Anda di halaman 1dari 7

1

di tingkat daerah yang mempunyai komitmen dan sikap yang demokratis dan otonomis.

III. ESENSI OTONOMI DAERAH DAN PELAKSANAANNYA DALAM NEGARA KESATUAN

Demokrasi dan otonomi daerah dua kata yang indah untuk diucapkan dan dijual kepada siapapun, dimanapun dan kapanpun, tetapi pada kenyataannya sangat sulit untuk diterapkan. Sebenarnya bukan karena demokrasi dan otonomi itu sendiri yang membuatnya sulit diterapkan tetapi orang-orang yang menjalankan demokrasi dan otonomi itulah yang mempersulit. Meskipun demikian, demokrasi dan otonomi daerah adalah salah satu pilihan yang tepat bagi bangsa ini dalam menata dan membangun negara dan daerah. Penulis tidak akan mengkaji dan mempersoalkan bentuk-bentuk pemerintahan yang lain selain demokrasi dalam kesempatan ini. Secara sederhana, demokrasi adalah suatu pemerintahan yang pilar utamanya kemampuan rakyat. Artinya sejauhmanakah atau seberapa banyakkah peran rakyat dalam majemen pemerintahan dilibatkan? Sebab selama ini rakyat baru sebatas alat justifikasi (pembenar) bagi kalangan elit dan rakyat hanya sebagai penonton sebuah

permaianan politik. Di era otonomi pemerintahan daerah kedepan banyak agenda yang akan dihadapi dalam rangka menjalankan lokomotif demokrasi, seperti pemilihan Gubernur, Bupati dan Waliokota secara langsung Bagi bangsa indonesia sendiri pengalaman menjalankan permilhan langsung terhadap seorang pemimpin telajh teruji dengan praktik pemilihan terhadap seorang Kepada Marga, Dusun atau sekarang pemilihan Kepada Desa. Secara ruang lingkup, sistem dan mekanisme bisa tidak persis sama, namun secara substansinya tentu tidak banyak perbedaan. Agenda demokrasi dalam rangka pelaksaan otonomi daerah yang cukup menjanjikan terjadinnya tindakan para elit yang bermaksud mencurangi dan menyelewengkan aspirasi rakyat. Tinggal masalah adalah bandul demokrasi dan

otonomi daerah dalam hal pemilihan kepala daerah tersebut telah beralih ke rakyat, dapatkah rakyat menjalankan secara demokrasi? Tergantung kepada rakyat untuk menjawabnya. Sebab dengan sistem lama melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD, ternyata banyak meninggalkan kekecewaan bagi rakyat sendiri telah diberikan kepercayaan akan terlihat artinya dengan mekanisme yang demikian rakyat tidak lagi menuding, menyalahkan siapapun bila pemimpin yang akan dia pilih ternyata tidak kredibel, tidak mampu menjalankan gerbong otonomi daerah. Mata rantai antara proses pemilihan (Kepala Daerah) terhadap

keberhasilan atau kegagalan pelasanaan otonomi daerah sangatlah erat. Otonomi daerah tidak hanya hanya tergantung pada sumber daya alam, partipasi masyarakat, sumber daya manusia, aparatur pemerintahan, penegakan hukum semata, tetapi yang tidak kalah pentingnya juga bagaimana kualitas Kepala Daerah dalam menenej potensi yang ada menjadi sesuatu kekuatan yang besar dalam menghadapi hambatan dan tantangan bangsa dan daerah yang berada di era global ini. Pun dalam pelaksanaan otonomi daerah ke depan salah satu aspek yang ikut menentukan adalah kualitas para anggota DPRD, para kelompok elit ini memegang tanggung jawab yang tidak ringan, disamping itu harus mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat, juga harus mampu berperan sebagai lembaga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah serta dapat juga berfungsi sebagai patner pemerintah daerah. Sebagai lembaga penyerap dan pejuang aspirasi rakyat, DPRD harus mampu bertindak sebagai wakil rakyat bukan hanya sebagai wakil partai, oleh karena itu para DPRD harus senantiasa membangun mengindentifikasi aspirasi yang layak dan aspirasi yang belum layak untuk diperjuangkan, juga harus menyadari dia adalah pelayan rakyat para anggota DPRD harus banyak berada ditengah-tengah masyarakat atau dengan kata lain harus merakyat. Sebagai pengontrol, para DPRD harus bertindak secara arif, objektif dan proporsional, artinya fungsi kontrol anggota DPRD bukan dimaksudkan untuk mencari kesalahan Kepala Daerah. Dan jajarannya, tetapi melakukan pencegahan

