Anda di halaman 1dari 10

LEGAL OPINION

Tugas Argumentasi Hukum Kelas A2

Disusun Tanggal 06 Mei 2012 Oleh Kelompok II


Nozzun Iktamala Ichsania Saputri Umi Kulsum Agung Bagus C. A. Margareta Windy Sinatra Indhy Pradipta Siti Masitoh Ilhami Ginang Pratidina Masitha Tismananda Kumala Surya Inggrida Diotama 031011010 031011011 031011012 031011015 031011017 031011019 031011021 031011023 031011024 031011025

Bayu Indradinata

031011026

Universitas Airlangga 2012

Kasus Posisi

Sumber :
http://issuu.com/surya-epaper/docs/epaper_surya_edisi_29_april_2012?mode=window&pageNumber=1

Fakta Hukum
1. Wtr (17 tahun) mengandung 6 bulan hasil hubungannya dengan sang kekasih Edwin (20 tahun). 2. Wtr dan Edwin pergi berlibur ke Batu, sebelumnya Wtr sempat membeli 4 butir pil Misoprostol (Cytotec) di sebuah apotek di Madiun yang diketahui Edwin sebagai obat sakit perut. 3. Wtr meminum pil tersebut sebanyak 2 butir dan selang beberapa menit bayi keluar dari rahimnya dalam kondisi hidup karena terdengar menangis. 4. Usai melahirkan Wtr mengalami pendarahan dan tidak sadarkan diri, sehingga Edwin membawanya menggunakan sepeda motor untuk mencari pertolongan. 5. Edwin berhasil menyelamatkan Wtr, namun nyawa bayi tidak terselamatkan setelah ditinggal beberapa waktu tanpa ASI dan selimut. 6. Cytotec yang mengandung misoprostol 200 mikrogram per butir adalah obat untuk gangguan lambung. Cytotec membantu penyembuhan luka lambung dan mengurangi gejala yang ditimbulkan.Salah satu efek samping yang penting diketahui dari misoprostol adalah aksinya terhadap rahim pada wanita. Misoprostol menyebabkan kontraksi rahim yang dapat membahayakan kehamilan.

Isu hukum
1. Apakah dengan kondisi janin yang hidup saat keluar dari rahim Wtr dapat dikatakan

bahwa Wtr melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 KUHP?

2. Apakah Edwin dapat dipidana atas tindakannya meninggalkan bayi yang butuh

pertolongan untuk menolong Wtr yang pendarahan dan tidak sadarkan diri, sebagaimana diatur dalam pasal 304 KUHP?

Dasar Hukum
1. Pasal 346 KUHP

2. Pasal 304 KUHP 3. Pasal 48 KUHP

Analisis
Untuk dapat menjawab isu hukum pertama, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai permasalahan berikut :
1. Bagaimanakah konsep menggugurkan atau mematikan kandungan yang dimaksud

dalam rumusan Pasal 346 KUHP?; dan 2. Apakah setelah dilahirkan (sebelum waktunya menurut alam) bayi atau janin tersebut harus dalam keadaan mati ataukah hidup kemudian mati, ataukah akan terus hidup? Mengenai permasalahan pertama, untuk mengetahui konsep yang terkandung dalam menggugurkan atau mematikan kandungan, pertama-tama perlu kita cermati rumusan dari Pasal 346 KUHP : Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Unsur-unsur dari rumusan tersebut diatas adalah : Unsur Objektif :

