Anda di halaman 1dari 16

MENUJU PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN STRUKTUR BETON MASA KINI UNTUK BANGUNAN BERTINGKAT TINGGI DI INDONESIA

HADI RUSJANTO TANUWIDJAJA DOSEN FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN UNIVERSITAS TRISAKTI DIREKTUR UTAMA PT HAERTE WIDYA KONSULTAN ENGINEERS JAKARTA

ABSTRAK
Tidak dapat dihindari lagi bahwa di kota-kota besar umumnya kebutuhan akan ruang kantor, bangunan perumahan dan pertokoan akhir-akhir ini meningkat pesat; di lain pihak perolehan lahan sangat terbatas dan makin mahal sehingga pilihannya cenderung untuk mendirikan bangunan kearah vertikal. Perencana arsitektur dituntut untuk mengutamakan effiensi penempatan serta distribusi ruang sehingga dicapai luasan lantai bersih yang optimal, tentunya hal ini hanya bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas beton dan baja tulangan dengan mutu yang lebih tinggi agar supaya ukuran luas penampang kolom atau dinding geser menjadi relatip tidak terlalu besar seiring dengan bertambah tinggi bangunannya. Badan penelitian bangunan negara Jepang sejak tahun 1988 telah melakukan rencana 5 tahunan mengenai pengembangan, peningkatan penggunaan beton dan baja mutu sangat tinggi. Tahapan penelitian bahan beton dan baja tulangan mutu sangat tinggi yang merupakan bagian pertama dari rencana 5 tahunan tersebut telah diselesaikan pada tahun 1993. Saat ini sudah di mulai tahapan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan bangunan beton menggunakan mutu beton f c' 60 MPa , mutu baja tulangan utama

f y 700 MPa dan mutu baja tulangan sengkang f y 1200 MPa. Tulisan ini menguraikan secara garis
besar pro-kontra penggunaan beton dan baja tulangan mutu sangat tinggi serta perubahan strategi untuk perencanaan dan pelaksanaan struktur beton bangunan bertingkat di Indonesia. Kata kunci : beton dan baja mutu sangat tinggi, optimal. The needs of office room spaces, apartments, shopping areas are increasing in almost big cities but on the other hand the land-use spaces are extremely limited and expensive so that the only choice is intending to build the structures vertically. The architecs are requested to optimize the distribution of floor-spaces in order to achieve the highest efficiency of saleable areas, this could be done by using higher strength grades for both steel and concrete since then the cross-section areas of columns and walls are not excessive in line with the increasing number of stories of the building. The Building Research Institute of Japan since 1988 set-up the 5-year plan on the development of implementation of using higher strength grades of steel and concrete. The research on higher strength grades of steel and concrete which was the part of the first 5-year plan had been completed in 1993. Now it is starting into the implementation of using concrete grade of f c' 60 MPa, steel grades of f y 700 MPa and f y 1200 MPa respectively for main and transverse reinforcement bars. This paper elaborates in brief the pros and cons of the using of more brittle higher grades of both conrete and steel; the apropriate strategy in the structural design and construction of earthquake resistant buildings in Indonesia. Key words : higher strength grades of steel and concrete, optimize.

PENDAHULUAN
Sejak tahun 2000 perencanaan dan pembangunan gedung-gedung beton bertulang bertingkat banyak (bervariasi dari 20 sampai 50 lantai) untuk berbagai peruntukan seperti kantor dan hunian khususnya di kota-kota besar di seluruh Indonesia berkembang dengan sangat pesat. Namun demikian di lain pihak perkembangan penggunaan mutu bahan beton dan baja tulangan relatip tidak banyak berkembang. Mutu beton yang dapat dicapai dalam praktek lapangan pelaksanaan masih berkisar pada mutu beton biasa dengan 25 f c' 60 MPa demikian pula untuk mutu bajanya adalah mutu baja biasa dengan

240 f y 500 MPa sehingga tidak jarang terjadi konflik kepentingan antara perencana arsitektur dan
perencana struktur yang berakibat kepada tidak dapat tercapainya effisiensi perencanaan penggunaan ruang karena tersita oleh penempatan elemen-elemen struktur seperti kolom atau dinding dengan ukuran yang kurang proportional sehubungan adanya keterbatasan dari mutu beton dan baja tulangan tersebut di atas. Peraturan beton bertulang ACI 318-05 dan SNI-03-2847-2002 yang baru untuk Indonesia masih konservatip dengan membatasi penggunaan mutu baja tulangan f y 500 MPa untuk perencanaan terhadap beban gempa dan

f y 700 MPa untuk baja sengkang sebagai tulangan pengekang.

Mengenai mutu beton secara spesifik tidak ada pembatasannya terkecuali untuk perencanaan geser, panjang penyaluran dan pengangkuran, tegangan tekan maksimum yang dapat diperhitungkan tidak boleh melebihi f c' = 70 MPa (ACI 318) atau f c' = 100 MPa (penelitian di Jepang). Di Jepang tahapan penelitian mengenai penggunaan mutu beton dan mutu baja tulangan sangat tinggi (tegangan tekan beton f c' 60 MPa dan tegangan leleh f y 700 MPa) sudah dimulai sejak tahun 1988. Akhir tahun 1993 merupakan finalisasi tahapan koordinasi antara semua pihak yang terlibat dari mulai tahapan penelitian dengan pihak peneliti dari berbagai universitas dan institusi terkait, demikian juga pihak pemerintah sehubungan dengan legalisasi peraturan maupun pihak pengguna/kontraktor pelaksana dari industri konstruksi dan pabrik pembuat bahan bangunan. Saat ini perencanaan dan pelaksanaan struktur beton bertulang modern terutama di negara maju seperti Jepang, Amerika, Australia dan New Zealand sudah menuju kearah penggunaan mutu beton dan mutu baja sangat tinggi masing-masing mempunyai tegangan tekan beton f c' 60 MPa dan tegangan leleh baja tulangan f y 700 MPa; bahkan di Jepang dan New Zealand sudah banyak dipakai baja tulangan sengkang dengan tegangan leleh f y = 1200 MPa. Tulisan ini membahas secara garis besar dari mulai teknik-teknik pemilihan bahan dan pembuatan beton dan baja tulangan mutu sangat tinggi, panjang penyaluran dan tegangan lekatan, pro dan kontra masalah daktilitas bahan sampai strategi perencanaan struktur yang tepat.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI BAHAN


