sebesar 5, butir soal kedua 8, butir soal ketiga 10, dan seterusnya. Yang jelas skornya semakin besar urutan soal, semakin besar skornya, mengingat ketika kita merancang soaln tersebut sudah harus berjenjang, dari yang mudah ke yang sukar. Dengan demikian berarti akan berdampak terhadap besarnya skor di soal yang urutannya lebih tinggi maka skornya harus lebih besar dari nomor sebelumnya. 3.2. Cara Pemberian Skor Hasil Ujian Bentuk Objektif Test Ada tiga cara pemberian skor hasil ujian objektif, yaitu : 1) Setiap jawaban yang benar dari suatu butir soal diberi skor satu, sehingga skor total akan sama dengan jumlah seluruh jawaban yang benar. Skor = B .......................... (1)
Keterangan : Skor sama dengan jumlah B (jawaban yang benar) 2) Memperhatikan adanya peluang terjadinya tebakan. Dengan demikian, skor yang diperoleh sama dengan jumlah jawaban yang benar yang dikoreksi dengan besarnya tebakan. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut : S Skor = B Keterangan : (n -1) B = jumlah jawaban yang benar S = jumlah jawaban yang salah n = banyaknya option/alternatif jawaban Untuk bentuk soal benar-salah, maka n = 2, yakni kemungkinan jawaban itu salah atau benar. Oleh karena itu skor yang diperoleh = S =B-S .................................................... (3) (2 -1) Untuk butir soal bentuk pilihan ganda, asosiasi pilihan ganda ataupun bentuk hubungan sebab akibat, maka tergantung pada banyaknya alternative jawaban yang tersedia yang mungkin terjadi. Jika ada 5 option/alternatif jawaban, maka : S Skor = B Contoh : (5 -1) ..... (4) Skor = B ........... (2)
Jika dari 100 butir soal benar 60, maka testi akan memperoleh skor = 40 Skor = 60 (5 -1) = 50 2
..
(5)
(a), 20 alternatif jawaban (b), 20 alternatif jawaban (c), 20 alternatif jawaban (d),
dan 20 alternatif jawaban (e). Jika seseorang secara gambling (tebak-tebakan) hanya memilih alternatif jawaban (a) untuk seluruh butir soal, maka sesuai rumus di atas, ia akan mendapat skor 0 (nol), tetapi jika seluruh jawaban benar akan mendapatkan skor 100. Penggunaan rumus terkoreksi ini masih menjadi perdebatan, karena : Tidak semua peserta ujian menjawab salah akibat hanya asal tebak Peluang untuk mendapatkan skor yang tinggi akibat tebakan relatif kecil, Penggunaan rumus terkoreksi memerlukan waktu ekstra, sehingga
apalagi jika penyusun soal sudah memperhatikan sebaran kunci. menambah beban pemeriksa. Jika prinsip pemberian skor sudah diberitahukan terlebih dulu kepada para peserta ujian, maka mereka tidak akan asal tebak jika dalam pemberian skornya digunakan sistem koreksi. Karena semakin banyak kesalahan akan semakin besar resikonya. Mereka akan membiarkan suatu butir soal tanpa jawaban daripada salah menjawab. 3.3 Model Pembobotan Pada cara ini, setiap skor yang diperoleh peserta ujian harus dipisahkan sesuai dengan kelompok butir soal. Kemudian nilai akhir yang diperoleh harus proporsional sesuai dengan pembobotannya. Contoh : Suatu ujian terdiri atas 3 kelompok butir soal. Kelompok I terdiri atas 35 butir soal diberi bobot 2. Kelompok II terdiri atas 35 butir soal diberi bobot 3. Kelompok III terdiri atas 30 soal diberi bobot 4. Jika seorang peserta ujian mendapat skor 25 untuk kelompok I, 16 untuk kelompok II, dan 10 untuk kelompok III, maka nilai akhir yang diperoleh adalah sebesar : 30x2) + (20x3) + (25x4) NA = 3 x 10 = 7,45...............................(6)
(35x2) + (35x3) + (30x4) Jika tanpa pembobotan, 30 + 20 + 25 NA = 35 + 35 + 30 3.4 Penskoran untuk Pengukuran Domain Afektif Sebetulnya penskoran pengukuran domain afektif sudah dibahas pada point 4 teknik penskoran (baca lagi : kegiatan belajar 2, tentang 11 (sebelas) langkah dalam mengembangkan instrumen penilaian afektif). Dari contoh lembar penilaian untuk mengukur minat terhadap mata pelajaran PKn misalnya, bearti ada 10 butir/item. Jika rentangan skor yang digunakan adalah 1 sampai 5, maka skor terendah 10 dan skor tertinggi 50. Dengan demikian, mediannya adalah (10+50)/2 = 30. Apabila dibagi menjadi 4 kategori, maka skor 10 20 termasuk tidak berminat, 21 30 kurang berminat, 31 40 berminat, dan 41 50 sangat berminat. 3.5 Penskoran Untuk Pengukuran Kemampuan Psikomotor Skala penilaian yang digunakan pada penilaian keterampilan pengamatan dalam melaksanakan simulasi adalah 1 sd. 3, untuk 10 butir aspek, berarti skor minimum adalah 10 dan skor maksimum 30, maka median skornya adalah (10+40)/2 = 20. Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka yang diperoleh skor 10 15 dinyatakan tidak terampil, skor 16 20 berarti kurang terampil, skor 21 25 dinyatakan terampil, dan skor 26 30 dinyatakan sangat terampil. Jika sifat keterampilannya adalah absolut, maka setiap butir harus dapat dicapai dengan sempurna (skala 3). Maka untuk 10 butir aspek, hanya siswa yang memperoleh skor total 30 yang dinyatakan berhasil dengan kategori tepat atau terampil. Bagaimana menurut pendapat Anda, adakah cara lain untuk menentukan skor kemampuan psikomotor itu ? = 7,5 ........................................ (7)