk tanaman kakao. Kondisi iklim yang umumnya memiliki bulan basah (> 200 mm) 2 bulan dengan bulan kering (< 100 mm) 5 bulan juga memperkecil peluang peningkatan produktivitas kakao. Bentuk wilayah yang umumnya bergunung dengan kemiringan lereng > 45% dan tanahnya yang dangkal (< 30 cm) dan berbnatu (> 60%) sangat beresiko terhadap bahaya erosi dan longsor serta penurunan produktivitas lahan (degradation). Relatif rendahnya produktivitas dan mutu kakao yang dihasilkan petani yang disertai dengan rendahnya harga yang diterima petani menjadi salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani. Bahkan banyak diantara petani kakao di daerah tersebut

yang pendapatannya kurang dari 1 juta/ rumahtangga/tahun. Keadaan ini lebih lanjut memiliki kontribusi terhadap tingginya jumlah petani miskin di daerah tersebut. Menurut Data dan Informasi Kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS, pada tahun 2002 proporsi penduduk miskin di Kabupaten Donggala mencapai 26,05 % atau sebanyak 195,300 orang (Anonim, 2002c). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komunitas petani kakao angka kemiskinannya relatif tinggi. Hasil penelitian Puslitbangbun dan Bank Dunia (2003c) menunjukkan bahwa kemiskinan pada komunitas petani kakao di kabupaten Pinrang; Bulukumba, dan Kendari (Sulawesi) masing-masing mencapai angka 18 %, 33%, dan 49 %. Angka tersebut lebih tinggi dari kemiskinan penduduk di masing-masing propinsi. Hasil penelitian Puslitbangbun dan Bank Dunia juga menunjukkan bahwa sebuah keluarga petani kakao yang memiliki anggota keluarga sebanyak lima orang baru dapat melepaskan diri dari garis kemiskinan bila kebun milik yang diusahakannya sendiri minimal 1,14 ha (dengan asumsi produktivitas 600 kg/ha/tahun dan harga kakao Rp. 7.000/kg). Namun dengan luasan tersebut mereka mampu memelihara dan meremajakan kebunnya. Selain itu, hasil PRA BP2TP dan BPTP bahwa di sebuah desa miskin di

kabupaten Donggala mengungkapkan bahwa petani kakao yang hanya memiliki kebun kakao seluas 1 ha atau kurang mencapai angka 86,5 % dan produktivitas kebun kakao

mereka hanya 300 600 kg/ha/tahun (Anonim, 2003b). Dengan menggunakan acuan hasil penelitian Puslitbangbun dan Bank Dunia, maka sebagian besar petani kakao di desa-desa miskin di Kabupaten Donggala berada dalam keadaan miskin (Anonim, 2003c). Untuk mendorong kemajuan petani kakao yang berada di kabupaten Donggala maka perlu dilakukan penelitian dan pengkajian (litkaji) terhadap masalah yang mereka hadapi dan mencarikan solusinya. Masalah yang harus disentuh adalah aspek teknis serta aspek social-ekonomi dan budaya, termasuk didalamnya perubahan tingkat pendapatan petani kakao sebelum dan sesudah dilakukan litkaji. Aspek teknis yang perlu dilakukan litkajinya adalah aspek teknis yang bertujuan meningkatkan produksi dan mutu melalui penyediaan paket teknologi lengkap dan terintegrasi sejak penyediaan bahan tanam, pemeliharaan tanaman yang meliputi pemangkasan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit serta penanganan pasca panen. Selain itu, perlu juga dikaji usaha ternak kambing dan hijauan pakan ternak yang pengusahaannya diintegrasikan dengan budidaya kakao. Dalam hal pasca panen, aspek yang perlu dilakukan litkajinya adalah prosedur dan teknik panen dan fermentasi untuk menghasilkan mutu yang baik. Dalam hal penumbuhkembangan kelembagaan ekonomi petani, aktivitas litkaji harus dapat meningkatkan kemampuan usaha petani termasuk membangun pasar kakao dan ternak sehingga petani merasakan manfaat secara optimal. Sementara itu, pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam penguasaan teknologi, peningkatan penguasaan asset produksi dan modal.

2. DASAR PERTIMBANGAN Secara umum, kemiskinan yang muncul pada masyarakat dapat terjadi karena miskinnya sumber-sumber alam (physical endowment), akibat keadaan struktural atau akibat kebudayaan (Billah, 1983 dan Warsito, 1993). Secara struktural kemiskinan dapat terjadi karena disparitas penguasaan lahan, hubungan struktural asimetris-ekploitatif, disparitas penguasaan modal (sendiri, akses terhadap kredit), disparitas penguasaan pengetahuan dan keterampilan/ teknologi (pendidikan), disparitas bakat wirausaha, ketergantungan komunitas terhadap sistem yang lebih besar (struktur pasar, nilai tukar), tidak ada atau lambannnya mobilitas sosial. Secara historis, kemiskinan struktural dapat terjadi sejak sebelum masa

modernisasi (zaman feodalistik) dan tidak tertutup kemungkinan menjadi semakin parah keadaannya pada masa modernisasi. Pada masa ini kemiskinan struktural menjadi semakin kuat akibat pendekatan pembangunan yang serba berpihak kepada sebagian masyarakat yang memiliki kelebihan kemampuan sedangkan sebagian masyarakat lainnya yang

kemampuannya relative kurang se-ringkali ditinggalkan.

Dalam konteks pembangunan

tersebut, muncul anggapan bahwa masyarakat lapisan bawah akan menerima tetesan hasil pembangunan dari lapisan atas. Akan tetapi, ternyata tetesan hasil pembangunan tidak terjadi. Berkaitan dengan itu, maka dua hal pokok yang harus menjadi reorientasi dalam program penelitian dan pengkajian ini adalah: 1) para peneliti bersama-sama petani miskin menggali persolaan hambatan budaya dan struktur sosial-ekonomi yang selama ini menghalangi mereka keluar dari keadaan miskin yang melilitnya, 2) peneliti bersama petani miskin menggali dan memperkuat potensi solusi yang dapat mereka kuasai (peluang bekerja, peluang berusaha, peluang penguasaan aset) untuk mengatasi keadaan miskinnya. Hal pertama dapat dilakukan melalui studi komunitas (community study) yang bersifat partisipatif dan interdisiplin, dimana para peneliti dan para petani sama-sama menjadi subjek. Hal

kedua dapat dilakukan melalui penelitian aksi (action research) yang berbasiskan pemberdayaan komunitas petani dan peningkatan networking baik pada aras lokal maupun aras regional dan nasional, dimana peranan para peneliti sebagai fasilitator bagi para petani dan para aktor terkait lain yang memiliki kaitan dengan para petani. Tanaman kakao yang merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan saat ini sedang digiatkan penanamannya karena cukup diminati oleh masyarakat. Keadaan ini terjadi karena tanaman kakao dapat dipanen setiap minggu sehingga petani dapat jaminan penghasilan setiap bulan apalagi saat ini harganya cukup menarik. Hal ini sangat membantu perekonomian petani di pedesaan terutama yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan rutin seperti kebutuhan sehari-hari, biaya menyekolahkan anak, pembayaran rekening listrik, dan lainnya. Pemasaran hasil tanaman kakao di Donggala saat ini tidak mengalami kesulitan, dan respon masyarakat untuk penanaman kakao cukup tinggi. Solusi pengentasan kemiskinan para petani di lokasi penelitian tentunya harus berbasiskan sumberdaya alam dan komunitas lokal. Oleh karena itu pengembangan

komoditas kakao serta usaha lain yang dapat diintegrasikan di Kabupaten Donggala

diharapkan dapat meningkatkan peluang berusaha dan bekerja serta pendapatanan petani yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan dapat mengatasi kemiskinan di daerah tersebut. Melalui pintu masuk penguasaan peluang bekerja dan berusaha tersebut diharapkan dimensi-dimensi kemiskinan lainnya secara berangsur akan juga turut teratasi. Secara garis besar, untuk mendukung berjalannya sistem agribisnis kakao yang produktif, efisien, dan berkelanjutan maka komponen teknologi inovatif dan komponen kelembagaan yang dapat menjamin penerapan teknologi tersebut harus ditumbuhkan secara bersamaan. Tantangan lain yang juga harus dijawab oleh penelitian ini adalah menghasilkan pendekatan penelitian dan transfer teknologi yang berbasiskan sumberdaya, komunitas, dan sistem pengetahuan lokal. Hal ini perlu mendapat perhatian agar program pembangunan yang disepakati untuk dilaksanakan dapat berkelanjutan dan memberikan ruang seluasluasnya kepada para petani miskin untuk menjadi pesertanya, meskipun mereka menghadapi sejumlah persoalan dan keterbatasan yang membuat respon mereka terhadap perubahan relatif lambat. 3. TUJUAN 3.1. Tujuan Umum (Akhir) Menghasilkan paket teknologi inovatif lengkap dan terpadu (sistem usaha hulu - hilir kakao, integrasi kambing kakao dan hijauan pakan serta teknologi konservasi lahan yang berbasis sumberdaya dan pengetahuan lokal. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani tentang paket teknologi inovatif lengkap dan terpadu. Menumbuhkembangkan Lembaga Ekonomi Petani yang dapat menunjang adopsi teknologi secara berkelanjutan. Meningkatkan kemampuan petani dalam penguasaan asset produksi, modal, dan pasar agar dapat menerapkan paket teknologi inovatif lengkap dan terpadu. Merumuskan pendekatan penelitian dan transfer teknologi yang tepat untuk para petani miskin.

3.2. Tujuan Tahunan (2005) Tujuan pengkajian tahun ini adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dengan pengembangan sistem usahatani integrasi kambing dan kakao dengan paket teknologi: Pemanfaatan kulit buah kakao dan hijauan untuk pakan kambing. Budidaya hijauan pakan dilahan kakao untuk konservasi. Pengelolaan hama dan penyakit, rehabilitasi tanaman kakao dan penanaman ulang. Efisiensi pemupukan. Membentuk jejaring kerjasama petani yang semakin kuat dan luas.

4.

KELUARAN

4.1. Keluaran Umum (Akhir) Paket teknologi inovatif lengkap dan terpadu (sistem usaha hulu - hilir kakao, integrasi kambing - kakao - hijauan pakan serta teknologi konservasi lahan yang berbasis sumberdaya dan pengetahuan lokal. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani tentang paket teknologi inovatif terpadu dimaksud. Tumbuh dan berkembangnya Lembaga Ekonomi Petani yang dapat menunjang adopsi teknologi secara berkelanjutan. Peningkatan kemampuan petani dalam penguasaan asset produksi, modal, dan pasar agar dapat menerapkan paket teknologi inovatif terpadu. Rumusan penelitian dan transfer teknologi yang tepat untuk petani miskin.

4.2. Keluaran Tahunan (2005) Keluaran yang diharapkan pada pengkajian tahun ini adalah peningkatan pendapatan petani dengan pengembangan sistem usahatani integrasi kambing dan kakao dengan paket teknologi: Pemanfaatan kulit buah kakao dan hijauan untuk pakan kambing. Budidaya hijauan pakan dilahan kakao untuk konservasi. Pengelolaan hama dan penyakit, rehabilitasi tanaman kakao dan penanaman ulang.

Efisiensi pemupukan. Jejaring kerjasama petani yang semakin kuat dan luas.

5. PERKIRAAN DAMPAK Terselenggaranya pengelolaan usaha kakao yang lengkap dan terintegrasi, baik integrasi hulu - hilir kakao, integrasi kambing - kakao - hijauan pakan ternak, serta konservasi lahan sehingga menjadi produktif, efisien, dan berkelanjutan. Terjadi peningkatan dan perluasan lapangan usaha dan/atau lapangan kerja sebagai hasil peningkatan dan perluasan usaha kakao secara terintegrasi. Peningkatan kesejahteraan petani kakao di kabupaten Donggala, khususnya petani miskin. Peningkatan kesejahteraan petani miskin ini diharapkan dapat dicapai melalui peningkatan pendapatan sebesar 40% dibanding sebelum dilakukan litkaji. 6. METODOLOGI 6. 1. Pendekatan dan Tahapan Pengkajian Bertolak dari pemahaman bahwa kemiskinan para petani dimanapun (termasuk para petani di Kabupaten Donggala) merupakan masalah yang besar, yang terjadi karena komplikasi antara masalah kualitas sumberdaya alam, masalah struktural (struktur sosialekonomi) dan masalah kebudayaan, maka penelitian dan pengkajian ini harus dilakukan melalui pendekatan yang holistik dan multi komoditas. Untuk itu diperlukan pendekatan penelitian dan pengkajian yang multidisiplin dengan melibatkan para peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Bersamaan dengan itu, ruang lingkup penelitian dan pengkajian juga harus mencakup penemuan dan pengembangan paket teknologi inovatif dan kelembagaan ekonomi petani yang dapat memfasilitasi berlangsungnya penerapan paket teknologi inovatif secara berkelanjutan bagi pencapaian kesejahteraan seluruh lapisan petani. Oleh sebab itu, program penelitian dan pengkajian ini juga harus melibatkan seluruh lapisan petani yang berada dalam komunitas petani, baik sebagai pelaku maupun sebagai penerima manfaat program. Selain itu, penelitian dan pengkajian yang dilaksanakan

harus tetap mengedepankan keberpihakan kepada lapisan petani yang lebih lemah, agar tidak berdampak munculnya sebagian komunitas petani yang semakin tertinggal. Agar penelitian dan pengkajian ini dapat segera mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi para petani dan juga dapat segera merumuskan solusinya maka penelitian dan pengkajian ini dilaksanakan melalui kombinasi antara studi komunitas/community study dan penelitian aksi/action research. Penelitian dan pengkajian ini juga harus dirancang sebagai penelitian dan pengkajian co-operative yang menempatkan semua yang terlibat sebagai subjek (Heron, 1996). Pihak yang diteliti pun (petani dan aktor lainnya) didudukkan sebagai co-peneliti secara penuh dari peneliti pembawa inisiatif (initiating researcher) dan mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang lokasi penelitian dan pengkajian, apa yang perlu digali dan apa yang perlu dicapai. Antara pencari tahu (the knower) dan pemberi tahu (the known) tidak terpisahkan, mereka bersama-sama dalam sebuah hubungan interaktif atau intersubjektif serta hubungan diantara keduanya merupakan hubungan timbal-balik yang seimbang (co-equal relation). Secara spesifik beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui studi komunitas (community study) adalah : Mengungkap karakteristik sistem sosial-ekonomi-budaya komunitas petani subjek penelitian dan pengkajian, karakteristik sistem ekologi (sumberdaya alam) yang dihuni oleh komunitas petani tersebut, serta sistem pengetahuan indijenus yang dimiliki komunitas local, Merekonstruksi realitas sosial komunitas lokal dan regional, termasuk struktur sosial yang berperan dalam proses produksi. Sementara itu, beberapa tujuan spesifik yang ingin dicapai dari penelitian dan pangkajian aksi (action research and assessment) adalah: Pendampingan kepada para petani dalam proses mereka melakukan refleksi diri untuk mengidentifikasi atau memahami persoalan-persoalan yang sedang dan akan mereka hadapi, khususnya yang terkait dengan persoalan teknologi dan kelembagaan, Melakukan pendampingan kepada para petani dalam menggali beragam potensi kemampuan yang mereka miliki untuk melakukan solusi bagi permasalahan yang dihadapinya sehingga dapat dirumuskan suatu rekomendasi teknologi dan

kelembagaan bagi pemecahan masalah kemiskinan melalui suatu program yang komprehensip yang berbasiskan sumberdaya lokal dan komunitas lokal petani, Melakukan pendampingan kepada petani dalam proses mereka melakukan penumbuhkembangan lembaga ekonomi petani melalui peningkatan kemampuan para petani dalam mengintegrasikan teknologi lokal dan teknologi dari luar, peningkatan kemampuan para petani dalam menguasai aset produksi dan pasar, pemberdayaan petani, serta penumbuh kembangan jejaring komunikasi dan kerjasama petani pada aras lokal dan regional bahkan nasional, Melakukan pendampingan petani dalam rangka implementasi dan evaluasi program serta dalam melaksanakan distribusi manfaat. Gambar 1. Hubungan antara Tahapan dan Metoda Pengkajian IDENTIFIKASI MASALAH (kemiskinan, adopsi teknologi) STUDI KOMUNITAS (FGD, DI, Obeservasi, Rekonst. RS, Analisa Gender, Analisa Bio- Fisik)

INTEGRASI PENGETAHUAN PENELITI & PETANI (teknologi, kelembagaan)

STUDI KOMUNITAS (FGD, Obeservasi, Analisa Kelayakan)

REKOMENDASI (teknologi, kelembagaan)

WORK SHOP (Proses membangun kesepahaman, jejaring kerjasama, sinergi modal sosial & ekonomi)

IMPLEMENTASI (teknologi, kelembagaan)

ACTION RESEARCH (on farm research, pelatihan, pendampingan)

ASSESMENT/ PENYEMPURNAAN (teknologi, kelembagaan)

MONITORING & EVALUASI (Farm Recording, FGD, Obeservasi, Catatan harian)

10

Studi komunitas adalah metoda dimana didalamnya terdapat masalah tentang alam, interkoneksi, atau dinamika perilaku dan sikap yang dieksplorasi melalui perilaku dan sikap individu yang menyusun kehidupan suatu komunitas tertentu (Arensberg et al., 1972). Metoda ini dapat digunakan dalam mempelajari perilaku dan sikap. Dalam

pendekatan studi komunitas data dan informasi dikumpulkan melalui metoda: focus group discussion (FGD), observasi partisipatif, wawancara mendalam (Deep

Interview/DI) terhadap informan kunci, rekonstruksi realitas sosial (pengalaman, ungkapan, dan pemahaman makna), serta analisa laboratorium. Gambar 1 berikut

menunjukkan Tahapan penelitian dikaitkan dengan metoda penelitian yang digunakan pada setiap tahapan tersebut. Pada studi komunitas, berbagai data informasi yang akan didalami merupakan karakteristik sosial-ekonomi-budaya serta kondisi bio-fisik atau ekologi. Karakteristik sosial-ekonomi-budaya yang perlu lebih didalami melalui studi komunitas adalah : Tingkat pengetahuan, keterampilan, dan pemaknaan petani terhadap agribisnis kakao yang semuanya akan mendorong motivasi serta akan meningkatkan kemampuan petani dalam usahatani kakao dan usaha lainnya. Struktur sosial para petani dan aktor terkait lain dalam kelembagaan agribisnis. Kemampuan finansial/akumulasi modal petani, komunitas lokal dan regional serta kemampuan pemerintah lokal (desa) dan regional (kabupaten dan propinsi). Sarana dan prasarana yang tersedia pada komunitas lokal dan regional. Partisipasi anggota keluarga petani terhadap kegiatan agribisnis dan non agribisnis (struktur alokasi tenaga kerja dalam keluarga dan dalam komunitas). Strategi keluarga petani dalam mengatasi kemiskinan (strategi pola nafkah ganda, migrasi dan strategi lainnya). Potensi networking dan modal sosial (social capital) diantara para petani dan aktor terkait lain dalam komunitas lokal maupun masyarakat regional dalam melakukan sistem agribisnis. Potensi konflik serta potensi manajemen konflik para petani dan aktor terkait lain dalam komunitas lokal maupun masyarakat regional dalam melakukan sistem agribisnis. Struktur biaya usaha dan struktur pendapatan rumah tangga.

11

Beragam kendala dan atau tantangan yang dihadapi petani dalam melaksanakan sistem agribisnis dan atau kegiatan usaha lainnya. Beragam potensi dan peluang yang dihadapi petani dalam melaksanakan sistem agribisnis dan atau kegiatan usaha lainnya. Perkembangan partisipasi petani dalam sistem agribisnis. Luas, pola, distribusi, dan fragmentasi penguasaan aset lahan dan aset lainnya. Perkembangan tingkat kesejahteraan petani. Adapun data bio-fisik atau data ekologi yang perlu dikumpulkan melalui studi komunitas adalah : Kondisi iklim, topografi, dan kesuburan tanah di lahan petani. Kalender musim pertanaman. Teknologi konservasi lahan dan pemanfatan air yang umum dilaksanakan petani serta pengetahuan lokal lain dalam hal pengelolaan sumberdaya alam. Kondisi tanaman, ternak, hijauan pakan ternak yang ada pada komunitas petani, baik produksi maupun pertumbuhannya. Pola tanam yang umum dilaksanakan petani. Pola usahatani yang umum dilaksanakan petani. Potensi sumberdaya air. Sementara itu, dalam melaksanakan Penelitian Aksi dilakukan melalui on farm research, pelatihan, dan pendampingan penerapan paket teknologi inovatif dan kelembagaan yang mendukung penerapan teknologi dimaksud secara berkelanjutan. Beberapa landasan yang harus diikuti dalam penelitian aksi adalah : partisipasi genuine semua pelaku sejak perencanaan; pelaksanaan; eveluasi; pengawasan; sampai distribusi manfaat, pelaksanannya berbasis pada komunitas lokal; sumberdaya lokal; dan sistem pengetahuan indijenus, mengedepankan proses pemberdayaan komunitas petani melalui penguatan/empowering; membangun jaringan/relation; dan fasilitasi/services, serta melalui proses experential learning. Pertimbangan yang melandasi integrasi antara sistem pengetahuan petani (indijenus) dengan sistem pengetahuan ilmuwan (sains) adalah sebagaimana

dikemukakan Rambo (1984) bahwa antara pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas

12

petani dengan pengetahuan yang dimiliki oleh para ilmuwan ada yang overlapping tetapi ada juga pengetahuan yang hanya dimiliki oleh petani atau hanya dimiliki oleh ilmuwan. Bahkan pengetahuan yang dimiliki komunitas petani jauh lebih besar dibanding pengetahuan yang dimiliki oleh ilmuwan, apalagi dalam praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam pengetahuan para petani jauh lebih luas. Apa yang menjadi

pengetahuan para petani merupakan hasil percobaan mereka sendiri atau hasil belajar dari para leluhurnya karena pengetahuan tersebut diturunkan dari generasi ke generasi. Akan tetapi, dipihak lain, meskipun pengetahuan para ilmuwan umumnya sempit tetapi pengetahuan mereka relatif lebih mendalam. Oleh sebab itu, untuk memaksimalkan manfaat dalam pengelolaan sumberdaya alam maka diperlukan integrasi dan kerjasama secara holistik dan setara diantara keduanya. Integrasi antara sistem pengetahuan indijenus dengan pengetahuan sains berlangsung dengan tujuan untuk memajukan pertanian dan menjaga kelestarian lingkungan, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan bagi seluruh petani yang berda pada berbagai lapisan. Interaksi kedua sistem pengetahuan tersebut dapat dilaksanakan melalui mekanisme berikut: petani mencoba suatu cara untuk mengatasi persoalannya, cara yang mereka temukan disampaikan kepada ilmuwan (penyuluh, peneliti, akademisi), kemudian cara petani tersebut dimodifikasi dan dikembangkan oleh ilmuwan, dan akhirnya cara tersebut diberikan kembali kepada petani dan kemudian para petani menerapkannya (Gambar 2). Melalui pendekatan ini, berlangsung proses bersama yang kreatif dalam mengidentifikasi kebutuhan dan peluang, membangkitkan informasi dan inovasi, mengkonsolidasikan semuanya dengan praktek pertanian, dan menerjemahkan semuanya ke dalam tujuan dan aktivitas belajar untuk mempertinggi performan petani. Gambar 2. Proses Integrasi Pengetahuan Ilmuwan dan Pengetahuan Petani Tentang Teknologi dan Kelembagaan

KOMUNITAS PETANI

Teknologi & Kelembagaan Indijenus Teknologi & Kelembagaan yang dimodifikasi

ILMUWAN (PENELITI, PENYULUH, AKADEMISI)

13

Dengan

dipahaminya

kekuatan

dan

kelemahan

masing-masing

sistem

pengetahuan sebagaimana dijelaskan diatas, maka sebagaimana dikemukakan Dewalt (1994) sangatlah penting kita menyatukan sistem pengetahuan indijenus dengan pengetahuan sains sebagai sumber kearifan yang komplementer. mengembangkan dan menggunakan sistem pengetahuan Kedua pihak yang serta yang

indijenus

mengembangkan dan menggunakan sistem pengetahuan sains dibatasi oleh tatacara yang telah diterimanya dan konteks dimana mereka hidup. Kuncinya adalah menyediakan untuk kedua sistem pengetahuan dengan lebih banyak kesempatan keduanya untuk saling memberikan informasi dan saling mendorong. Dengan adanya integrasi diantara keduanya maka terjadi perbaikan dan peningkatan manfaat ekosistem. Tabel 1. Integrasi antara Pengetahuan Indijenus dengan Pengetahuan Sains Alat Yang Digunakan dalam Studi Holistik dan Umum Campuran observasi dan eksperimen Mutable mobile Karakteristik Penggunaan Sumberdaya Tergantung pada sumberdaya local dan secara moderat dicampur dengan sumberdaya luar yang eksotik (luar biasa) Input rendah dengan penambahan input kritis secara minimal Penggunaan lahan secara intensif Padat kerja tetapi tidak berat Berbagi resiko (iklim dan pasar) Hasil dan Dampak Produksi tinggi karena tenaga kerja dan input energi Secara budaya terdapat kecocokan Memenuhi ketahanan pangan dan dapat memenuhi kenyamanan hidup, baik produsen maupun konsumen Berkelanjutan dengan kepadatan penduduk yang tinggi Regenerasi Sebagai sebuah pengkajian yang dilakukan secara terpadu antara studi komunitas dan penelitian aksi, maka sinergi keduanya pada setiap tahapan program akan menentukan optimalisasi pencapaian tujuan penelitian ini. Paduan antara kedua

metodologi pengkajian dengan ruang lingkup aktivitas program dirinci sebagaimana tertera pada Tabel 2.