a. Petindak : seorang wanita; b. Perbuatan : 1. Menggugurkan 2. Mematikan 3. Menyuruh orang lain menggugurkan; dan 4. Menyuruh orang lain mematikan; c. Objek : kandungan sendiri Unsur subjektif : dengan sengaja Dari rumusan tersebut, terlihat bahwa terdapat 4 perbuatan yang dilarang, yakni : menggugurkan kandungan, mematikan kandungan, menyuruh orang lain menggugurkan kandungan dan menyuruh orang lain mematikan kandungan. Adapun yang dimaksud dengan perbuatan menggugurkan kandungan atau (afdrijving) adalah melakukan perbuatan yang bagaimanapun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut sebelum waktunya dilahirkan menurut alam.Dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu. Di Indonesia, belum ada batasan resmi mengenai aborsi. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Prof. Dr. JS.Badudu dan Prof. Sutan Mohammad Zain, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996) abortus didefinisikan sebagai terjadi keguguran janin.Melakukan abortus sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu). Perbuatan memaksa kelahiran atau janin belum waktunya ini sering disebut abortus provocatus atau kadang disingkat dengan abortus saja. Dalam ilmu kedokteran, pengguguran kandungan dibedakan dalam tiga kriteria, yakni : 1. Abortus : yaitu masa berakhirnya kehamilan yang berlangsung kurang dari duapuluh delapan minggu, atau bila berat bayi yang dilahirkan kurang dari 1000 gram; 2. Partus prematurus : yaitu persalinan sebelum waktunya, yang merupakan berakhirnya kehamilan diantara minggu ke 28 sampai ke 38, atau bila berat bayi dalam keadaan

demikian ini dianggap viable untuk hidup walaupun belum menjadi kemungkinan untuk hidup yang sama dengan bayi yang lahir pada waktunya; 3. Partus a terme : yaitu persalinan yang terjadi pada waktunya, yang merupakan masa kehamilan berakhir pada minggu ke 38 sampai minggu ke 42. Menurut Prof. Hermien dalam bukunya Kejahatan terhadap Nyawa, Asas-Asas, Kasus dan Permasalahannya 1984, berdasarkan pembagian kriteria pengguguran berdasarkan ilmu kedokteran tersebut diatas, maka seharusnya dibedakan antara pembunuhan anak dengan pengguguran kandungan berdasarkan persyaratan berikut : 1. Apakah bayi sudah cukup umur atau belum; 2. Apakah keadaan bayi viable untuk hidup terus diluar kandungan ibu atau tidak; 3. Apakah bayi sudah bernapas atau belum. Prof. Hermien menyebutkan bahwa pembedaan antara bayi yang sudah cukup umur dengan yang belum merupakan unsur penting dalam hubungannya dengan saat kapan nyawa ditiupkan ke dalam tubuh janin, sehingga membedakan antara pembunuhan anak dengan pengguguran kandungan. Oleh karenanya dalam hal ini, ilmu kedokteran membedakan antara dua istilah, yaitu : 1. Embryo : apabila lama usia bayi yang ada dalam kandungan itu kurang dari duabelas minggu; dan 2. Feutus : apabila lama usia bayi yang ada dalam kandungan itu lebih dari duabelas minggu. Berdasar pada fakta-fakta yang ada dalam ilmu kedokteran tersebut, Prof. Hermien berpendapat bahwa apabila bayi dilahirkan sebelum berusia cukup 12 minggu, maka perbuatan tersebut diklasifikasikan sebagai abortus, sehingga terhadapnya diterapkan pasal-pasal 346, 347, dan 348 KUHP. Sedangkan apabila bayi dilahirkan dalam usia yang sudah lebih dari 12 minggu dan hidup, maka berlakulah ketentuan pasal 341, 342, dan 343 KUHP tentang pembunuhan anak. Akan tetapi, ketentuan dalam Pasal 346 KUHP tidak dimaksudkan untuk membagi tindakan pengguguran kandungan dengan kriteria-kriteria usia janin yang digugurkan. Pengertian pengguguran kandungan dalam Pasal 346 KUHP dimaksudkan bahwa si anak

