Meuthia Ganie-Rochman
Seperti telah diketahui, pemahaman dan tujuan "baik" semacam itu sudah
dipandang ketinggalan zaman. Saat ini desentralisasi dikaitkan pertanyaan
apakah prosesnya cukup akuntabel untuk menjamin kesejahteraan masyarakat
lokal.
Semata birokrasi untuk pelayanan tidak cukup untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat, bahkan sering merupakan medium untuk melencengkan sumber daya
publik. Kontrol internal lembaga negara sering tak mampu mencegah berbagai
macam pelanggaran yang dilakukan pejabat negara.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang
dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan
jalan
yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan
oleh
pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa
banyak
akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan
dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya
desentralisasi
dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah
"melepaskan
diri sebesarnya dari pusat" bukan "membagi tanggung jawab kesejahteraan
daerah".
Kedua, batas antara pusat dan daerah tidak selalu jelas. Kepentingan di
daerah
bisa terbelah antara para elite penyelenggara negara dan masyarakat lokal.
Adalah mungkin pemerintah pusat memainkan peran menguatkan masyarakat
lokal
dalam menghadapi kesewenangan kekuasaan. Ketiga, dalam suatu masyarakat
yang
berubah, tanggung jawab pusat maupun daerah akan terus berubah pula.
Dalam penyelenggaraan negara selalu ada aspek dan definisi baru tentang
peran
pusat dan daerah. Misalnya, globalisasi akan meningkatkan kembali campur
tangan
pusat di daerah di sisi-sisi tertentu. Karena itu, desentralisasi dan
sentralisasi dapat terjadi bersamaan pada aspek-aspek berbeda.
Bagaimana hal-hal itu dapat menghasilkan sesuatu yang positif atau negatif
tergantung pada situasinya. Pertama yang penting adalah legitimasi politik
pemerintah pusat. Secara sederhana, harus dibedakan antara legitimasi
terhadap
para pemimpin di tingkat nasional dan legitimasi terhadap birokrasi.
Pemerintah
pusat sering harus mengandalkan birokrasi untuk programnya terhadap
daerah.
Kepopuleran individu selalu tidak bertahan lama dan dapat segera dirusak
oleh
ketidakmampuan memperbaiki mutu birokrasi.
A.PENDAHULUAN
Lengsernya penguasa orde baru, bapak Soeharto pada Mei 1998, menandai masuknya
Indonesia ke dalam babak baru sejarah. Sistem pemerintahan yang berjalan secara
sentralisasi selama 35 tahun adalah salah satu sumber masalah di negeri ini yang dengan
sangat kuat muncul menjadi fokus perbincangan. Berbagai sorotan tajam terhadap
kelemahan sistem ini pada akhirnya bermuara pada wacana desentralisasi yang terus
mengemuka.
Akhirnya pada tanggal 7 Mei 1999, disahkanlah UU. NO. 22 / 1999 tentang Pemeritahan
Daerah atau yang lebih populer dengan sebutan Undang-Undang Otonomi Daerah. Undang-
undang ini kemudian direvisi dengan terbitnya UU. NO. 32 / 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang menetapkan bahwa desentralisasi dengan penerapan Otonomi Daerah sudah
tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dengan asumsi bahwa Otonomi daerah adalah jalan keluar
bagi ancaman disintegralisasi bangsa yang saat itu dirasakan semakin menguat sebagai
akibat kurang diperhatikannya daerah-daerah selama ini. Padahal potensi kekayaan daerah
yang sangat sangat besar diangkut ke pusat, sementara daerah hanya mendapat tetesannya
saja.
Substansi Otonomi Daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan kepada
masyarakat dengan memperkecil mata rantai kendali pemerintahan. Dalam pelaksanaanya
ternyata banyak daerah yang mempunyai wilayah yang amat luas, sehingga terjadi ketidak-
merataan pembangunan.Ini menjadi salah satu peluang munculnya issu pemekaran daerah
baik di tingkat kabupaten dan kota maupun di tingkat propinsi, yang mendapat tempat dalam
UU. NO. 22 / 1999 dan UU. 32 / 2004.
