Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abu Daud Beureu-eh lahir pada tanggal 17 September 1899. M. Nur El
Ibrahimy, dalam bukunya juga mengutip sebuah tulisan yang ditulis oleh Anggraini
dengan judul “Siapa Teungku Daud Beureu-eh, bekas Gubernur Aceh yang
Memberontak”. Tulisan ini dikutip oleh Ibrahimy dari Majalah Indonesia Merdeka
No. 214 yang terbit di Banjarmasin pada tanggal 1 Oktober 1953. Dalam tulisan
tersebut Anggraini memperkirakan umur Daud Beureu-eh ketika itu (tahun 1953)
adalah 50 tahun. Namun di catatan kaki nomor 246 dalam bukunya tersebut Ibrahimy
mencantumkan bahwa Daud Beureu-eh pada tahun 1953 telah berusia 55 tahun.
Dalam hal kelahiran Daud Beureu-eh ini penulis cenderung kepada pendapat
Ibrahimy, mengingat M. Nur El Ibrahimy adalah menantunya Tgk. Daud Beureu-eh,
sehingga pendapat Ibrahimy lebih kuat karena adanya hubungan kekeluargaan antara
keduanya. Untuk lebih jelasnya akan saya bahas pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh
2. Bagaimana Kondisi Sosial Politik di Aceh Pasca Kemerdekaan RI dan
Meletusnya Perang Cumbok
3. Bagaimana Pola Kepemimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh
4. Bagaimana Pandangan Politik Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh tentang
Eksistensi Aceh

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh


Dalam Wikipedia disebutkan bahwa Abu Daud Beureu-eh lahir pada tanggal
17 September 1899.1 M. Nur El Ibrahimy, dalam bukunya juga mengutip sebuah
tulisan yang ditulis oleh Anggraini dengan judul “Siapa Teungku Daud Beureu-eh,
bekas Gubernur Aceh yang Memberontak”. Tulisan ini dikutip oleh Ibrahimy dari
Majalah Indonesia Merdeka No. 214 yang terbit di Banjarmasin pada tanggal 1
Oktober 1953. Dalam tulisan tersebut Anggraini memperkirakan umur Daud Beureu-
eh ketika itu (tahun 1953) adalah 50 tahun. Namun di catatan kaki nomor 246 dalam
bukunya tersebut Ibrahimy mencantumkan bahwa Daud Beureu-eh pada tahun 1953
telah berusia 55 tahun.2 Dalam hal kelahiran Daud Beureu-eh ini penulis cenderung
kepada pendapat Ibrahimy, mengingat M. Nur El Ibrahimy adalah menantunya Tgk.
Daud Beureu-eh, sehingga pendapat Ibrahimy lebih kuat karena adanya hubungan
kekeluargaan antara keduanya. Namun di bagian akhir bukunya tersebut Ibrahimy
mencantumkan bahwa Daud Beureu-eh lahir pada tanggal 23 September 1899.3
Tepatnya tanggal 10 Juni 1987 Abu Beureu-eh menghembuskan nafasnya yang
terakhir dan berpulang ke rahmatullah dalam usia 88 tahun. Beliau dimakamkan
secara sederhana di halaman sebelah barat Masjid Baitul A’la yang beliau dirikan
sendiri.4

2. Latar Belakang Pendidikan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh


Tentang latar belakang pendidikan Daud Beureu-eh, Anggraini dalam
tulisannya menyebutkan bahwa Daud Beureu-eh tidak pernah masuk sekolah formal,

1
Wikipedia, Daud Beureu’eh, diakses darihttp://id.wikipedia.org/wiki/Daud_Beureu'eh pada
tanggal 02 Mei 2013. 

2
M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dalam Pergolakan Aceh,
Edisi Revisi (Jakarta: Media Dakwah, 2001), hal. 261. 
3
Ibid., hal. 282. 

