Anda di halaman 1dari 29

Gerilya di Atjteh

Hanya dua bulan sebelum pergolakan yang kemudian disebut sejarah sebagai Darul Islam-pecah pada 21 September 1953, Boyd R. Compton berkunjung ke rumah Daud Beureueh di Beureuneun, Pidie. Compton, peneliti dari Amerika Serikat itu, bisa menangkap kegundahan hati si empunya rumah. Compton mencatat sebuah isyarat yang dilemparkan Beureueh, bekas Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Isyarat itu: pemberontakan bersenjata segera meletus di Aceh. Kami di Aceh ini punya impian, ujar Beureueh seperti dikutip Compton dalam bukunya, Kemelut Demokrasi Liberal. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi Negara Islam, ujar Beureueh. Beureueh merasa Jakarta menusuknya dari belakang. Pada masa revolusi, dia adalah barisan kaum republik yang mengganyang kolonial Belanda dari Aceh. Kini, Jakarta pula yang menyakiti hatinya. Jakarta, misalnya, membubarkan Divisi X TNI di Aceh yang terkenal heroik itu. Lalu, pada 23 Januari 1951, status provinsi bagi Aceh dicabut pula oleh kabinet Natsir. Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara. Ketegangan kian memuncak ketika isu daftar hitam dikeluarkan oleh kabinet Sukiman. Di Jawa, daftar itu dipakai untuk menjerat anggota PKI. Tapi, di Aceh, sejumlah tokoh mendadak masuk daftar. Mereka ditangkap serta dijebloskan ke bui. Padahal, mereka ulama yang punya jasa mengusir Belanda. Kita tak bisa lagi bekerja dengan pemerintah tukang tipu, ujar Beureueh. Kebenciannya kepada Sukarno menyala. Meski begitu, dia tetap menghadap Sukarno di Jakarta. Tujuannya satu: mempertegas nasib Aceh. Dia juga menagih janji Sukarno pada awal kemerdekaan untuk memberikan status otonom bagi Aceh. Jawaban Sukarno membuatnya patah arang: Apa boleh buat. Negara baru, tentara baru. Apa yang terjadi tak bisa dibantah lagi. Jawaban Sukarno itu dikutip oleh Mansoer Ismail, sekretaris pribadi Beureueh yang masih hidup dan kini berusia 103 tahun. Menurut Mansoer, Beureueh pun memukul gong pemberontakan itu, 21 September 1953, setelah kongres ulama di Titeue, satu kecamatan di Pidie. Di sana dia menyatakanAceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia, mengikuti jejak Kartosoewirjo

di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata dimulai. Bersama Beureueh, sejumlah pasukan TNI pun balik gagang menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Sehari setelah proklamasi itu, mereka menguasai sebagian besar daerah Pidie, dan bertahan di Garot. Jakarta tak kalah cepat. Dari Sumatera Timur (kini masuk wilayah Sumatera Utara), pasukan pemerintah yang dipimpin Kolonel Simbolon turun ke Garot. Pertempuran pecah. Garot, kota kecil itu, akhirnya jatuh ke tangan TNI. Sejak itu, Beureueh menjalankan taktik gerilya. Posisinya makin kuat karena sejumlah tokoh militer masa revolusi di Aceh, seperti Hasan Ali, Hasan Saleh, Husin al-Mujahid, Ilyas Leube, segera bergabung. Juga sejumlah pejabat sipil setingkat bupati bahkan turut serta dalam kabinet Darul Islam itu. Dari Pidie, pengaruhnya kian luas hingga meliputi seluruh daerah Aceh. Berkali-kali pula TII menyerang tentara pemerintah. Yang tragis adalah buntut kontak senjata di perbatasan Aceh Barat dan Aceh Besar. Saat itu, satu truk TNI yang membawa drum minyak plus 16 serdadu dihajar peluru pemberontak. Kendaraan berat itu meledak. Semuanya tewas terbakar. Tentu saja aksi itu membuat TNI marah besar. Hari itu, 26 Februari 1954, pasukan TNI dari Batalion 142 asal Sumatera Barat memburu para pemberontak Darul Islam di kawasan Lhok Nga, Aceh Besar. Mungkin karena sasaran tak ditemukan di Desa Cot Jeumpa, mereka lalu jadi murka. Sekitar 25 petani tak bersalah di kampung itu ditembak mati. Dua hari kemudian, pembantaian berlanjut ke desa tetangga, Pulot. Serdadu TNI rupanya telah gelap mata. Mereka menghajar 64 nelayan di kampung miskin itu sampai tewas. Termasuk orang tua dan anak-anak, ujar Ahmad Chatib Amarullah, yang akrab dipanggil Acha, wartawan senior Aceh. Acha, kini berusia 73 tahun, masih ingat betul detail peristiwa itu. Dia mencatat, aksi brutal itu baru disiarkan sepekan kemudian di harian Peristiwa edisi 3 Maret. Di koran lokal miliknya itu, Acha memuat berita tersebut dengan judul Banjir Darah di Tanah Rencong. Berita itu juga sampai dikutip oleh koran nasional dan asing, semisal Indonesia Raya dan New York Times. Garagara itu pula parlemen sempat guncang. Warga Aceh di Jakarta protes keras ke Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo agar mengirim misi ke Aceh untuk kasus itu, ujarnya.

Namun, Ali Sastroamijoyo tetap berkeras bahwa pemberontakan Beureueh memang harus ditumpas. Dia makin yakin setelah Tangse dan Takengon, dua basis pasukan pemberontak, jatuh ke tangan pemerintah. Tapi, sampai kabinet Ali jatuh di tahun 1955, perlawanan di Aceh masih terus berlanjut. Beureueh tak mundur setapak pun. Gerilya diteruskan, pasukannya itu terus berpindahpindah tempat. Tapi paling sering kami bermarkas di hutan Lueng Putu, ujar Mansoer. Di hutan belantara itu, Beureueh hidup di sebuah bilik yang disebutnya rumah kulitkarena seluruh dinding dan lantainya terbuat dari kulit pohon. Memang, tak ada lagi pertempuran besar. Meski begitu, Aceh kerap disebut daerah sangat rawan gangguan keamanan. Sementara itu, Jakarta dalam percobaan demokrasi liberal. Pertikaian antarpartai politik begitu panas. Kabinet sering kali jatuh dan kekuasaan politik pun bongkarpasang. Dalam situasi begitu, soal Aceh timbul tenggelam. Akhirnya Sukarno dan Hatta memang mengirim kurir khusus pada Juni 1955 untuk berbicara dengan para pemberontak. Hasilnya nihil. Perubahan terjadi pada 1956, ketika Komandan Daerah Militer Aceh, Kolonel Sjamaun Gaharu, mencetuskan konsepsi Prinsipil Bijaksana. Artinya, selain operasi militer, tetap dijalin kontak dengan pemberontak untuk mencari jalan damai. Kontak itu tak banyak membuahkan hasil secara politik, kecuali kesepakatan yang disebut Ikrar Lamteh pada 8 April 1957. Isinya, semacam gencatan senjata kedua belah pihak. Selain itu, ada kesepakatan antara pemerintah lokal dan pemberontak untuk mengutamakan kepentingan rakyat dan daerah Aceh di atas kepentingan kelompok. Gencatan senjata ini sempat berjalan sampai 1959. Dan momentum itu pun menjadi titik balik pemberontakan. Di masa itulah Perdana Menteri Djuanda mengunjungi Aceh. Dia sempat bertemu dengan Hasan Saleh, Panglima DI/TII. Bersama Hasan Saleh, hadir juga Hasan Ali, Perdana Menteri Negara Bagian Aceh Negara Islam Indonesia. Dalam buku Mengapa Aceh Bergolak, Hasan Saleh mengisahkan saat dia bertemu Djuanda. Dia tetap menuntut kepada Djuanda agar Negara Bagian Aceh dijadikan saja bagian dari Republik Indonesia. Tuntutan berbau federalisme itu ditolak oleh Djuanda. Alasannya, Indonesia telah berbentuk kesatuan. Tak ada tempat buat negara bagian. Meski begitu, Hasan Saleh setuju mencari jalan keluar secara damai. Rupanya, pandangan damai itu tak sejalan dengan Beureueh, sang Wali Negara Bagian Aceh. Dia

meminta Hasan Ali membatalkan gencatan senjata dan mulai lagi serangan gerilya besarbesaran. Saat itu, seperti diakui Hasan Saleh, pengaruh Beureueh masih cukup kuat. Dia juga dibantu oleh Angkatan Kepolisian Aceh yang membelot ke DI/TII dengan 300 pucuk senjata. Itu belum terhitung bantuan dari Kompi Sidikalang pimpinan Ibrahim Saleh. Didera perang selama dua dasawarsa, sebagian tokoh pemberontak itu tampaknya telah letih. Hasan Saleh malah setuju agar pemberontakan Aceh diakhiri saja. Baginya, sebagian tuntutan DI/TII Aceh toh bisa dipenuhi Pusat. Diam-diam, dia bersepakat dengan Kepala Staf Angkatan Darat TNI, Jenderal A.H. Nasution, bahwa tak ada lagi pemberontakan di Aceh. Karena tahu Beureueh pasti tak setuju dengan jalan damai itu, Nasution berpesan kepada Hasan Saleh. Kekanglah Daud Beureueh agar dia tak bergerak lagi, ucap Nasution seperti dikutip Hasan Saleh. Dari situ, Hasan Saleh melakukan manuver yang kelak dikutuk habis oleh sang Wali. Dia dipecat sebagai panglima. Sebagai pengkhianat, darahnya dinyatakan halal. Dosanya tergolong gawat: dia membentuk Dewan Revolusi Negara Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia pada 26 Mei 1959. Saat itu, Dewan Revolusi menabalkan Teungku Husin al-Mujahid jadi wali negara. Sementara itu, Hasan Saleh duduk sebagai panglima perang. Sebagian besar tokoh penting Darul Islam Aceh ternyata berpihak ke dewan ini. Yang menyakitkan Beureueh, para pelaku adalah kawan-kawannya sendiri. Kelompok Dewan Revolusi inilah yang berunding dengan Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi, yang lantas memutuskan Aceh sebagai daerah istimewa. Sebagian tentara pemberontak, seperti yang disepakati dalam perjanjian, bergabung dalam divisi khusus yang menjadi bagian dari Komando Daerah Militer Aceh. Surutkah Beureueh? M. Nur El Ibrahimy, menantu Beureueh, mengatakan apa yang terjadi dengan Dewan Revolusi bukanlah sebuah kudeta, melainkan sebentuk split. Artinya, kelompok DI/TII terbelah dua: faksi Hasan Saleh dan Daud Beureueh. Buktinya, di Aceh tetap saja ada pergolakan setelah tahun 1959 itu. Terutama di sejumlah daerah yang masih setia pada Beureueh, umpamanya Aceh Timur, Aceh Tengah, Tanah Alas, Aceh Utara, dan Aceh Barat. Sementara itu, di tengah perseteruan politik, sebagian orang terus mengupayakan damai. Lagu-lagu damai diciptakan. Isinya mengajak perang berhenti. Yang sangat kondang dan banyak dinyanyikan rakyat adalah lagu Aman, ciptaan Ceh Daman Dewantara, seniman