Demikianlah sekilas latar belakang peralihan sistem pemerintahan Indonesia yang
sebelumnya kekuasaan sentral berada dalam kendali pusat, lalu kemudian mengalami
perubahan menjadi desentralisasi, dimana daerah-daerah memiliki otoritas untuk mengatur
pemerintahannya sendiri. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut tentang dampak desentralisasi
dan prospek penerapan hukum Islam di Indonesia.
B. PERMASALAHAN DESENTRALISASI
Pengertian sentralisasi secara bahasa adalah penyatuan segala sesuatu ke suatu tempat yang
dianggap sebagai pusat. Maka desentralisasi, sebagaimana diungkapkan oleh Rondinelli,
yaitu penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada pemerintah daerah maupun
kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah. Dalam hal kewenangan yang
diserahkan kepada pemerintah daerah disebut devolusi. Sedangkan kewenangan yang
dilimpahkan kepada pejabat pusat yang ditugaskan di daerah disebut dekonsentrasi.
Sebagai bentuk pertama pelaksanaan devolusi diwujudkan dengan pembentukan daerah
otonom dan pemberian otonomi serta dibentuknya lembaga daerah seperti pemerintahan
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan lembaga yang dibentuk dengan
kebijakan dekonsentrasi sebagai model kedua, disebut instansi vertikal dan wilayah kerjanya
disebut wilayah administrasi yang dapat mencakup satu atau lebih wilayah daerah otonom.
Model ketiga dari kebijakan desentralisasi dalam arti luas adalah kebijakan delegasi
(delegation). Pemerintah pusat atau unit pemerintah yang khusus dibentuk untuk keperluan
di maksud. Sebagai contoh adanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk
menyelenggarakan kegiatan ekonomi tertentu, misalnya maskapai penerbangan Garuda.
Adapun model keempat dari kebijakan desentralisasi adalah melalui kebijakan privatisasi.
Untuk kepentingan efisiensi dan mengurangi beban penyediaan pelayanan publik oleh
pemerintah, dapat dilakukan penyerahan kepada pihak swasta untuk mengelola kegiatan
tersebut, seperti pasar, rumah sakit, dan lin-lain.
Ada beberapa alasan yang menjadikan model pemerintahan desentralisasi ini lebih memberi
kebaikan dan keuntungan, jika diterapkan dengan benar, yaitu:
1. Dilihat dari sudut politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan
kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2. Dalam bidang politik penyelenggaran desentralisasi dianggap sebagai tindakan
pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam
menggunakan hak-hak demokrasi.
3. Dari sudut teknik organisasi pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah
(desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa
yang dianggap lebih utama diurus oleh pemerintahan setempat, pengurusannya diserahkan
kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintahan
pusat.
4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya
ditumpahkan pada kekhususan suatu daerah, seperti geografis, keadaan penduduk, kegiatan
ekonomi watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena
pemerintah daerah lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Ketika otonomi daerah dicanangkan di Indonesia oleh pemerintah pada tanggal 1 Januari
2001, banyak kalangan mempertanyakan apakah secara otomatis akan terjadi perubahan
paradigma yang mendasar dan bersifat struktural. Sebab persoalannya adalah gema yang
masih berkumandang di seantero jagad Indonesia adalah sentralisasi (kontrol dari pusat)
yang dirasakan dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia.
Para birokrat di daerah sudah terlanjur biasa meminta petunjuk dari atas. Atau apakah
otonomi daerah ini tidak akan menimbulkan keterkejutan penguasa-penguasa di daerah
yang sekarang memiliki otoritas lebih besar dari sebelumnya. Tentu saja waktu yang akan
membuktikan bagaimana kondisi Indonesia ke depan setelah penerapan otonomi daerah ini,
adakah terjadi perbaikan-perbaikan seperti yang diharapkan oleh sementara kalangan ,
ataukah justru otonomi daerah dapat memunculkan raja-raja baru yang berpeluang
menjadikan penyimpangan-penyimpangan baru pula.
