Anda di halaman 1dari 13

Makna Kata: Melihat dari Kata, Huruf, Smiley,

Metafor Sastra, dan Gestur Sosial


Sebuah tinjauan filsafat

Arip Senjaya

Spoken words are the symbols of mental experience and written words are the
symbols of spoken words. Just as all men have not the same writing, so all men
have not the same speech sounds, but the mental experiences, which these directly
symbolize, are the same for all, as also are those things of which our experiences
are the images…. The word ‘human’ has meaning, but does not constitute a
proposition, either positive or negative. It is only when other words are added that
the whole will form an affirmation or denial. But if we separate one syllable of the
word ‘human’ from the other, it has no meaning; similarly in the word ‘mouse’, the
part ‘ouse’ has no meaning in itself, but is merely a sound. In composite words,
indeed, the parts contribute to the meaning of the whole; yet, as has been pointed
out, they have not an independent meaning.... Every sentence has meaning, not as
being the natural means by which a physical faculty is realized, but, as we have
said, by convention. (Aristoteles, 2007, b. 1- 4)

1. Makna Kata. Membicarakan “makna kata” adalah berarti membicarakan


hubungan-hubungan antara makna dan kata. Selama yang dimaksud dengan kata
adalah kata yang memiliki makna dan selama yang dimaksud dengan makna
adalah makna yang tergantung pada kata, kita tidak dapat memisahkan salah
satunya untuk membicarakan salah satu yang lainnya. Oleh karena itu, dapat
dipetik di sini simpulan dari Hospers bahwa kata adalah unit terkecil yang
menyususun makna1. Namun, batasan tersebut jangan terburu-buru dijadikan
pegangan; belum tentu ia tak terbantahkan. Kita harus melakukan pengujian tanpa
henti, dengan cara terus memisahkan kata-makna/makna-kata dari realitas-realitas
lain yang dapat mengganggunya agar dalam tataran ontologis menjadi jelas posisi
keberadaanya. “Ontologi adalah cabang penyelidikan bidang metafisika”
(Flew2). “Ontologi membicarakan asas-asas rasional yang-ada… berusaha
untuk mengetahui esensi terdalam dari yang-ada” (Kattsoff3).

1
John Hospers, 1967, p. 2.
2
Antony Flew, 1984, p. 255.
3
Louis O. Kattsoff, 2004, h. 73-74.
Sebelum kita menguji batasan tersebut dengan kasus demi kasus khusus tertentu,
kasus-kasus yang kadang dianggap sebagai pengecualian-pengecualian bahasa
yang karenanya dapat menangguhkan batasan di atas —padahal bisa jadi mereka
tak dapat dimasukkan ke dalam paradigma makna-kata, melainkan dalam
paradigma makna dari fakta alam, misalnya— sebagai permulaan marilah kita
meninjau kata berikut ini.

kucing4

2. Huruf, dapatkan menjadi kata-makna? Kata “kucing” adalah kata yang


secara harfiah memiliki makna: binatang berkaki empat, berbulu, karnivora,
melahirkan anak, menyusui, vertebrata, bertaring, dan seterusnya. Sedangkan
huruf-huruf yang menyusun kata tersebut — baik itu “k”, “u”, “c”, “i",”n”, atau pun
“g”— sama sekali tidak memiliki makna. Dengan demikian huruf-huruf bukan
merupakan unit terkecil penyusun makna, huruf-huruf dalam kasus ini hanya dapat
didefinisikan sebagai unit terkecil penyusun kata. Makna “huruf” hanya ada ketika
huruf-huruf itu menjelma kata.

Tapi mari kita lihat “a” dan “I” yang dalam bahasa Inggris tidak lagi dapat disebut
dalam batasan huruf, karena masing-masing memiliki makna seakan masing-
masing merupakan kata; “a”dapat berarti “seorang”, “sebuah”, “seekor”, “sebutir”,
“sebiji”, “seorang”, tergantung pada kata yang ditunjuk sesudahnya; “I” berarti
“saya” atau “aku”. Belajar dari kasus tersebut, kita harus membuat rumusan baru
terhadap kata; kata adalah bentuk (tulis/cetak) yang disusun oleh satuatau lebih
huruf-huruf. Sebuah huruf tunggal yang memiliki makna adalah termasuk dalam
kelompok kata. Batasan ini pun tidak dapat kokoh karena kita akan menyaksikan
penulisan huruf “a” dan “I” dalam bahasa yang bersangkutan yang harus dibaca
sebagai huruf, bukan sebagai kata, seperti sering nampak dalam paragraf-paragraf
uraian: “A”, “B”, “C”…”I” dst. (“I" di dalam konteks tersebut tidak berarti “saya”
atau “aku”).