4
Ibid., hal. 281 – 282.

2
tetapi meskipun demikian beliau tidak buta huruf dan mengenal huruf latin. 5
Ibrahimy mengisahkan bahwa Daud Beureu-eh menempuh pendidikannya di
pesantren. Pertama sekali beliau belajar di Pesantren Titeu yang dipimpin oleh Tgk.
Muhammad Hamid selama enam bulan. Kemudian beliau belajar di Pesantren Iie
Leumbeu dibawah pimpinan Tgk. Ahmad Harun. Setelah menyelesaikan
pendidikannya selama 4,5 tahun di pesantren tersebut, beliau sudah mantap
pengetahuannya dan menjadi ulama.6

B. Kondisi Sosial Politik di Aceh Pasca Kemerdekaan RI dan Meletusnya


Perang Cumbok
1. Kondisi Politik Pasca Kemerdekaan.
Sejak diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, ketika itu Daerah Aceh masih termasuk dalam salah satu keresidenan
dari Provinsi Sumatra yang dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1945. Pada saat itu
Residen Aceh berkedudukan di Koetaradja (sekarang Banda Aceh).7
Insider, dalam bukunya “Atjeh Sepintas lalu”, menyebutkan bahwa maklumat
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Augustus 1945 baru diketahui oleh rakyat Aceh
pada pertengahan bulan September 1945.8 Ketika itu, rakyat Aceh terpecah ke dalam
dua kubu, yaitu kubu Ulama dan kubu Ulee Balang. Pertentangan antara dua
golongan ini bukanlah pertantangan yang baru timbul pada masa itu, tetapi
merupakan sebuah pertentangan yang sudah lama terpendam. Menurut Insider
pertentangan antara dua kubu ini menyerupai pertentangan antara adat dan hukum.9
Kedua pihak yang saling bertentangan (Ulee Balang dan Ulama) terlihat
menyusun kekuatan masing-masing. Kelompok pertama terdiri dari para Ulee Balang

5
Ibid., hal. 262. 

6
Ibid. 

7
T. Ibrahim Alfian, dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949) (Banda
Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah
Istimewa Aceh, 1982), hal. 1. 
8
Insider, Atjeh Sepintas Lalu (Djakarta: FA ARCHAPADA, 1950), hal. 5. 

9
Ibid., hal. 7. 

3
dan para pengikutnya, sedangkan kelompok kedua terdiri dari Alim Ulama, pemuda
dan masyarakat yang tidak menyukai kekuasaan Ulee Balang. Jumlah kelompok
Ulama ini lebih banyak jika dibanding dengan pengikut Ulee balang.
Pada perkembangan selanjutnya pertentangan antara kedua kelompok ini
semakin memuncak. Menurut Insider, baik pihak Ulee Balang maupun Ulama tidak
menghendaki penyelesaian dengan cara-cara damai, kedua kelompok ini
menginginkan penyelesaian dengan kekerasan dan senjata.
Pada suatu malam di bulan November 1945, para pengikut Ulee Balang
dengan bersenjata pedang, rencong, parang dan beberapa senjata api memasuki Kota
Sigli yang bertempat di rumah Ulee Balang Pidie. Mereka melakukan persiapan
untuk menguasai Kota Sigli. Mereka juga melakukan pemeriksaan di jalan-jalan Kota
Sigli dan menangkap serta menahan orang-orang yang terindikasi sebagai pengikut
kaum Ulama. Aksi yang dilakukan oleh pihak Ulee Balang ini langsung mendapat
reaksi dari kaum Ulama. Tidak lama setelah Kota Sigli diduduki oleh Ulee Balang,
pihak Ulama dengan disertai ribuan pengikutnya melakukan demonstrasi dengan
persenjataan lengkap. Mereka memasuki Kota Sigli dengan menyebut nama Allah
dan Rasul. Akhirnya terjadilah pertempuran hebat antara pengikut Ulee Balang
dengan kaum Ulama selama tiga hari tiga malam. Tentara pemerintah (TKR) yang
ketika itu dipimpin oleh Kolonel Syamaun Gaharu terlihat tidak mampu
mengendalikan situasi. Namun setelah pihak pemerintah melakukan negosiasi
dengan kedua pihak, akhirnya kedua pihak bersedia meninggalkan Kota Sigli.10
2. Revolusi Sosial dan Meletusnya Perang Cumbok
a. Sebab-Sebab Terjadinya Perang Cumbok
Di antara sebab-sebab yang menjadi pemicu terjadinya pertentangan antara
Ulee Balang dan Ulama, menurut El-Ibrahimy adalah disebabkan oleh sikap Ulee
Balang yang telah banyak melakukan kejahatan dan pemerasan terhadap rakyat.
Melihat kondisi ini pihak ulama melancarkan dakwah guna memerangi perbuatan
maksiat yang dilakukan oleh pihak Ulee Balang di Aceh. Gerakan dakwah yang

