Anda di halaman 1dari 33

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................................

2 3 3

1.2 Forex Exposure and Risk Management......................................................... 5 1.2.1 Risk Management............................................................................ 1.2.2 Forex Exposure............................................................................... 5 BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 8 2.1 Transaction Exposure................................................................................. 8 2.2 Economic/Operating Exposure.................................................................... 11 2.3 Translation/Accounting Exposure................................................................ 16 2.4 Hedging VS Speculation............................................................................. 18 2.5 Forex Risk Management in Islamic Perspective............................................. 20 2.5.1 Pendahuluan.................................................................................. 20 2.5.2 Konsep Uang dalam Pandangan Islam.............................................. 21 5

2.5.3 Forex dalam Pandangan Islam......................................................... 23 2.5.4 Sharia Issue in Hedging.................................................................... BAB III PENUTUP........................................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 33 27

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di era globalisasi dewasa ini dimana bisnis tidak terpaku lagi pada satu negara hubungan bisnis antar negara yang melibatkan mata uang yang berbeda menjadi suatu fenomena yang tidak dapat dihindari. Karena itu risiko akibat transaksi mata uang sudah seyogyanya dipahami keberadaannya oleh setiap individu yang terlibat di dalamnya. AFTA (Asia Free Trade Area) dan sejenis organisasi lainnya bagi negara lainnya merupakan salah satu indikasi timbulnya perdagangan bebas. Guna mendukung aktifitas perusahaan dalam bertransaksi secara internasional maka diperlukan suatu penggunaan sistem mata uang, dimana sistem floating

exchange rate sekarang ini yang menggunakan fiat money berfluktuasi secara bebas. Fiat money adalah uang kertas yang secara legal diakui pemerintah melalui dekrit sebagai uang resmi, namun tidak ditopang dengan logam mulia seperti emas dan perak (Hamidi,2007). Uang kertas itulah yang sekarang mayoritas digunakan oleh negara-negara kapitalis termasuk Indonesia. Kondisi ini digambarkan dimana sejak Indonesia 62 tahun silam, rupiah menjadi mata uang yang digunakan sebagai alat transaksi yang sah. Namun, siapa sangka mata uang yang dibanggakan tersebut ternyata tak cukup kuat ditimpa inflasi dan guncangan mata uang lainnya seperti dolar AS. Bahkan, sebagian masyarakat lebih memilih investasi simpanan dalam mata uang dolar AS, termasuk para pejabat pemerintahan sebagaimana tersinyalir dalam artikel di salah satu koran nasional. Alasannya, dolar AS lebih kuat dibandingkan rupiah. Akibat jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar AS tersebut menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi terpuruk. Harga-harga barang impor melonjak tajam yang juga diikuti lonjakan harga barang dalam negeri. Tak lepas dari itu, BBM (bahan bakar minyak) pun ikut merangkak naik. Impasnya banyak perusahaan gulung tikar dan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal tersebut berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran dan berbagai dampak sosial lain. Oleh sebab itulah, dari pernyataan diatas, pelaku bisnis terutama perusahaan multinasional yang berexpansi dan melakukan transaksi secara internasional tidak lepas dari berhadapan dengan fluktuasi tingkat mata uang antara suatu negara dengan negara lain. Dari fluktuasi mata uang inilah terdapat suatu risiko yang akan dihadapi oleh perusahaan, yakni risiko valas (valuta asing). Dengan adanya risiko ini menimbulkan dua hal yang akan dihadapi oleh suatu perusahaan MNC, diuntungkan ataukah dirugikan akibat dari fluktuasi mata uang suatu negara. Sejauh ini, sudah saatnya kita harus bersikap hati-hati dalam menghindari kondisi seperti ini karena fluktuasi mata uang tersebut sangatlah tidak jelas. Dengan demikian, perlunya menerapkan risk management yang baik dan terstruktur sehingga perusahaan dapat mengantisipasi perkembangan mutakhir dari fluktuasi harga valas dunia dan dapat segera mengambil langkah-langkah pengamanan yang tepat. Dengan demikian kesulitan financial seperti yang terjadi pada saat krisis ekonomi dapat dihindari. Gelombang globalisasi semakin kuat terutama diakibatkan oleh terjadinya kecenderungan berikut ini (Mudrajat, 2001):

Aliran dana dan modal semakin menembus batas negara mengukuhkan fenomena nationless dan borderless states. Investor asing semakin getol membeli dan menjual asset finansial dan riil. Investasi international dalam bentuk obligasi dan surat berharga pasar uang meningkat secara dramatis sebagai akibat dilonggarkannya hambatan hambatan yang menghalangi transaksi antar negara. Pada gilirannya hal ini mengakibatkan semakin populernya strategi pembiayaan dan portofolio internasional. Institusi-institusi keuangan asing semakin gencar menembus pusat-pusat keuangan dunia dan regional. Pada gilirannya fenomena ini menyebabkan menjamurnya praktik perbankan international. Perusahaan semakin banyak mencatatkan dan menawarkan sahamnya di pasar modal international sehingga memungkinkan transaksi saham berlangsung 24 jam. Pasar modal internasional kian menjadi pilihan pembiayaan usaha bagi perusahaan dan pemerintah di negara manapun. Liberalisasi dan deregulasi sektor finansial melanda hampir sebagian besar negara di seluruh dunia. Oleh karena itu, tantangan utama bagi suatu organisasi maupun perusahaan ketika mereka berpaling ke pasar global adalah mengatasi terbatasnya struktur organisasi, melakukan sentral kontrol dengan adaptasi lokal seperlunya, mentransfer pengetahuan negara, dan mengantisipasi adanya fluktuasi kurs mata uang. 1.2 Forex Exposure and Risk Management

1.2.1 Risk Management Management risiko adalah identifikasi persetujuan atau ganti rugi (offsetting) atas risiko yang mengancam profitabilitas atau keberadaan sebuah organisasi. Sehubungan dengan pertukaran mata uang asing, risk management melibatkan antara lain pertimbangan pasar, kekuasaan, negara, pengalihan, penyerahan, kredit, dan risiko counterparty.

Sedangkan dalam bukunya, Mudrajat Kuncoro menjelaskan risiko valas adalah risiko akibat adanya kemungkinan nilai mata uang yang mendenominasi aktiva/kekayaan perusahaan berfluktuasi. Total risiko valas dapar merugikan harapan aliran kas perusahaan lewat menurunnya tingkat penjualan dan meningkatnya ongkos. Total risiko valas merupakan kombinasi risiko sistematik (systematic/nondiversifiable risk) dan risiko bukan sistematik (unsystematic/diversifiable risk). Risiko sistematik adalah segala pengaruh pasar, misalnya kondisi perekonomian, yang mempengaruhi semua aktiva. Risiko bukan sistematik pada dasarnya adalah risiko-risiko lainn yang khas terjadi pada suatu perusahaan, misalnya pemogokan. Dalam konteks international, risiko-risiko yang dimaksud mencakup risiko inflasi, risiko valas, dan risiko politik. Management risiko valas memegang peranan penting dalam menetapkan strategi manajemen, terutama bagi pelaku bisnis yang terjun dalam bisnis global. Ini disebabkan karena manajemen risiko valas meliputi: (1) keputusan pembiayaan (financing decision), dalam arti bagaimana cara memperoleh dana; (2) keputusan investasi, yaitu bagaimana mengalokasikan dana yang dimiliki.