3. Smiley. Fenomena huruf-tunggal bermakna dewasa ini dapat kita apresiasi dari
dunia komunikasi sms (telepon genggam) atau chating (internet). Komunitas-
komunitas-komunikasi memiliki simbol-simbol huruf-tunggal yang merupakan
bentuk singkat-konvensional-selingkung. Huruf-huruf tunggal yang mereka gunakan
pada mulanya adalah susunan huruf, sebuah kata, tapi karena alasan demi

4
Bisa saja saya mengambil contoh selain “kucing”. Penggunaan “kucing” di sini diambil dari
cotoh “cat” dalam bahasan John Hospers, op.cit., loc. cit., agar kalau suatu waktu Anda
membaca buku tersebut, Anda akan dapat membandingkannya dengan kupasan saya:
bagaimana saya membahas “kucing” dan bagaimana Hospers membahas “cat”. Tidak
hanya “kucing”, beberapa contoh lainnya juga saya satu-objek-contohkan dengan buku-
buku acuan. Di dalam khazanah filsafat Anda akan menemukan pembahasan kata-kata yang
sama seperti “meja” atau “segitiga” oleh bermacam filsuf –saya kira juga untuk tujuan yang
sama: perbandingan cara penguraian. Cara yang demikian ini dapat menjadi jalan
terciptanya ketersambungan-ketersambungan dan perkembangan-perkembangan. Beberapa
contoh dari saya sendiri.
kecepatan dan karena keterbatasan ruang-tulis, ia disingkat dengan simbol huruf
tertentu. Mereka yang mengenal huruf alfabet “a” sampai “z”, akan memanfaatkan
huruf-huruf tersebut. Misalnya “n” untuk mengganti “and” (atau bisa juga “dan”
tergatung kesepakatan masing-masing komunitas pengguna), “u” untuk
“you”/”kamu”, dst. Kedua contoh tersebut merupakan contoh penggantian simbol
yang asosiatif atau ikonik karena huruf-penyingkat tersebut memiliki hubungan
kedekatan dengan kata yang disingkatnya, baik kedekatan bunyi waupun kedekatan
keterwakilan huruf: “n” diucapkan sama dengan “and” dan “n” merupakan huruf
yang jadi salah satu unsur penyusun “and”/”dan”. Ada pula jenis penyingkatan
yang tidak berhubungan asosiatif-ikonik, seperti “x” untuk mengganti “ny”.
Penggantian pada kasus terakhir pastilah disebabkan oleh alasan kecepatan,
mengetik “x” tentu lebih cepat daripada “ny” (“n” + “y”).

Fenomena huruf-tunggal yang menyimbolkan kata yang berkembang di era


keterhubungan sinyal gelombang elektromagnetik tersebut harus dipandang
sebagai kata, sama dengan simpulan kita pada penggunaan “a” dan “I” dalam
bahasa Inggris, meskipun “a” dan “I” bukan merupakan perasan dari kata
sebelumnya yang lebih panjang dari sekedar satu huruf; —sama dalam pengertian
memiliki makna. Ada pun simbol-simbol lain yang tidak menggunakan sarana huruf,
katanlah simbol gambar template atau smiley, tidak dapat disebut kata. Mereka
digunakan untuk tujuan pemiguratifan, yang terjadi karena ketiadaan stok huruf
atau kata yang sesuai dengan maksud gestur pengguna. Karena huruf tidak
memiliki gambaran asosiatif dengan gestur, pengguna komunikasi-maya
menggunakan nonstock use. Istilah nonstock use (dari Ryle dalam Olshewsky5) ini
tidak terlalu tepat benar di sini, ia gunakan untuk menyebut proses pemiguratifan
dalam metafora.

Oleh karena itu, batasan kita bertambah luas, bahwa kata adalah huruf atau
susunan huruf-huruf yang memiliki makna. Bahwa simbol nonstock use memiliki
makna, tentu saja, tapi ia bukan kata karena ia bukan huruf. Nonstock use yang
memiliki makna hanya ada dalam metafor, kata atau gabungan dua kata atau lebih
yang diciptakan dengan sadar untuk menyebut pengalaman dan realitas yang
belum ada keterwakilannya dalam bahasa lazim (stock use). Ryle6 menyamakan
nonstock use dengan nonstandard. Sedangkan stock use yang dimaksud Ryle
adalah ordinary yang dapat berarti “common”, “current”, “colloquial”, “vernacular”,
“natural”, prosaic”, “nonnotational” yang berseberangan dengan “out-of-the-way”,
“esoteric”, “technical”, “poetical”, “notational” (nonstock).

Yang belum kita perhatikan di sini adalah batasan huruf itu sendiri. Apakah huruf itu
harus dari kelompok alfabet? Kalau saya jawab iya, konsekuensinya tak ada huruf
lain selain huruf alfabet yang dapat disebut penyusun kata. Bagaimana dengan

5
Thomas M. Olshewsky, ed., 1969, p. 57.
6
Op. cit., loc. cit.
huruf-huruf Jepang, huruf-huruf Cina, huruf- Arab, huruf-huruf Jawa. Kalau saya
katakan huruf Jepang dan terutama Cina sebagai huruf, sebagian dari Anda pasti
akan menolak, karena huruf-huruf tersebut justru setingkat dengan huruf nonstock
use seperti gambar-gambar pada smiley! Sepintas memang demikian, tapi coba
Anda perhatikan huruf-huruf nonstock use dalam smiley tersebut. Ia memiliki
hubungan asosiatif-ikonik dengan ekspresi manusia.

