Anda di halaman 1dari 24

1

REFFERAT
FUNGSI DAN PENERAPAN TEOREMA HARDY-WEINBERG

Oleh : AYU LIDYA RAHMAH 20070310047

Diajukan kepada : Dr. Any Ashari Sp.OG (K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA RS PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL 2012

TINJAUAN PUSTAKA

Pola pewarisan suatu sifat tidak selalu dapat dipelajari melalui percobaan persilangan buatan. Pada tanaman keras atau hewan-hewan dengan daur hidup panjang seperti gajah, misalnya, suatu persilangan baru akan memberikan hasil yang dapat dianalisis setelah kurun waktu yang sangat lama. Demikian pula, untuk mempelajari pola pewarisan sifat tertentu pada manusia jelas tidak mungkin dilakukan percobaan persilangan. Pola pewarisan sifat pada organisme-organisme semacam itu harus dianalisis menggunakan data hasil pengamatan langsung pada populasi yang ada. Seluk-beluk pewarisan sifat pada tingkat populasi dipelajari pada cabang genetika yang disebut genetika populasi. Ruang lingkup genetika populasi secara garis besar oleh beberapa penulis dikatakan terdiri atas dua bagian, yaitu (1) deduksi prinsip-prinsip Mendel pada tingkat populasi, dan (2) mekanisme pewarisan sifat kuantitatif Populasi dalam arti Genetika Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi terlebih dahulu perlu difahami pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi mendelian ialah sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masingmasing akan memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene pool), yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam populasi. Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masing-masing genotipe tersebut. Sebagai contoh, di dalam populasi tertentu terdapat tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka, proporsi atau persentase genotipe AA, Aa, dan aa akan menggambarkan susunan genetik populasi tempat mereka berada.

Adapun nilai proporsi atau persentase genotipe tersebut dikenal dengan istilah frekuensi genotipe. Jadi, frekuensi genotipe dapat dikatakan sebagai proporsi atau persentase genotipe tertentu di dalam suatu populasi. Dengan perkataan lain, dapat juga didefinisikan bahwa frekuensi genotipe adalah proporsi atau persentase individu di dalam suatu populasi yang tergolong ke dalam genotipe tertentu. Pada contoh di atas jika banyaknya genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing 30, 50, dan 20 individu, maka frekuensi genotipe AA = 0,30 (30%), Aa = 0,50 (50%), dan aa = 0,20 (20%). Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya, susunan genetik suatu populasi dapat juga dideskripsi atas dasar keberadaan gennya. Hal ini karena populasi dalam arti genetika, seperti telah dikatakan di atas, bukan sekedar kumpulan individu, melainkan kumpulan individu yang dapat melangsungkan perkawinan sehingga terjadi transmisi gen dari generasi ke generasi. Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar dan dirakit kembali menjadi genotipe keturunannya melalui segregasi dan rekombinasi gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet yang terbentuk, sementara gen-gen itu sendiri akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas). Dengan demikian, deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di dalamnya sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan tinjauan dari genotipenya. Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada dinyatakan sebagai frekuensi gen, atau disebut juga frekuensi alel, yaitu proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus. Jika kita gunakan contoh perhitungan frekuensi genotipe tersebut di atas, maka frekuensi alelnya dapat dihitung sebagai berikut. AA Banyaknya individu Banyaknya alel A Banyaknya alel a 30 60 Aa 50 50 50 aa 20 40 Total 100 110 90
200

Karena di dalam tiap individu AA terdapat dua buah alel A, maka di dalam populasi yang mempunyai 30 individu AA terdapat 60 alel A. Demikian juga,

karena tiap individu Aa membawa sebuah alel A, maka populasi yang mempunyai 50 individu Aa akan membawa 50 alel A. Sementara itu, pada individu aa dengan sendirinya tidak terdapat alel A, sehingga secara keseluruhan banyaknya alel A di dalam populasi tersebut adalah 60 + 50 + 0 = 110. Dengan cara yang sama dapat dihitung banyaknya alel a di dalam populasi, yaitu 0 + 50 + 40 = 90. Oleh karena itu, frekuensi alel A = 110/200 = 0,55 (55%), sedang frekuensi a = 90/200 = 0,45 (45%). Frekuensi alel berkisar dari 0 hingga 1. Suatu populasi yang mempunyai alel dengan frekuensi = 1 dikatakan mengalami fiksasi untuk alel tersebut. Teori blending inheritance adalah Materi herediter yang berkonsepsi sebagai suatu bentuk cairan yang mengkombinasi sifat dari dua individual menjadi keturnan yang intermediate secara fenotipe. Teori Blending inheritance ini tampak cukup masuk akal pada zaman Charles Darwin, Namun model dari keturunan ini memberi banyak masalah pada teori Darwin tentang natural selection (1859), yang tergantung pada eksistentasi dari variasi sifat dalam suatu populasi. Blending inheritance akan secara cepat mengikis variasi sedemikian rupa, karena semua sifat akan berkombinasi dari generasi satu ke generasi selanjutnya sampai semua individu berbagi fenotipe campuran yang sama. Dalam eksperimennya yang terkenal pada tanaman kacang polong, Gregor Mendel menolak mekanisme herediter ini, In his famous experiments on pea plants, Gregor Mendel dengan mendemonstrasikan versi alternatif dari variasi gen (allel) pada karakter yang diturunkan Walapun Mendel mempublikasikan hasilnya pada tahun 1886, hasil penelitiannya masih tidak jelas sampai pada tahun 1900 diteliti kembali (di review dalam Monaghan&Corcos 1984).