14

Tabel 2. Kaitan antara Metodologi Studi dan Ruang Lingkup Aktivitas Program No. I. A Kegiatan/Komponen Program Metoda SK PA V V

PENUMBUHAN PROGRAM Studi Pendalaman Karakteristik Sosial-Ekonomi-Budaya-Bio Fisik B Perumusan Bersama Program 1 FGD Aras Komunitas 2 Workshop Aras Regional II. IMPLEMENTASI PROGRAM A Penyediaan Paket Teknologi Inovatif Terpadu Spesifik Lokal 1 Uji Adaptasi Paket Teknologi 2 Penguatan Transfer Teknologi B Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani (LEP) 1 Penumbuhan LEP (KT KUB) 2 Penguatan LEP Melalui Peningkatan Kapasitas Usaha, Pengembangan Pasar, dan Kemitraan Usaha C Penumbuhkembangan Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) 1 Pengembangan komunikasi dan informasi 2 Pengintegrasian masyarakat D Pemberdayaan Petani 1 Peningkatan Pengetahuan dan Motivasi Petani 2 Peningkatan Keterampilan Petani Melalui Pelatihan, Pendampingan, dan Asistensi 3 Penguatan Akses Petani Terhadap Teknologi dan Input untuk Adopsi Teknologi 4 Penumbuhan Modal Petani dan atau Penyediaan Kredit III STUDI KINERJA /PENYEMPURNAAN PROGRAM (Analisa Ekonomi, Analisa Pendapatan Rumah Tangga, Analisa Gender, Analisa Dinamika Kelompok, Analisa Proses Adopsi Teknologi) Keterangan : SK = Studi Komunitas, PA = Penelitian Aksi

V V

V V V V V V

V V

V V

V V V V

Mengingat kompleksnya persoalan dan banyaknya aktivitas yang perlu dilakukan serta agar pengkajian ini memberikan hasil yang maksimal, maka waktu yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian dan pengkajian secara lengkap adalah 4 tahun. Sebagai sebuah pengkajian yang berkelanjutan, maka tahapan pengkajian harus disusun secara berurutan dimana tahapan yang lebih awal merupakan landasan pijak bagi tahapan berikutnya.

15

Tabel 3. Ruang Lingkup dan Tahapan Pengkajian No I. A B 1 2 II. A 1 2 B 1 2 C 1 2 D 1 2 3 4 III Kegiatan/Komponen Program PENUMBUHAN PROGRAM Studi Pendalaman Karakteristik Sosial-Ekonomi-BudayaBio Fisik Perumusan Bersama Program FGD Aras Komunitas Workshop Aras Regional IMPLEMENTASI PROGRAM Penyediaan Paket Teknologi Inovatif Spesifik Lokal Uji Adaptasi Paket Teknologi Penguatan Transfer Teknologi Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani (LEP) Penumbuhan LEP (KT KUB) Penguatan LEP Melalui Peningkatan Kapasitas Usaha, Pengembangan Pasar, dan Kemitraan Usaha Penumbuhkembangan Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) Pengembangan komunikasi dan informasi Pengintegrasian masyarakat Pemberdayaan Petani Peningkatan Pengetahuan dan Motivasi Petani Peningkatan Keterampilan Petani Melalui Pelatihan dan Pendampingan Penguatan Akses Petani Terhadap Teknologi dan Input untuk Adopsi Teknologi Penumbuhan Modal Petani dan atau Penyediaan Kredit STUDI KINERJA /PENYEMPURNAAN PROGRAM (Analisa Ekonomi, Analisa Pendapatan Rumah Tangga, Analisa Gender, Dinamika Kelompok, Analisa Proses Adopsi Teknologi) Tahun 1 2 3 V V

V V

V V V

V V V

V V

V V

V V V

V V V

V V V V

Berkaitan dengan itu, maka pengkajian ini akan dibagi menjadi tiga tahapan subprogram, yaitu; penumbuhan program, implementasi program, dan studi

kinerja/penyempurnaan program. Kemudian didalam setiap sub-program terdapat beberapa aktivitas, yang mana antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan atau saling terkait secara sinergis (Tabel 3).

16

6.2. Pemanfaat (beneficiaries) Pengkajian Pemanfaat (beneficiaries) pengkajian ini adalah para petani pemilik penggarap yang termasuk kategori keluarga miskin (petani miskin). Jumlah petani miskin yang akan dilibatkan dalam pengkajian pada skala pengembangan ini sebanyak sekitar 40-60 orang/keluarga yang kebun kakaonya berada satu hamparan dan kemudian mereka akan bergabung dalam wadah kelompok tani. Lebih lanjut mereka akan bergabung dalam sebuah kelompok usaha bersama. Para petani yang akan dilibatkan adalah para petani miskin dengan ciri-ciri sebagai berikut: pendapatan rata-rata lebih kecil dari Rp 1 juta/kapita/tahun, memiliki lahan sempit atau kurang dari 1 ha, berproduktivitas rendah, dan merambah sumberdaya hutan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Para petani tersebut akan dipilih dari desa miskin, yang dicirikan oleh lebih dari 75% penduduknya merupakan penduduk miskin. Pemilihan desa miskin sebagai lokasi penelitian akan mengacu pada hasil PRA yang dilakukan oleh BP2TP dan BPTP Sulteng serta akan diputuskan bersama dengan institusi terkait di tingkat kabupaten. Penentuan petani peserta pengkajian juga akan dipilih berdasarkan musyawarah di tingkat lokal. Keberpihakan kepada para petani miskin akan diwujudkan dalam bentuk penelitian yang berbasis pada sumberdaya alam; sumberdaya manusia; dan pengetahuan lokal (terutama para petani pemanfaat atau beneficiaries), bersifat partisipatif (petani ikut serta dalam keseluruhan proses penelitian: perencanaan, pelaksanaan/pengelolaan penelitian di on farm, evaluasi, dan distribusi manfaat), mengakui pluralitas/keragaman, (yang paling prioritas bagi petani dan yang paling mungkin dilakukan petani), memberi kesempatan kepada petani untuk melakukan proses belajar secara bertahap namun berkelanjutan, hubungdan antara peneliti dan petani adalah hubungan subjek-subjek yang setara (co-equal relation). Hubungan yang setara ini diharapkan akan menjadi landasan berlangsungnya komunikasi yang efektif karena ditopang oleh tiga klaim berikut: kebenaran (truth) yaitu kesepakatan tentang realitas permasalahan yang dihadapi oleh petani miskin, ketepatan (rightness) yaitu kesepakatan tentang tindakan yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut, dan kejujuran (sincerety) yaitu kesepakatan antara dunia batiniah dan ekspresi.

17

6.3. Paket Teknologi Inovatif Budidaya Paket teknologi inovatif yang harus dihasilkan oleh pengkajian ini adalah merupakan paket teknologi lengkap dan terpadu yang terintegrasi secara vertikal (sistem integrasi usaha hulu dan hilir kakao) maupun yang terintegrasi secara horizontal (sistem integrasi ternak + kakao + hijauan pakan ternak) serta didukung oleh paket teknologi konservasi dan pemanfaatan air. Dengan demikian usaha yang dijalankan para petani dapat meningkatkan produktivitas lahan, dapat menghasilkan mutu produk yang sesuai dengan persyaratan pasar sehingga para petani memperoleh harga yang lebih baik, serta dapat meningkatkan keamanan perolehan pendapatan sebagai hasil diversifikasi usaha yang mereka jalankan. Lebih lanjut keadaan usaha tersebut diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan para petani secara berkelanjutan sehingga mereka dapat meraih kesejahteraan. Sejalan dengan Panduan Litkaji Pengembangan Inovasi Pertanian di lahan marjinal PFI3P, beberapa catatan yang harus dipertimbangkan dalam menghasilkan paket teknologi inovatif dimaksud adalah bahwa teknologi yang akan dikembangkan bersifat spesifik lokasi, unggul, sudah teruji sehingga layak secara sosial ekonomi, prospektif, low cost dan/atau low external input sehingga gap antara persyaratan teknis dengan kemampuan petani relatif kecil, low risk sehingga tetap menjaga stabilitas pendapatan petani, berbasis sumberdaya alam dan sumberdaya masyarakat lokal serta terintegrasi dengan teknologi lokal yang unggul (indigeneous technology), secara bertahap meningkatkan surplus petani sehingga mendorong kemandirian petani. Dengan demikian paket teknologi tersebut dapat segera diterapkan para petani secara berkelanjutan dan berdampak pada peningkatan pendapatan petani miskin karena adanya peningkatan produksi dan atau adanya efisiensi usaha. 6.3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pengkajian ini merupakan kegiatan lanjutan yang akan dilaksanakan di desa Jono-Oge dan desa Tondo, kecamatan Sirenja, kabupaten Donggala, provinsi Sulawesi Tengah yaitu pada zona dataran rendah lahan kering. Waktu pelaksanaan mulai bulan Mei hingga Desember 2005.

18

6.3.2. Perbaikan Budidaya Tanaman Kakao Berasarkan masalah yang dilaporkan dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh BP2TP, BPTP maupun PSE, maka jenis teknologi yang disarankan untuk diujicobakan yaitu : a. Pemangkasan b. Pemupukan c. Pengendalian Hama dan Penyakit d. Rehabilitasi Tanaman Kakao Dewasa e. Penanaman ulang (replanting) untuk tananam kakao yang mati Dari teknologi yang diujicobakan (pola introduksi) ini diharapkan produktivitas kakao dapat meningkat 50 100 % dan mutu biji kakao juga meningkat dari rata-rata grade 3 menjadi minimal rata-rata grade 2. Sebagai pembanding produktivitas kakao, maka pada lahan demplot milik koperator akan dilakukan tanpa teknologi introduksi (pola petani). Informasi berikut merupakan informasi lengkap tentang paket teknologi integrasi hulu + hilir kakao yang telah dihasilkan dalam penelitian sebelumnya oleh Puslit Kopi dan Kakao serta Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Keadaan ini lebih lanjut dapat membuka peluang akan meningkatnya harga yang diterima petani. Berbagai paket

teknologi tersebut merupakan teknologi-teknologi yang potensial untuk disinergikan dengan pengetahuan lokal (petani) agar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan petani serta kemudian dilakukan uji adaptasi sesuai dengan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia lokal. a. Pemangkasan Teknologi pangkasan yang diintroduksikan adalah teknologi pangkasan bentuk untuk tanaman TBM (tanaman belum menghasilkan/tanaman muda) dan teknologi pangkasan pemeliharaan (produksi) untuk tanaman TM (tanaman menghasilkan/tanaman dewasa). Pangkasan Bentuk Pangkasan bentuk dilakukan untuk membentuk kerangka tanaman yang kuat dan seimbang. Pangkasan bentuk diterapkan pada tanaman TBM yang berumur 2-4 tahun.

19

Cabang-cabang primer dari jorket yang dipelihara berjumlah tiga dan dipilih yang tumbuhnya kuat dan seimbang. Pangkasan Pemeliharaan dan Produksi Pangkasan pemeliharaan dan produksi dilakukan untuk mempertahankan kerangka yang sudah terbentuk, memperoleh distribusi daun yang merata, memperoleh aerasi yang baik, dan merangsang pembungaan. Pangkasan ini dilakukan pada tanaman dewasa (TD). Alat yang digunakan untuk pemangkasan adalah: gunting pangkas biasa, gunting pangkas tangkai panjang, gergaji pangkas dan tangga. b. Pemupukan. Jenis dan dosis pupuk yang tepat adalah berdasarkan pada faktor tanaman dan faktor lingkungan. Hasil kajian yang telah dilakukan pada tahun pertama di desa JonoOge dan desa Tondo, kecamatan Sirenja, kabupaten Donggala pada tahun 2004 menunjukkan bahwa untuk lahan tanaman kakao, unsur N dalam tanah umumnya rendah, unsur P bervariasi dari rendah sampai tinggi, sedangkan unsur makro lainnya rata-rata sedang sampai tinggi. Berdasarkan dari kajian tersebut maka jenis dan dosis pupuk yang perlu dicoba untuk lahan tanaman kakao di desa Jono-Oge dan desa Tondo adalah sebagai berikut: Tabel 4. Dosis Pupuk pada Lahan Tanaman Kakao di Desa Jono-Oge dan Desa Tondo Jenis Pupuk Urea SP-36 KCl Pupuk Bokashi (kotoran kambing) Pemupukan I (gram/pohon/6 bulan) 200 100 150 1.000-2.000 Pemupukan II (gram/pohon/6 bulan) 200 100 150 1.000-2.000

20

Bahan dan alat yang digunakan untuk pemupukan adalah: urea, SP-36, KCl, pupuk Bokashi (kotoran kambing), ember, sekop, cangkul, takaran pupuk, timbangan. c. Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian hama dan penyakit terutama ditujukan untuk jenis hama penggerek buah kakao (PBK, Conopomorpha cramerella), Helopeltis sp., dan penyakit busuk buah kakao (Phytophthora palmivora). Jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ini merupakan yang dominan pada pertanaman kakao di kabupaten Donggala. Teknologi pengendalian hama yang akan diterapkan adalah cara kultur teknik dan sanitasi, perlakuan penyarungan buah, dan penggunaan insektisida apabila terpaksa. Paket teknologi ini digunakan atas pertimbangan bahwa teknologi tersebut aman bagi lingkungan, murah, dan sesuai dengan kondisi iklim di Donggala. Aplikasi pengendalian dilakukan dengan menurunkan populasi hama PBK dengan teknologi pembungkusan buah kakao dengan plastik (sarungisasi). Perhitungan Intensitas serangan PBK dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Sulistyowati (2003) sebagai berikut: Z (n x z) P = ------------------ x 100% N x Z Keterangan P n z N Z Katagori 0 = Intensitas serangan (%). = Buah contoh ke i pada katagori serangan. = Katagori serangan pada buah kei. = Jumlah buah yang diamati. = Katagori serangan tertinggi = Bila biji semua mudah dikeluarkan dari kulit buah dan antar biji tidak saling melekat. = Bila biji semua mudah dikeluarkan dari kulit buah dan antar biji tidak terlalu lengket (serangan ringan). = Bila biji saling lengket tetapi masih dapat dikeluarkan dari kulit buah saling melekat (serangan sedang).

Katagori 1

Katagori 2

21

Katagori 3

= Bila biji saling lengket dan tidak dapat dikeluarkan dari kulit buah saling melekat (serangan berat).

Pengendalian Helopeltis dengan penyemprotan insektisida sebanyak dua kali menggunakan insektisida piretroid, interval aplikasi pertama dan kedua adalah seminggu. Seminggu setelah penyemprotan yang kedua baru dilakukan pemasangan sarang semut dan inokulasi kutu putih (Cataenococus hispidus). Kegiatan ini telah dilaksanakan pada TA. 2004. TA. 2005 kegiatan pengkajian dilanjutkan pada pengendalian hama dan penyakit terutama untuk jenis hama penggerek buah kakao (PBK), hama penggerek batang, penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora) dan kanker batang dengan teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) yaitu pemangkasan, sanitasi dan pemanfaatan jamur Beauveria bassiana. Pengendalian penyakit busuk buah dan kanker batang dilakukan dengan penyemprotan fungisida. Paket teknologi ini digunakan atas pertimbangan bahwa teknologi tersebut aman bagi lingkungan. Pembanding dari kegiatan pengendalian hama dan penyakit pada tanaman kakao dilakukan di kebun demplot milik petani koperator yang merupakan kebiasaan petani tanpa pengendalian hama dan penyakit (kontrol). Bahan dan alat yang digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit adalah: sarang semut, plastik sarung, karet gelang, Beauveria bassiana, alat semprot (sprayer), fungisida, ember plastik ukuran 15 lt, corong plastik, pipa paralon, dan penyungkit. d. Rehabilitasi Tanaman Kakao Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk melakukan rehabilitasi tanaman kakao dewasa, yaitu cara sambung-samping dan cara sambung-pucuk atau okulasi pada tunas air. Sambung samping Sambung samping merupakan rehabilitasi tanaman yang masih sehat tetapi perlu direhabilitasi. Pelaksanaannya pada awal musim hujan, saat tanaman tumbuh aktif.

Penerapannya pada batang bawah yang sehat dan tumbuh aktif (kulit batang mudah dibuka).

22

Sambung-pucuk Tanaman yang kurang sehat (kulit batangnya lengket), disarankan untuk melakukan teknik sambung pucuk pada tunas air yang sengaja dipelihara.

e. Penanaman Ulang untuk Tananam Kakao yang Mati Penanaman ulang akan dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan jumlah tanaman kakao 500 pohon/0,5 ha. Jenis klon yang akan digunakan adalah jenis kakao unggul hibrida yang bibitnya akan didatangkan dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember. Pembibitan tanaman kakao dilakukan di lahan petani koperator yang bersedia digunakan lahannya. Bahan dan alat yang digunakan untuk rehabilitasi tanaman kakao dewasa dan penanaman ulang tanaman (mati) adalah: entres klon unggul seperti SCA6, TSH 858, UIT I dan ICS 60, benih kakao unggul hibrida, plastik pembungkus estris, tali rafia, polybag hitam, atap rumbia, daun kelapa, tanah pasir, pupuk kandang, pupuk urea, gunting pangkas biasa, pisau okulasi, gunting, cangkul. Seumua teknologi tersebut akan diintroduksikan secara bertahap agar secara alami sesuai dengan kemampuan keluarga petani untuk melaksanakannya. Adapun tahapan-tahapan tersebut akan dilaksanakan selama 4 tahun sebagaimana tertera pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Paket Teknologi Inovatif Integrasi Hulu-Hilir Usaha Kakao Komponen Teknologi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pemangkasan tanaman Pemupukan Pengendalian hama dan penyakit Rehabilitasi tanaman kakao dewasa Teknologi pasca panen dan pengolahan kakao Teknologi Konservasi Tanah dan Air Tahun Ke 1 2 3 V V V V V V V V V V V V V V

23

6.3.3. Integrasi Kambing Kakao - Hijauan Pakan Sebagaimana litkaji untuk tanaman kakao, kegiatan litkaji paket teknologi integrasi kakao - kambing - hijauan pakan dimulai dengan melakukan sinergi antara pengetahuan para peneliti dengan pengetahuan lokal (petani) melalui Focus Group Discussion pada aras komunitas dan Workshop pada Aras Regional (kabupaten) sehingga dapat dirumuskan paket teknologi yang sesuai dengan kebutuhan para petani serta sesuai dengan keadaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia lokal. Kemudian terhadap paket teknologi yang telah dirumusknan bersama tersebut dilakukan uji adaptasi untuk menyempurnakan paket teknologi tersebut. Ternak kambing sangat cocok untuk petani miskin karena investasinya relatif kecil (dibanding sapi), cepat dewasa, pemeliharaannya tidak rumit, dan cepat beranak (dalam 1,5 tahun dapat dua kali beranak). Adapun paket teknologi pengusahaan ternak kambing yang diintegrasikan dengan usaha kebun kakao dan hijauan pakan ternak yang merupakan hasil penelitian sebelumnya dan siap disinerjikan dengan pengetahuan para petani dapat dirinci sebagai berikut : a. Skala Pemilikan Ternak Kambing Skala pemilikan pemilikan ternak kambing untuk layak diusahakan sebagai tambahan pendapatkan keluarga adalah berkisar 5-7 ekor. Disamping itu, jumlah ternak kambing ini dapat mencukupi kebutuhan kotoran kambing (manure) sebagai bahan baku pembuatan pupuk bokashi untuk luasan kebun kakao 1 ha. Bahan yang digunakan untuk penyediaan kambing adalah: ternak kambing betina dan jantan. b. Pembuatan Kandang Kandang yang akan dibuat adalah model panggung agar lebih mudah mengumpulkan kotoran kambing. Pembuatan kandang harus memenuhi syarat teknis agar kambing yang tinggal didalam kandang merasa nyaman dan sehat. Bahan

pembuatan kadang menggunakan bahan baku lokal yang tersedia dilokasi pengkajian. Bahan dan alat yang digunakan untuk pembuataan kandang adalah: atap rumbia, papan apkir/sempi, kayu balak, paku, tali rotan, gergaji, palu, pahat, meteran.

