Anda di halaman 1dari 4

ADAT PERNIKAHAN SUKU BUGIS

Tahapan adat pernikahan suku bugis, yaitu : 1. Madduta (lamaran) Proses pelamaran dengan datangnya wali dari pihak laki-laki ke kepada pihak wanita yang di ingin di lamar biasa pihak laki-laki membicarakan tentang kapan acara pernikahan di mulai, besarnya uang pesta. 2. Mappaisseng (undangan) Proses mengundang keluarga / kerabat untuk menghadiri undangan pernikahan. Dari calon pihak mempelai akan mengirimkan wakilnya untuk menyampaikan secara lisan prihal rencana pernikahan 3. Mappaci (selamatan di malam akad nikah) Proses di diawali dengan pembacaan "barzanzi" , yang nantinya proses selanjutnya pemberian bedak kepada mempelai 4. Akad nikah tahap ini adalah inti dari perkawinan, biasanya akad nikah di lakukan sebelum pesta dan memakai baju adat bugis yaitu baju bodo 5. Marola ( proses mempelai wanita ke rumah mempelai pria) yaitu tahap kunjungan balasan dari pihak mempelai wanita ke rumah mempelai pria

MAPPATANENG, BUDAYA TANI SUKU BUGIS


5 Februari 2012 by chuckybugiskha

Berusahatani dapat dikatakan sebagai suatu sistim budaya yang seumur peradaban manusia. Sejak manusia mengenal arti bertahan hidup (survival of the fittest), sejak saat itu berbagai upaya di lakukan untuk mempertahankan kehidupannya di muka bumi ini. Oleh karenanya sistem berusahatani juga biasa disebut sebagai kegiatan budidaya pertanian. Berbagai suku dan bangsa di dunia memiliki corak dan ragam berusahatani, namun intinya adalah mengelola dan mengolah sumberdaya tanaman dan ternak untuk keberlangsungan hidupnya. Corak budaya berusahatani ini dapat dilihat/ditelusuri dari aneka kegiatan dari pra hingga pasca panen, dimana pemberian alam kepada manusia ditafsirkan sebagai karunia yang harus disyukuri melalui tradisi upacara tertentu. Pencitraan terhadap alam, kaitannya dengan budaya kerja masyarakat tradisional diwujudkan melalui penghargaan terhadap alam lingkungan, yang salah satu diantaranya adalah melaksanakan upacara/ritus tertentu. Baik dalam hal memohon ijin sebelum menggarap lahan usahataninya, maupun berterima kasih kepada alam setelah panen. Kultur masyarakat tradisional ini telah berlangsung sejak sebelum adanya agama, hingga agama kemudian datang untuk menyempurnakan bentuk pengabdian kepada alam dengan cara bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa selaku pencipta alam semesta. Demikian juga halnya dalam budaya masyarakat tani Bugis. Sebelum mengenal agama Islam, mereka telah memiliki kepercayaan asli (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan nama Dewata SeuwaE, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama Tuhan itu menunjukkan orang Bugis memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis. Istilah Dewata SeuwaE dalam aksara lontara, dibaca dengan bermacam ungkapan, misalnya Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang merupakan cerminan dari sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis. Dewatangna berarti tidak berwujud, sedangkan Dewangta atau Debatang berarti yang tidak bertubuh. Kepercayaan orang Bugis kepada Dewata SeuwaE hingga kini masih berbekas dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang dihuni manusia, tanaman dan ternak, serta dunia bawah (peretiwi). Setiap dunia mempunyai penghuninya masing masing, satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia. Dalam perspektif usaha/kerja, masyarakat Bugis umumnya juga memaknai hidup ini dengan kerja keras (reso/jamang). Bahkan dalam adat istiadat orang Bugis, makna