C. DAMPAK DESENTRALISASI
Sebagaimana telah diungkap diatas, bahwa desentralisasi memiliki banyak nilai lebih yang
diharapkan dapat memberi banyak kebaikan jika diterapkan di Indonesia. Terutama jika kita
melihat Indonesia dari perspektif kultural, dimana Indonesia didiami oleh beragam suku
budaya, tradisi dan keyakinan. Dengan pemberlakuan desentralisasi atau otonomi daerah,
kepentingan lokal yang sesuai dengan keragaman tersebut tentu akan lebih terakomodasi.
Salah satu contoh yang paling nyata adalah daerah Nanggro Aceh Darussalam dan Papua.
Kedua daerah ini memiliki karakter penduduk dan budaya tradisi yang khas. Konflik
berkepanjangan yang pernah menyelimuti kedua daerah ini diantaranya adalah disebabkan
kurang terakomodirnya kepentingan dan keinginan masyarakat di kedua daerah ini.
Pemerintah pusat kurang memberi perhatian terhadap laju perkembangan dan dinamika
keduanya, sementara hasil buminya yang begitu melimpah tidak memberi kontribusi yang
signifikan terhadap kesejahteraan masyarakatnya.
Demikian juga dengan daerah-daerah lain yang pasti akan berbeda antara satu dengan
lainnya. Wewenang untuk mengatur diri sendiri, tentu akan sangat membuka kesempatan
bagi terakomodirnya kepentingan dan keinginan masyarakat setempat. Daerah akan dapat
mengatur masyarakatnya sesuai dengan kekhasannya serta masyarakat dapat lebih
berpartisispasi dalam pembangunan di daerahnya.
Salah satu aspek yang mungkin lahir dari pemberlakuan desentralisasi ini adalah lahirnya
peraturan-peraturan daerah yang sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Meskipun ini berarti akan terjadi peraturan-peraturan yang berbeda-beda antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Ini adalah konsekuensi logis dari pemberlakuan sistem ini.
Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (h) UU NO. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah menyebutkan bahwa: Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyrakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dibentuk Peraturan
Daerah. Dengan kata lain, Peraturan Daerah adalah sarana yuridis untuk melaksanakan
kebijakan otonomi daerah dan tugas-tugas pembantuan. Penjelasan umum UU NO.32/2004
tentang Pemerintahan Daerah angka 7, antara lain mengemukakan: Penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban dan tanggung
jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah.
Menurut Pasal 12 UU NO.10 / 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus
daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan undang-undang ini terbuka peluang bagi daerah untuk membuat peraturan-
peraturan yang dapat mengakomodir keinginan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan
jika di beberapa daerah, kemudian muncul peraturan-peraturan yang sarat dengan nilai-nilai
keyakinan setempat sebagai perwujudan dari aspirasi masyarakat. Di Nanggro Aceh
Darussalam bahkan telah menjadi Daerah Otonomi Khusus dalam hal penerapan syariat
Islam yang diatur oleh undang-undang.
Hal ini memberi pengertian kepada kita bahwa rasa keadilan tidak diukur sama disemua
daerah. Jika di suatu daerah yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, tentu kepentingan
yang paling banyak dituntut adalah kepentingan umat Islam, demikian juga di daerah yang
mayoritas berpenduduk Kristen atau Hindu atau lainnya. Sehingga tidak heran jika di daerah
Toraja ada peraturan daerah yang mengatur tentang cara pembakaran mayat sesuai
keyakinan masyarakat setempat, begitu juga di Bali muncul peraturan daerah yang mengatur
tentang perayaan Nyepi.