dilahirkan sebelum Sembilan bulan, yaitu sebelum tiba waktunya untuk lahir menurut alam. Karena menurut kodrat alam, wanita hamil itu lamanya Sembilan bulan, dan setelah berjalan Sembilan bulan wanita hamil itu akan dengan sendirinya melahirkan anaknya. Sehingga, segala tindakan pengguguran atas kandungan, tidak melihat kapan janin dalam kandungan tersebut memperoleh nyawa, selama belum mencapai 9 bulan, dapat dijerat oleh Pasal 346 KUHP ini. Jika perbuatan menggugurkan kandungan mempunyai arti memaksa kelahiran bayi atau janin hidup, yang tidak mempersoalkan usia dari janin tersebut selama belum mencapai 9 bulan. Berbeda halnya dengan perbuatan mematikan kandungan.Mematikan kandungan adalah perbuatan yang bentuk dan caranya apapun terhadap kandungan seorang perempuan, yang dari perbuatan itu menimbulkan akibat matinya bayi atau janin dalam rahim perempuan itu, artinya mematikan suatu kehidupan dalam rahim seorang perempuan. Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan, maka kesengajaan dalam melakukan perbuatan mematikan kandungan harus ditujukan pada matinya bayi atau janin yang dikandung dalam rahim seorang perempuan setelah dilahirkan.Sehingga ada dua hal yang dituju oleh unsur kesengajaan, yaitu kelahiran artinya keluarnya janin atau bayi dari dalam rahim, dan matinya bayi atau janin tersebut.Oleh karenanya maka perbuatan mematikan kandungan baru dapat dinyatakan selesai atau terwujud setelah perbuatan tersebut menimbulkan (1) kelahiran dan (2) kematian dari bayi atau janin tersebut. Dalam praktiknya dua perbuatan tersebut sukar dibedakan.Karena untuk menentukan mana kesengajaan yang ditujukan pada semata-mata kelahiran sebelum waktunya (pengguguran) dan mana kesengajaan yang ditujukan pada matinya janin atau bayi, karena unsur kesengajaan tersebut mengenai sikap batin seseorang yang tidak dapat ditentukan hanya dengan keterangan yang bersangkutan. Mengenai permasalahan kedua, perlu kita cermati kembali konsep dari menggugurkan atau mematikan kandungan yang dimaksud dalam Pasal 346 KUHP yang telah dipaparkan di atas. Dimana menggugurkan kandungan dan mematikan kandungan adalah dua tindakan yang terpisah dan memiliki tujuannya masing-masing.Dilihat dari rumusan pasalnya, pasal 346 KUHP termasuk ke dalam delik materiil, Karena perumusannya menitikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang) dan delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Dalam hal ini keluarnya janin atau bayi dari rahim sebelum waktunya pada menggugurkan kandungan dan keluarnya janin atau bayi dari rahim sebelum waktunya serta dalam keadaan mati pada mematikan kandungan.

Oleh karena itu, bayi yang lahir sebelum waktunya menurut alam akibat perbuatan menggugurkan kandungan, apakah dalam keadaan mati atau dalam keadaan hidup tidaklah menjadi soal.Karena hal yang penting dalam permasalahan ini adalah bayi atau janin harus keluar dari rahim dan keluarnya karena paksaan oleh perbuatan yang dilarang.Sehingga, keluarnya dari rahim ini, dapat berupa bayi sempurna maupun bayi belum berwujud sempurna, baik dalam keadaan hidup maupun sudah mati. Dalam kasus ini, tindakan Wtr dengan menelan dua pil yang menyebabkan keguguran pada janinnya, meskipun janin tersebut keluar dalam keadaan hidup termasuk ke dalam tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 346 KUHP karena memenuhi unsur menggugurkan kandungan. Isu hukum kedua Untuk menjawab isu hukum kedua, perlu kita cermati kembali rumusan pasal 304 KUHP berikut, Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Dengan rumusan pasal diatas terlihat bahwa tindakan Edwin meninggalkan bayi tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 304 KUHP. Sehingga tindakan Edwin tersebut adalah tindak pidana, akan tetapi untuk dapat dipidana, sesorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Melakukan perbuatan pidana; 2. Mampu bertanggungjawab; 3. Ada bentuk kesalahan yaitu kesengajaan atau kealpaan; dan 4. Tidak ada alasan pemaaf.