Segregasi hukum Mendel pada istilah yang modern, menjelaskan bahwa individu yang diploid akan membawa dua salinan dari setiap gen autosomal (ex : 1 salinan pada tiap sepasang kromosom homolog).Tiap gamete dihasilkan dari individu diploid dan hanya menerima 1 salinan dari tiap gen, yang akan terpilih secara acak dari 2 salinan yang terdapat pada individu ini. Dalam Segregasi hukum Mendel

ini, tiap 2 salinan dari suatu individu memiliki kesempatan yang sama untuk masuk ke dalam gamet, 50% dari salinan suatu individu, 50% lagi dari salinan individu lainnya.
/scitable uninitedaudio

Figure 1: Mendel's Law of Segregation


/scitable uninitedaudio

Genotipe dari suatu individu adalah kombinasi dari allel yang ditemukan pada individu pada locus. Jika ada 2 allel dalam suatu populasi pada locus A (A dan A), maka genotipe yang mungkin ada pada populasi adalah AA, Aa, dan aa. Individu dengan genotipe AA dan aa adalah homozigot (karena memiliki 2 salinan allel yang sama). Individu dengan genotipe Aa adalah heterozigot (karena memiliki 2 salinan allel yang sama pada locus A). Jika pada heterozigot secara fenotipe identik dengan salah satu dari homozigot, allel yang ditemukan pada homozigot tersebut disebut dominan, dan allel yang ditemukan pada homozigot lainnya adalah resesif.

Walaupun banyak ahli genetika sudah menerima hukum Mendel, masih banyak terdapat kebingungan pada pemeliharaan variasi genetika pada populasi. Beberapa lawan dari hukum Mendel berpendapat sifat dominan seharusnya meningkat dan sifat resesif seharunya menurun pada frekuensi, yang tidak diamati pada populasi sesungguhnya. Hardy (1908) menyangkal semua argumen diatas pada suatu artikel, bersamaan dengan

artikel yang dipublikasikan secara independen Weinberg (1908) sehingga muncul dasar dari genetika populasi (Crow 1999; Edwards 2008).
/scitable uninitedaudio

Wilhelm Weinberg Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg (The

G.H Hardy Hardy-Weinberg

Equillibrium ) Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan terjadinya kawin acak (panmiksia) di antara individu-individu anggotanya. Artinya, tiap individu memiliki peluang yang sama untuk bertemu dengan individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun berbeda dengannya. Dengan adanya sistem kawin acak ini, frekuensi alel akan senantiasa konstan dari generasi ke generasi. Prinsip ini dirumuskan oleh G.H. Hardy, ahli matematika dari Inggris, dan W.Weinberg, dokter dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Di samping kawin acak, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu tidak terjadi migrasi, mutasi, dan seleksi. Dengan perkatan lain, terjadinya peristiwa-peristiwa ini serta sistem kawin yang tidak acak akan mengakibatkan perubahan frekuensi alel. Deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi tiga langkah, yaitu (1) dari tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya, (2) dari penggabungan gamet-gamet kepada genotipe zigot yang dibentuk, dan (3) dari

genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi keturunan. Secara lebih rinci ketiga langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Kembali kita misalkan bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi P, H, dan Q. Sementara itu, frekuensi alel A adalah p, sedang frekuensi alel a adalah q. Dari populasi generasi tetua ini akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Frekuensi gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga, frekuensi gamet a sama dengan frekuensi alel a (q). Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet A dan a secara acak pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang terbentuk akan memilki frekuensi genotipe sebagai hasil kali frekuensi gamet yang bergabung. Pada Tabel 15.1 terlihat bahwa tiga macam genotipe zigot akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi p2, 2pq, dan q2. Tabel 15.1. Pembentukan zigot pada kawin acak Gamet-gamet dan frekuensinya A (p) A (p) Gamet-gamet dan frekuensinya a (q) AA (p2) Aa (pq) a (q) Aa (pq) aa (q2)

Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka frekuensi alel pada populasi zigot atau populasi generasi keturunan dapat dihitung. Fekuensi alel A = p2 + (2pq) = p2 + pq = p (p + q) = p. Frekuensi alel a = q2 + (2pq) = q2 + pq = q (p + q) = q. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa frekuensi alel pada generasi keturunan sama dengan frekuensi alel pada generasi tetua.