1.2.2 Forex Exposure Forex Exposure dapat diartikan sebagai suatu risiko yang akan dihadapi oleh perusahaan sebagai akibat perubahan atau fluktuasi kurs valas (Hamdy, 1998). Suatu perusahaan MNC, atau perusahaan yang melakukan transaksi international (expor dan impor) tentu arus cash flownya secara langsung akan terpengaruh oleh fluktuasi kurs valas. Misalnya jika terjadi depresiasi domestic currency atau rupiah terhadap USD dan JPY, tentu beban impor akan semakin meningkat, tetapi sebaliknya penerimaan import akan meningkat pula. Bahkan perusahaan yang tidak melakuan transaksi internasional pun secara tidak langsung akan terpengaruh dengan fluktuasi kurs valas. Adanya perubahan kurs valas tentu akan mempengaruhi supply dan demand di dalam negeri sehingga akan berpengaruh pula pada cash flow perusahaan. Pada dasarnya, pengaruh fluktuasi kurs valas tidak hanya terjadi terhadap

transaksi perusahaan, tetapi juga berpengaruh terhadap nilai sekarang (present value) dari transaksi yang dilakukan dan neraca serta laporan laba rugi perusahaan. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian adalah : perlukah mengantisipasi exposure valas? Ada pula beberapa peneliti menyatakan; does the exchange rate exposure really matter? Pendapat yang mengatakan eksposure valas tidak relevan didasari atas argumen bahwa (Mudrajat, 2001: h.263-14) : 1. Menurut teori paritas daya beli (PPP), pergerakan kurs valas akan dibarengi dengan pergerakan harga (inflasi). 2. Para investor pada perusahaan TNC, secara individual, dapat mengantisipasi risiko valas dengan tindakan lindung nilai (hedging). Dengan kata lain, risiko valas tidak relevan bagi perusahaan karena pemegang sahamnya dapat mengatasi risiko ini secara individual, dengan asumsi para investor tersebut memiliki informasi komplit mengenai eksposure perusahaan terhadap fluktuasi valas dan mampu secara individual mengantisipasi eksposure individualnya. 3. Bila pasar valas merupakan pasar yang efisien, maka lindung nilai tidak diperlukan.

Bagi importir, kondisi dimana ia tidak perlu melakukan lindung nilai untuk mengurangi risiko adalah: 1. Bila ia secara implisit mengasumsikan bahwa ia mempunyai harapan yang kuat mengenai arah pergerakan kurs, yaitu bila risiko perubahan kurs menuju arah yang merugikan amat kecil [Madura, 1989: h.316]. 2. Bila ia berharap mata uang bergerak menuju arah dimana tindakan lindung nilai tidak layak untuk dilakukan. Importir tidak akan melakukan lindung nilai atas utang-utangnya di masa mendatang bila ia memprediksi adanya depresiasi pada mata uang yang mendenominasi utang-utangnya. 3. Bila persyaratan kredit perdagangan komersialnya adalah: a. Cash on delivery b. On account credit c. Payment by bill, yang ditarik oleh importir, dengan suku bunga tetap hingga jatuh tempo [Mc-Kinnon, 1979,p.71]

Sebaliknya, bila para pemegang saham lebih menyukai agar perusahaan melakukan lindung nilai untuknya, eksposure valas menjadi relevan bagi perusahaan. Apalagi bila kondisi pasar valas tidak efisien, hedging akan menjadi tindakan yang tepat dalam mengantisipasi risiko valas. Dalam perspektif management yang prudent (hati-hati) dan pertimbangan lingkungan perusahaan, strategi menutup risiko valas secara selektif dapat menjadi strategi terbaik di masamasa mendatang [Oxel-heim and Wihlborg, 1987 h.62]. evaluasi pada akhir tiap tahun sebaiknya dilakukan untuk menyesuaikan strategi perusahaan terhadap informasi baru maupun perkembangan ekonomi global (mudrajat, 2001).

BAB II

PEMBAHASAN
Secara umum, pengaruh fluktuasi kurs valas terhadap perusahaan dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu (Hamdy, 1998): 1. Transaction Exposure 2. Economic/Operating Exposure 3. Translation/Accounting Exposure

2.1 Transaction Exposure

Transaction Exposure dapat diartikan sebagai risiko pengaruh fluktuasi kurs valas terhadap future cash transaction (Hamdy, 1998). Dalam bukunya Gregory menjelaskan transaction Exposure merupakan Relates to settling a particular transaction at one exchange rate when the obligation was originally recorded at another. Mudrajat Kuncoro memaparkan dalam bukunya bahwa eksposure transaksi mengukur keuntungan ataupun kerugian akibat adanya kewajiban finansial yang syarat-syaratnya dinyatakan dalam valuta asing. Transaction exposure ini juga berasal dari kemungkinan diperolehnya keuntungan atau kerugian usaha (net cash flows) akibat transaksi yang terlanjur menggunakan mata uang asing sebagai denominasi. Dengan kata lain, eksposure transaksi merupakan risiko terganggunya aliran kas perusahaan di masa mendatang akibat fluktuasi kurs valas. Eksposure transaksi mengukur perubahan nilai kewajiban finansial sebelum yang terjadi sebelum ada perubahan kurs valas. Pusat perhatian adalah perubahan aliran kas dari akibat kontrak yang telah ditandatangani. Exposure ini timbul karena (Mudrajat, 2001) : 1. Pembelian atau penjualan barang/jasa secara kredit, dimana harganya dinyatakan dalam valas. 2. Peminjaman atau pemberian pinjaman dana dimana pembayaran bunga dan cicilan utang dibuat dalam mata uang asing. 3. Menjadi suatu kontrak forward yang tidak jadi (unperformed foreign exchange forward contract)

4. Memperoleh aktiva ataupun mendatangkan kewajiban yang didenominasi dalam valas.

Bila eksposure benar-benar ada, maka perusahaan menghadapi tiga tugas utama [Madura, 1989: h.280], pertama, perusahaan harus mengidentifikasikan derajat eksposure transaksi. Kedua, perusahaan harus memutuskan perlu atau tidak menghilangkan (baca: hedging) eksposure ini, perusahaan harus memilih berbagai teknik lindung nilai yang tersedia. Sebelum perusahaan memutuskan untuk melakukan hedging atau tidak, ia mau tidak mau harus mengidentifikasikan masing-masing eksposure transaksi bersih (net transaction exposure) pada setiap mata uang. Istilah bersih mengacu kepada konsolidasi semua aliran kas masuk dan kas keluar yang diharapkan pada kurun waktu dan dalam mata uang tertentu. Manajemen pada setiap cabang memegang peranan penting dalam setiap proses pelaporan aliran kas masuk dan keluar yang diharapkan. Kemudian, kantor pusat grup perusahaan akan melakukan konsolidasi laporan-laporan cabang untuk mengidentifikasi posisi keuangan bersih yang diharapkan pada setiap valas selama beberapa periode mendatang, suatu TNC/MNC dapat mengidentifikasikan eksposurenya dengan meninjau ulang konsolidasi posisi keuangan perusahaan-perusahaan cabang. Untuk mengetahui eksposure bersih di setiap mata uang pada semua cabang perusahaan, TNC/MNC pertama-tama harus mengidentifikasikan posisi masing-masing cabangnya untuk seluruh mata uang yang digunakan. Sebagaimana pula dijelaskan oleh Hamdy dalam bukunya, pengukuran risiko eksposure transaksi ini melalui dua tahapan, yaitu sebagai berikut (Hamdy, 1998):

a. Menentukan perkiraan Neto dari Inflow dan Outflow dalam setiap valas Misalnya, suatu perusahaan internasional memiliki dua subsidiary yang mempunyai transaksi sebagi berikut: Subsidiary X mempunyai net inflow Subsidiary Y mempunyai net outflow Konsolidasi net outflow : USD 500,000.00 : USD 600,000.00 : -USD 100,000.00

Dalam hal ini, jika USD apresiasi terhadap rupiah, maka net effectnya akan merugikan perusahaan karena nilai outflownya meningkat dan sebaliknya jika USD depresiasi

terhadap rupiah, maka akan menguntungkan perusahaan karena nilai outflownya menurun jika dinilai dalam rupiah.