Ukuran kolom dan ketebalan dinding beton sebagai bagian dari elemen struktur pemikul beban gravitasi maupun beban lateral akibat angin dan gempa khususnya di lantai-lantai bagian bawah dari sebuah bangunan bertingkat banyak sangat di batasi oleh kebutuhan arsitektural maupun fungsional bangunan dalam hubungannya dengan kebutuhan akan bentangan bersih dari muka kolom satu dengan muka kolom lainnya. Dari pengamatan dan pengalaman pribadi penulis ukuran maksimum yang masih dalam batas toleransi kompromi dengan rancangan arsitektur untuk kolom adalah 1500 mm dan untuk dinding beton adalah 700 mm. Sebagai contoh sederhana dari sebuah kolom bangunan bertingkat 50 lantai dengan luas

cakupan lantai meliputi ukuran 10 x 10 m misalnya, untuk beban gravitasi saja sudah harus diperhitungkan kuat untuk memikul beban aksial total kolom tidak terfaktor sebesar kurang lebih 5000 ton. Estimasi ukuran kolom dapat dihitung sesuai persamaan (1b), yang merupakan simplifikasi persamaan (1a) untuk gaya nominal aksial kolom tekan yang dapat dipikul oleh unsur struktur beton bertulang tsb:

Po = Pn = 0.8 0.85 f c' Ag Ast + f y Ast (1a)

Ag =

Pu ...(1b) 0.4 f + t f y

' c

Jika diperhitugkan faktor beban global rata-rata sebesar 1.5, kolom direncanakan dengan anggapan tulangan minimum 1% dan memperhitungkan adanya tambahan tulangan akibat momen lentur, sehingga selanjutnya tulangan total diharapkan akan mencapai batas praktisnya 2-3% yaitu untuk kemudahan pemasangan lapangan dan optimisasi biaya. Kemudian dipakai mutu beton f c' = 50 MPa dan mutu baja

f y = 50 MPa maka dari persamaan (1) akan diperoleh minimal ukuran kolom sebesar 1.8 x 1.8 m. Untuk
mencapai ukuran kolom 1.5 x 1.5 m diperlukan f c' = 65 MPa dan mutu baja

f y = 700 MPa .

Kebutuhan akan mutu beton dan mutu baja super-tinggi merupakan harga mutlak yang harus dibayar untuk setiap perencanaan bangunan bertingkat banyak. Kombinasi penggunaan mutu beton dan baja super tinggi akan memberikan dampak positip dan beberapa keuntungan a.l. sbb : Jumlah tulangan yang dapat dikurangi secara cukup signikan sehingga menghindari kesulitan akibat rapatnya pemasangan baja tulangan dalam pelaksanaan pengecoran di daerah pertemuan balok-kolom-dinding beton; dengan demikian pengendalian kualitas mutu stuktur beton yang lebih baik dan kompak dapat dengan mudah terpenuhi. Penggunaan mutu baja tulangan sengkang untuk pengekangan beton pada struktur kolom, balok dan dinding dapat meningkatkan perilaku bahan beton yang getas menjadi lebih liat (daktail).

Perlu dicatat bahwa dalam hal perencanaan struktur beton lebih ditentukan oleh faktor kekakuan daripada faktor kekuatannya seperti pada struktur pelat dimana retak dan lendutan sangat menentukan, peningkatan mutu bahan, khususnya penggunaan mutu baja supertinggi kurang ada manfaatnya.

Mutu Beton Super Tinggi


Ada tiga hal penting yang sangat menentukan kualitas dan peningkatan mutu beton yaitu pemilihan kekuatan dari bahan pengikat (binder), pemilihan kekuatan bahan agregat dan pemilihan bahan pelekat antara permukaan agregat dan bindernya. Peningkatan kualitas mutu beton dapat dilakukan menggunakan pemilihan jenis semen dan bahan campuran kimiawi yang tepat sehingga kebutuhan jumlah air dalam rancangan adukan beton yang akan digunakan dapat dibuat serendah mungkin dan yang masih memenuhi batas kelayakan praktis pengecoran. Sudah banyak penelitian yang telah dilakukan baik di dalam negeri oleh Supartono (2001) maupun di luar negeri, Jepang, America (ACI), dan Eropa (FIP-CEB) mengenai mutu beton super tinggi ini. Dari hasil studi pustaka di Jepang, Aoyama (2001); dapat diperoleh hal-hal penting yang perlu kita perhatikan a.l. sebagai berikut ini :