Pengaruh-pengaruh tersebut meliputi : 1. perkawinan tak acak Faktor lain yang meyebabkan gangguan keseimbangan Hardy-Weinberg adalah sistem kawin tidak acak (non random mating). Jika dilihat dari segi fenotipe, ada sistem kawin tidak acak yang dikenal sebagai perkawinan asortatif. Dengan perkataan lain, perkawinan asortatif adalah sistem kawin tidak acak yang didasarkan atas fenotipe. Perkawinan asortatif dapat berupa perkawinan asortatif positif atau asortatif negatif (disasortatif). Pada perkawinan asortatif positif individu-individu yang mempunyai fenotipe sama cenderung untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe berbeda. Sebaliknya, pada perkawinan asortatif negatif individuindividu yang mempunyai fenotipe berbeda cenderung untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe yang sama. Di samping perkawinan asortatif ada pula sistem kawin tidak acak yang tidak memandang fenotipe individu tetapi dilihat dari hubungan genetiknya. Sistem kawin semacam ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu silang dalam (inbreeding) dan silang luar (outbreeding). Silang dalam adalah perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik memiliki hubungan kekerabatan, sedang silang luar adalah perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik tidak memiliki hubungan kekerabatan. Perkawinan asortatif positif dan silang dalam akan meningkatkan frekuensi genotipe homozigot. Sebaliknya, perkawinan asortatif negatif dan silang luar akan meningkatkan frekuensi genotipe heterozigot. a. Silang dalam

Contoh silang dalam yang paling ekstrim dapat dilihat pada tanaman yang melakukan penyerbukan sendiri. Katakanlah generasi pertama suatu populasi tanaman menyerbuk sendiri hanya terdiri atas individu-individu dengan genotipe Aa. Oleh karena terjadi penyerbukan sendiri di antara genotipe Aa, maka pada generasi kedua dari seluruh populasi akan terdapat genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing sebanyak 1/4, 1/2, dan 1/4 bagian. Pada generasi ketiga genotipe AA dan aa akan bertambah 1/8 bagian yang berasal dari segregasi genotipe Aa pada generasi kedua. Sebaliknya, genotipe Aa akan berkurang menjadi 1/4 bagian sehingga populasi generasi ketiga akan terdiri atas (1/4+1/8) AA, 1/4 Aa, dan (1/4+1/8) aa atau 3/8 AA, 1/4 Aa, 3/8 aa. Dengan demikian, sampai dengan generasi ketiga saja sudah terlihat bahwa frekuensi genotipe homozigot, baik AA maupun aa, mengalami peningkatan, sedang frekuensi heterozigot Aa berkurang. Genotipe homozigot untuk suatu lokus tertentu - jika kita berbicara individu normal diploid - mempunyai dua buah alel yang sama pada lokus tersebut. Persamaan di antara dua alel pada genotipe homozigot dapat terjadi dengan dua kemungkinan. Pertama, mereka secara fungsional sama sehingga menghasilkan fenotipe yang sama pula. Dua alel semacam ini dikatakan sebagai alel serupa (alike in state). Kemungkinan kedua, mereka berasal dari hasil replikasi sebuah alel pada generasi sebelumnya. Jika hal ini yang terjadi, maka kedua alel tersebut dikatakan seasal atau identik (identical by descent). Untuk menggambarkan besarnya peluang bahwa dua buah alel yang sama pada individu homozigot merupakan alel identik digunakan suatu nilai yang disebut sebagai koefisien silang dalam (inbreeding coefficient). Nilai ini besarnya berkisar dari 0 hingga 1, dan biasanya dilambangkan dengan F. Nilai F sama dengan 0 apabila kedua alel pada individu homozigot tidak mempunyai asal- usul yang sama atau merupakan hasil kawin acak. Sebaliknya, nilai F sama dengan 1 apabila

10

kedua alel sepenuhnya merupakan alel identik atau berasal dari leluhur bersama (common ancestor) yang sangat dekat. Tabel 15.3. Frekuensi genotipe hasil kawin acak dan silang dalam Genotipe Frekuensi Kawin acak AA Aa Aa p2 2 pq q2 Silang dalam p2 (1 - F) + pF 2 pq (1 - F) q2 (1 - F) + qF