b. eksposure dari seluruh valas

Menentukan tingkat risiko atau

Perusahaan yang memiliki beberapa transaksi dalam berbagai valas dapat menjumlahkan seluruh hasil konversi transaksi valas ke dalam mata uang lokal atau domestic currency seperti contoh transaksi pada sebuah MNC Amerika sebagaimana dicontohkan dalam table di bawah ini: Currency CAD DEM FRF CHF Inflow 2M 10M 100M 1M Outflow 6M 12M 60M 6M Netto 4M (-) 2M (-) 40M (+) 5M (-) Range of Forex USD0.79-0.81 USD0.48-0.52 USD0.09-0.11 USD0.56-0.64 Range of Netto USD3.16M-3.24M USD0.96M-1.40M USD3.60M-4.40M USD2.80M-3.20M

Dari data/informasi di atas dapat dicatat beberapa hal penting sebagai berikut: Pada posisi diatas, net position dalam forex tidak dapat dilakukan offsetting. Open position terbesar (nonoffset) adalah dalam FRF, yaitu net inflow FRF40M. Dengan menggunakan kemungkinan range of forex rate untuk USD, dapat ditentukan nilai minimun dan nilai maximum kemungkinan nilai inflow dan outflow untuk masing-masing forex seperti tercantum dalam kolom range of netto. Transaction exposure untuk setiap forex akan ditentukan oleh, 1. masing-masing forex, 2. rate untuk suatu periode dan forex tertentu Besarnya kemungkinan range forex Besarnya open position untuk

Berdasarkan kemungkinan range forex rate pada kolom 5 ternyata, 1. Risiko atau transaction exposure terbesar berdasarkan nilai open position adalah FRF, yaitu FRF4.40M 2. Transaction adalah dalam CHF, yaitu USD0.058 (USD0.56-0.64) exposure terbesar

2.2 Economic/Operating Exposure

Economic Exposure dapat diartikan sebagai risiko pengaruh fluktuasi kurs valas terhadap present value dari future cash flow (Hamdy, 1998). Dalam bukunya Gregory menjelaskan transaction Exposure merupakan involves changes in expected future cash flows, and hence in Economic value, caused by a change in exchange rates. Mudrajat Kuncoro memaparkan dalam bukunya bahwa eksposure ekonomi didefinisikan sebagai seberapa jauh nilai perusahaan (diukur dengan nilai sekarang dari harapan aliran kas) akan berubah bila kurs valas berubah ke arah yang tidak diharapkan. Perubahan nilai tersebut tergantung pada dampak perubahan kurs valas terhadap volume penjualan, harga dan biaya di masa yang akan datang. Eksposure ekonomi pada dasarnya merupakan cara melihat eksposure dalam jangka panjang dalam suatu perusahaan yang terlibat dalam bisnis international dan multitransaksi. Eksposure ekonomi jauh lebih penting bagi kesehatan jangka panjang suatu usaha bisnis dibanding perubahan yang diakibatkan oleh eksposure transaksi maupun eksposure akuntansi. Kendati demikian, eksposure ekonomi seringkali dinilai subyektif karena tergantung dari estimasi perubahan aliran kas di masa mendatang dalam suatu kurun waktu arbitrer. Dengan kata lain, eksposure ekonomi tidak berasal dari proses akuntansi namun berasal dari analisis operasi (ekonomi). Perencanaan mengenai eksposure ekonomi merupakan tanggungjawab total manajemen karena mencakup interaksi strategi keuangan, pemasaran, pembelian, dan produksi. Ilustrasi tentang economic exposure dapat dilihat pada contoh dibawah ini:

Dampak apresiasi mata uang lokal terhadap eksposure ekonomi terlihat pada kolom dua tabel diatas. Penjualan perusahaan untuk pasar lokal diperkirakan akan turun akibat apresiasi mata uang lokal. Ini disebabkan meningkatnya persaingan karena konsumen lokal dapat memperoleh produk pengganti di luar negeri yang lebih murah. Seberapa jauh menurunnya penjualan lokal akan tergantung dari derajat persaingan antara produk asing dengan produk lokal di pasar domestik. Aliran kas yang berasal dari ekspor yang dinilai dalam mata uang lokal kemungkinan akan menurun akibat apresiasi mata uang lokal. Alasannya, importir asing membutuhkan lebih banyak devisa untuk membeli produk ekspor. Ekspor yang dinilai dalam mata uang asing kemungkinan juga akan menurunkan aliran kas masuk meskipun dengan alasan yang berbeda. Permintaan atas produk perusahaan oleh importir asing tidak akan berubah, karena importir tersebut menggunakan mata uang sendiri dan tidak perlu mendapatkan mata uang lokal yang digunakan oleh perusahaan. Namun ketika perusahaan menerima aliran kas masuk dalam mata uang asing, maka ia harus mengkonversikannya ke dalam mata uang lokal. Bila mata uang lokal mengalami apresiasi, aliran masuk ini akan berkurang nilainya. Demikian juga setiap bunga / dividen yang diterima dari investasi asing akan berkurang nilainya bila dikonversikan ke dalam mata uang lokal yang mengalami apresiasi. Berkaitan dengan arus kas keluar, biaya mengimpor bahan baku yang dinilai dalam mata uang lokal tidak akan secara langsung terpengaruh oleh setiap perubahan kurs valas. Kendati demikian, biaya impor bahan baku dalam mata uang asing akan berkurang bila mata uang lokal

mengalami apresiasi. Ini diakibatkan karena ditukarnya mata uang lokal yang menguat dengan valas untuk membayar bunga. Secara umum, apresiasi mata uang lokal akan menyebabkan penurunan baik dalam aliran kas masuk maupun aliran kas keluar. Oleh karena itu, sulit untuk melakukan generalisasi apakah aliran kas bersih (net cashflows) akan meningkat atau menurun akibat apresiasi mata uang lokal. Dampak apresiasi mata uang lokal terhadap aliran kas bersih agaknya tergantung apakah variable-variable yang mempengaruhi aliran kas masuk dipengaruhi secara lebih tinggi atau lebih rendah dibanding variable yang mempengaruhi aliran kas keluar. Sebagai contoh, bila perusahaan yang terjun dalam bisnis ekspor, namun memperoleh bahan baku dan dana pinjaman secara lokal, maka variable aliran kas masuknya akan berkurang dalam tingkat yang lebih tinggi dibanding variable aliran kas keluarnya. Sebaliknya, aliran kas masuk perusahaan, yang konsentrasi penjualannya ke pasar lokal dengan sedikit persaingan dengan produk asing, akan tidak banyak berkurang bila mata uang lokal mengalami apresiasi. Bila perusahaan ini mendapatkan bahan baku dan dana pinjaman dari luar negeri, maka aliran kas keluarnya akan berkurang. Hasil akhirnya, aliran kas bersih perusahaan akan membaik akibat apresiasi mata uang lokal. Contoh, sebuah perusahaan Indonesia memproduksi kayu lapis untuk pasar dalam negeri dan mengekspor ke Jepang yang dinilai dalam JPY. Diasumsikan skenario fluktuasi kurs RP/JPY dan perkiraan penjualan dalam negri sebagai berikut:

KURS JPY

Perkiraan Penjualan dalam Negeri

Rp 20/JPY Rp 21/JPY Rp 22/JPY

Rp 200 juta Rp 225 juta Rp 250 juta

Diasumsikan pula income statement perusahaan dari pemasaran dalam negeri dan di Jepang yang meliputi:

Income Statement Sales Cost of Goods Sold Gross Profit Operating Expense EBIT Interest Expense (20%) EBT

Dalam Negeri Rp 225 juta Rp 100 juta Rp 125 juta Rp 45 juta Rp 80 juta Rp 16 juta Rp 64 juta

Jepang JPY 10.0 juta JPY 10.0 juta JPY 0.0 juta JPY 0.0 juta JPY 1.5 juta -JPY 1.5 juta

Berdasarkan asumsi skenario perubahan kurs valas diatas, economic exposure yang mungkin terjadi terhadap income statement perusahaan dapat diukur sebagaimana tercantum pada skenario di tabel bawah ini:

Apresiasi rupiah dari Rp 21/JPY menjadi Rp 20/JPY ternyata menyebabkan EBT menurun 32,5 juta rupiah menjadi 9 juta rupiah atau rugi. Depresiasi rupiah dari Rp 21/JPY menjadi Rp 22/JPY ternyata menyebabkan EBT meningkat dari 32,5 juta rupiah menjadi 56 juta rupiah. Kesimpulan pokok yang dapat dicatat dari perhitungan diatas adalah bahwa setiap perubahan kurs valas akan berpengaruh terhadap present value dari cash flow atau penerimaan dan pengeluaran perusahaan.

