Anda di halaman 1dari 1

Ajining Raga Saka Busana

Falsafah jawa tersebut, mengandung dua pengertian secara terminologi maupun etimologi. Secara terminology, ajining atau berharganya diri seseorang, dianggap cukup apabila mengenakan penganggo atau pakaian yang serba bagus dan indah. Sedangkan secara etimologi, berharganya diri seseorang apabila setiap pikiran dan prilakunya dihiasi dengan budi pekerti luhur. kedua pengertian tersebut semuanya benar, tapi di jaman yang serba instant dan profane serta masa transisi dibidang ekonomi, politik, social dan budaya seperti sekarang ini, pengertian secara terminiologi mengalami ambigu, paradoks dan ambivalen. Melihat realitas yang ada, timbulah kegelisahan-kegelisahan yang ternyata rampok, maling, pecundang, penhianat, dan kemusyrikan, banyak yang dibalut dengan pakaian serba wah dan mewah. Bahkan kadang-kadang mengatasnamakan ajaran agama. Fenomena seperti ini banyak sekali kita jumpai di negeri yang mengaku berketuhanan yang Maha Esa. Demi harta, jabatan dan kedudukan, kita semua rela mempertuhankannya. Dengan maraknya korupsi, apriori, tawuran antar desa, perselingkuhan kiai dengan jabatan, dan perselingkuhanperselingkuhan yang lain, membuat kita krisis kepercayaan dan cinta kasih sayang diantara sesama. Ketika kepercayaan, rasa cinta dan kasih sayang ini mulai memudar, kiamatlah sosial kultural bangsa ini. Sebagai orang jawa yang kaya akan falsafah, tradisi dan budaya, seharusnya menghiasi prilaku kita dengan budi pekerti luhur. Ironisnya, kekayaan falsafah, tardisi dan budaya yang kita miliki, tak pernah kita gali dan kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya gerusan ajaran materialisme, kapitalisme dan hedonisme, membuat kita lupa akan jatidiri kita sebagai orang jawa. Mungkin sekarang ini yang perlu kita lakukan adalah menggali nilai-nilai bukan hanya sekedar kulitnya, tapi apa kandungan dan makna yang tersirat dari kekayan nilai yang kita miliki. Selama ini kita hanya terjebak secara bahasa atau sekripturalis verbalis dan simbolisme yang menjadikan kita kurang mampu memahami sebuah kebenaran yang hakiki. Kekayaan simbol-simbol tradisi dan agama yang kita miliki, selama ini menjadi tujuan utama untuk sebuah pencitraan belaka. Namun tak pernah mengejawantahkan yang subtantif dengan kejujuran dan ketulusan. Hanya kamuflase dan kepalsuan yang dikedepankan demi sebuah keprestisan. Pendidikan hanya sekedar mencapai nilai angka. Sholat hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Ngaji hanya untuk mencari ganjaran. Berhaji hanya ingin mendapat label dan dipanggil pak haji, serta bersarung dan berpeci agar dikatakan santri dan kiai. Semestinya pendidikan harus diarahkan terhadap skil dan pembentukan mental yang mandiri, bertanggung jawab dan berbudi pekerti luhur, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Mengerjakan sholat bukan hanya lima waktu, tapi penghambaan dan pengabdian secara utuh dalam segala aktifitas yang kita lakukan. Ngaji bukan hanya mengumpulkan amal sebanyakbanyaknya, tapi bagaimana kita ngatur jiwa lan ati supaya suci dari perbuatan syetan. Berhaji bukan sekedar mendapat gelar pak haji, tapi memenuhi panggilan ilaahi sebagai abdi. Hakekatnya abdi adalah mengabdi. Abdi melayani kepada siapa kita mengabdi. Bersarung dan berpeci bukan hanya ingin dikatakan santri atau kiai, tapi pertanda kalau jiwa dan prilaku kita harus dipenuhi dengan ajaran-ajaran ilaahi. Dari semua itu, kalau kita bisa mengaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari, Insya Allah akan terwujud sebuah ketulusan dan kejujuran dengan penuh keadilan dan moralitas. Itulah substansi makna dari ajining raga saka busana. Sekali lagi, busana bukan hanya pakaian yang indah dan mahal, tapi busana resiking ati dari sifat sombong congkak, takabbur, pembohong, penipu, gumede, keminter, kladuk, gede rumongso dan penghianat. Busananing badan dan fikiran dari prilaku dan budi pekerti luhur. Wallahu alamu bisshowab, Cekap semanten nuwun.

Anda mungkin juga menyukai