Jika nilai F = 0, maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masingmasing adalah p2, 2 pq, dan q2 . Frekuensi tersebut ternyata sama dengan frekuensi genotipe hasil kawin acak. Jika nilai F = 1, maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing menjadi p, 0, dan q. Hal ini berarti di dalam populasi hanya tinggal individu homozigot, sedang individu heterozigot tidak dijumpai lagi. b. Silang luar Berkebalikan dengan silang dalam, silang luar akan meningkatkan frekuensi heterozigot. Di samping itu, jika silang dalam dapat menyebabkan terjadinya tekanan silang dalam yang berpengaruh buruk terhadap individu yang dihasilkan, silang luar justru dapat

memunculkan individu hibrid dengan sifat-sifat yang lebih baik daripada kedua tetuanya yang homozigot. Fenomena keunggulan yang diperlihatkan oleh individu hibrid hasil persilangan dua tetua galur murni (homozigot) disebut sebagai vigor hibrida atau heterosis. Ada beberapa teori mengenai mekanisme genetik yang

menjelaskan terjadinya heterosis. Salah satu di antaranya adalah teori dominansi, yang pada prinsipnya menyebutkan bahwa alel-alel reseif merugikan yang dibawa oleh masing-masing galur murni akan tertutupi oleh alel dominan pada individu hibrid yang heterozigot. Misalnya, ada alel A yang menyebabkan akar tanaman tumbuh kuat

11

sementara alel a menjadikan akar tanaman lemah. Sementara itu, alel B menyebabkan batang menjadi kokoh, sedang alel b menyebabkan batang lemah. Persilangan antara galur murni AAbb (akar kuat, batang lemah) dan aaBB (akar lemah, batang kuat) akan menghasilkan hibrid AaBb yang mempunyai akar dan batang kuat. Fenomena heterosis sudah sering sekali dimanfaatkan pada bidang pemuliaan tanaman, antara lain untuk merakit varietas jagung hibrida. Galur murni A disilangkan dengan galur murni B, mendapatkan hibrid H. Namun, karena biji hibrid H ini dibawa oleh tongkol tetuanya (A atau B) yang kecil, maka jumlah bijinya menjadi sedikit dan tidak cukup untuk dijual kepada petani. Oleh karena itu, jagung hibrida yang dipasarkan biasanya bukan hasil silang tunggal (single cross) seperti itu, melainkan hasil silang tiga arah (three-way cross) atau silang ganda (double cross). Pada silang tiga arah hibrid H digunakan sebagai tetua betina untuk disilangkan lagi dengan galur murni lain sehingga biji hibrid yang dihasilkan akan dibawa oleh tongkol hibrid H yang ukurannya besar. Agak berbeda dengan silang tiga arah, pada silang ganda hibrid H disilangkan dengan hibrid I hasil silang tunggal antara galur murni C dan D. Dalam silang ganda ini, sebagai tetua betina dapat digunakan baik hibrid H maupun hibrid I karena keduaduanya mempunyai tongkol yang besar.

2. mutasi : Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel adalah mutasi. Namun, peristiwa yang sangat mendasari proses evolusi ini sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya dalam perubahan frekuensi alel. Hal ini terutama karena laju mutasi yang umumnya terlalu rendah untuk dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Selain itu, individu-individu mutan biasanya mempunyai daya hidup (viabilitas), dan juga tingkat kesuburan (fertilitas), yang rendah.

12

Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi hanya akan memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi alel jika mutasi berlangsung berulang kali (recurrent mutation) dan mutan yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Hubungan matematika antara laju mutasi dan perubahan frekuensi alel dapat dirumuskan seperti pada contoh berikut ini. Misalnya, di dalam suatu populasi terdapat alel A dan a, masing-masing dengan frekuensi awal po dan qo. Mutasi berlangsung dari A ke a dengan laju mutasi sebesar u. Sebaliknya, laju mutasi alel a menjadi A adalah v. Dengan demikian, perubahan frekuensi alel A akibat mutasi adalah p = vqo - upo, q = upo - vqo. Ketika dicapai keseimbangan di antara kedua arah mutasi tersebut nilai p dan q adalah 0. Oleh karena itu, vqo = upo, atau secara umum vq = up. Jika persamaan ini dielaborasi, maka akan didapatkan p = v/(u + v) dan q = u/(u + v). sedang perubahan frekuensi alel a akibat mutasi adalah

3. Seleksi alam : Sebegitu jauh kita mengasumsikan bahwa semua individu di dalam populasi akan memberikan kontribusi jumlah keturunan yang sama kepada generasi berikutnya. Namun, kenyataan yang sebenarnya sering dijumpai tidaklah demikian. Individu-individu dapat memberikan kontribusi genetik yang berbeda karena mereka mempunyai daya hidup dan tingkat kesuburan yang berbeda.