Dampak Exposure Ekonomi (Mudrajat, 2001) 1. Jangka Pendek = dampak pertama terhadap aliran kas perusahaan adalah dalam anggaran yang berjalan dalam satu tahun. Kerugian ataupun keuntungan tergantung dari mata uang yang mendasari aliran kas yang diharapkan. 2. Jangka Menengah; kasus Ekuilibrium = dalam tahap ke-2 adalah pada aliran kas jangka menengah seperti ditunjukkan dalam anggaran 2 hingga 5 tahun, dengan asumsi kondisi ekuilibrium (keseimbangan) terjadi antara kurs valas, inflasi, dan suku bunga domestik. Dalam kondisi ekuilibrium, perusahaan dapat menyesuaikan harga dan biaya sepanjang waktu agar dapat mempertahankan aliran kas pada tingkat yang diharapkan. Kebijakan moneter, fiskal, dan neraca pembayaran amat menentukan apakah kondisi ekuilibrium akan terjadi dan apakah perusahaan diperbolehkan untuk menyesuaikan harga dan biaya. 3. Jangka Menengah; kasus ketidakseimbangan = dalam kasus ini, perusahaan tidak dapat menyesuaikan harga dan biayanya akibat perubahan kurs valas. Realisasi aliran kas perusahaan akan berbeda dengan aliran kas yang diharapkan. Karena tidak diantisipasi maka nilai pasar perusahaan bisa saja berubah. 4. Jangka Panjang = yaitu, periode diatas 5 tahun. Aliran kas perusahaan akan dipengaruhi oleh reaksi pesaing yang ada maupun potensial terhadap perubahan kurs dalam kondisi ketidakseimbangan. Memang harus diakui, semua perusahaan, tidak peduli orientasi pasarnya domestik, internasional, maupun multinasional, akan terkena eksposure ekonomi dalam jangka panjang apabila pasar valas tidak berada dalam kondisi keseimbangan secara terus-menerus.

2.3 Translation/Accounting Exposure

Accounting Exposure dapat diartikan sebagai risiko pengaruh fluktuasi kurs valas terhadap consolidated financial statement perusahaan (Hamdy, 1998). Dalam bukunya Gregory menjelaskan transaction Exposure merupakan Relates to the change in accounting income and balance sheet statements caused by changes in exchange rates.

Mudrajat Kuncoro memaparkan dalam bukunya bahwa eksposure translation yang merupakan seberapa jauh laporan keuangan konsolidasi dan neraca suatu perusahaan dipengaruhi oleh fluktuasi kurs valas. Masalah eksposure akuntansi muncul karena laporanlaporan keuangan perusahaan cabang perlu dikonsolidasikan oleh kantor pusat pada suatu kurs mata uang yang kursnya berbeda dengan kurs pada saat terjadinya transaksi. Laporan keuangan konsolidasi umumnya digunakan oleh manajemen perusahaan untuk menilai kinerja perusahaan afiliasi di luar negeri. Bila kurs valas berubah sejak periode pelaporan sebelumnya, maka translation atau penilaian ulang atas asset, utang, penerimaan, biaya, laba dan rugi yang didenominasi dalam valas akan menyebabkan laba/rugi valas. Kemungkinan laba/rugi ini diukur oleh angka eksposur akuntansi. Perusahaan TNC/MNC yang tidak peduli dengan eksposure akuntansi umumnya berpendapat bahwa pendapatan yang diperoleh oleh cabang-cabang perusahaan tidak perlu dikonversi dalam mata uang perusahaan induknya. Ini diakibatkan karena mereka tidak yakin eksposure akuntansi relevan. Kendati demikian, agaknya perlu dipahami apa yang mempengaruhi derajat eksposure perusahaan terhadap kemungkinan laba/rugi karena konversi laporan keuangan. Besar kecilnya eksposure akuntansi tergantung dari: 1) Seberapa jauh peranan cabang-cabang perusahaan di luar negeri. Semakin besar persentase bisnis perusahaan yang dilakukan oleh cabang di luar negeri, maka semakin besar persentase pos pos laporan keuangan yang mudah terpengaruh eksposure akuntansi. 2) Lokasi cabang-cabang perusahaan di luar negeri. Ini diakibatkan karena pos pos laporan keuangan di setiap cabang biasanya dinyatakan dalam mata uang lokal di negara tersebut. 3) Standar akuntansi yang dipergunakan. Setiap negara umumnya mempunyai standar akuntansi khusus dan sudah baku, yang amat bervariasi antar negara.

Berikut ini dicontohkan translation/accounting exposure yang dialami oleh suatu perusahaan MNC-USA yang memiliki subsidiary di UK.

THN Pelaporan Tahun 1 Tahun 2

Sub Earning GBP 5M GBP 6M

Avarage Forex Rate USD 2.40/GBP USD 1.15/GBP

Translation Earning USD 12.0 M USD 6.9 M

Dari contoh diatas dapat dilihat bahwa meskipun penerimaan sub.company di UK meningkat 20%, yaitu dari GBP5M GBP6M, ternyata consolidated income statement MNCUSA tersebut menurun sebesar USD5.1M (USD12.0M-USD6.9M). Hal ini dapat terjadi karena depresiasi GBP yang relatif besar, yaitu dari USD2.40/GBP menjadi GBP1.15/GBP dan bukan karena kesalahan atau kegagalan subsidiary UK.

2.4 Hedging VS Speculation

Pada bagian ini sedikit akan saya singgung mengenai upaya strategi manajemen risiko valuta asing, yakni pemagaran risiko kurs atau biasa kita sebut dengan hedging. Pemagaran risiko kurs (hedging) identik dengan upaya menghindari risiko kurs, atau penutupan posisi terbuka. Sebagai contoh, misalnya dimana importir di AS berusaha menghindari kenaikan kurs. Katakanlah untuk menghindari risiko kurs tersebut importir meminjam 100.000 berdasarkan kurs spot yang tengah berlaku SR = $/1, lalu menyimpannya di salah satu bank selama 3 bulan sebagai deposito (jadi, di samping pengamanan terhadap risiko kurs tersebut, ia juga akan menerima suku bunga dari deposito yang ditanamkannya). Maksudnya, begitu kewajiban pembayaran telah jatuh tempo telah tersedia sejumlah 1, lalu menyimpannya di salah satu bank selama 3 bulan sebagai deposito (jadi, di samping pengamanan terhadap risiko kurs tersebut, ia juga akan menerima suku bunga dari deposito yang ditanamkannya). Maksudnya, begitu kewajiban pembayaran telah jatuh tempo telah tersedia sejumlah 100.000 persis sesuai dengan jumlah yang dibutuhkannya. Dengan melakukan tindakan ini importir tersebut menghindari perubahan kurs spot yang akan berlaku 3 bulan mendatang yang bisa mengakibatkannya menyerahkan pembayaran yang nilainya lebih dari $200.000. biaya pemagaran risiko kurs ini sama dengan selisih positif antara suku bunga pinjaman 100.000 yang telah diambilnya, dan

