Anda di halaman 1dari 119

Immunology

DAFTAR ISI
IMUNOLOGI DASAR .............................................................................................. RESPON IMUN FISIOLOGIS .................................................................................... RESPON IMUN PATOLOGIS .................................................................................... PEMERIKSAAN PROFIL IMUNOLOGI ...................................................................... REAKSI PENOLAKAN JARINGAN PADA TRANSPLANTASI ORGAN ............................ IMUNOPARASITOLOGI .......................................................................................... IMUNOFARMAKOLOGI .......................................................................................... IMUNOLOGI DAN MEDIKOLEGAL .......................................................................... LUPUS ERYTHEMATOSUS SISTEMIC (LES)-4 ........................................................... POLYARTERITIS NODUSA-1 ................................................................................... POLIMIALGIA REUMATIK (PMR)-3A ....................................................................... ANAFILAKSIS-4A .................................................................................................... DEMAM REUMATIK-3A ......................................................................................... ARTHRITIS RHEUMATOID- 3A ................................................................................ JUVENILE CHRONIC ARTHRITIS (JCA)-2 .................................................................. HENOCH-SCHOENLEIN PURPURA-2 ....................................................................... ERYTHEMA MULTIFORME-2 .................................................................................. HIV-4 .................................................................................................................... 1 8 19 34 39 43 48 63 69 84 87 90 96 99 103 108 111 113

Acadeic Division | ORAGASTRA

Immunology
IMUNOLOGI DASAR
Imunologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sistem pertahanan tubuh.

Terminologi kata imunologi berasal dari kata immunitas dari bahasa latin yang berarti pengecualian atau pembebasan. Imunitas adalah suatu kemampuan tubuh untuk melawan organisme atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh.

KOMPONEN SISTEM IMUN A. Organ Limfoid Organ limfoid terdiri dari kelenjar limfe, tonsil, spleen, timus dan sumsum tulang. Kelenjar limfe berukuran 1-25 mm, ditemukan di sepanjang pembuluh limfatik dan dinamakan sesuai dengan tempatnya. Di organ limfoid, terdapat jaringan limfoid dan di jaringan limfoid terdapat banyak limfosit yang akan melawan agen perusak seperti organisme asing atau toksin. Jaringan limfoid yang letaknya tersebar ini menguntungkan dalam tubuh untuk menahan invasi organisme sebelum lebih luas. Jaringan limfoid di nodus limfe untuk melawan antigen yang menginvasi jaringan perifer tubuh Jaringan limfoid di tonsil dan adenoid untuk melawan antigen yang masuk melalui saluran pernapasan Jaringan limfoid di spleen, timus dan sumsum tulang untuk melawan antigen yang berhasil mencapai sirkulasi darah Jaringan limfoid di dinding saluran cerna untuk melawan antigen yang masuk melalui usus Perjalanan organisme asing atau toksin setelah masuk ke tubuh yaitu agen sampai di cairan jaringan, kemudian agen ini akan dibawa melalui pembuluh limfe ke nodus limfe atau jaringan limfoid lainnya. Selain sebagai gudang limfosit, beberapa organ limfoid juga memiliki fungsi khusus, yaitu :

Academic DIvision | ORAGASTRA

Immunology
Kelenjar limfe untuk membersihkan limfe Spleen untuk membersihkan darah Timus sebagai tempat matur limfosit-T Sumsum tulang untuk memproduksi leukosit

(cancerresearchuk.org) B. Makrofag Dalam jaringan limfoid, selain limfosit, juga ada berjuta-juta makrofag. Adapun mekanisme makrofag dalam melawan antigen yang masuk dalam tubuh manusia yakni dengan : 1. Organisme yang menginvasi akan difagositosis dan sebagian akan dicerna oleh makrofag, kemudian produk antigeniknya di lepaskan ke dalam sitosol makrofag. Lalu makrofag mentransfer antigen tersebut secara langsung ke limfosit dengan cara kontak sel-ke-sel, sehingga menimbulkan aktivasi klon limfositik yang spesifik. 2. Makrofag menyekresikan Interleukin-1, yaitu zat pengaktivasi khusus yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik.

Academic DIvision | ORAGASTRA

3
C.

Immunology
Limfosit

a.

Limfosit-B Limfosit-B membentuk antibodi yang menyerang agen yang masuk ke dalam tubuh.

Gambar : (Reseptor sel B untuk antigen; terdiri dari molekul immunoglobulin permukaan)

b.

Limfosit-T Limfosit-T berperan dalam imunitas yang diperantai sel (imunitas sel-T) untuk menghancurkan benda asing. Di kelenjar timus, limfosit-T membelah secara cepat sambil membentuk keanekaragaman yang ekstrem untuk bereaksi melawan berbagai antigen spesifik

Academic DIvision | ORAGASTRA

Immunology
TIPE SEL-T DAN FUNGSINYA 1. Sel T Pembantu (CD4) Sel T Pembantu merupakan sel T yang jumlahnya paling banyak. Sesuai namanya, sel ini membantu untuk melakukan fungsi imun. Sel ini meyekresikan limfokin, yaitu sejenis mediator protein yang bekerja pada sel-sel lain dalam sistem imun dan sumsum tulang. Sekresi limfokin di antaranya : Interleukin-2 Interleukin-3 Interleukin-4 Interleukin-5 Interleukin-6 Faktor perangsang-koloni granulosit-monosit Interferon-

Fungsi sel T pembantu : a. Perangsangan pertumbuhan dan proliferasi sel T sitotoksik dan sel T supresor. Efek perangsangan terbesar yaitu Interleukin-2 dan yang lain memiliki efek potensial yang lebih sedikit. b. Perangsangan pertumbuhan dan diferensiasi sel B untuk membentuk sel plasma dan antibody. Hampir semua interleukin berperan dalam

perangsangan, khususnya interleukin 4, 5, dan 6. Maka ketiga interleukin ini disebut faktor perangsangan sel B atau faktor pertumbuhan sel B. c. Aktivasi sistem makrofag. Pertama, limfokin memperlambat atau menghentikan migrasi makrofagsetelah secara kemotaktik tertarik ke area meradangagar makrofag-makrofag ini berkumpul. Kedua, limfokin mengaktifkan makrofag ini untuk melakukan fagositosis yang jauh lebih efisien, sehingga makrofag menghancurkan agen perusak dalam jumlah yang lebih banyak. Beberapa interleukin, interleukin-2 khususnya memiliki efek umpan balik positif yang mempu merangsang aktivasi sel T pembantu.

Academic DIvision | ORAGASTRA

Immunology
2. Sel T Sitotoksik (CD8) Sel T sitotoksik disebut juga sel pembunuh. Protein reseptor pada permukaan sel T sitotoksik meyebabkan sel ini berikatan erat dengan organisme atau sel yang mengandung antigen spesifik sel T sitotoksik menyekresikan perforin, yaitu protein pembentuk lubang pada membran sel yang diserang cairan interstisial dan substansi sitotoksik dari sel sel T sitotoksik masuk sel T sitotoksik keluar dari sel korban sel membengkak dan kemudian terlarut. Keluarnya sel T sitotoksik sebelum sel korban terlarut membuat sel T sitotoksik dapat membunuh lebih banyak sel lagi. 3. Sel T Supresor Fungsi sel T supresor adalah untuk menekan fungsi sel T pembantu dan sel T sitotoksik agar tidak menyebabkan reaksi imun berlebihan yang dapat merusak jaringan tubuh sendiri (toleransi imun).

PEMBAGIAN SISTEM IMUN Secara umum, imunitas terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Imunitas Bawaan Imunitas bawaan yaitu jenis imunitas yang berasal dari proses umum tubuh, mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Imunitas bawaan meliputi : a. b. c. d. Proses fagositosis dengan peran dari neutrofil, monosit, dan makrofag. Penghancuran organisme yang tertelan oleh asam lambung dan enzim pencernaan. Daya tahan kulit terhadap invasi (masuknya) organisme. Senyawa kimia yang mampu menghancurkan organisme atau toksin, seperti lisozim (membuat bakteri larut), polipeptida dasar (menonaktifkan bakteri gram positif) , kompleks komplemen dan natural killer lymphocyte. Respon imunitas jenis ini tetap walaupun terpapar organisme penyebab penyakit yang sama berulang-ulang. Imunitas bawaan disebut juga pertahanan tubuh nonspesifik, dibagi menjadi dua, yaitu :

Academic DIvision | ORAGASTRA

Immunology
1. Pertahanan Tubuh Nonspesifik Eksternal Merupakan pertahanan pertama yang berperan penting dalam menahan benda asing seperti bakteri. Di antaranya kulit, membran mukosa, dan sekresi dari kulit dan membran mukosa. 2. Pertahanan Tubuh Nonspesifik Internal Merupakan garis pertahanan kedua, jika pertahanan pertama dapat ditembus. Di antaranya sel darah putih fagositik, protein anti mikroba, dan respon peradangan.

2.

Imunitas Didapat (Adaptif) Imunitas didapat yaitu jenis imunitas yang sangat kuat dengan cara membentuk antibody dan/atau menghancurkan agen penyerang spesifik, seperti bakteri, virus, toksin atau jaringan asing. Imunitas didapat dibentuk berminggu-minggu atau berbulan-bulan sejak tubuh pertama kali diserang. Ada dua tipe imunitas didapat, yaitu : a. Imunitas yang Diperantarai Sel (Imunitas Sel-T) Limfosit-T membentuk limfosit T teraktivasi dalam jumlah besar, khusus untuk menghancurkan benda asing. b. Imunitas humoral (Imunitas Sel-B) Limfosit-B membentuk antibody yang bersirkulasi, yaitu molekul globulin dalam plasma darah. Antibody ini kemudian menyerang agen yang masuk ke dalam tubuh. Jadi intinya, imunitas didapat merupakan produk limfosit tubuh. Respon kedua pada imunitas didapat akan lebih kuat disbanding respon pertama jika terpapar agen penyerang yang sama.

FUNGSI SISTEM IMUN 1. Pertahanan Fungsi pertahanan sistem imun adalah membentuk imunitas spesifik untuk melawan agen yang mematikan, seperti bakteri, virus, toksin dan bahkan jaringan asing yang masuk ke dalam tubuh.

Academic DIvision | ORAGASTRA

7
2.

Immunology
Homeostasis Sistem imun mempunyai peran homeostasis agar tubuh dapat mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam. Sistem imun memiliki fungsi sebagai eliminasi komponen-komponen tubuh yang sudah tua.

3.

Pengawasan Sistem imun dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang menjadi ganas.

REFERENSI : Baratawidjaja, KG. 2000. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Peter et al. 2000. The Immune System First Of Two Parts. Volume 343 number 1, Massachusetts Medical Society, The New England Journal Of Medicine muhaiminrifai.lecture.ub.ac.id

Imunitas didapat tidak akan terbentuk sampai ada invasi organisme asing, maka terdapat mekanisme tertentu untuk mengenali invasi ini. Mekanismenya yaitu setiap jenis organisme atau toksin hampir selalu mengandung satu atau lebih senyawa kimia spesifik (protein atau polisakarida besar dengan berat molekul 8000 atau lebih dan terdapat epitop pada permukaannya) yang membuatnya berbeda dari seluruh senyawa lainnya. Senyawa ini disebut antigen (antibody generations). Setelah limfosit yang spesifik diaktifkan oleh antigennya, maka ia akan berkembang biak dengan cepat dan membentuk sel limfosit turunan. Jika itu adalah limfosit-T, keturunannya adalah sel T spesifik dilepaskan ke cairan limfe diangkut darah disirkulasi ke seluruh cairan jaringan kembali ke limfe. Sirkulasi ini bisa terjadi berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Jika itu adalah limfosit-B, keturunannya akan menyekresikan antibody spesifik yang kemudian bersirkulasi ke seluruh tubuh.

