Anda di halaman 1dari 22

Sentralisasi dan Desentralisasi

Meuthia Ganie-Rochman

DIKELUARKANNYA Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan


atas
PP No 6/2005 tentang Pemilihan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala
Daerah membawa Indonesia pada titik di mana masalah peran pusat dan daerah
masuk kembali ke dalam wacana publik.

SENTRALISASI dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara


adalah
persoalan pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini
sebelum
tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang
yang ada
pada pemerintah pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan "baik" dari
perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.

Seperti telah diketahui, pemahaman dan tujuan "baik" semacam itu sudah
dipandang ketinggalan zaman. Saat ini desentralisasi dikaitkan pertanyaan
apakah prosesnya cukup akuntabel untuk menjamin kesejahteraan masyarakat
lokal.
Semata birokrasi untuk pelayanan tidak cukup untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat, bahkan sering merupakan medium untuk melencengkan sumber daya
publik. Kontrol internal lembaga negara sering tak mampu mencegah berbagai
macam pelanggaran yang dilakukan pejabat negara.

Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang
dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan
jalan
yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan
oleh
pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa
banyak
akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan
dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya
desentralisasi
dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah
"melepaskan
diri sebesarnya dari pusat" bukan "membagi tanggung jawab kesejahteraan
daerah".

Karena takut dianggap tidak politically correct, banyak orang enggan


membahas
peran pusat dan daerah secara kritis. Kini sudah saatnya proses pembahasan
dibuka kembali dengan mempertimbangkan fakta-fakta secara lebih jujur.

Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu


proses
satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua "sasi" itu adalah
masalah
perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan
selalu
merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan.
Selain
proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah
adalah
argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.

Kedua, batas antara pusat dan daerah tidak selalu jelas. Kepentingan di
daerah
bisa terbelah antara para elite penyelenggara negara dan masyarakat lokal.
Adalah mungkin pemerintah pusat memainkan peran menguatkan masyarakat
lokal
dalam menghadapi kesewenangan kekuasaan. Ketiga, dalam suatu masyarakat
yang
berubah, tanggung jawab pusat maupun daerah akan terus berubah pula.

Dalam penyelenggaraan negara selalu ada aspek dan definisi baru tentang
peran
pusat dan daerah. Misalnya, globalisasi akan meningkatkan kembali campur
tangan
pusat di daerah di sisi-sisi tertentu. Karena itu, desentralisasi dan
sentralisasi dapat terjadi bersamaan pada aspek-aspek berbeda.

PUSAT mempunyai kecenderungan untuk mendorong sentralisasi karena berbagai


alasan. Untuk alasan "negatif" dapat disebut alasan seperti kontrol sumber
daya
dan menjadikan daerah sebagai sapi perah. Namun
, ada alasan-alasan yang dapat
bersifat "positif", seperti kestabilan politik dan ekonomi, menjaga batas
kesenjangan agar tidak terlalu buruk, dan mendorong program secara cepat.

Harus diingat, dalam banyak negara, termasuk Indonesia, pusat mempunyai


sumber
daya manajerial, kecakapan lebih banyak dalam berinteraksi secara global,
dan
ada pada domain di mana pengaruh etik pembangunan yang diterima secara
internasional. Pemerintah pusat juga berada pada hot spot proses politik.
Adalah lebih mungkin terjadi situasi di mana pemerintah di bawah tekanan
jika
kekuatan masyarakat sipil bersatu.

Bagaimana hal-hal itu dapat menghasilkan sesuatu yang positif atau negatif
tergantung pada situasinya. Pertama yang penting adalah legitimasi politik
pemerintah pusat. Secara sederhana, harus dibedakan antara legitimasi
terhadap
para pemimpin di tingkat nasional dan legitimasi terhadap birokrasi.
Pemerintah
pusat sering harus mengandalkan birokrasi untuk programnya terhadap
daerah.
Kepopuleran individu selalu tidak bertahan lama dan dapat segera dirusak
oleh
ketidakmampuan memperbaiki mutu birokrasi.

Di Indonesia, birokrasi yang sebenarnya memiliki kompetensi dan orientasi


lumayan pada awal reformasi kini mulai dibelokkan kekuatan politik partai
dan
kelompok. Penyelenggara negara di tingkat pusat terdiri dari beberapa
partai
politik. Kombinasi antara partai politik yang hampir seluruhnya punya
masalah
akuntabilitas dan sistem politik representasi (oleh partai politik yang
dapat
dikatakan sama di DPRD) yang tidak akuntabel di tingkat lokal membuat
masyarakat lokal tidak mudah memercayai "pusat". Jika ingin
memperbaikinya,
pemerintah pusat harus mampu membuat standar akuntabilitas sendiri agar
mendapat dukungan masyarakat lokal.

Indonesia kini mulai mengalami apatisme terhadap desentralisasi. Situasi


ini
bisa dimanfaatkan pemerintah pusat untuk melakukan perubahan di tingkat
daerah.
Kasus Argentina dan Brasil yang bersifat federalis menunjukkan jatuhnya
legitimasi para elite politik lokal memberikan kesempatan kepada elite
nasional
untuk melakukan resentralisasi di bidang ekonomi untuk bidang- bidang
tertentu.
Kedua pemerintahan banyak menggunakan struktur internal (birokrasi) untuk
mengubah arah, tanpa terlalu banyak berurusan dengan struktur politik yang
ada.

KEMBALI kepada persoalan awal, masalah sentralisasi dan desentralisasi


bukan
lagi dipandang sebagai persoalan penyelenggara negara saja. Pada akhirnya
kekuatan suatu bangsa harus diletakkan pada masyarakatnya. Saat ini di
banyak
wilayah, politik lokal dikuasai selain oleh orang-orang partai politik
juga
kelompok-kelompok yang menjalankan prinsip bertentangan dengan pencapaian
tujuan kesejahteraan umum. Kekuatan kelompok pro pembaruan lemah di banyak
daerah dan langsung harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik
lokal
dengan kepentingan sempit.
Pemerintah pusat seharusnya memperkuat elemen masyarakat untuk berhadapan
dengan kekuatan tadi. Sebagai contoh, KPU daerah diberi wewenang untuk
merekomendasikan penghentian pilkada, bukan melalui gubernur dan DPRD.
Namun,
sebagai institusi KPU daerah harus diperkuat secara institusional dan
organisatoris. Meskipun pemerintah pusat mungkin tidak diharapkan untuk
ikut
mendorong perubahan sistem politik yang ada sekarang, perbaikan penegakan
hukum
di daerah-daerah sangat membantu kekuatan masyarakat pro perubahan.

Birokrasi sekali lagi adalah alat pemerintah pusat untuk melakukan


perbaikan
daerah. Birokrasi, jika dirancang secara sungguh-sungguh, bisa berperan
sebagai
alat merasionalisasikan masyarakat. Pemerintah pusat, misalnya, membantu
pemerintah daerah dalam mendesain pelayanan publik yang akuntabel.
Pemerintah
daerah sering pada situasi terlalu terpengaruh dengan kepentingan
perpolitikan
lokal.

Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah representasi persoalan daerah


di
tingkat pusat. Sekarang ini sistem perwakilan daerah yang ada baik di DPR
maupun asosiasi bersifat elitis. Tetap yang berlaku antara hubungan
pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Persoalan daerah harus ditangani oleh sesuatu
badan yang lebih independen dari kepentingan yang ada di pusat dan daerah.
Badan ini seharusnya mampu membahas apa peran pemerintah pusat dan
pemerintah
daerah yang paling diperlukan untuk kesejahteraan daerah. Perlu dipikirkan
suatu badan yang otoritatif untuk membuat advokasi, rekomendasi kebijakan,
dan
pemonitoran yang mewakili orang-orang kompeten baik unsur pemerintah
pusat,
pemerintah daerah, maupun masyarakat.