Persyaratan poin pertama sampai ke tiga telah dipenuhi dalam tindakan yang dilakukan oleh Edwin terhadap bayi tersebut.Yakni tindakan dengan sengaja meninggalkan bayi dalam keadaan sengsara sebagaimana diatur dalam pasal 304 KUHP.Yang menjadi persoalan disini

apakah tindak pidana yang dilakukan oleh Edwin terdapat alasan pemaaf yang menghapuskan kesalahan tindak pidana yang dilakukannya? Dalam KUHP, alasan pemaaf diatur dalam Pasal 44 dan 48 KUHP yakni karena jiwanya cacad atau karena adanya daya paksa (overmacht). Dilihat dari kondisi jiwa dan raga, Edwin tidak mungkin mendapatkan alasan pemaaf karena jiwanya cacad.Yang lebih memungkinkan adalah adanya alasan pemaaf karena adanya daya paksa sebagaimana diatur dalam pasal 48 KUHP. Berdasar pada fakta yang ada, alasan Edwin meninggalkan bayi tersebut untuk menolong Wtr yang sedang dalam keadaan pingsan dan pendarahan.Yang menjadi persoalan, apakah alasan tersebut termasuk kedalam overmacht yang dimaksud dalam pasal 48 KUHP? Penjelasan KUHP menyebutkan bahwa daya paksa (overmacht) adalah keadaan sedemikian rupa sehingga pembuat tindak pidana tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Mengingat keadaan yang ada pada diri pembuat tindak pidana, maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut.Pembuat tindak pidana tindak pidana yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh daya paksa, terpaksa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan itu karena didorong oleh suatu tekanan kejiwaan yang datangnya dari luar.Dalam keadaan demikian kehendak pembuat tindak pidana menjadi tidak bebas.Dengan adanya tekanan dari luar tersebut, maka keadaan kejiwaan pembuat tindak pidana tindak pidana pada saat itu tidak berfungsi secara normal. Dari penjelasan tersebut, daya paksa sendiri dibedakan menjadi dua, yakni : 1. Vis Absoluta : paksaan phisik yang mutlak yang tidak dapat ditahan; dan 2. Vis Compulsiva : daya paksa relative, secara phisik masih bisa menghindar tetapi secara psikis tidak dapat diharapkan pembuat tindak pidana dapat melakukan perlawanan. Vis Compulsiva sendiri dibedakan menjadi dua, yakni : a. b. Daya paksa dalam arti sempit (paksaan psikis) : sumber atau musabab paksaan Keadaan darurat (Noodtoestand) : daya paksa bukan timbul dari orang lain datang dari orang lain; dan tetapi dari keadaan-keadaan tertentu. Kemungkinan keadaan darurat tersebut adalah sebagai berikut : Perbenturan antara dua kepentingan hukum; Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum; dan

Perbenturan antara dua kewajiban hukum. Berdasarkan pengertian diatas, maka keadaan dimana Edwin harus menolong Wtr dan bayi tersebut termasuk kedalam daya paksa (overmacht) relative karena perbenturan antara dua kewajiban hukum, yakni kewajiban untuk menyelamatkan Wtr dan/atau menyelamatkan bayi tersebut.Sehingga dalam hal ini, keadaan kejiwaan Edwin pada saat itu tidak berfungsi secara normal.Dan diperkuat dengan alat transportasi yang tidak memadai untuk membawa Wtr yang dalam keadaan pingsan sekaligus bayi tersebut bersama-sama dengan menggunakan sepeda motor.Oleh karena itu, dalam hal ini Edwin tidak dapat dipidana atas tindak pidana yang telah dilakukannya berdasarkan pasal 304 KUHP karena adanya alasan pemaaf berupa daya paksa (overmacht) yang diatur dalam pasal 48 KUHP.

Kesimpulan
1. Tindakan Wtr merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 346 KUHP

meskipun bayi dilahirkan dalam keadaan hidup.


2. Edwin tidak dapat dipidana atas tindak pidana yang dilakukannya dalam pasal 304

KUHP, karena adanya alasan pemaaf.

Anda mungkin juga menyukai