10
Ibid., hal. 10 – 11. 

4
dilakukan oleh para Ulama ini mendapat dukungan besar dari rakyat Aceh ketika
itu.11
Namun sayangnya pihak Ulee Balang ketika itu salah faham dengan gerakan
dakwah yang dilakukan oleh para Ulama. Pihak Ulee Balang beranggapan bahwa
aksi yang dilakukan oleh kaum Ulama ini dapat membahayakan posisi mereka dan
juga merusak pendapatan mereka. Pada tahapan selanjutnya, pihak Ulee Balang
menuduh kaum Ulama ingin merebut kekuasaan mereka. Menurut Ibrahimy faktor
inilah yang menjadi sebab utama lahirnya pertentangan antara Ulee Balang dengan
Ulama.
Pertentangan antara Ulee Balang dan Ulama semakin meruncing ketika
pendudukan Jepang. Pada saat itu Abu Beureue-eh memiliki peran besar untuk
membebaskan rakyat Aceh dari tekanan dan kezaliman para Ulee Balang. Abu
Beureu-eh ketika itu berhasil membujuk pihak Jepang untuk mencabut hak yudikatif
dari tangan Ulee Balang yang telah beberapa abad lamanya digunakan oleh pihak
Ulee Balang untuk menindas rakyat Aceh.12
Akhirnya, mungkin karena terpengaruh dengan bujukan Abu Beureu-eh,
pihak Jepang menggantikan kekuasaan peradilan yang dulunya dipegang oleh Ulee
Balang dan menyerahkan perkara tersebut kepada kaum Ulama dari kalangan
PUSA.13 Dengan demikian sejak itu, peranan penegakan hukum dipegang oleh kaum
Ulama, sedangkan para Ulee Balang memelihara persoalan adat.
Keberhasilan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh membujuk pihak Jepang
sebagaimana telah penulis singgung di atas menjadi bukti paling otentik bahwa Abu
Beureu-eh adalah tokoh yang memiliki pengaruh besar dan disegani di Aceh kala itu,
termasuk oleh para penjajah sekalipun.

M. Nur El-Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Peranannya dalam


11

Pergolakan di Aceh, cet. 2 (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), hal. 76. 
12
Ibid., hal. 84 – 85. 

13
Ariwiadi, Gerakan Operasi Militer VII Penjelesaian Peristiwa Atjeh (t.t.p: Mega Bookstore,
t.t), hal. 1. 

5
b. Peran Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dalam Perang Cumbok
Pada 31 Desember, pasukan Ulee Balang yang dikenal dengan pasukan
Cumbok melakukan penyerangan ke Metarium dan desa-desa di sekitarnya. Tentara
Cumbok dengan merajalela melakukan perampokan dan perampasan terhadap harta
benda milik rakyat. Dalam penyerangan tersebut mereka juga membakar rumah-
rumah rakyat. Melihat kondisi tersebut, Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh untuk
kesekian kalinya membawa persoalan Cumbok tersebut kepada Komite Nasional
Indonesia Daerah Aceh. Beliau juga memperlihatkan bukti-bukti penyerangan yang
dilakukan oleh Cumbok, seperti pecahan mortir. Sebelas jam kemudian atas inisiatif
Syamaun Gaharu diputuskan bahwa persoalan Cumbok tersebut diambil alih oleh
Markas Umum Daerah Aceh.14
Singkat cerita, pada akhir Desember Tgk. Daud Beureu-eh mengintruksikan
kepada barisan bersenjata yang berada di daerah Bireuen untuk segera berangkat ke
Pidie guna membantu barisan rakyat di Garot yang sudah terdesak akibat serangan
Cumbok. Jumlah rombongan dari Bireuen yang berangkat ke Pidie waktu itu sekitar
seribu orang dengan 100 pucok senjata.
Bergeraknya rakyat dari Bireuen menuju Pidie setelah mendapat intruksi dari
Abu Beureu-eh ketika itu, mengisyaratkan kepada kita bahwa Abu Beureu-eh adalah
sosok pemimpin yang diikuti dan disegani oleh rakyat.
Tepatnya pada 12 Januari 1946, dilakukanlah serangan umum terhadap Kota
Lam Meulo yang merupakan benteng terkuat pihak Cumbok. Keesokan harinya pada
tanggal 13 Januari pasukan Barisan Rakyat berhasil memasuki Kota Lam Meulo.
Terkait pertentangan antara Ulama dan Ulee Balang ini, Hasan Saleh
mengisahkan bahwa ketika situasi telah gawat, seorang Ulee Balang dari Glumpang
Payong yang dikenal dengan Teuku Hasan Glumpang Payong atau Hasan Dik
menghadap kepada Tgk. Daud Beureu-eh untuk meminta maaf atas perilaku Ulee
Balang di masa lalu. Dengan berjiwa besar akhirnya Abu Beureu-eh memaafkan