24

c. Perbaikan Pakan Perbaikan pemberikan pakan pada ternak kambing diharapkan akan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian yang tinggi yang diikuti oleh bobot badan akhir yang tinggi. Pakan yang akan diberikan pada ternak kambing (pola introduksi) dengan komposisi; 60% rumput (rumput alam dan atau setaria) + 20% gamal + 20% kulit buah kakao (KBK). Sebagai pembanding, ternak kambing hanya diberikan rumput alam secukupnya berdasarkan kebiasaan peternak (pola peternak). Semua jenis pakan yang digunakan dalam pengkajian ini akan dianalisa untuk mengatahui kandungan nutrisinya seperti bahan kering, protein kasar dan serat kasar. Untuk meningkatkan nilai nutrisi KBK maka akan dilakukan uji fermentasi kulit buah kakao untuk pakan kambing dengan menggunakan kapang Trichorderma viridae. Bahan dan alat yang digunakan untuk perbaikan pakan adalah: KBK, daun gamal, rumput alam/setaria, Trichorderma viridae, urea, air, alat perebusan (panci besar),

parang dan kompor minyak tanah/tungku, timbangan. c. Introduksi Hijauan Pakan Penyediaan pakan tambahan untuk ternak kambing dengan penanaman rumput unggul dan leguminosa di pekarangan/dekat kandang kambing, sebagai tanaman konservasi di kebun kakao dan pembuatan kebun bibit hijauan pakan desa. Bahan dan alat yang digunakan untuk penanaman hijauan pakan adalah: bahan tanam rumput unggul, benih leguminosa, pupuk kotoran kambing, cangkul dan parang. d. Pembuatan Kompos dari Kotoran (Feses) Kambing Sebagaimana tertera pada gambar 3, integrasi kakao-kambing-pakan ternak akan memberikan tambahan keuntungan petani selain melalui penjualan kakao, juga melalui penjualan kambing dan pupuk kandang. Selain itu, keuntungan petani juga akan

diperoleh melalui efisiensi penggunaan pupuk buatan sebesar 40% karena dari usaha kambing dan kakao akan diperoleh pupuk kandang serta efisiensi penggunaan tenaga kerja untuk mencari pakan kambing (merumput) sebesar 50 % karena pakan kambing terdiri kulit kakao + hijauan (leguminosa). Selain itu, penanaman pakan melalui cara ini sangat penting untuk antisipasi kesulitan memperoleh pakan pada musim kering.

25

Teknologi ini sejalan dengan konsep Low External Input Sustainable Agriculture Development (LEISAD).
G a m b a r 3 . Iinte g ra s i K a m b ing K a k ao - H M T 3. Iin te HM
LE G U M

K U LIT K A K A O

P A KA N

P U P U K TA N A M AN

E fisiensi P upuk 40%

P U P UK K A N D AN G

E fisiensi TK 50%

P E R K E BU N A N K AK A O

RUMAH TANG G A

U S A HA TE R NA K

Jual K akao K ering

Jual P upuk K andang P en ing kata n P enda patan

Jual K am bing

PENDAPATAN

d. Produksi dan Reproduksi Produksi kambing betina diamati dengan melihat pertambahan bobot badan harian (PBBH). Penimbangan dilakukan setiap dua minggu sekali pada pagi hari sebelum diberikan pakan. Penimbangan ini dilaksanakan selama 2,5 bulan untuk semua kambing betina yang dikaji. PBHH kambing betina dihitung dengan menggunakan rumus: PBBH = B - A L dimana: B : bobot badan akhir A : bobot badan awal L : lama pemeliharaan Perkembangan reproduksi dengan menlakukan pencatatan (recoding) pada kambing yang bunting, melahirkan dan jumlah kelahiran anak. 6.3.4. Teknologi Konservasi Tanah dan Air Dalam upaya meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan dalam jangka panjang sebagai akibat terjadinya degradasi lahan maka perlu diterapkan inovasi teknologi konservasi. Beberapa teknologi konservasi yang potensial untuk diterapkan di

26

lahan petani adalah gulud pemanen air, strip rumput, rorak + slot mulsa dan alley cropping. Penerapan teknik konservasi tanah dan air dilaksanakan di lahan petani secara partisipatif dengan luasan 10 ha. Petani diberi bantuan benih dan bibit dalam penerapan teknik konservasi strip rumput dan alley cropping. Dalam usahatani konservasi dan integrasi tanaman-ternak diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Pakan ternak dapat berasal dari rumput strip dan legum dari alley cropping, sehingga teknik konservasi dan ternak merupakan komponen yang saling mendukung satu dengan lainnya. 6.4. Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani (LEP) Untuk melakukan aktivitas produktif, para petani selain perlu menguasai teknologi juga harus mampu menjalin beragam hubungan sosial dalam bentuk kelembagaan. Hal ini diperlukan karena penguasaan sumber daya dan informasi tidak merata. Lebih lanjut Hagen (1971) menjelaskan, bahwa kemampuan suatu masyarakat dalam penguasaan kelembagaan turut menentukan apakah masyarakat tersebut tetap bertahan dalam ketradisionalannya atau bergerak menuju suatu masyarakat yang lebih maju. Mengacu pada pengertian tersebut, maka kegiatan pekebun, baik yang berupa pembangunan, pemeliharaan, dan pemanenan ataupun yang berupa pemasaran hasil produksi, merupakan aktivitas produktif, karena kegiatan tersebut sebenarnya merupakan upaya manusia untuk merubah sumber daya alam menjadi suatu barang yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, berlangsungnya kegiatan para pekebun tidak akan terlepas dari berbagai hubungan mereka dengan pihak lain, terutama yang berkaitan dengan kepentingan mereka dalam menguasai sarana produksi, modal, tenaga kerja, serta informasi dan jaringan pasar. Apalagi produk yang dihasilkan para petani perkebunan umumnya bukan barang yang secara langsung dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya, tetapi merupakan komoditas yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Oleh sebab itu, keberhasilan aktivitas usaha yang mereka lakukan tidak akan terlepas dari kuantitas kelembagaan yang ditumbuhkembangkan untuk mendukungnya. Kelembagaan yang sudah ditumbuhkan pada TA. 2005 disebut Lembaga Ekonomi Petani (LEP) terus dikembangkan.

27

Lembaga Ekonomi Petani yang telah ditumbuhkembangkan ini harus mampu memperluas jangkauan petani dalam memperoleh kesempatan usaha dan kesempatan kerja para petani yang disertai dengan peningkatan jangkauan petani dalam memperoleh kesempatan menikmati nilai tambah yang lebih baik. Oleh sebab itu wilayah partisipasi LEP perlu diperluas tidak hanya pada kegiatan produksi dan kegiatan pengolahan hasil produksi menjadi bahan olah saja. Secara bertahap, wilayah partisipasi LEP harus

bergerak vertikal pada subsistem agribisnis lain, yakni (1) pembuatan dan distribusi sarana produksi, (2) pemasaran bahan olah, (3) pengolahan bahan olah menjadi bahan baku, (4) pemasaran bahan baku, (5) industri barang jadi, dan (6) pemasaran barang jadi. Untuk sub-sistem 5 dan 6, bila kemampuan LEP tidak memungkinkan dapat dilakukan melalui mekanisme kemitraan dengan perusahaan mitra. Hal ini dilakukan setelah LEP memperoleh penguatan sehingga dapat menghindari kemungkinan LEP hanya menjadi alat yang melapangkan jalan ekspliotasi petani oleh perusahaan mitra. Bilamana pada tahap awal partisipasi LEP belum merupakan partisipasi langsung, paling tidak LEP memperoleh kesempatan memiliki saham serta memperoleh kesempatan belajar sambil bekerja pada perusahaan mitra yang bergerak pada subsistem agribisnis dimaksud. Untuk itu, LEP perlu diperkuat kemampuannya tidak hanya sekedar kelompok tani/kelompok indijenus tetapi juga kelembagaan yang mempunyai skala usaha lebih besar dan memiliki wilayah usaha lebih luas, yakni Kelompok Usaha Bersama dan Kemitraan Usaha (Gambar 4). Hal ini perlu dilakukan agar bargaining position pekebun semakin kuat. Gambar 4. Pengembangan Lembaga Ekonomi Petani
KELOMPOK USAHA BERSAMA

KELOMPOK TANI

KEMITRAAN USAHA

Manajemen Produksi di Kebun dan Pengolahan Pasca Panen

Manajemen
Penyediaan input & modal

Pengadaan input & modal Pemasaran antar


pulau atau ekspor

Manajemen
Pemasaran hasil (bahan baku)

Pengolahan hilir (bahan


setengah jadi atau bahan jadi)

28

Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani (LEP) sebaiknya dilakukan secara bertahap sesuai dengan tahapan kemampuan sumberdaya manusia petani. Untuk itu, paling tidak diperlukan waktu empat tahun. Selama kurun waktu tersebut tahapan penumbuhkembangan LEP akan dilakukan sebagai berikut (Tabel 6) : 1. 2. 3. 4. Tahun Pertama : Penumbuhan Kelompok Tani, Tahun Kedua Tahun Ketiga : Penguatan Kelompok Tani menjadi Kelompok Usaha Bersama : Penumbuhan Kemitraan Usaha

Tahun Keempat : Penguatan Kemitraan Usaha

Tabel 6. Tahapan Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani No 1 2 3 4 Kegiatan 2004 Penumbuhan Kelompok Tani Penguatan Kelompok Tani menjadi Kelompok Usaha Bersama Penumbuhan Kemitraan Usaha Penguatan Kemitraan Usaha V V V V V V Tahun 2005 2006

Selain melakukan peranan dalam proses produksi (manajemen produksi) dan pemasaran (pasar input dan pasar output), beragam peran lain yang juga harus dilakukan oleh lembaga ekonomi petani adalah kegiatan penyuluhan/transfer teknologi dan distribusi informasi kepada seluruh lapisan petani, baik melalui komunikasi personal atau melalui komunikasi massa (terutama radio). Oleh sebab itu, peningkatan kemampuan sarana dan kemampuan sumberdaya manusia lembaga ekonomi petani juga harus menjadi bagian dari program ini agar lembaga ekonomi yang ditumbuhkembangkan dapat melaksanakan berbagai peranan tersebut. 6.5. Penumbuhkembangan Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) Sebagai komoditas yang diproduksi untuk dijual ke pasar, pengembangan agribisnis kakao akan melibatkan banyak pelaku baik pelaku utama (petani dalam berbagai lapisan) maupun pelaku penunjang (penyedia input, perbankan, pemerintah, lembaga penelitian, lembaga penyuluhan, pengusaha, dan lainnya). Untuk menghadapi berbagai hambatan lokal dan tantangan global sebaiknya seluruh pelaku tersebut

29

mempunyai wadah bersama. Dalam hal ini wadah tersebut dinamai Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) yang telah dirintis pada TA. 2004. Wadah ini pada dasarnya adalah suatu jejaring sosial-ekonomi yang berfungsi sebagai wahana komunikasi antara berbagai pelaku terkait perkebunan di suatu daerah. Melalui proses komunikasi tersebut, berbagai potensi dapat diakumulasi ataupun dipertukarkan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda ataupun bertentangan dapat dipertemukan satu sama lain, sehingga kegiatan pengembangan perkebunan dapat berlangsung secara efisien dan efektif berdasar platform bersama dan prinsip kerjasama. Selain itu, sebagaimana dikemukakan oleh Habermas dalam Hardiman (1993) melalui komunikasi diharapkan akan berlangsung wacana dialog kritis antara berbagai komponen atau lapisan masyarakat, sehingga terjadi refleksi diri dan penguatan yang dapat mengikis penaklukan antara satu bagian masyarakat oleh bagian masyarakat lainnya. Suatu kerangka pemikiran diperlukan sebagai bingkai yang memberi batas-batas sekaligus ruang lingkup dan arah bagi penumbuhkembangan Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) tersebut. Untuk tujuan itu di sini hendak digunakan

konsep-konsep jejaring sosionomi (socio-economic networking), solidaritas sosial (social solidarity), dan peranserta (participation). Konsep jejaring digunakan dengan asumsi

institusi FKMP yang dipasarkan oleh dalam program pada dasarnya adalah suatu wujud jejaring sosionomi yang mencakup beragam pelaku dalam kegiatan agribisnis perkebunan. Sedangkan konsep solidaritas sosial digunakan karena, sebagai suatu jejaring sosionomi, institusi FKMP mengandaikan hubungan-hubungan sosial antar pelaku yang menunjuk pada gejala-gejala solidaritas sosial. Sementara konsep peranserta berguna untuk memahami makna tindakan-tindakan sosial berbagai pelaku kegiatan perkebunan dalam konteks hubungan-hubungan sosial tersebut di atas. Jejaring sosionomi dimengerti sebagai wujud modal sosial yang menunjuk pada kombinasi modal institusional (kuat/lemah) dan modal relasional (kuat/lemah). Sebagai modal institusional, ia menunjuk pada suatu kompleks hubungan-hubungan sosial

berdasar suatu sistem pembagian peran, aturan main, dan ganjaran tertentu, yang bersifat meningkatkan akses terhadap sumber-sumber sosionomi, sehingga masing-masing pelaku yang berperanserta dalam jejaring itu mendapatkan peluang berkembang yang lebih besar. Kompleks hubungan sosial tersebut pada dasarnya adalah jaringan pertukaran

30

(transaksi) sekaligus konsolidasi sumber-sumber sosionomi meliputi modal finansial, iptek, manajemen, informasi, pengalaman, dan lain-lain antar pelaku dalam rangka proses pencapaian kepentingan sosionomi bersama (kolektif) ataupun individual. Sementara itu, sebagai modal relasional, jejaring sosionomi menunjuk pada hubungan-hubungan sosial berdasar kesamaan keyakinan, nilai dan idiologi, yang menuntun para pelaku sosial untuk berperilaku secara sepantasnya sesuai konteks sosial. Atas dasar pengertian-pengertian tersebut, maka proses pengembangan FKMP pada hakekatnya dapat dilihat sebagai suatu proses pembentukan modal sosial yang melibatkan berbagai pelaku di lingkungan kegiatan perkebunan. Modal institusional dan modal relasional, sejauh keduanya berturut-turut menunjuk pada hubungan pertukaran (transaksi) dan hubungan kesetiaan, pada dasarnya menunjuk pada manifestasi dua tipe solidaritas sosial yaitu solidaritas organis (saratpamrih) dan solidaritas mekanis (tanpa-pamrih). Tipe solidaritas organis terdapat dalam masyarakat industrial modern yang sudah terdiferensiasi (heterogen), ditandai dengan gejala pembagian kerja yang tegas. Solidaritas organis bekerja diantara pelaku-pelaku yang berbeda status dan peranan (kompetensi) dalam suatu konteks organisasi sosial, sebagai suatu basis pertukaran sumber-sumber sosionomi yang memungkinkan masingmasing pelaku untuk mengambil manfaat sesuai dengan kontribusi sosial (social share) masing-masing. Sementara tipe solidaritas mekanis terdapat dalam masyarakat agraris

tradisionil yang belum terdiferensiasi secara nyata. Solidaritas mekanis bekerja diantara pelaku-pelaku yang relatif homogen status/peranannya dalam suatu konteks grup sosial, sebagai suatu basis konsolidasi sumber-sumber sosionomi dalam rangka proses meraih tujuan-tujuan bersama ataupun individual. Merujuk pada pengertian-pengertian di atas, dengan asumsi bahwa FKMP adalah gejala organisasi sosial modern dan bahwa masyarakat perkebunan kita untuk sebagian besar masih berciri agraris tradisional, maka tindakan-tindakan sosial para pelaku dalam kerangka FKMP tersebut secara teoritis dapat merujuk kepada baik gejala solidaritas organis maupun gejala solidaritas mekanis diantara para pelaku kegiatan usaha perkebunan. Tindakan solidaristik para pelaku dalam suatu jejaring sosionomi menunjuk pada gejala peranserta sosial. Peranserta, jika mengadaptasi tentang tipe-tipe keterlibatan anggota dalam suatu organisasi, dapat dibedakan kedalam tiga tipe yaitu keterlibatan-

31

keterlibatan alienatif, kalkulatif, dan moral. Secara khusus dua tipe peranserta tersebut dapat pula dilihat berturut-turut sebagai tindakan rasional instrumental (tindakan ekonomi, kalkulatif) dan tindakan rasional berorientasi nilai (komitmen moral). Ketiga tipe peranserta tersebut sebenarnya merujuk pada pola-pola aksi-reaksi tertentu dalam proses pembentukan organisasi: jika pembentukan organisasi memanifestasikan suatu paksaan (fisik) maka peranserta anggota akan bersifat alienatif, jika memanifetasikan remunerasi (utiliter, ganjaran materi) maka peranserta anggota bersifat kalkulatif, dan jika merupakan manifestasi tuntutan normatif (simbolik) maka peranserta anggota akan bersifat moral (komitmen). Dikenakan terhadap FKMP, sifat peranserta (alineatif, kalkulatif, atau moral) para pelaku dalam jejaring sosionomi tersebut akan sangat

tergantung pada tipe proses pembentukan (paksaan, remuneratif, atau normative) jejaring tersebut di tengah-tengah para pelaku. Dari sisi pandang instansi supra-lokal yang memasarkan gagasan FKMP proses pembentukan FKMP dipandang sebagai proses penawaran peluang-peluang perolehan manfaat ekonomi (remuneratif) sekaligus proses penguatan nilai-nilai kerjasama (normatif) di lingkungan masyarakat perkebunan. Tetapi, dari sisi pandang para pelaku perkebunan di aras lokal, selain melihat FKMP sebagai peluang ekonomi dan wahana penguatan nilai kerjasama, pembentukan institusi itu juga sangat mungkin dilihat sebagai suatu proses pemaksaan (non-fisik/psikologis) sehingga keterlibatan pelaku menjadi bersifat alineatif (terpaksa).

6.6. Pemberdayaan Petani Pemberdayaan petani terutama dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berikut : peningkatan pengetahuan dan motivasi petani, peningkatan keterampilan petani melalui pelatihan dan pendampingan, penguatan akses petani terhadap teknologi dan sarana adopsi teknologi, serta penumbuhan modal petani dan penyediaan kredit. Kegiatan

tersebut sejalan dengan pemikiran Budiman (2003) dan Rukminto (2003) bahwa pemberdayaan komunitas petani dapat dilakukan melalui tiga kegiatan berikut secara lengkap, yaitu: penguatan (empowering), membangun jaringan (relation) dan fasilitasi (services).

32

Dalam konsep pemberdayaan petani, sebab terjadinya keterbelakangan para petani, baik dalam hal motivasi maupun tindakan/usaha produktif, terutama bukan karena keterbelakangan mentalitas mereka (sebagaimana dalam konsep modernisasi) tetapi karena akses-akses yang mereka perlukan untuk melakukan tindakan/usaha produktif tersebut dikuasai oleh pihak lain dalam pola hubungan yang dimaknai petani sebagai hubungan yang tidak adil. Oleh sebab itu, intisari dari pemberdayaan petani adalah pembebasan petani dari dominasi dan eksploitasi pihak lain melalui pembukaan dan atau perluasan akses petani terhadap peluang usaha, akses petani terhadap berbagai sarana untuk menjalankan peluang usaha tersebut (lahan, modal, teknologi, dan input produksi lainnya), akses petani terhadap pasar, serta akses petani dalam memperoleh imbalan (margin) yang wajar dari usaha yang telah dilakukannya. Pemahaman konsep

pemberdayaan sebagaimana diuraikan diatas, harus menjadi arahan kita bahwa pemberdayaan terhadap petani jangan sampai terjebak hanya memberdayakan petani dalam pengertian membuat petani harus lebih membanting tulang (berusaha lebih keras atau berkorban lebih banyak) tetapi sebagian besar surplus yang tercipta dari hasil jerih payahnya lebih banyak dinikmati oleh pihak lain, baik mereka yang sama-sama berada dalam komunitas petani ataupun mereka yang berada di luar komunitas petani. Berbagai upaya peningkatan keterampilan dan penguatan akses petani terhadap sarana dan teknologi dilakukan melalui pelatihan, pendampingan, asistensi, dan atau fasilitasi. Secara rinci, berbagai kegiatan yang dilakukan adalah: Peningkatan penguasaan infromasi pasar dilakukan melalui kegiatan pelatihan pendampingan, dan asistensi. Peningkatan penguasaan aset produksi dilakukan melalui fasilitasi dalam redistribusi asset produksi, perbaikan kelembagaan penguasaan aset produksi, penyediaan kredit produksi dan kredit investasi. Peningkatan bargaining position petani mitra dilakukan melalui wadah kesatuan ekonomi (kelompok bersama, koperasi). Peningkatan penguasaan teknologi dilakukan melalui: on farm research, pelatihan, dan pendampingan. Perubahan motif usaha, etos kerja, dan pola hubungan dilakukan melalui penyuluhan dan pendampingan.

33

Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam pengelolaan usaha bersama melalui pelatihan sumberdaya manusia petani dalam aspek sistem dan prosedur operasi, manajemen keuangan, dan manjemen kemitraan. Pemberian fasilitas terhadap para petani dalam program ini adalah pemberian input produksi. Fasilitas tersebut jumlahnya sangat terbatas sehingga hanya berperan sebagai stimulus dan jika memungkinkan akan diberikan dengan pola bergulir agar dapat menjangkau jumlah petani yang lebih banyak. Agar pemberian bantuan fasilitas berjalan efektif, maka kontrol terhadap pengelolaan bantuan harus dibangun secara sinergis antara pengendalian melalui aturan tertulis dan melalui pengawasan sosial oleh komunitas petani. Selain itu, untuk meningkatkan volume bantuan fasilitas akan dilakukan melalui sinergi dengan institusi terkait lain, seperti PEMDA dan perusahaan swasta. 6.7. Pengumpulan dan Analisa Data Data dan informasi yang dikumpulkan dianalisa baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Secara lebih spesifik analisa kuantitatif yang dilakukan adalah Analisa kelayakan usaha dengan menggunakan uji Revenue Cost Ratio (R/C) yang dikemukakan oleh Soekartawi (1995) sebagai berikut: Total Revenue (TR) R/C = -------------------------Total Cost (TC) Analisa kualitatif yang dilakukan adalah Analisa Proses Adopsi, Analisa Dinamika Kelompok, dan Analisa Gender. Untuk data dan informasi yang menggambarkan suatu tindakan sosial petani atau tindakan sosial pihak lain yang berkaitan dengan tindakan sosial petani, umumnya tidak diperoleh dengan cara melakukan pengukuran atau perhitungan sehingga tidak dapat disusun dalam struktur klasifikasi. Jenis data dan informasi ini dianalisa dengan pendekatan kualitatif. Analisa kualitatif dipilih untuk mengungkapkan bahwa analisa yang digunakan untuk mendeskripsikan pola dan sistem makna kebudayaan yang mendasari dan memberi pedoman terhadap tindakan sosial warga masyarakat adalah analisa kualitatif. Analisa kuantitatif hanya digunakan untuk mengukur gejala dan dilakukan terhadap data dan informasi yang dikumpulkan melalui pengukuran atau penghitungan.