Academic DIvision | ORAGASTRA

Immunology

Pada masa embrio, kedua macam limfosit (limfosit-T dan limfosit-B) berasal dari sel stem hematopoietic pluripoten. Pada masa ini, hanya ada segmen gensebenarnya, terdiri dari beratus-ratus segmentetapi tidak seluruh gen untuk jutaan jenis antibodi dan limfosit -T. Sebelum ke jaringan limfoid, limfosit sekolah dahulu dengan cara sebagai berikut. A. Limfosit-T Pembentukan limfosit-T di sumsum tulang bermigrasi ke kelenjar timus di kelenjar timus, limfosit-T membelah secara cepat sambil membentuk keanekaragaman yang ekstrem untuk bereaksi melawan berbagai antigen spesifik didapatkan ribuan jenis limfosit timus dengan reaktivitas spesifik untuk melawan ribuan jenis antigen timus menyeleksi limfosit-T dengan cara mencampurkan limfosit-T dengan antigen yang berasal dari jaringan tubuh sendiri. Jika limfosit-T bereaksi, maka dia akan dihancurkan dan difagositosis. Jika tidak bereaksi, limfosit-T akan dilepaskan limfosit-T yang lolos seleksi kemudian meninggalkan timus menyebar ke seluruh tubuh melalui darah limfosit-T mengisi jaringan limfoid di setiap tempat.

B.

Limfosit-B Pada masa pertengahan kehidupan janin, limfosit-B diolah di hati Pada masa akhir janin dan sesudah lahir . limfosit-B diolah di sumsum tulang

Limfosit B memiliki lebih banyak keanekaragaman daripada limfosit-T, sampai berjuta-juta antibody dengan berbagai reaktivitas spesifik. Kemudian selama proses pengolahan, segmen-segmen gen ini menjadi tercampur satu sama lain dalam kombinasi acak, dan dengan cara ini akhirnya membentuk seluruh gen. Jadi jika ada beberapa ratus segmen gen, maka terdapat jutaan kombinasi segmen yang dapat tersusun dalam sel tunggal.

Academic DIvision | ORAGASTRA

Immunology
RESPON IMUN FISIOLOGIS
Sistem imun merupakan sistem koordinasi respons biologik yang bertujuan melindungi

integritas dan identitas individu serta mencegah invasi organisme dan zat yang berbahaya di lingkungan yang dapat merusak dirinya.

PENGOLAHAN PENDAHULUAN TERHADAP LIMFOSIT T DAN B Limfosit T diolah lebih dulu di kelenjar timus Limfosit T, setelah pembentukannya di sumsum tulang, mula-mula bermigrasi ke kelenjar timus. Di kelenjar timus, limfosit T membelah secara cepat dan pada waktu yang bersamaan membentuk keanekaragaman yang ekstrem untuk bereaksi melawan berbagai antigen spesifik. Artinya, tiap satu limfosit di kelenjar timus membentuk reaktivitas yang spesifik untuk melawan satu antigen. Kemudian limfosit berikutnya membentuk spesifitas terhadap antigen yang lain. Berbagai tipe limfosit T yang telah diproses sekarang meninggalkan timus dan menyebar ke seluruh tubuh untuk mengisi jaringan limfoid di setiap tempat. Sebagian besar proses pengolahan limfosit T dalam timus berlangsung beberapa saat sebelum bayi lahir dan selama beberapa bulan setelah lahir. Limfosit B diolah lebih dulu di hati dan sumsum tulang Pengolahan limfosit B yang rinci lebih sedikit diketahui daripada proses pengolahan limfosit T. Pada manusia, limfosit B diketahui diolah lebih dulu di hati selama periode pertengahan kehidupan janin, dan di sumsum tulang selama masa akhir kehidupan janin dan setelah lahir. Limfosit B berbeda dengan limfosit T dalam dua hal: 1. Berbeda dengan seluruh sel yang membentuk aktivitas terhadap antigen, limfosit B secara aktif menyekresikan antibodi yang merupakan bahan reaktif. 2. Limfosit B bahkan memiliki lebih banyak keanekaragaman daripada limfosit T, jadi membentuk banyak sekali sampai berjuta-juta antibodi tipe limfosit B dengan berbagai reaktivitas yang spesifik. Setelah diolah, limfosit B bermigrasi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh, tempat limfosit B menempati daerah yang berdekatan dengan limfosit T tetapi sedikit lebih jauh.

Academic DIvision | ORAGASTRA

10

Immunology

MEKANISME UNTUK MENGAKTIFKAN SUATU KLON LIMFOSIT Setiap klon limfosit hanya spesifik terhadap satu tipe antigen (atau terhadap beberapa antigen serupa yang sifat stereokimianya hampir sama). Alasan terjadinya hal ini: Pada limfosit B, masing-masing mempunyai kira-kira 100.000 molekul antibodi pada permukaan membran selnya yang akan bereaksi sangat spesifik dengan satu macam antigen spesifik saja. Jadi, bila ada antigen yang cocok, maka antigen ini segera melekat dengan antibodi di membran sel, keadaan ini menimbulkan proses aktivasi. Pada limfosit T, di permukaan membran sel nya terdapat molekul yang sangat mirip dengan antibodi, yang disebut protein reseptor permukaan (atau penanda sel T) dan ternyata protein ini juga bersifat sangat spesifik terhadap satu antigen spesifik yang mengaktifkannya. Peran Makrofag Dalam Proses Pengaktifan Dalam jaringan limfoid, selain limfosit juga terdapat berjuta-juta makrofag. Makrofag melapisi sinusoid-sinusoid pada nodus limfe, limpa, dan jaringan limfoid lain, dan makrofag ini terletak bersebelahan dengan banyak limfosit dalam nodus limfe. Kebanyakan organisme yang menginvasi mula-mula difagositosis dan sebagian akan dicerna oleh makrofag, kemudian produk antigeniknya dilepaskan ke dalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian

mentransferkan antigen-antigen tersebut secara langsung ke limfosit dengan cara kontak sel ke sel, sehingga menimbulkan aktivasi klon limfositik yang spesifik. Selain itu, makrofag juga menyekresikan zat pengaktivasi khusus yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksii limfosit spesifik. Zat ini disebut interleukin-I. Peran sel T dalam mengaktifkan limfosit B Kebanyakan antigen mengaktifkan limfosit T dan limfosit B pada saat yang bersamaan. Beberapa sel T yang terbentuk, disebut sel pembantu, kemudian menyekresikan bahan khusus (disebut limfokin) yang mengaktifkan limfosit B spesifik. Tanpa bantuan sel pembantu ini, jumlah antibodi yang dibentuk oleh limfosit B biasanya sedikit.

Academic DIvision | ORAGASTRA

11

Immunology
Aktivasi sistem makrofag Pertama, limfokin memperlambat atau menghentikan migrasi makrofag setelah makrofag secara kemotaktik tertarik ke dalam area jaringan yang meradang, dengan demikian menyebabkan pengumpulan makrofag dalam jumlah banyak. Kedua, limfokin mengaktifkan makrofag untuk melakukan fagositosis yang jauh lebih efisien, sehingga memungkinkan makrofag untuk menyerang dan menghancurkan organisme atau agen perusak jaringan lainnya dalam jumlah lebih banyak.

MEKANISME IMUNITAS TERHADAP ANTIGEN YANG BERBAHAYA Ada beberapa mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya di lingkungannya yaitu: 1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat melalui kelenjar keringat dan sebasea, sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi airmata, air liur, urin, asam lambung serta lisosim dalam air mata. 2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ. 3. Innate immunity. 4. Imunitas spesifik yang didapat.

Innate Immunity Merupakan mekanisme pertahanan tubuh nonspesifik yang mencegah masuknya dan menyebarnya mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Ada beberapa komponen innate immunity yaitu : 1. Pemusnahan bakteri intraselular oleh sel polimorfonuklear (PMN) dan makrofag. 2. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif. 3. Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi. 4. Protein fase akut: C-reactive protein (CRP) yang mengikat mikroorganisme, selanjutnya terjadi aktivasi komplemen melalui jalur klasik yang menyebabkan lisis mikroorganisme. 5. Produksi interferon alfa (IFN ) oleh leukosit dan interferon beta (IFN ) oleh fibroblast yang mempunyai efek antivirus.

Academic DIvision | ORAGASTRA

12

Immunology

6. Pemusnahan mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel NK) melalui pelepasan granula yang mengandung perforin. 7. Pelepasan mediator eosinofil seperti major basic protein (MBP) dan protein kationik yang dapat merusak membran parasit.

Imunitas Spesifik Didapat Bila mikroorganisme dapat melewati pertahanan nonspesifik/innate immunity, maka tubuh akan membentuk mekanisme pertahanan yang lebih kompleks dan spesifik. Mekanisme imunitas ini memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih dulu. Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari: 1. Imunitas humoral Produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T dependent). 2. Cell mediated immunity (CMI) Sel limfosit T berperan pada mekanisme imunitas ini melalui: a. Produksi sitokin serta jaringan interaksinya. b. Sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 6 (IL-6).

Prosesi dan Presentasi Antigen Respons imun tubuh dipicu oleh masuknya antigen/mikroorganisme ke dalam tubuh dan dihadapi oleh sel makrofag yang selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Sel ini akan menangkap sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan sel yang dapat dikenali oleh sel limfosit T penolong (Th atau T helper). Sel Th ini akan teraktivasi dan (selanjutnya sel Th ini) akan mengaktivasi limfosit lain seperti sel limfosit B atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T sitotoksik ini kemudian berpoliferasi dan mempunyai fungsi efektor untuk mengeliminasi antigen. Setiap prosesi ini sel limfosit dan sel APC bekerja sama melalui kontak langsung atau melalui sekresi sitokin regulator. Sel-sel ini dapat juga berinteraksi secara simultan dengan sel tipe lain atau dengan komponen komplemen, kinin atau sistem fibrinolitik yang menghasilkan aktivasi fagosit, pembekuan darah atau penyembuhan luka. Respons imun dapat bersifat lokal atau sistemik dan akan berhenti bila antigen sudah berhasil dieliminasi melalui mekanisme kontrol.

Academic DIvision | ORAGASTRA

13

Immunology

Peran Major Histocompatibility Antigen (MHC) Telah disebutkan di atas bahwa respons imun terhadap sebagian besar antigen hanya dimulai bila antigen telah ditangkap dan diproses serta dipresentasikan oleh sel APC. Oleh karena itu sel T hanya mengenal imunogen yang terikat pada protein MHC pada permukaan sel lain. Ada 2 kelas MHC yaitu : 1. Protein MHC kelas I. Diekspresikan oleh semua tipe sel somatik dan digunakan untuk presentasi antigen kepada sel TCD8 yang sebagian besar adalah sel sitotoksik. Hampir sebagian besar sel mempresentasikan antigen ke sel T sitotoksik (sel Tc) serta merupakan target/sasaran dari sel Tc tersebut. 2. Protein MHC kelas II. Diekspresikan hanya oleh makrofag dan beberapa sel lain untuk presentasi antigen kepada sel TCD4 yang sebagian besar adalah sel T helper (Th). Aktivasi sel Th ini diperlukan untuk respons imun yang sesungguhnya dan sel APC dengan MHC kelas II merupakan poros penting dalam mengontrol respons imun tersebut.

Respons Imun terhadap Bakteri Ekstraselular Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu : 1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi. Sebagai contoh misalnya kokus piogenik yang sering menimbulkan infeksi supuratif yang hebat. 2. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Toksin dapat berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan stimulator produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta aktivator poliklonal sel limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik dengan mekanisme yang belum jelas benar. Sebagai contoh toksin difteri menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat faktor elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis semua peptida. Toksin kolera merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat. Toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan. Toksin klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas

Academic DIvision | ORAGASTRA

14

Immunology
gangren. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri serta netralisasi efek toksin.

Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Ekstraselular Respons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Resistensi bakteri terhadap fagositosis dan penghancuran dalam makrofag menunjukkan virulensi bakteri. Aktivasi komplemen tanpa adanya antibodi juga memegang peranan penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu hasil aktivasi komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek opsonisasi bakteri serta meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui membrane attack complex (MAC) serta beberapa hasil sampingan aktivasi komplemen dapat menimbulkan respons inflamasi melalui pengumpulan (recruitment) serta aktivasi leukosit. Endotoksin yang merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular. Beberapa jenis sitokin tersebut antara lain tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah yang termasuk golongan IL-8. Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh makrofag adalah merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi limfosit spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut. Banyak fungsi sitokin yang sama yaitu sebagai ko-stimulator sel limfosit T dan B yang menghasilkan mekanisme amplifikasi untuk imunitas spesifik. Sitokin dalam jumlah besar atau produknya yang tidak terkontrol dapat membahayakan tubuh serta berperan dalam menifestasi klinik infeksi bakteri ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala klinis oleh infeksi bakteri Gram-negatif yang menyebabkan disseminated intravascular coagulation (DIC) yang progresif serta syok septik atau syok endotoksin. Sitokin TNF adalah mediator yang paling berperan pada syok endotoksin ini. Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular Kekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respons kekebalan spesifik terhadap bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida merupakan komponen yang paling imunogenik dari dinding

Academic DIvision | ORAGASTRA

15

Immunology

sel atau kapsul mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymus independent. Antigen ini dapat langsung merangsang sel limfosit B yang menghasilkan imunoglobin (Ig) M spesifik yang kuat. Selain itu produksi IgG juga dirangsang yang mungkin melalui mekanisme perangsangan isotype switching rantai berat oleh sitokin. Respons sel limfosit T yang utama terhadap bakteri ekstraselular melalui sel TCD4 yang berhubungan dengan molekul MHC kelas II yang mekanismenya telah dijelaskan di atas. Sel TCD4 berfungsi sebagai sel penolong untuk merangsang pembentukan antibodi, aktivasi fungsi fagosit dan mikrobisid makrofag. Ada 3 mekanisme efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen permukaan bakteri, yakni : 1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan mengikat reseptor Fc_ pada monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi IgG dan IgM mengaktivasi komplemen jalur klasik yang menghasilkan C3b dan iC3b yang mengikat reseptor komplemen spesifik tipe 1 dan tipe 3 dan selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi C3 sangat rentan terhadap infeksi piogenik yang hebat. 2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan terhadap sel target serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin tersebut. 3. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC serta pelepasan mediator inflamasi akut.

Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen di antaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag. Sebagai contoh adalah mikrobakteria serta Listeria monocytogenes. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas.

Academic DIvision | ORAGASTRA

16

Immunology

Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular Respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh cell mediated immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon (IFN ). Respons imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan. Misalnya muramil dipeptida pada dinding sel mikrobakteria. Telah disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI adalah produksi sitokin terutama IFN . Sitokin IFN ini akan mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal dormant. Pada saat yang sama, pada individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya. Jadi imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan jaringan adalah manifestasi dalam respons imun spesifik yang sama.

KONSEP DASAR IMUNISASI 1. Pengertian imunisasi Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit (Ranuh. et. all, 2008:40).

Academic DIvision | ORAGASTRA

17

Immunology

Imunisasi adalah pemberian vaksin kepada seseorang untuk melindunginya dari beberapa penyakit tertentu (Wahab, A. Samik, 2002: 22). Imunisasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat imunitas, memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respon memori terhadap pathogen tertentu/toksin dengan menggunakan preparat antigen non virulen/non toksik (Wong. DL, 2008: 28).

2. Jenis Vaksin Pada dasarnya vaksin dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: a. b. Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan) Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif).

Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini menentukan bagaimana vaksin ini digunakan.

Vaksin hidup attenuated Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan di laboratorium, biasanya dengan pembiakan berulang-ulang. Vaksin hidup yang tersedia: berasal dari virus hidup yaitu vaksin campak, gondongan (parotitis), rubella, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever). Berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan demam tifoid.

Vaksin inactivated Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini selalu membutuhkan dosis multipel, pada dasarnya dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun.

Academic DIvision | ORAGASTRA

18

Immunology
Vaksin polisakarida Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan bentuknya yang unik terdiri atas rantai panjang molekul-molekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri tertentu. Vaksin ini tersedia untuk tiga macam penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus, dan haemophillus influenzae type b.

Vaksin rekombinan Terdapat tiga jenis vaksin rekombinan yang saat ini telah tersedia : 1. Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. 2. Vaksin tifoid (Ty21a) adalah bakteri salmonella typhi yang secara genetik diubah sehingga tidak menyebabkan sakit. 3. Tiga dari empat virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah rotavirus kera rhesus yang diubah secara genetik menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila mereka mengalami replikasi.

Academic DIvision | ORAGASTRA

19

Immunology
RESPON IMUN PATOLOGIS
HIPERSENSITIVITAS Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. (Suharti, 2012) Reaksi-reaksi klinis hipersensitivitas meliputi reaksi cepat (diperantarai-antibodi) dan reaksi lambat (diperantarai-aktivitas limfosit). Keduanya terjadi bila sebelumnya satu individu pernah mengalami kontak dengan agen khusus yang memiliki karakteristik kimia tertentu, sehingga menyebabkan individu tersebut sensitif terhadap partikel tertentu. Terpajannya kembali dengan antigen tersebut dapat menyebabkan sel yang sudah tersensitisasi menghasilkan respons pertahanan yang khusus. Berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi, reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: 1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi Alergi) Hipersensitivitas tipe I juga disebut sebagai immediate atau anaphilactic hypersensitivity. Hipersensitivitas tipe ini dimediasi oleh IgE. Komponen seluler primer pada hipersensitivitas ini adalah sel mast atau basofil. Reaksinya diperkuat dan/atau dimodifikasi oleh trombosit, eosinofil, dan neutrofil. Mekanisme dari reaksi ini

melibatkan produksi IgE, dalam respon antigen tertentu (sering disebut alergen). Pada reaksi ini, individu tersensitisasi oleh imunogen (partikel yang mampu menginduksi respon imun) tertentu melalui pajanan sebelumnya. Pada kontak awal, diproduksi IgE yang kemudian beredar ke seluruh tubuh dan terfiksasi ke permukaan sel mast dan basofil. Saat tubuh kembali berkontak dengan imunogen yang sama, interaksi antara imunogen dengan antibodi (IgE) yang sudah melekat ke sel mast menyebabkan pelepasan secara mendadak dan besar-besaran zat-zat proinflamasi, seperti histamin, yang terkandung dalam sel-sel tersebut. Apabila jumlah imunogen yang masuk sedikit dan di daerah yang terbatas, maka pelepasan mediatornya juga lokal. Pada situasi ini, akibatnya adalah terjadinya vasodilatasi lokal disertai peningkatan permeabilitas dan pembengkakan. Namun, apabila imunogen masuk dalam jumlah besar dan secara intravena ke dalam orang yang

Academic DIvision | ORAGASTRA

20

Immunology
sudah peka, maka pelepasan mediator-mediator dapat sangat banyak dan meluas dan menimbulkan reaksi anafilatik. Yang sering menjadi penyebab reaktivitas tipe I adalah serangga, serbuk sari, alergen hewan, jamur, obat, dan makanan.

2.

Reaksi Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik) Hipersensitivitas tipe II juga disebut sebagai hipersensitivitas sitotoksik dan mungkin mempengaruhi berbagai jaringan dan organ. IgG atau IgM dalam darah

berikatan dengan epitop di permukaan imunogen atau antigen MHC yang disajikan di permukaan sel. Akibat dari reaksi ini mungkin adalah percepatan fagositosis sel sasaran atau lisis sel sasaran setelah terjadi pengaktifan sistem C. Apabila sel sasaran adalah agen penginvasi, misalnya bakteri, maka hasil akhir dari reaksi ini bermanfaat bagi tubuh. Apabila sel sasaran adalah sel tubuh sendiri, misalnya eritrosit, maka akibatnya mungkin adalah suatu bentuk anemia hemolitik. Jenis lain reaksi tipe II adalah sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang dependen-antigen (ADCC). Pada reaksi tipe ini, imunoglobulin yang ditujukan terhadap antigen-antigen permukaan suatu sel berikatan dengan sel tersebut. Leukosit, seperti neutrofil dan makrofag, yang memiliki reseptor untuk bagian tertentu (bagian Fc) molekul imunoglobulin tersebut kemudian berikatan dengan sel dan

menghancurkannya. Adapun terapinya melibatkan anti-inflammatory dan immunosuppressive agents.

Academic DIvision | ORAGASTRA

21
3.

Immunology
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Imun Kompleks) Reaksi ini mungkin umum (seperti serum sickness), atau mungkin melibatkan organ individual termasuk kulit (seperti systemic lupus erythematosus, Arthus reaction), ginjal (seperti lupus nephritis), paru-paru (seperti aspergillosis), pembuluh darah (seperti polyarteritis), persendian (seperti rheumatoid arthritis), atau organ-organ lain. Reaksi tipe III memiliki beberapa bentuk tetapi akhirnya akan diperantarai oleh kompleks imun (kompleks imunogen dengan imunoglobulin, biasanya IgG) yang mengendap di jaringan, arteri, dan vena. Mekanisme dasarnya adalah pembentukan kompleks imunogen-imunoglobulin di dinding pembuluh. Unsur kunci dalam reaksi ini adalah pengaktivan jenjang C oleh kompleks iimun yang mengendap di dinding pemnuluh darah, walaupun sel-sel vaskular bukan merupakan sumber imunogen; imunogen berdifusi ke dalam dinding pembuluh dari darah. Pengaktivan C menyebabkan terbentuknya faktor-faktor kemotaktik yang menarik neutrofil dari sirkulasi. Kerusakan pembuluh berlanjut apabila neutrofil mengalami degranulasi (melepaskan enzim-enzim litik) ke daerah sekitar. Kerusakan di jaringan sekitar disebabkan oleh pembentukan mikrotrombus, peningkatan permeabilitas vaskular, dan pelepasan enzim-enzim yang menyebabkan peradangan, kerusakan jaringan, dan bahkan kematian jaringan. Reaksi tipe III berbeda dari reaksi tipe II. Kerusakan sel selama reaksi tipe II terbatas pada tipe sel tertentu yang merupakan sasaran spesifik, sedangkan reaksi tipe III menghancurkan jaringan atau organ di mana saja tempat kompleks imun mengendap. Adapun untuk terapi meliputi anti-inflammatory agents.

4.

Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Delayed Type Hypersensitivity) Reaksi tipe IV diperantarai oleh kontak sel-sel T yang telah tersensitisasi dengan imunogen yang sesuai. Sel-sel CD4 (sel T Helper) melepaskan sitokin yang menarik dan merangsang makrofag untuk membebaskan mediator-mediator peradangan. Apabila imunogen menetap, maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses ini dapat berkembang menjadi reaksi granulomatosa kronik, misalnya berkumpulnya sel-sel mononukleus di daerah kerusakan jaringan.

Academic DIvision | ORAGASTRA

22

Immunology
Berbagai imunogen, seperti virus, bakteri, fungus, hapten, dan obat, dapat memicu reaksi tipe IV. Reaksi tipe IV juga merupakan penyebab utama penolakan yang terjadi pada beberapa transplantasi organ.

Referensi : Ghaffar Abdul (2010). Immunology - Chapter Seventeen Hypersensitivity Reactions. University of South Carolina School Of Medicine. http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/hyper00.htm. Diakses pada April 2013.

Academic DIvision | ORAGASTRA

23

Immunology

Price SA, Wilson LM (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: EGC. Sudiana IK. Imunopatologi. ners.unair.ac.id/materikuliah/IMUNOPATOLOGI.pdf diakses pada April 2013. Suharti N. 2012. Hipersensitivitas. repository.unand.ac.id/18428/2/HIPERSENSITIVITAS.... Diakses April 2013.