14
El-Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Peranannya, hal. 97. 

6
mereka (para Ulee Balang), dan keduanya (Hasan Dik dan Daud Beureu-eh) nampak
berpelukan.15 Sebuah kejadian yang unik dan langka di Aceh.
Kisah di atas lagi-lagi menjadi bukti bahwa Tgk. Muhammad Daud Beureu-
eh adalah pemimpin besar yang tidak menaruh dendam kepada lawan-lawannya
meskipun kesalahan yang mereka lakukan sangat besar, namun sebagai seorang
muslim yang taat, Abu Beureu-eh menerima permohonan maaf mereka. Sungguh
sikap yang luar biasa. 
Padahal sebelumnya antara Hasan Dik dan Abu Beureu-eh pernah
bersitegang, dan Hasan Dik pernah membentak Abu Beureu-eh di depan polisi
Jepang sambil menuduh bahwa Abu Beureue-eh sebagai pengkhianat, namun dengan
pembawaan tenang Abu Beureu-eh menolak tuduhan tersebut.

C. Pola Kepemimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh


1. Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA)
Organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) berdiri pada tahun 1939
yang diketuai oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh.16 Sebelum kelahiran PUSA
perkembangan agama di Aceh belum menunjukkan gejala yang menggembirakan.
Tidak semua rakyat Aceh memahami agama Islam secara intensif dan korelasi antara
pengetahuan agama dengan penngetahuan umum masih sangat kurang. Aqidah orang
Aceh sebelum berdirinya PUSA masih banyak dipengaruhi oleh khurafat dan
bid’ah.17
Kelahiran PUSA sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh pembaharuan yang
dilakukan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabiya yang pada
pekembangan selanjutnya melahirkan tokoh-tokoh reformis semisal Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir. 

15
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal. 26 –
27. 
16
Dada Meuraxa, Peristiwa Berdarah di Atjeh (Medan: Pustaka Sedar, 1956), hal. 18. 

Lembaga Research dan Survey IAIN Jami’ah Ar-Raniry, Laporan Penelitian Pengaruh
17

PUSA Terhadap Reformasi di Aceh (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darussalam, 1978), hal. 10. 

7
Paham pembaharuan di Aceh dikembangkan oleh ulama-ulama yang
terpengaruh dengan paham tersebut. Di antara tokoh pembaharu tersebut adalah
Syekh Al-Kalaly yang merupakan guru dari Hasbi Ash-Siddiqie.
Setelah ulama-ulama Aceh sadar akan pentingnya persatuan ulama untuk
mewujudkan cita-cita rakyat Aceh, maka ketika itu beberapa orang ulama Aceh, di
antaranya Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dan Tgk. Abdurrahman Meunasah
Meucap bersepakat untuk melaksanakan musyawarah alim ulama seluruh Aceh.
Musyawarah Besar Alim Ulama Seluruh Aceh berlangsung dari tanggal 5 s/d
8 Mei 1939 bertempat di gedung Madrasah Al-Muslim Peusangan
Matangglumpangdua. Sejak hari itu ditetapkan bahwa tanggal 5 Mei 1939 sebagai
hari lahirnya Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh yang disingkat dengan P.Oe.S.A.
Dalam musyawarah selama empat hari tersebut Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh
terpilih sebagai ketua PUSA.
Tgk. Daud Beureu-eh adalah salah seorang tokoh yang memiliki peran besar
dalam melahirkan organisasi PUSA. Beliau dianggap sebagai orang kuat yang
mampu melaksanakan ide pembaharuan pendidikan di Aceh. Terpilihnya Abu
Beureu-eh sebagai ketua PUSA juga mengisyaratkan kepada kita bahwa beliau
benar-benar tokoh besar yang digandrungi oleh para ulama yang ada di Aceh kala itu.
2. Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh Sebagai Pemimpin Militer
Pada era perjuangan kemerdekaan, Tgk. Daud Beureu-eh dikenal sebagai
pemimpin Laskar Mujahidin yang cukup ditakuti di Aceh. Di kisahkan bahwa pada
saat Pemerintah Indonesia ingin menggabungkan laskar-laskar (pasukan) yang ada di
Aceh ke dalam TRI, mereka menolak karena revolusi belum selesai dan mereka telah
berjasa dalam revolusi kemerdekaan tersebut. Para revolusioner di Aceh ketika itu
masih ingin bergerak sendiri-sendiri dan keberatan jika digabungkan ke dalam TRI.
Pada saat ketegangan di kalangan laskar-laskar tersebut semakin memuncak,
muncullah Tgk. Daud Beureu-eh sebagai mediator untuk mengatasi ketegangan
tersebut. Akhirnya berkat pengaruh dan kewibaan beliau, laskar-laskar bersenjata di