“ ” mirip dengan ekspresi senyuman manusia,


“” mirip dengan ekspresi kesal manusia.

Sedangkan huruf-huruf gambar pada huruf Cina tidak sama sekali asosiatif-ikonik.
Gambar-gambar tersebut dibuat dan disepakati masyarakatnya, seperti halnya
huruf-huruf pada alfabet. Setiap gambar mewakili kata-kata, istilah-istilah, dan
konsep-konsep tertentu. Jadi, tetaplah huruf-huruf Jepang dan Cina termasuk
kelompok huruf, hanya mereka bukan jenis alfabet. Berbeda dengan huruf Arab, ia
termasuk alfabetis. Huruf alfabetis adalah huruf yang tiap satuannya
melambangkan bunyi bahasa manusia. Perhatikan kata bunyi! Ingatlah bahwa
antara bunyi dan huruf tidak selamanya disepakati para penggunanya dengan
setia! Bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Arab, bahasa Jerman, terlihat lebih
“menyetiai” bunyi, ada konsistensi pengucapan huruf-huruf pada tiap bentukan
kata-katanya. Berbeda dengan bahasa Inggris yang kerapkali tidak konsisten. “O”
pada “the door” dibaca “o”, tapi “o” pada “the book” dibaca “u”. Jadi, apa yang
dapat kita simpulkan dari semua ini. Kita sudah tak dapat lagi menarik batasan
tentang kaitannya antara huruf dan makna! Kita hanya akan menyadari bahwa
pada akhirnya huruf, baik dari kelompok alfabetis maupun dari kelompok gambar-
representatif, adalah sama saja dengan kelompok nonstock use, sama secara
esensi, yakni semata simbol (Aristoteles7); atau meminjam istilah Sugiharto
(semata) metafor.

4. Metafor. Mengapa demikian? Mengapa metafor? Ia menjelaskan bahwa pada


dasarnya manusia selalu ingin membahasakan realitas, dan selama ini—yang sudah
terbahasakan—seakan dianggap sudah merupakan kepastian/kebenaran, padahal
sesungguhnya karena yang lazim (stock use) sudah disepakati. Maka, huruf
esensinya adalah simbol-simbol metaforis yang sudah disepakati. Salah satu esensi
dari sastra adalah pada bentuk pengucapannya yang merupakan tarik-menarik
antara metafora yang belum lazim dengan metafora yang lazim, dengan titik berat
yang lebih pada yang belum lazim (definisi-definisi metafora dalam kesusastraan
mengacu pada hal terakhir ini). Ketika “yang belum lazim” itu menjadi lazim, esensi
itu jadi hilang. Kalau kita masih menganggap sebuah pernyataan sastra yang
akhirnya jadi lazim sebagai tetap pernyataan sastra, tentu kita sedang menunjuk
pada karya sastra dalam batas fungsi dokumentatifnya, bukan sastra yang secara

7
Aristoteles, trans. E. M. Edghill, 2007, b 1.
esensial tak berubah. Dengan rumusan ini kita akan menolak adanya keabadian
dalam sastra, apabila sastra itu kita anggap fenomena bentuk bahasa metaforis.

Fenomena ini yang menyebabkan Sugiharto menyimpulkan bahwa inti dari bahasa
adalah metafor8. Demikianlah memang, selama segala usaha manusia dalam
memberi nama-nama pada realitas dipandang sebagai proses transferensi
(epiphora), kita akan terjebak pada skeptisme, karena bisa terjebak pada apa yang
disebut oleh Kattsoff “(1) kenisbian pengindraan; dan (2) adanya kesepakatan yang
sesungguhnya mengenai apa yang merupakan halnya dan yang bukan merupakan
halnya.”9

Tentu harus ada esensi-esensi lain dari sastra yang membuatnya abadi-dalam-
esensinya, dan hal itu berada di luar bentuk bahasa. Berubahnya metafora-sastra
yang semula esoterik menjadi idiom masyarakat, nampak dalam hadirnya idiom-
idiom dalam komunikasi antarmanusia dalam hidup sehari-hari. Mari kita lihat puisi
Bertolt Brecht10 berikut ini.

Lihatlah kini berderap Si Trum Besar


- Tapi ke mana dia berderap
Ya kemana kiranya ia berderap
Ia pasti berderap entah ke mana
Kini ia mengeloki rumah
- Tapi ia berkelok ke mana
dst.