F.PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan singkat ini dapat disimpulkan bahwa penerapan al-Quran dan
al-Sunnah dalam bidang kehidupan kemasyarakatan sebagian mengandung norma moral dan
sebagiannya lagi mengandung norma hukum. Menegakkan hukum Islam dalam kehidupan
memang menjadi dorongan yang kuat di sebagian kaum muslimin Indonesia. Bahkan
perjuangan untuk itu telah dimulai sejak sebelum masa penjajahan Belanda. Itulah mengapa
wacana tentang penegakan syariah Islam seakan tak pernah padam. Bahkan kian menghangat
belakangan ini.
Namun yang kiranya perlu dipikirkan juga adalah sejauh mana masyarakat, bangsa Indonesia
umumnya dan kaum muslimin khususnya siap untuk menerima penegakan syariat Islam ini
baik secara konsep teoritis dan juga secara praktis implementatif. Artinya, perlu ada upaya
edukasi dan sosialisasi dimasyarakat tentang hakikat syariat Islam. Terutama tentang hukum
pidana Islam yang selama ini mungkin digambarkan kejam, tidak manusiawi dan melanggar
HAM. Agar nantinya penegakan syariat yang dicita-citakan tidak jadi blunder bagi kaum
muslimin sendiri.
Selama ini memang banyak sekali terjadi kesalah pahaman terhadap hukum Islam yang
diantaranya disebabkan oleh pernyataan yang keluar dari lisan maupun tulisan kalangan
Islamophobia, apakah itu para orientalis atau yang lainnya. Sehingga menjadikan kaum
muslimin terpecah dalam melihat masalah penegakan syariat Islam. Dengan demikian,
mengubah paradigma masyarakat tentang keadilan hukum Islam, mestinya menjadi agenda
tersendiri yang tidak boleh diabaikan, disamping upaya-upaya yang bersifat politis untuk
meng-goal-kan nilai-nilai Islam dalam hukum nasional Indonesia. (Wallahu alam).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Penemadani,
2005.
Awwas, Irfan S. Apa Dosa Rakyat Indonesia. Jogjakarta: Wihdah Press, 2005.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1996.
Kabah, Rifyal. Penegakan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: Khairul Bayan, 2004
Santoso,Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam . Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Sumaryadi, I Nyoman. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta: Citra
Utama, 2005.
SM, Oentarto. (et al). Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra
Media Utama, 2004.
A.PENDAHULUAN
Dalam praktek kehidupan bernegara, sentralisasi dan desentralisasi adalah sebuah
kontinuum. Tidak ada sebuah negara yang secara penuh hanya menggunakan azas
sentralisasi saja dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sebaliknya juga tidak mungkin
penyelenggaraan pemerintahan hanya didasarkan pada azas desentralisasi saja.
Beberapa kewenangan klasik memang lazimnya hanya dilakukan secara sentralisasi seperti
kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan dan kewenangan peradilan. Meskipun
dalam prakteknya juga terdapat azas dekonsentrasi yang merupakan penghalusan dari azas
sentralisasi.
Titik temu keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dapat dikaji dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek pembagian
kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat
pusat, dan aspek pembagian (perimbangan) sumberdaya keuangan.
Sesuai dengan semangat reformasi yang terjadi pada tahun 1998, format penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia juga mengalami perubahan dari pendulum sentralisasi ke
pendulum desentralisasi. Hal ini dapat dianalisis misalnya dari format pembagian
kewenangan yang berpola residu dan peletakkan lokus otonomi daerah pada tingkat
kabupaten/kota. Hal ini dianut secara tajam di dalam UU 22 tahun 1999, dan mengalami
pergeseran kembali di dalam UU 32 tahun 2004. Berbagai kewenangan yang semula dimiliki
oleh pemerintah pusat dan propinsi diserahkan kepada daerah kabupaten/kota.