dan mengoreksi bila ada kesalahan serta mencari alternatif penyelesaiannya. Bila sikap yang demikian telah terbangun dengan benar maka secara otomatis fungsi partnership (mitra) dalam memikul tanggung jawab pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan optimal. Memang tugas dan kewenangan para anggota DPRD ke depan adalah berat, mereka juga harus mampu menjadi patner dalam membuat rancangan peraturan daerah. Oleh karena itu pengetahuan dan kemampuan perancangan Peraturan Daerah wajib dimiliki oleh seorang anggota DPRD, sebab faktor ini adalah salah satu indikator pendukung pelaksanaan otonomi daerah, bila tidak bearti para anggota DPRD harus mempersiapkan tim asistensi yanbg benarbenar mampu melakukan tugas perancangan Peraturan Daerah dan memahami persoalan-persoalan otonomi daerah, bukan merekrut orang-orang yang bukan ahlinya, apalagi asal-asalan, asal saja dan sebagainya. Untuk mendukung konsep ideal tersebut yang tidak kalah urgennya juga adalah sikap kritis dari masyarakat untuk mengawasi berbagai perencanaan dan kebijakan para DPRD dan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan, agar terhindarnya perbuatan kolutif, nipotisme dan korupsi. Sikap kritis masyarakat tersebut harus terbangun dalam semua lini, termasuk pers, presure group (kelompok penekan), LSM, dan lain sebagainya. Namun hal-hal tersebut di tingkat Kabupaten Bengkulu Utara kelihatannhya masih belum terlihat perannya. Artinya sebuah negara atau daerah akan dapat berkembang secara demokratis bila memberikan ruang yang cukup untuk dikritisi oleh siapapun. Sekedar catatan kecil dalam menghadapi otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah diharapkan adanya suatu grafik peningkatan di bidang kesejahteraan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Apabila variabelveriabel tersebut tidak tercapai maka dengan lapang dada harus diterima dengan kesimpulannya dalah bahwa otonomi mengalami kegagalan. Lebih-lebih bila daerah yang bersangkutan tidak menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri dan selalu tergantung dengan pemerintah pusat atau Propinsi, maka konsekuensi yang paling bahaya, daerah tersebut dapat dilikuadasi dan berkuisisi dengan kabupaten lain, Bila hal itu menimpa Kabupaten Bengkulu Utara atau Propinsi

Bengkulu yang gagal bukan hanya rakyat tetapi semua komponen yang ada yaitu dari Kepala Daerah beserta jajarannya, DPRD, aparatur penegak hukum dan lain sebagainya. Dalam kaitan dengan esensi otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, di beberapa daerah terjadi euphoria berlebihan. Hal tersebut terindikasi dari pola tindak dan pola pikir para elit di Daerah yang lupa dan keliru bahwa otonomi yang dijalankan tersebut bukan dalam kerangka negara federal, tetapi dalam kerangka negara kesatuan yang tentunya sumber dan bidang kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom adalah bersumber dari Presiden dalam bidang administrasi (pemerintahan). Konkritnya, dengan UU No. 22 tahun 1999 otonomi dipahami sebagaian elit di daerah sebagai era kebebesan dan tanpa kontrol dari pemerintah pusat. Oleh karena itu sering kali terdengar misalnya, Peraturan Daerah bertentangan dan melanggar UU dan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, para DPRD dan Pemerintah Daerah sudah mulai berupaya mengatur kewenangan-kewenangan yang tidak

didesentralisasikan. Belum lagi akibat kelemahan UU No. 22 Tahun 1999 yang mengundang interpretativable seperti terdapat pada pasal 7 ayat (1) mencakup kewenangan dalam seluruh bidang kecuali kewenagan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain Kelemahan lain adalah rumusan tentang hubungan Propinsi dengan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain dan masingmasing mandiri sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 4 (2). Tetapi dari segi sumber-sumber penerimaan pelaksanaan desentralisasi ada yang bersumber dari dana perimbangan dan lain-lain penerimaan yang sah selain PAD dan pinjaman daerah (pasal 3 UU No. 25 tahun 1999 jo Pasal 79 UU No. 22 tahun 1999) Artinya, makna dari adanya sumber penerimaan dari Pemerintah pusat tersebut menunjukan bahwa otonomi daerah yang dijalankan bukan serta merta lepas dari policy (kebijakan) Pemerintah Pusat, sehingga para elit dan masyarakat di daerah semuanya mengatur sesuai dengan keinginannya, namun otonomi tersebut memberikan keleluasaan kepada daerah otonom untuk mengatur