34

- Ditjen BP Perkebunan - Ditjen BP2HP - Litbangtan - PFI3P

Lembaga Keuangan Bank & Non Bank

Perusahaan Mitra 4

4, 5

5, 6

- Pemda Prop. & Kab., Pem Kec. & Desa - Dinas/instansi terkait (Disbun,

FORUM KOMUNIKASI DAN MANAJEMEN PROGRAM

Penyediaan Paket Teknologi Inovatif Terpadu Penumbuh kembangan LEP Penyediaan input produksi dan modal Pemberdayaan petani

AKTIVITAS PRODUKTIF Usaha tani Terpadu Pengolahan Hasil Pemasaran input dan hasil Peningkatan dan perluasan usaha LEP Dll

PETANI & LEMBAGA EKONOMI PETANI

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN/ PENANGGULANGAN KEMISKINAN PETANI SECARA BERKELANJUTAN

- Lembaga Penelitian (LRPI, Puslit Koka, Puslitnak, Puslitanak, BP2TP, BPTP, PSE) - Universitas - LSM -

Keterangan:
1. Legislasi/fasilitasi 2. Pendampingan teknologi 3. Analis, perencanaan & monev program 4. Koordinasi/dinamisasi

5. 6.

Modal/ kredit/ bantuan teknis Penyaluran produk

Gambar 5. Pengembangan Sistem Integrasi Kakao + Kambing + Hijauan Pakan Ternak serta Pengembangan Kelembagaan Petan

34

7. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1. Paket Teknologi Inovatif yang Lengkap dan Terintegrasi 7.1.1. Integrasi Hulu - Hilir Usaha Kakao a. Pemangkasan dan Pengelolaan Tanaman Penaung Tanaman kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menghendaki kondisi lingkungan yang sesuai agar aktivitas fisiologis berjalan dengan optimum. Untuk menciptakan kondisi tersebut, salah satu teknologi pemangkasan baik tanaman kakao maupun naungannya. Pemangkasan cabang yang tidak produktif sangat membantu efisiensi penggunaan hara yang dihasilkan dapat diserap sesuai dengan kebutuhan tanaman. Pemangkasan cabang atau ranting sakit dapat mengurangi sumber infeksi hama dan penyakit terutama hama PBK, penyakit busuk buah, kanker batang dan antraknosa. Hama PBK sangat menyenangi kondisi iklim yang lembab, saat sore hari imago PBK beristirahat pada dahan atau ranting yang dinaungi (Sulistyowati 2003). Penyakit busuk buah dan kanker bantang, perkembangannya sangat dipengaruhi oleh iklim, demikian pula penyakit antraknosa. Jaringan atau ranting sakit yang terserang perlu dihilangkan karena menjadi sumber infeksi. Teknologi pemangkasan yang telah diintroduksikan

adalah pemangkasan pemeliharaan, pemangkasan produksi dan pemangkasan bentuk. Pemangkasan bentuk dapat dilakukan dengan memendekan tajuk tinggi tanaman hingga 3-4 m. Umumnya tanaman kakao yang dimiliki oleh petani koperator berumur diatas 10 tahun sehingga teknologi pemangkasan yang dilakukan oleh petani koperator adalah pemangkasan pemeliharaan, pemangkasan bentuk. Tanaman kakao yang masih berumur muda (2-3 tahun) hanya dimiliki oleh 2 petani koperator yaitu 1 di desa Jono Oge dan 1 di desa Tondo. Teknologi pemangkasan yang dilakukan oleh petani koperator adalah pemangkasan bentuk dan pemangkasan pemeliharaan. Pemangkasan tanaman kakao di lapangan hingga saat ini masih berdasarkan kriteria yang bersifat kualitatif. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa teknologi pemangkasan pemeliharaan pada tanaman kakao dewasa telah dilakukan di desa Jono-Oge yaitu 55% petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 100%, 25% petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 75% dan 20% petani koperator lainnya telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 50%.

37

Pemangkasan pemeliharaan pada tanaman kakao dewasa di desa Tondo hanya 40% petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 100%, 40% petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 75%, 10% petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 50% dan 10% petani koperator lainnya tidak melakukan pemangkasan (Tabel 7). Tabel 7. Pengelolaan Pemangkasan Tanaman Kakao No. Petani Koperator Pemangkasan Petani Koperator Desa Jono-Oge (%) Desa Tando 100 Ardin L. 1. Suardin Arifuddin 2. Fahmi 100 100 Isman 3. Nasir Kadir 50 4. Mahmud A. Halu 100 5. Aklin Lakana 100 6. Maksun 100 Yusrin 7. Muhammad Hayati 100 8. Salama 100 Bohar 9. M. Amin Ilham 50 10. Hanif 75 Ikhlas 11. Mahmud B. Sanudin 100 12. Cepe Teda Gafar 50 13. Yahya R. Yusuf 100 14. Kamarudin Anwir 75 15. Rahman Jobose 75 16. Sukardin 50 Lamami 17. Halim Syarif 75 18. Saenong Rizal 100 19. Sahib Hadi 100 20. Alimuddin

Pemangkasan (%) 75 100 0 75 100 100 100 75 100 100 50 75 75 50 75 75 100 0 100 75

Keterangan: - Kriteria 100% : cara pemangkasan benar ditandai cahaya matahari merata disekitar pohon kakao - Kriteria 75% : cara pemangkasan agak benar ditandai cahaya matahari agak kurang disekitar pohon kakao -Kriteria 50% : cara pemangkasan kurang benar ditandai cahaya matahari kurang disekitar pohon kakao

Hasil pertemuan bahwa bapak Isman belum melakukan pemangkasan karena beberapa bulan terakhir (Oktober-Desember 2005) tidak aktif dikebun maupun pelatihan dengan alasan kesehatan. Bapak Syarif belum melakukan pemangkasan karena masih anggota baru menggantikan anggota lama yang mengundurkan diri. Hal ini perlu

dilakukan pembinaan khusus cara pemangkasan yang benar sesuai persyaratan teknis

38

anjuran. Pemangkasan di kedua desa ini menggunakan gunting pangkas panjang dan gergaji pangkas. Tanaman naungan pada tanaman kakao dilokasi pengkajian beragam seperti gamal (Gliricidia sepium), kelapa dalam, rambutan, durian dan kedondong, namun sebagian besar tanaman kakao milik petani koperator di desa Jono-Oge dan desa Tondo belum ditanami tanaman penaung. Adanya kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan pada TA. 2004, semua petani koperator diharuskan untuk menanam tanaman penaung pada tanaman kakao dengan tanaman gamal. Dasar pertimbangan jenis leguminosa

pohon ini dijadikan tanaman penaung karena cepat tumbuh dan mudah didapatkan dilokasi pengkajian. Disamping itu konsep SUT integrasi kambing dan kakao, daun gamal dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos dan sebagai pakan kambing bergizi tinggi. Gamal memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi dan produksi hijauan pakan (biomassa) yang tinggi. Hasil penelitian sampai saat ini menunjukkan bahwa

produkstivitas kakao tertinggi dapat dicapai pada kondisi lingkungan tanaman kakao yang terlindungi sebagian dari terik matahari di daerah tropis. Cara yang paling mudah dan murah untuk mencapai produkstivitas kakao tertinggi dengan memanfaatkan tanaman penaung. Permasalahan yang timbul di lapangan yaitu pada petani koperator yang tanaman naungannya menggunakan pohon kelapa dalam. Petani ini tidak dapat melakukan pemangkasan pada tanaman kelapanya sehingga walaupun petani telah melakukan pamangkasan pada tanaman kakaonya namun kondisi iklim mikro disekitar kebun tetap lembab. Hal ini memicu terjadinya serangan hama dan penyakit, terutama panyakit busuk buah dan kanker batang. Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao dalam

Witjaksana (1989) bahwa tanaman kelapa sebagai penaung tanaman kakao dengan tajuk yang terlalu rimbun dapat dilakukan dengan pengurangan tajuk, pengurangan tajuk 5-6 lembar atau tersisa 12-14 pelepah per pohon tidak menurunkan hasil kelapa yang berarti. Agar pengurangan itu tidak terlalu merugikan, disarankan pemotongan dilakukan terhadap daun-daun tua paling bawah. Petani koperator yang tanaman kakaonya dinaungi oleh tanaman kelapa, sebenarnya sangat menguntung petani dari segi serangan hama PBK dan kepik penghisap buah kakao, karena semut hitam (Dolichoderus sp) tempat tinggal tetapnya (permanent host) adalah tanaman kelapa, dan semut ini juga sudah

39

merupakan bagian dari agroekosistem perkebunan kakao di Indonesia. Aktivitas semut hitam yang selalu berada dipermukaan buah menyebabkan helopeltis tidak sempat menusukan stiletnya atau bertelur pada buah kakao. b. Pemupukan Pemupukan pada tanaman kakao sangat dianjurkan terutama setelah panen buah kakao. Tujuan pemupukan untuk memberikan tambahan atau tidak tersedia unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman kakao. Pemupukan dapat dilakukan menggunakan pupuk anorganik maupun pupuk organik. Sebelum kegiatan pengkajian ini para petani hanya sebagian kecil yang melakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik tetapi hanya menggunakan pupuk urea saja dan pemberiannya tidak sesuai kebutuhan tanaman kakao yang produktif. Hasil pertemuan kelompok tani pada bulan Oktober 2005, disepakati bersama bahwa dosis pupuk anorganik untuk tanaman kakao pada pengkajian TA. 2005 ini berdasarkan anjuran dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor dengan dosis urea 400 gr/pohon, SP36 200 gr/pohon dan KCL 300 gr/pohon. Separuh dosis pupuk anorganik ini ditanggulagi oleh petani koperator sendiri yang dikelola oleh kelompok tani masing-masing. Aplikasi pemupukan dibagi menjadi 2 tahapan, tahap pertama saat awal musim hujan (Oktober-Nopermber) dan tahap kedua akhir musim hujan (Maret-April). Pemupukan anorganik dengan cara tugal (bintang 6) hanya dilakukan petani koperator yang memiliki lahan miring untuk menghindari terjadinya pohon rebah akibat terpotongnya akar tanaman saat dicangkul membuat piringan. Realisasi pemupukan

anorganik pada tanaman kakao di desa Jono-Oge dan desa Tondo dapat dilihat pada tabel 8.

40

Tabel 8. Realisasi Pemupukan pada Tanaman Kakao No. Petani Koperator Realisasi Petani Koperator Desa Jono-Oge (%) Desa Tando 100 Ardin L 1. Suardin Arifuddin 2. Fahmi 100 100 Isman 3. Nasir Kadir 4. Mahmud A. 100 100 Halu 5. Aklin 100 Lakana 6. Maksun Yusrin 100 7. Muhammad 100 Hayati 8. Salama Bohar 9. M. Amin 100 100 Ilham 10. Hanif 100 Ikhlas 11. Mahmud B. Sanudin 100 12. Cepe Teda 100 Gafar 13. Yahya R. Yusuf 100 14. Kamarudin Anwir 100 15. Rahman Jobose 100 16. Sukardin 100 Lamami 17. Halim Syarif 100 18. Saenong Rizal 100 19. Sahib Hadi 100 20. Alimuddin

Realisasi (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 75 100 100 100 100 100 100 100 100

Pada tabel 8 diatas memperlihatkan bahwa hampir semua petani koperator yang melakukan pemupukan anorganik kecuali Bapak Sanudin dari desa Tondo yang baru 75% menyelesaikan pemupukan akibat tergenang air hujan lahan tanaman kakao dan masih menyelesaikan penanaman bibit kakao, setelah penanaman bibit kakao dilanjutkan dengan penyelesaian pemupukan. Dosis pemberian pupuk anorganik diatas belum cukup untuk digunakan sebagai dasar pemupukan secara umum di desa Jono-Oge dan desa Tondo karena pengambilan sampel tanahnya pada 4 lokasi yaitu 2 lokasi di desa Jono-Oge dan 2 lokasi desa Tondo, padahal lokasi pengkajian sangat beragam dan pengambilan sampel tanahnya juga saling berdekatan. Pengkajian TA. 2005 ini telah melakukan pengambilan sampel tanah pada 8 lokasi kebun kakao yang diwakili oleh lahan datar dan lahan berlereng pada hamparan berbeda. Berdasarkan hasil analisis tanah dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor (Lampiran 1) menunjukkan bahwa kadar hara P dan K tanah tinggi hingga sangat

41

tinggi dengan kadar N-total dan C-organik sangat rendah hingga rendah, sehingga tanah di lokasi pengkajian secara umum tergolong berkesuburan sedang. Mengacu pada

anjuran pemupukan P dan K pada tanah yang kadar hara P dan Knya rendah diperlukan pupuk P dan K dengan dosis 200 g/pohon/tahun dan KCl 300 g/pohon/tahun, sedangkan untuk tanah dengan kadar P dan K tinggi hingga sangat tinggi disarankan pemberian pupuk P sebanyak 100 g/pohon/tahun dan K sebanyak 100 g/pohon/tahun. Pemupukan Nitogen tetap mengacu pada anjuran sebelumnya yakni 400 g/pohon/tahun. Kondisi tanah di lokasi pengkajian mempunyai kadar C-organik sangat rendah hingga rendah (0,77-2,11%). Agar produktivitas lahan dapat meningkat maka perlu pemberian bahan organik. Salah satu sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan adalah pupuk kandang (pukan) yang berasal dari kotoran (manure) kambing. Melalui kegiatan SUT integrasi kambing dan kakao ini maka sebagian petani koperator telah memanfaatkan pupuk organik dari kotoran kambing yang sudah matang atau melalui proses fermentasi untuk tanaman kakaonya. Pemanfaatan pukan dari kotoran kambing ini sebaiknya difermentasi dengan menggunakan mikrooragnisme komersial untuk meningkatkan unsur hara. Namun karena masih terbatasnya ketersediaan kotoran

kambing sehingga para petani koperator masih mengandalkan penggunaankan pupuk anorganik. Hasil analisis pukan yang diambil dari petani koperator dan difermentasi (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kadar hara pada pupuk kandang yang difermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk kandang yang tidak difermentasi. Aplikasi pukan pada lahan bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia biologi tanah dan sebagai sumber hara. Berdasarkan analisis pukan ini maka dianjurkan pemberian pukan pada tanaman kakao 2-4 kg/pohon/tahun. Realisasi pemberian pukan dari kotoran kambing fermentasi (bokashi) pada tanaman kakao dewasa yang telah dilakukan oleh kg/pohon/tahun (Tabel 9). petani koperator sebanyak 1-2

42

Tabel 9. Realisasi Pemberian Pukan pada Tanaman Kakao No. Petani Koperator Pemberian Pupuk Petani Koperator Desa Jono-Oge Kandang (%) Desa Tando 1. Suardin 100 Ardin L.** 2. Nasir 100 Lakana 3. Aklin 100 Yusrin * 4. Salama 100 Bohar 5. M. Amin 100 Gafar ** 6. Kamarudin 100 Yusuf 100 7. Rahman Anwir 8. Sukardin 100 Jobose 9. Alimuddin 100 Lamami

Pemberian Pupuk Kandang (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Keterangan: * Menggunakan pupuk kandang dari kotoran sapi (belum mendapatkan kambing) ** Pukan dari kotoran sapi atau kambing dari kandang milik tetangganya.

c. Sanitasi Sanitasi sangat penting dilakukan, hal ini berkaitan erat dengan serangan hama dan penyakit. Kebun kakao yang tidak dilakukan sanitasi akan menjadi sumber infeksi hama dan penyakit. Berdasarkan hasil pengamatan di kebun petani koperator yang

berada di desa Jono-Oge yaitu 20% petani telah melakukan sanitasi kriteria 100%, 55% petani telah melakukan sanitasi kriteria 75%, 20% petani yang melakukan sanitasi kriteria 50% dan 5% petani yang melakukan sanitasi kriteria 25% (Tabel 10). Pelaksanaan sanitasi kebun di desa Tondo yakni 30% petani melakukan sanitasi kriteria 100%, 35% petani telah melakukan sanitasi kriteria 75%, 15% petani telah melakukan sanitasi kriteria 50%, 10% petani yang melakukan sanitasi kriteria 25% dan 10% petani belum melakukan sanitasi kebun (Tabel 10).

43

Tabel 10. Kriteria Sanitasi pada Kebun Kakao No. Petani Koperator Sanitasi (%) Petani Koperator Desa Jono-Oge Desa Tando 75 Ardin L 1. Suardin Arifuddin 2. Fahmi 50 50 Isman 3. Nasir Kadir 4. Mahmud A. 75 75 Halu 5. Aklin 75 Lakana 6. Maksun Yusrin 75 7. Muhammad 100 Hayati 8. Salama Bohar 9. M. Amin 75 50 Ilham 10. Hanif 50 Ikhlas 11. Mahmud B. Sanudin 75 12. Cepe Teda 75 Gafar 13. Yahya R. Yusuf 100 14. Kamarudin Anwir 100 15. Rahman Jobose 75 16. Sukardin 25 Lamami 17. Halim Syarif 75 18. Saenong Rizal 75 19. Sahib Hadi 100 20. Alimuddin

Sanitasi (%) 50 100 0 75 100 100 75 75 25 75 25 75 75 50 50 100 100 0 100 75

Keterangan: - Kriteria 100% : cara sanitasi benar ditandai kebun bersih dari gulma dan sampah. - Kriteria 75% : cara sanitasi agak benar ditandai masih ada sedikit gulma dan sampah - Kriteria 50% : cara sanitasi kurang benar ditandai masih banyak gulma dan sampah - Kriteria 25% : cara sanitasi salah ditandai masih banyak gulma, sampah dan disekitar pohon kakao tumbuh gulma - Kriteria 0% : tidak melakukan sanitasi kebun

Tabel 10 diatas memperlihatkan bahwa baik di desa Jono-oge maupun di desa Tondo masih rendah melakukan sanitasi dengan cara benar (kriteria 100%), masing-masing hanya 20% dan 30%. Berdasarkan hasil pertemuan kelompok tani pada kedua desa tersebut bahwa rendahnya persentasi melaksanakan sanitasi kebun dengan cara benar (kriteria 100%) disebabkan oleh petani koperator menganggap pekerjaan sanitasi mudah dilaksanakan dan tidak mempunyai batas waktu sehingga kegiatan sanitasi kurang mendapatkan perhatian karena pengaruhnya secara tidak langsung terhadap buah yang dihasilkan. Mereka hanya dengan melakukan penyemprotan herbisida sudah dapat mengatasi masalah sanitasi kebun. Padahal prinsip kerja herbisida hanya membunuh rumput yang tumbuh, pelepah kelapa, kulit buah kakao (KBK) dan sisa pangkasan daun

44

kakao masih berserakan. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap iklim mikro di kebun kakao yang menjadi lembab, dimana kondisi ini sangat cocok untuk berkembangnya hama dan penyakit tanaman kakao. KBK yang terserang busuk buah, penggerek buah kakao (PBK) dan hama penyakit lainnya dapat menjadi sumber infeksi bagi tanaman kakao sehat lainnya (Sukamto, 2003).

c. Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian Hama PBK Pengendalian PBK dengan cara sarungisasi merupakan cara pengendalian yang efektif saat ini. Efektifitas pengendalian dengan teknik sarungisasi mencapai 95-100% (Sulistyowati 2003). Pengedalian hama PBK dengan metode penyarungan buah kakao ini sudah dikuasai oleh petani koperator di desa Jono-Oge dan desa Tondo. Namun pelaksanaannya di tingkat petani koperator belum seluruhnya melaksanakan dengan berbagai macam alasan seperti terbatasnya waktu untuk menyarung buah kakao, petani koperator tidak mampu mengalokasikan waktu untuk setiap kegiatan usahataninya. Usahatani yang dilakukan oleh petani koperator tidak hanya tanaman kakao saja tetapi berbagai jenis usahatani seperti cengkeh, kelapa, palawija, padi dan beternak kambing dan sapi (Lampiran 3 dan 4). Pada musim panen cengkeh pada bulan Juli dan Agustus, kegiatan penyarungan buah banyak ditinggalkan karena terjadi persaingan penggunaan tenaga kerja keluarga untuk melaksanakan panen cengkeh di kebun sendiri atau di kebun orang lain (tenaga upahan). Hal ini terjadi karena sangat tingginya nilai upah panen cengkeh (Rp 1.250,-/liter x 60 liter/orang/hari = Rp 75.000,-/orang/hari). Disamping ini kenyataan di lapangan, jika petani koperator terbentur dengan masalah seperti tidak ada sarana untuk kegiatan penyarungan buah kakao maka petani tidak mengupayakan untuk mendapatkan sarana tersebut, mereka lebih cenderung mengerjakan usahatani lainnya. Disamping itu, alasan teknis karena di kebunnya memiliki iklim mikro yang lembab sehingga apabila buahnya disarungi menjadi busuk seperti di kebun bapak Saenong, bapak Halim, bapak Hanif desa Jono-Oge dan di kebun bapak Hadi, bapak Jobose desa Tondo. Khusus kebun bapak Hanif tanaman penaungnya pohon kelapa tidak mengurangi jumlah daun kelapa sehingga kondisi kebun tetap lembab. Kebun milik bapak Hadi, bapak Jobose, bapak Saenong dan bapak Halim letak kebunnya dilokasi yang berbukit

45

sehingga dengan curah hujan yang rendahpun mengakibatkan iklim mikro menjadi lembab. Salah satu kelemahan sarungisasi adalah meningkatkan persentase busuk buah jika kondisi iklim mendukung, sehingga pada lokasi yang iklim mikronya lembab dianjurkan melakukan pemangkasan berat pada saat memasuki musim hujan.

Pemangkasan ini diikuti kegiatan sanitasi dan pemupukan, sehingga kegiatan sarungisasi dapat dilakukan dan persentase busuk buah menjadi lebih rendah seperti halnya kebun yang letaknya dilahan datar. Sebagai contoh milik bapak Aklin desa Jono-Oge yang kondisi kebunnya berbukit, telah melakukan penyarungan buah 100% yang pada awalnya juga menggunakan insektisida kimia. Pemangkasan berat dilakukan oleh bapak Aklin menyebabkan perubahan iklim mikro. Bapak Hadi, bapak Jobose, bapak Saenong dan bapak Halim merasa khawatir melakukan pemangkasan berat dengan pertimbangan cabang yang ditumbuhi buah harus dibuang. Sebagai tindaklanjut, untuk sementara waktu pengendalian PBK dengan penyemprotan insektisida kimia interval 2 minggu. Hingga saat ini tetap dilakukan pembinaan kepada petani koperator agar melakukan pemangkasan yang benar. Berdasarkan hasil pengamatan dengan mengambil secara acak buah kakao di kebun petani koperator untuk menghitung intensitas serangan hama PBK. Hasil

perhitungan menunjukkan bahwa intensitas serangan hama PBKdi desa Jono-Oge dan desa Tondo cukup bervariasi yakni dari serangan ringan (10%) sampai serangan berat (100%) pada tabel 11.