Mutu beton tinggi sangat ditentukan oleh penggunaan ratio air semen (W/C), W/C= 0.25 -0.30 adalah yang paling ideal. Dari gambar (1) dapat dipelajari bahwa kuat tekan mortar tidak bergantung dan dipengaruhi oleh jenis dan tipe semen jika W/C < 0.25. Jumlah air per kubik beton dibatasi dalam batas rentang antara 145 175 kg/m3. Kuat tekan beton cenderung akan menurun secara linear berkaitan dengan meningkatnya jumlah aggregate kasar dengan mutu rendah per kubik beton (type K & D), dan relatip konstan jika dipergunakan agregat kasar dengan mutu yang lebih tinggi (type O & T), lihat gambar (2). Secara umum dapat dinyatakan bahwa semua bahan tambahan kimiawi dalam bentuk seperti jenis air entraining dan water-reducing yang banyak dipergunakan secara komersial mengikuti standar dosis pemakaiannya masing-masing disesuaikan dengan rekomendasi dari produksi berbagai pabrik, secara kualitatip memberikan hasil yang relatip sama. Penggunaan bahan tambahan mineral pengganti semen sejenis silica fume dan fly ash fume dalam batas 10 15 % akan menghasilkan kuat tekan beton yang optimal.

Gambar 1 Kuat Tekan Mortar dengan Berbagai jenis Semen

Gambar 2 Kuat Tekan Beton dengan berbagai mutu agregat kasar

Atas dasar pengetahuan yang telah diuraikan di atas selanjutnya dapat direncanakan secara cermat untuk dilakukan serangkaian rancangan adukan beton supaya mendapatkan mutu beton super tinggi. Secara umum prosedur standar yang harus diikuti sebelum membuat rancangan adukan beton super tinggi dapat diikuti sesuai alur kerja yang diberikan dalam gambar (3).

Baja Tulangan Super Tinggi


Jika dibandingkan dengan penelitian global mengenai beton mutu tinggi di hampir seluruh penjuru dunia (Sheikh-1982, Park-2001, Mendis-2000, Mugurama-1988, Sundarajay-1992 dan MacGregor-1996), perkembangan penelitian tentang baja mutu super tinggi relatip tidak banyak dan itupun masih terbatas hanya pada baja tulangan dengan ukuran diameter kecil (6 13 mm) untuk tulangan pengekang (Park, Mugurama). Loncatan spektakular jauh kedepan telah dilakukan oleh pemerintah Jepang sejak tahun 1988, yang mulai melakukan penelitian tentang penggunaan baja tulangan mutu super tinggi sebagai suatu keharusan mutlak untuk mensinerjikan interaksi imbangan kekuatannya dengan beton mutu tinggi. Uraian berikut ini merupakan kutipan sebagian penting yang telah dihasilkan dari penelitian tersebut di atas.

Rancangan Adukan Beton


Menetapkan Syarat-Syarat Rancangan Adukan Beton
Kuat Tekan Beton Air Content Slump

ya

bahan tambahan minerall

tidak Menetapkan rasio penggunaan mineral tambahan

Menetapkan rasio air semen

Menetapakan volume agregat kasar

Hitung jumlah air yang dibutuhkan Hitung semen yang dibutuhkan

Hitung jumlah agregat kasar yang dibutuhkan

Menetapkan penggunaan bahan tambahan kimiawi

Hitung jumlah agregat halus yang dibutuhkan

Gambar 3 Alur kerja Rancangan Adukan Beton Mutu Super Tinggi

Baja tulangan yang saat ini digunakan masih terbatas kepada mutu baja tulangan yang mempunyai tegangan leleh fy 500 MPa untuk struktur beton bertulang biasa, dan baja tulangan dengan tegangan putus fp 1800 MPa untuk struktur beton prategang yang umumnya terbatas menggunakan tulangan berdiameter kecil 13 mm. Baja tulangan dengan mutu super tinggi dengan tegangan leleh fy 700 MPa secara khusus direncanakan untuk baja tulangan untuk unsur struktur (balok, kolom dan dinding beton bertulang) yang direncanakan akan terjadi sendi-sendi plastis dan fy 1000 MPa untuk unsur struktur yang direncanakan belum mencapai batas regangan lelehnya pada saat sistim struktur keseluruhan mengalami deformasi melampaui batas elastisnya. Baja-baja mutu tersebut di atas saat ini sudah dapat diproduksi secara komersial oleh industri pabrik baja tulangan di Jepang. Baja tulangan prategang tetap dipertahankan dan variasi penggunaanya diperluas untuk baja tulangan sengkang sebagai tulangan pengekang bersamasama dengan produksi baja tulangan baru dengan mutu 800 fy 1300 MPa. Gambar (4) menunjukan perbedaan mendasar mengenai grafik hubungan tegangan-regangan dari mutu baja super-tinggi dengan baja lunak untuk tulangan yang sudah biasa dipakai pada perencanaan beton bertulang saat ini di Indonesia. Tabel 1 memberikan informasi penting yang menyangkut persyaratan teknis dari produksi pabrik untuk mutu baja tulangan super-tinggi tersebut.