8
Aceh bersedia bergabung dengan TRI yang merupakan cikal bakal dari TNI (Tentara
Nasional Indonesia).18
Ketika Wakil Presiden Indonesia berada di Bukit Tinggi, atas berbagai
pertimbangan beliau mengangkat Tgk. Daud Beureu-eh sebagai Gubernur Militer
untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor
Tituler.19
Diangkatnya Abu Beuerue-eh sebagai Gubernur Militer ketika itu adalah atas
pertimbangan bahwa beliau merupakan orang yang sangat berpengaruh di Aceh kala
itu meskipun beliau tidak pernah mendapatkan pendidikan formal layaknya pimpinan
di daerah lain.
Pada saat masih menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah
Karo, Abu Beureu-eh pernah diajak oleh Wali Negara Sumatra Timur untuk
membentuk negara bagian. Abu Beureu-eh menyatakan bahwa tidak ada perasaan
kesukuan di Aceh sehingga tidak perlu membentuk Aceh Raya karena republikan
adalah semangat orang Aceh.20 Seandainya Daud Beureu-eh gila kekuasaan, tentunya
beliau akan menerima ajakan untuk membentuk negara bagian di Aceh. Namun hal
tersebut ternyata diabaikan oleh Abu Beureu-eh, fakta ini menjadi bukti bahwa Abu
Beureu-eh adalah seorang nasionalis yang setia kepada Republik.
Tgk. Daud Beureu-eh adalah sosok pemimpin yang memiliki kharisma dan
disegani oleh masyarakat dan tokoh-tokoh di Aceh. Ketika terjadi pemberontakan DI
TII di Aceh yang ketika itu dipimpin oleh Abu Beureu-eh, terlihat jelas bahwa
mayoritas rakyat Aceh mendukung aksi yang dilakukan oleh Abu Beureu-eh tersebut.
A. H. Geulanggang menceritakan bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh
Abu Beureu-eh pada tahun 1953 selain mendapat dukungan rakyat juga turut
didukung oleh Bupati, Patih, Wedana, Camat, para Kepala Jawatan dan juga para
Pegawai Negeri.21 Fakta ini tentu berbeda dengan pergolakan yang terjadi di Aceh

18
Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 264. 

19
Ibid., hal. 265. 

20
Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, hal. 116. 

9
pada era 1976 – 2005 yang pada awalnya justru tidak mendapat respon positif dari
masyarakat dan menghabiskan waktu 20 tahun lebih untuk menanamkan idiologinya.
Hasan Saleh, mantan pejuang TII, menceritakan bahwa dibawah
kepemimpinan Daud Beureu-eh semua unsur masyarakat Aceh bersatu, kecuali
segelintir orang-orang yang sakit hati kepada beliau. Pihak yang tidak senang dengan
kepemimpinan Daud Beureu-eh hanyalah sisa-sisa keluarga dan kerabat kaum
kontrarevolusioner. Mereka adalah para Ulee Balang yang sudah terpaut hati dengan
Belanda.

D. Pandangan Politik Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh tentang Eksistensi


Aceh
1. Janji dan Pengkhianatan Soekarno terhadap Aceh
Pada tahun 1947, Presiden Soekarno dalam kunjungan pertamanya ke Aceh
sempat berdialog dengan Abu Beureu-eh. Dalam dialog tersebut Soekarno meminta
bantuan Abu Beureu-eh agar rakyat Aceh bersedia berjuang bersama Pemerintah
Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang ketika itu sedang
kewalahan mengahadapi serangan Belanda. Secara tegas Abu Beureu-eh bersedia
menerima ajakan Soekarno asalkan perjuangan yang dilakukan tersebut adalah jihad
fisabilillah dan untuk menegakkan agama Allah.22
Dalam dialog tersebut Abu Beureu-eh juga meminta kepada Soekarno agar
setelah perjuangan usai, di Aceh agar diberikan kebebasan untuk melaksanakan
Syari’at Islam. Mendengar permintaan Abu Beureu-eh, Soekarno menjawab dengan
diplomatis bahwa hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan oleh Abu Beureu-eh karena
90% rakyat Indonesia beragama Islam dan akhirnya secara lebih tegas Soekarno juga
menyanggupi permintaan dari Abu Beureu-eh tersebut. Mendengar penjelasan
Soekarno, Abu Beureue-eh belum puas, sambil menyodorkan secarik kertas kepada
Soekarno, Abu Beureu-eh meminta Soekarno untuk menuliskan janjinya tersebut.