suku bunga deposito $200.000 yang tentunya lebih rendah. Karena kebijakan setiap bank pasti menetapkan suku bunga deposito lebih rendah dari pada suku bunga pinjaman. Akan tetapi, jika dipandang secara sekilas, aksi pemagaran risiko seperti contoh diatas memiliki kelemahan yang sangat serius. Dimana investor harus membekukan dananya selama 3 bulan. Bagi seorang pembisnis jelas hal ini tidak produktif, sehingga atas dasar inilah maka dalam prakteknya sebagian besar upaya pencegahan atau pemagaran risiko kurs banyak dilakukan di pasar berjangka, dimana dalam transaksinya tidak membebankan kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk menarik pinjaman. Jelas sudah bahwa dalam perekonomian dewasa ini dipenuhi oleh berbagai ketidakpastian. Kemampuan para pedagang dan investor untuk memagari risiko kurs sangat memberikan kontribusi yang baik bagi berlangsungnya arus perdagangan dari investasi internasional. Tanpa adanya peluang ini, maka bisa dipastikan arus permodalan internasional yang berlangsung akan lebih kecil, demikian pula halnya dengan hubungan dagang dan spesialisasi produksi antarnegara sehingga keuntungan yang bersumber dari perdagangan pun terbatas. Sehingga disinilah perlunya setiap bank untuk berusaha sejauh mungkin menutup posisinya yang terbuka dengan menukarkan kelebihan valasnya dengan bank-bank lain yang sekiranya membutuhkan valas tersebut agar dapat memastikan kebutuhan akan valas dapat terorganisir dengan baik. Spekulasi adalah kebalikan dari pemagaran risiko kurs. Apabila seorang pelaku pasar valas melakukan pemagaran risiko kurs, itu berarti ia sengaja menghindari risiko kurs, sedangkan spekulator justru menantang risiko kurs atau menciptakan posisi terbuka dalam rangka menciptakan keuntungan seketika. Dalam teori dan prakteknya, keuntungan itu memang akan tercipta jika antisipasi spekulator terhadap perubahan kurs spot yang akan terjadi benar adanya. Namun sebaliknya, jika antisipasi tersebut diluar dugaan, maka yang akan dialami oleh spekulator adalah kerugian. Sama halnya dengan kasus pemagaran risiko kurs, spekulasi dapat berlangsung dalam pasar spot, pasar berjangka, pasar futures, maupun pasar option. Namun dalam kenyataannya, sebagian besar transaksi spekulasi berlangsung di pasar berjangka. Jika kita amati, perbedaan antara spekulasi dan hedging sangat amat tipis sekali. Baik hedging maupun spekulasi sama-sama menggunakan instrment derivatif sebagai objek transaksinya, yang membedakan hanyalah tujuan dari kenapa transaksi tersebut dilakukan. Pelaku usaha sematamata hanya bertransaksi dipasar berjangka dalam rangka untuk melakukan pemagaran risiko

akibat dari adanya fluktuasi nilai tukar dan menjadikannya sebagai sarana pendukung dalam kegiatan usahanya, yakni expor dan import. Sedangkan spekulator, memanfaatkan instrument derivatif dan perbedaan kursnya guna meraup keuntungan instant dari transaksi ini. Tanpa harus mengeluarkan keringat cukup hanya dengan mengamati pergerakan kurs valas melalui berbagai media, seorang spekulan sudah mampu meraup keuntungan dengan catatan spekulan juga tidak lepas dari rugi dalam berspekulasi. Berdasarkan pada data, nilai transaksi dipasar valas adalah mencapai hingga US$ 1,5T, artinya sejumlah itulah uang tidak beredar di sektor riil, akan tetapi sektor keuangan. Informasi yang lebih mengjutkan lagi adalah hanya 2% dari total keseluruhan transaksi derivatif tersebut digunakan dengan diback-up underlying asset yang jelas, yakni expor impor. Sisanya, 98% merupakan aktifitas spekulasi pada instrument derivatif. Wajar saja, jika pada tulisan saya di pendahuluan pertama sempat saya singgung sedikit masalah krisis global yang terjadi di penghujung tahun 2008 ini. Dimana krisis ini bermula dari kesulitan financial yang teradi dan bermuara di sektor keuangan, hal ini pun tak lepas dari peran produk derivatif di pasar uang yang pada hakikatnya esensi keberadaannya adalah sebagai salah satu sarana pendukung transaksi perdagangan internasional dengan mewujudkan peran masyarakat akan tetapi disalahgunakan untuk berjudi, sehingga tak ayal krisis pun tak bisa dihindari jika sistem perekonomian masih mengagungkan sistem kapitalis seperti sekarang ini.

2.5 Forex Risk Management in Islamic Perspective

2.5.1 Pendahuluan

Ajaran Islam diturunkan sebagai tuntunan hidup yang senantiasa mengatur kebutuhan umat manusia agar sejalan dengan prinsip-prinsip dasar norma agama. Demikian halnya Islam mengatur bermuamalah dan berbisnis. Dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Quran, muamalah yang baik yakni diantaranya ketiadaan transaksi yang bersifat maghrib (maysir/judi, gharar/tidak jelas/, dan riba). Maysir atau spekulasi mendorong aktivitas bisnis yang tidak produktif dan transaksi ribawi yang mengakibatkan exploitasi ekonomi oleh para pemilik modal, sektor riil pun sulit tumbuh berkembang melalui perdagangan. Pertukaran barang sejenis yang bersifat ribawi

(riba fadlh) sebagaimana yang terjadi pada transaksi tranding instrumen derivatif di pasar sekunder terutama dengan underlying valas juga sangat berpotensi memandulkan pertumbuhan ekonomi yang hakiki. Demikianlah Islam dengan segala aturan-aturannya mengatur pejalanan bisnis yang baik. Bermuamalah sesuai dengan koridor dan petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah jelas dapat menciptakan kemaslahatan bagi pelakunya. Seiring dengan semakin majunya perkembangan transaksi bermuamalah dewasa ini, dimana tidak hanya melibatkan satu negara saja akan tetapi juga negara-negara dunia, perdagangan internasional pun wujud dengan segala instrumeninstrumen marginal guna mendukung kelancaran transaksinya. Perbedaan mata uang yang digunakan antar setiap negara juga merupakan salah satu faktor wujudnya instrumen-instrumen terkait dengan muamalah menggunakan mata uang yang berbeda. Untuk lebih memperjelas pembahasan pada topik ini, baiknya diawali dengan bagaimana pandangan Islam terhadap uang.

2.5.2 Konsep Uang dalam Pandangan Islam

Di zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya, perdagangan Internasional juga telah lebih dulu ada. Seperti misalnya Hijaz, dengan kondisi geografisnya yang sangat strategis dan menguntungkan karena menjadi rute perdangan antara Persia dan Roma serta daerah-daerah jajahan keduany, seperti Syam, Etiopia, dan Yaman. Disamping itu, selama berabad-abad, wilayah selatan dan timur Jazirah Arab juga menjadi rute perdagangan antara Roma dan India yang terkenal sebagai rute perdagangan selatan. Dengan timbulnya pasar-pasar musiman yang ada didaerah Yaman, Hijaz, dan Syam terutama di Sana (ibukota Yaman), Yastrib dan Makkah, para kafilah dagang memperoleh keuntungan dan dapat melakukan perdagangan. Demikian halnya dengan rute perdagangan lain yang melewati wilayah Utara Jazirah Arab, dan banyak lagi rute lainnya yang wujud diantara Yaman dan Syam(Karim, 2004). Hal tersebut menjadi bukti bahwa perdagangan merupakan dasar perekonomian di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Prasyarat untuk melakukan transaksi adalah adanya alat pembayaran yang dapat dipercaya. Secara alamiah transaksi yang berada di daerah Mesir atau Syam menggunakan mata uang dinar sebagai alat tukar, sementara itu di kekaisaran Persia menggunakan dirham. Ekspansi yang dilakukan Islam ke wilayah kekaisaran Peria dan kaisaran