tradisional asal Gayo. Dia dikenal cukup dekat dengan Teungku Ilyas Leube, tangan kanan Beureueh yang sangat setia. Lagu itu mungkin juga pucuk dari gunung harapan. Seperti pesan kuat pada liriknya itu: Dengan jari sepuluh, saya sampaikan permintaan rakyat/ Kepada Tuan yang sedang bertikai/ Sirih dan tikar telah kami gelar/ Agar Tuan berdua duduk bersama. Begitu arti lirik yang aslinya dalam bahasa Gayo itu. Rupanya, lagu itu sangat mengena di hati sebagian besar rakyat di pedesaan. Air mata sampai tumpah menyanyikan lagu itu, ujar Daman, yang sekarang telah berusia 75 tahun. Gencatan senjata memang berakhir pada 1959, dengan diterimanya proposal daerah istimewa bagi Aceh. Tapi Beureueh masih tetap berkelana di hutan. Di ujung masa pemberontakannya, Beureueh bergabung dengan Republik Persatuan Indonesia, bersama PRRI dan Permesta. Bersama itu pula sejak 1961 nama Negara Bagian Aceh/NII diubah menjadi Republik Islam Aceh (RIA). Hasan Ali menjabat perdana menteri dalam RIA itu. Belakangan, Ali juga turut meninggalkan Beureueh, dan menganjurkan sang Teungku segera turun gunung. Pemerintahan Aceh memang belum kuat. Saat itu Sjamaun Gaharu digantikan Kolonel Mohammad Jasin menjadi Komandan Daerah Militer Aceh. Jasin pula yang mendekati Daud Beureueh dengan rasa hormat, dan terusmenerus menyerukan agar pemimpin pemberontak itu mau turun gunung. Sejak 1961, surat menyurat keduanya terus berlangsung. Bahkan Jasin berani bertemu langsung dengan Beureueh, untuk berdialog empat mata, di sebuah tempat rahasia. Pada hari-hari terakhir di hutan, Beureueh praktis hanya ditemani delapan tokoh, semisal Teungku Ilyas Leube, Hasballah, Amin Negara, Amin Basyah, dan Baihaqi. Posisi mereka kian terjepit lantaran semua daerah basis telah diambil alih oleh Hasan Saleh. Menurut Mansoer, Pengkhianatan membuat kami tak bisa bergerak bebas lagi. Mereka kian sulit melakukan perlawanan. Setahun kemudian, dengan bujukan Jasin, akhirnya Beureueh luluh. Dia bersedia turun gunung, pada 9 Mei 1962, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube. Tapi, soal turun gunung ini, Mansoer memberi catatan keras. Abu Beureueh sebenarnya belum puas karena perjuangannya belum membuahkan hasil, ujarnya. Bagi Beureueh, Jakarta tetap dinilainya sebagai penipu. Soalnya, kesejahteraan rakyat Aceh belum terwujud, meski telah ada status daerah istimewa. Ekonomi masih morat-marit, meski banyak sumber daya alam ditemukan pada awal 1970. Mungkin itu sebabnya Aceh

kembali bergolak, empat belas tahun setelah Beureueh turun gunung. Panggung itu lalu diisi oleh tokoh yang pernah menjadi pengikut Beureueh: Hasan Tiro, yang memulai Gerakan Aceh Merdeka pada Desember 1976. Beureueh memang tak terlibat lagi. Tapi sejumlah rekannya, semisal Teungku Ilyas Leube, memilih bergabung dengan kelompok Hasan Tiro, yang ternyata punya fantasi politik sama: mengembalikan kegemilangan Aceh zaman Iskandar Muda. Sampai meninggal di tahun 1987, Beureueh tak pernah memberi komentar terbuka bagi gerakan Tiro itu. Mungkin dia setuju, atau kecewa dengan fantasi politik itu. Sebab, seperti kata Mansoer: Dalam pidatonya, Hasan Tiro tak pernah menyebut akan mendirikan negara Islam.

Sumber Majalah Agustus 2003

Tempo,

18

http://serbasejarah.wordpress.c om/2011/07/22/gerilya-di-ajteh/ (diakses tanggal 15 Juni 2012 pukul 00.30)

Diplomasi Tanpa Todongan Bedil Aceh 7 Maret 1961. Sepucuk surat mahapenting meluncur dari markas penguasa militer tertinggi di Aceh. Pada bagian luar amplop tertulis alamat yang dituju, yaitu Teungku Muhammad Daud Beureueh, pemimpin gerakan DI/TII Aceh. Surat yang dikirim lewat kurir khusus itu diawali dengan kalimat nan indah: Bahwa inilah warkatul ikhlas, yang datang dari M. Jasin, Kolonel Infanteri, Panglima Kodam Iskandar Muda. Dan mudah-mudahan Ayahanda Teungku dan keluarga dalam keadaan sehat walafiat. Amin ya rabbal alamin. Boleh jadi gaya bahasa Jasin terbilang aneh. Meski seorang panglima militer, Jasin sama sekali tak mengedepankan tekanan. Dalam surat itu Jasin bahkan menawarkan keberangkatan ke tanah suci Mekah kepada Teungku Daud Beureueh dan keluarga. Jasin sengaja memilih jurus sopan itu. Soalnya, Teungku Daud adalah ulama Aceh yang paling disegani pada zaman itu. Ia tak takut ancaman dan tekanan. Teungku Daud justru akan takluk pada orang-orang yang bersikap sopan dan rendah hati. Meski tak kenal secara pribadi, Saya sengaja menyebut Teungku Daud sebagai ayahanda, ujar Jasin. Bukan hanya itu, sebenarnya. Sejak beberapa waktu sebelumnya, segera setelah Jenderal A.H. Nasution menugasinya menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh pada November 1960, Jasin telah menyebarkan selebaran lewat pesawat udara, berisi permintaan agar tak seorang prajurit pun dari Kodam yang mengeluarkan atau menembakkan senjata ke arah pasukan DI/TII. Saya tak ingin menggunakan peluru untuk menyelesaikan pemberontakan di Aceh, katanya. Jasin tak menutup kemungkinan ada prajurit Kodam yang kecewa. Tapi, Mereka harus mengikuti komando dan perintah panglima, ujarnya. Jasin yakin pada laporan dan analisis intelijen bahwa masalah DI/TII di Aceh bisa diselesaikan secara damai. Caranya terbukti efektif. Ribuan pasukan DI/TII Aceh pun turun gunung dan menyerahkan diri. Beberapa tokoh seperti Sulaiman Gading, R. Sulaiman, dan Wahab Ibrahim bahkan menghentikan aktivitas pemberontakan. Jasin mengirimkan surat untuk Teungku Daud Beureueh yang masih memimpin belasan ribu pasukan di kawasan pegunungan sesudah itu. Gayung pun bersambut. Teungku Daud segera membalas surat Jasin. Dalam suratnya, Teungku Daud menyebut Kolonel Jasin dengan

predikat anakanda. Tak tanggung-tanggung, pemimpin pemberontakan DI/TII Aceh itu menulis empat halaman penuh kertas folio. Isinya seputar alasan pemberontakan di wilayah Aceh, yakni upaya penegakan hukum Allah dan Rasul dan akibat kekecewaan rakyat Aceh terhadap sikap Jakarta. Teungku Daud kemudian mengirim utusan pribadi, A.R. Hasjim, untuk menemui Kolonel Jasin di Kutaraja, Banda Aceh. Pendekatan Jasin tak sia-sia. Setelah melalui beberapa kali korespondensi, Teungku Daud bersedia bertemu dengan Jasin. Seperti mendapat durian runtuh, Jasin pun bergegas. Ia mengajak lima orang ulama dan 20 pasukan pengawal berjalan menyusuri hutan di selatan Lhok Seumawe. Agar tak mengesankan permusuhan, Jasin sengaja hanya mengajak sedikit pasukan. Padahal, Letkol Nya Adam Kamil, Kepala Staf Kodam Iskandar Muda, sempat menyiapkan 200 pasukan bersenjata lengkap. Tak cuma itu, Jasin juga memerintahkan pasukannya menggantungkan senjata di bahu. Moncong senapan harus mengarah ke tanah sebagai tanda persahabatan, kata Jasin. Meski telah mendapat lampu hijau dari Teungku Daud Beureueh, perjalanan menuju markas DI/TII bukan tanpa risiko. Selama sekitar empat jam perjalanan di hutan, rombongan Jasin beberapa kali dicegat oleh ratusan pasukan DI/TII. Jasin sempat terheranheran dengan persenjataan yang dimiliki pasukan pemberontak itu. Saat itu pasukan DI/TII setidaknya menenteng empat bazoka. Padahal, ujar Jasin, Saat itu TNI belum memiliki bazoka. Kita tidak punya uang untuk membelinya. Jasin tiba di sebuah bukit yang dipenuhi pasukan DI/TII. Teungku Daud Beureueh, yang telah menunggu, langsung turun dari gubuk panggungnya. Tanpa banyak bicara, Teungku Daud dan Jasin berpelukan cukup lama. Mereka terlihat seperti ayah dan anak yang telah lama berpisah jalan. Ini adalah pertemuan pertama Teungku Daud dengan pejabat militer setelah delapan tahun mengibarkan pemberontakan DI/TII di Aceh. Teungku Daud mengajak Jasin naik ke gubuknya. Sambil minum kopi panas, mereka bicara empat mata selama satu jam. Saat itu Teungku Daud mengulang alasan pemberontakan seperti yang pernah ditulis dalam suratnya. Jasin menanggapinya dengan takzim. Setelah curhat selesai, Jasin mengajak Teungku Daud mengakhiri pemberontakan secara damai. Tawaran ini membuahkan hasil

yang luar biasa. Pada 9 Mei 1962, Teungku Daud beserta ribuan pasukannya turun gunung. Mereka menghentikan pemberontakan dan berikrar untuk kembali ke pangkuan RI. Ini adalah akhir dari sembilan tahun pemberontakan DI/TII Aceh yang diperkirakan merenggut sekitar seribu nyawa. Jasin, yang pada zaman Presiden Soeharto sempat menjabat Sekjen Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik tapi kemudian mengundurkan diri dan belakangan ikut dalam kelompok Petisi 50, menyatakan tak tahu apakah cara yang ia pakai bisa juga digunakan untuk mengatasi Gerakan Aceh Merdeka. Mungkin saja kondisinya berbeda, katanya. Meski berhasil, tak semua orang setuju dengan gaya pendekatan Jasin kepada Teungku Daud Beureueh. M. Nur El Ibrahimy, menantu Teungku Daud yang juga menulis buku tentang mertuanya itu, menyebut tawaran untuk menunaikan ibadah haji sebagai sogokan yang terlalu dini.