Apabila istilah Si Trum Besar (bahasa Jermannya: das groβe Trumm) dalam puisi
Bertolt Brecht efektif untuk menyebut rakyat yang bagai “satu bongkahan besar,
puing-puing, reruntuhan, semacam rongsokan”11, rakyat yang sampah, rakyat yang
tak berharga, maka istilah itu akan dipakai menjadi bahasa yang bukan lagi metafor
sastra, tapi metafor-lazim; dan sekali lagi, apabila kita suatu waktu menyebutkan
metafor tersebut sebagai metafor-sastra, kita sedang menunjuk pada sastra dalam
pengertian dokumentatif (atau historis), pada siapa yang pertama kali
menggunakannya dalam pengertian demikian (Brecht itu sendiri). Dengan
demikian, keabadian sastra tidak terletak pada metaforanya, sebab ia niscaya
mengalami pelaziman (penggunakan kata “Trum” dari penerjemahnya
menampakkan upaya pelaziman, “mm” menjadi “m”, —sebuah

8
Bambang Sugiharto, 1996, h. 102-120.
9
Op.cit., h. 147.
10
Bertolt Brecht, terj. Berthold Dämshauser dan Agus R. Sarjono, 2004, h. 9.
11
Op cit., loc. cit.
“pengindonesiaan”—, agar ia dapat dipakai oleh pengguna bahasa Indonesia maka
harus dengan “m” orang Indonesia).

Tidakkah sebenarnya ada banyak sekali kata-kata, pada setiap bahasa, yang pada
mulanya merupakan kata-kata dari bahasa asing? Pelajaran apa yang dapat kita
petik dari puisi tersebut, tidak lain bahwa manusia akan selalu berhadapan dengan
realitas-realitas baru, seperti pengalaman gestur sosial baru yang dilihat oleh
Brecht pada zaman yang direkamcatatnya, dan manusia perlu membahasakannya.
Cara manusia berbahasa adalah “menciptakan” kata, baik itu penciptaan kata baru,
maupun penciptaan dalam pengertian meminjam istilah yang sudah ada. Kalau kita
belajar dari pengalaman puisi tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
esensi bahasa sastra dengan demikian adalah ketika metafora yang digunakannya
berasal dari bahasa yang sudah dikenal masyarakat penggunaanya, bukan dari
suatu kekosongan. Ia digunakan, tapi untuk disisihkan12 dari acuan denotatifnya.

Sekarang, marilah kita tengoklah kata selanjutnya.

switchman

5. Kata yang dari kata+kata. Apakah Anda mengira kata tersebut disusun oleh
dua kata? Kata tersebut seakan bukan merupakan komposisi huruf, seakan
merupakan komposisi kata-kata: ada kata “switch” dan ada kata “man”. Kita harus
hati-hati memaknai kasus kata semacam ini, jangan lantas menduga bahwa makna
kata tersebut adalah apa yang menampak pada komponen-komponen
penyusunnya. Switchman tidak berarti manusia (man) yang tombol (switch).
Komponen-komponen kata tersebut harus dipandang sebagai konstituen dalam
sebuah kata, setingkat dengan huruf-huruf dalam kata yang tunggal-kata. Kata-kata
pada sebuah kata (seperti pada “switchman”) atau huruf-huruf pada sebuah kata
(seperti pada “kucing”) ibarat atom-atom yang merupakan konstituen dari sebuah
molekul13.

(Mungkin dengan memperhatikan kasus “switchman” Anda lantas teringat dengan


sufiks dan prefiks. Dapatkah kita mengatakan bahwa sufiks dan prefiks memiliki
makna dari dirinya sendiri, tanpa harus menempel pada kata yang dilekatinya?
Tentu kasus sufiks dan prefiks tidak dapat disamakan dengan kasus “seakan
bertemu”nya kata dengan kata (“switchman”) atau bertemunya huruf dengan huruf
(“kucing”) atau huruf tunggal yang —karena memiliki makna— tergolong dalam
kelompok kata (“a” dan “I”). Sufik dan/atau prefiks diperlukan oleh kata-kata
tunggal atau –dalam afiksasi—dua kata atau lebih yang ditunggalkan, untuk
mengubah makna asalnya atau untuk mengubah kelas katanya. Ketika sufiks atau
prefiks itu dipisahkan, kembali mereka tak bermakna. Sedangkan kata yang

12
Lihat Sugiharto, op. cit. h. 105.
13
John Hospers, op. cit., loc. cit.
dipisahkan dari sufiks atau prefiks akan tetap bermakna. Dengan demikian prefiks
dan sufiks tidak termasuk kata.)