MEUTHIA GANIE-ROCHMAN Sosiolog Utama Bidang Tata Kelola Organisasi


Masyarakat
Laboratorium Sosiologi FISIP UI

Dampak pergeseran sistem sentralisasi ke Desentralisasi di Indonesia : menyimak prospek


pemberlakuan hukum Islam di Indonesia

A.PENDAHULUAN
Lengsernya penguasa orde baru, bapak Soeharto pada Mei 1998, menandai masuknya
Indonesia ke dalam babak baru sejarah. Sistem pemerintahan yang berjalan secara
sentralisasi selama 35 tahun adalah salah satu sumber masalah di negeri ini yang dengan
sangat kuat muncul menjadi fokus perbincangan. Berbagai sorotan tajam terhadap
kelemahan sistem ini pada akhirnya bermuara pada wacana desentralisasi yang terus
mengemuka.
Akhirnya pada tanggal 7 Mei 1999, disahkanlah UU. NO. 22 / 1999 tentang Pemeritahan
Daerah atau yang lebih populer dengan sebutan Undang-Undang Otonomi Daerah. Undang-
undang ini kemudian direvisi dengan terbitnya UU. NO. 32 / 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang menetapkan bahwa desentralisasi dengan penerapan Otonomi Daerah sudah
tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dengan asumsi bahwa Otonomi daerah adalah jalan keluar
bagi ancaman disintegralisasi bangsa yang saat itu dirasakan semakin menguat sebagai
akibat kurang diperhatikannya daerah-daerah selama ini. Padahal potensi kekayaan daerah
yang sangat sangat besar diangkut ke pusat, sementara daerah hanya mendapat tetesannya
saja.
Substansi Otonomi Daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan kepada
masyarakat dengan memperkecil mata rantai kendali pemerintahan. Dalam pelaksanaanya
ternyata banyak daerah yang mempunyai wilayah yang amat luas, sehingga terjadi ketidak-
merataan pembangunan.Ini menjadi salah satu peluang munculnya issu pemekaran daerah
baik di tingkat kabupaten dan kota maupun di tingkat propinsi, yang mendapat tempat dalam
UU. NO. 22 / 1999 dan UU. 32 / 2004.
Demikianlah sekilas latar belakang peralihan sistem pemerintahan Indonesia yang
sebelumnya kekuasaan sentral berada dalam kendali pusat, lalu kemudian mengalami
perubahan menjadi desentralisasi, dimana daerah-daerah memiliki otoritas untuk mengatur
pemerintahannya sendiri. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut tentang dampak desentralisasi
dan prospek penerapan hukum Islam di Indonesia.

B. PERMASALAHAN DESENTRALISASI
Pengertian sentralisasi secara bahasa adalah penyatuan segala sesuatu ke suatu tempat yang
dianggap sebagai pusat. Maka desentralisasi, sebagaimana diungkapkan oleh Rondinelli,
yaitu penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada pemerintah daerah maupun
kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah. Dalam hal kewenangan yang
diserahkan kepada pemerintah daerah disebut devolusi. Sedangkan kewenangan yang
dilimpahkan kepada pejabat pusat yang ditugaskan di daerah disebut dekonsentrasi.
Sebagai bentuk pertama pelaksanaan devolusi diwujudkan dengan pembentukan daerah
otonom dan pemberian otonomi serta dibentuknya lembaga daerah seperti pemerintahan
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan lembaga yang dibentuk dengan
kebijakan dekonsentrasi sebagai model kedua, disebut instansi vertikal dan wilayah kerjanya
disebut wilayah administrasi yang dapat mencakup satu atau lebih wilayah daerah otonom.
Model ketiga dari kebijakan desentralisasi dalam arti luas adalah kebijakan delegasi
(delegation). Pemerintah pusat atau unit pemerintah yang khusus dibentuk untuk keperluan
di maksud. Sebagai contoh adanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk
menyelenggarakan kegiatan ekonomi tertentu, misalnya maskapai penerbangan Garuda.
Adapun model keempat dari kebijakan desentralisasi adalah melalui kebijakan privatisasi.
Untuk kepentingan efisiensi dan mengurangi beban penyediaan pelayanan publik oleh
pemerintah, dapat dilakukan penyerahan kepada pihak swasta untuk mengelola kegiatan
tersebut, seperti pasar, rumah sakit, dan lin-lain.
Ada beberapa alasan yang menjadikan model pemerintahan desentralisasi ini lebih memberi
kebaikan dan keuntungan, jika diterapkan dengan benar, yaitu:
1. Dilihat dari sudut politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan
kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2. Dalam bidang politik penyelenggaran desentralisasi dianggap sebagai tindakan
pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam
menggunakan hak-hak demokrasi.
3. Dari sudut teknik organisasi pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah
(desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa
yang dianggap lebih utama diurus oleh pemerintahan setempat, pengurusannya diserahkan
kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintahan
pusat.
4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya
ditumpahkan pada kekhususan suatu daerah, seperti geografis, keadaan penduduk, kegiatan
ekonomi watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena
pemerintah daerah lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Ketika otonomi daerah dicanangkan di Indonesia oleh pemerintah pada tanggal 1 Januari
2001, banyak kalangan mempertanyakan apakah secara otomatis akan terjadi perubahan
paradigma yang mendasar dan bersifat struktural. Sebab persoalannya adalah gema yang
masih berkumandang di seantero jagad Indonesia adalah sentralisasi (kontrol dari pusat)
yang dirasakan dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia.
Para birokrat di daerah sudah terlanjur biasa meminta petunjuk dari atas. Atau apakah
otonomi daerah ini tidak akan menimbulkan keterkejutan penguasa-penguasa di daerah
yang sekarang memiliki otoritas lebih besar dari sebelumnya. Tentu saja waktu yang akan
membuktikan bagaimana kondisi Indonesia ke depan setelah penerapan otonomi daerah ini,
adakah terjadi perbaikan-perbaikan seperti yang diharapkan oleh sementara kalangan ,
ataukah justru otonomi daerah dapat memunculkan raja-raja baru yang berpeluang
menjadikan penyimpangan-penyimpangan baru pula.

C. DAMPAK DESENTRALISASI
Sebagaimana telah diungkap diatas, bahwa desentralisasi memiliki banyak nilai lebih yang
diharapkan dapat memberi banyak kebaikan jika diterapkan di Indonesia. Terutama jika kita
melihat Indonesia dari perspektif kultural, dimana Indonesia didiami oleh beragam suku
budaya, tradisi dan keyakinan. Dengan pemberlakuan desentralisasi atau otonomi daerah,
kepentingan lokal yang sesuai dengan keragaman tersebut tentu akan lebih terakomodasi.
Salah satu contoh yang paling nyata adalah daerah Nanggro Aceh Darussalam dan Papua.
Kedua daerah ini memiliki karakter penduduk dan budaya tradisi yang khas. Konflik
berkepanjangan yang pernah menyelimuti kedua daerah ini diantaranya adalah disebabkan
kurang terakomodirnya kepentingan dan keinginan masyarakat di kedua daerah ini.
Pemerintah pusat kurang memberi perhatian terhadap laju perkembangan dan dinamika
keduanya, sementara hasil buminya yang begitu melimpah tidak memberi kontribusi yang
signifikan terhadap kesejahteraan masyarakatnya.
Demikian juga dengan daerah-daerah lain yang pasti akan berbeda antara satu dengan
lainnya. Wewenang untuk mengatur diri sendiri, tentu akan sangat membuka kesempatan
bagi terakomodirnya kepentingan dan keinginan masyarakat setempat. Daerah akan dapat
mengatur masyarakatnya sesuai dengan kekhasannya serta masyarakat dapat lebih
berpartisispasi dalam pembangunan di daerahnya.
Salah satu aspek yang mungkin lahir dari pemberlakuan desentralisasi ini adalah lahirnya
peraturan-peraturan daerah yang sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Meskipun ini berarti akan terjadi peraturan-peraturan yang berbeda-beda antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Ini adalah konsekuensi logis dari pemberlakuan sistem ini.
Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (h) UU NO. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah menyebutkan bahwa: Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyrakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dibentuk Peraturan
Daerah. Dengan kata lain, Peraturan Daerah adalah sarana yuridis untuk melaksanakan
kebijakan otonomi daerah dan tugas-tugas pembantuan. Penjelasan umum UU NO.32/2004
tentang Pemerintahan Daerah angka 7, antara lain mengemukakan: Penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban dan tanggung
jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah.
Menurut Pasal 12 UU NO.10 / 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus
daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan undang-undang ini terbuka peluang bagi daerah untuk membuat peraturan-
peraturan yang dapat mengakomodir keinginan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan
jika di beberapa daerah, kemudian muncul peraturan-peraturan yang sarat dengan nilai-nilai
keyakinan setempat sebagai perwujudan dari aspirasi masyarakat. Di Nanggro Aceh
Darussalam bahkan telah menjadi Daerah Otonomi Khusus dalam hal penerapan syariat
Islam yang diatur oleh undang-undang.
Hal ini memberi pengertian kepada kita bahwa rasa keadilan tidak diukur sama disemua
daerah. Jika di suatu daerah yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, tentu kepentingan
yang paling banyak dituntut adalah kepentingan umat Islam, demikian juga di daerah yang
mayoritas berpenduduk Kristen atau Hindu atau lainnya. Sehingga tidak heran jika di daerah
Toraja ada peraturan daerah yang mengatur tentang cara pembakaran mayat sesuai
keyakinan masyarakat setempat, begitu juga di Bali muncul peraturan daerah yang mengatur
tentang perayaan Nyepi.