Sesuai dengan tujuannnya, maka penguatan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota
dimaksudkan untuk meningkatkan demokrasi partisipatif (participatory democracy) dan
efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kewenangan yang dimiliki,
kabupaten/kota dapat menentukan sendiri prioritas pembangunan daerah sesuai dengan
potensi yang dimiliki. Berbagai Peraturan Daerah yang semula harus disetujui oleh
pemerintah pusat terlebih dahulu, dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah secara mandiri. Hal
yang sama juga terjadi di berbagai perizinan investasi, hal mana daerah dapat menetapkan
dan memberikan izin tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Dengan otonomi daerah
diharapkan prosedur investasi akan semakin mudah sehingga potensi daerah dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Intisari
Pembangunan berkelanjutan memiliki dimensi waktu yang terkait dengan sejarah masa lalu
dan masa depan manusia, juga dimensi ruang yang mencerminkan setiap wilayah memiliki
keunikan ekosistem dimana terjadi interaksi manusia dengan alam lingkungannya. Berbagai
perubahan telah dan tengah terjadi secara mendasar dan besar, terutama selama 200 tahun
terakhir.
Jumlah penduduk dunia berubah dengan drastis dari satu milyar jiwa pada 1806 hingga
mencapai lebih dari 6 milyar jira pada 2006 ini. Peningkatan tersebut tidak saja dalam hal
kuantitas, tetapi juga terkait dengan kualitas gaya dan pola hidup yang terus didorong oleh
inovasi teknologi, perubahan institusi, besaran investasi dan jaringan informasi. Konsep
pembangunan berkelanjutan amat beragam, namun ada kesamaan prinsip yang
mendasarinya. Penting pula dikemukakan disini berbagai tantangan dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan.
A. Sentralisasi
Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang
berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada
pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah.
Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan kebijakan di
daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang
diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama. Kelebihan sistem ini adalah di mana
pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat
perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir
seluruhnya oleh pemerintah pusat.
B. Desentralisasi
Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi,
melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan sebagian wewenang yang
tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat pemerintah
daerah atau pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan
yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari
pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus
untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya
mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk
keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh
pemerintah di tingkat pusat.
Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang atas segala urusan yang menyangkut
pemerintahan kepada tingkat pusat.. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama
di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Bahkan pada zaman kerajaan, pemerintahan
kolonial, maupun di zaman kemerdekaan.Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam
kaitannya dengan kontrol terhadap kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu titik.
Luar Negri
Peradilan
Hankam
Moneter dalam arti mencetak uang, menentukan nilai uang, dan sebagainya.
Pemerintahan Umum
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan
sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari
pusat kepada daerah. Pelimpahan wewenang kepada Pemerintahan Daerah, semata- mata
untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.
Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga
dapat lebih realistis.
Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar
pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu
untuk dilaksanakan secara mandiri. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang lebih
ekstensif untuk merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat mentransfer kewenangan
kepada pemerintah daerah dalam hal pengambilan keputusan , keuangan dan manajemen.
Yang di sebut sebagai pemindahan fungsi dari pemerintahan kepada swasta atau privatisasi
adalah menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab admistrasi
tertentu kepada organisasi swasta.
Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi, efek positif yang di berikan oleh sistem sentralisasi ini adalah
perekonomian lebih terarah dan teratur karena pada sistem ini hanya pusat saja yang
mengatur perekonomian. Sedangkan dampak negatifnya adalah daerah seolah-olah hanya di
jadikan sapi perahan saja dan tidak dibiarkan mengatur kebijakan perekonomiannya masing-
masing sehingga terjadi pemusatan keuangan pada Pemerintah Pusat.
Sedangkan dampak negatif yang di timbulkan sistem ini adalah pemerintah pusat begitu
dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi daerah sebagai tatanan pemerintahan
lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial budaya tersendiri, keadaan ini dalam jangka
waktu yang panjang mengakibatkan ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada
akhirnya mematikan kreasi dan inisiatif lokal untuk membangun lokalitasnya.
Dampak positif yang dirasakan dalam penerapan sentralisasi ini adalah keamanan lebih
terjamin karena pada masa di terapkannya sistem ini, jarang terjadi konflik antar daerah yang
dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional Indonesia. Tetapi, sentralisasi juga
membawa dampak negatif dibidang ini. Seperti menonjolnya organisasi-organisasi
kemiliteran. Sehingga, organisasi-organisasi militer tersebut mempunyai hak yang lebih
daripada organisasi lain.