PENYAKIT AUTOIMUN Penyakit autoimun merupakan berbagai penyakit di mana sistem imun seseorang memproduksi suatu respon yang tidak seharusnya, yaitu melawan sel, jaringan dan/atau organ itu sendiri, yang menyebabkan inflamasi dan damage. Diagnosis penyakit autoimun ditegakkan bila keadaan autoimun (respons imun terhadap diri sendiri) berhubungan dengan pola gejala dan tanda klinik yang dikenali. Keadaan autoimun biasanya ditetapkan berdasarkan deteksi adanya antibodi yang khas dalam sirkulasi penderita. Ada dua teori utama yang menerangkan mekanisme terjadinya penyakit autoimun. Yang pertama adalah : autoimun disebabkan oleh kegagalan pada delesi normal limfosit untuk mengenali antigen tubuh sendiri. Teori yang berkembang terakhir adalah autoimun disebabkan oleh kegagalan regulasi normal dari sistem imunitas (yang mengandung beberapa sel imun yang mengenali antigen tubuh sendiri namun mengalami supresi). Nampaknya kombinasi faktor lingkungan, genetik dan tubuh sendiri berperan dalam ekspresi penyakit autoimun. Penyakit autoimun biasanya didiagnosis dan dimonitor oleh medical specialist menggunakan suatu kombinasi dari riwayat klinis, tes darah (autoantibodies, inflammation, organ function) dan investigasi lain, seperti x-rays. Kadangkala biopsi dari affected tissues juga dibutuhkan untuk diagnosis. Ada lebih dari 80 penyakit autoimun yang berbeda, dan dapat dikategorikan menjadi 2 tipe umum :

Academic DIvision | ORAGASTRA

24

Immunology
1. Penyakit autoimun yang spesifik organ Meskipun penyakit imun yang spesifik organ pada dasarnya mempengaruhi satu organ atau jaringan, namun efek ini seringkali meluas ke organ atau sistem tubuh yang lain. Examples of localised (organ specific) autoimmune diseases : Multiple sclerosis (nervous system) Myasthenia gravis (nerves, muscles) Guillain-Barre syndrome (nervous system) Coeliac disease (gastrointestinal tract) Crohns disease (gastrointestinal tract) Ulcerative colitis (gastrointestinal tract) Diabetes Mellitis Type 1a (pancreas) Hashimotos thyroiditis (thyroid) Addisons disease (adrenal) Pernicious anaemia (stomach) Primary biliary cirrhosis (liver) Sclerosing cholangitis (liver) Autoimmune hepatitis (liver) Graves disease (thyroid)

2. Penyakit autoimun yang umum/sistemik (tidak spesifik organ) Penyakit autoimun sistemik dapat mempengaruhi organ tubuh dan jaringan dalam waktu yang sama. Penyakit autoimun spesifik secara luas dapat diklasifikasikan menjadi rheumatological/connective tissue disease dan vasculitis (inflammation of blood vessels). Examples of rheumatological systemic autoimmune diseases : Antiphospholipid antibody syndromes (blood cells) Dermatomyositis (skin, muscles) Mixed connective tissue disease Polymyalgia rheumatica (large muscle groups) Polymyositis (skin, muscles) Primary Raynauds disease (blood vessels) Rheumatic fever Rheumatoid arthritis (joints, less commonly lungs, skin, eyes) Scleroderma (skin, intestine, less commonly lungs, kidneys) Sjgrens syndrome (salivary glands, tear glands, joints)

Academic DIvision | ORAGASTRA

25

Immunology
Systemic Lupus Erythematosus (skin, joints, kidneys, heart, brain, red blood cells, other) Vasculitis disorders biasanya jarang terjadi dan merupakan akibat dari inflamasi pembuluh darah. Gejalanya meliputi fatigue, penurunan berat badan, rashes, sore joints, atau keringat malam. Examples of vasculitis : Vasculitis (small blood vessel) Churg-Strauss syndrome (lungs, skin, nerves) Cryoglobulinaemia (skin, kidneys, nerves) Goodpastures syndrome (lungs, kidneys) Henoch-Schonlein purpura (skin, joints, kidneys, gut) Microscopic polyangitis (skin, kidneys, nerves) Wegeners granulomatosis (sinuses, lungs, kidneys, skin)

Vasculitis (medium blood vessel) Behcets disease (mucous membranes, skin, eyes) Central nervous system vasculitis (brain) Kawasaki syndrome (skin, mucous membranes, lymph nodes, blood vessels) Polyarteritis nodosa (kidneys, gut, nerves, skin)

Vasculitis (large blood vessel) Giant cell (temporal) arteritis (arteries of the head and neck) Takayasu arteritis (arteries of the head and neck)

REFERENSI : Australian Society of Clinical Immunology and Allergic Inc. (2010). Autoimmune Disease.

http://www.allergy.org.au/patients/autoimmunity/autoimmune-diseases. Diakses pada April 2013. Price SA, Wilson LM (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Universitas Hasanudin. Penyakit Autoimun.

med.unhas.ac.id/obgin/datanya/.../PENYAKIT%20AUTOIMUN.doc Diakses pada April 2013.

Academic DIvision | ORAGASTRA

26

Immunology
IMUNOHEMATOLOGI Immunohematology adalah cabang hematologi yang mempelajari reaksi antigenantibodi dan fenomena yang analog sejauh berkenaan dengan patogenesis dan manifestasi klinis gangguan darah. Antigen yaitu setiap zat yang mampu, dalam kondisi yang sesuai, menginduksi suatu respons imun spesifik dan bereaksi dengan produk respons tersebut, yakni, dengan antibodi spesifik atau limfosit T yang disensitisasi secara khusus atau keduanya. Atau dengan kata lain, antigen adalah substansi (biasanya eksogen) yang berikatan secara spesifik dengan antibodi. Antigen dapat berupa zat yang terlarut, seperti toksin dan protein asing, atau partikel, seperti bakteri dan jaringan. Akan tetapi, hanya sebagian molekul protein atau polisakaridanya saja, yang diketahui sebagai antigenic determinant (q.v.), yang bergabung dengan antibodi atau suatu reseptor spesifik pada suatu limfosit. Antibody adalah molekul imunoglobulin yang mempunyai suatu rantai asam amino spesifik, yang hanya berinteraksi dengan antigen yang menginduksi sintesis molekul ini di dalam sel seri limfoid (khususnya sel plasma). Antibody yaitu glikoprotein plasma yang disekresikan oleh limfosit B aktif. Antigen Eritrosit Menurut International Society of Blood Transfusion (ISBT) terdapat 29 sistem golongan darah dan 600 antigen eritrosit. Setiap individu memiliki 1 set antigen eritrosit spesifik yang diturunkan secara genetik. antigen eritrosit menonjol di permukaan membran eritrosit, sehingga bisa dikenali oleh molekul antibodi yang mengakibatkan reaksi antigen-antibodi dan terjadi aglutinasi. Kepentingan klinis dari penggolongan darah adalah untuk : 1) transfusi darah 2) transplantasi 3) haemolytic disease of the fetus and newborn (HDFN) 4) disease association

Academic DIvision | ORAGASTRA

27

Immunology
Komplikasi yang paling serius dari transfusi darah adalah akibat dari interaksi antara antibodi pada plasma resipien dan antigen dari eritrosit pendonor.

Inkompatibilitas antara antigen eritrosit pendonor dan antibodi plasma resipien bisa mengakibatkan produksi antigen-antibody complex yang mengakibatkan fiksasi

komplemen, hemolysis intravascular, dan destruksi hebat dari darah yang ditransfusikan.

Tabel 1 dan 2. Kecocokkan golongan darah pendonor dan resipien.

Landsteiners Rule : 1. 2. A person does not have antibody to his own antigens. Each person has antibody to the antigen he lacks (only in the ABO system).

Berbagai jenis antigen eritrosit mempunyai imunogenitas yang berbeda. Yang paling imunogenik adalah antigen ABO dan Rhesus (Rh). ABO Blood Groups Antigen ABO merupakan oligosakarida yang terkait secara langsung pada lipid membran eritrosit. Terjadinya antigen ABO dan lokasi ekspresi antigen ABO dikendalikan

Academic DIvision | ORAGASTRA

28

Immunology
secara genetik oleh 3 lokus gen yang berbeda di kromosom 9q : H, ABO, dan Se. Gen H mengontrol produksi antigen H (prekursor antigen A dan antigen B). Gen ABO mengontrol sintesis antigen A dan antigen B yang menentukan fenotip golongan darah. Gen Se menentukan ekspresi antigen ABO soluble dalam cairan tubuh. Gen H alel H dan h (H adalah alel dominan, h adalah amorph, produk gen tidak terdeteksi). Gen ABO alel A, B, dan O (A& B mengkode functional glycosyltransferase yang mengubah antigen H, O mengkode non-functional glycotransferase). Gen Se (secretor) alel Se (dominan) dan se (amorph). Antigen A, B, dan H disekresikan ke dalam plasma, saliva, semen, keringat, dan cairan tubuh lain, kecuali LCS. Antigen H adalah prekursor antigen A dan B. Group O tidak mempunyai antigen A dan B, tetapi kaya antigen H. Antigen ABO sudah terdeteksi 5-6 minggu in utero. Bayi baru lahir memiliki ekspresi antigen lebih sedikit dibandingkan orang dewasa. Perkembangan antigen berjalan lambat, ekspresi penuh saat usia 2-4 tahun. IgM adalah antibodi yang dominan pada individu golongan A dan B. IgG (dan sedikit IgM) adalah antibodi yang dominan pada individu golongan O. Antibodi anti ABO biasanya terbentuk pada 3-6 bulan in utero. Stabil setelah usia 5-10 tahun. Bayi baru lahir mendapat antibodi maternal secara pasif melalui plasenta.

Fenotip O Bombay Yakni individu dengan fenotip O, genotip hh. Tidak punya antigen H dan antigen A,B,O. Mempunyai anti A, anti B, dan anti H dalam plasma. Bila mendapat transfusi dari grup O akan mengalami hemolisis karena reaksi antara antigen H darah donor pengan anti H resipien. Hanya compatible bila mendapat transfusi dari donor dengan fenotip O Bombay. Dapat mendonorkan darahnya ke semua golongan darah sistem ABO.

Academic DIvision | ORAGASTRA

29

Immunology

Tabel 3 dan 4. Sistem penggolongan darah ABO

Rh Blood Groups Penggolongan Rh positive atau Rh negative merujuk pada ada tidaknya antigen D saja. Antigen D merupakan polipeptida yang hanya terdapat pada membran eritrosit, tidak terdapat dalam cairan tubuh dan material alamiah. Tidak seperti sistem ABO, tidak adanya antigen D tidak berkorelasi dengan pembentukan anti D dalam plasma. Produksi anti D memerlukan stimulasi imunologis berupa paparan eritrosit yang mengandung antigen D pada individu yang tidak mempunyai antigen D. Paparan terjadi melalui transfusi atau kehamilan. Inkompatibilitas Rhesus pada ibu dengan Rhesus negatif dan fetus dengan Rhesus positif. Anti D yang dihasilkan ibu akibat paparan antigen fetus bisa menyebabkan destruksi eritrosit fetus.

Academic DIvision | ORAGASTRA

30

Immunology

Sensitisasi sistem imun ibu oleh antigen fetus dapat terjadi pada saat: 1. Kehamilan trimester III 2. Persalinan 3. Abortus, kehamilan ektopik atau perdarahan antepartum 4. Prosedur diagnostik atau terapeutik antenatal invasif 5. Trauma plasenta 6. Transfusi darah Tindakan terpenting untuk menurunkan insiden kelainan hemolitik akibat isoimunisasi Rhesus adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin. Jika ada antigen dari bayi masuk, anti D ini akan langsung menangkap antigen D tersebut. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah pembentukan sel memori pada ibu.
Sumber : Jensen M, Schroeder M. ABO Blood Group System.

http://faculty.madisoncollege.edu/mljensen/BloodBank/lectures/abo_blood_group_system.htm diakses pada April 2013. Slide kuliah dr Arin, immunohematology Tonya, Cafemom: The Meeting Place for Moms (2009). Your Blood Type Explained.

http://faculty.madisoncollege.edu/mljensen/BloodBank/lectures/abo_blood_group_system.htm diakses pada April 2013. Unsri. Rhesus. digilib.unsri.ac.id/download/RHESUS.pdf diakses pada April 2013.