D.PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA


Hukum Islam sering disamakan dengan syariat Islam. Keduanya memang sama-sama
merupakan jalan yang berasal dari Allah, tetapi dari perkembangan sejarah Islam,
keduanya telah mengalami diferensiasi makna. Syariat Islam secara umum adalah
keseluruhan teks al-Quran dan as-Sunnah sebagai ketentuan Allah yang yang seharusnya
menjadi pegangan hidup manusia. Sedang hukum Islam, sebagiannya memerlukan
kekuasaan untuk menjamin pelaksanaannya dan sebagian lagi menyangkut norma, etika dan
lain-lain.
Syariat Islam pada asalnya bermakna segala yang diserahkan kepada ketaatan individu.
ketentuan yang digariskan ajaran Islam mengenai berbagai sendi kehidupan yang bersumber
dari al-Quran dan Hadits Rasulallah serta ijtihad para mujtahid dalam memahami teks-teks
dan dalam keadaan tidak ada teks. Namun dalam perkembangannya terjadi penciutan makna
syariat Islam dan hanya menjadi salah satu cabang kajian Islam yang berhubungan dengan
hukum saja. Bidang-bidang di luar hukum berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Syariat sebagai hukum akhirnya terbatas dalam bidang afal al-mukallafin (perbuatan orang
mukallaf/dewasa) yang harus mengikuti aturan-aturan yang digariskan dalam agama.
Jika kita berbicara tentang hukum Islam di Indonesia, maka negara telah memberikan
landasan awal bagi penerapan hukum Islam, yang terdapat dalam dasar negara berupa
Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana menurut Pasal 29 ayat (2) UUD 1945:Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Sementara itu hukum positif yang berlaku di Indonesia sekarang ini lebih merupakan
gabungan dari peninggalan Kolonial penjajah Belanda (hukum Barat), hukum adat dan
hukum Islam sebagai perdata khusus yang berlaku bagi umat Islam. Dari ketiganya, hukum
Islam nampaknya mempunyai peluang besar untuk mengisi hukum nasional karena beberapa
pertimbangan:
1. Hukum adat yang tidak mencerminkan keadilan, kemanusiaan, dan kebersamaan
berpotensi untuk sektarianisme dan disentegrasi bangsa. Hukum seperti ini akan cenderung
ditinggalkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangan arus migrasi, akulturasi dan
modernisasi di seluruh wilayah Indonesia.
2. Hukum Barat sebagai hukum asing menggambarkan sejarah dan norma-norma bangsa
Eropa yamg belum tentu sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Selain itu,
hukum Barat zaman kolonial dirancang sebagai bagian dari politik kolonial untuk
mempertahankan kekuasaan asing di bumi Nusantara. Dengan semakin meningkatnya rasa
kebangsaan di masa depan, maka hokum yang berasal dari Barat akan diterima dengan
sangat selektif, hanya bila itu sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma bangsa
Indonesia
3. Hukum Islam mencerminkan norma-norma bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
Islam. Hukum Islam telah terlebih dulu mempersatukan mayoritas bangsa Indonesia jauh
sebelum kolonial Belanda mempersatukan Nusantara.Disamping itu hukum Islam tidak
hanya mengikat manusia sebagai makhluk sosial, tapi juga berkaitan erat dengan keyakinan
terhadap Tuhan, dimana kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas
dengan keburukan juga, baik di dunia maupun di akhirat.
Hukum Islam sesungguhnya telah memberi kontribusi yang sangat besar terhadap upaya
pembinaan dan pembangunan hukum nasional di Indonesia, paling tidak dari segi jiwanya.
Ini diperkuat oleh beberapa argumen:
1. UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. UU No.7 Tahun 1989 tantang Peradilan Agama.
3. UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
4. Kompilasi Hukum Islam (KHI), meski tidak terbentuk undang-undang, melainkan
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991.
5. PP No,28 Tahun 1991 tentang Perwakafan Nasional.
6. UU No. 38 Tahun 1991 tentang Pengelolaan Zakat.
7. UU No.7 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Syariah
8. UU No. 44 Tahun 1999 Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi Istimewa Aceh, menyangkut
pelaksanaan syariat Islam.
Jadi secara eksistensial, kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub
sistem dari hukum nasional. Oleh karena itu, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk
memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional .
Dengan mengoptimalkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang telah terbentuk dan
telah diberlakukan sekarang ini, terbuka jalan bagi para pejuang pelaksanaan syariat Islam
untuk:
mengisi Peraturan Daerah dengan nilai-nilai Islam
membuat peraturan yang melarang kemaksiatan melalui perda dengan ancaman pidana
mendorong dilaksanakannya ajaran Islam melalui peraturan daerah
mendorong aparat pemerintahan daerah yang Islami
mendorong aspirasi masyarakat untuk menegakkan syariat Islam
dan lain-lain
Namun tentu saja dalam hal ini harus mengacu kepada mekanisme dan tata cara yang telah
ditetapkan. Mengenai mekanisme penyusunan peraturan daerah telah diatur dalam UU No.
10 dan 32 Tahun 2004, serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004
tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi daerah. Demikian juga tentang siapa
pejabat atau orang yang berwenang melakukan penyusunan tersebut. Sehingga dengan
demikian,tidak setiap orang berhak melakukan kegiatan penyusunan peraturan daerah ini.