13

Proporsi atau persentase kontribusi genetik suatu individu kepada generasi berikutnya dikenal sebagai fitnes relatif atau nilai seleksi individu tersebut. Nilai fitnes relatif berkisar antara 0 dan 1. Genotipe superior di dalam suatu populasi, atau disebut juga genotipe baku, dikatakan memiliki nilai fitnes relatif sama dengan 1, sementara untuk genotipe-genotipe lainnya nilai fitnes relatif besarnya kurang dari 1. Proporsi pengurangan kontribusi genetik suatu genotipe bila dibandingkan dengan kontribusi genetik genotipe baku disebut koefisien seleksi (s) genotipe tersebut. Dengan perkataan lain, nilai fitnes relatif genotipe ini adalah 1 - s. Kembali kita misalkan bahwa di dalam suatu populasi terdapat genotipe AA, Aa, dan aa. Kondisi dominansi ketiga genotipe ini berdasarkan atas nilai fitnes relatifnya dapat dilihat pada Gambar 15.2 berikut ini.

aa (1-s)

Aa (1-s) a)

AA 1

aa (1-s) b)

Aa (1-s)

AA 1

aa (1-s) c)

AA/Aa 1

aa (1-s2) d) Fitnes relatif

AA (1-s1)

Aa 1

Gambar 15.2. Berbagai kondisi dominansi dilihat dari nilai fitnes relatifnya

14

a) Semi dominansi b) Dominansi parsial c) Dominansi penuh d) Overdominansi Pada kondisi semi dominansi dan dominansi parsial (Gambar 15.2 a dan b) genotipe Aa memberikan kontribusi genetik yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kontribusi genotipe baku (AA), sedang pada kondisi dominansi penuh (Gambar 15.2 c) genotipe ini memberikan kontribusi genetik sama besar dengan kontribusi genotipe AA. Bahkan pada kondisi overdominansi, genotipe Aa menjadi genotipe baku dan kontribusi genetiknya justru lebih besar daripada kontribusi genotipe AA. Dominansi heterozigot (kondisi overdominansi) ini dapat dijumpai misalnya pada kasus resistensi individu karier anemia bulan sabit (sickle cell anemia) terhadap penyakit malaria. Individu dengan genotipe homozigot HbSHbS akan mengalami pengkristalan molekul hemoglobin, dan eritrositnya berbentuk seperti bulan sabit, sehingga individu ini akan menderita anemia berat dan biasanya meninggal pada usia muda. Namun, individu heterozigot HbSHbA justru memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap infeksi parasit penyebab malaria bila dibandingkan dengan individu normal (HbAHbA). Di tempat-tempat yang menjadi endemi penyakit malaria, genotipe HbSHbA merupakan genotipe baku (fitnes relatif = 1), sedang individu normal HbAHbA mempunyai nilai fitnes relatif kurang dari 1. Perubahan frekuensi alel akibat seleksi berlangsung sesuai dengan kondisi dominansi yang ada. Pada kondisi dominansi penuh, misalnya, perubahan frekuensi alel dapat dihitung sebagai berikut. Genotipe Frekuensi awal Fitnes relatif Kontribusi genetik AA p2 1 p2 Aa 2pq 1 2pq aa q2 1-s q2(1 - s ) 1 - sq2 Total 1

Terlihat bahwa kontribusi genetik total mejadi lebih kecil dari 1 karena genotipe aa mempunyai nilai fitnes relatif 1 - s. Dari rumus hubungan matematika antara frekuensi alel dan frekuensi genotipe dapat dihitung besarnya frekuensi alel a

15

setelah seleksi, yaitu q1 = q2(1 - s ) + pq

/ 1-sq2. Jika perubahan frekuensi alel q2(1 - s ) + pq / 1-sq2 - q.