Academic DIvision | ORAGASTRA

31

Immunology
IMMUNODEFISIENSI Adanya sistem imun yang kompeten merupakan hal esensial bagi individu untuk dapat menahan serangan antigen asing. Dengan demikian, seseorang dapat mengalami penyakit apabila ia menderita defisiensi salah satu komponen sistem imun. Imunodefisiensi mungkin memengaruhi bagian dari sistem imun. Kondisi ini terjadi ketika sel limfosit T atau B (atau keduanya) tidak bekerja semaksimal mungkin, atau ketika tubuh tidak bisa memproduksi antibodi yang cukup. Defisit kekebalan humoral (yaitu diperantarai oleh antibodi) biasanya mengganggu pertahanan melawan bakteri virulen, banyak bakteri seperti ini yang berkapsul. Pengukuran imunoglobulin serum dengan alat nefelometri sekarang telah banyak digunakan untuk mengukur kadar imunoglobulin-IgG, IgA, IgM, dan IgD- pada serum manusia. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antibodi yang spesifik terhadap antigen difokuskan pada : 1. Penentuan antibodi (IgM) yang terdapat secara alamiah pada golongan darah ABO yang tidak ada pada eritrosit subjek. Orang normal secara konsisten memperlihatkan isohemaglutinin seperti ini pada umur 1 tahun. 2. Tes Schick pada pasien yang telah diimunisasi toksoid diteri. Jika sudah dihasilkan kadar antibodi khusus (IgG) yang cukup, maka pemecahan jaringan di tempat toksin dicegah. 3. Penentuan titer antibodi sebelum dan sesudah pemberian bahan imunisasi nonviable (toksoid tetanus dan vaksin influenza) atau polisakarida pneumokokus (Pneumovax). Defisiensi imunologik dapat bersifat primer atau sekunder. Defisiensi imunologi primer memiliki dasar genetik, dan berbagai bagian dari sistem imun dapat terlibat. Salah satu contoh defek pada imunitas humoral adalah agamaglobulinemia terkait-X yang disebabkan oleh defisiensi sel B. Penyakit ini menyebabkan pasien hampir sama sekali tidak memproduksi imunoglobulin, dengan konsekuensi infeksi rekuren atau kronik yang disebabkan oleh bakteri piogenik misalnya Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae, dan stafilokokus. Imunodefisiensi humoral dapat hanya mengenai imunoglobulin tertentu, misalnya defisiensi IgA terisolasi. Individu dengan penyakit ini memperlihatkan peningkatan angka infeksi saluran nafas dan GI dan mungkin mengalami reaksi anafilaksis berat apabila ditransfusi dengan darah normal (karena mereka mungkin memiliki antibodi terhadap IgA dalam jumlah

Academic DIvision | ORAGASTRA

32

Immunology
cukup besar). Imunodefisiensi humoral terutama mencolok pada beberapa penyakit keganasan tertentu, seperti mieloma multiple dan leukimia limfositik kronik, dan perlu mendapat perhatian bila sel-sel tumor menginfitrasi struktur limforetikular.

Defisiensi primer sel T (misalnya, sindrom DiGeorge) atau bahkan severe combined immunodeficiency disease (SCID) juga dapat terjadi. SCID mengakibatkan gangguan fungsional imunitas humoral dan seluler. Bayi dengan penyakit ini rentan terhadap infeksi, bakteri, fungus, dan virus dan sering meninggal dalam tahun pertama kehidupannya. Perhatian yang serius terhadap setiap orang yang menderita defisiensi sel T yang jelas adalah pada ketidakmampuannya untuk membersihkan sel-sel asing termasuk leukosit viabel dari darah lengkap yang ditransfusikan. Semakin kita tua, sistem imun berkurang keefektifannya. Jaringan sistem imun (khususnya jaringan lymphoid seperti thymus) menyusut dan jumlah dan aktivitas sel darah putih menurun.
REFERENSI : Dugdale DC (2012). MedlinePlus. Immunodeficiency Disorder.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000818.htm - diakses pada April 2013. Ghaffar Abdul, Naggarkatti M (2010). Immunology Chapter Nineteen: Immunodeficiency.

http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/immunodef2000.htm - diakses pada April 2013. PriceSA, Wilson LM (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: EGC

Academic DIvision | ORAGASTRA

33

Immunology
PEMERIKSAAN PROFIL IMUNOLOGI

Imunologi adalah spesialisasi medis yang berkaitan dengan kekebalan dan semua aspek dari kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit yang disebabkan oleh patogen (organisme penyebab penyakit, yang biasanya adalah mikro-organisme). Imunologi mencakup studi tentang semua aspek dari sistem kekebalan tubuh dalam semua organisme. Ini berkaitan dengan, antara lain, fungsi fisiologis dari sistem kekebalan tubuh dalam keadaan kesehatan dan penyakit, malfungsi sistem kekebalan tubuh pada gangguan imunologi (penyakit autoimun, hypersensitivities, defisiensi imun, penolakan transplantasi), kimia, fisik dan fisiologis karakteristik komponen dari sistem kekebalan tubuh secara in vitro, in situ, dan in vivo. Pemeriksaan imunologi bersifat klinis dan dilakukan dalam laboratorium imunologi. Di dalam laboratorium ini dapat melakukan pemeriksaan seperti : Pengukuran kadar Insulin-like Growth Factor 1 (IGF-1) Pemeriksaan kadar kortisol Pengukuran kadar Prostate Spesific Antigen (PSA) Pemeriksaan Enzyme Linked Immunosorbant Assay (ELISA) Luminex (Multiplex Flow Cytometry Assay) FACS CALIBUR (Flowcytometry) Pengembangan Vaksin Dengue (Teknologi Sub Unit Protein Rekombinan) Pengukuran kadar testosteron Pemeriksaan Widal Pemeriksaan CRP (C-reactive protein) Pemeriksaan hsCRP Rheumatoid Arthritic Factor (RAF) Pemeriksaan AFP (Alpha fetoprotein) Pemeriksaan Carcinoembryonic antigen (CEA) Pengukuran kadar Human Chorionic Gonadotropin (HCG) Pengukuran Neuron Specific Enolase (NSE) Pengukuran Thyroid stimulating hormone (TSH)

Academic DIvision | ORAGASTRA

34

Immunology
Pemeriksaan kadar prolaktin Pemeriksaan serum progesterone

Adapun peralatan pada laboratorium imunologi adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Peralatan Diagnostika Peralatan Mikrobiologi Pereaksi Serologi Perlengkapan dan Pereaksi Laboratorium Imunologi Sistem Tes Imunologikal Sistem Tes Imunologikal Antigen Tumor

PRINSIP PEMERIKSAAN METODE ELISA, PCR, DAN ELEKTROFORESE Prinsip pemeriksaan imunologis Umumnya berdasarkan pada interaksi antigen (Ag) dan antibody (Ab) Interaksi Ag dan Ab terbagi atas: Tingkat primer Merupakan awal reaksi ikatan molekuler antara Ag dan Ab Reaksi tidak terlihat dengan mata telanjang (biasa) Perlu indikator: radioisotope (RIA), enzim (ELISA), atau warna fluoresen (immunoflouresensi) Indikator dilengketkan ke Ag atau Ab Nama metode pemeriksaan, untuk menentukan interaksi anatara Ag dan Ab disesuaikan dengan nama indicator. Ilmu yang mempelajari reaksi Ag dan Ab serologi

Tingkat sekunder Presipitasi Aglutinasi

Tingkat tertier Interaksi antara Ag dan Ab terjadi dalam tubuh manusia/invivo

Academic DIvision | ORAGASTRA

35

Immunology

A.

TEKNIK ELISA Untuk menentukan kadar Ag atau Ab Indikator berupa enzim dilengketkan pada Ag atau Ab Ada beberapa metode Prinsip metode elisa: Bila kita mau mendeteksi Ag: Ag (serum) + Ab Ag Ab komplek cuci Inkubasi dengan substrat kromogenik (semula tak berwarna) berwarna bila dihidrolisis oleh enzim intensitas warna yang terjadi diukur dengan fotometer/spektrofotometer kadar antigen Hidrolisis oleh enzim berlangsung dalam waktu tertentu. Reaksi berhenti bila ditambahkan asam atau basa kuat Reaksi harus berlangsung dalam keadaan optimal dimana kadar reaktan, temperature dan masa inkubasi yang telah ditentukan secara eksperimental setiap reagen dari fabric berbeda prosedur berbeda Metode ELISA Metode kompotitif Umumnya untuk menentukan Ag Ab spesifik (dilekatkan pada partikel/sumur) dicampur bersama Ag* Tambahkan serum (ag) yang akan bersaing dengan Ag* untuk mengikat ab diatas kompleks Ag* - Ab Ag Non kompotitif (langsung) Menentukan Ab atau Ag Indirek atau sandwich Menentukan Ab dan Ag Ag-Ab-AntiAb* antibody yang dicari Abs-Ag-Ab* Ag yang dicari
E E

Academic DIvision | ORAGASTRA

36
B.

Immunology
ELEKTROFORESE Merupakan teknik pemeriksaan yang berguna untuk pemisahan dan mengukur kadar makromolekul (protein) Komponen elektroforese: Dapar/buffer Media pendukung (gel agarosa, selulosa asetat) Power supply unit Pewarna protein Densitometer

Prinsip dasar: Tergantung pada: a. Muatan partikel Partikel bermuatan dalam media pendukungnya, bila terpapar dengan medan listrik, akan bergerak ke arah elektroda yang berlawanan. b. Kecepatan migrasi Tergantung pada: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kekuatan medan listrik Ukuran molekul Media pendukung Viscositas media Kekuatan medan listrik Endoosmosis Kadar ion Suhu

C.

POLIMERASE CHAIN REACTION (PCR) Metode cepat dan sederhana untuk mengkopi dan memperbanayak urutan DNA spesifik yang diinginkan dan divisualisasikan sebagai pita pada agarose gel Secara mendasar sebenarnya PCr mengulangi siklus

Academic DIvision | ORAGASTRA

37

Immunology
Denaturasi Hibridasi dari DNA yang diinginkan dengan bantuan DNA primer Extensi region DNA tsb oleh enzim DNA polymerase

Prinsip PCR 1. 2. Ekstraksi DNA Alat PCR a. b. Target DNA Persiapan larutan reaksi PCR ( d NTP, buffer primer, primer DNA, dan Taq DNA polymerase) c. Denaturasi DNA Initial denaturasion : 5 menit, t=94 C Denaturation : I meit 94 C Primer annealing : 1 menit 50 C Copying of DNA by DNA polymerase Final elongation 10 menit 72 C Program alat PCR bisa dilakukan 25-30 siklus

Sumber : Dr. Ozan Sanuddin, SpPK (K) FK USU/UISU Medan

Academic DIvision | ORAGASTRA

38

Immunology
REAKSI PENOLAKAN JARINGAN PADA TRANSPLANTASI ORGAN

Histocompatibility antigen adalah antigen yang terdapat pada sel/jaringan yang berperan pada reaksi penolakan terhadap organ transplant. Major histocompatibility antigen adalah histocompatibility antigen yang memberikan respon imun sangat kuat dan berperan penting pada peristiwa penolakan organ transplant. Major Histocompatibility Complex (MHC) Merupakan sekelompok atau kompleks gen pada satu kromosom yang memberi kode pada MHC antigen. Reseptor ditemukan di semua sel kecuali RBCs Juga dikenal sebagai Human Leukocyte Antigen (HLA) Berperan dalam pengenalan diri oleh system imun dan dalam penolakan terhadap jaringan asing Gen untuk MHC terletak pada kromosom 6, bergerombol dalam kompleks multigen kelas I, II, dan III.