TABEL -1 SYARAT TEKNIS MUTU BAJA TULANGAN SUPER-TINGGI


Deskripsi Mutu Baja Tulangan Tulangan Utama Tulangan Sengkang USD 980 USD 785 USD 1275 USD 685 A B 685 - 785 685 - 755 > 980 > 785 > 930 > 1275 > 1420

Tegangan Leleh (MPa) Tegangan Putus (MPa) Regangan Leleh saat proses pengerasan Regangan Putus Ratio Tegangan Leleh Jari-jari dalam untuk o lengkung 90 Rentang Ukuran Diameter (mm)

tidak perlu dispesifikasikan > 1.4 %

tidak perlu dispesifikasikan

> 10 % < 85 % < 80 %

>7% < 90 %

>8%

>7%

tidak perlu dispesifikasikan

2 kali diameter

4 kali diameter 1.5 x diameter

2.5 x diameter

D 10 - 51

diameter 6 - 13

Yang menarik dan perlu dicatat mempelajari Tabel-1 tersebut adalah yang menyangkut hal-hal sbb :

Tegangan dan Regangan Leleh


Persyaratan utama perancangan struktur beton pemikul gaya gempa adalah mengenai keandalan (daktilitas) penampang dari bagian-bagian struktur yang telah direncanakan untuk mengalami deformasi pasca elastis atau yang diharapkan terjadinya sendi-sendi plastis. Baja tulangan dengan sifat karakteristik tegangan-leleh yang nyata dan spesifik sangat dibutuhkan dalam hal ini seperti yang terlihat pada gambar (4) dari grafik hubungan tegangan-regangan untuk Baja Mutu USD 685. Batas atas dan bawah dari rentang tegangan leleh Baja Mutu USD 685 A (685 785 MPa) dan B (685 755 MPa) menunjukan derajat akurasi dari kontrol kualitas produksi pabrik baja untuk memberikan kesempatan buat perencana struktur dalam pemilihan mutu baja (biaya produksi mutu baja 685 B lebih tinggi dari 685 A) yang diinginkan terkait optimisasi/ekonomisasi penentuan besar kecilnya faktor kuat lebih (ACI 318-05 dan SNI 2748-02 memberikan faktor kuat lebih = 1.25) yang dibutuhkan untuk perencanaan bagian struktur yang diharapkan harus tetap berperilaku elastis pada kejadian gempa-besar. Kapasitas keandalan penampang beton, kelenturan dan kelengkungan baja tulangan (memudahkan pembengkokan tulangan tanpa menimbulkan retak-retak) juga sangat ditentukan oleh panjangnya daerah leleh saat baja mulai mengalami regangan pengerasan (strain-hardening) yaitu s > 1.4 %. Serta besarnya ratio leleh yang didefinsikan sebagai perbandingan antara tegangan leleh dengan tegangan putusnya yaitu harus lebih kecil dari 0.8 dan 0.85 masing-masing untuk mutu 685 A dan B; sehingga dengan demikian persyaratan tegangan putus pada Baja USD 685 tidak lagi dibutuhkan dalam hal ini. Sebagai perbandingan untuk baja lunak (konsentrasi kadungan karbon rendah < 0.3 %) di Jepang dengan fy < 350 MPa, ratio lelehnya disyaratkan cukup rendah yaitu sebesar 0.7. ACI 318-05 dan SNI 2847-02 mensyaratkan rasio perbandingan tegangan putus dan tegangan leleh fy > 1.25 (rasio leleh < 0.8) untuk setiap perencanaan terhadap beban gempa. Sebaliknya dengan makin bertambah tingginya mutu baja tulangan (USD 785, 980 dan 1275), batasan mengenai tegangan leleh menjadi semakin tidak jelas, dalam hal ini batas tegangan leleh ditetapkan sebagai tegangan pada regangan sebesar 0.2% dan persyaratan mengenai batasan tegangan putus menjadi sangat penting untuk jaminan terhadap keamanan global sistim strukturnya.

Gambar 4 Hubungan Tegangan-Regangan Berbagai Mutu Baja

Proses Pembuatan dan Campuran Kimiawi


Untuk mendapatkan mutu baja super tinggi, kontrol kualitas yang harus dilakukan di pabrik khususnya yang menyangkut jumlah kandungan serta campuran kimiawi dan cara-cara dari proses pembuatan sangat menentukan produksi mutu baja yang diinginkan. Tabel-2 memberi masukan mengenai campuran kandungan dasar kimiawi untuk baja yang mempunyai konsentrasi kandungan karbon-sedang (0.3 0.59 %) mutu USD 685; dengan menambahkan beberapa unsur kimia seperti Al (alumunium), Ti (titanium) dan atau Nb (niobium) dalam kandungan baja cair (hot-rolling) pada suhu 900o C dan kemudian melakukan proses pendinginan cepat (quenching) dengan menggunakan air atau minyak pelumas sampai mencapai suhu 150-200o C; proses ini dimaksudkan untuk memperoleh mutu baja dengan tegangan leleh yang lebih tinggi. Tahapan berikutnya adalah proses pemanasan (heat-treatment) dengan melakukan pemanasan ulang (tempering) sampai mencapai suhu 620o C kemudian dilanjutkan dengan proses pendinginan biasa, dimaksudkan untuk menghasilkan baja yang mempunyai batas tegangan dan regangan leleh yang jelas serta cukup panjang; demikian pula mempunyai nilai rasio leleh yang diinginkan cukup rendah.
TABEL - 2 CAMPURAN KANDUNGAN DASAR KIMIAWI BAJA MUTU USD 685
Proses Pembuatan Diameter (mm) 13 22 32 41 Jumlah Kandungan Kimiawi dalam % dari berat C Si Mn P S 0.33 0.32 0.32 0.32 0.41 0.41 0.99 0.99 0.75 0.70 1.58 1.55 0.007 0.010 0.006 0.009 0.004 0.001 0.002 0.004

Penambahan campuran kimia penguat pada cairan baja panas

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PERANCANGAN STRUKTUR


Paradigma perancangan struktur yang berlaku saat ini masih harus ditingkatkan, diperbaiki dan disesuaikan dalam kaitannya dengan penggunaan mutu beton dan baja supertinggi. Hal-hal mendasar yang perlu lebih diperhatikan dalam perancangan strukturnya a.l. dapat dikemukakan dalam uraian berikut ini.