Dampak positif yang dirasakan di bidang politik sebagai hasil penerapan sistem sentralisasi
adalah pemerintah daerah tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat
perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir
seluruhnya oleh pemerintah pusat. Sehingga keputusan yang dihasilkan dapat terlaksana
secara maksimal karena pemerintah daerah hanya menerima saja.
Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya kemandulan dalam diri daerah karena hanya
terus bergantung pada keputusan yang di berikan oleh pusat. Selain itu, waktu yang
dihabiskan untuk menghasilkan suatu keputusan atau kebijakan memakan waktu yang lama
dan menyebabkan realisasi dari keputusan tersebut terhambat.
Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi banyak sekali keuntungan dari penerapan sistem desentralisasi ini dimana
pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya,
dengan demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal
maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat. Seperti yang
diberitakan pada majalah Tempo Januari 2003 Desentralisasi: Menuju Pengelolaan
Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal.
Tetapi, penerapan sistem ini membukan peluang yang sebesar-besarnya bagi pejabat daerah
(pejabat yang tidak benar) untuk melalukan praktek KKN. Seperti yang dimuat pada majalah
Tempo Kamis 4 November 2004 ( www.tempointeraktif.com ) Desentralisasi Korupsi
Melalui Otonomi Daerah.
Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi tersangka korupsi pembelian
genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar resmi sebagai
tersangka kasus korupsi anggaran dewan dalam APBD 2002 sebesar Rp 6,4 miliar, oleh
Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Dua kasus korupsi menyangkut gubernur ini, masih
ditambah hujan kasus korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah di berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD.
a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya.
4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan
jompo) dengan modus :
5. Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak
luar.
Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu nihil.
8. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran dengan
modus :
Dengan diadakannya desentralisasi, akan memperkuat ikatan sosial budaya pada suatu
daerah. Karena dengan diterapkannya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah akan
dengan mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan dan di perkenalkan kepada daerah lain.
Yang nantinya merupakan salah satu potensi daerah tersebut.
Sedangkan dampak negatif dari desentralisasi pada segi sosial budaya adalah masing-
masing daerah berlomba-lomba untuk menonjolkan kebudayaannya masing-masing.
Sehingga, secara tidak langsung ikut melunturkan kesatuan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia itu sendiri.
Segi Keamanan dan Politik
Dengan beberapa dari kabupaten itu menggambarkan garis etnis dan meningkatnya ekonomi
yang cepat bagi politik daerah, ada ketakutan akan terjadi konflik baru dalam soal tanah,
sumber daya atau perbatasan dan adanya politisi lokal yang memanipulasi ketegangan untuk
kepentingan personal. Namun begitu, proses desentralisasi juga telah meningkatkan prospek
pencegahan dan manajemen konflik yang lebih baik melalui munculnya pemerintahan lokal
yang lebih dipercaya..
Dibidang politik, dampak positif yang didapat melalui desentralisasi adalah sebagian besar
keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya
campur tangan dari pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah lebih
aktif dalam mengelola daerahnya.
Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem ini adalah euforia yang berlebihan di mana
wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta
digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit
untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas PP No 6/2005
tentang pemilihan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah membawa
Indonesia pada titik di mana masalah peran pusat dan daerah masuk kembali pada wacana publik
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian
sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik
perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di
bawahnya. Dan tujuan "baik" dari perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.