Academic DIvision | ORAGASTRA

39

Immunology

Fungsi MHC Class I menandai karakteristik unik yang tampak pada suatu molekul dan mengatur reaksi imun. Dibutuhkan oleh limfosit T. Class II reseptor yang mengenali dan bereaksi terhadap antigen asing. Terletak terutama dalam makrofag dan sel B. Berperan dalam pembentukan antigen untuk sel T. Class III mensekresi komponen komplemen, C2 dan C4.

Academic DIvision | ORAGASTRA

40

Immunology
Pembagian MHC Molekul MHC kelas I dan kelas II berperan pada pengenalan imun yaitu presentasi fragmen antigen kepada sel T Berdasarkan rumus bangunnya, MHC dapat dibagi menjadi 3 golongan: 1. Molekul MHC kelas I Terdiri dari: kompleks HLA-D (DR dan DQ) dan HLA-DP 2. Molekul MHC kleas II Terdiri dari : kompleks HLA-D (DR dan DQ) dan HLA-DP 3. Molekul MHC kelas III Tidak mempunyai peranan pada respon imun yang menentukan bertahannya suatu organ transplant.

Human Leucocyte Antigen = HLA adalah MHC antigen pada manusia. Antigen permukaan tersebut pertama kali digambarkan pada leukosit. Pada penderita yang telah mendapat transfusi darah berungkali ditemukan Ab yang dapat menggumpalkan lekosit leucocyte antigen Kompleks HLA HLA-A HLA-B HLA-C

Academic DIvision | ORAGASTRA

41

Immunology
HLA-D (dipecah menjadi HLA-DR, HLA-DQ, dan terakhir ditemukan HLA-DP) Setiap lokus polimorf dan masih terdiri atas beberapa haplotype Setiap haplotype menentukan pembentukan molekul permukaan sel ciri Ag tersebut.

Dr. Tetty Aman Nasution, MMedSc Departemen Mikrobiologi FK USU

Academic DIvision | ORAGASTRA

42

Immunology
IMUNOPARASITOLOGI
Perjalanan suatu penyakit parasit selain ditentukan oleh sifat parasitnya, ternyata juga

dipengaruhi oleh faktor faktor kekebalan hospes. Sehingga di suatu daerah endemik akan dilihat perbedaan kerentanan ataupun perbedaan resistensi terhadap infeksi parasit antar individu-individu yang tinggal di daerah tersebut . Secara garis besar faktor kekebalan dapat dibagi menjadi dua bagian : 1. Kekebalan bawaan / Innate Immunity 2. Kekebalan didapat / Natural Acqiured Immunity

KEKEBALAN BAWAAN /INNATE IMMUNITY Kekebalan bawaan merupakan kekebalan yang diperoleh sebelum seseorang terpapar parasit, termasuk didalamnya faktor genetik maupun faktor non genetik. Kekebalan bawaan adalah kapasitas seorang manusia normal untuk tetap sehat terhadap serangan-serangan berbagai macam parasit dan racunnya. Sebagian besar kekebalan adalah suatu bawaan genetik seluruh spesies terhadap suatu makhluk parasit tertentu. Kadang-kadang resistensi ini absolut, sehingga semua individu resisten, misalnya manusia dan kera terhadap T.brucei. Kadang-kadang hanya relatif, sehingga diantara bangsa-bangsa atau individu terdapat kekebalan yang berbeda, misalnya bangsa Negro lebih resisten terhadap infeksi dengan P.vivax dan cacing tambang daripada bangsa kulit putih. Kekebalan bawaan ini sangat penting karena kekebalan bawaan adalah dasar daripada kekebalan yang didapat. Kekebalan bawaan = Innate genetik non genetik I. Faktor genetik A. Eritrosit Kelainan pada membran eritrosit 1.Antigen Duffy (Fy b) P.vivax 2.Glikoferon A P.falciparum

Academic DIvision | ORAGASTRA

43

Immunology
3.Ovalositosis P.vivax , P.falciparum,P.malariae Kelainan dalam eritrosit 1. Defisiensi G6PD 2. Haemoglobinopatie : B. Hb S (Sickle cell) Talasemia (Hb F)

Sel makrofag dan Limfosit Sel makrofag tempat hidup T.gondii T.cruzi L.donovani Limfosit berperan pada respon imun

II.

Faktor non genetik 1. Hormon misal hamil hormon 2. Sistem gastrointestinal :parasit yg hidup di gastrointestinal 3. Faktor pd kulit : rambut, bulu kelenjar kulit

KEKEBALAN DIDAPAT = NATURAL AQUIRED IMUNTY Ini didapat setelah seseorang kena infeksi parasit vaksin A. Protozoa : malaria , Toxoplasmosis ,giardiasis B. Cacing : Schistosomiasis , Filariasis Mekanisme : Sesudah terjadi infeksi hospes membentuk reaksi = respons imunologi, respons ini berdasarkan atas 2 kejadian : Respon imun humoral Bila infeksi parasit terjadi dalam sirkulasi aliran darah menginvasi aliran darah misal Malaria, Trypanosoma; disebut respon imun humoral. Respon imun humoral menggunakan antibodi sebagai efektornya. Pada infeksi parasit sebagian besar memperlihatkan respon humoral yg tinggi. Dalam mengeliminasi parasit ada beberapa cara yang dapat dilakukan antibody, yaitu :

Academic DIvision | ORAGASTRA

44

Immunology
1. 2. 3. Antibodi bekerja sendiri Antibodi dibantu oleh sel-sel lain (eosinofil,makrofag,netrofil,trombosit) Antibodi dibantu oleh komplemen (invitro) Pada respon imun humoral akan terbentuk zat anti yang khas terhadap parasit yang masuk dan hasil metabolismenya, sehingga parasiticide jadi meninggi dan aktivitas sel fagosit meninggi. Pada infeksi cacing ditandai dengan terjadinya eosinofilia dan produksi antibodi IgE yang amat tinggi dari tubuh.

Respon imun seluler Sistem kekebalan selular ini dilakukan oleh sel limfosit T yang hipersensitif terhadap parasit dan hasil metabolismenya. Pada respon imun selular, parasit tumbuh di dalam jaringan misalnya leishmania kulit. Respon imun selular : a. Cytotoxic T Lymphocyte = CTL Contoh : pada infeksi plasmodium di hepar, dibantu oleh IFN (interferon ) pada infeksi Toxoplasma gondii, disini sel limfosit T dibantu oleh IFN b. Pada infeksi Plasmodium : Limfokin Limfosit T menghasilkan limfokin dengan bantuan antibodi IFN c. Sel Natural Killed (Sel NK)

DIAGNOSIS IMUNOLOGI PADA PENYAKIT PARASIT Infeksi dengan semua spesies parasit menimbulkan berbagai macam respons imunologi dalam hospes, di antaranya pembentukan zat anti khas terhadap parasit dan hasil metabolismenya. Dalam parasitologi kedokteran, respons imunologi ini dapat dipakai sebagai suatu cara untuk membantu diagnosis. Zat anti yang spesifik dalam serum dapat diperiksa dengan tes serologi dengan antigen yang diperoleh dari bahan parasit yang spesiesnya sama. Kepekaan pasien dapat diperiksa dengan antigen parasit yang spesiesnya sama, yang disuntik intrakutan (tes kulit).

Academic DIvision | ORAGASTRA

45

Immunology
Diagnosis imunologi diperlukan untuk penyakit yang parasitnya sukar atau tidak mungkin

ditemukan, misalnya dalam stadium permulaan penyakit tertentu, bila diperlukan diagnosis dini untuk mencegah meluasnya penyakit . Untuk penyelidikan epidemiologi reaksi imunologi dapat dipakai, misalnya flourescent antibody test untuk malaria, bentonite test untuk bilharziasis, tes kulit untuk filariasis dan hemagglutination test untuk amoebiasis. Berikut ini disebut beberapa tes serologi yang memberi hasil baik : 1. Sindroma Loeffler,VLM : hemagglutinationtest V.L.M. bentonite flocculation test 2. Trichinosis : bentonite flocculation test flourescent antibody test latex flocculation test test kulit terlambat/segera 3. Filariasis : hemagglutination test Tropical eosinophilia bentonite flocculation test test kulit 4. Bilharziasis : reaksi ikatan komplemen bentonite flocculation test tes kulit 9. Hydatidosis hati : hemagglutination test bentonite flocculation test latex flocculation test test kulit 10. Kala-Azar : reaksi ikat komplemen aldehyde test aqua-dest test test kulit 5. Amoebiasis : double diffusion test hemagglutination test 11. Chagas : reaksi ikat komplemen hemagglutination test 7. Toxoplasmosis : dye test hemagglutination test florescent antibody test 8. Cysticercercosis : reaksi ikat komplemen hemagglutination test

Academic DIvision | ORAGASTRA

46

Immunology
12.Paragonimiasis : reaksi ikat komplemen reaksi kulit

6. Malaria : flourescent antibody test hemagglutination test

Academic DIvision | ORAGASTRA

47

Immunology
IMUNOFARMAKOLOGI

A.

IMUNOSUPRESAN Imunosupresan adalah obat kelompok obat yang digunakan untuk menekan respons imun, indikasinya untuk transplantasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolysis rhesus pada neonatal. Prinsip umum terapi imunosupresan: Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibanding respon imun sekunder. Obat imunosupresan memberikan efek berbeda terhadap antigen yang berbeda. Penghambatan respon imun lebih berhasil jika obat diberikan sebelum paparan antigen.

1.

Kortikosteroid Sebagai obat tunggal/kombinasi dengan imunosupresan lain untuk mencegah reaksi penolakan transplantasi. Obat ini dapat mengurangi reaksi alergi pada pemberian antibodi monoklonal atau antibodi antilimfosit. Glukokortikoid merupakan agen hormonal pertama yang diketahui memiliki sifat limfolitik. Glukokortikoid dianggap mengganggu siklus sel limfoid yang teraktivasi. Obat jenis ini cukup bersifat sitotoksik pada beberapa subset sel T, tapi efek imunologiknya mengkin disebabkan oleh kemampuan memodifikasi fungsi seluler ketimbang sitotoksiknya langsung. Meskipun imunitas seluler lebih terpengaruh daripada imunitas humoral, respon antibodi primer dapat menghilang, dan dengan penggunaan terus-menerus, respon antibodi sebelumnya sudah baik juga ikut menurun. Obat kortikosteroid yang paling sering digunakan adalah prednison dan prednisolone. Mekanisme Kerja : Obat kortikosteroid menurunkan jumlah limfosit secara cepat terutama jika diberikan dalam dosis besar. Efek berlangsung beberapa jam, diduga akibat redistribusi limfosit. Setelah 24 jam, jumlah limfosit sirkulasi kembali ke jumlah sebelumnya. Studi terbaru : Saat masuk sel, terikat pada reseptor glukokortikoid, kompleka obat-reseptor ini menembus nukleus & mengatur translasi DNA, ekspresi

Academic DIvision | ORAGASTRA

48

Immunology
gen yang menyandi berbagai sitokin (IL1,IL2,IL6, IFN-,TNF-). Terdapat bukti bahwa gen sitokin tersebut memiliki glucocorticoid respon element dengan kortikosteroid akan menghambat transkripsi IL-2. Penggunaan : Bersama inumosupresan lain dan dalam dosis besar digunakan untuk mencegah penolakan transplantasi. Selain itu juga untuk mengurangi reaksi alergi, dan penyakit autoimun. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan meningkatnya risiko infeksi, ulkus lambung, hipergllikemia, dan osteoporosis. Efek samping lain juga bisa sindrom Cushings, pendarahan GIT, retensi cairan, dan supresi adrenal. yang bila berikatan

2.