6. Aspek common sense kata, dan gestur. Selanjutnya, apakah sesuatu yang
dapat disebut dengan kata itu melulu harus sesuatu hal yang dapat terucapkan,
ataukah melulu harus sesuatu hal yang dapat tersusun dalam bentuk cetakan huruf-
huruf di atas kertas? Sebuah kata adalah sebuah dan tentang sesuatu, tapi tidak
hanya sebuah dan tentang sesuatu itu. Pada bagian sebelumnya kita sudah
membicarakan huruf-huruf yang menyusun kata (“kucing”) dan kata-kata yang
“seakan” menyusun kata (“switchman”). Kasus pertama yang barusan saya sebut
“sebuah dan tentang sesuatu”. Kasus kedua adalah yang saya sebut “tidak hanya
sebuah dan tentang sesuatu”. Pengeritan tersebut akan diperluas di sini, bahwa
sebuah kata bahkan bisa jadi sama sekali bukan tentang sebuah dan sesuatu yang
disebutkannya. Di sini kita akan tengok bahwa makna bahasa tidak hanya
ditentukan oleh relasi huruf-huruf dan relasi dua kata atau lebih yang membentuk
kata baru dengan makna yang jadi berbeda, saya akan tunjukkan bahwa kata juga
berelasi dengan gestur. Fenomena gestur berbeda sekali dengan fenomena metafor.

Sebuah kata adalah sebuah “apa yang dapat diucapkan” dan sebuah “susunan
elemen-elemen huruf tercetak” yang mengandung makna; namun makna itu sendiri
hanya sebagian yang bersesuaian dengan tanda katanya sehingga dapat diucapkan
tanpa bantuan gestur; menyebut “kucing” dengan maksud binatang berkaki empat
berarti mengucapkan kata yang bersesuaian dengan maknanya (denotatif). Bisa
saja kata yang sama diucapkan untuk maksud yang bukan binatang (konotatif), tapi
manusia yang dalam beberapa hal mirip dengan binatang. Di kampung saya kata
“ucing” (bahasa Sunda, artinya sama dengan “kucing”) kadang digunakan untuk
menyebut “perempuan nakal”, kadang untuk “orang yang suka mengambil barang
temannya”, kadang digunakan untuk menyebut “seorang ibu yang sering
melahirkan anak”. Itulah yang dimaksud dengan ketakbersesuaian tanda kata
dengan maknanya.

Relasi antara kata dan makna kadang memang semau-maunya (arbiter), tapi
kadang karena kedekatan asosiatif (penggunakan kata “ucing” dalam bahasa Sunda
adalah contoh arbitrer sekaligus asosiatif, semau-maunya sekaligus tidak semau-
maunya karena memang terdapat hubungan kedekatan dengan tanda-tanda
acuannya —misalnya, dalam hal budaya: tanda-tanda budaya kucing dengan tanda-
tanda budaya manusia: manusia yang cara hidup atau prilakunya mirip dengan
ucing disebutlah seperti ucing.)

Dalam ilmu linguistik ada istilah anomatopik untuk menyebut kata yang proses
penciptaannya menirupindahkan pengalaman alamiah —hal inilah yang merupakan
ciri adanya aspek common sense dari manusia sebagai pengguna bahasa. Tidak
semua benda yang dapat meledak mengeluarkan bunyi yang sama; ledakan kecil
terdengar “tuss” maka lahirlah kata “meletus” (pada balon atau ban), ledakan besar
terdengar “duarr” maka lahirlah kata “menggelegar”. Perhatikanlah kata “kentut”,
bukankah ia lahir dari bunyi kentut yang pada umumnya terdengar “tuuut”.
Demikianlah kiranya relasi antara sifat binatang dengan manusia dapat juga disebut
anomatopik (lebih tepatnya anomatopik-prilaku atau anomatipik-asosiatif). Aspek
common sense tersebut merupakan aspek yang menunjukan bahwa manusia
adalah mahluk yang betapa sederhana dalam memahami realitas.

Sedangkan gestur adalah di luar itu semua. Ia alamiah, tapi —dalam hubungannya
dengan pemaknaan atas kata— ia bukan sebuah karakteristik common sense
manusia. Gestur yang terpisah dari kata-kata dan merupakan ekspresi sensible atas
realitas dapat disebut gestur yang common sense. Konteksnya adalah realitas.
Gestur tubuh yang bergidik di hadapan tebing curam berarti takut terjatuh.
Sedangkan gestur yang dimaksud di sini adalah gestur yang menjadi ruang konteks
yang berperan penting dalam penentuan-penentuan makna kata-kata. Gestur
sebagai konteks bagi kata. Kata yang sama dapat berubah-ubah maknanya ketika ia
berelasi dengan perubahan-perubahan gestur. Ada kata yang relevan dengan gestur
yang menyertainya, ada pula kata-kata yang maknanya sama sekali tidak berada di
dalam kata tersebut, melainkan justru berada dalam gestur yang menyertainya.
Ada pula gestur-gestur tertentu, yang tanpa harus dilengkapi oleh kata, sudah
memiliki makna tertentu (tapi yang terakhir ini tidak dapat disebut ‘makna-kata’,
hanya dapat disebut ‘makna-gestur’ sebagaimana yang mirip dengan gestur
bergidik di hadapan tebing curam). Bahkan ada sebagian kata, meskipun sudah
dibentuktuliskan, masih menunjukkan “rekaman” gestur yang diterangkannya.
Memahami kode budaya gestur, oleh karena itu, amat penting dalam pembelajaran
bahasa asing. Bagaimana gestur orang Jerman ketika mengucapkan
“aufwiedersehen!”, misalnya. Kalau Anda tidak pernah mengapresiasi gestur, dan
Anda mengucapkan kata tersebut dengan gestur Anda sendiri, pastilah maknanya
tidak lagi sama dengan “aufwiedersehen!” yang lazim. Malah bisa jadi maksud
Anda dipahami secara salah; misalnya, sebuah pujian bisa dianggap ejekan karena
gestur yang salah.