Seperti telah diketahui, pemahaman dan tujuan "baik" semacam itu sudah dipandang ketinggalan
zaman. Saat ini desentralisasi dikaitkan pertanyaan apakah prosesnya cukup akuntabel untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat lokal. Semata birokrasi untuk pelayanan tidak cukup untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat, bahkan sering merupakan medium untuk melencengkan
sumber daya publik. Kontrol internal lembaga negara sering tak mampu mencegah berbagai macam
pelanggaran yang dilakukan pejabat negara. Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini,
pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi
merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan
oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat
merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi
yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia . Jiwa desentralisasi di
Indonesia adalah "melepaskan diri sebesarnya dari pusat" bukan "membagi tanggung jawab
kesejahteraan daerah". Karena takut dianggap tidak politically correct, banyak orang enggan
membahas peran pusat dan daerah secara kritis. Kini sudah saatnya proses pembahasan dibuka
kembali dengan mempertimbangkan fakta-fakta secara lebih jujur Sentralisasi dan desentralisasi
tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua
"sasi" itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah
akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses
politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang
terbaik bagi masyarakat. Kedua, batas antara pusat dan daerah tidak selalu jelas. Kepentingan di
daerah bisa terbelah antara para elite penyelenggara negara dan masyarakat lokal. Adalah mungkin
pemerintah pusat memainkan peran menguatkan masyarakat lokal dalam menghadapi
kesewenangan kekuasaan. Ketiga, dalam suatu masyarakat yang berubah, tanggung jawab pusat
maupun daerah akan terus berubah pula. Dalam penyelenggaraan negara selalu ada aspek dan
definisi baru tentang peran pusat dan daerah. Misalnya, globalisasi akan meningkatkan kembali
campur tangan pusat di daerah di sisi-sisi tertentu. Karena itu, desentralisasi dan sentralisasi dapat
terjadi bersamaan pada aspek-aspek berbeda. Pusat mempunyai kecenderungan untuk mendorong
sentralisasi karena berbagai alasan. Untuk alasan "negatif" dapat disebut alasan seperti kontrol
sumber daya dan menjadikan daerah sebagai sapi perah. Namun, ada alasan-alasan yang dapat
bersifat "positif", seperti kestabilan politik dan ekonomi, menjaga batas kesenjangan agar tidak
terlalu buruk, dan mendorong program secara cepat. Harus diingat, dalam banyak negara, termasuk
Indonesia , pusat mempunyai sumber daya manajerial, kecakapan lebih banyak dalam berinteraksi
secara global, dan ada pada domain di mana pengaruh etik pembangunan yang diterima secara
internasional. Pemerintah pusat juga berada pada hot spot proses politik. Adalah lebih mungkin
terjadi situasi di mana pemerintah di bawah tekanan jika kekuatan masyarakat sipil bersatu.
Bagaimana hal-hal itu dapat menghasilkan sesuatu yang positif atau negatif tergantung pada
situasinya. Pertama yang penting adalah legitimasi politik pemerintah pusat. Secara sederhana,
harus dibedakan antara legitimasi terhadap para pemimpin di tingkat nasional dan legitimasi
terhadap birokrasi. Pemerintah pusat sering harus mengandalkan birokrasi untuk programnya
terhadap daerah. Kepopuleran individu selalu tidak bertahan lama dan dapat segera dirusak oleh
ketidakmampuan memperbaiki mutu birokrasi. Di Indonesia, birokrasi yang sebenarnya memiliki
kompetensi dan orientasi lumayan pada awal reformasi kini mulai dibelokkan kekuatan politik
partai dan kelompok. Penyelenggara negara di tingkat pusat terdiri dari beberapa partai politik.