Agen Sitotoksik Sebagian besar untuk obat kanker. Obat ini menghambat perkembangan sel T dan sel B. a. Azatioprin Adalah calon obat merkaptopurin dan seperti merkaptopurin, berfungsi sebagai antimetaboit. Azatioprin dalam tubuh diubah menjadi 6-merkaptopurin yang menghambat sistesis de novo purin. Mekanisme kerja : Azatioprin dan merkaptopurin menghasilkan imunosupresi dengan mengganggu metabolisme asam nukleat purin pada tahap yang diperlukan dalam proliferasi sel lmfosit setelah stimulasi antegenik. (Katzung) Farmakodinamik : Diserap dengan baik dari saluran cerna dan terutama dimetabolisasi menjadi merkaptopurin. Xantin oksidase memecah kebanyakan materi azatioprin yang aktif menjadi asam-6-tiourat sebelum diekskresikan melalui ginjal. Setelah pemberian azaptoprin, sejumlah kecil obat tidak diubah dan metakaptopurin juga dieksresikan oleh ginjal, dan toksisitasnya dapat mengikat dua kali lipat pasien anefrik atau anurik. Interaksi : Penggunaan bersama allopurinol membuat membuat hambatan xantin oksidase yang merupakan enzim penting dalam metabolisme 6merkaptopurin. Penggunaan : Untuk transplantasi, artritis rematoid, LES, IBD, mestania grabis, sclerosis multiple, lupus nefritis, glomerulonephritis akut, penyakit Chorn,

Academic DIvision | ORAGASTRA

49

Immunology
kadang juga untuk ITP dan hemolysis autoimun. Toksisitas yang mungkin muncul antara lain panas, mialgia, artralgia, malaise, nausea, muntah, diare, risiko infeksi dan keganasan. Tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan IV 100 ml/vial.

b.

Mikofenolat Mofetil Adalah derivat semisintetik asam mikofenolat dari jamur P.glaucum.As. Mikofenolat adalah inhibitor kompetitif, penghambat kuat inosin monofasfat dehidrogenase/IMP (enzim penting pada sintesis purin de novo) sehingga aktivasi sel B & T terhambat. Obat ini adalah inhibitor inosin monofosfat dihidrogenase yang berperan dalam sintesis guanosin dan tidak menghambat enzim yang berperan dalam sistesis DNA. Obat ini dapat menghambat migrasi sel lekosit ke tempat inflamasi. Farmakodinamik : Mikofenolat mofeil diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral dan dihidrolisis menjadi asam mikofenolat yang aktif. Absorbsi oral baik, 95% terikat albumin plasma. 90% diekskresikan dalam bentuk mekofenolat-glukoronat. Interaksi : dengan antasid (Mg,Al) dan cholestyramine membuat absorbsi menurun. Penggunaan : Transplantasi organ, penyakit graft vs host, lupus nefritis, kelainan kulit, artritis rematoid. Efek samping yang mungkin muncul mual, muntah, diare, sakit perut. Depresi sumsum tulang jarang. Tersedia dalam bentuk kapsul 250mg, tablet 500 mg, dan serbuk 500 mg untuk injeksi.

c.

Siklofosfamid Adalah agen alkilasi. Obat ini manghancurkan sel limfoid yang berproliferasi. Sel B dan sel T sama-sama dihambat oleh siklofosfamid, tapi toksisitasnya lebih besar pada sel B. Sehingga obat ini lebih nyata pada penekanan imunitas humoral. Penggunaan : Dosis besar untuk antikanker, dosis lebih sedikit untuk penyakit autoimun seperti SLE, ITP, granulomatosis Wegener, sindrom nefritik, artritis

Academic DIvision | ORAGASTRA

50

Immunology
rematoid, lupus eritematosus sistemik, pasien dengan antibody faktor XIII didapat dan sindrom perdarahan, anemia hemolitik autoimun, dan aplasia eritrosit terinduksi antibodi. Dosis besar mengandung risiko besar terjadinya pansitopenia dan sistisis hemoragika. Efek samping yang bisa terjadi adalah mual, muntah, toksistas jantung, dan gangguan elektrolit. Tersedia dalam bentuk tablet 25 mg, dan 50 mg, IV 100 mg/vial 20 cc. vial 1 dan 2 g, bubuk 100, 200, dan 500 mg.

d.

Metotreksat Obat ini bekerja menghambat enzim dihidrofolat reduktase sehingga sintesis purin dan timidilat terhambat.Sintesis DNA terhambat, sehingga hambatan replikasi sel T dan juga sel B terhambat pula. Obat ini spesifik pada fase S siklus sel. Penggunaan : Obat antikanker, obat penolakan transplantasi, juga untuk penyakit autoimun. Pemberian jangka panjang dosis rendah untuk proriasis, menyebabkan sirosis dan fibrosis hati pada 30-40% penderita. Toksistas meningkat karena bahan hepatotoksik, seperti alcohol. Sediaan ada dalam tablet 2,5 mg.

e.

Leflunomid Adalah calon obat penghambat sintesis pirimidin, bukan purin. Aktif secara oral dan metabolit aktifnya memiliki waktu paruh panjang, bisa sampai beberapa minggu. Untuk artritis rematoid, selain itu dilaporkan juga leflunomid memiliki aktivitas antivirus. Toksisitas berupa peningkatan enzim hati disertai kerusakan hati, gangguan ginjal, dan efek teratogenik. Efek kardiovaskuler juga dilaporkan meskipun rendah.

f.

Hidroksiklorokuin Adalah agen antimalarial dengan sifat imunosupresan, dapat menekan pemrosesan antigen intrasel dan penempatan peptide kemolekul MHC kelas II

Academic DIvision | ORAGASTRA

51

Immunology
dengan meningkatkan pH kompartemen lisosomal dan endosomal sehingga aktivitas sel T menurun. Untuk obat artritis rematoid dan reaksi graf-pejamu pascatransplantasi sel puncta alogenik.

g.

Agen Sitostoksik lain Agen sitostoksik lain berupa vinkristin dan citrabin, dan pentostatin. Vinkristin cukup bermanfaat untuk purpura trompositopenik ideopatik yang refrakter terhadap prednison. Alkaloid vinca terkait yaitu vinblastine mencegah degranulasi sel mast in vitro. Pentostasin adalah penghambat adenosine deaminase yang terutama digunakan sebagai agen antineoplastic pada keganasan limfoid, dan menghasilkan limfositopeni yang nyata.

3.

Penghambat Sel T / Penghambat Kalsineurin Siklosporin dan takrolimus berbeda struktur kimia yang beda, namun bekerja dengan mekanisme yang sama yaitu menghambat kalsineurin. Siklosporin berikatan dengan siklofilin, tacrolimus berikatan dengan FK506.Ikatan tersebut menghambat fungsi kalsineurin. Kalsineurin adalah Enzim fosfatase dependen kalsium, berperan penting dlm defosforilasi (aktivasi) protein regulator di sitosol yaitu NFATc (nuclear factor activated T cell). Jika NFAtc aktif akan mengalami translokasi masuk dalam nucleus, lalu gen menjadi aktif, lalu sintesis sitokin terutama IL2& protooncogen seperti c-myc,H-Ras,dan reseptor sitokin tertentu seperti reseptor IL2. Jikakalsineurin terhambat transkripsi gen juga terhambat. Selain siklosporin dan takrolimus, ada juga penghambat kalsineurin lain, yaitu sirolimus atau rapisimin yang berasal dari Steptomyces hygroscopicus .Sama seperti siklosporin dan takrolimus, sirolimus juga menghambat kalsineurin, tapi tidak menyekat produksi interleukin oleh sel T teraktivasi, malah menyekat respons sel T terhadap sitokin.

4.

Antibodi Imunosupresif a. Antibodi Antilimfosit dan Antitimosit

Academic DIvision | ORAGASTRA

52

Immunology
Globulin antilimfosit (ALG) dan globulin anti-timosit (ATG) sekarang digunakan secara klinis banyak pusat kesehatan.Antiserum ini diperoleh melalui imunisasi hewan besar dengan sel limfosit manusia. Antibodi antilimfosit bekerja terutama pada limfosit perifer yang kecil dan berusia lama yang terdapat dalam sirkulasi darah dan limfe. Limfosit dependent timus bisa turun habis karena antibodi ini. ALG dan ATG berfungsi menekan beberapa kompartemen utama sistem imun yaitu sel T dan berperan penting dalam tatalaksana transplantasi organ solid dan sumsum tulang. Efek samping ALG sebagian besar terkait dengan penyuntikan protein asing yang didapat dari serum heterologous.Sering kali timbul nyeri dan eritema setempat pada lokasi penyuntikan.

b.

Muromonab-CD3 Merupakan antibodi spesifik terhadap antigen CD3 di permukaan sel limfosit T. Muromonab-CD3 bekerja langsung terhadap glycoprotein CD3 antigen dari sel T manusia. Mekanisme : Berikatan dengan protein CD3, yaitu komponen reseptor sel T, maka akan terjadi gangguan sel T karena akses antigen terhadap sel permukaan diblok . Efek lain yang terlihat adalah penurunan jumlah sel T yang cepat. Jumlah sel T kembali normal setelah 48 jam penghentian obat namun tidak memiliki molekul CD3 dan antigen recognition site sehingga dapat mencegah reaksi penolakan transplantasi. Penggunaan : Pada transplantasi ginjal, hati dan jantung. Juga untuk mengurangi jumlah sel T sebelum transplantasi sumsum tulang. Dosisnya 5mg/hari, IV, tunggal, selama 10-14 hari. Efek samping yang mungkin muncul adalah cytokine release syndrome. Pusing, kejang, ensofalopati, edema serebral, meningitis apeptik, sakit kepala, dan efek rebound berupa penolakan transplantasi setelah penghentian obat ini.

c.

Imun Globulin Rho (D) Dosis Mikro

Academic DIvision | ORAGASTRA

53

Immunology
Merupakan antibodi spesifik terhadap Rh di permukaan eritrosit. Waktu paruhnya 21-21 hari dan diberikan secara IM. Digunakan untuk ibu Rh negatif untuk mencagah sensitilasi terhadap antigen Rh dari janin. Obat ini harus diberikan kepada ibu dalam waktu 72 jam saat terpapar darah bayi dan dapat diberikan mulai usia kehamilan 28 minggu.

d.

Imun Globulin Intravena (IGIV) IGIV dapat menurunkan sel T helper, peningkatan sel T supresor, penurunan produksi immunoglobulin spontan, blockade reseptor Fc, penigkatan katabolisme antibodi, dan interaksi idiopatik-anti-idiopatik dengan antibodi patologik. Digunakan untuk terapi lupus eritematosus sistemik dan purpura trombositopenik idiopatik. Efektif untuk HIV, gangguan autoimun, dan defisiensi immunoglobulin.

e.

Imunoglobulin Hiperimun Sediaan immunoglobulin hiperimun berupa IGIV yang dibuat dari kumpulan donor terpilih dari manusia dan binatang dengan titer antibodi yang tinggi terhadap agen target tertentu seperti virus atau toksin. Untuk terapi respiratory syncytial virus, sitomegalovirus, varicella zoaster, virus herpes 3, virus hepatitis B, tetanus, dan overdosis digoksin.Pemberianya secara IV.

B.

IMUNOSTIMULAN Adalah obat yang ditujukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi imunosupresi. Kelompok obat ini mempengaruhi respon imunitas humoral maupun seluler. Ada yang didapat secara biologis maupun secara sintetik. Imunostimulan digunakan untuk penderita AIDS, infeksi kronik, dan keganasan.

Academic DIvision | ORAGASTRA

54
a.