21
A. H. Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik MR. S.M. Amin
(Kutaradja: Pustaka Murnihati, 1956), hal. 43. 

22
Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Peranannya, hal. 64. 

10
Karena merasa tidak mendapat kepercayaan dari Abu Beureu-eh, ketika itu
Soekarno langsung menangis terisak-isak dan bersumpah demi nama Allah bahwa ia
akan memberikan hak kepada Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan
melaksanakan Syari’at Islam. Setelah mendengar ucapan Soekarno tersebut akhirnya
Abu Beureu-eh percaya saja dengan ucapan tersebut. Menurut Ibrahimy, ketika itu
Abu Beureu-eh merasa iba melihat Soekarno menangis.
Dari kutipan singkat di atas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa Abu
Beureu-eh adalah tipe pemimpin yang tegas. Beliau tidak mudah mempercayai orang
lain meskipun orang tersebut adalah tokoh bangsa semisal Soekarno. Menurut Abu
Beureu-eh sebuah janji itu tidak cukup hanya di mulut, tapi mesti ada jaminan hitam
di atas putih. Meskipun permintaan Abu Beureu-eh ketika itu tidak sempat teralisasi,
namun bukan berarti bahwa Abu Beureu-eh mengalah dengan Soekarno. Sikap
mundur selangkah yang dipraktekkan oleh Abu Beureu-eh ketika itu adalah sikap
yang dapat dimengerti dan kondisional. Sikap tersebut tidaklah menjatuhkan wibawa
beliau, tetapi justru menjadi bukti bahwa Abu Beureu-eh adalah tipe pemimpin yang
bijak. 
Di samping itu kepercayaan Daud Beureu-eh terhadap Soekarno, menurut
penulis disebabkan Soekarno telah bersumpah dengan nama Allah. Sebagai seorang
muslim yang taat tentunya Daud Beureu-eh sangat menghargai sumpah tersebut.
Namun sayangnya, janji Soekarno kepada Abu Beureu-eh hanya tinggal janji dan
tidak pernah ditepati, sehingga pada perkembangan selanjutnya memicu
pemberontakan DI TII yang dipimpin langsung oleh Abu Beureu-eh.

2. Meletusnya Pemberontakan DI TII


Tujuan utama pemberontakan DI TII yang dipimpin oleh Abu Beureu-eh di
Aceh pada 21 September 1953 adalah untuk membentuk Negara Islam. Dalam
maklumat pemberontakan tersebut dinyatakan bahwa mereka akan melenyapkan
kekuasaan Pancasila di Aceh dan menggantinya dengan Pemerintah Negara Islam.23

23
MR. SM. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh (Jakarta: Soeroengan Djakarta, 1956),
hal. 48. 

11
Dalam naskah proklamasi 21 September 1953, Abu Beureu-eh menyatakan
bahwa Aceh sejak tanggal tersebut menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII)
yang didirikan oleh Imam Kartosuwiryo. Dengan demikian sejak tanggal 21
September 1953, Aceh keluar dari rangkaian Negara Pancasila Republik Indonesia,
dan sejak tanggal itu pula Aceh resmi menjadi Daerah Negara Islam.24
Dalam keterangan politiknya pada tahun 1953 Abu Beureu-eh menyatakan
bahwa pihak Republik Indonesia melalui Kejaksaan Agung pernah melakukan
percobaan untuk menghalang-halangi aktivitas beragama masyarakat Aceh.
Kejaksaan Agung pernah mencoba mengeluarkan larangan berkhutbah dengan
muatan politik di mesjid dan tempat-tempat lainnya. Hal ini membuat Abu Beureue-
eh menjadi berang, karena menurutnya kegiatan politik adalah bagian dari agama
yang tidak dapat dipisahkan.
Dari pernyataan Abu Beureu-eh dalam keterangan politiknya tersebut dapat
difahami bahwa politik dan agama adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Artinya politik dan agama itu bersifat integral dan saling melengkapi. Pandangan
Abu Beureu-eh tentang politik tersebut mengisyaratkan bahwa beliau sangat anti
kepada konsep politik sekuler yang memisahkan konsep politik dengan agama
sehingga terjadilah kerancuan dalam penerapannya.
Sebab lainnya yang turut memicu pemberontakan DI TII di Aceh adalah
ucapan Presiden Soekarno yang menyatakan akan mendirikan negara yang
berdasarkan kepada dasar kebangsaan dan bukan didasarkan pada agama. Hal ini
membuat Abu Beureu-eh kecewa, apalagi Soekarno pada tahun 1947 –sebagaimana
penulis singgung di atas pernah berjanji kepada Abu Beureu-eh bahwa Aceh akan
diberi kewenangan untuk menjalankan Syari’at Islam.
Hal terpenting lainnya yang turut mendorong Abu Beureu-eh memberontak
adalah masalah status otonomi khusus yang memungkinan Aceh memiliki sistem
pemerintahan sendiri dengan asas Islam tak kunjung dipenuhi oleh Soekarno.
Abu Beureu-eh juga menyatakan bahwa pemberontakan yang dilakukannya terhadap
Pemerintah Indonesia merupakan ekses dari tidak terealisasinya janji Soekarno.