E.KONTROVERSI PERDA SYARIAH


Sejak diberlakukannnya sistem desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah, telah terbit
sebanyak 148 peraturan daerah (perda) diberbagai provinsi dan kabupaten-kota. Dari sekian
banyak perda tersebut, ada 45 perda yang diterbitkan oleh 25 daerah yang mengatur soal
moral dan keagamaan. Dan dari 45 perda tersebut, 15 diantaranya adalah bersifat
mengadopsi hukum Islam (syariah) yang tersebar di Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jawa
Barat, Sulawesi Tenggara, Riau, dan Banten.
Jejak regulasi bernuansa Islami memang seperti membuka sumbatan-sumbatan yang selama
ini menghalangi keinginan sebagian masyarakat yang berharap dapat menerapkan Islam
secara kaffah. Sehingga peluang yang dibuka pemerintah pusat lewat otonomi daerah,
bagaikan hujan dimusim kemarau. Salah satu contoh adalah Kabupaten Bulukumba di
Sulawesi Selatan. Bupati bulukumba, Patabai Pabokori, selama tahun 2003 telah
menerbitkan 4 perda syariah yaitu Perda Minuman Keras, Perda Zakat, Infaq dan Sedekah,
Perda Baca Tulis Al-Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin, serta Perda Pakaian
Muslim/Muslimah.
Sebuah survey nasional yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
Universitas Islam Jakarta (PPIM UIN) tentang tingginya dukungan orang pada tawaran
penerapan syariat, ternyata dari tahun 2001 hingga 2004 trennya naik. Pada 2001 responden
pro syariat hanya 60%. Tahun 2002 meningkat menjadi 71%, dan tahun 2003 menjadi 75%.
Hal ini nampaknya mulai membuat gerah kelompok-kelompok masyarakat yang
mengkhawatirkan berdirinya Negara Islam. Sehingga perda-perda bernuansa syariah mulai
dipertanyakan bahkan telah menjadi kontroversi yang melibatkan semua elemen masyarakat.
Menyikapi munculnya perda-perda yang bernuansa syariah ini, 56 anggota Dewan
Perwakilan Rakyat RI dari fraksi Golkar, FPDI, dan FPKB meminta agar ketua DPR Agung
Laksono mengirim surat kepada presiden RI untuk mencabut perda-perda tersebut, sebab
menurut mereka perda yang hanya mengakomodir kepentingan satu golongan dapat
mengancam keutuhan bangsa dan menimbulkan konflik horizontal ditengah masyarakat.
Sementara itu dari FPKS dan FPPP justru menolak asumsi tersebut. Menteri agama Maftuh
Basuni, ketika didesak untuk bersikap terhadap keberadaan perda-perda tersebut mengatakan
bahwa tidak ada yang salah dengan perda syariah, selama dilakukan sesuai dengan prosedur.
Hal senada juga diungkapkan oleh ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Sementara itu
pernyatakan yang agak mengejutkan datang dari wakil presiden Yusuf Kalla yang
mengatakan bahwa perda-perda syariah itu hanya akan mereduksi agama, sebab menurutnya
pemerintah tidak perlu ikut campur tangan dalam masalah pelaksanaan agama, karena
merupakan tanggung jawab antara manusia dengan Tuhannya. Walaupun kemudian di lain
kesempatan wakil presiden mengatakan bahwa perda syariah tidak perlu dipersoalkan lagi.
Reaksi yang cukup marak juga muncul di tengah-tengah masyarakat. Pada tanggal 28 Juli
2006 di Padang Sumatera Barat dideklarasikan Komite Penegakan Perda Syariah, yang
dihadiri antara lain oleh Ustadz Abu Bakar Baasyir. Di masjid Istiqlal beberapa waktu lalu
juga berkumpul 36 ormas Islam, termasuk MUI, yang menolak pencabutan Perda yang
bernafaskan Islam. Gerakan ini mendapat tanggapan dari kelompok yang menamakan Forum
Perempuan Makassar yang menyatakan perda-perda syariah hanya akan memasung
kebebasan perempuan.
Seakan tak mau kalah, berbagai media, baik cetak maupun elektronik, turut menyoroti
berbagai perda tersebut. Majalah Gatra bahkan membuat judul headline salah satu edisinya:
Negeri Syariah Tinggal Selangkah, judul yang sangat provokatif terutama bagi orang-orang
Islamophobia. Di stasiun-stasiun televisi ditayangkan perdebatan-perdebatan antara
kelompok pro dan kontra. Sehingga perda-perda syariah ini seolah-olah merupakan ancaman
bagi kesatuan dan persatuan NKRI
Demikianlah kontroversi yang muncul sebagai reaksi dari terbitnya perda-perda yang
bernuansa syariah tersebut. Sebagai sebuah dinamika demokrasi, polemik yang mengitari
sentimen pro dan kontra adalah sesuatu yang niscaya. Tinggal bagaimana kita bisa dewasa
dan berlapang dada dalam menyikapi berbagai keberagaman dan perbedaan yang ada.
Namun hal ini seharusnya menjadi catatan penting bagi kaum muslimin untuk tidak terlalu
cepat dan mudah menempelkan label syariah terhadap sebuah produk yang bersifat umum
bagi masyarakat. Karena bagaimanapun harus diakui Indonesia adalah negara yang
meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam namun disana tetap ada komunitas lain
yang berbeda keyakinan. Pelabelan syariah sering kali memancing pertanyaan dan
mungkin juga kekhawatiran akan terabaikannya hak-hak kalangan lain yang minoritas.
Ahmad Syafii Maarif, ketua PP Muhammadiyyah pernah berkomentar tentang masalah ini,
Tidak perlulah menyebut-nyebut syariah Islam, yang penting substansinya. Seperti garam
terasa tapi tidak nampak; karena yang penting bukan botol dan mereknya (formalitasnya)
melainkan isi kecapnya (amal Islamnya). Ucapan ini meskipun ada sebagian kalangan
yang tidak setuju dan menganggap sebagai cerminan perasaan pengecut (munafik), namun
sesungguhnya ada pembenarannya dalam sejarah Islam.
Mari kita tengok ulang peristiwa perjanjian Hudaibiyyah antara kaum muslimin dan kaum
Qurays Mekkah. Pada saat perjanjian tersebut dibuat, kaum kafir Qurays tidak menerima
penyebutan Muhammad Rasulallah dan pencantuman kalimat basmalah ( bismillah al-
rahman al-rahim) di dalam teks perjanjian, sebab itu jelas-jelas menonjolkan simbol
keislaman. Rasulallah kemudian menuruti keinginan kaum Qurays, dan mengganti
Muhammad Rasulallah menjadi Muhammad bin Abdillah dan kalimat basmalah menjadi
bismika allahumma.
Sesungguhnya formalisasi hukum Islam adalah cita-cita yang tidak pernah luntur pada diri
ummat Islam. Namun untuk menuju kesana perlu kiranya dipikirkan cara terbaik, bahkan
strategi jitu agar cita-cita tersebut tidak kandas di tengah jalan, atau bahkan akan menjadi
boomerang yang akan menghantam balik ummat Islam.

F.PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan singkat ini dapat disimpulkan bahwa penerapan al-Quran dan
al-Sunnah dalam bidang kehidupan kemasyarakatan sebagian mengandung norma moral dan
sebagiannya lagi mengandung norma hukum. Menegakkan hukum Islam dalam kehidupan
memang menjadi dorongan yang kuat di sebagian kaum muslimin Indonesia. Bahkan
perjuangan untuk itu telah dimulai sejak sebelum masa penjajahan Belanda. Itulah mengapa
wacana tentang penegakan syariah Islam seakan tak pernah padam. Bahkan kian menghangat
belakangan ini.
Namun yang kiranya perlu dipikirkan juga adalah sejauh mana masyarakat, bangsa Indonesia
umumnya dan kaum muslimin khususnya siap untuk menerima penegakan syariat Islam ini
baik secara konsep teoritis dan juga secara praktis implementatif. Artinya, perlu ada upaya
edukasi dan sosialisasi dimasyarakat tentang hakikat syariat Islam. Terutama tentang hukum
pidana Islam yang selama ini mungkin digambarkan kejam, tidak manusiawi dan melanggar
HAM. Agar nantinya penegakan syariat yang dicita-citakan tidak jadi blunder bagi kaum
muslimin sendiri.
Selama ini memang banyak sekali terjadi kesalah pahaman terhadap hukum Islam yang
diantaranya disebabkan oleh pernyataan yang keluar dari lisan maupun tulisan kalangan
Islamophobia, apakah itu para orientalis atau yang lainnya. Sehingga menjadikan kaum
muslimin terpecah dalam melihat masalah penegakan syariat Islam. Dengan demikian,
mengubah paradigma masyarakat tentang keadilan hukum Islam, mestinya menjadi agenda
tersendiri yang tidak boleh diabaikan, disamping upaya-upaya yang bersifat politis untuk
meng-goal-kan nilai-nilai Islam dalam hukum nasional Indonesia. (Wallahu alam).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mubarakfury, Shafiyyur Rahman. Sirah Nabawiyyah. Terj. Kathur Suhardi. Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar, 1997.

Al-Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Penemadani,
2005.

Awwas, Irfan S. Apa Dosa Rakyat Indonesia. Jogjakarta: Wihdah Press, 2005.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1996.

Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 3 No. 1, Maret 2006.

Kabah, Rifyal. Penegakan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: Khairul Bayan, 2004

Santoso,Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam . Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Sumaryadi, I Nyoman. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta: Citra
Utama, 2005.

SM, Oentarto. (et al). Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra
Media Utama, 2004.

Tim Penyusun. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah. Jakarta: Eko Jaya, 2004.
Diposkan oleh Bintu Sahaly di 19:35

Desentralisasi, Dampak Perubahan Yang Diperlukan


Oleh: Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ.

