Anda di halaman 1dari 11

PT Merpati Nusantara Airlines Neraca (Balance Sheet)

Laporan tahun : 2006 Laporan status : audited

Nama Aktiva Aktiva Lancar Kas dan Setara Kas Piutang Uang Muka Persediaan Beban Dibayar Dimuka Hasil Yang Masih Harus Diterima Aktiva Tetap Nilai Perolehan Akumulasi Penyusutan Aktiva Tetap Aktiva Lain-lain Proyek Dalam Penyelesaian Beban Ditangguhkan Uang Jaminan Bank Yang Dibatasi Penggunaannya Aktiva Tidak Terpakai Piutang Pegawai Jangka Panjang Aktiva Pajak Tangguhan Kewajiban dan Ekuitas Kewajiban Jangka Pendek

Jumlah Rp (juta) 672.788 216.803 71.686 49.531 41.345 46.334 1.057 6.847 231.765 777.083 -545.318 224.220 234 51.545 66.255 41.729 43.523 1.278 19.653 672.788 1.922.750

Hutang Usaha Hutang Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank Hutang Bunga Hutang Pajak Hutang Jangka Panjang Jatuh Tempo Dalam 1 Th Berikutnya Hutang Lain-lain Biaya Yang Masih Harus Dibayar Pendapatan Diterima Dimuka Kewajiban Jangka Panjang Ekuitas Modal Ditempatkan dan Disetor Saldo Defisit Ekuitas Hutang Dalam Negeri Hutang Sewa Guna Usaha Hutang Kerjasama Operasi Hutang Imbalan Kerja

749.076 150.000 288.628 41.114 548.145 14.435 48.736 82.611 242.740 -1.492.701 953.556 -2.529.000 23.144 2.181 94.583 122.831

PT Merpati Nusantara Airlines Income Statement

Laporan tahun : 2006 Laporan status : audited Nama Pendapatan Usaha Penumpang Subsidi Perintis Bagasi Lebih Muatan Barang Jumlah Rp (juta) 1.316.876 1.093.042 55.556 11.631 56.921

Pos Charter Lainnya Pendapatan Workshop Surabaya (mmf) Pendapatan Jasa Pemakaian Tempat/hanggar Pendapatan Simulator Pendapatan Mtc Lainnya Pendapatan Training Mtc Pendapatan Sewa Crew Pendapatan Handling Pesawat Pihak Ketiga Pendapatan Adm/pembatalan Pasasi Pendapatan Adm/refund Pendapatan Adm/penukaran Tiket Pendapatan Adm/smu Pendapatan Adm-mpa Pendapatan Adm/selisih Tarif Pendapatan Adm/credit Card Pendapatan Adm/tiket Foc Pendapatan Adm/terlambat Bayar Pendapatan Adm/fuel Surcharge Potongan Harga (discount ) Pasasi Muatan Barang dan Pos Charter Pendapatan (beban) Diluar Usaha Pendapatan Diluar Usaha

1.323 33.032 90.461 28.063 0, 3.843 4.423 9 25 3.563 1.721 1.873 326 1.366 10 172 7 377 143 40.417 -25.092 -23.918 -853 -320 -70.064 224.700

Bunga Deposito Selisih Kurs Valas Selisih Kas Penjualan Aktiva Jasa Giro Sewa Aktiva Non Pesawat Sewa Gedung Kantor Pusat Merpati-net Laba Klaim Asuransi Lainnya Beban Diluar Usaha Beban Bunga Bunga Bank Bank Lainnya Pajak Selisih Kurs Selisih Kas Komisi Penjualan Non Angkutan Uang Jasa, Pesangon dan Penghargaan Biaya Manajemen Dharma Wanita Pendidikan Pihak Ketiga Non Operasi Pesawat Tidak Produksi Lainnya Beban Usaha Beban Produksi