Perancangan Berbasis Kinerja


Perancangan sebuah bangunan khususnya bangunan bertingkat tahan-gempa sangat komprensif dan memerlukan koordinasi yang terpadu; tidak semata perencanaan struktur saja tetapi juga melibatkan multidisiplin lain di bidang arsitektur, mekaninal, elektrikal dan plumbing dll. Pengalaman gempa masa lalu, seperti dimulai dari peristiwa pusat kesehatan Olive View di Sylmar California yang baru beberapa bulan diresmikan dan kemudian mengalami keruntuhan total saat terjadinya gempa San Fernando tahun 1971. Perencanaan dan pembangunan kembali rumah sakit Olive yang walaupun sudah menerapkan konsepkonsep perencanan struktur tahan-gempa modern berupa perkuatan lateral dari interaksi dinding beton dan rangka pemikul momen dibagian keliling luar bangunan, sehingga saat terjadinya gempa Northridge tahun 1994 secara struktural bangunannya tidak mengalami kerusakan yang berarti. Akan tetapi fungsi utama bangunan sebagai rumah sakit lumpuh total dikarenakan seluruh sistim sprinkler dan pendinginan rusak berat sehingga mengharuskan evakuasi total seluruh pasien selama beberapa hari. Pernyataan mengejutkan telah dikemukakan oleh Prof. Shunsuke Otani pada seminar internasional EASEC ke-9 di Bali beberapa tahun lalu yang mengungkapkan bahwa dari hampir seluruh bangunan yang direncanakan tahan gempa, yang walaupun secara relatip tidak mengalami kerusakan struktural berarti pada peristiwa gempa hebat Kobe tahun 1995; namun sangat disayangkan bahwa biaya perbaikan kerusakan non-strukturalnya jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya jika membangun kembali struktur bangunan baru. Berdasarkan pengalaman tersebut di atas, selanjutnya terjadi perubahan paradigma mengenai konsep dasar perencanaan struktur bangunan tahan-gempa. Perencanaan struktur berbasis kinerja mulai memasuki babak baru untuk perencanaan struktur bangunan tahan gempa sejak direkomendasikan mengenai hal tersebut oleh asosiasi enjiner California SEAOC Vision 2000 pada tahun 1995. Perkembangan lebih lanjut tentang petunjuk model perencanaan berbasis kinerja dapat dipelajari melalui banyak publikasi di Amerika yang dikeluarkan oleh SEAOC (1995-1999), ATC-40 (1996), FEMA-273, 274 (1997, FEMA 356 (2000), FEMA 368 (2001) dan bahkan sudah dimasukan dalam standar peraturan terbaru dari IBC-2000. & 2003 ataupun ASCE 7-05. Petunjuk praktis secara tahap demi tahap mengenai perencanaan berbasis kinerja untuk keperluan perencanaan struktur secara umum, mengikuti ketentuan yang telah di atur oleh ATC-40 dan FEMA 273 & 274 dan diuraikan oleh Naeim et al (2001). Bertero (2004), memperkenalkan metode CCA (comprehensive conceptual approach) sebagai metode yang paling up to date untuk langkah awal dari perencanaan struktur berbasis kinerja. Uraian berikut ini sebagian besar terambil dari kedua tulisan tersebut di atas. Pada dasarnya kriteria minimum perancangan struktur berbasis kinerja mensyaratkan bahwa : 1. Struktur bangunan harus berprilaku elastis dan dapat berfungsi secara operasional penuh pada saat terjadinya gempa kecil yang mempunyai perioda ulang 10 tahun dengan persentasi kemungkinan terlampauinya selama umur bangunan sebesar 16 %. 2. Komponen struktur dan non-struktur dari bangunan akan mengalami perubahan bentuk pasca elastis maksimum yang terkendali dan masih dalam batas yang diperbolehkan sehingga tidak membahayakan keselamatan manusia, pada saat terjadinya gempa besar yang mempunyai perioda ulang 475 tahun dengan persentasi kemungkinan terlampauinya selama umur bangunan sebesar 16 %. Oleh Bertero (2004) hal tersebut dinyatakan dalam bentuk index kerusakan, DMI (damage index) dan index perpindahan tiap lantai, IDI (story drift index). DMI = 0 dalam hal tidak ada kerusakan dan DMI=1 jika terjadi

kerusakan total (lokal) untuk setiap komponen yang direncanakan akan mengalami perubahan bentuk pasca-elastis. Batasan kinerja struktur yang diinginkan diberikan dalam Tabel-3

Tabel-3 Kinerja Struktur Rencana


Batasan Kinerja Bangunan Perioda ulang gempa (tahun) 10 Batasan Kinerja Struktur Terhadap Beban Gempa Rencana Derajat Kerusakan Struktur Derajat Kerusakan Non-Struktur Kerusakan Lokal Kemungkinan Kemungkinan Kegagalan IDI Kegagalan DMI 0.00 16% 0.003 16%

daya layan

keselamantan jiwa

500

0.80

16%

0.015

16%

Implementasi dari kedua hal tersebut di atas secara praktis dapat dilakukan sbb : 1. Tentukan kekuatan kapasitas pasca elastis dari struktur bangunan yang dinyatakan dengan grafik hubungan gaya geser dasar dan perpindahan lateral pada puncak bangunan melalui push-over analisis. Rubah grafik tersebut keformat sistim koordinat ADRS (acceleration-displacement response spectra) seperti terlihat dalam gambar 5, mengikuti persamaaan 2 (a), (b), (c) dan (d).