46

Tabel 11. Realisasi Penyarungan Buah Kakao desa Jono dan desa Tondo No. Petani Koperator Penyarungan Petani Koperator Penyarungan Desa Jono-Oge (%) Desa Tando (%) 50 Ardin L. 75 1. Suardin Arifuddin 50 2. Fahmi 0 0 100 Isman 3. Nasir Kadir 0 4. Mahmud A. 0 50 100 Halu 5. Aklin 100 Lakana 100 6. Maksun Yusrin 75 100 7. Muhammad 0 100 Hayati 8. Salama Bohar 0 9. M. Amin 100 0 0 Ilham 10. Hanif 0 Ikhlas 0 11. Mahmud B. 50 Sanudin 100 12. Cepe Teda 100 100 Gafar 13. Yahya R. 75 Yusuf 100 14. Kamarudin 100 Anwir 50 15. Rahman 0 Jobose 0 16. Sukardin 0 0 Lamami 17. Halim 0 Syarif 0 18. Saenong Rizal 0 0 19. Sahib 0 Hadi 0 20. Alimuddin

Intensitas serangan PBK dan persentasi serangan busuk buah kakao di desa JonoOge dan desa Tondo dapat dilihat pada tabel 12.

47

Tabel 12. Rataan Intensitas Serangan PBK dan serangan busuk buah kakao No. Pengendalian 1. 2. 3. Kontrol Insektisida Sarungisasi Intensitas serangan PBK Serangan busuk buah (%) (%) Desa Jono-Oge Desa Tondo Desa Jono-Oge Desa Tondo 46,7 86,0 10,0 3,3 35,2 0 40,0 11,7 10,0 0 5,0 0

Pada tabel 12 diatas menunjukkan bahwa rataan intensitas serangan PBK dengan pengendalian sarungisasi di desa Jono-Oge dan desa Tondo relatif rendah. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Sulistiawaty (2003) bahwa efektifitas sarungisasi dapat mencapai 95-100%. Rataan intensitas serangan PBK dengan pengendalian insektisida kimia baik di desa Jono-Oge maupun desa Tondo masih cukup tinggi. Kondisi ini disebabkan karena insektisida kimia hanya mampu membunuh imago, padahal keberadaan imago pada tanaman kakao hanya pada sore hari, pada malam hari imago kawin dan bertelur. Petani koperator melakukan penyemprotan hanya pada sore hari. Rataan intensitas serangan PBK pada kontrol (pembanding) di desa Jono-Oge dan desa Tondo sangat tinggi karena tidak dilakukan pengendalian. Serangan busuk buah kakao relatif rendah pada

pengendalian dengan sarungisasi karena umumnya petani koperator yang melakukan pengendalian dengan sarungisasi telah melakukan pemangkasan dengan cara yang benar, sedangkan petani koperator yang melakukan pengendalian PBK dengan insektisida dan kontrol belum sepenuhnya memangkas secara benar sehingga masih terjadi serangan busuk buah yakni 3,3-10%. Petani koperator yang tidak melakukan penyarungan pada buah kakao kakaonya karena sarana untuk penyarungan seperti plastik pembungkus dan karet tidak diperjual belikan dilokasi pengkajian, sedangkan sarana penyarungan yang diberikan dari kegiatan pengkajian sudah habis. Berdasarkan hasil musyawarah kelompok tani di desa Jono-Oge dan desa Tondo bahwa untuk menjamin tersedianya sarana penyarungan buah kakao maka Seksi Usaha masing-masing kelompok tani akan menyediakan sarana tersebut. Penyediaan sarana ini diawali dengan menginventasir jumlah kebutuhan masing-masing anggota kelompok tani yang proses penjualannya dapat dibayar langsung atau diangsur

48

(bayar setelah panen). Penyediaan sarana sarungisasi ini juga akan melayani petani non koperator dengan cara pembelian langsung (tunai). Sarana sarungisasi buah kakao ini disediakan oleh salah satu toko tani yang ada di kota Palu yang sudah dijalin hubungan kerjasamanya sejak TA. 2004. Keadaan tanaman kakao di desa Jono-Oge dan desa Tondo sebelum dilakukan pengkajian dalam kondisi tidak terawat yang mengakibatkan timbulnya berbagai jenis serangan hama dan penyakit antara lain hama PBK, hama kepik penghisap buah, penggerek batang, penyakit busuk buah, kanker batang, antraknosa dan penyakit akar putih. Beberapa permasalahan ini diatasi dengan diadakannya demplot dan pelatihan teknologi pengendalian hama PBK, hama kepik penghisap buah, penyakit busuk buah, antraknosa, penyakit akar putih, kanker batang dan hama pengerek batang. Hasil pelatihan dan demplot menunjukkan bahwa umumnya petani koperator sudah mampu mengatasi masalah hama PBK, hal ini dapat dilihat dari menurunnya intensitas serangan PBK. Data awal sebelum pengkajian, kisaran intensitas serangan PBK 90-100%, turun menjadi 0-11,7% (Tabel 12). Pelatihan untuk pengendalian kepik penghisap buah kakao dengan penyemprotan insektisida berbahan aktif deltametrin (Decis 2,5 EC). Sebagai dampak adanya pelatihan, kebun kakao yang banyak terserang helopeltis adalah kebun milik bapak Rahman desa Jono-Oge, setelah dilakukan pengendalian, serangan menjadi berkurang dan tidak lagi menimbulkan kerugian yang berarti. Demikian pula dengan pengendalian kanker batang, dilakukan dengan aplikasi fungisida (Nordox) sehingga petani koperator tidak lagi bermasalah dengan penyakit tersebut. Begitu pula dengan penyakit antraknosa yang sangat dipengaruhi oleh kondisi naungan yang rusak (kakao yang kurang atau tidak ada penaung), sebagai dampak dari pelatihan dari pengkajian ini, petani koperator sudah menanam penaung sebagai tindakan pengendalian.

49

Permasalahan hama pengerak batang kakao diawali dengan melakukan pelatihan pengendalian hama penggerak batang dengan menggunakan agen hayati yaitu Beauveria bassiana (Bb). Bb merupakan jamur parasitik termasuk dalam kelas Deuteromycetes. Cara kerja jamur ini masuk melalui bagian tanaman dan dimakan oleh serangga hama, dari dalam tubuh hama jumur tumbuh dan berkembang mengeluarkan zat pengurai protein (enzim khitinase, protease dan lipase sehingga pencernaan hama hancur, kemudian jamur akan menembus kulit hama dan membentuk miselium (benang-benang warna putih). Jamur juga mengeluarkan toksin beauvericin, beauverolides, asam oksalat yang berperan sebagai racun perut hama. Jamur ini juga masuk melalui kulit serangga hama dengan cara menempel pada kulit dan menembus masuk kedalam tubuh serangga hama (Jesmanat, 2000). Beberapa petani koperator yang mengaplikasikan Bb pada

tanaman kakaonya, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan cukup berhasil mematikan hama penggerek batang karena ciri-ciri batang yang terserang hama penggerek tidak lagi mengeluarkan serbuk bekas gerekan larva dan campuran kotoran larva dengan asumsi bahwa larva yang ada dalam jaringan batang sudah terselimuti jamur Bb. Hasil percobaan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Medan

menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan efektivitas yang tinggi atau mortalitas larva mencapai 100% dengan konsentrasi yang dianjurkan adalah 1,18 x 107 konidia/ml air.

d. Rehabilitasi Tanaman Kakao Hasil survei awal pengkajian pada TA. 2004, dalam 0,5 ha kebun kakao milik petani sekitar 30-60% tanaman kakao meranggas. Meranggasnya tanaman kakao karena tidak adanya perawatan dari petani namun disisi lain tanaman ini selalu berproduksi. Akibat tidak adanya perawatan tanaman kakao hingga berlangsung lama maka produksi cenderung menurun bahkan ada yang tidak berproduksi lagi. Kondisi ini perlu dilakukan peremajaan dengan menggunakan teknologi sambung samping. Teknologi sambung

samping merupakan salah satu komponen teknologi klonalisasi kakao yang bertujuan untuk perbaikan mutu, penyeragaman produksi dan penyebaran kakao unggul. Persyaratan utama melakukan sambung samping yakni tanaman kakao harus sehat. Namun penampilan individu tanaman kakao di desa Jono-Oge dan desa Tondo belum pulih sepenuhnya setelah dilakukan perawatan melalui kegiatan pengkajian ini.

50

Meranggasnya tanaman kakao sebagai akibat dari kecenderungan petani pada beberapa tahun terakhir menelantarkan kebun kakaonya karena produksinya rendah. Agar

penampilan tanaman kakao pulih dengan baik dan semua tanaman dapat dilakukan penyambungan maka telah dilakukan pemupukan dengan dosis sesuai kebutuhan hara per pohon yang berpedoman pada hasil analisa tanah setempat. Klon unggul yang direkomendasi oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember untuk digunakan sebagai bahan sambungan adalah klon TSH 858, ICS 60 dan UIT1 dengan dasar pertimbangan ketiga klon ini adaptasinya cukup baik pada wilayah yang beriklim panas (daerah dekat dengan pesisir pantai). Disamping itu klon unggul ini termasuk yang sudah dimurnikan oleh Peneliti Pemulia kakao dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember. Ketiga klon unggul ini didatang dari Instalasi Kebun Pengkajian Sidondo yang dibawahi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Hasil dari pelatihan sambung samping berupa teori dan praktek di lapangan, semua petani koperator dapat menerapkan teknologi sambung samping secara benar, bahkan hasilpun memuaskan. Hal ini terlihat dengan rataan tingkat keberhasilan

sambungan diatas 50%. Hasil tersebut bila dibandingkan dengan tingkat keberhasilan yang dicapai petani ditempat lain seperti desa Kasimbar, kecamatan Amphibabo, kabupaten Parigi-Moutong, cenderung persentasi keberhasilan sambungan masih rendah. Bebarapa petani koperator yanf terampil dalam melakukan sambung samping di desa Jono-Oge yaitu bapak Salama, bapak M. Amin, bapak Natsir, bapak Saenong, sedangkan di desa Tondo yakni bapak Bohar, bapak Yusuf dan bapak Anwir. Pelaksanaan sambung samping setelah pemupukan karena batang kakao yang sudah dipupuk menjadi sehat dan siap untuk dilakukan sambung samping. Jumlah entris unggul yang digunakan untuk penyambungan sebanyak 5.000 entris, dibagi 2 bagian yaitu 2.500 entris digunakan di desa Jono-Oge dan 2.500 entris untuk desa Tondo. Hasil pengamatan di lapangan

menunjukkan bahwa sambungan yang hidup (jadi) di desa Jono-Oge sebanyak 1650 sambungan dan di desa Tondo sebanyak 1520 sambungan atau tingkat keberhasilannya masing-masing 66% dan 61%. Adanya kegagalan sambungan ini disebabkan oleh petani koperator belum terampil melakukan penyambungan secara benar.

51

e. Penanaman ulang (replanting) untuk tananam kakao yang mati Optimalisasi pemanfaatan lahan kebun kakao perlu dilaksanakan sebab berdasarkan hasil inventarisasi populasi tanaman kakao per 0,5 ha (TA. 2004), jumlah tanaman kakao milik petani koperator per 0,5 ha hanya berkisar 100 500 pohon (Tabel 13 dan 14). Hal ini disebabkan karena petani tidak melakukan pemeliharaan sesuai teknis sehingga banyak tanaman yang merangas dan mati. Akibatnya banyak lahan kosong diantara tanaman kakao yang produktif, agar penggunaan lahan menjadi optimal perlu dilakukan penanaman ulang (penyulaman) sesuai dengan jumlah tanaman yang mati dan jarak tanam pada setiap petani koperator. Kapasitas lahan 0,5 ha untuk tanaman kakao dapat ditanami sebanyak 555 pohon dengan jarak tanam 3 x 3 m dan 625 pohon dengan jarak tanam 2 x 4 m. Jarak tanam kakao di desa Jono-Oge lebih dominan dengan jarak tanam 2 x 4 m sebanyak 10 petani koperator (50%), diikuti jarak tanam 3 x 3 m sebanyak 7 petani koperator (35%) dan jarak tanam tidak teratur sebanyak 3 petani koperator (15%), sedangkan di desa Tondo juga lebih dominan dengan jarak tanam 2 x 4 m sebanyak 12 petani koperator (60%), diikuti jarak tanam 3 x 3 m sebanyak 6 petani koperator (30%) dan jarak tanam tidak teratur sebanyak 2 petani koperator (10%) (Anonim, 2004). Pada Tabel 13 dan 14 dapat dilihat jumlah kebutuhan bibit kakao petani koperator di desa Jono-Oge dan desa Tondo untuk mengoptimalkan jumlah pohon kakao per 0,5 ha.

52

Tabel 13. Jumlah Pohon Kakao dan Kebutuhan Bibit Kakao/0,5 Ha Masing-masing Petani Koperator desa Jono-Oge No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Petani Koperator Suardin Fahmi Nasir Mahmud A. Aklin Maksun Muhammad Salama M. Amin Hanif Mahmud B. Cepe Teda Yahya R. Kamarudin Rahman Sukardin Halim Saenong Sahib Alimuddin Jumlah Tanaman Kakao/0,5 ha (pohon) 487 449 467 435 467 108 343 350* 409 272 315 330 191 391 331 318 388 336 427 175 Jarak Tanam (m) 2x4 2x4 2x4 2x4 tidak teratur 3x3 2x4 2x4 3x3 2x4 3x3 2x4 tidak teratur 2x4 tidak teratur 3x3 2x4 3x3 3x3 3x3 Jumlah Bibit Kakao Diserahkan/0,5 ha (pohon) 138 176 158 190 158 447 282 275 146 353 240 295 434 234 294 237 237 219 128 380

Sumber: Anomim, 2004(Data Diolah) * : tanaman produktif 231 pohon

53

Tabel 14. Jumlah Pohon Kakao dan Kebutuhan Bibit Kakao/0,5 Ha Masing-masing Petani Koperator desa Tondo No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Petani Koperator Ardin L. Arifuddin Isman Kadir Halu Lakana Yusrin Hayati Bohar Ilham Ikhlas Sanudin Gafar Yusuf Anwir Jobose Lamami Syarif Rizal Hadi Jumlah Tanaman Kakao/0,5 ha (pohon) 246 357 259 193 290 441 519 481 350 235 218 397 542 445 369 443 321 340 321 511 Jarak Tanam (m) 3x3 2x4 3x3 3x3 3x3 2x4 2x4 2x4 2x4 3x3 2x4 3x3 2x4 2x4 2x4 tidak teratur 2x4 2x4 2x4 tidak teratur Jumlah Bibit Kakao Diserahkan/0,5 ha (pohon) 309 357 268 362 265 184 106 144 275 320 407 158 83 180 256 182 304 285 304 114

Sumber: Anomim, 2004(Data Diolah)

Bibit kakao yang dikembangan di lokasi pengkajian ini adalah jenis benih kakao unggul yang didatangkan dari Pusat Penelitan Kopi dan Kakao Jember. Jenis kakao unggul tersebut adalah jenis hibrida. Pelaksanaan penanaman bibit kakao pada awal bulan

September 2005 dengan melibatkan semua petani koperator. Kondisi bibit kakao saat dipindah ke kebun kakao yang berkaitan dengan pertumbuhan bibit (tinggi tanaman dan jumlah daun). Rataan tinggi bibit kakao di desa Jono-Oge 41,5 cm dengan rataan jumlah daun 16,0 helai, sedangkan tinggi bibit kakao di desa Tondo 32,8 cm dengan rataan jumlah daun 13,8 helai (14, helai), dapat dilihat pada tabel 15.

54

Tabel 15. Kondisi Bibit Kakao saat Dipindakan ke Kebun Petani Koperator Desa Jono-Oge No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Rataan Tinggi tanaman (cm) 37 38 40 36 43 35 45 50 42 50 41,6 Jumlah daun (helai) 15 14 15 16 17 15 15 19 17 18 16,1 Desa Tondo Tinggi tanaman (cm) 37 36 35 30 35 31 32 36 29 27 32,8 Jumlah daun (helai) 16 15 15 13 14 13 13 16 12 11 13,8

Pada tabel 15 diatas menunjukkan perbedaan pertumbuhan pada kedua desa, dapat dilihat bahwa lebih tinggi rataan tanaman di desa Jono-Oge dibandingkan dengan di desa Tondo. Jumlah daun bibit kakao lebih banyak di desa Jono-Oge dibandingkan dengan bibit kakao di desa Tondo. Adanya perbedaan tinggi tanaman dan jumlah daun di kedua desa ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti komposisi media didalam polybag dan pupuk kandang yang digunakan. Media tumbuh yang digunakan di desa Tondo tidak sesuai dengan anjuran pada saat diberikan pelatihan. Hasil pengamatan pada bibit kakao yang mati di desa Tondo ditemukan bahwa media didalam polybag banyak mengandung kerikil dan pupuk kandang yang digunakan belum matang. Adanya krikil didalam polybag menyebabkan fluktuasi suhu sangat tinggi sehingga pertumbuhan bibit kakao tidak normal. Manajemen pengelolaan pembibitan yang kurang baik (tanaman disekitar pembibitan tidak dipangkas) mengakibatkan kondisi iklim mikro disekitar pembibitan tidak sesuai. Hal ini mengakibatkan kondisi media di dalam polybag terlalu lembab sehingga merangsang pertmubuhan jamur yang dapat menyebabkan kematian pada bibit kakao. Bibit kakao yang terinfeksi jamur telah ditangani dengan penyemprotan

fungisida. Petumbuhan bibit kakao di desa Jono-Oge lebih baik karena mengikuti semua petunjuk yang diberikan saat pelatihan.

55

Persyaratan bibit kakao yang siap dipindah sesuai persyaratan teknis yaitu sudah berumur 3-5 bulan, tinggi tanaman 40-60 cm dan memiliki jumlah daun minimal 12 helai (Puslitkoka Jember, 1997). Tabel 15 diatas, bibit kakao yang berada di pembibitan desa Jono-Oge sudah memenuhi persyaratan dari Puslitkoka Jember saat dipindahkan ke kebun yaitu sudah berumur 3 bulan lebih, rataan tinggi tanaman 41,6 cm dan jumlah daun 16 helai, sedangkan bibit kakao yang berada di pembibitan desa Tondo belum memenuhi persyaratan teknis terutama rataan tinggi tanaman hanya 32,8 cm (kurang 7,2 cm), tetapi jumlah helaian daun sudah memenuhi persyaratan. Pemindahan bibit kakao dilakukakan pada pertengahan bulan Desember 2005 dan langsung dibawa ke kebun petani koperator masing-masing. Bibit kakao tersebut

disimpan ditempat yang teduh untuk memulihkan dari stress setelah dipindahkan, 2-3 hari kemudian ditanam. Saat penanaman bibit kakao, semua petani koperator memberikan pupuk kandang dari kotoran kambing yang sudah matang pada lubang tanam dengan takaran 0,5-1,0 kg/lubang dan sebagian kecil petani koperator memberikan tambahan pupuk urea sebanyak 25 gr. Bibit yang sudah ditanam diberikan penaung bari daun kelapa agar tidak layu dari sengatan sinar matahari. Berdasarkan pengamatan di lapangan setelah 2 minggu penanaman memperlihatan pertumbuhan bibit baik yang ditandai dengan keluarnya tunas baru.

f. Produksi Kakao Kondisi pertanaman kakao di desa Jono-Oge dan desa Tondo tidak berbeda. Umumnya jumlah pertanaman kakakao tidak memenuhi standar yakni 1 ha kebun kakao mempunyai kapasitas pohon sebanyak 1000-1250 batang. Tanaman kakao yang ada di kebun petani koperator hanya 63,2% dari seharusnya atau hanya sebesar 36,8% kebun petani koperator di desa Tondo tidak ada tanamannya. Berdasarkan pengamatan selama 4 bulan yaitu mulai bulan September-Desember 2005, rataan produksi kakao kering tertinggi pada pengendalian sarungisasi di desa Jono-Oge yakni 345,5 kg, sedangkan rataan produksi kakao kering terendah pada kontrol (kebiasaan petani) di desa Tondo yakni 114,0 kg. Pengendalian PBK dengan penyemprotan insektisida kimia, rataan

56

produksi kakao keringnya juga lebih rendah dibandingkan dengan pengendalian sarungisasi baik di desa Jono-Oge maupun di desa Tondo. Rataan produksi kakao kering petani koperator selama 4 bulan dapat dilihat pada tabel 16. Tabel 16. Rataan Produksi Kakao Kering Petani Koperator selama Bulan SeptemberDesember 2005. Produksi kakao kering (kg/0,5 ha/th) No. Pengendalian Desa Jono-Oge Desa Tondo 1. Kontrol 153,7 114,0 2. 3. Insektisida Sarungisasi 268,2 345,5 189,0 270,3

Pada tabel 16 diatas menunjukkan rataan produksi kakao kering tertinggi di desa JonoOge dengan metode pengendalian sarungisasi, sedangkan rataan produksi kakao kering kontrol (kebiasaan petani) pada kedua desa rendah. Adanya perbedaan rataan produksi antara petani koperator, hal ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan petani dalam mengadopsi teknologi yang dianjurkan dan petani belum mampu membagi waktu untuk setiap cabang usahatani yang dikerjakan. Petani koperator di desa Jono-Oge menerapkan 80% dari semua teknologi yang dianjurkan dan 2-3 cabang usahatani yang diusahakan (Lampiran 3). Sedangkan petani koperator di desa Tondo hanya menerapkan 60-70% dari semua teknologi yang dianjurkan dan 3-4 cabang usahatani yang diusahakan (Lampiran 4). Rataan produksi kakao kering pada Tabel 16 diatas merupakan rataan produksi panen raya, dimana panen raya terjadi 2 kali setahun berarti rataan produksi kakao kering tertinggi (metode sarungisasi) di desa Jono-Oge adalah 1.382 kg/ha/tahun, sedangkan di desa Tondo lebih rendah yakni 1.081,2 kg/ha/tahun. Produksi kakao kering terendah pada kontrol (kebiasaan petani) di desa Tondo yaitu 456 kg/ha/tahun.