723 178.994 0,4 14.033 1.895 45 5.092 153 4.603 19.158 -294.764 -4.719 -39.175 -25.262 605 -105.390 4 -757 14.325 -1.035 -2 -1.594 3.886 -19.934 1.528.034 1.237.258

Penyusutan Pesawat Penyusutan Ground Support Equipment (gse) Beban Sewa Pesawat Beban Pemeliharaan dan Perbaikan Overhaul Pesawat Bbm, Pelumas dan Refueling Beban Crew Beban Cockpit Beban Teknisi Beban Cabin Crew Pendaratan dan Route Charges Ground Handling Beban Asuransi Catering Up-lift Pelayanan Penumpang Beban Penjualan Komisi Beban Computer Reservation System (crs) Beban Dokumen Angkutan Promosi Beban Organisasi Gaji dan Tunjangan Penerbangan Haji Pemeliharaan dan Perbaikan Non Pesawat Sewa Non Pesawat Listrik dan Air

32.235 209 133.515 35.429 43.157 670.420 37.121 58.552 80.733 14.339 15.864 48.761 33.790 27.612 5.514 81.285 71.959 5.613 1.009 2.702 209.490 107.969 224 13.845 26.537 10.475

Komunikasi Peralatan Kantor RIset dan Pengembangan Hubungan Masyarakat Asuransi Non Pesawat Lainnya Penyusutan Non Pesawat Penghapusan Piutang Taksiran Pajak Penghasilan Tahun Berjalan Penghasilan (beban) Pajak Tangguhan

11.275 2.694 2.292 1.225 194 4.690 8.342 19.722 2.209 0, 2.209

Sejarah Merpati Bermodal Rp10 juta dan enam pesawat, Merpati Nusantara Airlines memulai usahanya sebagai jembatan udara yang menghubungkan tempat-tempat terpencil di Kalimantan. Sejak berdiri, tanggal 6 September 1962, sampai sekarang, Merpati mengalami pasang surut. "Jembatan Udara Nusantara". yang sarat misi ini memang seringkali dihimpit masalah. Merpati "lahir" berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.19 tahun 1962 yang menetapkan pendirian perusahaan negara perhubungan udara daerah dan penerbangan serbaguna Merpati Nusantara, yang disebut juga PN Merpati Nusantara. Perusahaan milik negara ini memiliki lapangan usaha, meliputi penyelenggaraan perhubungan udara di daerah-daerah dan penerbangan serbaguna serta memajukan segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan udara dalam arti kata yang seluas-luasnya. Maksud dan tujuannya adalah dalam rangka turut membangun perekonomian nasional di sektor perhubungan udara dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Awalnya, Merpati memiliki armada jenis de Havilland Otter/DHC-3 empat unit dan Dakota DC-3 dua unit, yang merupakan pesawat hibah dari Angkatan Udara Republik Indonesia (TNI AU). Ketika itu diketahui, modal awal perusahaan berupa uang rupiah lama sejumlah Rp10 juta. Para pilot dan teknisi dipasok dari AURI, Garuda Indonesia (dulu Garuda Indonesia Airways), dan perusahaan penerbangan sipil lainnya. Sebagai direktur utama, ditunjuk Komodor Udara Henk Sutoyo Adiputro (1962-1966), yang membawahi hanya 17 personel. Beberapa bulan kemudian, tahun 1963, penerbangan Merpati pun tak hanya di