sesuai dengan kebutuhan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan prinsip good goverment dan prinsip berpemerintahan yang baik good governance). Peraturan perundang-undangan dan prinsip good goverment dan goog governance tentu merupakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Meskipun demikian, bukan berarti Pemerintah Pusat juga dapat berindak sewenang-wenang kepada daerah-daerah tanpa mengindahkan mekanisme dn prinsip tersebut di atas, tetapi sepatutnya memahami juga apa kewenagan daerah dan apa kewenangan sebagai pemerintah pusat, sebagai contoh; dalam hal penentuan seorang pemimpin (Kepala Daerah) Pemerintah pusat tidak berwenang untuk mengintervensi aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat setempat. Pemerintah Pusat berfungsi mengawasi pelaksanaan demokrasi di daerah serta dapat bertindak penengah bila ada konflik. Akhir-akhir ini, kesadaran dan kearifan pemerintah pusat dalam proses bergulirnya demokrasi di daerah khususnya dalam hal PILGUB dan PILBUP/PILWALKOT, kecenderungannya melemah dan mengarah kepada intervensi, hal ini merupakan hal-hal yang sangat disayangkan ketika bandul otonomi dikendalikan oleh elit politik partai dan dibelokkan ke arah kutub sentralistik. Fenomena lain yang berkembang dalam era euforia otda sekarang ini adalah terindikasi di tingkat elit tertentu dan masyarakat tertentu di daerah-daerah untuk berlomba-berlomba melakukan pemekaran Propinsi, Kabupaten juga

Kecamatan kadang kala pemekaran tersebut secara rasional dan obyektif tidak memenuhi persyaratan yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, tetapi dengan dukungan dan dorongan politis masyarakat yang sempit dan sesaat, maka berbagai langkah dan persyaratan di persiapkan oleh elit politik tertentu meskipun dengan cara sedikit dimanipulasi data, agar di atas kertas setidaktidaknya daerah tersebut dianggap memenuhi syarat dan layak untuk dimekarkan. Tujuansampingan dari dukungan elit politik pemerintah daerah terhadap pemekaran setidaknya membuka peluang untuk berbagai jabatan (eselonisasi) di daerah yang baru. Pertemuan kepentingan antara masyarakat daerah yang sempit dengan elit pemerintah daerah tersebut memperlancar dan mempercepat bagi

pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk menyetujui usulan-usulan yang ada, dan konon ceritanya uang ikut berperan. Hal semacam ini lambat laun akan membahayakan daerah dan masyarakat setempat, karena daerah itu pada saatnya nanti tidak akan mampu bertahan dalam menjalankan roda pemerintahan secara mandiri (otonom). Akhirnya apa yang terjadi, tujuan otonom daerah untuk kemandirian dan kesejahteraan rakyat daerah tidak akan tercapai. Atas dasar kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi tersebut, perlu dan penting diingat juga bahwa esensi otonomi daerah adalah bukan hanya peningkatan kesejahteraan para anggota DPRD, para pejabat pemerintah daerah semata, tetapi yang lebih penting dan mendasar juga adalah adany peningkatan kesejahteraan ekonomi, sosial masyarakat ditingkat bawah. Apabila hal itu belum terwujud, maka kebangkitan nasional dalam kaitan dengan pelaksanaan demokrasi dan otonomi daerah dapat diprediksi akann terwujud pula, yang ada hanya kebangkrutan nasional dan kebangkrutan daerah. Agar jangan sampai kebangkutan nasional dan daerah yang tentu tidak kita inginkan, sudah saatnya seluruh komponen masyarakat yang ada di daerah ini dapat memberdayakan diri dan dilibatkan sebagai subjek dalam pembangunan bukan hanya objek pembangunan, Termasuk kontrol sosial dari masyarakat terutama pers, mahasiswa, LSM dan lain sebagainya. Komponen ini dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya juga harus bersikap adil, proporsional, tidak memihak dan diskriminatif, Sebab salah satu kelemahan pelaksanaan demorasi dan otonomi daerah di Bengkulu Utara selama ini, komponen yang disebutkan di atas belum secara maksimal menjalankan fungsi dan

kewenangannya. Apabila semuanya dapat maksimal menjalankan fungsinya, penulis yakin masyarakat Bengkulu Utara dalam era otonomi daerah ini dapat sejajar dengan masyarakat di daerah ini, apalagi secara potensial, daerah ini memiliki banyak sumber andalan yang sangat mendukung.

IV. PENUTUP Dari uraian tersebut di atas penulis berkesimpulannya : 1. Esensi pelaksanaan otonomi daerah adalah kesejahteraan rakyat dan kemandirian ; 2. Faktor yang mendukung keberhasilan otonomi daerah; kualitas DPRD, aparatur; Pemerintah Daerah, partisipasi masyarakat, SDM, SDA, sektor swasta, potensi ekonomi, dan penegakan hukum; 3. Sektor penegakan hukum adalah kunci utama dalam rangka suksesnya pelaksanaan otonomi daerah; 4. Kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah (DPRD dan Kepala Daerah berserta jajarannya). 5. Dengan semangat nilai-nilai yang terkandung dari kebangkitan nasional maka pelaksanaan otonomi daerah tetap dalam bingkai negara kesatuan RI. 6. Adanya keseimbangan atau harmonisasi antara kutub desentralisasi dengan kutub dekonsentrasi.

Anda mungkin juga menyukai