Kita dapat mengatakan bahwa setiap kata memiliki makna, tapi tidak dapat kita
mengatakan bahwa dengan demikian setiap yang mengandung makna adalah kata.
Symbol-simbol matematika memiliki makna, tetapi mereka bukanlah kata-kata.
Angin puyuh di angkasa dapat bermakna sebentar lagi tornado akan datang;
turunnya jarum atau bandul termometer menunjukan proses pendinginan sedang
berlangsung; di satu waktu bunyi bel berarti jam pelajaran telah berakhir, di waktu
lainnya bunyi bel dapat berarti ada tamu di balik pintu, dan pada waktu lainnya
bunyi bel berarti ada orang yang menelepon Anda. Apabila seseorang merintih dan
mengerang, dapat berarti (tergantung konteksnya) ia sedang kesakitan; dan jika
seseorang menjerit dapat berarti seseorang itu dalam teror atau ancaman dan
memerlukan pertolongan orang lain. Tanda-tanda telapak kaki di tanah dapat
berarti seseorang atau seekor beruang belum lama melewati tempat tersebut.
Demikianlah bahwa segala macam yang bermakna itu sama sekali bukanlah kata-
kata.
Segala sesuatu yang darinya kita dapat membaca makna itu marilah kita sebut
tanda. Sesuatu, A, adalah tanda bagi sesuatu yang lain, B, jika A hadir untuk B.
Namun pada soal kata, tanda yang berlangsung padanya semata tanda
konvensional yang tidak identik dengan tanda alamnya.Ketika awan menggelap di
langit, kita berkata “Akan turun hujan”. Relasi antara awan dan hujan meletakkan
awan sebagai tanda dari akan terjadinya hujan—dan inilah yang disebut tanda
alam, sebab eksis di dalam alam dan bukan di dalam bahasa yang eksistensinya
merupakan hasil dari rekayasa manusia. Manusia menemukan hubungan awan
tebal dan hujan tersebut karena ia belajar dari pola-pola alam yang sudah biasa
terjadi. Jikapun manusia tidak pernah menemukan pemakaannya yang demikian,
awan tebal tetaplah merupakan indikator dari akan turunnya hujan. Artinya, hujan
turun bukan karena kesadaran manusia, ia demikianlah adanya. Ketika manusia
mencoba menemukan sesuatu dari jejak-jejak di atas tanah, mencari tahu apa atau
siapa yang menciptakan jejak tersebut, mereka lagi-lagi sedang berhubungan
dengan fakta alam. Makna dari jejak tersebut (katanlah “Seekor beruang telah
melintas ke sini”) adalah makna yang kita temukan, dan bisa saja temuan makna
tersebut salah. Bisa saja bukan kaki beruang, tapi telapak kaki binatang lain yang
mirip dengan telapak kaki beruang. Bisa juga telapak kaki sepatu manusia yang
alasnya didesain seperti kaki beruang.

Akan tetapi tidakkah kata-kata yang digunakan manusia pun sebenarnya


merupakan fakta alam? Tentu saja dapat dibilang demikian jika istilah “alam”
tersebut didefinisikan segala macam hal yang eksis dalam ruang dan waktu. Kata-
kata yang kita ucapkan dan yang kita tuliskan berada dalam ruang dan waktu.
Namun kita jangan lupakan bahwa kata-kata memiliki dunia makna yang berbeda
dengan awan, jejak beruang, dan segala hal lainnya di alam. Kata-kata memiliki
alamnya sendiri. Manusialah yang menciptakan kata-kata sekaligus makna-makna
padanya; manusia menciptakan suara yang diberinya makna, manusia menciptakan
rangkaian huruf yang diberinya makna.