A.PENDAHULUAN
Dalam praktek kehidupan bernegara, sentralisasi dan desentralisasi adalah sebuah
kontinuum. Tidak ada sebuah negara yang secara penuh hanya menggunakan azas
sentralisasi saja dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sebaliknya juga tidak mungkin
penyelenggaraan pemerintahan hanya didasarkan pada azas desentralisasi saja.
Beberapa kewenangan klasik memang lazimnya hanya dilakukan secara sentralisasi seperti
kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan dan kewenangan peradilan. Meskipun
dalam prakteknya juga terdapat azas dekonsentrasi yang merupakan penghalusan dari azas
sentralisasi.
Titik temu keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dapat dikaji dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek pembagian
kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat
pusat, dan aspek pembagian (perimbangan) sumberdaya keuangan.
Sesuai dengan semangat reformasi yang terjadi pada tahun 1998, format penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia juga mengalami perubahan dari pendulum sentralisasi ke
pendulum desentralisasi. Hal ini dapat dianalisis misalnya dari format pembagian
kewenangan yang berpola residu dan peletakkan lokus otonomi daerah pada tingkat
kabupaten/kota. Hal ini dianut secara tajam di dalam UU 22 tahun 1999, dan mengalami
pergeseran kembali di dalam UU 32 tahun 2004. Berbagai kewenangan yang semula dimiliki
oleh pemerintah pusat dan propinsi diserahkan kepada daerah kabupaten/kota.
Sesuai dengan tujuannnya, maka penguatan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota
dimaksudkan untuk meningkatkan demokrasi partisipatif (participatory democracy) dan
efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kewenangan yang dimiliki,
kabupaten/kota dapat menentukan sendiri prioritas pembangunan daerah sesuai dengan
potensi yang dimiliki. Berbagai Peraturan Daerah yang semula harus disetujui oleh
pemerintah pusat terlebih dahulu, dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah secara mandiri. Hal
yang sama juga terjadi di berbagai perizinan investasi, hal mana daerah dapat menetapkan
dan memberikan izin tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Dengan otonomi daerah
diharapkan prosedur investasi akan semakin mudah sehingga potensi daerah dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

B.KONSEP DAN TEORI DESENTRALISASI


Desentralisasi saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima
secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai
dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara
sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat,
kemajemukan struktu sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat
diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi
struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model
partisipasi/participatory model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda
dalam tujuan-tujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi
terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi.
Dalam konteks Indonesia, Desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa. Pasal 18
UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi pasal 18, 18A dan 18B
memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten
dan Kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Amanat dan Konsensus
Konstitusi ini telah lama dipraktekkan sejak Kemerdekaan Republik Indonesia dengan
berbagai pasang naik dan pasang surut tujuan yang hendak dicapai melalui desentralisasi
tersebut. Bahkan Sampai saat ini, kita telah memiliki 7 (tujuh) Undang-Undang yang
mengatur pemerintahan daerah yaitu UU 1 tahun 1945, UU 22 tahun 1948, UU 1 tahun
1957, UU 18 tahun 1965, UU 5 tahun 1974, UU 22 tahun 1999 dan terakhir UU 32 tahun
2004. Melalui berbagai UU tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia
mengalami berbagai pertumbuhan dan juga permasalahan.
Dalam bagian ini akan disajikan konsepsi pemerintahan daerah dan berbagai azas
penyelenggaraannya. Disamping itu juga akan dibahas tujuan-tujuan desentralisasi dan
secara khusus tujuan desentralisasi dalam peningkatan pelayanan publik dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Secara lebih khusus bagian ini juga akan menjelaskan: Perbedaan
negara kesatuan dan negara federal, konsep sentralisasi, konsep desentralisasi, konsep
dekonsentrasi, tujuan-tujuan desentralisasi, kaitan antara desentralisasi dengan pelayanan
publik, serta kaitan antara desentralisasi dengan Kesejahteraan Masyarakat.

Konsep Pembangunan Berkelanjutan dan Jati Diri Kepemimpinan


Oleh: M. Baiquni

Intisari

Pembangunan berkelanjutan memiliki dimensi waktu yang terkait dengan sejarah masa lalu
dan masa depan manusia, juga dimensi ruang yang mencerminkan setiap wilayah memiliki
keunikan ekosistem dimana terjadi interaksi manusia dengan alam lingkungannya. Berbagai
perubahan telah dan tengah terjadi secara mendasar dan besar, terutama selama 200 tahun
terakhir.

Jumlah penduduk dunia berubah dengan drastis dari satu milyar jiwa pada 1806 hingga
mencapai lebih dari 6 milyar jira pada 2006 ini. Peningkatan tersebut tidak saja dalam hal
kuantitas, tetapi juga terkait dengan kualitas gaya dan pola hidup yang terus didorong oleh
inovasi teknologi, perubahan institusi, besaran investasi dan jaringan informasi. Konsep
pembangunan berkelanjutan amat beragam, namun ada kesamaan prinsip yang
mendasarinya. Penting pula dikemukakan disini berbagai tantangan dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan.

