12 IPS 6 Kelompok DI/TII Nadia Ayu Azzahrah Siti Fatimah Azzahra Kiki Mulyani Dea Putri Anggraeni Dika Nurul Azmi
Pemberontakkan DI/TII
Pemberontakkan ini diawali dengan keinginan atau cita-cita S.M Karto
Suwiryo (seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia) untuk mendirikan “Negara Islam” Pada awalnya ia melakukan gerakan di Jawa Barat, kemudian membentuk Tentara Islam Indonesia, dia juga menyatakan pembentukkan Darul Islam (DI). Pemberontakkan ini berakhir dengan operasi “Pagar Betis”, dimana tentara pemerintah menyertakan juga masyarakat untuk mengepung tempat-tempat TII berada. Kemudian Karto Suwiryo ditangkap pada 1962 lalu dijatuhi hukuman mati. Dengan begitu, setelah pemberontakkan pertama yang dilakukan Karto Suwiryo pada bulan Agustus 1948 mulai menyebar. Di Jawa Tengah pemberontakkan dipimpin oleh Amir Fatah, akan tetapi pemberontakkan yang dilakukan tidak terlalu lama seperti yang ada di Jawa Barat, selain itu juga timbul pembrontakkan lain yang dipimpin Kiai Haji Machfudz yang didukung oleh laskar bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI). Amir Fatah kemudian menyerah. Lalu pemberonttakn juga terjadi di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Latar belakangnya diawali dengan ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Selama masa pemberontakkan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953 ia menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Kartosuwiryo. Pemberontakkan ini diakhiri dengan tewasnya Kahar Muzakkar tertembak dalam suatu penyergapan. Kemudian di Kalimantan Selatan juga terjadi pemberontakkan DI/TII. Namun dibandingkan dengan pemberontakkan yang lain hanya relatif kecil, akan tetapi dilakukan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama. Hingga pada tahun 1963 Ibnu Hajar ditangkap. Yang berikutnya adalah Aceh, pemicunya adalah ketuka tahun 1950 pemerintah menetapkan Aceh sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Para Ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), bagi mereka pemerintah terlihat tidak menghargai masyarakat Aceh yang telah rela berjuang membela Republik. Kemudian pemerintah berusaha menyelesaikan dengan jalan pertemuan. Dengan Wakil Presiden M. Hatta (1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951), bahkan Ir. Soekarno (1953) menyempatkan diri ke Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini. Akhirnya tahun 1953 Daud Beureuh menyatakan dirinya sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang dipimpin Kartosuwiryo. Pemberontakkan ini berkecamuk dan tak menentu selama beberapa tahun. Hingga akhirnya pemerintah mengakomodasikan dan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa pada tahun 1959. tiga tahun setelahnya Daud Beureuh kembali dari pertempuran dan mendapat pengampunan