a dilambangkan dengan q, maka q = q1 - q =

Setelah persamaan ini kita elaborasi akan didapatkan q = - sq2( 1 - q) / 1 - sq2. Untuk kondisi dominansi yang lain besarnya perubahan frekuensi alel akibat seleksi dapat dirumuskan dengan cara seperti di atas. 4. migrasi : Di atas telah disebutkan bahwa migrasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini berarti bahwa peristiwa migrasi akan menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Lebih jauh, kuantifikasi migrasi dalam bentuk laju migrasi (lazim dilambangkan sebagai m), sering kali digunakan untuk menjelaskan adanya perbedaan frekuensi alel tertentu di antara berbagai populasi, misalnya perbedaan frekuensi golongan darah sistem ABO yang terlihat sangat nyata antara ras yang satu dan lainnya. Laju migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase alel tertentu di dalam suatu populasi yang digantikan oleh alel migran pada tiap generasi. Sebagai contoh, jika pada tiap generasi sebanyak 80 dari 1000 ekor ikan normal digantikan oleh ikan albino, maka dikatakan bahwa laju migrasinya 0,08 atau 8%. Secara matematika, hubungan antara perubahan frekuensi alel dan laju migrasi dapat dilihat sebagai persamaan berikut ini. pn - P = (po - P)(1 - m)n pn = frekuensi alel pada populasi yang diamati setelah n generasi migrasi P = frekuensi alel pada populasi migran po = frekuensi alel pada populasi awal (sebelum terjadi migrasi) m = laju migrasi n = jumlah generasi

16

5. ukuran populasi terbatas 6. hanyutan genetik (Gene flow) adalah suatu cara untuk mengenalkan variabilitas genetik pada populasi. Mirip seperti migrasi, hanyutan genetik ini muncul saat salah satu anggota dari gene pool mate dengan anggota dari gene pool yang lain yang akan menjadi perubahan dari frekuensi allel.

7. aliran gen (genetic drift) : frekuensi allel dalam populasi kecil secara general tidak merefleksikan populasi yang besar karena populasi yang kecil tidak dapat merepresentasi semua allel pada seluruh populasi. Aliran gen ini muncul jika ukuran populasi terbatas oleh karena itu allel tertentu bisa meningkat dan menurun dalam frekuensi. Hal ini akan menghasilkan pergeseran pada Hardy-Weinberg equilibrium (HWE). Tidak seperti seleksi alam, aliran gen adalah acak dan jarang menghasilkan adaptasi pada lingkungan

Adalah penting untuk dimengerti bahwa di luar laboratorium, satu atau lebih pengaruh ini akan selalu ada. Oleh karena itu, kesetimbangan Hardy-Weinberg sangatlah tidak mungkin terjadi di alam. Kesetimbangan genetik adalah suatu keadaan ideal yang dapat dijadikan sebagai garis dasar untuk mengukur perubahan genetik. Frekuensi alel yang statis dalam suatu populasi dari generasi ke generasi mengasumsikan adanya perkawinan acak, tidak adanya mutasi, tidak adanya migrasi ataupun emigrasi, populasi yang besarnya tak terhingga, dan ketiadaan tekanan seleksi terhadap sifat-sifat tertentu

17

Implikasi evolusioner dari teorema Hardy-Weinberg Teori The Hardy-Weinberg mendemonstrasikan Mendelian loci segregating untuk multipel allel dalam populasi diploid akan tetap pada level yang terprediksi dari variasi genetik dalam tekanan yan dapar merubah frekuensi allel. Cara yang umum untuk memvisualisasaikan ekspektasi ini menjadi p2, 2pq and q2 yang berfungsi sebagai frekuensi allel. Grafik dibawah ini memiliki 2 konsekuensi dari the Hardy-Weinberg principle: 1. populasi heterozigoty (frekuensi dari heterozigot) akan mencapai angka tertinggi saat p = q = 0.5. 2. allel yang jarang akan ditemukan secara primer pada heterozigot, sebagai mana mestinya, jika q jauh lebih kecil 2pq saat q mendekati nol, dan p2 jauh lebih kecil dari 2pq saat p mendekati nol. Poin kedua dari signifikansi spesifik yang kita pertimbangkan sebagai potensial dari seleksi alam yang mempengaruhi frekuensi dari mutasi baru. Jika populasi menyesuaikan diri pada semua asumsi Hardy-Weinberg, pada akhirnya seleksi akan menjadi sebuah allel yang menguntungkan pada populasi sedemikian sehingga semua individu homozigot untuk allel tersebut. Permulaan dari peningkatan dalam frekuensi adalah jarang, menguntungkan. Allel dominan lebih cepat daripada allel resesif yang jarang dan menguntungkan. Ini disebabkan oleh karena kita pernah menemukan allel yang jarang yang kebanyakan ditemukan pada heterozigot, sedemikian sehingga mutasi resesif baru yang tidak dapat dilihat oleh seleksi alam hingga mencapai frekuensi yang cukup tinggi (mungkin disebabkan oleh aliran yang nyata, dan populasi yang terbatas) untuk mulai

18

muncul dalam homozigot, Akan tetapi mutasi dominan yang baru, akan segera tampak pada seleksi alam karena efek kemampuannya yang terlihat pada heterozigot. Sehingga, walaupun Hardy (1908) mendemonstrasikan suatu dominasi yang berdiri sendiri tidak akan merubah frekuensi allel pada suatu locus, hubungan suatu dominasi dalam hubungan antara allel dapat mempengaruhi secara substansial pada jalannya suatu evolusi.