Orang-orang dari beragam latar belakang dapat mengucapkan satu hal yang sama
dengan suara yang berbeda-beda, seperti “cat” untuk orang Inggris, “chat” bagi
orang Perancis, “Katze” bagi orang Jerman, dan “kucing” di Indonesia. Antara saya
dan Anda tidak memiliki standar makna pada suara. Standar bentuk kata hanya ada
dalam bentuk tulis, bukan dalam bentuk pengucapan. Seorang anak yang baru
belajar mengucapkan kata-kata akan dipahami oleh kalangan keluarganya sendiri.
Suara tidak memiliki standar, yang dimiliki hanyalah bermacam-macam variasinya.
Sedangkan dalam bentuk tulisnya, kata tidak banyak berubah. Sebuah aturan
perubahan yang dikenakan terhadap kata biasanya berlangsung lama, seperti yang
nampak pada jarak waktu penggunaan ejaan lama dan kemudian ejaan baru. Kata-
tulis terdokumentasikan dan terwariskan, karena itu lebih terjaga standarisasi
maknanya. Sedangkan kata-ucap tidak tercatat dan berkembang sangat fleksibel
dan improvisatoris, karena itu sulit ditentukan standar maknanya. (Lihat kembali
standar makna dalam relasi antara kata dan gestur pada pembahasan
sebelumnya!).
Kalau saya kembali melihat relasi antara kata dan gestur dalam pembahasan
sebelumnya, saya sering menilai bahwa standar makna dari kata-ucap itu tidak ada,
karena ia sesungguhnya hanya bagian dari gestur. Mungkin tanpa kata-ucap,
manusia dapat tetap berkomunikasi dengan gerak tubuhnya saja. Manusia bisa
berinteraksi di sebuah toko jual beli telepon genggam dengan kode-kode tubuhnya.
Apabila komik strip “Nomor Cantik” di atas ditiadakan kata-katanya, kita tetap
dapat melihat, merasakan, dan mengerti komunikasi antarmanusia tersebut.
Berbeda dengan apabila gambarnya yang kita hilangkan. Kata akan berdiri sebagai
kata dengan makna yang jelas di dalam kata tersebut apabila manusia hanya
mengkomunikasikan hal-hal yang tak dapat diterangkan dengan gestur. Tapi
mungkinkan itu? Tidakkah gestur juga merupakan bahasa semau-maunya? Memang
benar bahwa orang yang mulas perutnya dapat memutar tanganya di sekitar perut;
disebut gestur anomatope (gerakkan itu meniru apa yang terjadi di dalam perut
yang mulas, sekan ada yang berputar-putar). Tapi bisa pula —apabila disepakati—
menjelaskan perut yang mulas itu dengan gerakan yang lain. Kita tahu bahwa
masing-masing komunitas memiliki kode gestur konvensional yang disepakati
dalam ruang-ruang komunitas masyarakat. Perbedaannya, kata-ucap yang
menyertai sebuah gestur itu bersimbolkan suara, sedangkan gestur itu sendiri
bersimbolkan gerak. Penting kiranya bagi kita meneliti dan membicarakan
hubungan antara kata dan gestur untuk menemukan hakikat kata-ucap agar kata
dapat dibebaskan dari pengertian kata yang berbayang gestur dan agar dapat
ditemukan pengertian kata yang secara ontologis terbebas dari batasan tercetak
dan tersuarakan.

Adakah sebuah kata yang terbebas dari bayangan kode gestur? Karena
kehadirannya amat menentukan, kita tak bisa mengabaikannya. Hubugan antara
gestur dan makna kata yang tak terpisahkan itulah yang menjadi esensi dari dunia
komunikasi-makna antarmanusia, terutama dalam dunia lisan, seperti yang dengan
mudah dapat dicontohkan oleh gambar-gambar komik. Peritiwa dalam komik adalah
peristiwa anomatopik prilaku komunikasi manusia, bagaiman ia saling terhubung
oleh makna-makna. Ucapan tokoh komik cukup dibuat simpel, sebab makna kata
akan tercipta karena dukungan gestur para tokoh yang hadir di dalamnya.
Perhatikanlah komik strip berikut ini!

Gbr 1. Komik strip “Nomor Cantik”karya Benny Rachmadi dan Muh Misrad14

Kalau Anda tertawa, artinya Anda mengerti dengan dunia makna yang disusun oleh
kata-kata dan gestur di dalam komik tersebut. Komik ini sendiri merupakan
penertawaan terhadap gestur sosial kita yang kerap membanggakan nomor telepon
karena alasan bagus susunan angka-angkanya, disebutlah “nomor cantik”. “Nomor
cantik” biasa dijual dengan harga yang lebih mahal dari nomor yang biasa (nomor

14
Komik “Nomor Cantik” ini karya Benny Rachmadi dan Muh. Misrad, dipetik dari buku Kartun
Benny & Mice: Talk About Hapé, cetakan kedua (Jakarta: Nalar, 2008), hlm. 30. “Komik strip”
adalah komik yang selesai dibaca dalam ‘satu kali pandangan’. Biasa dimuat di surat kabar.
yang susunannya tidak bagus, acak, atau
sulit diingat). Kita mengerti dunia makna
yang disampaikan komik tersebut karena
kita menangkap relasi-relasi antara kata-
kata dan gestur tubuh para tokohnya
yang sekaligus berelasi dengan
pengalaman gestur sosial kita. Kisah
dalam komik strip di atas tentu lebih
berelasi pada pengalaman gestur sosial
Indonesia, lebih khusus lagi gestru sosial
masyarakat perkotaan.