Romawi menyebabkan perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan Imam Ali, dinar dan dirham merupakan satu-satunya mata uang yang digunakan. Selain menggunakan dinar dan dirham, alat pembayaran lain yang digunakan juga adalah kredit. Ekspansi perdagangan di Arabia yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya bahkan sebelum munculnya Islam menuntut penggunaan kredit. Selain memiliki kelebihan yang dimiliki dinar-dirham sebagai alat pembayaran, kredit memiliki keuntungan lainnya. Misalnya untuk melakukan transaksi yang cukup tinggi sehingga membutuhkan lebih banyak koin digunakan. Dan hal ini tentunya tidak praktis. Oleh sebab itulah kredit pun dibutuhkan sebagai alat pembayaran transaksi perdagangan terutama yang mencakup beberapa negara. Dari sini pulalah surat wesel dagang dan cek serta jenis instrumen pembayaran lainnya diperkenalkan. Berdasarkan history diatas jelas bahwasannya fungsi uang adalah sebagai alat pertukaran dalam bertransaksi dan menilai suatu barang dan jasa. Islam juga memerpekalkan dinar dan dirham sebagai alat transaksi yang sah karena dinar dan dirham nilainya relatif stabil. Sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam perputaran mata uang. Sebagaimana Syeh Taqiyuddin An Nabhani menyatakan Islam telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan pertukaran dengan mempergunakan apa saja yang dia sukai. Hanya saja, pertukaran barang dan jasa dengan satuan uang tertentu itu telah ditunjukkan ileh Islam satu sistem moneter. Dan Islam telah menetapkan bagi kaum muslimin kepada jenis tertentu yaitu emas dan perak (An Nidzam Al Iqtishadi fil Islam). Sekarang permasalahannya adalah, dalam transaksi perdagangan internasional dewasa ini, instrumen yang diwujudkan guna memberikan kemudahan bertransaksi pada akhirnya disalahgunakan oleh pelaku-pelaku pasar uang untuk melakukan spekulasi guna meraup keuntungan dari selisih mata uang satu negara dan negara yang lain. Sebetulnya permasalahan utama berakar dari jenis mata uang itu sendiri yang digunakan oleh berbagai negara dunia dengan beragam jenis mata uang. Hard currency dan soft currency pun muncul. Jika sudah seperti ini, gap nilai mata uang yang ada mempunyai ketertarikan sendiri bagi para pelaku pasar uang untuk berspekulasi tanpa kerja keras, hanya tinggal duduk dan menunggu jawaban dari pergerakan fluktuasi mata uang, apakah nantinya dia akan untung, atau sebaliknya, rugi. Sehingga fungsi uang itu sendiri sudah tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar akan tetapi sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan.

Sistem moneter yang diterapkan dewasa ini adalah sistem moneter kapitalis berbasis fiat money. Sehingga, sangat amat wajar jika dalam melakukan transaksi internasional pengusaha/pelaku bisnis dihadapkan pada adanya fluktuasi nilai tukar yang berubah sesuai dengan permintaan dan penawaran pasar. Fluktuasi ini pulalah yang menyebabkan kesulitan bagi para pelaku usaha dalam memprediksikan proyeksi cashflow mereka kedepan. Sehingga dibutuhkan suatu management risiko yang baik dan terstruktur guna meminimalisir risiko yang dihadapi oleh pelaku usaha. Dewasa ini ada beberapa instrument pasar uang yang ditawarkan guna menjadi alat lindung nilai akibat dari fluktuasi mata uang. Dari sinilah dapat kita lihat dan analisa apakah instrument lindung nilai yang ditawarkan pasar uang dewasa ini sudah sesuai dengan syariat Islam atau tidak.

2.5.3 Forex dalam Perspektif Islam

Sebelum melanjutkan pada pembahasan mengenai bagaimana Islam memandang manajemen risiko yang digunakan dewasa ini guna meminimalisir risiko fluktuasi mata uang, lebih baiknya kita bahas dulu bagaimana Forex (asal-muasal dari instrument hedging wujud ini) dalam kontex Islam. Sebagian umat Islam meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu (HR. Abu Hurairah) Oleh sebagian fuqaha, hadist tersebut ditafsirkan secara fix, dimana setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad hukumnya haram. Akan tetapi, sejumlah ulama klasik menentang cara penasiran yang terkesan sempit tersebut. Seperti Ibn al-Qayyim, ulama yang bermazhab Hambali ini berpendapat bahwa, tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al-Quran, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam sunnah nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, seperti mislanya menjual unta yang hilang dan sebagainya. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi karena satu dan lain hal tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut tidak sah.

Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dikategorikan almasail almuashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyah. Klasifikasi ijtihadiyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Menurut prinsip muamalah syariah jual beli mata uang yang disetarakan dengan emas (dinar) dan perak (dirham) haruslah dilakukan dengan tunai/ kontan (naqdan) agar terhindar dari transaksi ribawi, sebagaimana dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW bersabda: emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, sagu dengan sagu, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, dalam hal sejenis dan sama haruslah secara kontan. Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian dengan syarat secara kontan (HR. Muslim) Pada prinsip syariahnya, perdagangan valas dapat dianalogikan dengan pertukaran antara emas dan perak yang dalam terminologi fiqh dikenal dengan sharf . Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya misalnya rupiah kepada rupiah atau dolar dengan dolar kecuali sama jumlahnya, seperti misalnya pecahan kecil ditukarkan dengan pecahan besar asalkan jumlah nominalnya sama. Karena jika tidak, hal itu akan menimbulkan riba fadlh. Namun jika berbeda jenisnya, seperti nilai Rupiah kepada Dolar atau sebaliknya maka dapat ditukarkan sesuai dengan market rate (harga pasar) dengan catatan harus efektif kontan. Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli atau harga pasar (market rate). Dengan demikian, dunia perbankan termasuk bank syariah sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan internasional (ekspor-impor) maupun kebutuhan masyarakat terhadap penukaran valuta asing terlibat di pasar valas. Transaksi penukaran valas di bank syariah yang biasa dilakukan dapat dikategorikan sebagai naqdan (spot) meskipun penyerahan dan penerimaan tersebut tidak terjadi pada waktu transkasi diputuskan.

Dr Setiawan Budi Utomo, salah satu konsultan syariah dalam blognya menjelaskan mengenai beberapa transaksi valas dalam pandangan Islam, yakni: Pertama; perdagangan tanpa proses penyerahan (future non delivery trading) seperti margin trading yaitu transaksi jual-beli valas yang tidak diikuti dengan pergerakan dana dengan menggunakan dana (cash margin) dalam prosentase tertentu (misalnya 10% sebagai jaminan)