Sebenarnya tawaran seperti itu tidaklah sopan. Teungku Daud bukanlah orang yang silau dengan fasilitas dan kemewahan, ujar Ibrahimy. Jasin, kini 82 tahun dan menghabiskan sebagian besar hari-harinya di atas kursi roda setelah stroke menghantamnya dua tahun lalu, mengakui Teungku Daud adalah tokoh yang sederhana. Jasin beberapa kali mengunjungi Teungku Daud, sesudah penyerahan diri itu di Kampung Beureunen, Pidie. Saya melihatnya bekerja menggali parit bersama rakyat biasa. Setelah bekerja, beliau mengajak saya dan rakyat makan bersama, kata Jasin, yang menambahkan bahwa Teungku Daud pun menampik tawaran jip Willys dan rumah darinya. Sumber Majalah Tempo, 18 Agustus 2003 http://serbasejarah.wordpress.com/201 1/07/22/gerilya-di-ajteh/ (diakses tanggal 15 Juni 2012 pukul 00.12)

Tiga Berpayung Kecewa


DAFTAR 300-an tokoh Aceh itu membuat gempar Tanah Rencong. Itulah nama-nama yang dinilai melawan pemerintah pusat. Operasi penangkapan pun terjadi. Berdasarkan daftar hitam itu, Jaksa Tinggi Sunarjo memburu mereka dan menjebloskan mereka ke penjara. Daftar nama itu diperoleh pemerintah dari Mustafa pada 1953. Mustafa adalah utusan Kartosoewirjo-pemimpin Negara Islam Indonesia. Dia ditangkap di Jakarta sepulang mengunjungi Daud Beureueh di Aceh. Aparat menemukan pula dokumen pengangkatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh yang ditandatangani Kartosoewirjo. Dua kali Mustafa Rasjid atau Abdul Fatah setidaknya bertemu dengan Daud Beureueh. Pertemuan itu juga disaksikan Hasan Saleh, salah satu pemimpin militer Aceh. Seru juga saya berdebat dengannya, disaksikan Teungku Daud Beureueh, kata Hasan dalam bukunya, Mengapa Aceh Bergolak. Rupanya ia lebih banyak menguasai bidang politik daripada agama. Penangkapan beberapa tokoh Aceh menjadi pemicu gerakan Aceh melawan pusat. Pada 21 September 1953 meletus perang antara masyarakat Aceh pimpinan Beureueh dan pemerintah pusat. Ini ironis. Sebab, pada Mei di tahun yang sama, di hadapan peserta Kongres Ulama di Medan, Beureueh menyatakan keputusannya mengadakan kerja sama erat dengan pemerintah untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Membela yang benar, menjauhi yang salah. Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat sebenarnya sudah bergejolak pascakemerdekaan. Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh, organisasi bentukan Beureueh, menuntut otonomi dengan menjadikan Aceh provinsi. Tuntutan itu tidak dipenuhi. Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada 1950, yang membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi, menjadikan Aceh kabupaten dan bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Saat perjuangan kemerdekaan, Beureueh menjabat gubernur militer wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dia dikenal sebagai ulama karismatis. Majalah Indonesia Merdeka, dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953, menulis bagaimana Beureueh mampu

menyihir orang lewat ceramahnya berjamjam yang biasa dilakukannya di masjid.

Kartosoewirjo merencanakan Negara Islam Indonesia berbentuk kesatuan dengan rotasi tiga imam: Kartosoewirjo, Daud Beureueh, dan Kahar Muzakkar. Kahar adalah imam pertama pengganti Kartosoewirjo. Berdasarkan faktor usia, semestinya Beureueh yang menjadi imam pengganti pertama. Rotasi model ini ditolak Beureueh. Menurut dia, sistem imam tak memberikan rencana yang jelas mengenai pembagian kekuasaan atau struktur negara. Protes Beureueh terhadap Kartosoewirjo sebenarnya tak semata perihal imam ini. Dia kerap mengkritik kebijakan Negara Islam Indonesia Jawa Barat. Dalam pidato Majelis Syura pada 1960, misalnya, Beureueh menyebut sistem militer Negara Islam Indonesia sebagai sistem bobrok. Beureueh menunjuk Kartosoewirjo telah menghilangkan Dewan Imamah atau pemimpin yang dikuasai para ulama. Katosoewirjo membentuk Dewan ini pada Agustus 1948 dengan melibatkan sejumlah ulama besar, seperti Sanusi Partawidjaja, Kiai Haji Gozali Tusi, dan R. Oni Mandalatar. Pemimpin atau imam dipegang Kartosoewirjo sebagai panglima tertinggi. Pascaagresi militer Agustus 1949, Kartosoewirjo mengganti Dewan Imamah menjadi Komandemen Tertinggi. Lalu Negara Islam Indonesia pun dibagi menjadi lima wilayah: tiga di Jawa serta dua lainnya di Sulawesi Selatan dan Aceh. Tiap wilayah dijabat panglima atau komandan. Organisasi model militer ini pun menghilangkan struktur Majelis Syura yang juga diatur dalam konstitusi Negara Islam Indonesia. Kelompok Jawa Barat memandang struktur militer dibutuhkan saat perang. Sementara Aceh memandang prinsip sebuah negara tak dapat dihilangkan dalam suasana apa pun. Perbedaan pendapat terus berlanjut. Pada Januari 1955, Aceh mengeluarkan struktur pemerintah dengan presiden Imam Kartosoewirjo dan sebagai wakil presiden Daud Beureueh. Beureueh mengembalikan dua ulama yang sempat bergabung dengan Dewan Imamah. Selain itu, dia mengumumkan Aceh sebagai bagian dari negara bagian atau negara konstituen Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo tak setuju dengan tindakan Beureueh. Pada 7 Maret 1957, Kartosoewirjo mengirim surat, menegur Beureueh. Dia menyatakan perubahan itu belum saatnya. Meski Kahar tak banyak melakukan protes atas kebijakan Kartosoewirjo seperti Beureueh, secara mendasar terdapat perbedaan ideologi di antara keduanya. Kahar ingin wilayah kekuasaannya mengikuti negara

Abu-demikian Daud Beureueh biasa dipanggilmendirikan Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh pada 1939. Van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, menyebut watak organisasi Persatuan Ulama mirip Muhammadiyah. Organisasi ini juga bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Persatuan Ulama menggembleng rakyat untuk melawan Hindia Belanda. Daud Beureueh memiliki mimpi Aceh menjadi negara Islam yang besar dan jaya. Kami mendambakan masa kekuasaan Sutan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi negara Islam, kata Beureueh, seperti dikutip Boyd R. Compton dalam bukunya, Kemelut Demokrasi Liberal. Pasca pembagian kekuasaan di masa kemerdekaan pada akhirnya membuat hubungan pusat dan daerah tegang. Tidak hanya Aceh yang tak puas, hal yang sama muncul juga di sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar alias Abdul Qahhar Mudzakkar mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap pusat. Kahar sebelumnya adalah pemimpin Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Kahar marah kepada pusat karena, antara lain, tuntutan agar anak buahnya diterima menjadi tentara nasional tanpa proses seleksi ditolak. Pada Agustus 1951, Kahar mendapat tawaran dari Kartosoewirjo melalui utusan Buchari, Wakil Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Abdullah Riau Soshby. Kahar menerima tawaran dan pada 7 Agustus 1953 ia pun memproklamasikan penggabungan gerakannya dengan Negara Islam Indonesia. Ia menjadi panglima Divisi Hasanuddin Negara Islam Indonesia. Adapun Syamsul Bachri ditunjuk sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan.

Islam model kekhalifahan pasca-Rasulullah. Kahar mengubah istilah imam menjadi khalifah, kata anak sulung Kahar, Hasan Kamal Qahhar Mudzakkar, kepada Tempo. Selain itu, Kahar menggunakan istilah Darul Islam untuk menggantikan sebutan Negara Islam. Kahar sangat tegas menentang terjadinya bidah dan khurafat dalam Islam. Menurut Hasan, sikap ini berbeda dengan Kartosoewirjo. Mungkin karena pemahaman agama Kartosoewirjo yang berbeda, katanya. Menurut buku Al-Chaidar, Pemikiran Politik S.M. Kartosoewirjo, pada akhir 1955, Kahar mengeluarkan Piagam Makalua yang menggambarkan sifat gerakan yang berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional. Dia ingin rakyat meninggalkan gelar adat, seperti andi, daeng, gede-bagus, teuku, dan raden. Gelar haji pun dilarang karena dianggapnya bentuk feodalisme.

penting yang ditembak mati. Ulama terkemuka itu turun gunung pada 1962 dan meninggal pada 1987 dalam usia 91. Adapun soal kematian Kahar ada dua versi. Ada yang mengatakan dia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, dalam Operasi Kilat pada 3 Februari 1965 dan ada yang menyatakan ia tidak pernah tertembak. Yang pasti jenazahnya memang tak pernah ditemukan. Karena itu, ujar Hasan, Keluarga tak berani menyebut ayah itu almarhum.

Sumber Majalah Tempo Edisi 16 Agustus 2010


http://serbasejarah.wordpress.com/201 0/08/18/edisi-khusus-hari-kemerdekaanmajalah-tempo/ (diakses tanggal 13 Juni 2012 pukul 11.34)

Kahar pun melakukan perombakan organisasi sosial dan ekonomi negara. Rakyat dilarang memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol atau sutra, memakai minyak rambut, hingga makan dan minum dari makanan dan minuman yang dibeli di kota seperti susu, cokelat, dan mentega. Darul Islam ingin menciptakan ragam masyarakat yang sama derajat dan puritan, kata Hasan. Karakter dan gaya yang berbeda dari tiga imam ini pada akhirnya membuat gerakan yang mereka pimpin berbeda pula nasibnya. Gerakan Aceh pimpinan Beureueh berakhir damai dengan pemerintah tanpa ada tokoh

Kecewa Lalu Gerilya


Menumpang Momentum Renville

kompromistis terhadap Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa Barat tak terlindungi. Mudah ditebak hasil pertemuan kedua tokoh itu: Sabilillah-laskar yang awalnya dibentuk oleh Partai Masyumi-dan Hizbullah menolak perintah pengosongan. Anggota Hizbullah dan Sabilillah yang hijrah akan dilucuti senjatanya. Beberapa literatur menulis, tentara resmi yang tidak hengkang juga diwajibkan menyerahkan senjata. Aksi kelompok Hizbullah dan Sabilillah ini memicu ketegangan. Kelompok bersenjata yang menolak dilucuti kerap melawan. Oni dan Karto juga sepakat segera menggelar konferensi pemimpin umat Islam se-Jawa Barat. Menurut Pinardi, dalam bukunya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, konferensi itu digelar di Desa Pamedusan, Cisayong, Tasikmalaya, pada Februari 1948. Konferensi dihadiri 160 perwakilan organisasi Islam. Karto hadir sebagai wakil pengurus besar Masyumi Jawa Barat. Salah satu keputusan konferensi itu adalah semua organisasi Islam-termasuk Masyumi-melebur menjadi Majelis Islam Pusat, dan menunjuk Kartosoewirjo sebagai imam. Pada Konferensi itu pula tercetus ide pembentukan Negara Islam Indonesia. Salah satu pengusulnya, Komandan Teritorial Sabilillah, Kasman, merujuk pada dua kekuatan besar dunia saat itu. Kalau mengikuti Rusia, kita akan digempur Amerika. Begitu pula sebaliknya, kata Kasman. Karena itu, kita harus mendirikan negara baru, yaitu negara Islam, untuk menyelamatkan negeri ini. Namun konferensi belum mengambil keputusan tentang negara Islam. Peserta hanya menyepakati perlunya gerakan perlawanan sementara, berupa pembentukan Tentara Islam Indonesia, dan menunjuk Raden Oni sebagai pemimpin. Pasukan Tentara Islam ini memilih bermarkas di lereng Gunung Cupu, di daerah Gunung Mandaladatar, Jawa Barat. Mengenai pembentukan TII ini, Al-Chaidar dalam bukunya, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, mencatat beberapa hari setelah konferensi ada pertemuan lain untuk mewujudkan bentuk konkret TII. Akhirnya, para pejuang Islam itu tidak hanya membentuk TII, tapi juga sejumlah korps khusus, seperti Barisan Rakyat Islam, Pahlawan Darul Islam (Padi), dan Pasukan Gestapu. Ada pula pembentukan korps polisi dan polisi rahasia Mahdiyin.