1. Kita di Tengah Perubahan


Ketika kita hidup di zaman sekarang ini, mampukan menengok sejarah ke belakang dan
menatap masa depan? Ibarat berkendaraan kita harus menatap kedepan, sambil sesekali perlu
melihat kaca spion samping kanan dan kiri maupun belakang. Kita terus bergerak ke masa
depan yang cepat berubah, waktu terus berjalan dan tidak mungkin menghentikannya atau
pun memutar ulang kembali ke masa silam. Masa lalu adalah kenangan dan pelajaran
berharga untuk menjalani kehidupan masa kini menuju masa depan.
Peradaban umat manusia mengalami perubahan yang dahsyat dalam sejarah, terutama
setelah abad pertengahan. Dimulai dengan Renaissance pada awal abad XIV sampai awal
abad XVII yang diawali dengan gerakan kebudayaan mencakup berbagai kesenian yang
hidup di masyarakat sebagai penggerak dinamika perkembangan zaman. Berbagai
pandangan baru dan penemuan-penemuan empiris ilmu pengetahuan membongkar berbagai
kemapanan tradisi. Berbagai penemuan yang mendasari peradaban baru, cukup
mencengangkan masyarakat pada zamannya, sehingga sempat terjadi pula berbagai
ketegangan dan perseteruan faham dikalangan para penganut tradisi dan penemu baru.
Berbagai penemuan baru tersebut menggerakkan masyarakat yang selama ini dibawah
kungkungan kegelapan dogma, seperti memperoleh pencerahan.
Gerakan itu kemudian diikuti dengan Pencerahan atau Enlightment yang gencar dilakukan
pada awal abad XVIII. Kemudian disusul dengan Revolusi Industri yang dimulai pada
pertengahan abad XVIII sampai pertengahan abad XIX. Masyarakat menjadi lebih tergerak
untuk mengembangkan pemikiran dan menguji temuan-temuan baru. Pada 1769 James Watt
dicatat sebagai pembuat mesin uap hasil penyempurnaan temuan sebelumnya, sehingga
memicu revolusi industri. Berbagai mesin dikembangkan untuk menggerakkan kapal, kereta
api dan mobil. Mesin-mesin industri juga bermunculan untuk mengolah bahan mentah
menjadi bahan jadi secara masal. Penemuan-penemuan ini merubah kehidupan manusia yang
semula mengandalkan tenaga hewan dan tenaga manusia untuk melakukan produksi,
transportasi dan kegiatan hidup lainnya, menjadi mengandalkan mesin.
Seiring dengan dikembangkan mesin-mesin tersebut, para ahli mengembangkan sumber
energi mulai dari batubara hingga ditemukan minyak bumi yang diambil dari perut bumi.
Energi fosil yang prosesnya memerlukan waktu jutaan tahun menjadi andalan untuk
kehidupan manusia modern. Kini umat manusia sangat tergantung pada sumber energi alam
yang sulit diperbaharui (non-renewable) dan sampai kapan akan bertahan, tentu tidak lama
lagi segera habis. Energi panas bumi, gas alam dan nuklir terus dikembangkan menyusul
permintaan energi yang meningkat pesat. Riset dan pengembangan energi terbarukan
(renewable) yang lebih bersih seperti energi matahari terus dilakukan untuk menjawab
kebutuhan yang semakin meningkat dimasa depan.
Seiring dengan penemuan dalam bidang teknik dan rekayasa yang ditandai dengan
pengembangan mesin-mesin modern dan munculnya industri-industri skala besar, muncul
pula perubahan sosial ekonomi. Pada tahun 1776, Adam Smith mengemukakan pendapat dan
berdebat tentang ekonomi pasar bebas dan melahirkan atau dianggap sebagai awal dari ilmu
ekonomi. Dasar awal Ilmu Ekonomi yang lahir pada 1776 populer dengan nama pada
awalnya sebagai ekonomi politik (Mubyarto, 1987). Perkembangan tersebut diikuti dengan
berbagai perubahan besar-besaran baik dalam kerekayasaan industri maupun pemanfaatan
sumberdaya alam. Belakangan istilah ekologi mulai populer digunakan oleh seorang sarjana
Jerman yaitu Ernst Haeckel pada tahun 1869 (Dwidjoseputro, 1991).
Ekspansi manusia menguasai dunia dilakukan dengan kolonialisme yang terus berlangsung
dari abad XVI hingga pertengahan abad XX. Pada masa itu terjadi eksploitasi manusia atas
manusia melalui perbudakan, kaum negro dari Afrika dipekerjakan di benua baru Amerika
untuk membuka lahan pertanian, mengelola peternakan, mengeksploitasi pertambangan, dll.
Sementara itu di Asia dan di Latin Amerika terjadi penghisapan nilai tambah dari
sumberdaya alam yang telah diolah penduduk setempat, kemudian diangkut ke negara-
negara Eropa yang kini maju dan makmur. Bangsa Eropa juga menduduki benua baru
Australia yang dijadikannya sebagai ekspansi wilayah dan pengaruh di Timur.
Penjajahan manusia dan penjarahan sumberdaya alam yang dilakukan oleh bangsa Eropa
terhadap bangsa-bangsa lain terutama Asia dan Afrika, telah menimbulkan berbagai gejolak
dan konflik. Surplus yang dihasilkan melalui kegiatan pertanian untuk bahan pangan dan
kegiatan pertambangan untuk bahan baku industri, dimanfaatkan untuk mengembangkan
industri di negara-negara maju. Perdagangan berlangsung tidak seimbang dan seringkali
diwarnai dengan percekcokan dan bahkan peperangan diantara negara-negara penjajah yang
kuat. Mereka saling beradu pengaruh dalam menguasai wilayah jajahan dan jalur
perdagangan. Penjajahan telah berlangsung lama dan membawa perubahan, di satu sisi
memberikan kemakmuran dan di sisi lain menimbulkan penderitaan.
Perang Dunia mengakhiri masa penjajahan, yang diikuti dengan bangkitnya sejumlah negara
bekas jajahan untuk memerdekakan diri. Negara kuat dan maju yang menang perang maupun
yang kalah perang mengembangkan diri sehingga membawa suasana persaingan dalam
bidang teknologi, industri, dan perdagangan. Negara-negara yang baru merdeka nampak
mengembangkan diri dengan laju pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat. Sehingga
kini banyak negara berlomba-lomba memacu pertumbuhan ekonomi, perkembangan
teknologi dan peningkatan kemakmuran.
Perkembangan peradaban ini mendorong peningkatan jumlah penduduk yang luar biasa.
Perbaikan dalam bidang makanan dan gizi, peningkatan kesehatan, peningkatan kualitas
hidup mendorong orang untuk terus berkembang, termasuk melangsungkan keturunan.
Fenomena ledakan penduduk tidak terelakkan lagi, hanya sekitar dua abad terakhir jumlah
penduduk dunia berkembang dahsyat dari sekitar satu milyar menjadi enam milyar.
Bagaimana masa depan manusia dan nasib bumi kita, bila kecenderungan jumlah penduduk
terus meningkat dan konsumsi terus berkembang pula?
Pertumbuhan penduduk di Indonesia berkembang sangat pesat dengan distribusi yang tidak
merata karena hampir 70 persen menempati Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar 7 persen
dari luas daratan. Perkembangan pembangunan juga beragam dan mengalami percepatan
yang berbeda, mulai dari masyarakat pedalaman hutan yang masih hidup sederhana dengan
meramu dan berburu secara berpindah-pindah hingga masyarakat modern pasca industri
yang memanfaatkan kemajuan teknologi dan menikmati gaya hidup mewah dengan
mobilitas tinggi.

Perkembangan pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia memungkinkan untuk


mengontrol ketidak-pastian dan mengelola perubahan untuk mencapai kemajuan. Terkait
dengan perkembangan tersebut, jumlah penduduk terus meningkat seiring dengan perbaikan
kesehatan dan kualitas hidup serta lingkungan disekelilingnya. Perubahan ini menjadi titik
tolak ledakan jumlah penduduk dunia. Penduduk dunia yang selama berabad-abad berkisar
dibawah setengah juta jiwa, sejak revolusi industri meningkat pesat. Pada tahun 1806 jumlah
penduduk dunia baru mencapai 1 miliar. Secara berangsur-angsur jumlah penduduk naik
menjadi dua miliar pada tahun 1927, kemudian naik lagi menjadi tiga miliar pada tahun
1960an. Hanya dalam waktu kurang dari setengah abad atau antara tahun 1960-2000,
penduduk dunia telah meningkat berlipat menjadi enam miliar jiwa. Kecenderungan ini
masih terus berlanjut sebagaimana yang ditunjukkan kurve yang menyerupai huruf J ini,
bahwa jumlah penduduk dunia diprediksi akan mencapai angka 7,6 milyar pada tahun 2020
(Mossarovic and Pestel, 1974 dalam Zen, 1979 dan Kompas Millenium III, 1 Januari 2000).

Definisi / Pengertian Sentralisasi dan Desentralisasi - Ilmu


Ekonomi Manajemen
Tue, 23/05/2006 - 9:46pm godam64

A. Sentralisasi

Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang
berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada
pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah.

Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan kebijakan di
daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang
diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama. Kelebihan sistem ini adalah di mana
pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat
perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir
seluruhnya oleh pemerintah pusat.

B. Desentralisasi

Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan


kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur
organisasi. Pada saat sekarang ini banyak perusahaan atau organisasi yang memilih serta
menerapkan sistem desentralisasi karena dapat memperbaiki serta meningkatkan efektifitas
dan produktifitas suatu organisasi.

Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi,
melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan sebagian wewenang yang
tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat pemerintah
daerah atau pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan
yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari
pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus
untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya
mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk
keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh
pemerintah di tingkat pusat.

Sentralisasi dan Desentralisasi

A. Istilah dan Pengertian Sentralisasi

Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang atas segala urusan yang menyangkut
pemerintahan kepada tingkat pusat.. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama
di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Bahkan pada zaman kerajaan, pemerintahan
kolonial, maupun di zaman kemerdekaan.Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam
kaitannya dengan kontrol terhadap kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu titik.

Dewasa ini, urusan- urusan yang bersifat sentral adalah :

Luar Negri

Peradilan

Hankam

Moneter dalam arti mencetak uang, menentukan nilai uang, dan sebagainya.

Pemerintahan Umum

B. Istilah dan Pengertian Desentralisasi

Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di


definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan
Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma
pemerintahan di Indonesia

Desentralisasidi bidang pemerintahan adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat


kepada satuan organisasi pemerintahan di wilayah untuk meyelenggarakan segenap
kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami wilayah tersebut.
Dengan demikian, prakarsa, wewenang,dan tanggung jawab mengenai urusan yang
diserahkan pusat menjadi tanggung jawab daerah , baik mengenai politik pelaksanaannya,
perencanaan, dan pelaksanaannya maupun mengenai segi pembiayaannya. Perangkat
pelaksananya adalah perangkat daerah itu sendiri.

Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan
sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari
pusat kepada daerah. Pelimpahan wewenang kepada Pemerintahan Daerah, semata- mata
untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.