Pada kotak satu, seorang perempuan


datang ke toko telepon genggam yang
juga menjual nomor perdana (tubuh yang
menghadap toko menunjukkan
“kedatangan perempuan itu”).
Perempuan itu rupanya bermaksud
membeli nomor perdana (kita tahu dari
kata-kata yang diucapkannya: “Beli kartu
perdananya dong mas…”) Pada bagian
ini kita belum menemukan makna akhir
yang ingin disampaikannya, kita hanya dihadapkan dengan pertanyaan dari Mice
terhadap perempuan itu, nomor jenis apa yang dingin dibelinya, nomor biasa atau
nomor cantik, dan perkataan dari Benny yang menyarankan agar perempuan itu
membeli nomor cantik agar menjadi “tambah cantik!” (Benny mengatakan “biar
tambah cantik!” sambil mengedipkan matanya)

Pada kotak kedua, makna akhir itu barulah jadi jelas: Perempuan itu ternyata
tidak jadi membeli nomor perdana di toko tersebut karena “ada yang salah” dengan
ucapan Benny (pria yang berambut hitam dan ikal). Apa yang salah? Kita bisa
melihat relasi antara gambar perempuan yang akhirnya menghadap ke arah kita
(berlalu dari toko tersebut) yang ternyata tidak cantik (bergigi tonggos, berkawat,
jerawatan, berbibir tebal, bermata blotot, berkaca mata kotak kebesaran).
Perkataan Benny yang berbunyi “Nomor cantik aja neng! biar tambah cantik!
ehem..” rupanya menyinggung perempuan itu. Ia merasa dirinya tidak cantik,
karena itu ia geram dan marah dan berkata (dalam hatinya) “Kurang ajar!”
Berlalunya perempuan dari toko itu membuat Mice marah dan menonjok mata
Benny yang tadi dikedipkan. Tapi Benny tampak tidak mengerti. Setelah matanya
ditonjok ia masih bertanya “…ada yang salah?!” Micelah yang mengerti dengan
kepergian perempuan itu. Perkataan Mice “elu juga sih…” mengandung nada kesal
dan sesal atas perkataan Benny (lihat gestur Mice!).
Tidak hanya berelasinya kata-kata dengan gestur-gestur tersebut yang melahirkan
makna. Relasi antarbabak atau antara kotak satu ke kotak lainnya juga tak dapat
dipisahkan. Kotak pertama memaknai kotak kedua, kotak kedua memaknai kotak
pertama. Kita tidak akan dapat memahami kotak kedua bila kita tidak mengamati
peristiwa relasional di kotak pertama. Kita juga tidak akan mengerti kotak pertama
kalau kita mengabaikan kotak kedua. Tapi hubungan antarkotak itu tidak
berhubungn dengan kata yang sedang kita diskusikan di sini. Tidak hanya itu, sekali
lagi, kita mengerti komik tersebut juga karena relasinya yang amat dekat dengan
gestur sosial orang-orang Indonesia di era komunikasi telepon genggam dewasa ini
yang memiliki telepon genggam bukan hanya untuk keperluan komunikasi, tapi juga
untuk kepuasan memilikinya (memiliki model terbaru atau nomor cantik); dan,
relasi antara komik dan realitas tersebut juga tidak termasuk dalam bahasan
makna-kata. Yang harus diingat dalam hal ini adalah bahwa kata-kata di dalam
komik tersebut ditentukan maknanya oleh konteks gestur.

Bibliograpi/Bibliography

Aristoteles eBooks@Adelaide [Online] // http://creativecommons.org/licenses/by-


nc-sa/2.5/au/. - The University of Adelaide Library, Thuesday April, 2007.

Benny Rachmadi, Muh. Misrad Kartu Benny & Mice: Talk Abaut Hape [Book]. -
Jakarta : Nalar, 2008. - ISBN 13: 9-789792-690132.

Brecht Bertolt Zaman Buruk Bagi Puisi [Book Section] / ed. Berthold Damshauser
Agus R. Sarjono / trans. Berthold Damshauser Agus R. Sarjono. - Jakarta : Horison,
2004. - Seri Puisi Jerman (Jilid 2).

Flew Antony A Dictionary of Philosophy [Book] / ed. Jennifer Speake Sarah


Mitchell. - London : Pan Books Ltd, 1984. - 3rd Edition. - ISBN 0 330 28359 X.

Hospers John An Introduction to Philosophical Analysis [Book]. - London : Prentice-


Hall, Inc., 1967. - 2nd Edition.

Kattsoff Louis O. Pengantar Filsafat [Book] / trans. Soemargono Soedjono. -


Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004. - ISBN 979-8120-01-9.

Sugiharto Bambang Posmodernisme: Tantangan bagi Filsafat [Book]. -


Yogyakarta : Kanisius, 1996. - ISBN 979-497-595-8.

Thomas M. Olshewsky Problem in the Philosophy of Language [Book] / ed.


Olshewsky Thomas M.. - New York : Rinehalt and Winston, 1969.

Anda mungkin juga menyukai