7.1.2. Pengelolaan Kambing - Hijauan Pakan Kegiatan paket teknologi integrasi kambing + hijauan pakan dan kakao merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan TA. 2004 yang tetap melakukan sinergi antara pengetahuan para peneliti dengan pengetahuan lokal (petani) melalui Focus Group Discussion pada aras komunitas dan Workshop pada Aras Regional (kabupaten) yang

57

merumuskan paket teknologi yang sesuai dengan kebutuhan para petani serta sesuai dengan keadaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia lokal. Paket teknologi yang telah dirumusknan bersama ini telah dilakukan uji adaptasi untuk menyempurnakan paket teknologi tersebut. Ternak kambing sangat cocok untuk petani miskin karena

investasinya relatif kecil (dibanding sapi), cepat dewasa, pemeliharaannya relatif mudah, dan cepat beranak (dalam 1,5 tahun dapat dua kali beranak). Jenis kambing yang

diintroduksi dan dikembangkan pada pengkajian ini adalah jenis peranakan ettawa (PE) yang memiliki kemampuan produksi yang cukup tinggi. Kambing ini termasuk tipe dwi guna yaitu produksi daging dan susu. Umumnya kambing PE melahirkan anak kembar dengan bobot lahir anak 2,0-2,5 kg, sedangkan kelahiran tunggal dengan bobot lahir 2,5 3,0 kg. Kambing PE ini didatangkan dari kawasan Lembah Palu yang kondisi alamnya yang berbeda dengan lokasi pengkajian sehingga memerlukan waktu adaptasi sekitar 3 bulan. Paket teknologi pengusahaan ternak kambing yang diintegrasikan dengan usaha kebun kakao dan hijauan pakan ternak yang merupakan hasil penelitian sebelumnya dan siap disinerjikan dengan pengetahuan para petani dapat dirinci sebagai berikut : a. Skala Pemilikan Skala pemilikan pemilikan ternak kambing untuk layak diusahakan sebagai tambahan pendapatkan keluarga adalah berkisar 5-7 ekor. Disamping itu, jumlah ternak kambing ini dapat mencukupi kebutuhan kotoran kambing (manure) sebagai bahan baku pembuatan pupuk bokashi untuk luasan kebun kakao 1 ha. Petani yang mendapatkan

paket kambing harus memiliki ternak kambing minimal 1-3 ekor. Pada TA 2004 telah terealisasi 12 koperator mendapatkan ternak kambing, masing-masing 6 koperator dari anggota kelompok tani Mappasidapi, desa Jono-oge dan 6 koperator dari anggota kelompok tani Lelea Katuvua, desa Tondo. Pada TA 2005 ini juga telah terealisasi 12 koperator mendapatkan ternak kambing, masing-masing 6 koperator dari anggota kelompok tani Mappasidapi, desa Jono-oge dan 6 koperator dari anggota kelompok tani Lelea Katuvua, desa Tondo (Tabel 17).

58

Tabel 17. Petani Koperator yang Mendapatkan Kambing No. Desa Jumlah Kambing Diberikan Betina (ekor) Pejantan (ekor) 1. Suardin 3 2. Halim 3 1 3. Kamaruddin 3 4. Sahib 3 1 5. Alimuddin 3 6. Sukardin 3 1 7. Ardin L 3 8. Hadi 3 1 9. Lakana 3 10. Jobose 3 1 11. Gafar 3 12. Lamami 3 1 Jumlah 36 6

Keterangan

1 pejantan untuk 2 kandang

Sisa petani koperator yang belum mendapatkan kambing sebanyak 16 orang masing-masing 8 koperator dari anggota kelompok tani Mappasidapi desa Jono-oge dan 8 koperator dari anggota kelompok tani Lelea Katuvua desa Tondo. Petani koperator yang belum mendapatkan kambing akan diberikan dari hasil perguliran dari petani koperator yang sudah mendapatkan kambing. Khusus 8 orang anggota kelompok tani Mappasidapi, desa Jono-oge yang belum mendapatkan kambing akan diberikan kambing melalui Dinas Pertanian dan Peternakan kabupaten Donggala (FPI3P), masing-masing petani koperator mendapatkan 3 ekor kambing betina dan 1 ekor pejantan untuk 2 kandang. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah untuk mendukung percepatan transfer taknologi kepada petani koperator maupun petani non koperator.

b. Pembuatan Kandang Pembuatan kandang TA. 2004 sebanyak 12 unit yakni 6 unit di desa Jono-Oge dan 6 unit di desa Tondo. Pada TA. 2005 dilanjutkan pembuatan kandang sebanyak 12 unit yakni 6 unit di desa Jono-Oge dan 6 unit di desa Tondo. Kandang yang telah dibuat adalah model panggung agar lebih mudah mengumpulkan kotoran kambing. Kandang terbuat dari bahan baku lokal yang tersedia dilokasi pengkajian dan harganya lebih murah. Bahan pembuatan kandang seperti atap rumbia dan papan apkir (sempi)

59

difasilitasi oleh kegiatan pengkajian, sedangkan kerangka (kayu balak) dan peralatan kandang diadakan oleh petani koperator secara swadaya (partisipatif). Pembuatan

kandang dilakukan oleh petani koperator calon penerima kambing secara bergotong royong. Tata letak kandang menghadap ke timur sehingga sinar matahari pagi musuk kedalam kandang agar tidak lembab, adanya sirkulasi udara yang baik didalam kandang, didalam dan diluar kandang selalu bersih, disekitar kandang dibuat drainase agar tidak becek saat hujan. Kandang yang memenuhi persyaratan teknis ini memberikan

kenyamanan dan sehat pada kambing yang tinggal didalamnya. Berdasarkan pengamatan selama pengkajian berlangsung umumnya kandang kambing milik petani koperator dalam keadaan bersih. Tabel 18 dapat dilihat kondisi diluar dan didalam kandang kambing milik petani koperator. Tabel 18. Kondisi Diluar dan Didalam Kandang Kambing No. Nama Koperator Pemilik Kondisi Kandang Bagian Dalam Bagian Luar 1. Suardin bersih agak kotor 2. Halim bersih agak kotor 3. Kamaruddin agak kotor bersih 4. Sahib bersih bersih 5. Alimuddin bersih bersih 6. Sukardin bersih bersih 7. Ardin L bersih agak kotor 8. Hadi agak kotor agak kotor 9. Lakana bersih bersih 10. Jobose bersih bersih 11. Gafar agak kotor agak kotor 12. Lamami bersih bersih

Pada tabel 18 diatas menunjukkan bahwa kandang bagian dalam yang bersih 9 buah (75,0%) dan agak kotor 3 buah (25,0%), bagian luar kandang yang bersih 7 buah (58,3%) dan agak kotor 5 buah (41,7%). Persentasi kondisi kandang yang bersih baik dibagian dalam maupun luar cukup tinggi berarti tingkat kesadaran petani koperator dalam memelihara kebersihan kandang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan kambing yang tinggal didalam kandang yang bersih menjadi sehat. Setiap seminggu sekali kambing

60

dilepas dipadang rumput dengan sistim ikat pindah untuk memberikan kesempatan kambing gerakan tubuhnya (exercise) dan kawin. c. Perbaikan Pakan, Pemberian Vitamin dan Obat-obatan Perbaikan pemberikan pakan pada ternak kambing diharapkan akan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian yang tinggi yang diikuti oleh bobot badan akhir yang tinggi. Pemberian pakan dasar berupa rumput alam dan atau rumput setaria 60% dari total hijauan pakan dan pakan tambahan daun gamal 20 % + KBK 20% dari total hijauan pakan. Pakan (rumput alam atau rumput setaria, daun gamal dan KBK) yang diberikan pada kambing dalam bentuk dilayukan. Tujuan pelayuan pada daun gamal untuk kadar air dan mengurangi bau, sedangkan KBK mengurangi kadar air dan tiobromin (theobromine). KBK yang diberikan pada kambing ini tidak difermentasi karena KBK yang difermentasi masih dalam tahap uji coba. Pemberian pakan setiap desa berbeda tergantung dari rataan bobot badan kambing. Total pemberian pakan pada

kambing 15% dari bobot badan setiap hari yang diuraikan pada tabel 19. Tabel 19. Rataan Total Pemberian dan Komposisi Pakan Kambing Pola Introduksi No. Desa 1. 2. Jono-Oge Tondo Total Pakan (kg) 2,2 2,0 Komposisi Pakan Rumput Daun Gamal (kg) (kg) 1,3 0,45 1,2 0,40 KBK (kg) 0,45 0,40

Total pemberikan pakan pada kambing (Tabel 19) semuanya dapat dihabiskan kecuali KBK pada awal pemberian tersisa, tetapi setelah 2 minggu kemudian dapat dihabiskan semuanya. Hal ini menunjukkan bahwa kambing sudah menyukai KBK. Sebagai

pembanding, ternak kambing hanya diberikan rumput alam secukupnya berdasarkan kebiasaan peternak (pola peternak). Komposisi pemberian pakan untuk ternak kambing ini sudah dapat memenuhi unsur nutrisi yang dibutuhkan untuk produksi dan reproduksi. Kandungan nutrisi pakan kambing dapat dilihat pada tabel 20.

61

Tabel 20. Kandungan Nutrisi Pakan Kambing No. Jenis Pakan Kandungan Nutrisi Bahan Kering Protein Kasar Serat kasar (%) (%) (%) 1. Rumput alam 32,9 7,5 29,5 2. 3. 4. 5. Rumput setaria Daun gamal KBK KBK fermentasi 35,9 42,7 18,7 21,1 12,7 18,3 9,9 14,6 39,9 38,2 32,7 23,9

Lemak (%) 2,2 0,4 2,8 9,2 6,0

Pakan dianalisis di Lab. Analitik, Fak. Pertanian Untad, Palu, 2005.

Kandungan protein pada susunan pakan ini sudah dapat memenuhi kebutuhan protein kasar untuk produksi dan reproduksi kambing yakni 16%. Berdasarkan hasil pengamatan selama 2,5 bulan menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan ini terjadi kenaikkan bobot badan dari 0,5 hingga 6,0 kg/ekor. Keterkaitan integrasi kambing dengan tanaman kakao ini dalam hal pemanfaatan kulit buah kakao (KBK). Berdasarkan hasil penimbangan untuk mendapatkan KBK 1 kg basah tergantung dari ukuran buah, buah kecil memerlukan 5-6 buah, buah sedang memerlukan 4-4,5 buah dan buah besar hanya memerlukan 3 buah. Ketersediaan KBK berlimpah saat panen perlu ditindak lanjuti dengan prosesing untuk meningkatkan lama simpan dan kandungan nutrisinya. Prosesing KBK ini dengan cara fermentasi dalam skala kecil untuk menguji penggunaan kapang Trichorderma viridae. Tabel 20 diatas memperlihatkan bahwa KBK yang sudah difermentasi mengalami peningkatan kandunagan bahan kering, protein kasar dan palatabel (rasa kesukaan kambing mengkonsumsi), sedangkan kandungan serat kasar mengalami penurunan. Penurunan serat kasar KBK ini dapat meningkatkan daya cerna kambing apabila mengkonsumsi KBK fermentasi. TA. 2006 nanti, KBK fermentasi akan dikembangkan dan diberikan pada semua kambing milik petani koperator. Pemberian vitamin pada kambing berupa vitamin B-komplek dan B12 bertujuan untuk perbaikan fisik dan peningkatan nafsu makan, pemberiannya secara setiap bulan untuk semua kambing piaraan petani koperator, tetapi khusus kambing yang bunting, setelah sakit dan setelah melahirkan diberikan vitamin setiap 2 minggu sekali.

62

Pemberian obat-obatan pada kambing apabila terserang penyakit dan parasit. Berdasarkan pemantauan dilapangan, umumnya kambing betina pada kegiatan pengkajian ini sehat. Gangguan infeksi pada mulut akibat mengkonsumsi hijauan pakan berduri dapat diatasi dengan pemberian antibiotik secara intensif selama 3 hari berturutturut. Kasus serangan parasit kudis (scabies) terjadi pada 2 kandang yang disebabkan kondisi kandang yang kotor (Tabel 18). Pemberian obat cacing pada semua kambing piaraan petani koperator pada awal kegiatan pengkajian dengan tujuan untuk pengedalian parasit kacing. Pemberian obat cacing selanjutnya setelah 2 bulan kemudian untuk pengendalian karena potensi terkontaminasi larva cacing cukup tinggi saat curah hujan yang tinggi (nopember dan desember). Pengendalian parasit dan pengobatan penyakit pada kambing sudah bisa dilakukan oleh beberapa petani koperator. Petani koperator yang sudah dilatih dan terampil melakukan penyuntikan atau pengobatan adalah bapak Nasir, Kamaruddin dan bapak M. Amin untuk desa Jono-Oge, bapak Hadi dan bapak Arifuddin untuk desa Tondo.

d. Introduksi Hijauan Pakan Penyediaan pakan tambahan untuk kambing dengan penanaman rumput unggul dan leguminosa di pekarangan/dekat kandang kambing, sebagai tanaman konservasi di kebun kakao dan pembuatan kebun bibit hijauan pakan desa. Jenis leguminosa yang telah ditanam adalah gamal (Gliricidia sepium) sebagai tanaman pelindung di kebun kakao, Arachis pintoi sebagai tanaman penutup tanah di kebun kakao, sedangkan sentro (Centrosema pubescens) sudah berkembang di kebun kakao sebagai tanaman penutup tanah. Leguminosa seperti desmanthus (Desmanthus virgatus), siratro (Macroptilium artopurpureum), lamtoro (Leucaena leucocephala) tahan kutu loncat, turi merah dan putih (Sesbania grandiflora), dan rumput unggul seperti setaria (Setaria splendida), banggala (Panicum maximum) ditanam di kebun bibit di desa Jono-Oge dan desa Tondo. Disamping itu, rumput setaria (Setaria splendida) juga ditanam sebagai tanaman konservasi dilahan perkebunan kakao yang berlereng (miring) dengan sistem strip. Jenis hijauan pakan yang dikembangkan di kebun bibit atau di kebun kakao memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Tabel 21).

63

Tabel 21. Kandungan Nutrisi Hijauan Pakan yang Dibudidayakan No. Jenis Pakan Bahan kering (%) 43,0 30,4 74,1 44,3 35,6 23,1 21,4 35,0 Kandungan nutrisi Protein kasar Serat kasar (%) (%) 5,8 31,3 19,3 16,2 16,3 16,4 24,3 23,5 24,3 38,6 38,2 25,9 34,9 27,6 31,4 23,3 Lemak (%) 2,2 1,3 1,6 1,1 1,2 1,7 2,2 -

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Rumput benggala Arachis pintoi Sentro Desmanthus Siratro Turi Merah Turi Putih Lamtoro*

Pakan dianalisis di Lab. Analitik, Fak. Pertanian Untad, Palu, 2005 * Sumber: Thahar and Mahyuddin (1993).

Pupuk dasar kebun bibit ini memanfaatkan pupuk kandang dari kotoran kambing yang sudah matang. Berdasarkan pengamatan dilapangan, pertumbuhan semua hijauan pakan ini cukup baik. Kebun bibit ini nantinya diharapkan sebagai sumber bibit bagi petani koperator dan nonkoperator di kecamatan Sirenja untuk ditanam dilahannya.

e. Pembuatan Bokashi Kotoran Kambing (Manure) Integrasi kambing dan kakao akan memberikan tambahan keuntungan petani selain melalui penjualan kakao, juga melalui penjualan kambing dan pukan dari kotoran kambing yang sudah difermentasi. Beberapa manfaat dari penggunaan pupuk kotoran kambing yang difermentasi pada lahan dan ternak kambing yaitu: 1. Mengurangi penggunaan pupuk anorganik hingga 40% dari kebutuhan tanaman kakao (Priyanto et al., 2004) sehingga dapat mengurangi biaya produksi, 2. Memperkaya unsur hara seperti karbon, nitrogen dan pospor, unsur mineral seperti magnesium, kalium dan kalsium, semua unsure ini diperlukan tanaman (Rachmawati dan Murdiati, 1996), 3. Memperbaiki struktur dan tekstur tanah sehingga memudahkan pertukaran oksigen,

64

4. Mengurangi serangan kutu kudis (scabies) dan parasit cacing pada ternak kambing, karena kutu dan cacing ini menyukai tempat yang kotor dan lembab pada tumpukan kotoran ternak. Pemanfaatan pukan dari kotoran kambing fermentasi (bokashi) masih terbatas, karena ketersediaan kotoran kambing juga masih terbatas. Disamping itu petani belum mampu membagi waktunya untuk membuat bokashi karena memiliki lebih dari satu cabang usahatani yang diusahakan (Lampiran 3 dan 4). Sebanyak 9 petani koperator di desa Jono-Oge yang sudah memanfaatkan kotoran kambing, hanya 4 petani koperator yang membuat bokashi yaitu bapak Kamaruddin, bapak Nasir, bapak M. Amin dan bapak Salama. Bapak Kamarudin mengumpulkan kotoran kambing dan sapi dari tetangganya karena baru TA. 2005 ini mendapatkan paket kambing, pemanfaatan bokashi ini untuk tanaman kakao, hijauan pakan di kebun bibit dan pembibitan kakao. Bapak bapak Nasir dan bapak M. Amin memanfaatan bokashi hanya untuk tanaman kakaonya, sedangkan bapak Salama memanfaatkan bokashi dari kotoran sapi untuk kebun kakao. Pemanfaatan bokashi di desa Tondo untuk tanaman kakao hanya 3 petani koperator yaitu bapak Ardin L. dan bapak Anwir. Khusus bapak Ardin karena baru TA 2005 ini mendapatkan paket kambing, untuk mendapat kotoran kambing atau sapi diambil dari kandang milik tetangganya. Hasil analisis pukan dari kotoran kambing dan bokashi oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor menunjukkan bahwa bokashi memiliki kandungan hara yang tinggi dibandingkan dengan pukan biasa. Bokashi memiliki kandungan N-organik dan P yang lebih tinggi dibandingkan dengan pukan biasa, tetapi kandungan K bokashi lebih rendah dibandingkan dengan pukan biasa (Lampiran 2). Melihat dari kandungan N yang tinggi maka dianjurkan agar pukan dari kotoran kambing difermentasi. TA. 2006 nanti pembuatan bokashi diharapkan lebih dikembangkan lagi pada semua petani koperator dan disosialisasikan juga pada petani nonkoperator.

f. Produksi dan Reproduksi Produktivitas kambing dilihat dari pertambahan bobot badan selama dalam pemeliharaan. Produktivitas kambing ini tergantung dari manajemen pemeliharaan mulai

65

perkandangan, pemberian pakan, pengendalian parasit dan penyakit, serta pengaturan reproduksi. Pemberian pakan yang cukup pada kambing untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi akan menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang tinggi dan akan diikuti oleh bobot badan akhir yang tinggi. Kambing betina yang

didistribusikan kepada petani koperator berumur 1,0-1,5 tahun, dimana pada kisaran umur ini masih mengalami fase pertumbuhan untuk memasuki dewasa tubuh. Komposisi pakan yang diberikan pada kambing betina (Tabel 19) memberikan respon positif terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH). Pada Tabel 22 dapat dilihat

pertambahan bobot badan kambing di desa Jono-Oge dan desa Tondo. Tabel 22. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Kambing No. Desa/ Bobot awal Bobot akhir PBHH Kenaikkan bobot pola pemeliharaan (kg) (kg) (g) badan (kg) Jono-Oge 1. 2. Kontrol Introduksi 15,1 14,4 16,8 18,5 27,8 53,3 2,0 3,4

Tondo 3. 4. Kontrol Introduksi 14,1 12,9 17,8 17,1 42,2 56,3 3,1 4,2

Pada tabel 22 diatas, rataan PBBH kambing tertinggi pada pola introduksi di desa Tondo, sedangkan rataan PBBH terendah pada kontrol (pola petani) di desa Jono-Oge. Tingginya rataan PBBH ini karena didukung oleh manajemen pemeliharaan yang baik seperti pemberian pakan yang cukup, kebersihan kandang, pengendalian parasit dan cacing serta pemberian vitamin. Sebaliknya rataan PBBH terendah pada kambing milik petani koperator di desa Jono-Oge karena pemberian pakan lengkap selalu tidak tepat waktu dan takarannya tidak sesuai anjuran. Disamping itu pakan yang tidak dihabiskan kambing tidak dikeluarkan dari tempat pakan (menimbulkan bau) sehingga menurunkan nafsu makan kambing dan hanya sedikit mengkonsumsi pakan. Disarankan agar selalu membersihkan tempat pakan apabila ada sisa pakan.

66

Kambing yang sudah diberikan kepada petani koperator diharapkan dapat berkembang (melahirkan anak) agar proses perguliran dapat terlaksana. Perkembangan reproduksi kambing tersebut selama 3 bulan terakhir setelah diberikan kepada petani koperator dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Perkembangan Reproduksi Kambing Betina Reproduksi Kambing No. Nama Koperator Pemilik Belum Bunting Bunting Melahirkan (ekor) (ekor) (ekor) 1. Suardin 2 1 2. Halim 3 3. Kamaruddin 1 2 4. Sahib 2 1* 5. Alimuddin 3 6. Sukardin 2 1 7. Ardin L. 2 1 8. Hadi 2 1 9. Lakana 2 1 10. Jobose 1 2 11. Gafar 3 12. Lamami 3 Keterangan: * : melahirkan anak kembar dua masing-masing bobot lahir 2 kg.

Tabel 23 diatas menunjukkan bahwa terjadinya kebuntingan pada kambing sebanyak 8 ekor (22,2%), sedangkan yang belum bunting masih 26 ekor (72,2%), tetapi beberapa ekor kambing betina menunjukkan gejala birahi (estrus). Diharapkan 1-2 bulan kemudian terjadi kebuntingan pada kambing betina yang sudah dikawini kambing pajantan. Angka kelahiran anak selama 3 bulan terakhir masih rendah yaitu hanya 2 ekor induk yang melahirkan anaknya (5,6%). Kambing yang melahirkan ini sudah terjadi kebuntingan saat didistribusikan kepada petani koperator (bunting dari tempat asalnya).. Bobot lahir anak pertama 2,0 kg (kelahiran tunggal) berkelamin betina, sedangkan bobot lahir anak kedua 2,5 kg (kelahiran tunggal) berkelamin jantan. Melihat dari perkembangan reproduksi kambing betina ini menunjukkan cukup subur (fertil) karena sudah terjadi kebuntingan dan birahi meskipun kondisi kambing masih dalam tahap adaptasi pada lingkungan barunya.