Tujuan dari desentralisasi adalah :

mencegah pemusatan keuangan;

sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat


bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga
dapat lebih realistis.

Desentralisasi dapat dilakukan melalui empat bentuk kegiatan utama, yaitu:

Dekonsentrasi wewenang administratif

Dekonsentrasi berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada


perwakilannya yang ada di daerah tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan kewenangan
untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan.

Delegasi kepada penguasa otorita


Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewewenangan manajerial untuk
melakukan tugas tugas khusus kepada suatu organisasi yang secara langsung berada di
bawah pengawasan pusat.

Devolusi kepada pemerintah daerah

Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar
pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu
untuk dilaksanakan secara mandiri. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang lebih
ekstensif untuk merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat mentransfer kewenangan
kepada pemerintah daerah dalam hal pengambilan keputusan , keuangan dan manajemen.

Pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta

Yang di sebut sebagai pemindahan fungsi dari pemerintahan kepada swasta atau privatisasi
adalah menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab admistrasi
tertentu kepada organisasi swasta.

C. Dampak Positif dan Negatif Sentralisasi

Segi Ekonomi

Dari segi ekonomi, efek positif yang di berikan oleh sistem sentralisasi ini adalah
perekonomian lebih terarah dan teratur karena pada sistem ini hanya pusat saja yang
mengatur perekonomian. Sedangkan dampak negatifnya adalah daerah seolah-olah hanya di
jadikan sapi perahan saja dan tidak dibiarkan mengatur kebijakan perekonomiannya masing-
masing sehingga terjadi pemusatan keuangan pada Pemerintah Pusat.

Segi Sosial Budaya

Dengan di laksanakannya sistem sentralisasi ini, perbedaan-perbadaan kebudayaan yang


dimiliki bangsa Indonesia dapat di persatukan.Sehingga, setiap daerah tidak saling
menonjolkan kebudayaan masing-masing dan lebih menguatkan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang di miliki bangsa Indonesia .

Sedangkan dampak negatif yang di timbulkan sistem ini adalah pemerintah pusat begitu
dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi daerah sebagai tatanan pemerintahan
lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka
waktu yang panjang mengakibatkan ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada
akhirnya mematikan kreasi dan inisiatif lokal untuk membangun lokalitasnya.

Segi Keamanan dan Politik

Dampak positif yang dirasakan dalam penerapan sentralisasi ini adalah keamanan lebih
terjamin karena pada masa di terapkannya sistem ini, jarang terjadi konflik antar daerah yang
dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional Indonesia. Tetapi, sentralisasi juga
membawa dampak negatif dibidang ini. Seperti menonjolnya organisasi-organisasi
kemiliteran. Sehingga, organisasi-organisasi militer tersebut mempunyai hak yang lebih
daripada organisasi lain.

Dampak positif yang dirasakan di bidang politik sebagai hasil penerapan sistem sentralisasi
adalah pemerintah daerah tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat
perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir
seluruhnya oleh pemerintah pusat. Sehingga keputusan yang dihasilkan dapat terlaksana
secara maksimal karena pemerintah daerah hanya menerima saja.

Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya kemandulan dalam diri daerah karena hanya
terus bergantung pada keputusan yang di berikan oleh pusat. Selain itu, waktu yang
dihabiskan untuk menghasilkan suatu keputusan atau kebijakan memakan waktu yang lama
dan menyebabkan realisasi dari keputusan tersebut terhambat.

D. Dampak Positif dan Negatif Desentralisasi

Segi Ekonomi

Dari segi ekonomi banyak sekali keuntungan dari penerapan sistem desentralisasi ini dimana
pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya,
dengan demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal
maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat. Seperti yang
diberitakan pada majalah Tempo Januari 2003 Desentralisasi: Menuju Pengelolaan
Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal.

Tetapi, penerapan sistem ini membukan peluang yang sebesar-besarnya bagi pejabat daerah
(pejabat yang tidak benar) untuk melalukan praktek KKN. Seperti yang dimuat pada majalah
Tempo Kamis 4 November 2004 ( www.tempointeraktif.com ) Desentralisasi Korupsi
Melalui Otonomi Daerah.

Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi tersangka korupsi pembelian
genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar resmi sebagai
tersangka kasus korupsi anggaran dewan dalam APBD 2002 sebesar Rp 6,4 miliar, oleh
Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Dua kasus korupsi menyangkut gubernur ini, masih
ditambah hujan kasus korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah di berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD.

Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah :

1. Korupsi Pengadaan Barang dengan modus :

a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.

b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.

2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah) dengan modus :

a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.

b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.

3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya.

Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.

4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan
jompo) dengan modus :

a. Pemotongan dana bantuan sosial.

b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).

5. Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak
luar.

6. Penyelewengan dana proyek dengan modus :

a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.

b. Memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain.

7. Proyek fiktif fisik

Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu nihil.

8. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran dengan
modus :

a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.

b. Penetapan target penerimaan.

Sumber : The Habibie Center

Segi Sosial Budaya

Dengan diadakannya desentralisasi, akan memperkuat ikatan sosial budaya pada suatu
daerah. Karena dengan diterapkannya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah akan
dengan mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan dan di perkenalkan kepada daerah lain.
Yang nantinya merupakan salah satu potensi daerah tersebut.

Sedangkan dampak negatif dari desentralisasi pada segi sosial budaya adalah masing-
masing daerah berlomba-lomba untuk menonjolkan kebudayaannya masing-masing.
Sehingga, secara tidak langsung ikut melunturkan kesatuan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia itu sendiri.
Segi Keamanan dan Politik

Dengan diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan


Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijaksanaan ini akan bisa meredam
daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah yang merasa
kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI). Tetapi disatu sisi
desentralisasi berpotensi menyulut konflik antar daerah. Sebagaimana pada artiket Asian
Report 18 juli 2003 Mengatur Desentralisasi Dan Konflik Disulawesi Selatan

..Indonesia memindahkan kekuasaannya yang luas ke kabupaten-kabupaten


dan kota-kota tingkat kedua pemerintahan daerah sesudah provinsi diikuti dengan
pemindahan fiskal cukup banyak dari pusat. Peraturan yang mendasari desentralisasi juga
memperbolehkan penciptaan kawasan baru dengan cara pemekaran atau penggabungan unit-
unit administratif yang eksis. Prakteknya, proses yang dikenal sebagai pemekaran tersebut
berarti tidak bergabung tetapi merupakan pemecahan secara administratif dan penciptaan
beberapa provinsi baru serta hampir 100 kabupaten baru.

Dengan beberapa dari kabupaten itu menggambarkan garis etnis dan meningkatnya ekonomi
yang cepat bagi politik daerah, ada ketakutan akan terjadi konflik baru dalam soal tanah,
sumber daya atau perbatasan dan adanya politisi lokal yang memanipulasi ketegangan untuk
kepentingan personal. Namun begitu, proses desentralisasi juga telah meningkatkan prospek
pencegahan dan manajemen konflik yang lebih baik melalui munculnya pemerintahan lokal
yang lebih dipercaya..

Dibidang politik, dampak positif yang didapat melalui desentralisasi adalah sebagian besar
keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya
campur tangan dari pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah lebih
aktif dalam mengelola daerahnya.

Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem ini adalah euforia yang berlebihan di mana
wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta
digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit
untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.