Kalimantan, tapi juga menerbangi rute Jakarta-Semarang, Jakarta-Tanjung Karang, dan JakartaBalikpapan. Tahun 1964, Merpati menerima penyerahan seluruh hak konsesi dan operasi, serta kepemilikan sejumlah pesawat bekas maskapai Belanda NV de Kroonduif dari Garuda. Pengalihan ini dilakukan, dengan alasan Garuda sedang mengembangkan kegiatan untuk menjadi flag carrier nasional dan internasional. Pesawat hibah itu adalah tiga Dakota DC-3, dua Twin Otter dan satu Beaver. Dengan armada 12 pesawat, Merpati mulai tumbuh. Penerbangannya mulai merambah Papua (Irian Jaya), Sumatera, dan Nusa Tenggara Barat. Seiring pertumbuhannya, Merpati memandang perlu untuk memperkuat armadanya dengan tambahan tiga Dornier DO-28 dan enam Pilatus Porter PC-6. Namun, beberapa pesawat sebelumnya ada yang tidak lagi dapat dioperasikan sehingga armada efektif Merpati 15 pesawat. Jumlah karyawan Merpati pun bertambah, menjadi 583 orang. Misi pemerintah Latar belakang pendirian Merpati adalah untuk mengemban tugas dan misi dari pemerintah. Namun, sejak tahun 1966, Merpati mulai mengkomersialkan diri, di bawah Dirut Capt. R.B. Wibisono (19661967). Pada masa ini juga, perusahaan memperluas wilayah operasinya di Papua dan membeli tiga pesawat Pilatus Porter. Misinya, berupa penerbangan-penerbangan perintis, tetap dijalankan. Merpati pun menerima bantuan tiga Twin Otter dari PBB. Pada masa Marsekal Pertama Udara Santoro Suharto (1967-1975), terlihat kemungkinan Merpati bisa mandiri. Maka, pemerintah daerah mengurangi subsidi operasi penerbangan perintis. Namun, ternyata, pengurangan subsidi tersebut menimbulkan masalah keuangan yang cukup pelik karena penerbangan komersialnya belum beroperasi dengan mantap. Pemerintah turun tangan lagi, dengan memberinya konsesi untuk ikut ambil bagian dalam menjalankan penerbangan jarak jauh (trunk operation), jarak sedang (semi trunk), dan jarak dekat (federline operation). Untuk mendukung operasinya itu, Merpati menambah armada dengan tujuh Dakota DC-3, yang dibeli dari Australia dan Garuda. Pesawat-pesawat ini dipakai untuk menerbangi rute di Nusa Tenggara Timur yang ditinggalkan Garuda. Sementara itu, penerbangan jarak jauh dan menengah baru dilaksanakan tahun 1970. Guna meningkatkan efisiensi produksi, dan menjalankan tiga kelompok jalur niaganya, Merpati menambah armada dengan empat Vickers Viscount 828, tiga YS-11, dan dua HS-748. Sebagian dari pesawat-pesawat ini ada yang menerbangi rute internasional, seperti Pontianak-Kuching (Serawak,Malaysia) dan Palembang-Singapura. Di bawah Santoso pula, Merpati menjalin kerjasama dengan sejumlah perusahaan penerbangan nasional dan internasional. Merpati menyerahkan seluruh pesawat Dakota-nya kepada PT Suryadirgantara, untuk dioperasikan bersama. Selain itu, dalam meningkatkan pelayanan dan kinerja usaha, Merpati bekerjasama dengan sejumlah airlines asing, seperti Japan Air Lines, Qantas, Thai Airways International, Lufthansa, Olympic Airways, Trans Australia