67

7.1.3. Teknologi Konservasi Tanah dan Air Dalam upaya meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan dalam jangka panjang sebagai akibat terjadinya degradasi lahan maka perlu diterapkan inovasi teknologi konservasi. Beberapa teknologi konservasi yang telah diterapkan di lahan petani koperator adalah gulud pemanen air, strip rumput dan rorak. Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng. Tinggi tumpukan tanah dibuat sekitar 25-30 cm dengan lebar dasar sekitar 25 sampai 30 cm. Jarak antar guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan. Untuk meningkatkan penyediaan air diterapkan gulud pemanen air. Pembuatan gulud, pada TA. 2004 hanya didemplot lahan miring dikebun bapak Salama desa Jono-Oge dan bapak Lakana desa Tondo, gulud ini sudah diperbaiki kembali akibat adanya erosi saat hujan. TA. 2005 petani koperator lebih cenderang menerapkan pembuatan teras bangku individu pada kebun kakaonya yang berlereng. Petani koperator yang telah membuat teras bangku individu adalah bapak Rahman, bapak Yahya, bapak Aklin, bapak Amin dan Mahmud A untuk desa Jono-Oge, bapak Halu, bapak Jobose dan bapak Hadi untuk desa Tondo. Hasil diskusi kelompok, petani koperator lebih memilih membuat teras bangku individu berkaitan dengan kondisi perakaran kakao yang muncul kepermukaan. Apabila dibuat guludan atau teras bangku panjang dikhawatirkan perakaran tanaman kakao menjadi putus, hal ini dapat mengakibatkan tumbangnya pohon kakao tersebut. Pembuatan strip rumput hanya dilakukan oleh bapak M. Amin dan bapak Rahman desa Jono-Oge dengan menggunakan rumput unggul yakni rumput setaria dan rumput benggala. Sedangkan strip rumput di lahan miring di kebun bapak Salama desa Jono-Oge dan bapak Lakana desa Tondo yang ditanam TA. 2004 dilakukan penanaman ulang karena sudah banyak yang akibat terlalu berat melakukan pemotongan rumput. Disamping itu rumput unggul yang ada pada strip di kebun bapak Salama sering diminta bibitnya (pols) oleh petani lainnya untuk ditanam dikebunnya. Rorak yang ada dikebun bapak Salama desa Jono-Oge dan bapak Lakana desa Tondo sudah dikeluarkan isinya berupa tanah dan bahan organik lainnya yang telah disebar disekitar pohon kakao, kemudian dilakukan penggalian lubang rorak kembali. Untuk mengurangi erosi terutama

68

saat musim hujan, bapak Salama menimbun dedaunan kakao (selasah) diantara pohon kakao karena timbunan daun ini dapat menghambat terjadi erosi. Berdasarkan hasil pertemuan kelompok tani di desa Jono-Oge dan desa Tondo, semua petani koperator yang memiliki lahan miring menyatakan bahwa dengan pembuatan gulud, strip rumput, rorak dan teras bangku individu dapat mengurangi terjadinya erosi saat musim hujan.

7.2. Penumbuhkembangan Lembaga Ekonomi Petani (LEP) 7.2.1. Dinamika Kerjasama Petani di Kebun dan di Pembibitan Kakao Pada awalnya kelompok tani digulirkan untuk mengusung tindakan kolektif atau tindakan bersama anggota dalam mengefisienkan dan atau mengefektifkan kegiatan proses produksi dan pengolahan (di kebun), pemasaran, dan penyediaan input produksi. Namun dalam pelaksanaan kegiatan di kebun jalannya masih belum maksimal. Kegiatan kerjasama kelompok tidak berjalan optimal, pada saat dilakukan untuk membuat pembibitan bersama. Hanya sebagian petani yang hadir secara teratur, sedangkan

sebagian besar lainnya tidak hadir meskipun mereka sudah menyusun jadwal bersama. Petani koperator yang rajin datang untuk mengurus bibit kakao di desa Jono-Oge hanya 4 orang (bapak M. Amin, bapak Kamarudin, bapak Sahib, dan bapak Nasir) dan di desa Tondo hanya 5 orang (bapak Ardin, bapak Lakana, bapak Jobose, bapak Yusuf, dan bapak Anwir) Sebenarnya untuk meminimalkan keragaman kepentingan dan kesulitan petani sudah dicoba diatasi dengan membentuk kelompok kerja. Dalam hal ini satu kelompok tani dibagi menjadi dua kelompok kerja. Namun demikian, pada umumnya para petani masih lebih memilih bekerja sendiri-sendiri untuk setiap pekerjaan di kebunnya. Kelompok kerja hanya berjalan dengan baik dalam bentuk kerjasama membersihkan kebun kakao manakala terdapat anggota kelompok yang terkena musibah (sakit) dan anggota tersebut dipandang tidak mungkin membersihkan kebunnya sendiri. Kerjasama tersebut berlangsung pada kebun milik Mahmud B (desa Jono-Oge) dan pada kebun milik Yusuf (desa Tondo). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa peranan kelompok sebagai wadah pertukaran tenaga atau sebagai wadah belajar bersama diantara petani anggota

69

kelompok belum mampu mendorong para petani untuk bekerjasama dalam kegiatan di kebun. Peranan kelompok sebagai wadah kerjasama diantara anggota kelompok hanya berjalan manakala terdapat dorongan kepada para petani anggota kelompok bahwa mereka harus menjalankan solidaritas sosialnya, yaitu mereka harus membantu anggota yang mendapat musibah. Beberapa hambatan yang muncul dalam mendorong kelompok tani/kelompok kerja sebagai wadah kerjasama aktivitas di kebun adalah : 1) masih sulitnya mengakomodir perbedaan kepentingan petani anggota yang disebabkan oleh perbedaan luas dan kualitas kebun serta, dan 2) sulitnya mengatur waktu bersama karena banyaknya cabang usahatani yang dijalankan para petani sehingga menimbulkan beragamnya jenis pekerjaan yang harus mereka prioritaskan, 3) selama ini para petani tidak terbiasa dengan kerja bersama pada kegiatan usahatani kakao, 4) dengan usahatani yang kurang intensif, maka kepentingan bersama untuk mengatasi kesulitan atau untuk mengefektifkan dan mengefisienkan tindakan tidak cukup mereka rasakan, sehingga tindakan individual masih menjadi pilihan petani koperator, 5). secara eksternal pengaruh ekonomi pasar telah menggiring kuatnya pilihan petani pada tindakan individual, kalaupun ada kerjasama akan dipilih berdasarkan pertimbangan rasional (untung-rugi). Berkaitan dengan itu, untuk memperbaiki kegiatan kelompok tani dimasa yang akan datang beberapa langkah berikut perlu ditempuh : 1) dalam berbagai pertemuan para petani harus selalu dilakukan diskusi untuk mengidentifikasi sejauhmana kegiatankegiatan yang dilakukan bersama dapat mendukung tercapainya tindakan yang lebih efektif dan lebih efisien dibanding tindakan yang dilakukan secara individual, 2) dalam diskusi tersebut perlu juga diidentifikasi tentang bagaimana kelompok tani dapat mengakomodir berbagai kepentingan petani yang cenderung beragam jenis dan prioritasnya serta dapat mengatasi kesulitan petani yang juga cenderung beragam, 3) dalam diskusi tersebut perlu juga dimusyawarahkan mekanisme dan jadwal kerjasama serta hak dan kewajiban setiap anggota, 4) dipilih kegiatan-kegiatan yang memenuhi kriteria 1-3 untuk dicoba bersama, 5) perlu dicoba dibentuk kelompok kerja dengan anggota lebih sedikit (4-5 orang/kelompok kerja), 6). di masa yang akan datang, kerjasama kelompok tani sebaiknya diarahkan pada kegiatan bagaimana para petani mengadakan input secara bersama-sama sehingga lebih efektif dan atau lebih efisien.

70

7.2.2. Keterlibatan Anggota Keluarga dalam Usahatani Kakao (Gender) Keterlibatan anggota keluarga dalam kegiatan SUT integrasi kambing dan kakao ini relatif rendah secara kuntitatif hanya berkisar 20-30%. Aktivitas usahatani di kandang atau di kebun setiap hari lebih didominasi oleh bapak tani. Aktivitas rutinitas petani koperator setiap hari seperti melakukan pembersihan kandang kambing atau kebun kakao, pemberian pakan kambing, penyarungan buah kakao, penyemprotan hama dan penyakit, pemupukan. dll. Peranan istri petani setiap harinya lebih berkonsentrasi pada aktivitas mengurus rumah tangganya, sedangkan anak petani umumnya masih bersekolah

sehingga hanya pada sore hari saja dapat membantu orang tuanya di kebun atau di kandang kambing. Namun pada kegiatan tertentu seperti panen kakao (terutama panen raya), pembelahan hingga penjemuran buah kakao dilakukan oleh istri petani dan dibantu anaknya. Kegiatan pemeliharaan kambing kadang-kadang digantikan oleh istri dan

anaknya seperti menyabitkan rumput atau memotongkan gamal dan memberikan pakan pada kambing apabila bapak taninya memiliki kesibukan lainnya. Penentuan untuk penjualan kakao kering atau penjualan ternak umumnya didominasi oleh istri petani. Pembelian sarana produksi untuk tanaman kakao umumnya diputuskan secara bersama antara petani dan istrinya karena hal ini berkaitan dengan pengelolaan keuangan rumah tangga petani.

7.2.3. Perkembangan Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam Meskipun kegiatan kelompok dalam bentuk kerjasama pada aktivitas kebun masih belum optimal, namun kegiatan simpan pinjam yang memanfaatkan iuran anggota berjalan dengan baik. Dalam kurun waktu tujuh bulan dan dengan modal kelompok sebesar Rp. 1.155.000,-, telah terjadi 13 kali transaksi simpan pinjam dengan total nilai Rp. 1.660.000,- dan kegiatan tersebut telah mengasilkan bunga sebesar Rp. 123.000,-. Dalam hal penerapan aturan pada umumnya berjalan cukup baik. Data hasil monitoring menunjukkan bahwa 54 % peminjam telah mengembalikan pinjaman sesuai aturan (maksimal 2 bulan) dan 78 % peminjam telah membayar bunga pinjaman (Tabel 24).

71

Tabel 24. Kinerja Simpan Pinjam pada Kelompok Tani di Jono Oge Kegiatan Indikator Jumlah Tabungan Petani Rp. 1.155.000 Jumlah transaksi 13 kali Nilai Transaksi Rp. 1.660.000 Bunga Pinjaman Rp. 123.000 - Bayar seluruh bunga 10 - Tidak bayar bunga 1 - Pinjaman belum kembali 2 Lama Pinjaman - 1 bulan 6 - 2 bulan 1 - 3 bulan 3 - 4 bulan 1 - > 4 bulan 2 Dalam hal penerapan aturan pada umumnya berjalan cukup baik. Data hasil monitoring menunjukkan bahwa 54 % peminjam telah mengembalikan pinjaman sesuai aturan (maksimal 2 bulan) dan 78 % peminjam telah membayar bungan pinjaman (Tabel 24). Volume kegiatan ini dapat terus ditingkatkan dengan semakin meningkatnya

kemampuan dana kelompok. Namun demikian, untuk meningkatkan kinerja kegiatan ini para anggota harus didorong untuk memenuhi aturan yang telah disepakati dan kelompok tani harus menjaga transparansi dengan cara mengumumkan perkembangan kegiatan simpan pinjam (siapa yang meminjam, siapa yang sudah mengembalikan, jumlah bunga yang diperoleh dan dana cash yang tersedia di kelompok/bendahara).

7.2.3. Pembayaran Cicilan Modal Kelompok Dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian petani dalam menerapkan teknologi secara berkelanjutan, maka dana fasilitasi pengadaan sarana produksi distatuskan sebagai modal kelompok yang dipinjamkan kepada petani koperator. Oleh sebab itu, mereka harus mengembalikan dana tersebut agar dapat mereka gunakan untuk membeli sarana produksi pada waktu berikutnya. Walaupun belum

sempurna, pendekatan ini telah mulai direalisasikan dimana seluruh petani koperator di desa Jono Oge (100%) dan sebagaian besar petani koperator di desa Tondo (85%) sudah mulai mencicil pinjamannya. Rata-rata pengembalian pinjaman di desa Jono-Oge relatif

72

lebih baik dibanding di desa Tondo, yaitu 33,6 % dibanding 27,2 % (Tabel 25 dan Tabel 26). Tabel 25. Perkembangan Pengembalian Pinjaman Petani Koperator Desa Jono Oge s/d Akhir Tahun 2005
No. Nama petani koperator 2 Muhamad Nasir Sepe T Aklin Suardin Mahmud B Rahman Maksun Yahya R Salama Kamaruddin Muh Amin Hanif Fahmi Halim Mahmud A Saenong Besar Pinjaman* 3 427.800 788.880 487.100 728.400 850.540 523.600 516.600 322.380 384.340 481.760 540.640 596.320 472.540 631.180 551.340 575.740 485.820 Jumlah Bayar 4 200.000 300.000 150.000 200.000 200.000 200.000 250.000 50.000 150.000 200.000 150.000 300.000 100.000 200.000 200.000 100.000 200.000 Sisa Pinjaman % Bayar dari Pinjaman 6 46,8 38,0 30,8 27,5 23,5 38,2 48,4 15,5 39,0 41,5 27,7 50,3 21,2 31,7 36,3 17,4 41,2 Kekurangan Bayar untuk Target 50% 7 13.900 94.440 93.550 164.200 225.270 61.800 8.300 111.190 42.170 40.880 120.320 1.840 136.270 115.590 75.670 187.870 42.910 1.532.490

1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

5 227.800 488.880 337.100 528.400 650.540 323.600 266.600 272.380 234.340 281.760 390.640 296.320 372.540 431.180 351.340 475.740 285.820

Jumlah 9.364.980 3.150.000 6.214.980 33,6 * sebagian sarana produksi yang diberikan program penelitian kepada petani koperator

73

Tabel 26. Perkembangan Pengembalian Pinjaman Petani Koperator Desa Tondo s/d Akhir Tahun 2005
No. Nama petani koperator 2 Gafar 753.350 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Kadir 262.580 Bohar 455.652 Anwir 592.210 Jobose 453.940 Ardin 493.380 Hayati 804.320 Yusrin 572.680 Yusuf 744.200 Halu 466.360 Lakana 626.210 Arifudin 486.380 Aspin 284.350 Ilham 562.420 Hadi 762.460 Isman 502.850 Asnudin 353.300 Sanudin Hafid Numan 495.620 121.620 197.120 210.000 285.620 121.620 197.120 42,4 37.810 60.810 98.560 4.988.919 50.000 303.300 14,2 126.650 100.000 402.850 19,9 151.425 100.000 662.460 13,1 281.230 200.000 362.420 35,6 81.210 284.350 142.175 50.000 436.380 10,3 193.190 250.000 376.210 39,9 63.105 100.000 366.360 21,4 133.180 300.000 444.200 40,3 72.100 100.000 472.680 17,5 186.340 300.000 504.320 37,3 102.160 200.000 293.380 40,5 46.690 100.000 353.940 22,0 126.970 207.500 384.710 35,0 88.605 100.000 355.652 21,9 127.826 110.000 152.580 41,9 21.290 240.000 513.350 31,9 136.675 Besar Pinjaman* 3 Jumlah Bayar 4 Sisa Pinjaman % Bayar dari Pinjaman 6 Kekurangan Bayar untuk Target 50% 7

1 1

Jumlah 9.991.002 2.717.500 7.273.502 27,2 * sebagian sarana produksi yang diberikan program penelitian kepada petani koperator

Bila prestasi pengembalian kredit tersebut dibandingkan antara berbagai status kesejahteraan petani koperator, data pada Tabel 27 menunjukkan bahwa secara umum untuk kedua desa, ternyata kemampuan petani miskin lebih baik (32,9 %) dibanding

74

petani nyaris miskin (31,7 %) maupun dibanding petani kaya (25,8 %) Bahkan petani kaya yang kemampuan ekonominya lebih baik ternyata prestasi pengembalian kreditnya paling rendah . Tabel 27. Rata-rata Pengembalian Kredit Berdasarkan Status Kesejahteraan Petani Koperator Status Kesejahteraan Miskin Nyaris Miskin Sejahtera Rataan Desa Jono-Oge (%) 38,9 27,9 30,5 33,6 Desa Tondo (%) 26,8 35,5 21,1 27,2 Rataan (%) 32,9 31,7 25,8 30,4

Pada tahap berikutnya pengembalian cicilan harus didorong agar semua petani koperator dapat mengembalikan pinjaman tersebut dalam proporsi yang sama, misalnya 50% dari pinjaman yang sudah diterimanya. Dengan demikian kelompok tani memiliki lagi dana untuk membeli sarana produksi, terutama pupuk dan sarana pengendalian PBK.

7.3. Penumbuhkembangan Forum Komunikasi dan Manajemen Program (FKMP) 7.3.1. Perkembangan Pelaksanaan Kegiatan Pemasaran Bersama Kegiatan pemasaran bersama sudah dirintis oleh para petani koperator di desa Tondo, tetapi dalam kurun waktu empat bulan kegiatan ini hanya berjalan 5 kali

penjualan dengan total volume 214 kg (rata-rata 43 kg). Pemasaran bersama kakao tersebut dilakukan dengan cara kelompok membeli kakao dari petani dan kemudian kelompok melalui Seksi Usaha menjual kakao tersebut kepada pedagang di Palu. Beberapa pedagang di Palu yang sudah menjalin hubungan pembelian kakao petani koperator yaitu PT. Adipura beralamat di jalan Tanjung Satu, Palu dan PT. Marannu yang beralamat di jalan Trans Sulawesi, Taipa. Pada tahap awal, pola ini belum banyak mendapat respon petani koperator.

75

Namun setelah anggota diberikan pengertian melalui pertemuan kelompok maka semua anggota kelompok menjual kapada Seksi Usaha pada kelompok tani. Tabel 28. Analisa Tataniaga Kakao (Mutu Kering Kacang) Penjualan ke Pedagang di Palu (via Supir) Berat Kotor kg Susut * kg Berat Bersih kg Harga Rp/kg Pendapatan Kotor Rp/kg Ongkos Angkut Rp/karung ** Pendapatan Bersih/1 kali jual Harga bersih/kg

80,0 1,0 79,0 10.700,0 845.300,0 10.000,0 835.300,0 10.441,3

Berat Kotor Susut * Berat Bersih Harga Pendapatan Kotor Pendapatan Bersih /1 kali jual Harga bersih/kg

Penjualan ke Pedagang di Desa kg 80,0 kg 1,0 kg 79,0 Rp/kg 9.000,0 Rp/kg 711.000,0 711.000,0 8.887,5 9.000,0

Selisih Pendapatan Petani (Jual di Palu vs di desa) per kg per kali penjualan per ha (800 kg)

1.553,8 124.300,0 1.243.000,0

* Standar kadar air yang ditetapkan pedagang adalah 7%. Umumnya kadar air biji kakao petani masih dianggap kurang dari 7% sehingga biji kakao petani dikenakan potongan susut berkisar antara 1 4%. Seringkali kakao mutu kering kacang dinilai pedagang masih berkadar air 8% sehingga dipotong susut 1% ** kapasitas karung besar = 80 kg biji kakao dengan mutu kering kacang

Hasil analisa tataniaga (Tabel 28) pada kasus yang dilakukan seorang petani koperator (bapak Nasir) menunjukkan bahwa sebenarnya penjualan langsung kepada pedagang di Palu sangat menguntungkan karena petani akan memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp. 1,554,- untuk setiap kg kakao yang dijualnya, meskipun mereka harus mengeluarkan ongkos angkut sebesar Rp. 167/kg. Tambahan pendapatan tersebut terjadi karena tingkat harga pada pedagang kakao di desa hanya Rp. 9.000,-/kg,

sedangkan tingkat harga pada pedagang kakao di Palu mencapai Rp. 10.700,-/kg.

76

Selain telah dilakukan oleh kelompok, sebenarnya mekanisme penjualan langsung kepada pedagang di Palu sudah dilakukan oleh sebagian petani. Penjualan tersebut dapat mereka titipkan kepada sopir angkutan umum dengan ongkos angkut yang bervariasi tergantung volume kakao yang dibawa. Secara umum, penjualan kakao ke

pedagang di Palu oleh petani koperator di Jono Oge lebih banyak dibanding di Tondo (Tabel 29). Di desa Jono-Oge aktivitas tersebut dilakukan oleh 11 petani koperator (55%). Bahkan diantara 11 petani koperator tersebut, 4 petani koperator (20%) menjual seluruh kakao miliknya melalui meknisme ini sedangkan pada 7 petani koperator lainnya (35%) proporsi kakao yang di jual ke Palu hanya rata-rata 79% (75-80 %) dari kakao yang dihasilkannya. Sementara itu, di desa Tondo penjualan kakao langsung ke Bahkan hanya 2

pedagang di Palu hanya dilakukan oleh 7 petani koperator (35%).

petani koperator (10%) yang menjual seluruh kakao miliknya ke Palu, sedangkan pada 5 petani lainnya (55%) kakao yang di jual ke Palu rata-rata hanya 64% (20-80 %) dari kakao yang dihasilkannya. Tabel 29. Distribusi Petani Koperator Berdasarkan Mekanisme Penjualan Kakao Mekanisme Penjualan Desa Jono-Oge Jumlah % petani 11 9 20 55 45 100 Desa Tondo Jumlah % petani 7 13 20 35 65 100 Total Jumlah % petani 18 22 40 45 55 100

Pedagang di Palu Pedagang desa Total

77

Tabel 30. Distribusi Petani Koperator Berdasarkan Mekanisme Penjualan Kakao dan Tingkat Kesejahteraan Status Kesejahteraan Desa Jono-Oge Desa Tondo Total

Pedagang Pedagang Pedagang Pedagang Pedagang Pedagang desa Palu desa Palu desa Palu Sejahtera Nyaris Miskin Miskin Total 2 (50) 3 (50) 3 (43) 8 (47) 2 (50) 3 (50) 4 (57) 9 (53) 1 (34) 3 (50) 6 (86) 10 (63) 2 (66) 3 (50) 1 (14) 6 (37) 3 (43) 6 (50) 9 (64) 18 (55) 4 (57) 6 (50) 5 (36) 15 (45)

Bila mekanisme penjualan tersebut dibedakan berdasarkan tingkat kesejahteraan petani, secara umum nampak bahwa mekanisme penjualan kepada pedagang di Palu, menjadi pilihan sebagian besar petani Sejahtera. Akan tetapi petani Nyaris Miskin yang memilih mekanisme tersebut hanya 50%. Bahkan, petani Miskin yang memilih mekanisme tersebut hanya 36%. (Tabel 30). Hal ini menunjukkan bahwa untuk petani yang kesejahteraannya lebih rendah alternatif jalan untuk meningkatkan pendapatan belum tentu menjadi pilihannya, karena mereka memiliki volume kakao yang sedikit atau dapat juga memilih mekanisme yang lebih memberikan jaminan kelangsungan hidup manakala mendapat kesulitan dengan memilih pedagang desa sebagai parner kerjasama. Hasil analisa margin tataniaga, sebagaimana tertera pada Tabel 31, juga menunjukkan bahwa semakin banyak volume yang diangkut semakin efisien karena ongkos angkut untuk setiap kg kakao akan semakin murah. Keadaan ini sebenarnya merupakan potensi untuk berlangsungnya kerjasama pemasaran diantara petani karena memberikan efisiensi yang lebih tinggi sehingga akan meningkatkan pendapatan. Tabel 31 Efisiensi Biaya Angkut Jenis karung Besar Sedang Kecil Kapasitas karung (kg) 80 50 30 Ongkos angkut/ karung Ongkos angkut/kg (Rp) (Rp) 10.000 167 7.500 150 5.000 125

78

Pada dasarnya pola pemasaran yang dilakukan para petani di desa Jono-Oge dan desa Tondo terdapat 2 pola, yaitu : 1) Petani Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Pengumpul Propinsi Eksportir (di Makasar), dan 2) Petani Pedagang Pengumpul Propinsi Eksportir (di Makasar). Oleh sebab itu, agar manfaat pemasaran bersama dapat dirasakan lebih besar oleh petani, maka beberapa langkah yang harus ditempuh adalah: 1) kelompok tani di desa Jono Oge dan desa Tondo harus bersama-sama agar volume yang dijual lebih besar sehingga biaya pemasaran dan biaya angkut lebih efisien, 2) dapat menampung pembelian dari petani yang volume produksinya kecil (kurang dari satu karung) Gambar 6. Pemasaran Kakao di Desa Jono Oge dan Desa Tondo
KELOMPOK BERSAMA

Petani

Pedagang Pengumpul Desa*

Pedagang Pengumpul Propinsi

Eksportir

* Pedagang Pengumpul desa : dari dalam desa, dari luar desa (tetangga desa), dari Palu

7.4. Pemberdayaan Petani 7.4.1. Adopsi Teknologi Melalui Kegiatan Pelatihan Pemberdayaan petani yang telah dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berikut : peningkatan pengetahuan dan motivasi petani, peningkatan keterampilan petani melalui pelatihan dan pendampingan, penguatan akses petani terhadap teknologi dan sarana adopsi teknologi, serta penumbuhan modal petani dan penyediaan kredit. Kegiatan

pelatihan dan pendampingan pada kelompok tani Mappasidapi desa Jono-Oge dan Lelea Katuvua desa Tondo yang telah dilaksanakan sejak bulan Agustus hingga Desember 2005. Pelatih atau narasumber adalah para peneliti dan penyuluh dari Lembaga Riset

79

Perkebunan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah (Tabel 32). Tabel 32. Materi Pelatihan pada Pengkajian Pengambangan SUT Integrasi Kambing dan Kakao TA. 2005
No. 1. Waktu 30 Agustus 20051 September 2005 Materi -Penanganan benih, penanaman dan pemeliharaan di pembibitan. - Rencana kegiatan kelompok tani Pemateri/Pelaksana - F.F. munier - Soekadar - Yakob Bunga - Moh. Takdir - F.F. Munier - Undang Fadjar - Dwi Prianto - Asni Ardjanhar - Moh. Takdir - Yakob Bunga - F.F. Munier - Syafrudin - Yakob Langsa - Aslan Lasenggo - Femmi NF. - F.F. Munier - Daniel Bulo - Asni Ardjanhar - Hasan Nusrah - M. Takdir - Yakob Bunga - F.F. Munier - Yakob Langsa - D. Bulo - Mannang Thana - Aslan Lasenggo - F.F. Munier - Yakob Langsa - Aslan Lasenggo - F.F. Munier - Maskar - Femmi NF. - Sumarni - Moh Takdir - F.F. Munier - Yakob langsa - Aslan Lasenggo - M. Takdir

2.