24
Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh, hal. 31. 

12
Menurut Abu Beureu-eh Soekarno adalah orang yang paling bertanggung jawab atas
pemberontakan tersebut. Abu Beureu-eh juga berprinsip bahwa siapa saja yang tidak
menjalankan hukum Allah, maka di adalah kafir.
Prinsip yang dipegang oleh Abu Beureu-eh tersebut bukanlah karangannya
sendiri, tetapi merupakan perintah Tuhan yang terdapat dalam Al-Quran, sebagai
berikut:
Artinya: Dan janganlah kamu menukar ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit.
Barang siapa yang tidak memutuskan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang kafir (Q.S. Al-Maidah: 44).25
Dari pernyataan Abu Beureu-eh di atas, bahwa siapa saja yang tidak
menjalankan hukum Allah adalah kafir, merupakan cerminan dari sikap beliau yang
tetap konsisten dengan ajaran Islam. Namun demikian, hendaknya pernyataan Daud
Beureu-eh tentang kafirnya orang yang tidak menjalankan hukum Allah, jangan
dipolitisir, sehingga kita menuduh Abu Beureu-eh sebagai tipe orang yang mudah
mengkafirkan.
A. H. Geulanggang dalam bukunya menyimpulkan bahwa pemberontakan
yang dilakukan oleh Abu Beureue-eh adalah murni untuk menegakkan Syari’at Islam
di Aceh dan bukan karena beliau digeser dari kursi pemerintahan sebagaimana
dituding oleh sebagian pihak yang anti kepada perjuangan Abu Beureu-eh.
Hasan Saleh, mantan pejuang DII TII dalam bukunya menceritakan bahwa di
antara sebab-sebab utama pemberontakan Abu Beureu-eh bersama DI TII adalah
karena pembubaran Provinsi Aceh. Hal ini sangat menyakitkan hati Abu Beureu-eh
dan rakyat Aceh, karena dari dulu Aceh memperjuangkan status otonomi di
daerahnya.26
Sikap Pemerintah RI yang membubarkan Provinsi Aceh adalah sikap yang
sangat menyakitkan bagi Abu Beureu-eh dan rakyat Aceh. Padahal rakyat Aceh
memiliki jasa besar terhadap berdirinya Republik ini. Soekarno telah jelas-jelas
menipu dan menyakiti hati Abu Beureu-eh dengan keputusan membubarkan Provinsi

25
Mujamma’ Malik Fahd, Al-Quran dan Terjemahannya (ttp: Kementrian Urusan Agama
Islam, Waqaf, Dakwah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, tt), hal. 167. 

26
Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, hal. xvi – xvii. 