/scitable

uninitedaudio

Figure 4: A plot of Hardy-Weinberg equilibrium genotype frequencies (p to the 2, 2pq, q to the 2) as a function of allele frequencies (p and q).

seleksi, mutasi, migrasi dan hanyutan genetik adalah mekanisme yang berefek pada perubahan frekuensi allel, saat satu atau lebih dari hal-hal tersebut diatas terjadi, populasi melanggar Hardy-Weinberg assumption, sehingga muncul. Sehingga Teorema Hardy-Weinberg mengkonstitutsi null model untuk disiplin ilmu pada genetika populasi dan sebagai suatu fundamental pembelajaran evolusi.

19

Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel autosomal Kemampuan sesesorang untuk merasakan zat kimia feniltiokarbamid (PTC) disebabkan oleh alel autosomal dominan T. Individu dengan genotipe TT dan Tt dapat merasakan PTC, sedang individu tt tidak. Pada suatu pengujian terhadap 228 orang diperoleh bahwa hanya 160 di antaranya yang dapat merasakan PTC. Dari 160 orang ini dapat dihitung individu yang bergenotipe TT dan Tt sebagai berikut. Individu yang tidak dapat merasakan PTC (genotipe tt) jumlahnya 228 - 160 = 68 sehingga frekuensi genotipe tt = 68/228 = 0,30. Dengan mudah dapat diperoleh frekuensi alel t = 0,30 = 0,55 dan frekuensi alel T = 1 - 0,55 = 0,45. Selanjutnya, frekuensi genotipe TT = (0,45)2 = 0,20, sedang frekuensi genotipe Tt = 2(0,45)(0,55) = 0,50. Banyaknya individu yang bergenotipe TT = 0,20 x 228 =46, sedang individu yang bergenotipe Tt = 0,50 x 228 = 114. Jika TT dijumlahkan dengan Tt, maka diperoleh individu sebanyak 160 orang, yang semuanya dapat merasakan PTC. Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel ganda Salah satu contoh alel ganda yang sering dikemukakan adalah alel pengatur golongan darah sistem ABO pada manusia. Seperti telah kita bicarakan pada Bab II, sistem ini diatur oleh tiga buah alel, yaitu IA, IB, dan I0. Jika frekuensi ketiga alel tersebut masing-masing adalah p, q, dan r, maka sebaran frekuensi genotipenya = (p + q + r)2 = p2 + 2pq + 2pr + q2 + 2qr + q2. Frekuensi golongan darah A adalah penjumlahan frekuensi genotipe IA IA dan IA I0 , yakni p2 + 2pr. Demikian pula, frekuensi golongan darah B, AB, dan O pada suatu populasi dapat dicari dari sebaran frekuensi tersebut. Sebaliknya, dari data frekuensi golongan darah (fenotipe) dapat dihitung besarnya frekuensi alel.

Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel rangkai X

20

Telah kita ketahui bahwa pada manusia dan beberapa spesies organisme lainnya dikenal adanya jenis kelamin homogametik (XX) dan heterogametik (XY). Pada jenis kelamin homogametik hubungan matematika antara frekuensi alel yang terdapat pada kromosom X (rangkai X) dan frekuensi genotipenya mengikuti formula seperti pada autosom. Namun, pada jenis kelamin

heterogametik formula tersebut tidak berlaku karena frekuensi alel rangkai X benar-benar sama dengan frekuensi genotipe. Pada jenis kelamin ini tiap individu hanya membawa sebuah alel untuk masing-masing lokus pada kromosom X-nya. Agar lebih jelas dapat dilihat Tabel 15.2 berikut ini. Tabel 15.2. Hubungan matematika antara fekuensi alel rangkai X dan frekuensi genotipe Homogametik Heterogametik Genotipe Frekuensi genotipe Alel Frekuensi alel AA P A pm = P + H Aa H a qm = Q + H aa Q A R A pt = R a S a qt = S

pm = frekuensi alel A pada individu homogametik qm = frekuensi alel a pada individu homogametik pt = frekuensi alel A pada individu heterogametik qt = frekuensi alel a pada individu heterogametik Untuk seluruh populasi frekuensi alel A dapat dihitung, yaitu p = 2/3 pm + 1/3 pt = 1/3 (2 pm + pt) = 1/3 (2P + H + R). Dengan cara yang sama dapat dihitung pula frekuensi alel a pada seluruh populasi, yaitu q = 2/3 qm + 1/3 qt = 1/3 (2 qm + qt) = 1/3 (2Q + H + S). Kontribusi alel sebanyak 2/3 bagian oleh individu homogametik disebabkan oleh keberadaan dua buah kromosom X pada individu tersebut, sementara individu heterogametik memberikan kontribusi alel 1/3 bagian karena hanya mempunyai sebuah kromosom X. Sebagai contoh perhitungan frekuensi alel rangkai X dapat dikemukakan alel rangkai X yang mengatur warna tortoise shell pada kucing. Misalnya, dalam suatu populasi terdapat 277 ekor kucing betina berwarna hitam (BB), 311 kucing jantan hitam (B), 54 betina tortoise shell (Bb), 7 betina kuning (bb), dan 42 jantan kuning (b). Dari data ini dapat dihitung frekuensi genotipe BB pada populasi