dan yang diperhitungkan sebagai keuntungan atau kerugian adalah selisih bersih (margin) antara harga beli/jual suatu jenis valuta pada saat tertentu dengan harga jual/beli valuta yang bersangkutan pada akhir masa transaksi. Contohnya dengan margin 10% untuk transaksi US$ 1 juta, pembeli harus menyerahkan dana US$100.000. Dalam perbankan Indonesia, margin trading diatur dalam ketentuan BI dengan minimal cash margin 10%. Dalam sehari dealer maupun bank dapat melakukan transaksi ini berulang-ulang. Adapun penyelesaian pembayaran dan perhitungan untung-ruginya dilakukan secara netto saja. Jadi, jual beli valas yang dilakukan bukan untuk memilikinya, melainkan semata-mata menjadikannya sebagai komoditas untuk spekulasi. Transaki seperti ini jelas dilarang dalam Islam karena mengandung unsur judi, sehingga hukumnya diharamkan. Kedua; transaksi futures yaitu transaksi valas dengan perbedaan nilai antara pembelian dan penjualan future yang tertuang dalam future contracts secara simultan untuk dikirim dalam waktu yang berbeda. Misalnya, A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. A akan menjual US$ 1 juta dengan kurs Rp 9.350 per US$ pada 30 Juni 2008, tidak peduli berapa kurs di pasar saat itu. Di satu sisi transaksi ini dapat dipandang sebagai spekulasi, paling tidak berunsur maysir, meskipun disisi lain para pelaku bisnis pada beberapa kasus menggunakannya sebagai mekanisme hedging (melindungi nilai transaksi berbasis valas dari risiko gejolak kurs). Ulama kontemporer menolak transaksi ini karena tidak terpenuhinya rukun jual beli yaitu ada uang ada barang (dalam hal ini ada rupiah ada dollar). Oleh karena itu, transaksi futures tidak dapat dianggap sebagai transaksi jual beli, tetapi dapat ditransfer kepada pihak lain. Alasan kedua penolakannya adalah hampir semua transaksi futures tidak dimaksudkan untuk memilikinya, hanya nettonya saja sebagaimana transaksi margin trading. Ketiga; transaksi option (currency option) yaitu perjanjian yang memberikan hak opsi (pilihan) kepada pembeli opsi untuk merealisasi kontrak jual beli valutaa asing, tidak diikuti dengan pergerakan dana dan dilakukan pada atau sebelum waktu yang ditentukan dalam kontrak, dengan kurs yang terjadi pada saat realisasi tersebut. Misalnya, A dan B membuat kontrak pada 1 Januari 2008. A memberikan hak kepada B untuk membeli dollar AS dengan kurs Rp 9.350 per dolar pada tanggal atau sebelum 30 Juni 2008, tanpa B berkewajiban membelinya. A mendapat kompensasi sejumlah uang untuk hak yang diberikannya kepada B tanpa ada kewajiban pada pihak B. Transaksi ini disebut call option. Sebaliknya, bila A memberikan hak kepada B untuk menjualnya disebut put option. Ulama kontemporer memandang hal ini sebagi janji untuk

melakukan sesuatu (menjual atau membeli) pada kurs tertentu, dan ini tidak dilarang syariah. Namun jelas saja transaksi ini bukan transaksi jual beli melainkan sekedar waad (janji). Yang menjadi persoalan secara fikih adalah adanya sejumlah uang sebagai kompensasi untuk melakukan janji tersebut atau untuk memiliki khiyar (opsi) jual maupun beli. Keempat, adalah transaksi swaps (currency swap) yaitu perjanjian untuk menukar suatu mata uang dengan mata uang lainnya atas dasar nilai tukar yang disepakati dalam rangka mengantisipasi risiko pergerakan nilai tukar pada masa mendatang. Singkatnya, transaksi swap merupakan transaksi pembelian dan penjualan secara bersamaan sejumlah tertentu mata uang dengan dua tanggal penyerahan yang berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang tersebut dilakukan oleh bank yang sama dan biasanya dengan cara spot terhadap forward Artinya satu bank membeli tunai (spot) sementara mitranya membeli secara berjangka (forward) . Salah satu contoh transaksi swaps adalah bila bank A dan bank B membuat kontrak untuk bertukar deposito rupiah terhadap dolar pada kurs Rp 9.500 per dolar pada 1 Januari 2008. B menempatkan US$ 1 juta. A menempatkan Rp 9,5 miliar, terlepas dari kurs pasar saat itu. Ulama kontemporer juga menolak transaksi ini karena kedua trasaksi itu terkait (adanya semacam taalluq) dan merupakan satu kesatuan sebagaimana difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional-MUI. Sebab, bila yang satu dipisahkan dari yang lain, maka namanya bukan lagi transaksi swaps dalam pengertian konvensional. Adapun pendapat yang membeolehkan transaksi swaps sebagaimana lazim dianut perbankan Islam di Malaysia bahkan menurut mereka kebolehannya dianggap telah demikian jelas sehingga tidak diperlukan lagi fatwa dengan alasannya bahwa bila spot boleh dilakukan dan futures (sebagian suatu janji) juga boleh, maka tentunya swaps pun boleh dilakukan. Namun paling tidak, masih ada dua hal yang dapat dipertanyakan dalam praktek ini yaitu; pertama, bagaimana dengan keberatan sementara ulama akan adanya kompensasi uang untuk transaksi futures yang dibayarkan kepada konterpartinya. Kedua transaksi spot dan futures dalam transaksi swaps itu haruslah terkait satu sama lain. Kontra argumen dari alasan kedua ini adalah dua transaksi dapat saja disyaratkan terkait, selama syaratnya adalah syarat shahih lazim. Bukan hanya swaps yang dibolehkan, dinegara jiran ini juga dikembangkan Islamic Futures Contract. Terlepas dari argumen mana yang lebih kuat dalilnya, adalah kewajiban kita disamping mencari sisi kehati-hatian dan kepatuhan syariah, juga untuk selalu mencari solusi inovasi transaksi yang

islami sebagai kebutuhan dunia bisnis akan transaksi dan peranti keuangan (financial instruments) yang terus berkembang. Kelima; praktik oversold yaitu melakukan penjualan melebihi jumlah yang dimiliki maupun dibeli, karena ulama melarang penjualan sesuatu yang tidak dimiliki sebagaimana pesan hadits Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau kuasai/miliki (la tabi ma laisa indaka). Adapun jenis transaksi forward pada perdagangan valas yang sering disebut transaksi berjangka pada prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata uang tertentu dengan sejumlah mata uang tertentu lainnya dengan penyerahan pada waktu yang akan datang dan kurs ditetapkan pada waktu kontrak dilakukan, tetapi pembayaran dan penyerahan baru dilakukan pada saat kontrak jatuh tempo. Jenis transaksi ini hukum fiqihnya dapat dirumuskan bahwa bila transaksi forward valas dilakukan dalam rangka kebutuhan yang mendesak (hajah) dan terbebas dari unsur maysir (judi), gharar (uncomplate contract), dan riba serta bukan untuk motif spekulasi seperti digunakan untuk tujuan hedging (lindung nilai) yaitu transaksi yang dilakukan semata-mata untuk mengatasi risiko kerugian akibat terjadinya perubahan kurs yang timbul karena adanya transaksi ekspor-impor atau untuk mendukung kegiatan trade finance. Disamping itu, transaksi berjangka inipun hanya dilakukan dengan pihak-pihak yang mampu dan dapat menjamin penyediaan valuta asing yang dipertukarkan maka bila tindakan tersebut dikategorikan sebagai sebuah bentuk kesepakatan bersama untuk sama-sama melakukan pertukaran dimasa mendatang dengan kurs (nilai tukar) pasti pada saat kontrak dan sebenarnya transaksinya secara efektif dalam perspektif fiqih tetap bersifat tunai pada waktu jatuh tempo maka hal itu tidak menjadi masalah selama tidak ada taalluq dan hanya bersifat janjia (waad) tanpa disertai adanya komitmen kompensasi karena terdapat maslahat bagi kedua belah pihak dan tidak ada dalil satupun yang melarang hal itu. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam Asy-Syafii (Al-Umm: III/32) dan Ibnu Hazm (Al-Muhalla: VIII/513).

2.5.4 Sharia issue in Hedging

Sebagai industri keuangan Islam yang sedang mengalami pertumbuhan guna memenuhi kebutuhan transaksi internasional dewasa ini, dibutuhkan lebih banyak instrument keuangan yang sophisticated, termasuk alat yang dapat dijadikan sebagai sarana manajemen risiko.