Airlines, dan China Airlines. Kerjasama tersebut, salah satunya berupa kesepakatan dalam hal ticketing. Dengan menggunakan tiket Merpati, penumpang dapat terbang dengan airlines asing tersebut. Tahun 1972, dua Vickers Vanguard memperkuat lagi armada Merpati. Wilayah operasinya pun bertambah hingga ke Kuala Lumpur dan Darwin. Merpati juga memperoleh bantuan dua Twin Otter dari Pemerintah Kanada. Pada saat itu, Merpati mengoperasikan armada 32 pesawat, yaitu empat Vicker Viscount, empat YS-11, delapan Pilatus PC-6, tiga Dornier Do-28, tujuh Pilatus Porter, tiga DHC-6 Twin Otter, satu DHC-3 Otter, dan dua Vanguard. Langkah-langkah usaha Santoso, yang kemudian mengelola airlines Seulawah yang bergabung dengan Mandala kini jadi Mandala Airlines, dilanjutkan Marsekal Muda Udara Ramli Sumardi (1975-1978). Merpati memiliki 37 pesawat, terdiri dari empat Dakota DC-3, , empat Twin Otter, dua Fokker F-27, dua HS-748, lima YS-11, lima VC-8, dan tiga VC-9, untuk menerbangi 97 kota di 19 propinsi. Pesawat-pesawat yang ada sebelumnya, sebagian memang sudah tak lagi operasi. Merpati juga mengoperasikan pesawat BAC-111 dan Boeing 707 untuk penerbangan borongan (carter) internasional, yang terbang DenpasarManila dan Los Angeles, Amerika Serikat-Denpasar, yang dihentikan tahun 1979. Bergabung dengan Garuda Tahun 1978, keluar PP, yang memengaruhi riwayat Merpati, yaitu PP Nomor 30/1978, yang intinya mengharuskan Merpati mengalihkan modal ke Garuda Indonesia. Merpati yang menjadi anak perusahaan Garuda, tetap menjalankan penerbangan perintis, lintas batas, transmigrasi, borongan wisatawan, dan angkutan barang, serta usaha-usaha lainnya. Pola operasi Merpati memang menyelenggarakan penerbangan pada semua jaraingan penerbangan dalam negeri, secara terpadu dan saling mengisi dengan Garuda. Penerbangan perintis merupakan tantangan besar tapi mulia bagi Merpati. Namun dalam menjalankannya, Merpati mengikutsertakan sejumlah perusahaan penerbangan swasta. Seperti PT SMAC untuk melayani Sumatera Utara dan Tengah, sejak tahun 1978, dengan PT DAS untuk wilayah Kalimantan (sejak 1979), dengan PT Deraya di Kalimantan (sejak 1988), dengan PT Indoavia di Maluku (sejak 1988), dan dengan PT Asahi Mantrust di Kalimantan Timur. Pasca keluarnya PP itu, tahun 1979, Dirut Garuda Wiweko Soepono pun menunjuk R.A.J.Lumenta (19791983) sebagai direktur utama. Dengan menerapkan sistem manajemen yang ketat dan terarah, Lumenta membawa Merpati ke untuk melangkah lebih baik lagi. Dia juga meyakinkan pemerintah agar memberi dana segar sebesar 18 juta dollar AS, untuk memodernisasi armada. Lumenta lah yang pertama kali menyuarakan bahwa Merpati tengah merugi, bahkan menuju kebangkrutan. Oleh karena itu, menjadi anak perusahaan Garuda dinilai sebagai langkah paling strategis, ketika itu. Lumenta, yang memang "orang Garuda", pun mengelola Merpati dengan gaya manajemen Garuda, terutama dalam rencana penerbangannya Kemajuan mulai terlihat, ketika tahun 1980, Merpati memperoleh tambahan 14 NC-212 dari pemerintah. Kemudian, ditambah lagi dengan pembelian empat pesawat bekas dan enam pesawat baru