21

kucing betina, yaitu P = 277 / (277+54+7) = 0.82. Sementara itu, frekuensi genotipe Bb (H) = 54 / (277+54+7) = 0,16 dan frekuensi genotipe bb (Q) = 7 / (277+54+7) = 0,02. Di antara populasi kucing jantan frekuensi genotipe B, yaitu R = 311 / (311+42) = 0,88, sedang frekuensi genotipe b, yaitu S = 42 / (311+42) = 0,12. Sekarang kita dapat menghitung frekuensi alel B pada seluruh populasi, yaitu p = 1/3 (2.0,82 + 0,16 + 0,88) = 0,89, dan frekuensi alel b pada seluruh populasi, yaitu q = 1/3 (2.0,02 + 0,16 + 0,12) = 0,11.

22

KESIMPULAN Kesimpulan dari teori the Hardy-Weinberg dapat diterapkan jika populasi memiliki asumsi seperti dibawah ini : 1. seleksi alam tidak beraksi pada locus yang dipakai (ex : tidak ada perbedaan yang konsisten pada kemungkinan untuk bertahan hidup atau bereproduksi diantara genotipe). 2. Tidak ada mutasi (allel baru) atau migrasi (perpindahan individu dan gen kedalam atau keluar populasi) yang mendatangkan allel baru kedalam populasi. 3. Ukuran populasi yang tidak terbatas, yang berarti aliran gen tidak menyebabkan perubahan acak pada frekuensi allel karena error pada sampling dari generasi ke generasi. Tentu semua populasi pasti terbatas Of course, all natural populations are finite and thus subject to drift, but we expect the effects of drift to be more pronounced in small than in large populations. 4. Individuals in the population mate randomly with respect to the locus in question. Although nonrandom mating does not change allele frequencies from one generation to the next if the other assumptions hold, it can generate deviations from expected genotype frequencies, and it can set the stage for natural selection to cause evolutionary change.

23

REFERENSI http://18bios1unsoed.files.wordpress.com/2008/03/buku-ajar-gen-15.doc
http://www.nfstc.org/pdi/Subject07/pdi_s07_m01_02_b.htm Andrews, C. (2010) The Knowledge 1(8):65 Hardy-Weinberg Principle. Nature Education

Wigginton, J. E., Cutler, D. J. et al. A note on exact tests of Hardy-Weinberg equilibrium. The American Journal of Human Genetics 76, 887-893 (2005).

Crow, J. F. Eighty years ago: the beginnings of population genetics. Genetics 119, 473-476 (1988). Crow, J. F. Hardy, Weinberg and language impediments. Genetics 152, 821-825 (1999). Darwin, C. On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life. London, UK: John Murray, 1859. (link) Edwards, A. W. F. & Hardy, G. H. 1908 and Hardy-Weinberg Equilibrium. Genetics 179, 1143-1150 (2008). Futuyma, D. J. Evolutionary Biology, 3rd ed. Sunderland, MA: Sinauer & Associates, 1998. Gillespie, J. H. Population Genetics: A Concise Guide, 2nd ed. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press, 2004. Hardy, G. H. Mendelian proportions in a mixed population. Science 28, 49-50 (1908). Mendel, G. Versuche ber Plflanzen-hybriden. Verhandlungen des naturforschenden Ver-eines in Brnn, Bd. IV fr das Jahr 1865, Abhand-lungen (1886): 3-47. (link) Monaghan, F. & Corcos, A. On the origins of the Mendelian laws. Journal of Heredity 75, 67-69 (1984). Weinberg, W. ber den Nachweis der Vererbung beim Menschen. Jahreshefte des Vereins Varterlndische Naturkdunde in Wrttemberg 64, 369-382 (1908).

24

Moonesingh. R, Yesupriya. A, Chang. M, Dowling.N. F, Khoury.M.J, and Scott A.J A Hardy-Weinberg Equilibrium Test for Analyzing Population Genetic Surveys With Complex Sample Designs. 2010 Vol. 171, No. 8

Anda mungkin juga menyukai