S ai =

Vi / W

(2a)

S di =

( PFi x 1,roof )
2

(2b)

n ( wii1 ) / g 1 PFi = i = n (w 2 ) / g i i1 i =1

(2c) ;

n ( wii1 ) / g 1 = n i =1 n wi 2 g ( wii1 ) / g i =1 i =1

(2d)

dimana wi berat setiap lantai i; i1 ragam getar pertama dan g, percepatan gravitasi, Vi gaya lateral gempa tiap lantai i; W berat total bangunan dan perpindahan lateral lantai. 2. Mempelajari peta wilayah gempa dan kondisi tanah setempat dari bangunan yang akan didirikan, tentukan respons spectra dari gempa rencana. Rubah respons spectra gempa rencana dari sistim koordinat Sa T keformat sistim koordinat ADRS mengikuti persamaan 3(a), (b) dan (c) seperti terlihat pada gambar. (6).

S di =

Ti 2 Sa g 4 2 i

3(a)

S ai g =

2 Sv Ti

3(b)

S di =

Ti Sv 2 i

3(c)

dimana Sa dan Sd masing-masing respons percepatan dan perpindahan; T adalah waktu getar alamiah.

perfomance point

Gaya Geser Dasar

batas operasional kembali fungsi bangunan

keselamatan jiwa

stabilitas struktur

Perpindahan Lateral Pada Atap Bangunan R

respon percepatan (Sa) Respon Perpindahan (Sd)

(a) Format Gaya-Perpindahan

(b) Format ADRS (Sa-Sd)

Gambar 5 Pushover Analisis (pasca-elastis)

Sa

Sa Ta

Sai

Ti

Ta

Ti

Sdi

Sd

(a) Format Sa T

(b) Format ADRS (Sa Sd)

Gambar (6) - Respon Percepatan Gempa 3. Konsep dasar teori ilmu ekonomi yang menyatakan bahwasanya suplai harus lebih besar atau mencukupi daripada kebutuhan dipakai disini; dimana suplai dinyatakan sebagai kekuatan kapasistas maksimum struktur yang masih dapat dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan kekuatan struktur yang harus mengalami perubahan bentuk paca elastis akibat gempa besar rencana. Hal ini diverifikasikan sebagai titik potong dari grafik yang dihasilkan pada langkah (1) dengan grafik pada langkah (2) yaitu respon percepatan elastis dengan 5% faktor redaman histeris o dan yang telah dimodifikasi (diperkecil) karena memperhitungkan faktor redaman SRA dan SRv mengikuti persamaan (4), berkaitan dengan perubahan struktur pasca elastis.

SRa =

2.31 0.41 ln ( eff ) 1 1 3.21 0.68 ln( eff ) (4a) ; SRv = = = Bs 2.12 BL 1.65

(4b)

dimana eff = o + 0.05 dan faktor dan dapat di ambil pada Tabel - 4.

TABEL 4 - FAKTOR REDAMAN SR a Dan SR v


Durasi Getaran pendek Jenis Struktur A 16.25 16.25 Parameter Redaman

Harga Minimum SR v SR a

0.33 1.13 - 0.51(Sa y Sd pi - Sd y Sa pi )/Sa pi Sd pi

0.5

panjang

25 25

0.67 0.44 0.845 - 0.446(Sa y Sd pi - Sd y Sa pi )/Sa pi Sd pi 0.56

Titik ini disebut titik kinerja (performance point). Performance point ini diperoleh dengan mengasumikan pendekatan kurva bi-linear dan menterapkan konsep persamaan enerji setelah melalui beberapa kali proses iterasi dimulai dengan pemilihan estimasi harga awal dari Sapi dan Sdpi seperti yang diilustrasikan dalam gambar (7). Proses iterasi dianggap cukup jika tercapai 5 % toleransi perbedaan antara harga estimasi Sapi dan Sdpi dengan Sap dan Sdp hasil perhitungan.
Sa

respon elastis 5 % damping

SRA x respon elastis 5 % damping (respon pasca-elastis) grafik push-over

Sapi Say
kurva bilinear

performance point

Sdy

Sdpi Sdp

Sd

Gambar 7 Menentukan Performance Point 4. Dari besarnya perubahan bentuk struktur yang diperoleh pada langkah (3), periksa perubahan pasca-elastis setiap komponen struktur dan non-struktur (DMI dan IDI) dari keseluruhan sistim; apakah masih memenuhi batas persyaratan yang telah ditetapkan dalam Tabel - 4. 5. Siapkan dokumen bangunan berupa gambar-gambar rencana detail struktur dan tahapan langkah dari kontrol kualitas pelaksanaan sesuai kebutuhan yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan perubahan bentuk pasca elastis pada langkah (3) dan (4).

Perencanaan Kolom
Struktur beton bertulang merupakan gabungan interaksi 2 material yang berbeda yaitu beton dan baja; masing-masing mempunyai prilaku spesifk yang sangat kontras dan bertolak belakang ketika memikul tegangan-lentur. Tegangan lentur tekan dipikulkan oleh beton sedangkan tegangan lentur tarik ditahan oleh baja tulangan melalui transfer gaya atau lekatan antara kedua material tersebut. Tegangan lekatan yang terjadi dipermukaan tulangan selalu berubah dan sangat bervariasi sehingga untuk praktisnya pada setiap peraturan prencanaan beton hal ini cenderung dinyatakan dengan hanya menghitung panjang penyaluran; yang didefinisikan sebagai panjang minimal yang diperlukan supaya di dalam tulangan terjadi peningkatan tegangan mulai dari nol sampai mencapai tegangan lelehnya. Digunakannya mutu baja tulangan supertinggi jelas sangat membutuhkan panjang penyaluran yang lebih panjang karena peningkatan tegangan lekatan beton tidak secara proportional dengan peningkatan mutu kuat tekan betonnya. (tegangan lekatan beton meningkat secara proportional dengan

f c' ).