Kartosoe wirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia karena kecewa terhadap hasil perundingan Renville yang ia nilai merugikan umat muslim. Ia pun hijrah ke hutan-hutan di Garut dan Tasikmalaya. Operasi Pagar Betis melumpuhkan perlawanannya. Kecewa terhadap perjanjian dengan Belanda, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam. Merasa penguasa de facto di Jawa Barat. KEDUA tokoh pejuang Islam Jawa Barat itu bertemu dengan hati penuh kuciwa pada awal 1948. Raden Oni Syahroni adalah Panglima Laskar Sabilillah, sedangkan Kalipaksi alias Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dikenal sebagai pendiri dan pemimpin Institut Suffahyang murid-muridnya menjadi tenaga inti Laskar Sabilillah dan Hizbullah. Mereka membicarakan isi Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, yang mengharuskan tentara dan laskar bersenjata mundur ke belakang garis Van Mook. Kantong-kantong wilayah berisi pasukan bersenjata di dalam garis itu harus dikosongkan. Ketika itu santer terdengar Divisi Siliwangi yang menjadi kebanggaan rakyat Jawa Barat akan hijrah ke Yogyakarta. Pengalaman Perjanjian Linggarjati yang tak dipatuhi Belanda mengingatkan mereka untuk tak mudah percaya kepada taktik penjajah. Cornelis van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam, menulis bahwa para pejuang Islam kecewa terhadap Perjanjian Renville itu. Mereka menganggap Republik dan Tentara Nasional Indonesia tak hanya menunjukkan sikap

Untuk mematangkan rencana pendirian NII, Karto melakukan serangkaian pertemuan dan konferensi lanjutan. Dua bulan setelah konferensi pertama, mereka menggelar Konferensi Cipeundeuy, Bantarujeg, Cirebon. Konferensi itu meminta pemerintah Indonesia membatalkan sejumlah perundingan dengan Belanda. Jika tidak berhasil, pemerintah RI diminta membubarkan diri atau membentuk pemerintah baru. Konferensi juga memutuskan mengadakan persiapan negara Islam untuk menandingi negara Pasundan bentukan Belanda. Persiapan itu meliputi pembuatan aturanaturan ala Islam. Setelah di Cipeundeuy, konferensi lain digelar di Cijoho, Kuningan, yang membahas secara mendalam bentukbentuk ketatanegaraan. Dalam pertemuan ini terbentuk Dewan Imamah (Dewan Menteri), Dewan Fatwa (Dewan Pertimbangan Agung), dan penyusunan Kanun Azazi atau UndangUndang Dasar. Di tengah persiapan pembentukan NII, pada akhir 1948, Ibu Kota Yogyakarta diserang Belanda. Para pemimpin nasional yang berkantor di sana ditawan, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Peristiwa ini dimanfaatkan Kartosoewirjo sebagai propaganda tamatnya riwayat republik yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Maka, pada 21 Desember 1948, Kartosoewirjo mengumumkan komando perang suci, perang total melawan penjajah. Dalam kondisi perang itu, Dewan Imamah dan Dewan Fatwa menjadi kekuasaan tertinggi. Akhirnya, melalui Maklumat Nomor 6, Kartosoewirjo mengumumkan kejatuhan Negara RI dan lahirnya Negara Islam Indonesia. Dia menganggap Jawa Barat sebagai daerah de facto NII, sehingga setiap pasukan dan kekuatan lain-termasuk tentara resmi-yang melewati wilayah ini dianggap melanggar kedaulatan. Mereka harus bergabung dengan TII atau dilucuti. Ketika itulah NII mulai menyerukan jihad fisabilillah. Pada saat bersamaan, Divisi Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah telah kembali ke Jawa Barat dengan melakukan long march. Masuknya kembali tentara Siliwangi ke daerah yang dikuasai pasukan TII menimbulkan gesekan, dan mengakibatkan perang segitiga TII-TNI-Belanda. Perang itu baru padam setelah digelarnya Perjanjian Roem-Royen. Toh, perjanjian ini tak lebih bagus daripada perjanjian sebelumnya. Kartosoewirjo mengecam hasil perjanjian itu, seperti tertuang dalam Pedoman Dharma Bhakti Jilid

II. Ia menuding Mohammad Roem, wakil Masyumi yang memimpin perundingan itu, telah menjual negara.

Perj anjian itu dinilainya menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Dalam kondisi vakum itu, menurut dia, tidak ada kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab. Maka keadaan itu digunakan oleh Kartosoewirjo untuk memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949. Belakangan diketahui, rencana memproklamasikan Negara Islam Indonesia itu bukan yang pertama kali bagi Kartosoewirjo. Ulama Garut masa itu, Kiai Haji Yusuf Tauziri, memberikan pernyataan pernah dua kali diminta Karto memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Namun permintaan itu ditolak Yusuf, Pinardi menulis. Melihat proses pembentukan Negara Islam Indonesia itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai Kartosoewirjo tak memiliki landasan ideologi yang kuat. Apalagi mengingat latar belakangnya sebagai anak mantri candu yang berpendidikan Belanda, dan hanya belajar Islam secara otodidak. Soekarno jauh lebih kuat pengetahuan keislamannya, kata Bahtiar. Bahtiar menunjuk kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville dan perjanjian-

perjanjian berikutnya yang dianggap merugikan kepentingan Indonesia sebagai faktor yang lebih menentukan pemberontakannya. Tatkala pemerintah Soekarno-Hatta terdesak karena agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memanfaatkan momen itu untuk memproklamasikan NII. Pendapat ini disanggah putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Menurut dia, perjuangan ayahnya berlandaskan ideologi Islam yang diperjuangkan sejak ia mulai bergabung dengan Sarekat Islam dengan tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto. Perjanjian Renville hanya momentumnya, katanya.

Sumber Majalah Tempo Edisi 16 Agustus 2010


http://serbasejarah.wordpress.com /2010/08/18/kecewa-lalu-gerilya/ (diakses tanggal 17 Juni 2012 pukul 15.36)

16 AGUSTUS 2010 Relevansi Darul Islam untuk Masa Kini Sidney Jones (Penasihat Senior International Crisis Group) BANYAK yang bisa kita pelajari dari sejarah Darul Islam yang ada relevansinya untuk Indonesia sekarang ini-dan bukan saja tentang bagaimana suatu gerakan radikal bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan melahirkan suatu generasi baru. Ada pelajaran juga tentang akibat buruk saat ketidakpuasan di daerah diabaikan oleh pusat; bahayanya memanfaatkan kelompok Islam garis keras untuk kepentingan politik; bagaimana pentingnya ikatan lintas generasi sehingga masa depan anak-anak anggota kelompok ekstrem harus diperhatikan; dan bagaimana harapan untuk daulah islamiyah tetap hidup. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi masingsuatu atas Selatan, dan Daud Beureueh di Aceh menjadi pahlawan masing. DI, untuk Setiap orang daerah tokoh mereka memimpin mahal

termasuk Jamaah Islamiyah (JI), Ring Banten, dan banyak kelompok sempalan lain. Kahar Muzakkar tewas tertembak oleh tentara pada 1965; beberapa pengikutnya lari ke Sabah, sebagai bekasnya Warisan jaringan sebagian dan di yang dampak lainnya lari ke yang Maluku. terjadi ada Kekacauan pengungsian

pemberontakannya sampai langsung

Sulawesi tidak

sekarang. termasuk yang

Pesantren

Hidayatullah,

didirikan oleh salah satu pengagum Kahar, dan Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam di Makassar, yang Daud ingin melanjutkan di Aceh perjuangan dia melalui upaya advokasi. Pemberontakan perdamaian pemerintah Beureueh berakhir pada 1962. Setelah kesepakatan ditandatangani pada 1963, Beureueh dengan ditarik

kembali sebagai imam gerakan Darul Islam untuk seluruh Indonesia pada 1973. Tapi, empat tahun kemudian, dia ditangkap lagi dan menjadi tahanan rumah sampai wafatnya pada 1987. Gerakan Aceh Merdeka mewarisi nasionalisme Aceh dari DI Aceh, dan banyak pejuang pertama Gerakan Aceh Merdeka adalah anak para pejuang gerakan Daud Beureueh. Setiap versi DI dimulai sebagai balasan terhadap keluhan-keluhan setempat-misalnya kegagalan Jakarta memenuhi janji kepada Aceh tentang status istimewa. Pemunculan mereka menggarisbawahi bahwa salah satu pelajaran kunci untuk Negara Indonesia, yang masih relevan dengan kondisi Papua hari ini, adalah ketidakpedulian pemerintah pusat terhadap keresahan di daerah yang bisa menjadi motor radikalisasi. Kartosoewirjo mengembangkan (awalnya Indonesia), secara khusus dan semacam ideologi

pemberontakan melawan Republik atas nama setiap membayar perannya masing-masing, dan setiap orang menjadi sumber ilham untuk gerakan barupengaruh ketiganya masih terasa sampai hari ini: Kartosoewirjo, yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 1949, ditangkap pada 1962 dan kemudian dieksekusi oleh regu tembak; banyak di antara ajudannya yang top diberi amnesti dan dana untuk kembali hidup seperti warga biasa dalam semacam program "deradikalisasi" zaman dulu. Sampai hari ini, dia menjadi inspirasi untuk semua kelompok, baik yang memilih jalan kekerasan maupun tidak, yang ingin mendirikan negara Islam,

justifikasi untuk jihad terhadap negara kafir Belanda, yang kemudian Republik mirip banyak aspeknya

dengan yang disebut salafi-jihadisme. Sebuah buku yang ditulis Solahudin, wartawan Aliansi Jurnalis Independen, yang akan diterbitkan dalam waktu dekat, menunjukkan salah satu alasan kenapa ideologi yang dikaitkan dengan Al-Qaidah menemukan tanah yang begitu subur di Indonesia, yakni sudah ada landasan yang ditanam oleh pendiri DI. Pada akhir 1950-an, tiga pemimpin DI itu sudah saling menghubungi dan bersepakat memperjuangkan suatu federasi Islam, meski konsep tersebut tidak pernah berhasil-antara lain karena tujuan setempat jauh lebih penting untuk tujuan berbeda, kemarahan rekrutmen bersama. mujahidin rakyat dan mobilisasi puluh daripada tahun Empat

menyelenggarakan "reuni" selama tiga hari, yang katanya dihadiri oleh lebih dari 3.000 orang eks anggota DI. Dus, dana dan fasilitas pemerintahlah yang memungkinkan gerakan setengah mati ini hidup kembali-yang dengan cepat menggigit tangan yang memberinya makan. Dengan diradikalisasi, baik oleh kebijakan Soeharto yang dilihat anti-Islam, seperti asas tunggal, maupun oleh tulisan cendekiawan militan dari Timur Tengah yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, anggota DI dengan cepat memulai kegiatan klandestin untuk melawan negara. Sebagai satu-satunya kelompok di Indonesia dengan sejarah berperang untuk negara Islam, makin banyak pemuda dan mahasiswa yang bisa direkrut-apalagi setelah represi Orde Baru meningkat. Di antara mereka ada Abdullah Sungkar, pendiri JI, dan sesama ustad dan temannya, Abu Bakar Ba'asyir. Salah satu pelajaran yang seharusnya diangkat, tapi ternyata tidak, adalah kooptasi

kemudian, dalam konteks politik yang jauh Indonesia Indonesia mendapat terhadap pelajaran yang mirip: entah betapa kuatnya kebijakan Amerika di Timur Tengah, tetap lebih gampang merekrut orang lewat diskusi soal Tidak Ambon lama dan Poso daripada tentara DI tentang Indonesia di Jawa Palestina dan Irak. setelah mengalahkan pemberontakan

atau kerja sama dengan Islam garis keras untuk tujuan politik lain tidak akan berhasil, dan mudaratnya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Pukulan keras terhadap DI/NII dilaksanakan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada akhir 1970-an dan 1980an, dengan akibat bahwa hampir semua tokoh penting dalam DI ditangkap. Salah satu aspek dari penangkapan ini menonjol: banyak narapidana dan tahanan politik ini punya anak laki-laki yang 20 tahun kemudian muncul sebagai pemimpin saja empat dari JI dan/atau DI pelaku yang terorisme. Sebut Achmad Zainuri pemimpin Kudus; dan ditangkap pada waktu itu: Haji Faleh dan Hussein dari Muhammad dari Madiun; Bukhori