13
Aceh. Soekarno telah membuat Abu Beureu-eh sakit hati, dan Abu Beureu-eh kala
itu adalah jantung hatinya rakyat Aceh.
Wajar jika Abu Beureu-eh menjadi berang dan marah besar terhadap
keputusan ini, mengingat Soekarno pernah berjanji kepada Abu Beureu-eh bahwa
Aceh diberi kewenangan untuk menjalankan Syariat Islam, dan kewenangan itu tidak
akan pernah ada jika hak otonomi tidak diberikan kepada Aceh. 
Dengan segala daya dan upaya Abu Beureu-eh terus melakukan usaha-usaha
untuk mempertahankan Provinsi Aceh, namun usaha tersebut gagal. Abu Beureu-eh
pernah berkata kepada Wakil Presiden Muhammad Hatta yang berkunjung ke Aceh
waktu itu; “jika besok lusa rakyat Aceh melakukan sesuatu untuk mempertahankan
hak hidupnya, maka tanggung jawab sepenuhnya ada di tangan Pemerintah
Pusat”.27
Dari pernyataan Abu Beureu-eh di atas dapat disimpulkan bahwa
pemberontakan yang dilakukannya terhadap Republik bukanlah atas kepentingan
pribadi dan kekuasan, tetapi disebabkan kecintaannya kepada Aceh dan demi
tegaknya Syariat Allah di bumi Aceh.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Muhammad Daud Beureu-eh lahir pada tanggal 23 September 1899.
Tepatnya tanggal 10 Juni 1987 Abu Beureu-eh menghembuskan nafasnya yang
terakhir dan berpulang ke rahmatullah dalam usia 88 tahun. Maklumat kemerdekaan

27
Ibid., hal. 132. 

14
Indonesia tanggal 17 Augustus 1945 baru diketahui oleh rakyat Aceh pada
pertengahan bulan September 1945. Ketika itu, rakyat Aceh terpecah ke dalam dua
kubu, yaitu kubu Ulama dan kubu Ulee Balang. Pertentangan antara dua golongan ini
bukanlah pertantangan yang baru timbul pada masa itu, tetapi merupakan sebuah
pertentangan yang sudah lama terpendam.
Abu Beureu-eh juga meminta kepada Soekarno agar setelah perjuangan usai,
di Aceh agar diberikan kebebasan untuk melaksanakan Syari’at Islam. Mendengar
permintaan Abu Beureu-eh, Soekarno menjawab dengan diplomatis bahwa hal
tersebut tidak perlu dikhawatirkan oleh Abu Beureu-eh karena 90% rakyat Indonesia
beragama Islam dan akhirnya secara lebih tegas Soekarno juga menyanggupi
permintaan dari Abu Beureu-eh tersebut. Mendengar penjelasan Soekarno, Abu
Beureue-eh belum puas, sambil menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno, Abu
Beureu-eh meminta Soekarno untuk menuliskan janjinya tersebut.
Karena merasa tidak mendapat kepercayaan dari Abu Beureu-eh, ketika itu
Soekarno langsung menangis terisak-isak dan bersumpah demi nama Allah bahwa ia
akan memberikan hak kepada Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan
melaksanakan Syari’at Islam. Setelah mendengar ucapan Soekarno tersebut akhirnya
Abu Beureu-eh percaya saja dengan ucapan tersebut.

B. Saran
Demikianlah sepotong kisah tentang Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh,
seorang tokoh besar yang pernah memimpin Aceh. Sebagai pemuda-pemudi Aceh
sudah selayaknya kita mengenang jasa-jasa beliau dan memohon kepada Allah agar
beliau ditempatkan di tempat yang sesuai dengan amalnya.
DAFTAR PUSTAKA

A. H. Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik MR. S.M.


Amin (Kutaradja: Pustaka Murnihati, 1956)
Ariwiadi, Gerakan Operasi Militer VII Penjelesaian Peristiwa Atjeh (t.t.p: Mega
Bookstore, t.t)
Dada Meuraxa, Peristiwa Berdarah di Atjeh (Medan: Pustaka Sedar, 1956)

15
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992)
Insider, Atjeh Sepintas Lalu (Djakarta: FA ARCHAPADA, 1950)
Lembaga Research dan Survey IAIN Jami’ah Ar-Raniry, Laporan Penelitian
Pengaruh PUSA Terhadap Reformasi di Aceh (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry
Darussalam, 1978)
M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dalam Pergolakan
Aceh, Edisi Revisi (Jakarta: Media Dakwah, 2001)
________________, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Peranannya dalam
Pergolakan di Aceh, cet. 2 (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982)
MR. SM. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh (Jakarta: Soeroengan Djakarta,
1956)
Mujamma’ Malik Fahd, Al-Quran dan Terjemahannya (ttp: Kementrian Urusan
Agama Islam, Waqaf, Dakwah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, tt)
T. Ibrahim Alfian, dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949)
(Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh, 1982)
Wikipedia, Daud Beureu’eh, diakses dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Daud_Beureu'eh pada tanggal 02 Mei 2013. 

16

Anda mungkin juga menyukai