Panjang penyaluran dalam ACI 318 maupun SNI 2748 ditetapkan mengikuti pers. (4):

ld =

c + K tr d b ; dimana 1 d c + K tr b 10 f c' d b

9 f y

2.50

(4)

penjelasan yang lebih detail tidak diuraikan dalam tulisan ini dan dapat diikuti dengan mudah melalui penjelasan yang terdapat dalam kedua peraturan tersebut. Dalam hal terjadinya retak-retak akibat tegangan tarik yang melampaui tegangan lekatan antara beton dan baja tulangan akan mengakibatkan pemisahan sepanjang tulangan dan terkoyaknya sisi-sisi bagian luar beton seperti yang diperlihatkan dalam gambar (8), dan akan mengikuti pola tegangan yang ditimbulkannya (tegangan akibat momen lentur, geser, aksial tarik dan torsi). Strategi perencanaan untuk mengurangi besarnya panjang penyaluran dapat dilakukan dengan memperbesar sedikit tebal penutup beton atau jarak pusat kepusat antar tulangan ditambah dengan memperhitungkan adanya sumbangan positip dari kehadiran tulangan sengkang yang dinyatakan dengan faktor K tr =

Ah f yh 100 sn

. Ktr yang merupakan fungsi dari mutu baja fyh, jumlah tulangan memanjang n, jarak

sengkang s dan luas total tulangan sengkang yang memotong bidang retak-pemisahan Ah. Gambar (9) memperlihatkan panjang penyaluran l d optimal yang dinyatakan dalam db jika diambil harga maksimal

c + K tr d b

= 2.5 yang umumnya akan selalu terpenuhi untuk setiap persyaratan minimum

tulangan

pengekang dengan berbagai variasi mutu bahan beton dan baja tulangan. Panjang penyaluran normal 30 sampai 40 db masih dapat dicapai dengan menggunakan kombinasi yang tepat antara mutu baja dan beton sangat tinggi, Mengingat penggunaan diameter tulangan utama berukuran besar (db>32 mm) umumnya banyak dipakai karena lebih menguntungkan pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, peraturan Jepang tidak memperbolehkan sistim sambungan sisipan (lap-splice) dan mensyaratkan penggunaan sistim sambungan mekanis pada struktur beton dan baja tulangan mutu super-tinggi.

Untuk mengatasi besarnya momen guling yang ditimbulkan oleh gaya-gaya lateral gempa atau angin, gaya aksial terutama pada kolom-kolom bagian luar sangat dominan sehingga strategi pemasangan tulangan kolom dapat sebagian diletakan pada pusat kolom; dengan demikian sekaligus juga bisa memanfaatkan pengurangan panjang penyaluran untuk sambungan tulangan sehubungan jarak pusat ke pusat tulangan memanjang kolom menjadi relatip lebih longgar seperti terlihat dalam gambar (10); lihat penjelasan sebelumnya mengenai panjang penyaluran.

Gambar 8 Retak Pemisahan Pada Permukaan Tulangan

Tulangan Sengkang untuk Pengekangan


Dipergunakannya mutu beton super-tinggi pada perencanaan bangunan bertingkat banyak, dimaksudkan untuk mengimbangi secara proporsional dengan meningkatnya gaya aksial tekan yang terjadi pada kolom bagian bawah akibat beban gravitasi dan beban gempa atau angin. Hal ini membawa konsekwensi keharusan untuk memperbaiki pengurangan kekuatan dan prilaku baku beton yang semakin getas ketika kolom mulai mencapai kuat tekan maksimum pertama yang kemudian diikuti timbulnya retak-retak vertikal dan terkelupasnya kulit penutup beton kolom di luar tulangan sengkang. Tegangan tarik yang terjadi di dalam tulangan sengkang pada saat tersebut mulai aktip bereaksi memberi tegangan tekan balik yang mengekang sekeliling bagian dalam penampang kolom sehingga beton menerima keadaan tegangan tekan 3- bidang dan merubah prilaku beton menjadi lebih andal (daktail) dengan tetap mampu memepertahankan kekuatannya memikul beban, sampai mencapai kuat tekan maksimum untuk kedua kalinya; sebelum akhirnya kolom mengalami kehancuran total, seperti yang diperlihatkan pada gambar (11).

Panjang Penyaluran Dasar


60

55

50

fy = 700 M P a

45

40

35

30

fy = 500 M P a
25 20

fy = 400 M P a

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70

M utu Beton fc' (M P a)

Gambar 9 Panjang Penyaluran Dasar Untuk Tulangan db 22 mm

Gambar 10 Variasi Pemasangan Tulangan Kolom Tegangan tekan pengekang yang ditimbulkan dari tulangan sengkang biasa kurang effektip jika dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh tulangan sengkang berupa spiral dikarenakan adanya effek busur sehingga tidak seluruh bagian dalam penampang kolom yang menerima pengekangan. Peningkatan ' dari tulangan sengkang dapat dinyatakan dalam persamaan (5) : kuat tekan beton akibat pengekangan f cc sengkang spiral : sengkang biasa dimana masing-masing: :
' f cc = 0.80 f c' + 4.18 f l sp ' f cc = f c' + 11.5 f l