Barat, pada 1965 terjadi peristiwa Gestapu. Prioritas utama dari tentara dan Jenderal Soeharto, yang pada 1966 mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, adalah membasmi Partai Komunis Indonesia. Dengan tujuan ini, prinsip "musuh dari musuh adalah teman" berlaku. Beberapa mantan pemimpin DI, yang melihat dalam Pada komunisme operasi 1971, sebagai PKI, ancaman sampai sedang terhadap Islam, diangkat sebagai mitra TNI melawan ketika disebarkan senjata. Soeharto merencanakan pemilu pertama Orde Baru, anggota DI dilihat sebagai alat rahasia untuk memenangkan Koordinasi Golkar di Jawa Intelijen Barat dan untuk daerah lain. Mereka dikasih uang oleh Badan Negara

Magetan. Anak Haji Faleh, Thoriquddin alias

Abu

Rusdan,

menjadi

amir

sementara

JI

dalamnya ikut dalam kegiatan di luar, supaya jaringan sosial mereka bisa diperluas. Sejarah Darul Islam memberikan pelajaran lain yang seharusnya dipetik oleh Indonesia: pada saat para pemimpin gerakan radikal mulai dilihat terlalu pasif oleh pengikutnya, sayap lebih militan sering muncul, dengan semangat perjuangan lebih tinggi. Perpecahan ini tidak selalu menjadi indikasi bahwa organisasi mau mati. Setelah DI dihidupkan kembali pada 1970-an sampai sekarang, perpecahan ideologi serta kebijakan dan pribadi baru sering muncul. Yang paling terkenal adalah perpecahan JI dari DI pada 1992/1993, tapi ada faksi lain yang keluar karena tidak puas dengan keterlambatan DI merespons setelah konflik Ambon meledak pada 1999. Noor Din M. Top melepaskan diri dari JI pada 2003/2004 dengan membawa pengikutnya ke arah lebih militan. Baru-baru ini, aliansi lintas tanzim yang mendirikan kamp latihan di Aceh terdiri atas unsur-unsur sakit hati atau kurang puas dari sekitar sembilan kelompok berbeda-dan semuanya sangat kritis terhadap JI, yang dilihat tidak mau lagi berjihad. Darul Islam jelas bukan suatu obyek kuno untuk museum. Setelah 50 tahun, ia masih tetap berkembang dan sempalannya masih tetap menjadi inti gerakan Islam radikal di Indonesia-bagaimanapun, ide negara Islam masih tetap bergema untuk generasi baru. Kalau ada yang masih ragu tentang kedigdayaan DI untuk mendorong anak muda berjihad, baca saja tulisan Iqbal alias Arnasan, salah satu pengebom bunuh diri di Bali pada Oktober 2002. Dia menulis kepada keluarga dan teman di Malingping, Banten, bekas basis DI: "Ingat wahai Mujahidin yang di Malingping. Imam kita S.M. Kartosoewirjo dulu waktu membangun dan menegakkan sekaligus memproklamasikan kemerdekaan NII dengan

setelah Abu Bakar Ba'asyir ditangkap. Salah satu putra Achmad Hussein, Taufik Ahmad alias Abu Arina, menjadi tokoh JI Jawa Tengah. Anak Zainuri, Fathurrahman al-Ghozi, tewas tertembak di Mindanao pada 2003; dia terlibat dalam pengeboman di Jakarta dan Manila. Adik Al-Ghozi, Ahmad Rofiq Ridho alias Ali Zein, ditangkap karena menolong Noor Din M. Top, dan sekarang bebas. Anak Bukhori, Lutfi Haedaroh alias Ubeid, baru ditangkap untuk kedua kalinya karena ikut kamp militer di Aceh. Ubeid dan Umar Burhanuddin bekerja sama dengan Noor Din sebelum pengeboman Kedutaan Australia pada 2004. Putri-putri tahanan DI juga muncul sebagai istri orang JI pada 1990-an. Kalau Indonesia bisa belajar dari masa lalu, seharusnya ditargetkan program kepada adik kontra-radikalisasi dan anak para

tahanan radikal dan kepada sekolah yang mereka ikuti. Kartosoewirjo, lebih dari Daud Beureueh bahwa dia atau? Kahar Muzakkar, mengerti harus yang indoktrinasi dirikan di dan Jawa regenerasi Barat,

dilaksanakan bersama. Lembaga Suffah yang menggabungkan kajian agama dan politik dengan latihan militer, mungkin merupakan sumber teladan dan inspirasi bagi sekolah JI yang terkenal, seperti Al-Mukmin di Ngruki atau Lukmanul Hakiem di Johor, Malaysia. Walaupun JI untuk sementara rupanya tidak tertarik pesantren melakukan dan dalam amaliyat lain-lain), jaringannya di (operasi pesantrenJawa, pengeboman

Lampung, Lombok, dan daerah lain adalah kunci kelangsungan hidup, karena di situlah anak-anak pemimpin JI dididik. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme seharusnya memprioritaskan program pengawasan secara ketat terhadap sekolah-sekolah ini-sekarang lebih dari 50-dan menarik anak-anak di

darah dan nyawa para syuhada bukan dengan berleha-leha, santai-santai saja seperti kita sekarang. Kalau kalian benar-benar ingin membangun kembali kejayaan NII yang hari ini terkubur, siramlah dengan darah-darah antum agar antum tidak malu di hadapan Allah. Padahal kalian mengaku sebagai anak DII/NII." Sumber : Tempo Online

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/20 10/08/16/LU/mbm.20100816.LU134381.id.htm l (diakses tanggal 10 Juni 2012 jam 09.48 )

18 AGUSTUS 2003 Aceh: Islam dan Nasionalisme Isa Sulaiman Sejarawan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh BILA sejarah tak mau terperangkap dalam tapal batas antikuarianisme, perlu dilakukan generalisasi. Itulah yang dilakukan Steenbrink dalam kolomnya, Dari Lada ke Kalam Allah, Dengan titik tolak konflik antara Houtman bersaudara dan Sultan Aceh (1599), ia menyimpulkan pertikaian pendapat sekitar soal-soal praktis telah beralih menjadi konflik pribadi dan agama. Secara amat berani ia berpendapat bahwa struktur demikian tetap konsisten dalam dinamika konflik yang mewarnai sejarah hubungan Aceh-Belanda di kemudian hari, terutama dalam Perang Aceh (18731903). Generalisasi sejarah, barangkali juga dalam ilmu-ilmu sosial, sukar diuji dengan eksperimentasi terkendali, mengingat kompleksitas ihwal manusia. Namun, sejauh yang dapat dilakukan, kiranya hal itu bisa dikerjakan dengan prosedur "metasejarah" atau memperbandingkan dan mempertentangkan kategori-kategori perkembangan sejarah untuk menemukan dan menerangkan persamaan dan ketidaksamaan. Terlepas benar-tidaknya generalisasi tersebut, berikut ini dipaparkan aspek hubungan kekuasaan dan agama yang mewarnai konflik vertikal AcehJakarta dalam wujud pemberontakan Darul Islam (1953-1962). Wacana yang selama ini berkembang cukup dominan ialah pemberontakan itu meletus karena Teungku M. Daud Beureueh (1898-

1987) tidak puas terhadap pemerintah pusat yang nasionalis dan sekuler. Sebagai ulama yang berpendirian bahwa politik dan agama merupakan kesatuan untuk penerapan syariah, dia pun mengangkat senjata untuk mewujudkan Daulah Islamiyah. Suatu paradoks terjadi ketika Daud Beureueh mengangkat senjata. Di samping beberapa komponen sosial lainnya, sejumlah ulama menolak dan menentang keras perjuangannya. Salah seorang yang paling menonjol ialah Syekh H.M. Wali al-Khalidi (1917-1962), ulama tarekat Naqsyabandiah, pengasuh Pesantren Darussalam di Labuhan Haji, sekitar 400 kilometer di selatan Banda Aceh. Setidaknya dua kali berturut-turut ia mengumumkan fatwa, baik tentang pemberontakan Darul Islam maupun tentang isu politik nasional masa itu. Fatwa pertama melalui Safinatus Salamah wanNajah ("Kapal Keselamatan dan Kemenangan"), beberapa hari setelah Daud Beureueh memproklamasikan Darul Islam; sementara fatwa kedua berjudulTiang Selamat bagi Segala Lapisan Pemerintah dan Rakyat, pada akhir 1957, ketika Darul Islam Aceh memperoleh tonikum baru akibat konstelasi politik nasional. Kedua fatwa tersebut didasarkan pada AlQuran Surat Al-Maidah ayat 248-249 dan tiga kitab: Tafsir Shawi, Tuhfah, dan Bughyatul Musytarsyidin. Menurut kedua fatwa, Indonesia adalah Darul Islam; Presiden Sukarno adalah imam bil istilah; Presiden Sukarno tidak kafir atau uzlah; jalan lain masih ada, yaitu pemilihan umum. Selain itu, latar belakang pemberontakan tidak singgungmenyinggung dengan Islam, tapi "keperluan suatu golongan dengan menjadikan agama sebagai topeng." Karena itu, sidang para ulama

menetapkan pemberontakan tersebut sebagai bughah, mazmum, dan hukumnya haram. Fatwa tersebut juga menolak pengertian syahid dalam perjuangan melawan pemerintah yang sah, selain mempersoalkan infak yang dikutip dari penduduk yang dinilai tak lebih sebagai pemberian biasa. Menurut Syekh H.M. Wali alKhalidi, pemerintah Republik Indonesia bukanlah kufur karena mereka menjalankan hukum nasional atau hukum adat negeri. Kalau pemerintah menjalankan hukum Islam, penduduk Indonesia akan terpecah-belah sehingga berakibat hilangnya kemerdekaan. Pemerintah juga tidak melecehkan hukum agama, tapi justru mengerti betul bagaimana sulitnya menerapkan hukum Islam dalam masyarakat majemuk. Lagi pula betapa sulit menjatuhkan hukuman zina karena dibutuhkan empat saksi yang melihat sendiri. Karena itu, hukum nasional bila ditinjau secara sungguh-sungguh hampir menyerupai hukum Islam. Argumen dalam kedua fatwa tersebut cukup jelas memperlihatkan betapa Wali al-Khalidi adalah ulama sufi yang kurang mementingkan syariah oriented, tapi berpandangan liberal, lebih menonjolkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Pengkhidmatan terhadap sesama manusia, menurut dia, harus menjadi landasan moral kehidupan politik Indonesia. Karena itu, ia kurang setuju bila Islam dijadikan komoditas politik untuk diperjualbelikan atau sebagai simbol seperti yang terjadi dalam perpolitikan di tanah air kita. Pernahkah terjadi konflik pribadi antara Wali al-Khalidi dan Daud Beureueh? Sejauh data yang tersedia, tidak pernah. Malah, ketika Daud Beureueh menjabat Gubernur Aceh,