dari jenis yang sama. Selain itu, hanggar-hanggar pemeliharaan pesawat pun dibangun di Makassar dan Manado. Adanya tempat-tempat perawatan pesawat tersebut, merupakan awal keberhasilan Merpati beroperasi di wilayah Timur. Beberapa bulan di tahun 1983, Merpati dipimpin J. Soekardjo. Karena masa jabatannya yang singkat itu, ia jarang disebut-sebut. Selanjutnya, pada 10 November 1983, ia digantikan Soeratman (1983-1989). Pada masa jabatan Soeratman, Merpati memperoleh hibah dua Pesawat Hercules L-100 (versi sipil dari C-130) dari Pelita Air Service, tahun 1986. Merpati juga membuka penerbangan Kupang-Darwin menggunakan HS-748, yang kemudian diganti dengan F-28. Tanggal 25 Juni 1986, Merpati menandatangani kontrak pembelian 15 CN-235 dari IPTN, pada saat Indonesia Air Show (IAS) yang pertama di bekas Bandara Kemayoran, Jakarta. Penyerahan pertama pesawat yang awalnya merupakan hasil kerjasama CASA dan IPTN itu hanya berlangsung akhir tahun itu juga. Pada Mei 1989, kembali ada penggatian pucuk pimpinan Merpati. Kali ini giliran Capt. F. H. Sumolang (1989-1992) Langkah ini sebagai titik tolak realisasi integrasi penuh atau operasi terpadu Merpati ke dalam Garuda Indonesia Group. Merpati ditetapkan sebagai pendukung operasi penerbangan Garuda di tingkat domestik. Sejumlah armada Garuda pun dialihkan kepada Merpati, antara lain, enam F-28 Mk.3000, 22 F-28 Mk. 4000, dan sembilan DC-9. Berlanjutnya masalah Merpati Masa-masa "gejolak" di dalam tubuh Merpati masih berlangsung . Ridwan Fataruddin (1992-1995) yang menggantikan Sumolang, harus berhadapan dengan permasalahan kekurangan tenaga pilot, menyusul penarikan kembali armada Garuda dari tubuh Merpati. Program pengiriman calon pilot ke Australia dan Selandia Baru yang baru dijalankan, belum dapat mengatasi kekurangan tersebut. Walau di belakangan hari, pasca pemisahan Merpati-Garuda, masalah pilot ini menguak lagi. Rencana pemisahan kembali dengan Garuda memang menimbulkan banyak masalah yang menghambat operasi Merpati. Apalagi pemisahan itu juga memberi kesempatan pada Garuda untuk menerbangi ruterute domestik, yang sebelumnya juga diterbangi Merpati. Garuda dan Merpati pun bersaing di pasar yang sama. Persaingan semakin ketat karena sejumlah perusahaan swasta pun ikut meningkatkan frekuensi pada rute yang sama. Pada masa itu, Merpati sempat menambah armada, dengan Fokker-100, pesanan Garuda yang dialihkan, dan B737-200. Armada yang beroperasi pun menjadi 86 pesawat, walaupun masih belum mencukupi untuk menerbangi 466 rute di lebih dari 130 kota. Permasalahannya memang kian terbuka, walau tidak pernah diungkapkan seperti sekarang. Masalahmasalah tersebut berdampak kepada ketepatan jadwal penerbangan (OTP, on time performace) yang makin rendah. Rendahnya tingkat OTP itu betul-betul menurunkan citra Merpati di mata pelanggannya.