Bagaimanapun juga, perbedaan pemahaman/ interpretasi shariah tentang hukum Islam apakah memperbolehkan ataukah melarang meninggalkan sebuah tantangan besar untuk lebih dikaji. Terutama halnya masalah hedging (lindung nilai) yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha sebagai salah satu strategi dalam manajemen risiko dari adanya fluktuasi nilai tukar dalam bertransaksi masih menjadi polemik dan perdebatan diantara para pemikir-pemikir Islam mengenai praktek dari transaksi ini. Seperti misalnya short selling, dimana praktek ini dilarang karena mengandung unsur riba dengan membayar bunga, gharar (adanya ketidakpastian) dalam penjualan dan spekulasi yang berlebihan. Pada hakikatnya semua bisnis dan investasi keuangan mengandung risiko. Misalnya saja pada jenis investasi keuangan yang dibahas pada makalah ini, dimana beberapa bisnis yang bertransaksi secara internasional pasti menghadapi problematika exposure akibat fluktuasi nilai tukar. Disinilah peran hedging sebagai salah satu tujuan dari instrument derivative untuk meminimalir risiko nilai tukar. Meskipun ada beberapa ulama yang setuju bahwasannya tujuan dari hedging adalah untuk meminimalisir risiko atau melindungi investasi ini diperbolehkan dalam Islam, akan tetapi kebanyakan ulama juga mengkhawatirkan penggunaan derivative ini untuk memperoleh gain/keuntungan dengan berspekulasi sebagaimana pada umumnya dipraktekkan oleh para fund manager. Para ulama Islam juga mengakui bahwasannya hedging diperbolehkan apabila motif pelaku usaha adalah untung melindungi dari menghindari kerugian akibat dari fluktuasi mata uang dengan diback-up oleh underlying asset yang jelas. Lain halnya dengan para spekulan yang memanfaatkan instrument ini untuk mendapatkan keuntungan dimana pada prakteknya yang bersifat untung-untungan, sehingga mengandung unsure gambling, sehingga dilarang dalam Islam. Berdasarkan fatwa DSN-MUI No.28/DSN-MUI/III/2002 juga jelas menyatakan tentang jual beli mata uang yang salah satu bunyinya diantaranya adalah: Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun, hukumnya adalah haram. Karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang

disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).

Dari fatwa diatas, dapat kita cermati, bahwa hukum asal dari transaksi forward adalah diharamkan karena harga yang digunakan adalah harga muawadah. Akan tetapi, pada statement akhir juga dijelaskan bahwa ada pengecualian dari transaksi forward yakni jika dilakukan untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah). Sehingga jika kita artikan dalam context fungsi instrument derivative sebagai hedging dalam management risiko bisa termasuk pengecualian dari hal ini. Dimana seorang pelaku usaha dewasa ini dengan kondisi perekonomian yang semakin luas membutuhkan sarana pendukung investasi keuangan guna melindungi fluktuasi kurs mata uang yang digunakan sebagai alat pembayaran dalam bertransaksi. Inilah yang dimaksud adanya kebutuhan (lil hajah) sehingga mengubah hukum awal yang tadinya diharamkan menjadi diperbolehkan. Wal hukmu an taghayyara ilaa suhuulatin liazri maa qiyaami as-sabab lilhukmi alashliy farukhsatun waajibatun wa manduubatun wa mubaahatun wa khilaafun al-uula Hukum ketika berubah menjadi mudah karena suatu alasan syarI serta masih adanya sebab pada hukum yang asal itu disebut ruhkhsah. Sebagai contoh misalnya hukum awal baiu salam adalah haram, karena mengandung gharar (ketidakpastian) dalam transaksi tersebut, dalam akad salam pada dasarnya merupakan jual beli pesanan dimana barang jual diserahkan diakhir waktu. Akad salam menjadi gharar karena objek yang diperjualbelikan belum pasti ada pada saat eksekusi. Bisa jadi objek yang diperjualbelikan menjadi tidak dapat diserahkan karena suatu hal, sehingga timbul satu pihak yang dirugikan. Dan pada intinya, objek dalam akad salam karena berdasarkan pesanan jadi belum jelas wujudnya. Akan tetapi, semakin berkembangnya transaksi perdagangan akad salam berdasarkan pesanan pun dibutuhkan. Produsen tentunya membutuhkan lebih dulu modal diawal guna memproduksi barang yang dibutuhkan oleh konsumennya. Sehingga karena ada kebutuhan (hajah) disini, akad salam pun berubah hukumnya dari hokum asal sehingga diperbolehkan. Sama halnya dengan konsep hedging yang ada pada produk derivative ini hokum asalnya adalah haram, kecuali hedging pada pasar spot (notabene dilakukan secara tunai/naqdan). Ketika

ada kebutuhan yang melandasinya yakni manajemen risiko, yang ketika tidak dilakukan maka akan mengancam kesehatan keuangan perusahaan dan menciptakan laporan cashflow yang tidak jelas, oleh sebab itulah instrument derivative dibutuhkan dalam rangka hedging, guna melindungi nilai dari transaksi keuangan berbeda valas. Secara ringkasnya perubahan dari hokum asal menjadi diperbolehkan pada hedging dapat kita lihat pada table berikut: uzur/alasan Lil hajah Lil hajah

Misal Salam Hedging (kecuali pada pasar spot)

Hukum Asal Haram Haram

Sebab pada Hukum Asal Gharar (ketidakpastian) Gharar (ketidakpastian) Maysir (judi) Bunga (riba)*

Rukhsah mubah mubah

Dari ringkasan diatas satu hal yang tidak bisa luput dari pembahasan pada makalah ini mengenai bagaimana Islam memandang transaksi hedging ini adalah adanya unsur bunga yang menjadi lauk dari instrument derivative ini. Apapun alasannya, pengambilan bunga diharamkan, fatwa DSN-MUI pun menyatakan jelas mengharamkan segala bentuk bunga termasuk riba. Jika demikian adanya, ini berarti hedging yang tergantung pada instrument derivative pun mengandung riba sehingga tetap hukumnya menjadi haram. Oleh sebab itulah, ada beberapa jurnal para pemikir Islam yang menawarkan bagaimana Islam menawarkan solusi/ berbagai alternative instrument hedging yang sesuai dengan hokum Islam. Wallahualam bis shawab

Hadits Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khatthab, Nabi s.a.w. bersabda: (Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara bin

Azib dan Zaid bin Arqam: Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).

BAB III PENUTUP

Sebagai kesimpulan umum, dari uraian beberapa macam exposure di atas, beberapa faktor penentu tingkat exposure di atas, yang meliputi: 1) Transaction Exposure = Nilai receivable/payable yang akan diterima masing-masing valas Potensi tingkat fluktuasi masing-masing nilai valas Korelasi fluktuasi valas yang bersangkutan 2) Economic/Operating Exposure = Nilai receivable/payable yang akan diterima masing-masing valas Potensi tingkat fluktuasi masing-masing nilai valas Korelasi fluktuasi valas yang bersangkutan Dampak fluktuasi valas atas cash flow domestic currency 3) Translation/Accounting Exposure = Tingkat bisnis dari masing-masing foreign subsidiary Potensi tingkat fluktuasi valas terhadap reporting currency Korelasi fluktuasi valas yang bersangkutan

Ketentuan umum tentang seputar kegiatan transaksi jual-beli valuta asing sebgaimana yang saudari tanyakan, berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 28/DSNMUI/III/2002 tentang Sharf, transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan) 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)

3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai. Adapun ketentuan mengenai hukum Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing, dijelaskan dalam fatwa tersebut sebagai berikut: 1. Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan pen-jualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari ( ) dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah). 3. Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasi-kan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

On the whole, Shariah scholars would agree that the practice of short selling in the derivatives market using forwards, futures and options contracts, either for hedging or for speculative gains, is not permissible in Islam. With this conclusion, Islamic financiers have to resort to structuring their own Shariah compliant hedging instruments. But innovative products can only be structured if the industry can cope with the many Shariah issues it faces. Certainly,

Shariah principles need not be compromised; however, scholars do need to consider Islamic law in the light of todays financial demands and problems.

REFERENSI

Hady, Hamdy 1998. Valas untuk Manager. Ghalia Indonesia Kuncoro, Mudrajat Mankiw, Gregory 2003. Teori Makro Ekonomi. Worth Publisher, USA Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, edisi kedua 2003

www.ensiklopedia.com

Anda mungkin juga menyukai