Kombinasi antara partai politik yang hampir seluruhnya punya masalah akuntabilitas dan sistem
politik representasi (oleh partai politik yang dapat dikatakan sama di DPRD) yang tidak akuntabel di
tingkat lokal membuat masyarakat lokal tidak mudah memercayai "pusat". Jika ingin
memperbaikinya, pemerintah pusat harus mampu membuat standar akuntabilitas sendiri agar
mendapat dukungan masyarakat lokal. Indonesia kini mulai mengalami apatisme terhadap
desentralisasi. Situasi ini bisa dimanfaatkan pemerintah pusat untuk melakukan perubahan di
tingkat daerah. Kasus Argentina dan Brasil yang bersifat federalis menunjukkan jatuhnya legitimasi
para elite politik lokal memberikan kesempatan kepada elite nasional untuk melakukan
resentralisasi di bidang ekonomi untuk bidang- bidang tertentu. Kedua pemerintahan banyak
menggunakan struktur internal (birokrasi) untuk mengubah arah, tanpa terlalu banyak berurusan
dengan struktur politik yang ada. Kembali kepada persoalan awal, masalah sentralisasi dan
desentralisasi bukan lagi dipandang sebagai persoalan penyelenggara negara saja. Pada akhirnya
kekuatan suatu bangsa harus diletakkan pada masyarakatnya. Saat ini di banyak wilayah, politik
lokal dikuasai selain oleh orang-orang partai politik juga kelompok-kelompok yang menjalankan
prinsip bertentangan dengan pencapaian tujuan kesejahteraan umum. Kekuatan kelompok pro
pembaruan lemah di banyak daerah dan langsung harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan
politik lokal dengan kepentingan sempit. Pemerintah pusat seharusnya memperkuat elemen
masyarakat untuk berhadapan dengan kekuatan tadi. Sebagai contoh, KPU daerah diberi wewenang
untuk merekomendasikan penghentian pilkada, bukan melalui gubernur dan DPRD. Namun, sebagai
institusi KPU daerah harus diperkuat secara institusional dan organisatoris. Meskipun pemerintah
pusat mungkin tidak diharapkan untuk ikut mendorong perubahan sistem politik yang ada sekarang,
perbaikan penegakan hukum di daerah-daerah sangat membantu kekuatan masyarakat pro
perubahan. Birokrasi sekali lagi adalah alat pemerintah pusat untuk melakukan perbaikan daerah.
Birokrasi, jika dirancang secara sungguh-sungguh, bisa berperan sebagai alat merasionalisasikan
masyarakat. Pemerintah pusat, misalnya, membantu pemerintah daerah dalam mendesain
pelayanan publik yang akuntabel. Pemerintah daerah sering pada situasi terlalu terpengaruh
dengan kepentingan perpolitikan lokal. Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah representasi
persoalan daerah di tingkat pusat. Sekarang ini sistem perwakilan daerah yang ada baik di DPR
maupun asosiasi bersifat elitis. Tetap yang berlaku antara hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Persoalan daerah harus ditangani oleh sesuatu badan yang lebih independen
dari kepentingan yang ada di pusat dan daerah. Badan ini seharusnya mampu membahas apa peran
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang paling diperlukan untuk kesejahteraan daerah.
Perlu dipikirkan suatu badan yang otoritatif untuk membuat advokasi, rekomendasi kebijakan, dan
pemonitoran yang mewakili orang-orang kompeten baik unsur pemerintah pusat, pemerintah
daerah, maupun masyarakat.
KESIMPULAN
Berdasaran uraian di atas, pengertian sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang atas
segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada tingkat pusat dan pengertian
desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada satuan organisasi
pemerintahan di wilayah untuk meyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari
sekelompok penduduk yang mendiami wilayah tersebut.
Dampak-dampak yang di timbulkan oleh sentralisasi dan desentralisasi terbagi dua yaitu
dampak positif dan dampak negatif . Dampak-dampak tersebut dapat di rasakan oleh
masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial budaya, dan keamanan dan politik yang
kesemuanya itu berpengaruh dalam kehidupan bangsa Indonesia .
DAFTAR PUSTAKA
Rodee, Clyner Carlton. Pengantar Ilmu Politik . 2000. PT Rajagrafindo Persada : Jakarta
Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil. 2002. Pemerintahan Daerah Indonesia . Sinar
Grafika : Jakarta
MaCandrews, Colin dan Ichlasul Amal. 1993. Hubungan Pusat Daerah dalam
pembangunan . PT Rajagrafindo Persada : Jakarta
http://hitsuke.blogspot.com
http://bluecryztal.blogspot.com
http://books.google.co.id