(5a) (5b)

f l sp =
dan

1 s f y (1 s / 2 Dc ) 2 ; fy 1100 MPa 2

f l = (d s / C )(1 s / 2 Dc ) h f y ; fy 700 MPa

Luas tulangan pengekang lebih sering dinyatakan dalam bentuk s atau h, yang merupakan rasio volume tulangan sengkang terhadap volume betonnya, dan sangat ditentukan oleh mutu baja tulangan sengkang y, jarak sengkang s, diameter tulangan sengkang ds, diameter atau lebar kolom bagian dalam yang dibatasi sengkang Dc dan C adalah jarak pusat ke pusat antara tulangan memanjang yang terikat dalam arah lateral oleh sengkang, kait dll. Memperbandingkan persamaan (5a) dan (5b) dapat ditunjukan bahwa effektifitas pengengkangan tulangan sengkang biasa hanya 30-50 % dari tulangan sengkang berbentuk spiral.
P (KN) 120 0 800

kulit beton terkelupa s

kuat maksimum kedua

Kolom dengan sengkang spiral

kehancuran tekan

400

25 50 perpendekan aksial (mm)

Gambar 11 Kapasitas Aksial Tekan Kolom Dengan Tulangan Spiral Tekuk pada tulangan memanjang kolom tidak bergantung kepada jarak sengkang maksimum 8 ds yang masih diperkenankan oleh peraturan. Hasil penelitian lebih lanjut mendapatkan bahwa deformasi axial kolom sangat bergantung lepada jarak sengkangnya. Untuk mengurangi hal tersebut jarak sengkang maksimum ditetapkan sebesar 6 ds. Tegangan leleh sengkang untuk perhitungan memakai pers. (5) harus dibatasi fy 700 MPa; mengingat hasil uji laboratorium menunjukan bahwa pada jenis tulangan sengkang biasa, tegangan dalam tulangan pengekang tidak pernah mencapai tegangan lelehnya ketika gaya aksial pada kolom sudah mencapai kuat hancur tekan betonnya. Hal sebaliknya tegangan leleh tulangan pengekang selalu terjadi pada kolom dengan tulangan sengkang spiral, fy 1100 MPa .

PENUTUP Perlu adanya perubahan paradigma yang harus diterapkan pada perancangan struktur bangunan tahan-gempa berkaitan dengan digunakannya mutu beton dan baja tulangan super-tinggi. Perangkat lunak komersial yang berkembang saat ini untuk perencanaan struktur sudah menyediakan fasilitas dan kesempatan setiap perencana struktur untuk melakukan analisis perhitungan pasca-elastis menggunakan metode push-over sebagai langkah awal perancangan berbasis kinerja.

DAFTAR PUSTAKA
American Concrete Institute (2005), Building Code Requirements for Structural Concrete (ACI 318-05) and Commentary (ACI318R-05), 430 pp. Aoyama, Hiroyuki (2001), Design of Modern Highrise Reinforced Concrete Structures, Imperial College Press, London., 442 pp. ASCE (2005), Minimum Design Loads for Building and Other Structures, SEI/ASCE 7-05,, American Society of Civil Engineers, Reston, VA, 2000, 376 pp. Bozorgnia, Y. & Bertero, V., (2004), Earthquake Engineering From Engineering Seismology to Performance Based Engineering; CRC Press LLC, Boca Raton, Florida. Ibrahim, H., and MacGregor, J.G. (1996); Test of Eccentrically Loaded High-Strength Concrete Columns, ACI Structural Journal, Vol. 93, No.5, Sept-Oct, pp. 585-594. ICC (2003), International Building Code 2003, International Code Council, Falls Church VA, 632 pp. Li Bing, Park, R, and Tanaka, H., (2001), Stress-Strain Behaviour of High-Strength Confined by UltraHigh and Normal Strength Transverse Rerinforcement, ACI Journal, Vol. 98, No. 3, May-June, pp. 395406. MacGregor J.G., Wight, J.K. (2005), Reinforced Concrete Mechanics and Design; 4th Ed. In SI-Unit, Prentice Hall, Inc, Copyright by Pearson Education, Inc. 1111 pp. Mendis, P.A. (2000), Behaviour of Slender High-Strength Concrete Columns, ACI Structural Journal, V.97, No.6, Nov-Dec., pp. 895-901. Mugurama, H., Watanabe, F. and Komono, T (1989), Applicability of High Strength Concrete to Reinforced Concrete Ductile Column, Proceedings, Japan Concrete Institute, Vol. 11, pp. 309-316. Naeim, F (2001), The Seismic Design Handbook; 2nd Ed. Kluwer Academic Publishers, 830 pp. Sheikh, A.S, Uzumeri, S.M. (1982), Analytical Model for Concrete Confinement in Tied Columns; Journal of the Structural Division, Proceeding ASCE, Vol.108, ST12, December, pp 2703-2722. Sundarajay, P. (1992), High Strength Concrete Column under Eccentric Loads, Masters of Science thesis, Department of Civil Engineering, University of Toronto. Supartono, F.X. (2001), Rumusan Abrams-Fxs untuk Rancang Campuran Beton Bermutu Tinggi Berdasarkan Rasio Air-semen dan Kadar Silica-fume, Jurnal Teknik Sipil Tarumanagara, Juli 2001. Shunsuke Otani (2003), Need and Application of Smart Material and System in Performance Based Engineering, 9th East Asia-Pacific Conference on Structural Engineering and Construction, paper KS-32, 16-18 December , Bali.

Anda mungkin juga menyukai