Wali al-Khalidi pernah ditawari pindah ke Kutaraja, kini Banda Aceh. Namun tawaran itu ditolak secara halus karena ia lebih suka memimpin pesantren. Itu tak berarti ia buta politik. Merupakan pengetahuan umum, dialah pelopor berdirinya Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Aceh, Mei 1942. Hanya, ia tak mau menjadi pengurus. Ia selalu menjaga jarak dengan politik atau kekuasaan, agar terhindar dari konflik kepentingan. Sumber : Tempo Online http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/2003/08/18/LK/mbm.20030818. LK89670.id.html#(diakses tanggal 10 Juni 2012 pukul 10.10)

Tapi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam 1 8 AGU ST US 2003 Beureueh, Pemberontakan dengan Sebab Klasik CERITA ini bermula pada sebuah dokumen rahasia. Tak ada yang tahu isinya dengan persis. Di kalangan tentara Darul Islam Acehgerakan pemberontakan yang mencuatkan nama Teungku Daud Beureueh sebagai ikon perlawanan disebut Belanda dari Serambi "les van Mekah-ia hanya Sejarawan menyebutnya sebagai Cornelis hitam". Dijk rapat paripurna DPR pada 2 November 1953 menyangkal telah menyusun daftar itu. Tak penting benar apakah dokumen itu ada atau tidak. Yang pasti, rumor tentang rencana pembunuhan itu membuat pemberontakan Darul Islam di Aceh menemukan momentumnya. Aktivis Darul Islam langsung pasang kuda-kuda. Teungku Daud Beureueh, salah satu orang yang disasar oleh dokumen tersebut, segera mengacungkan kapak perang. "Les hitam adalah bukti yang menimbulkan kecurigaan kita bahwa pencetus peristiwa berdarah itu adalah Teungku kata Nur permainan Daud el-Ibrahimy, lawan-lawan Beureueh menantu politik untuk Beureueh

"daftar hitam". Selebihnya, dalam sengkarut revolusi yang membakar Tanah Jeumpa pada awal 1950-an, ia bahan gunjingan yang adalah hangat. Pengirimnya disebut-sebut

pemerintah Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tinggi Sunarjo, yang membawanya ke Medan. Tapi ada juga yang menyebutnya warisan kabinet Sukiman. Jakarta Yang puncak dengan lain membunuh terang, rakyat 300 menyebut setelah isinya Aceh: tokoh 190 menggambarkan pemerintah Jakarta penting berencana perseteruan

menghancurkan beliau dan kawan-kawan," sekaligus saksi sejarah Aceh yang kini berusia 94 tahun. Setelah itu, kita tahu, sembilan tahun Daud Beureueh memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan bendera Darul Islam. Gerakan itu menjadi pembuka kisah perlawanan Aceh pasca-era kolonial-sesuatu yang hingga kini belum juga berakhir-dan memunculkan Daud Beureueh, tokoh besar yang sulit dilupakan sejarah. "Les hitam" bukan satu-satunya alasan mengapa peristiwa itu ada. Membela Republik Daud di masa perjuangan kemerdekaan, Beureueh

Aceh-sumber sebuah ini

tokoh-melalui Keputusan akan

operasi

rahasia. Jakarta melawan

diambil

memastikan kawasan di ujung barat Sumatera menggelar pemberontakan pusat. Tapi tak ada yang bisa memastikan keberadaan dokumen itu. Sejarawan Belanda lainnya, B.J. Boland, dalam bukunya The Struggle ada. of Islam in itu Modern Indonesia, oleh untuk Aceh," menyebutkan sebetulnya surat itu tak pernah "Desas-desus sayap diembuskan di Jakarta di Islam politikus kiri

merasa dikhianati Sukarno. Divisi X TNI di Aceh dibubarkan dan pada 23 Januari 1951 status provinsi bagi Aceh dicabut. Ada yang menyebut kabinet Natsir yang melakukannya. Tapi ada yang berpendapat itu hasil kabinet sebelumnya. Apa pun, yang terang Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara (lihat Di Bawah Kibaran Darul Islam). Van melantik Dijk bercerita. Hakim Dua hari setelah Gubernur keputusan itu diambil, pemerintah Jakarta Abdul menjadi Sumatera Utara dengan Medan sebagai ibu

menghantam

gerakan

katanya. Secara tersirat Van Dijk menduga dokumen itu ada. "Daftar nama itu barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa mereka mungkin akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke gunung," kata Van Dijk.

kota pemerintahan. Beureueh, yang saat itu adalah bahkan gubernur tak tahu ke jenderal perihal residen yang meliputi kawasan Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, pengangkatan koordinator gubernur baru tersebut. "Semua surat yang dialamatkan dikembalikan ke Medan tanpa dibuka atas perintah Daud Beureueh," tulis Van Dijk. Kesumat tak hanya muncul karena wewenang kekuasaan yang dilanggar. Telah lama Aceh merasa dipinggirkan penguasa Republik. Ekonomi rakyat tak diperhatikan, pendidikan morat-marit, dan Jakarta dalam pandangan Beureueh hanya sibuk bertikai dalam sistem politik parlementer. Dan yang terpenting, status otonomi khusus-yang memungkinan Aceh memiliki sistem pemerintahan sendiri dengan asas Islam-tak kunjung dipenuhi Bung Karno. Itulah sebabnya Beureueh lalu bergandengan tangan dengan Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam di Jawa Barat, yang lebih dulu mengibarkan bendera perang. Tak jelas benar siapa yang lebih dulu "membuka kata" untuk sebuah kongsi yang bersejarah ini. Menurut sebuah dokumen rahasia yang belakangan terungkap, Beureueh dan orang kepercayaannya, Amir Husin al-Mujahid, pernah berunding dengan Karto di Bandung pada 13 Maret 1953. Utusan Karto, Mustafa Rasyid, pernah pula dikirim ke Aceh untuk membicarakan hal yang sama. Mustafa ditangkap tentara Indonesia ketika kembali ke Jawa pada Mei 1953. Kemarahan Beureueh ini mendapat kongres dukungan ulama publik di Aceh. Medan, Dalam yang Aceh

hanya ditulis

akan

memajukan pada dan

agama

Hindu. 1953.

Puncaknya adalah maklumat perang yang Beureueh Aceh September daerah "Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia sekitarnya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh," demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa. Jakarta bukan tak bergerak. Sebelum tentara dikirim, Sukarnolah yang mendatangi Aceh untuk mendinginkan suasana. Tapi, seperti kunjungannya pada 1951, kunjungan menjelang perang berkobar itu disambut dingin. Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di jurnal Pacific Affairs pada 1963 mencatat betapa Sukarno tak berdaya disambut poster-poster antipresiden. "Kami cinta presiden tapi lebih cinta agama," begitu bunyi salah satu poster. Wakil Presiden Hatta, yang punya latar belakang keislaman, relatif lebih berhasil. Dalam kunjungan pada Juli 1953, ia bisa berhasil pulang berunding ke Jakarta dengan dengan Tak Beureueh dan keyakinan

mengatasi

keadaan.

seperti Sukarno, Hatta adalah orang yang sejak awal percaya bahwa pemberontakan daerah hanya bisa diatasi dengan menerapkan otonomi khusus dan federalisme. Tapi Hatta justru dikepung oleh kritik politikus sekuler, terutama PKI. Hatta dianggap ceroboh karena kepada telah menggunakan Menteri pengaruhnya sehingga Perdana Wilopo

pemerintah tak mengambil tindakan apa-apa menghadapi Aceh hingga 1953. Pertempuran akhirnya memang tak terhindarkan di Aceh. Dan Daud Beureueh berdiri dalam pusaran konflik yang berkepanjangan. Dilahirkan di Beureueh, Sigli, pada 1898, Muhammad Daud adalah lelaki yang tak pernah mengenal sekolah formal. Ia mengecap pendidikan di beberapa pesantren di Sigli. Salah satunya milik Teungku Muhammad Hamid-orang tua Farhan Hamid, anggota DPR asal Partai

dilanjutkan dengan kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)-lembaga yang dipimpin oleh Beureueh-di Langsa, April 1953, Jakarta. menggumpallah iktikad melawan

Orang-orang Jawa dan Medan mereka sebut sebagai "kafir yang akan merebut Aceh." Sukarno mereka sebut sebagai presiden yang

Amanat Nasional. Pada usia 33 tahun, Daud mendirikan Madrasah Sa'adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli. Daud adalah ulama yang disegani. Majalah Indonesia Merdeka dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953 menulis betapa hanya Daud bisa menyihir orang Daud tak dalam segan ceramahnya yang berjam-jam di masjid. Tak memukau, melontarkan kritik keras kepada mereka yang meninggalkan akidah Islam. "Lidah Teungku Daud sangat enteng mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat yang dianggapnya perlu," tulis Indonesia Merdeka. Karena karismanya itu, Beureueh dipercaya memimpin pertempuran tentara melawan Indonesia Belanda. dalam Beureueh

lembaga

ini

bertujuan yang bersih. yang

menegakkan Tapi, melihat dikeluarkannya, meminta panitia PUSA.

pemerintahan

statemen-statemen Badan Pemilu Keinsjafan, pusat dari 1955

jelas badan ini bertujuan menggugat PUSA. misalnya, membersihkan "anasir-anasir" pemerintah

Kunjungan pejabat Jakarta ke Aceh masa itu kerap disambut oleh demonstrasi pendukung keduanya. dibentangkan Salah BKR satu poster yang misalnya berbunyi,

"'Teungku Daud Beureueh Pengisap Darah Rakyat'," tulis Van Dijk. Van Dijk malah menuding gerakan Persenjataan PUSA PUSA tak ketika independen. bertempur,

misalnya, tak lain berasal dari Jepang. Tapi tudingan ini dibantah El-Ibrahimy. Menurut dia, mereka berperang dengan menggunakan sisa-sisa senjata milik Jepang yang disita rakyat. Menurut El-Ibrahimy, serangan kepada Beureueh dan PUSA memang beragam. Tak hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Kasysyafatul menerima Borsumij, "Bagaimana dalam Islam, bantuan sebuah masuk pernah 4.000 akal disebut-sebut pakaian kami Daud Daud dari Belanda. menerima Beureueh: di DI/TII oleh Beureueh

juga menjadi orang yang bisa menyatukan laskar-laskar perang di Aceh ketika mereka hendak digabungkan menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Itulah sebabnya, meski ia tak mengenal sekolah, Wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkatnya menjadi gubernur militer dengan pangkat jenderal mayor tituler. Tapi Daud bukankah tokoh tanpa kontroversi. Salah satu yang terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA-lembaga yang didirikannya pada 1939-terutama uleebalang Belanda. Telah kaitannya lama dengan sebetulnya kaum ada yang didukung pemerintah

perusahaan

sumbangan dari musuh?" tulis El-Ibrahimy buku Teungku dalam sebagian itu Peranannya berlarut-larut: gunung, perang. Pada 1961, ia menyerahkan diri kembali ke pangkuan menyuratnya Republik, dengan selepas Kolonel menjalani M. Jassin, pemberontakan yang panjang. Dalam suratPanglima Kodam I Iskandar Muda, yang diutus untuk membujuk Beureueh, ia menyatakan kesediaannya untuk turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah Pergolakan pimpinan rakyat lelah

Aceh. Pemberontakan

hubungan yang tak harmonis antara kalangan ulama dan kaum pamong praja di Aceh. Kalangan ulama menunding uleebalang hanya menjadi boneka penjajah. Puncaknya adalah Perang Cumbok yang terkenal itu (lihat Cumbok, Sepotong Sejarah Gelap Aceh). Van Dijk mencatat, menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di antara keduanya sudah terlihat. Pada 8 April 1951, kaum uleebalang Rakjat membentuk (BKR). Secara Badan resmi Keinsjafan

menjalin kontak dengan pusat dan turun sementara

dengan

kalangan

ulama.