reso/jamang merupakan bagian dari kehormatan (siri). Dalam pandangan orang Bugis, sangat memalukan jika seorang yang sudah cukup umur namun tidak memiliki pekerjaan, bahkan menjadi beban bagi orang lain (masiri narekko tuo mappale). Sehingga tidak mengherankan jika dalam kebudayaan petani Bugis memegang teguh prinsip reso temmangingngi nalletei pammase dewata (usaha yang sungguh sungguh diiringi ridha Yang Maha Kuasa), dan inilah yang menjadikan suku Bugis terkenal sebagai salah satu suku pekerja ulet disegala bidang, termasuk dalam bidang usahatani. Terlebih lagi Sulawesi Selatan pada umumnya adalah sentra tanaman pangan, dan sawah adalah salah satu tolok ukur wibawa suku Bugis. Budaya kerja masyarakat tani suku Bugis begitu melekat pada diri pribadi mereka, sehingga kemanapun merantau (sompe), prinsip kerja keras menjadi bagian hidup mereka, dan ikut mewarnai hidupnya. Fakta menunjukkan, suku Bugis terkenal sebagai pelaut ulung dalam mengarungi lautan, pekerja ulet dalam bidang usahatani, dan pengusaha yang sabar dalam menjalankan usahanya. Salah satu corak budaya tani orang Bugis adalah mappataneng, tradisi berusahatani ala Bugis yang dilakukan suku Bugis di Kalimantan, khususnya Kabupaten Nunukan. Tradisi mappataneng di lakukan oleh masyarakat tani suku Bugis yaitu bertanam padi di sawah secara berkelompok. Sebelum acara mappattaneng dilaksanakan, tokoh adat atau orang yang dituakan/rohaniawan (panrita) akan mengundang petani setempat untuk tudang sipulung (bermusyawarah) menentukan waktu bertanam. Dalam acara ini biasanya unsur pemerintah ikut dilibatkan, yaitu PPL maupun aparat desa/kecamatan setempat. Setelah waktu tanam ditetapkan, maka acara mappataneng akan didahului dengan pembacaan doa tolak bala (doa salama) dengan maksud agar usahataninya terbebas dari segala bencana dan serangan hama penyakit tanaman. Dalam pembacaan doa tolak bala ini, disajikan berbagai hasil bumi dari panen tahun lalu. Doa biasanya dibaca di rumah petani yang bersangkutan, atau biasa juga dibawa ke sawah secara kolektif. Dalam kegiatan ini, benih padi yang akan ditanam diisi daun penno penno, diturutsertakan dalam acara pembacaan doa tersebut. Daun penno penno adalah jenis daun yang biasa tumbuh di sekitar rumah dan disertakan dalam upara tersebut dengan harapan hasil panen akan melimpah ruah (kata penno dalam bahasa Bugis artinya penuh). Setelah upacara doa salama di laksanakan, benih padi lalu disebar ke pesemaian. Selanjutnya teknik budidaya usahatani pada padi sawah tetap menggunakan petunjuk PPL setempat. Jika waktu panen telah tiba, maka dilakukan acara mappasangki. Seperti mappataneng, acara ini juga dilakukan secara bergotong royong dengan melibatkan petani lainnya. Mereka dengan cara bergantian memanen padi di sawah. Hal yang menarik dalam kegiatan ini adalah terjadi interaksi dari dua pola budaya berbeda, dimana seringkali petani Bugis mengundang petani suku Tidung untuk ikut massangki di sawah. Petani yang ikut membantu tidak diberi upah, namun diberi bagian sedikit hasil panen agar mereka bersama sama merasakan nikmatnya berre (beras) hasil panen ase (padi) baru. Jika seluruh padi telah dituai, maka mereka kembali melakukan acara syukuran (doa salama) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat dan kurunia sehingga hasil panen dapat dinikmati oleh para petani.

Seiring perjalanan waktu, dan interaksi diantara berbagai budaya di Nunukan, serta terjadinya asimilasi diantara berbagai suku yang ada, acara mappataneng dan mappassangki tidak lagi dilaku kan secara menyeluruh oleh petani Bugis di Nunukan. Namun di beberapa tempat, seperti di Sebatik, masih dilakukan oleh beberapa petani Bugis sebagai warisan leluhur mereka dari Sulawesi Selatan.

Anda mungkin juga menyukai