E. Hakekat Sentralisasi dan Desentralisasi

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas PP No 6/2005
tentang pemilihan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah membawa
Indonesia pada titik di mana masalah peran pusat dan daerah masuk kembali pada wacana publik
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian
sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik
perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di
bawahnya. Dan tujuan "baik" dari perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.
Seperti telah diketahui, pemahaman dan tujuan "baik" semacam itu sudah dipandang ketinggalan
zaman. Saat ini desentralisasi dikaitkan pertanyaan apakah prosesnya cukup akuntabel untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat lokal. Semata birokrasi untuk pelayanan tidak cukup untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat, bahkan sering merupakan medium untuk melencengkan
sumber daya publik. Kontrol internal lembaga negara sering tak mampu mencegah berbagai macam
pelanggaran yang dilakukan pejabat negara. Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini,
pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi
merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan
oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat
merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi
yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia . Jiwa desentralisasi di
Indonesia adalah "melepaskan diri sebesarnya dari pusat" bukan "membagi tanggung jawab
kesejahteraan daerah". Karena takut dianggap tidak politically correct, banyak orang enggan
membahas peran pusat dan daerah secara kritis. Kini sudah saatnya proses pembahasan dibuka
kembali dengan mempertimbangkan fakta-fakta secara lebih jujur Sentralisasi dan desentralisasi
tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua
"sasi" itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah
akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses
politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang
terbaik bagi masyarakat. Kedua, batas antara pusat dan daerah tidak selalu jelas. Kepentingan di
daerah bisa terbelah antara para elite penyelenggara negara dan masyarakat lokal. Adalah mungkin
pemerintah pusat memainkan peran menguatkan masyarakat lokal dalam menghadapi
kesewenangan kekuasaan. Ketiga, dalam suatu masyarakat yang berubah, tanggung jawab pusat
maupun daerah akan terus berubah pula. Dalam penyelenggaraan negara selalu ada aspek dan
definisi baru tentang peran pusat dan daerah. Misalnya, globalisasi akan meningkatkan kembali
campur tangan pusat di daerah di sisi-sisi tertentu. Karena itu, desentralisasi dan sentralisasi dapat
terjadi bersamaan pada aspek-aspek berbeda. Pusat mempunyai kecenderungan untuk mendorong
sentralisasi karena berbagai alasan. Untuk alasan "negatif" dapat disebut alasan seperti kontrol
sumber daya dan menjadikan daerah sebagai sapi perah. Namun, ada alasan-alasan yang dapat
bersifat "positif", seperti kestabilan politik dan ekonomi, menjaga batas kesenjangan agar tidak
terlalu buruk, dan mendorong program secara cepat. Harus diingat, dalam banyak negara, termasuk
Indonesia , pusat mempunyai sumber daya manajerial, kecakapan lebih banyak dalam berinteraksi
secara global, dan ada pada domain di mana pengaruh etik pembangunan yang diterima secara
internasional. Pemerintah pusat juga berada pada hot spot proses politik. Adalah lebih mungkin
terjadi situasi di mana pemerintah di bawah tekanan jika kekuatan masyarakat sipil bersatu.
Bagaimana hal-hal itu dapat menghasilkan sesuatu yang positif atau negatif tergantung pada
situasinya. Pertama yang penting adalah legitimasi politik pemerintah pusat. Secara sederhana,
harus dibedakan antara legitimasi terhadap para pemimpin di tingkat nasional dan legitimasi
terhadap birokrasi. Pemerintah pusat sering harus mengandalkan birokrasi untuk programnya
terhadap daerah. Kepopuleran individu selalu tidak bertahan lama dan dapat segera dirusak oleh
ketidakmampuan memperbaiki mutu birokrasi. Di Indonesia, birokrasi yang sebenarnya memiliki
kompetensi dan orientasi lumayan pada awal reformasi kini mulai dibelokkan kekuatan politik
partai dan kelompok. Penyelenggara negara di tingkat pusat terdiri dari beberapa partai politik.
Kombinasi antara partai politik yang hampir seluruhnya punya masalah akuntabilitas dan sistem
politik representasi (oleh partai politik yang dapat dikatakan sama di DPRD) yang tidak akuntabel di
tingkat lokal membuat masyarakat lokal tidak mudah memercayai "pusat". Jika ingin
memperbaikinya, pemerintah pusat harus mampu membuat standar akuntabilitas sendiri agar
mendapat dukungan masyarakat lokal. Indonesia kini mulai mengalami apatisme terhadap
desentralisasi. Situasi ini bisa dimanfaatkan pemerintah pusat untuk melakukan perubahan di
tingkat daerah. Kasus Argentina dan Brasil yang bersifat federalis menunjukkan jatuhnya legitimasi
para elite politik lokal memberikan kesempatan kepada elite nasional untuk melakukan
resentralisasi di bidang ekonomi untuk bidang- bidang tertentu. Kedua pemerintahan banyak
menggunakan struktur internal (birokrasi) untuk mengubah arah, tanpa terlalu banyak berurusan
dengan struktur politik yang ada. Kembali kepada persoalan awal, masalah sentralisasi dan
desentralisasi bukan lagi dipandang sebagai persoalan penyelenggara negara saja. Pada akhirnya
kekuatan suatu bangsa harus diletakkan pada masyarakatnya. Saat ini di banyak wilayah, politik
lokal dikuasai selain oleh orang-orang partai politik juga kelompok-kelompok yang menjalankan
prinsip bertentangan dengan pencapaian tujuan kesejahteraan umum. Kekuatan kelompok pro
pembaruan lemah di banyak daerah dan langsung harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan
politik lokal dengan kepentingan sempit. Pemerintah pusat seharusnya memperkuat elemen
masyarakat untuk berhadapan dengan kekuatan tadi. Sebagai contoh, KPU daerah diberi wewenang
untuk merekomendasikan penghentian pilkada, bukan melalui gubernur dan DPRD. Namun, sebagai
institusi KPU daerah harus diperkuat secara institusional dan organisatoris. Meskipun pemerintah
pusat mungkin tidak diharapkan untuk ikut mendorong perubahan sistem politik yang ada sekarang,
perbaikan penegakan hukum di daerah-daerah sangat membantu kekuatan masyarakat pro
perubahan. Birokrasi sekali lagi adalah alat pemerintah pusat untuk melakukan perbaikan daerah.
Birokrasi, jika dirancang secara sungguh-sungguh, bisa berperan sebagai alat merasionalisasikan
masyarakat. Pemerintah pusat, misalnya, membantu pemerintah daerah dalam mendesain
pelayanan publik yang akuntabel. Pemerintah daerah sering pada situasi terlalu terpengaruh
dengan kepentingan perpolitikan lokal. Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah representasi
persoalan daerah di tingkat pusat. Sekarang ini sistem perwakilan daerah yang ada baik di DPR
maupun asosiasi bersifat elitis. Tetap yang berlaku antara hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Persoalan daerah harus ditangani oleh sesuatu badan yang lebih independen
dari kepentingan yang ada di pusat dan daerah. Badan ini seharusnya mampu membahas apa peran
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang paling diperlukan untuk kesejahteraan daerah.
Perlu dipikirkan suatu badan yang otoritatif untuk membuat advokasi, rekomendasi kebijakan, dan
pemonitoran yang mewakili orang-orang kompeten baik unsur pemerintah pusat, pemerintah
daerah, maupun masyarakat.

KESIMPULAN

Berdasaran uraian di atas, pengertian sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang atas
segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada tingkat pusat dan pengertian
desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada satuan organisasi
pemerintahan di wilayah untuk meyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari
sekelompok penduduk yang mendiami wilayah tersebut.

Dampak-dampak yang di timbulkan oleh sentralisasi dan desentralisasi terbagi dua yaitu
dampak positif dan dampak negatif . Dampak-dampak tersebut dapat di rasakan oleh
masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial budaya, dan keamanan dan politik yang
kesemuanya itu berpengaruh dalam kehidupan bangsa Indonesia .

DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C.S.T . 2005. Sistem Pemerintahan Indonesia . PT Bumi Aksara : Jakarta .


Dimock, E. Marshall . Administrasi Negara . Erlangga : Jakarta .

Rodee, Clyner Carlton. Pengantar Ilmu Politik . 2000. PT Rajagrafindo Persada : Jakarta

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1990. Pengantar Administrasi Pembangunan . LP3ES : Jakarta

Ndraha, Talizidu. 1988. Metodologi Pemerintahan Indonesia . Bina Aksara : Jakarta

Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil. 2002. Pemerintahan Daerah Indonesia . Sinar
Grafika : Jakarta

MaCandrews, Colin dan Ichlasul Amal. 1993. Hubungan Pusat Daerah dalam
pembangunan . PT Rajagrafindo Persada : Jakarta

http://hitsuke.blogspot.com

http://bluecryztal.blogspot.com

http://books.google.co.id

Anda mungkin juga menyukai