Ia

bukan

lagi

pejabat, bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut banyak. Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah karismanya rakyat Aceh. kendaraan Orde Di Baru Jakarta, dan untuk meski biaya tajam. rindu mencegah perlawanan dipinjami hidupnya "Tak ada menggelorakan pribadi

ditanggung pemerintah, Beureueh menderita. Kesehatannya Daud kecuali merosot penyakit penyakit yang serius yang diidap Teungku kampung halaman," kata El-Ibrahimy. Ia tutup usia di tanah Aceh pada 1987. Napasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM)-masa yang membuat luka di Tanah Rencong kembali terbuka. Sumber : Tempo Online

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/20 03/08/18/LK/mbm.20030818.LK89642.id.html (diakses tanggal 10 Juni 2012 pukul 10.31)

17 NOVEMBER 1990 Mengapa aceh selalu gelisah ACEH mirip gunung berapi. Kepundannya senantiasa bergolak dan -- sewaktu-waktu bisa meletus. Belanda dan Jepang pernah dibuat tak pernah bisa tidur nyenyak. Rentetan perlawanan susul-menyusul seperti tak ada habisnya. Pada masa kemerdekaan pun rencong Aceh masih sering terhunus. Segera setelah pemerintah Republik Indonesia menerima kedaulatan lewat Konperensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 dan Belanda angkat kaki, Teuku Muhammad Daud Beureueh memimpin pemberontakan Darul Islam Aceh (1953-1963). Padahal, selama revolusi nasional 1945-1949, Bung Karno menjuluki Aceh sebagai "modal revolusi" yang paling diandalkan. Ketika itu, Aceh merupakan pendukung Republik yang setia. Aceh juga merupakan satusatunya wilayah yang tak bisa ditaklukkan oleh agresi Belanda 1947 dan 1948. Buat banyak orang, Aceh memang sebuah misteri yang sulit dimengerti. Banyak buku yang sudah ditulis. Namun, menurut Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, 46 tahun, belum ada satu studi yang komprehensif mengenai kepolitikan Aceh pada kurun 1953-1962. "Tulisan-tulisan yang ada hanya mengemukakan kejadian, tidak menampilkan apa di baliknya. Selain itu, keterlibatan rakyat Aceh dalam pemberontakan itu kurang dibahas," katanya. Dosen pascasarjana FISIP UI kelahiran Aceh ini mengadakan dua kali penelitian, pada 1973 dan 1975. Hasil penelitiannya mengantarkan Nazaruddin meraih gelar doktor dalam bidang ilmu politik dari Universitas Monash, Australia, pada 1978. Semula disertasi itu berjudul The Acehnese Rebellion of 19531962, a Case Study of Problems of

National Integration in Indonesia. Tetapi, ketika diterbitkan oleh Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, pada 1985, ia diubah jadi The Republican Revolt, -- a Study of the Acehnese Rebellion. Dan kini, oleh penerbit PT Pustaka Grafiti, diterjemahkan menjadi Pemberontakan Kaum Republik, Kasus Darul Islam Aceh (1990), setebal 377 halaman. Dalam catatan Nazaruddin, selama ini dikenal ada tiga jenis tafsiran yang melatarbelakangi pemberontakan tersebut. Yang pertama memandang pemberontakan itu sebagai ungkapan konflik antara ulama dan ulebalang -kaum bangsawan -- yang sudah berlangsung jauh sebelum kemerdekaan. Teori ini antara lain dianut oleh W.F. Wertheim dalam bukunya Indonesian Society in Transition (1969). Tafsiran kedua menganggap pemberontakan itu merupakan dampak konflik Masyumi dan PNI (Partai Nasional Indonesia) di pentas politik nasional. Misalnya, yang dikemukakan Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1968). Puncak konflik itu terjadi pada 1953, ketika PNI mengucilkan Masyumi dari Kabinet Ali Sastroamidjojo. Ketidakpuasan segera merembet ke Aceh, yang memang menjadi salah satu basis terkuat Masyumi. Aceh menganggap penyingkiran Masyumi itu sebagai isyarat bahwa Pemerintah akan menghadapi pemimpin setempat dengan cara yang lebih keras. Tafsiran ketiga dikemukakan M.A. Nawawi dalam bukunya Regionalism and Regional Conflict in Indonesia. Nawawi memandang pemeberontakan itu bertolak pada konflik kepentingan antara Aceh sebagai bagian wilayah Republik Indonesia dan Pemerintah Pusat. Para pemimpin Aceh menghendaki sebuah

otonomi. Sebaliknya, Pemerintah Pusat menginginkan sentralisme melalui birokratisasi. Bagi Nazaruddin, tafsiran-tafsiran itu tidak cukup menjelaskan semua fakta secara memadai. Maka, penelitiannya meliputi berbagai sumber. Ada sumber kepustakaan sebagai bahan sekunder. Lantas notulen-notulen rapat DI Aceh dan surat-menyurat DI Aceh dengan DI Jawa Barat dijadikan sumber primer. Sementara itu, wawancara dengan pentolanpentolan DI Aceh Daud Beureueh dan Teuku Husin Al-Mudjadid dan penduduk yang mengalami peristiwa itu merupakan bahan yang amat berharga. Dengan pendekatan itu, Nazaruddin menemukan fakta bahwa di samping unsur pertentangan antara ulebalang dan ulama yang menyebabkan pemberontakan, ada faktor-faktor lain yang lebih penting. Yang pertama, rasa kedaerahan di Aceh yang kuat sekali. Rasa kedaerahan ini bukan semata-mata sukuisme, tapi juga punya dimensi agama. "Filosofi orang Aceh memang tidak memisahkan agama dan suku atau agama dan adat," tutur Nazaruddin. Bahwa pemberontakan itu bukan semata-mata bersifat keagamaan, Nazaruddin punya bukti. Waktu pemerintahan dikuasai Masyumi (PM Burhanuddin Harahap), 1955, pemberontakan tidak berakhir. Malah pada Pemilu 1955 pemberontak menakut-nakuti masyarakat agar tidak memilih Masyumi. Di sini, terhadap Masyumi, faktor kedaerahanlah yang lebih muncul. Faktor kedua terlihat bila organisasi pemberontakan ini ditinjau. Di sini ditemukan konsep ulama dan zuama. Memang, pemberontakan itu dimotori oleh para ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini didirikan pada 1939 oleh ulama-ulama pembaru

seperti Teuku Muhammad Daud Beureueh. "Namun, dalam perkembangannya, PUSA juga beranggotakan para zuama," ujar Nazar. Zuama adalah pemimpin yang memiliki pengetahuan tentang Islam, tapi bekerja dalam bidang-bidang yang bersifat sekuler. Misalnya birokrat di jajaran pemerintahan. Sedangkan kaum ulama memilih pekerjaan yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Contohnya Daud Beureueh. Dengan pembedaan itu, Nazaruddin menjelaskan mengapa dan bagaimana pemberontakan itu dimulai dan berakhir. Gambaran pentas politik Aceh pada awal 1950-an memperlihatkan bahwa ulama dan zuama sama-sama memiliki kekecewaan terhadap Pemerintah Pusat, kendati bentuknya berbeda. Kalangan ulama telanjur memandang revolusi kemerdekaan sebagai jembatan untuk melaksanakan hukum Islam. Pada 1948, lewat Mahkamah Syariah pada 1946, mereka menuntut agar Presiden Soekarno menyatakan Islam sebagai dasar negara. Tetapi Soekarno menolak. Sementara itu, para zuama dikecewakan oleh Kabinet Natsir, yang membubarkan Provinsi Aceh pada 1951 dan menggabungkannya ke dalam Provinsi Sumatera Utara yang beribu kota di Medan. Ini berarti dominasi zuama dalam pemerintahan berkurang. Segenap lapisan rakyat pun tidak senang melihat hadirnya pejabat non-Aceh yang memerintah Serambi Mekah itu. Pemerintah Pusat juga mereka anggap terlalu menganaktirikan daerah dalam hal pembangunan. Di sini rasa kedaerahan masyarakat Aceh tersinggung. "Masyarakat Aceh melihat daerah mereka sebagai sebuah single entity -- kesatuan utuh. Mereka tidak mau kalau keutuhan itu

dipecah. Apalagi diletakkan di bawah daerah lain," kata Nazaruddin. Sentral Aceh selama berabad-abad adalah di Banda Aceh. Kalau Pusat ingin berhubungan dengan Aceh, menurut Nazaruddin, harus menghubungi Banda Aceh dulu, baru daerah-daerah lain. Sejarah mencatat, perlawanan terhadap Pusat berangsur-angsur pudar setelah Pemerintah menghidupkan kembali Provinsi Aceh pada 1957. Saat itulah para zuama kembali ke pemerintahan. Dan perlawanan itu semakin memudar tatkala Aceh memperoleh status daerah istimewa pada 1959. Tinggal kaum ulama yang terus melanjutkan perlawanan sampai pemerintah menjanjikan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh pada ]962. "Andai kata kebijaksanaan itu tidak ditempuh, saya ragu Aceh akan berhenti bergolak," kata Nazaruddin. Ia lalu menyimpulkan, hanya ada satu hal yang bisa menenangkan orang Aceh agar tidak terus bergolak: ada pengakuan terhadap kesatuan Aceh. Dalam arti terhadap nilai-nilai kesatuan yang mereka anut. "Itu jangan diganggu. Jangan ada usahausaha untuk memecahnya dengan jalan reorientasi pemikiran-pemikiran Aceh." Priyono B. Sumbogo Sumber : Tempo Online http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/1990/11/17/BK/mbm.19901117. BK19874.id.html (diakses tanggal 10 Juni 2012 pukul 11.23)

16 AGUSTUS 2010 Tiga Berpayung Kecewa DAFTAR 300-an tokoh Aceh itu membuat gempar Tanah Rencong. Itulah nama-nama yang dinilai melawan pemerintah pusat. Operasi penangkapan pun terjadi. Berdasarkan "daftar hitam" itu, Jaksa Tinggi Sunarjo memburu mereka dan menjebloskan mereka ke penjara. Daftar nama itu diperoleh pemerintah dari Mustafa pada 1953. Mustafa adalah utusan Kartosoewirjopemimpin Negara Islam Indonesia. Dia ditangkap di Jakarta sepulang mengunjungi Daud Beureueh di Aceh. Aparat menemukan pula dokumen pengangkatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh yang ditandatangani Kartosoewirjo. Dua kali Mustafa Rasjid atau Abdul Fatah setidaknya bertemu dengan Daud Beureueh. Pertemuan itu juga disaksikan Hasan Saleh, salah satu pemimpin militer Aceh. "Seru juga saya berdebat dengannya, disaksikan Teungku Daud Beureueh," kata Hasan dalam bukunya, Mengapa Aceh Bergolak. "Rupanya ia lebih banyak menguasai bidang politik daripada agama." Penangkapan beberapa tokoh Aceh menjadi pemicu gerakan Aceh melawan pusat. Pada 21 September 1953 meletus perang antara masyarakat Aceh pimpinan Beureueh dan pemerintah pusat. Ini ironis. Sebab, pada Mei di tahun yang sama, di hadapan peserta Kongres Ulama di Medan, Beureueh menyatakan keputusannya mengadakan kerja sama erat dengan pemerintah untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Membela yang benar, menjauhi yang salah.

Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat sebenarnya sudah bergejolak pascakemerdekaan. Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh, organisasi bentukan Beureueh, menuntut otonomi dengan menjadikan Aceh provinsi. Tuntutan itu tidak dipenuhi. Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada 1950, yang membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi, menjadikan Aceh kabupaten dan bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Saat perjuangan kemerdekaan, Beureueh menjabat gubernur militer wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dia dikenal sebagai ulama karismatis. Majalah Indonesia Merdeka, dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953, menulis bagaimana Beureueh mampu "menyihir" orang lewat ceramahnya berjam-jam yang biasa dilakukannya di masjid. Abu-demikian Daud Beureueh biasa dipanggil-mendirikan Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh pada 1939. Van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, menyebut watak organisasi Persatuan Ulama mirip Muhammadiyah. Organisasi ini juga bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Persatuan Ulama menggembleng rakyat untuk melawan Hindia Belanda. Daud Beureueh memiliki mimpi Aceh menjadi negara Islam yang besar dan jaya. "Kami mendambakan masa kekuasaan Sutan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi negara Islam," kata Beureueh, seperti dikutip Boyd R. Compton dalam bukunya, Kemelut Demokrasi Liberal. Pascapembagian kekuasaan di masa kemerdekaan pada akhirnya membuat hubungan pusat dan

daerah tegang. Tidak hanya Aceh yang tak puas, hal yang sama muncul juga di sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar alias Abdul Qahhar Mudzakkar mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap pusat. Kahar sebelumnya adalah pemimpin Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Kahar marah kepada pusat karena, antara lain, tuntutan agar anak buahnya diterima menjadi tentara nasional tanpa proses seleksi ditolak. Pada Agustus 1951, Kahar mendapat tawaran dari Kartosoewirjo melalui utusan Buchari, Wakil Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Abdullah Riau Soshby. Kahar menerima tawaran dan pada 7 Agustus 1953 ia pun memproklamasikan penggabungan gerakannya dengan Negara Islam Indonesia. Ia menjadi panglima Divisi Hasanuddin Negara Islam Indonesia. Adapun Syamsul Bachri ditunjuk sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan. Kartosoewirjo merencanakan Negara Islam Indonesia berbentuk kesatuan dengan rotasi tiga imam: Kartosoewirjo, Daud Beureueh, dan Kahar Muzakkar. Kahar adalah imam pertama pengganti Kartosoewirjo. Berdasarkan faktor usia, semestinya Beureueh yang menjadi imam pengganti pertama. Rotasi model ini ditolak Beureueh. Menurut dia, sistem imam tak memberikan rencana yang jelas mengenai pembagian kekuasaan atau struktur negara. Protes Beureueh terhadap Kartosoewirjo sebenarnya tak semata perihal imam ini. Dia kerap mengkritik kebijakan Negara Islam Indonesia Jawa Barat. Dalam pidato Majelis Syura pada 1960, misalnya, Beureueh menyebut sistem militer Negara Islam Indonesia

sebagai sistem bobrok. Beureueh menunjuk Kartosoewirjo telah menghilangkan Dewan Imamah atau pemimpin yang dikuasai para ulama. Katosoewirjo membentuk Dewan ini pada Agustus 1948 dengan melibatkan sejumlah ulama besar, seperti Sanusi Partawidjaja, Kiai Haji Gozali Tusi, dan R. Oni Mandalatar. Pemimpin atau imam dipegang Kartosoewirjo sebagai panglima tertinggi. Pascaagresi militer Agustus 1949, Kartosoewirjo mengganti Dewan Imamah menjadi Komandemen Tertinggi. Lalu Negara Islam Indonesia pun dibagi menjadi lima wilayah: tiga di Jawa serta dua lainnya di Sulawesi Selatan dan Aceh. Tiap wilayah dijabat panglima atau komandan. Organisasi model militer ini pun menghilangkan struktur Majelis Syura yang juga diatur dalam konstitusi Negara Islam Indonesia. Kelompok Jawa Barat memandang struktur militer dibutuhkan saat perang. Sementara Aceh memandang prinsip sebuah negara tak dapat dihilangkan dalam suasana apa pun. Perbedaan pendapat terus berlanjut. Pada Januari 1955, Aceh mengeluarkan struktur pemerintah dengan presiden Imam Kartosoewirjo dan sebagai wakil presiden Daud Beureueh. Beureueh mengembalikan dua ulama yang sempat bergabung dengan Dewan Imamah. Selain itu, dia mengumumkan Aceh sebagai bagian dari negara bagian atau negara konstituen Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo tak setuju dengan tindakan Beureueh. Pada 7 Maret 1957, Kartosoewirjo mengirim surat, menegur Beureueh. Dia menyatakan perubahan itu belum saatnya. Meski Kahar tak banyak melakukan protes atas kebijakan Kartosoewirjo

seperti Beureueh, secara mendasar terdapat perbedaan ideologi di antara keduanya. Kahar ingin wilayah kekuasaannya mengikuti negara Islam model kekhalifahan pascaRasulullah. "Kahar mengubah istilah imam menjadi khalifah," kata anak sulung Kahar, Hasan Kamal Qahhar Mudzakkar, kepada Tempo. Selain itu, Kahar menggunakan istilah "Darul Islam" untuk menggantikan sebutan Negara Islam. Kahar sangat tegas menentang terjadinya bidah dan khurafat dalam Islam. Menurut Hasan, sikap ini berbeda dengan Kartosoewirjo. "Mungkin karena pemahaman agama Kartosoewirjo yang berbeda," katanya. Menurut buku Al-Chaidar, Pemikiran Politik S.M. Kartosoewirjo, pada akhir 1955, Kahar mengeluarkan Piagam Makalua yang menggambarkan sifat gerakan yang berusaha melenyapkan praktekpraktek tradisional. Dia ingin rakyat meninggalkan gelar adat, seperti andi, daeng, gede-bagus, teuku, dan raden. Gelar haji pun dilarang karena dianggapnya bentuk feodalisme. Kahar pun melakukan perombakan organisasi sosial dan ekonomi negara. Rakyat dilarang memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol atau sutra, memakai minyak rambut, hingga makan dan minum dari makanan dan minuman yang dibeli di kota seperti susu, cokelat, dan mentega. "Darul Islam ingin menciptakan ragam masyarakat yang sama derajat dan puritan," kata Hasan. Karakter dan gaya yang berbeda dari tiga imam ini pada akhirnya membuat gerakan yang mereka pimpin berbeda pula nasibnya. Gerakan Aceh pimpinan Beureueh berakhir damai dengan pemerintah tanpa ada tokoh penting yang ditembak mati. Ulama

terkemuka itu turun gunung pada 1962 dan meninggal pada 1987 dalam usia 91. Adapun soal kematian Kahar ada dua versi. Ada yang mengatakan dia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, dalam Operasi Kilat pada 3 Februari 1965 dan ada yang menyatakan ia tidak pernah tertembak. Yang pasti jenazahnya memang tak pernah ditemukan. Karena itu, ujar Hasan, "Keluarga tak berani menyebut ayah itu almarhum."

Sumber : Tempo Online http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/2010/08/16/LU/mbm.20100816. LU134367.id.html (diakses tanggal 10 Juni 2012 pukul 11.27)

Pemerintah Darul Islam / Tentara Islam Indonesia Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI)yang artinya Rumah Islam adalah gerakan politik yang diproklamasikan (Perppu),

Pengganti Aceh

Undang-undang sebagai

dikukuhkan

provinsi yang berstatus otonom. Namun, dalam perkembangannya, bukannya

pelaksanaan otonomi yang diterapkan, pemerintah status pusat malah mencabut Aceh

pada 7 Agustus 1949 (12 Sjawal 1368) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di di desa Cisampah, kawedanan kecamatan Cisayong

provinsi

Aceh.

Daerah

diminimalisasikan sebuah

statusnya yang

menjadi tunduk di

karesidenan

Ciawiligar,

bawah Provinsi Sumatera Utara yang beribu kota di Medan. Tentu saja,

Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan Indonesia dengan negara. "Hukum ini bertujuan menjadikan teokrasi dasar bahwa Negara

keputusan itu ditentang para alim ulama Aceh, karena masyarakat Sumatera sebagai agama Dalam negara

Utara dan Aceh memiliki karakter dan kultur yang berbeda. Rakyat Aceh

Islam

sebagai

proklamasinya dalam

merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur

yang berlaku

Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan negara tegas untuk yang dan

kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan bernegara. ulama dalam rakyat kehidupan Aceh itu

Padahal,

sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Pada tahun 1953, rakyat Aceh

menyatakan memproduk berlandaskan

kewajiban

undang-undang syari'at Islam,

mengangkat senjata melawan negara. Perlawanan oleh Teungku senjata Daud yang dipimpin

penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih. DI/TII muncul di Aceh disebabkan rakyat Aceh kepada

Beureueh yang

mengagaskan Negara Islam Indonesia ini didukung sepenuhnya oleh rakyat Aceh yang notabene gerilya. bernama (TII). Islam. Tentara Tentara Beureueh NII pun Islam

ketidakpuasan

melakukan dibentuk, Indonesia

pemerintah pusat. Pasalnya, pada tahun 1949, berdasarkan sebuah Peraturan

Lantas,

terkenallah

pemberontakan

DI/TII

di

sejumlah

daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi Sekitar pembunuhan 64 warga masal Aceh oleh TNI.

http://acehpedia.org/Darul_Islam_/_Tenta ra_Islam_Indonesia ( diakses tanggal 10 Juni 2012 JAM 12.19 )

tak

berdosa

dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, status pada 1959, Aceh daerah

memperoleh istimewa. Soekarno

provinsi

makin

represif. dihancurkan

Setiap oleh pun

ketidakpuasan kekuatan disikat Indonesia militer. habis. (RPI)

PRRI/Permesta Republik pun

Persatuan ditumpas.

Pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961, Presiden RPI Syfarudin Prawiranegara

menyerah. Diikuti tokoh DI/TII lainnya, seperti M Natsir. Tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di hutan, melawan

Soekarno. Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam menyerah. AH Beureueh Nasution menurut untuk karena

ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh

SUMBER 2009

ACEHPEDIA,

18

FEBRUARI

Anda mungkin juga menyukai