12-15 Oktober 2005

- Konsep pola Integrasi Kambing-Kakao - Metode analisis usaha kambing dan kakao - Seleksi bibit kambing - Pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit pada bibit kakao. - Motivasi anggota kelompok tani. - Perkandangan, pakan kambing - engaturan produksi dan reproduksi kambing - Pengendalian penyakit dan parasit kambing - Pemangkasan tanaman kakao - Pemupukan tanaman kakao dewasa - Pengenalan jenis hijauan pakan unggul untuk kambing - Pengendalian hama dan penyakit kakao dengan munggunakan agen hayati - Penguatan kelembagaan usaha bersama - Pembiyaan dan pembukuan usahatani - Pemeliharaan tanaman hijauan pakan unggul untuk kambing. - Sambung samping dan sambung pucuk tanaman kakao.

3.

24-27 Oktober 2005

4.

10-13 November 2005

5.

15-18 November 2005

6.

24-27 November 2005

- Pengolahan kulit buah kakao untuk pakan kambing - Pasca panen buah kakao. - Periksaan kebuntingan kambing - Persiapan penanaman bibit kakao - Konservasi lahan kakao

7.

29 November - 2 Desember 2005

8.

9-12 Desember 2005

- Penanganan kambing bunting dan anak baru lahir - Cara penanaman bibit kakao dilahan petani.

80

Metode pelatihan yaitu teori dikelas dan dilanjutkan praktek di lapangan selama 1 hari. Tiori merupakan materi pengantar sebelum petani koperator melakukan praktek di lapangan. Praktek biasanya di kebun demplot atau di kandang kambing milik petani koperator. Praktek lapangan diawali dengan demonstrasi cara kerja yang dilakukan oleh peneliti dan dilanjutkan praktek petani koperator secara bergantian. Semua petani

koperator harus bisa melakukan praktek. Hari ke 2-4 melakukan pendampingan praktek sendiri di kebun atau dikandang masing-masing petani koperator. Berdasarkan

pemantauan di lapangan petani koperator dapat melakukan semua materi yang diberikan. Pembinaan selanjutnya dikoordinir oleh Koordinator Penyuluh kecamatan Sirenja, Penyuluh desa Jono-Oge dan Penyuluh desa Tondo. Pembinaan ini dalam bentuk

pendampingan di lapangan maupun pertemuan kelompok tani yang rutin dilakukan tiap 2-4 minggu sekali, tergantung urgensinya permasalahan teknis yang akan dibicarakan. Waktu pertemuannya umumnya dilakukan pada malam hari agar tidak mengganggu hari kerja petani koperator. Dalam proses adopsi teknologi pemangkasan tanaman kakao terbentur dengan keterbatasan gunting pangkas panjang, setiap kelompok tani hanya memiliki 2 buah gunting pangkas panjang karena harganya mahal sehingga agak sulit terjangkau bagi petani koperator. Berdasarkan pertimbangan ini maka Bapak M. Amin (petani koperator desa Jono-Oge) merekayasa gunting pangkas pendek (biasa) menjadi gunting pangkas panjang ( 2,5 m). Hal ini menunjukkan bahwa respon petani baik terhadap teknologi pemangkasan. Biaya pembuatannya tidak terlalu mahal yakni kurang dari Rp 100.000,/unit, sedangkan gunting pangkas panjang produksi Malaysia seharga Rp 300.000,-/unit. Kegiatan TA. 2006 ini, gunting pangkas ini akan diproduksi untuk memenuhi permintaan petani koperator atau petani nonkoperator melalui Seksi Usaha kelompok tani.

7.4.2. Transfer Teknologi kepada Petani Nonkoperator Dalam proses transfer teknologi dari petani koperator kepada petani nonkoperator lainnya baik secara formal maupun informal. Transfer teknologi secara formal sudah dilakukan oleh salah satu petani koperator dari desa Jono-Oge yaitu bapak Salama, dipercayakan sebagai pelatih tentang pemangkasan, pengendalian hama PBK dengan

81

metode penyarungan dan cara sambung samping. Pesertanya adalah para wakil petani dari desa sekecamatan Sirenja yang dilaksanakan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah bekerjasama dengan Balai Penyuluh Pertanian kecamatan Sirenja. Sedangkan transfer teknologi secara informal baik sendiri-sendiri atau kelompok dan tempatnya dimana saja seperti diuraikan pada tabel 33. Tabel 33. Proses Transfer Teknologi dari Petani Koperator kepada Petani Nonkoperator desa Jono dan desa Tondo
No. Petani Koperator Maksun Salama Jumlah petani diajari (orang) 3 27 (peserta pelatihan) 1 3 Tempat di kebun dikebun (pelatihan) dikebun dikebun dosis pemupukan pemangkasan, pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan dan cara sambung samping pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan pemangkasan, pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan dan cara pemupukan pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan Materi

1. 2.

3. 4.

Aklin Hanif

5. 6.

Mahmud B. Halim

1 5

dikebun dikebun, dirumah dirumah dikebun dirumah

7.

Sahib

5 1 1 (dari Masamba, Sulsel) 10

pembibitan kakao penanaman pohon pelindung pemupukan kakao

8.

Ardin L.

dikebun

pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan pemupukan kakao pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan pemangkasan kakao pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan pemangkasan kakao

9. 10. 11.

Arifuddin Lamami Anwir

1 1 2 4 (dari kec. Toaya) 4 2

dirumah dikebun dikebun dirumah

12. 13.

Hayati Jobose

dikebun dikebun

pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan pemupukan kakao pemangkasan kakao pengendalian hama PBK dengan metode penyarungan

14.

Yusuf

20

di acara pesta

82

Pada tabel diatas sudah terjadi proses transfer teknologi terutama tentang budidaya tanaman kakao. Petani koperator yang malakukan transfer teknologi sebanyak 14 orang (desa Jono-Oge dan desa Tondo) dan jumlah petani yang menerima teknologi sebanyak 94 orang baik berasal dari desa Jono-Oge, desa Tondo, desa yang ada di kecamatan Sirenja, dari kecamatan Toaya, maupun dari Sulawesi Selatan. Proses percepatan transfer teknologi juga dilaksanakan di desa Ombo (tetangga desa Tondo) dengan membentuk kelompok tani dan diberikan pelatihan tentang budidaya kakao dan pembuatan bokashi dari kotoran kambing. Pelatihan ini secara mandiri yang semuanya difasilitasi oleh kelompok tani, peneliti sebagai pelatih yang didampingi oleh Penyuluh desa Ombo dan Koordinator Penyuluh kecamatan Sirenja. Disamping itu satu kali diundang untuk mengikuti pelatihan di desa Jono-Oge yang diwakili oleh pengurus kelompok tani. Hambatan utama dalam proses tranfer teknologi adalah ttidak tersedianya sarana produksi untuk kambing dan tanaman kakao. TA. 2005 ini sebagaian sarana produksi seperti plastik (sarung buah kakao), karet gelang, pipa paralon (alat penyarungan), herbisidi, insektisida dan fungisida telah diserahkan pada kelompok tani untuk dikelola Saksi Usaha. Cara pembelian sarana ini dengan separuh harga dibayar kontan dan

separuh harganya lagi dikredit, apabila ada petani koperator membayar lunas juga dilayani. Hasil keuntungan penjualan sarana produksi ini dimasukkan ke kas kelompok tani. Tahap awal ini diprioritas penyediaan sarana produksi untuk petani koperator, nanti kalau usaha ini sudah berjalan dengan baik maka perjualan sarana produksi juga melayani petani nonkoperator. Keterbatasan biaya pengelolaan usahatani pada petani koperaor juga merupakan permasalahan yang harus diatasi. Kelompok tani Mappasidapi, desa Jono-Oge telah melayani kredit uang dengan bunga pinjaman yang rendah. Hal ini juga sudah mulai dirintis oleh kelompok tani Lelea Katuvua di desa Tondo dengan bunga pinjaman yang rendah. Berdasarkan hasil musyawarah maka pengembalian uang kredit hanya berlaku hanya 1 bulan saja sudah mulai dibayar, kalau sudah lunas utangnya baru bisa memimjam kembali. Dukungan Pemerintah Daerah kabupaten Donggala untuk percepatan transfer teknologi melalui Dinas Pertanian dan Peternakan akan memberikan bantukan paket

83

kambing kepada 8 petani koperator di desa jono-Oge yang belum mendapatkan kambing dari kegiatan pengkajian ini. Dukungan sarana ini berupa 24 ekor kambing betina (dara) dan 4 ekor pejantan, serta bantuan atap rumbia dan papan untuk pembuatan kandang.

7.5. Analisa Kelayakan Usahatani Perbandingan antara pola petani (kontrol) dengan pola introduksi dalam hal biaya, penerimaan dan keuntungan untuk SUT integrasi kambing dan tanaman kakao, dapat dilihat pada Tabel 34,35,36,dan 37. Tabel 34. Struktur Biaya dan Pendapatan Bersih (R/C) dari Usaha Kambing Betina Pola Petani Per kandang 6 Ekor Selama 2,5 bulan
Perameter A. Pengeluaran 1. Biaya Tetap: - Biaya penyusutan kandang per 6 bulan 2. Biaya Produksi: - Bakalan ternak kambing betina muda 6 ekor x @ Rp 300.000,- Tenaga kerja Rp 5.000,- ( hari) x 75 hari Jumlah pengeluaran Biaya (Rp)

46.500 1.800.000 375.000 -----------2.221.500

B. Penerimaan - Kambing dewasa (siap kawin) berbobot hidup 16,8 kg 6 ekor x @ Rp 400.000,3.150.000 C. Pendapatan - Pendapatan bersih periode (2,5 bulan) R/C

2.400.000

178.500 1,08

84

Tabel 35. Struktur Biaya dan Pendapatan Bersih (R/C) dari Usaha Kambing Betina Pola Introduksi Per kandang 6 Ekor Selama 2,5 bulan
Perameter A. Pengeluaran 1. Biaya Tetap: - Biaya penyusutan kandang per 6 bulan 2. Biaya Produksi: - Bakalan ternak DEG betina muda 6 ekor x @ Rp 300.000,- Pakan: a. Kulit buah kakao 0,45 kg x 6 ekor x 75 hari x Rp 100,b. Daun gamal 0,45 kg x 6 ekor x 75 hari x Rp 200,c. Rumput 1,3 kg x 6 ekor x 75 hari x Rp 150,- Obat-obatan/Vitamin - Tenaga kerja Rp 5.000 ( hari) x 75 hari Jumlah pengeluaran B. Kambing dewasa (siap kawin) berbobot hidup 18,5 kg 6 ekor x @ Rp 500.000,C. Pendapatan bersih periode (4 bulan) R/C Biaya (Rp)

46.500 1.800.000 20.250 40.500 17.500 375.000 -----------2.299.750 3.000.000 700.250 1,30

85

Tabel 36. Struktur Biaya dan Pendapatan Bersih (R/C) dari Kakao Pola Petani dan Introduksi untuk Luas Kebun Kakao 0,5 ha Selama 4 bulan
Komponen Biaya A. Pengeluaran Pupuk Urea SP-36 KCl Pupuk kandang Insektisida Herbisida Plastik (pembungkus buah) Karet gelang Peralatan (cangkul, garpu, paralon, keranjang, dll) Tenagakerja (HOK) Penyiangan Pemangkasan Pemupukan Pengendalian hama & Penyakit Penyarungan Panen Volume Pola petani Pola introduksi 50 kg 20 kg 30 kg 3 liter 1 liter 1 paket 12 HOK 8 HOK 1,5 HOK 6 HOK 6 HOK 200 kg 100 kg 150 kg 2t 1 liter 2 liter 15 pak 1,5 kg 1 paket 2,5 HOK 8 HOK 2 HOK 2 HOK 8 HOK 7,5 HOK Biaya (Rp) Pola petani 50.000 28.000 72.000 135.000 65.000 45.000 240.000 160.000 30.000 120.000 120.000 1.065.000 1.383.300 318.300 1,29 Pola introduksi 200.000 140.000 360.000 400.000 45.000 130.000 180.000 34.500 57.500 50.000 160.000 40.000 40.000 160.000 150.000 2.147.000 3.593.200 1.446.200 1,67

Jumlah Pengeluaran B. Penerimaan 153,7 kg 345,5 kg C. Pendapatan bersih R/C Keterangan: - Upah tenaga kerja : Rp 20.000/HOK - Penjualan kakao kering di desa Rp 9.000/kg - Penjualan kakao kering di Palu Rp10.400/kg

Tabel 37. Struktur Biaya dan Pendapatan Bersih (R/C) dari Integrasi Usahatani Kambing dan Kakao (Pola Introduksi) Selama 4 bulan
Usahatani/ternak - Usaha kambing - Usahatani kakao Total Pendapatan - Pendapatan bersih per musim - Pendapatan bersih per bulan Pengeluaran (Rp) 2.299.750 2.174.000 4.473.750 Penerimaan (Rp) 3.000.000 3.593.200 6.593.200 Pendapatan (Rp) 700.250 2.147.000 3.864.025 2.847.250 711.812 1,47

R/C

86

8. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dari hasil pengkajian pengembangan yang telah dilaksanakan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Pemanfaatan kulit buah kakao (KBK) untuk kambing sebagai pakan tambahan ditingkat petani koperator sudah dilakukan sesuai anjuran, begitu pula sudah dilakukan oleh petani non koperator yang ada di desa Jono-Oge dan desa Tondo, bahkan pemanfaatan KBK untuk ternak sapi. Pemberian KBK dan daun gamal pada kambing sesuai porsi anjuran kebutuhan kambing dengan rataan pertambahan bobot badan harian yang tertinggi (PBBH) pada pola introduksi di desa Tondo yaitu 56,3 g, diikuti kenaikan rataan bobot akhir yang tinggi yakni 4,2 kg selama 2,5 bulan, terendah pada kontrol (pola petani) di desa Jono-Oge yaitu 27,8 g, diikuti kenaikan rataan bobot akhir hanya 2,0 kg selama 2,5 bulan. b. Budidaya hijauan pakan (strip rumput) sebagai tanaman konservasi dilahan miring dapat mengurangi erosi saat musim hujan. c. Pengelolaan tanaman kakao sesuai anjuran teknis seperti pemangkasan dan memberikan tanaman penaungan, pemupukan, sanitasi, pengendalian hama dan penyakit dengan rataan produksi kakao kering tertinggi mencapai 345,5 kg/0,5 ha/4 bulan atau 1.382 kg/ha/tahun pada petani koperator di desa Jono-Oge, sedangkan rataan produksi kakao kering terendah (kontrol) yakni 114,0 kg/0,5 ha/4 bulan atau 456 kg/ha/tahun pada petani koperator di desa Tondo. d. Pemberian pupuk anorganik berdasarkan analisis tanah dapat mengefisienkan penggunaan pupuk dengan dosis urea 400 g/pohon/tahun, SP-36 200 g/pohon/tahun dan KCl 300 g/pohon/tahun. e. Adanya jejaring kerjasama yang baik dan kuat antara petani koperator dengan sesama petani koperator lainnya, petani nonkoperator, peneliti dan penyuluh, pemerintah daerah, serta pihak pengusaha (pedagang kakao) yang berfungsi sebagai wadah berkomunikasi sehingga dapat saling memenuhi berbagai kepentingannya dalam kegiatan pengembangan perkabunan kakao secara efisien dan efektif.

87

8.2. Saran Disarankan agar kegiatan pengkajian pengembangan integrasi SUT kambing kakao ini tetap berjalan dengan baik dan berkelanjutan serta berkembangan ke daerah lainnya perlu pembinaan dari pihak yang terkakit dan didukung oleh pihak Pemerintah Daerah kabupaten Donggala. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002a. Statistik Perkebunan Indonesia 2000-2002 : Kakao. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta. 59 halaman. Anonim. 2002b. Statistik Perkebunan Indonesia 2000-2002 : Kakao. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta. Anonim. 2002c. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002. Buku 2 Kabupaten. Biro Pusat Statistik (BPS). Jakarta Anonim. 2003a. Panduan Perencanaan Penelitian dan Pengkajian Pengembangan Inovasi Pertanian di Lahan Marjinal. PFI3P. Poor Farmers Improvement Through Inovation Project (PFI3P). Badan Litbang Pertanian. Deptan. Anonim. 2003b. Pengembangan Inovasi dan Diseminasi Teknologi Pertanian Untuk Pemberdayaan Petani Miskin Pada Lahan Marginal. Di Donggala, Sulaweai Selatan. Laporan Akhir. BP2TP dan BPTP Sulteng. Anonim.. 2003c. Studies on Smallholder Tree Crops Production and Poverty Allevation. Synthesis of Economic and Social Reports. Laporan Penelitian. Puslitbangbun dan Bank Dunia. Bogor Anonim, 2004. Laporan Akhir Pengembangan Sistem Usahatani Integrasi Kakao kambing - Hijauan Pakan Ternak di kabupaten Donggala. Kerjasama Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Arensberg, C.M and S.T. Kimball. 1972. Culture and Community. Gloucester Mass. Peter Smith. Budimanta, A. 2003. Prinsip Pengelolaan Community Development Di Dunia Pertambangan dalam Bambang Rudito, dkk (editor) Akses Peran serta Masyarakat . Lebih Jauh Memahami Community Development. ICSD, Jakarta. Billah, M..M. 1983. Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan dalam Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Jakarta.

88

Dewalt. B.R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. Human Organization, Vol 53, No. 2 Hagen, E.E. 1971. How Economic Growth Begins A Theory of Social Change dalam Jason Frinkle and Richard Gable (ed) Political Development and Social Change, John Wilkley and Sons, New York. Hardiman, F.B. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Ilmu Masyarakat, Politik, dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Kanisius, Jogyakarta Heron, J. 1996. Co-Operative Inquiry: Research Into The Human Condition. Sage Publications, London. Jesmanat. 2000. Diktat Kuliah: Pengenalan Jamur Patogen Serangga Hama. Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lewis, O. 1988. Kisah Lima Keluarga. Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Yayasan Obor, Jakarta. Priyanto, D., A. Priyanti dan I. Inounu. 2004. Potensi dan Peluang pola Integrasi Ternak Kambing pada Perkebunan kakao Rakyat di Propinsi Lampung. Makalah Seminar dan Ekspose Nasional Sistem Integrasi Tenaman-Ternak. Puslitbangnak bekerjasama dengan CASREN dan BPTP Bali, Denpasar 20-22 Juli 2004. Rachmawati, S. dan T.B. Murdiati, 1996. Pengaruh Pembuangan Kotoran Ternak terhadap Komposisi Tanah den Kualitas Air Sumur di Desa Cilodong, Cibinong, Kabupaten Bogor. Proseding Temu Ilmiah Hasil-Hasil Penelitian Peternakan, Aplikasi Hasil Penelitian untuk Industri Peternakan Rakyat, Ciawi, Bogor tanggal 9-11 Januari 1996. Puslitbangnak, Bogor. Rambo, A. T. 1984. An Introduction To Human Ecology Research : On Agricultural System In Southeas Asia. University of the Philippinos. Laguna, Philipina Rukminto, A.I. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas: Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Sajogyo. 1988. Masalah Kemiskinan di Indonesia amtara Teori dan Praktek. Mimbar Sosek. No. 2 Ed. September 1988. Pp 1-14. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia-Press (UI-Press), Jakarta. Sukamto, S. 2003. Pengenalan dan Metode Pengamatan Penyakit Tanaman Kakao. Puslitkoka, Jember. Sulistyowati, E. 2003. Pengenalan Hama Utama. Teknik Pengamatan dan Pengedalian pada Tanaman Kakao. Puslitkoka, Jember.

89

Thahar, A. and P. Mahyuddin. 1993. Feed Resources. In: Feeding and Breeding of Draught Animals. ACIAR., Canberra, Australia. Warsito, R. 1993. Pembentukan Modal di Pedesaan Jawa. Studi Sosiologi di Dua Komunitas di DAS Jratunseluna Jawa Tengah. Tesis Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Witjaksana. 1989. Kelapa sebagai Penaung Kakao. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Puslitkoka, Jember.

90

Anda mungkin juga menyukai