Menurunnya kinerja tersebut, antara lain karena banyaknya tipe pesawat yang dimilikinya. Merpati ketika itu memiliki 8 tipe pesawat yang berbeda, yaitu Fokker-100, B737-200, Fokker-28, BAe ATP, Fokker-27, CN-235, NC- 212, dan Twin Otter. Belum lagi banyaknya pesawat yang perlu perawatan sehingga menurunkan utilisasinya. Merpati pun sering terdengar "merugi". Permasalah yang terjadi saling berkait antara satu dengan yang lain. Misalnya, penyewaan pesawat yang penuh mark up, sewa pesawat yang tidak feasible, dan berbagai penyimpangan lainnya. Bahkan dikatakan, hampir semua transaksi yang terjadi tidak mendukung langkah-langkah untuk membawa perusahaan menjadi sehat. Meski demikian, Merpati harus siap menghadapi kondisi yang ada. Menjelang pemisahan dengan Garuda, pada akhir tahun 1996, Merpati berusaha mandiri, antara lain dengan cara lebih mengefisienkan diri dan memperbaiki kinerja perusahaan. Namun semua itu belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan, antara lain karena belum bisa memecahkan masalah permodalan dan perestruktiurisasian di tubuh perusahaan. Kerugian pun makin membengkak hingga Rp135 milyar, dengan penurunan kinerja pelayanan yang seringkali mengecewakan para pelanggannya. Direktur Utama Budiarto Subroto (1995-1999) berupaya mencari celah perbaikan dengan memangkas rute yang tidak menguntungkan. Saat itu, 34 rute perintis di Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi, yang biasanya diterbangi NC- 212, dan enam rute lain di Papua, dipangkas jumlah frekuensinya dan ditutup, walau 28 rute perintis masih dipertahankan. Pada masa itu, Merpati lebih banyak menata kembali rute perintis. Pada masa itu, Merpati dengan "berani" mendatangkan A310 dan A300-600 untuk menjelajah rute internasional ke Australia. Penerbangan ini membukukan utang yang tak sedikit. Belum lagi persoalan pesawat ATP yang tak lagi laik terbang sehingga grounded, walau tetap harus membayar sewa. Ada lagi Tristar, untuk menggantikan A310, dan kemudian BAe-146-100, yang operasinya hanya "sekejap". Kerugian pun tak pernah "beranjak". Pada semester pertama 1997, misalnya, kerugiannya mencapai Rp40,1 milyar. Makin terpuruk pada semester kedua 1997, saat krisis mulai melanda. Hutang Merpati pun menjadi lebih besar dari asetnya. Berdasarkan analisis pengamat penerbangan yang menyebut bahwa pada tahun 1998, nilai aset Merpati sudah mencapai lebih Rp 830 milyar di bawah utang, tidaklah menjadikan Merpati "bangkrut". Awal tahun 1999, Wahyu Hidayat dan jajarannya "diperintahkan" untuk membenahinya. Gebrakan direksi baru itu cukup meyakinkan. Merpati mulai membenahi kinerja operasinya. Seperti, tingkat keselamatan penerbangan makin tinggi dan OTP {On Time Performance) secara perlahan merambat naik. Dengan slogan "Get The Feeling", Merpati mulai berbenah dengan serius. Tahun 1999, diumumkan bahwa Merpati meraih laba operasi, yang kedua setelah tahun 1992. Namun, tantangan dan ancaman makin kompleks. Di luar, persaingan makin ketat. Selain bermunculan airlines swasta yang baru, Garuda pun makin menancapkan keberadaannya di domestik. Jumlah karyawannya saja 4.300 orang dengan 600 pilot, tapi hanya mengoperasikan 35 pesawat.

Merpati kini Tahun 2007, Merpati mulai melaksanakan program revitalisasi dan modernisasi armada secara parsial ,mengingat Merpati hingga saat ini masih bergelut dengan masalah keuangan[3][4], terutama armada perintis, dengan memesan 14 pesawat Xian MA60 dari Xian Aircraft China. Merpati juga sempat menyewa 1 ATR 72, namun kemudian dikembalikan karena dianggap tidak ekonomis (beberapa sumber menyatakan bahwa ATR hanya disewa sementara, menunggu tambahan MA60) . Merpati juga mengumumkan akan membeli 11 pesawat 30-kursi untuk rute domestik. (tipe belum dikonfirmasi), serta juga kemungkinan akan memesan pesawat N-219 buatan PTDI sekitar tahun 2011 ini. Pada 7 Mei 2011 lalu, sebuah pesawat Xian MA60 (PK-MZK) jatuh di perairan Kaimana, menewaskan seluruh penumpangnya yang berjumlah 27 orang (21 penumpang dan 6 kru). Kecelakaan ini menambah panjang daftar kecelakaan yang melibatkan armada perintis Merpati. Kecelakaan terakhir yang dialami Merpati adalah pada tanggal 2 Agustus 2009, dimana sebuah Twin Otter jatuh di pegunungan di Papua, menewaskan seluruh 16 penumpangnya (13 penumpang dan 3 kru). Setelah kecelakaan di Kaimana, banyak pihak mempertanyakan keputusan Merpati membeli pesawat Xian MA60 tersebut, serta dugaan mark-up dan kolusi yang terjadi saat proses pembeliannya.

Anda mungkin juga menyukai