Immunology
Biologis 1. Bahan asal bakteri Bacillus Calmette Guerin(BCG) BCG dan kompenen aktifnya, dipeptida muramil, merupakan produk bakteri yang memiliki efek imunostimulan. Mengandung bakteri

Mycobacterium bovis yang dilemahkan dan berefek pada pengaktifan sel T, perbaikan produksi limfokin dan mengaktifkan sel NK. Penggunaan : Digunakan sebagai profilaksis pada tumor rekuten seperti karsinoma kandung kencing yang merupakan tumor tersering

keenam.Tidak digunakan bila ada defisiensi imun atau TBC.Sediaannya yaitu live unlyophilized, live lyophilized, dan killed lyophilized. Pemberian berupa intradermal, IV, intralesi, intravesica, atau secara oral atau dengan goresan.Efek samping berupa reksi hipersensitivitas, syok, menggigil, lesu, dan penyakit kompleks imun. Korinebaktetium parvum Kuman K. parvum mati yang digunakan sebagai imunostimulan memiliki sifat mirip BCG. Efek samping yang bisa timbul adalah muntah, pusing, dan panas. Klebsiela dan brusela Bordetela pertussis Penyebab batuk rejan, memproduksi LPF yang merupakan mitogen untuk sel T dan imunostimulan. Endotoksin Adalah komponen dinding bakteri gram negatif yang dapat merangsang proliferasi sel B dan sel T serta mengaktifkan makrofag.

2.

Bahan asal Jamur Lentinan, krestin, glukan, dan schizophyllan adalah bahan yang dihasilkan oleh jamur yang dapat meningkatkan fungsi makrofag. Krestin dan lentinan digunakan sebagai obat kanker sebagai imunostimulan nonspesifik.

Academic DIvision | ORAGASTRA

55

Immunology

3.

Sitokin / Limfokin / Interleukin Diproduksi limfosit yang diaktifkan dan memiliki peran penting dalam respons imun seluler. Sitokin yang sering digunakan adalah IL-2, IFN, colony stimulating factor (CFS). IL-2 Disebut juga T cell growth factor karena dapat merangsang produksi T helper dan sel T siktotoksik. Mekanisme : Berikatan dengan reseptor di permukaan sel yang berfungsi mengaktifkan proliferasi dan deferensiasi sel B, makrofag, dan

meningkatkan toksisitas sel NK. Penggunaan : Digunakan secara IV atau infus kontinyu, SK, dan IM. Efek sanmpingnya hipotensi berat dan toksisitas kardiovaskuler. Edema paru, kreatinin pada ginjal, supresi sumsum tulang, somnolen, delirium, dan peradangnan kulit dapat terjadi.

Interferon (IFN) Merupakan protein yang terdiri dari tiga kelompok, alfa, beta, dan gamma. IFN- dan IFN- adalah family IFN tipe I yang bersifat tahan asam dan bekerja pada reseptor yang sama. IFN- merupakan IFN tipe II yang tak tahan asam dan bekerja pada reseptor yang beda. IFN I biasanya diinduksi visrus IFN- diproduksi oleh leukosit, IFN- oleh sel fibroblas dan sel epitel, sedangkan IFN- diproduksi oleh limfosit T. Mekanisme : Semua IFN dapat menghambat replikasi virus DNA dan RNA, sel normal, sel ganas, serta memodulasi sistem imun. Lebih jauhnya, IFN menimbulkan efek bervariasi tergantung jenis IFN dan sel targetnya. IFN- meningkatkan respons imun yang meliputi presentasi antigen, dan aktivasi makrofag, sel NK, dan limfosit T sitostatik.Dalam upaya menghambat proliferasi sel, IFN- dan IFN- lebih potent daripada IFN-. Selain itu, ketiga IFN dapat merangsang ekspresi MHC I, namun hanya IFN- yang bisa

Academic DIvision | ORAGASTRA

56

Immunology
merangsang ekspresi MHC II. Dalam sel glia, IFN- dapat menghambat efek ini dan dapat menekan penyajian antigen oleh sel dalam sistem saraf. Penggunaan : Untuk kanker seperti karsinoma sel ginjal, melanoma, leukemia mielositik kronik, hairy cell leukemia, dan Kaposis sarcoma.IFN- kombinasi ribavin digunakan untuk hepatitis C. Efek sampingnya meggigil, lesu, demam, myalgia, mielosupresi, chepalgia, dan depresi. Colony Stimulating Factors (CSF) Granulocyte colony stimulating factor (G-CSF) seperti filgrastim dan levograstim dapat mencegah neutropenia akibat kemoterapi kanker. Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) untuk

penyelamatan kegagalan transplantasi sumsum tulang dan untuk mempercepat pemulihannya.

4.

Hormon Timus Sel epitel timus memproduksi beberapa hormon untuk pematangan sel T dan modulasi funsgi sel T yang telah matang. Hormon-hormon tersebut antara lain timosin alfa, timostimulin, timopoetin, dan faktor humoral timus. Semua

hormon ini dapat memperbaiki sistem imun (imunostimulasi nonspesifik) dengan cara menaikkan jumlah, fungsi, dan resptor sel T dan beberapa aspek imunitas seluler. Pada usia lanjut, kanker, autoimun, dan pada imunosupresi akibat obat.

5.

Lymphokine-Activated Killer cells LAK cells adalah sel T sitotoksik syngeneic yang dihasilkan in vitro dengan memanbahkan sitokin seperti IL-s ke sel orang lalu diinfuskan lagi. Untuk imunoterapi keganasan.

b.

Sintetis 1. Levamisol Derivat tetramizol, obat cacing yang dapat meningkatkan proliferasi dan sitotoksistas sel T serta mengembalikan energi.

Academic DIvision | ORAGASTRA

57

Immunology
Mekanisme : Levamisol dapat meningkatkan efek antigen, mitogen, limfokin, dan faktor kemotaktik untuk merangsang limfosit, granulosit, dan makrofag. Penggunaan : Untuk penyakit Hodgkin, artritis rematoid, penyakit virus, dan LES.Efek samping berupa muntah, muat, urtikaria, dan agranulositosis.

2. Isoprinosin Memiliki efek imunomodulator pada berbagai studi praklinik dan klinik, Meningkatkan fungsi sel NK dan sungsi sel T dan monosit. Diduga juga bisa membantu produksi IL-2 yang berperan untuk diferensiasi limfosit, dan makrofag. Dosis biasanya 50mg/kg BB yang dapat dinaikkan 1-4g/hari. Obat ini tidak aktif pada tahap awal HIV tapi dapat mengurangi infeksi pada HIV tahap lanjut. Efek sampingnya peningkatan kadar asam urat plasma.

3. Muramil Dipeptida MDP adalah komponen aktif terkecil dinding mikobakteri. Telah dapat disintetis. Pada pemberian oral meningkatkan sekresi enzim dan monokin. Efeknya langsung, tidak butuh limfokin atau pengaruh lain. Bersama minyak dan antigen, MDP dapat meningkatkan respon seluler maupun humoral.

C.

IMUNORESTORASI Adalah cara untuk mengambalikan fungsi imun yang terganggu dengan memberikan komponen imun seperti immunoglobulin dalam bentuk ISG, HSG, plasma, plasmaferis, leukoferis, transplantasi sumsum, hati, dan timus. 1. ISG dan HSG Imunoglonulin memiliki efek imunorestorasi pada penderita defisiensi imun humoral, baik primer, maupun sekunder.Sekunder bila tubuh kehilangan Ig dalam jumlah besar.ISG diberikan secara IV.Efek samping mual, muntah, menggigil, pusing, dan sakit otot.Reaksi anafilaksis timbul jika kompleks imun dari anti IgA yang dibentuk resipien yang defisien IgA terhadap IgA dari preparat ISG.

Academic DIvision | ORAGASTRA

58
2.

Immunology
Plasma Infus plasma segar dapat memperbaiki sistem imun. Semua jenis imuniglobulin dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa rasa sakit. Efek sampingnya berupa penularan virus dan reaksi anafilaksis. 3. Plasmaferis Dengan cara mengambil darah, plasma dipisahkan dan fraksi yang mengandung banyak eritrosit dikembalikan. Sebaliknya pada exchange plasma dilakukan dengan mengambil darah, plasma dipisahkan dan mengembalikan fraksi kaya eritrosit dan plasma donor. Diduga plasma yang didonorkan mengandung banyak antibodi yang dapat merusak jaringan pada mieastnaia gravis, sindrom Goodpasture, dan anemiahemolitik autoimun. 4. Leukoferis Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam upaya terapi pada artritis rematoid.

D.

IMUNONUTRIEN Nutrisi buruk yang lama menghilangkan sel lemak yang melepas leptin. Karena defisiensi leptin ini, dapat terjadi defisiensi imun ringan. Anak dengan malnutrisi protein atau kalori menunjukkan atrofi timus dan jaringan limfosit sekunder, depresi respons sel T terhadap mitogen dan sel alogenik, pengurangna sekresi limfokin, dan gangguan respon terhadap uji kulit hipersensitivitas tipe lamban. Nutrisi yan gdiperlukan dalam imun antara lain dalam kelompok vitamin dan mineral. 1. Vitamin Vit A : Berperan dalam respons antibodi dan seluler, respons antiinflamasi Th2. Suplementasi untuk menunkan IFN alfa dan gamma, meningkatkan sekresi IL4, IL5 IL10 dan mengingkatkan antibodi terhadap vaksin. Defisiensi mengganggu imunitas nonspesifik, kelebihan meneka fungsi sel T dan rentan pada pathogen. Vit B6 : Berperan dalam intake adekuat untuk mempertahankan respons Th1. Suplementasi untuk mengembalikan respons imun.

Academic DIvision | ORAGASTRA

59

Immunology
Folat : Berperan dalam aktivitas sel NK. Suplementasi pada lansia untuk memperbaiki fungsi imun secara umum. Dosis terlalu tinggi mengakibatkan gangguan sitotoksisitas sel NK. Vit B12 : Peran dalam imunomodulator imunitas seluler. Defisiensi vit B12 menimbulkan perbandigan abnormal tinggi dari CD4+ dan CD8+, dan menekan aktifitas sel NK. Injeksi B12 dapat mengembalikan gejala defisiensi. Vit C : Peran dalam antimicrobial dan aktivitas sel NK, proliferasi limfosit, kometaksis, dan respons DTH. Defisiensi dapat mengganggu fungsi leukosit, menurunkan aktivitas sel NK dan proliferasi limfosit. Suplementasi untuk memperbaiki gejala imunitas defesiensinya. Vit D : Peran dalam proliferasi dan diferensiasi sel, semua sel kecuali sel limfosit B mengekspresikan reseptor vit D, meningkatkan imunitas nonspesifik. Defiseinsi berhubungan dengan kerentanan infeksi. Vit E : adalah antioksidan terpenting yang larut lemak. Dapat berpengatuh pada produksi faktor supresif imun yang menurun dan mengoptimalkan respons imun. Defisiensi dapat mengganggu fungsi sel T dan DTH 2. Mineral Selenium : Esensial untuk respons imun optimal (spesifik dan nonspesifik). Defisiensi menimbulkan virus bermutasi lebih virulen. Suplementasi pada lansia berhubungan dengan defek proliferasi sel Nk dan aktivitas sisotoksik mencegah kerentanan terhadap inflamasi dan keganasan Seng : Esensial untuk prolifersi sel, terutama selimun. Defiseinsi meningkatkan stress oksidatif, keseimbngan respons Th1 menurun, tapi respos Th2 tidak terganggu dan lebih rentan infeksi. Suplementasi untuk memperbaiki system imun yang terganggu. Tembaga : Dalam enzim kunci pertahanan terhadap ROS dan mempertahanka keseimbangan anti oksidan intraseluler. Besi : Esensial untuk diferensiasi, dan pertumbuhan sel. Komponen enzim yang penting untuk sintesis DNA (fungsi imun). Terlibat dalam regulasi produksi dan efek sitokin

Academic DIvision | ORAGASTRA

60
E.

Immunology
ANTI INFLAMASI NON STEROID (AINS) Golongan obat ini menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terhambat. Jika terjadi trauma pada sel, maka akan terjadi gangguan pada membran sel. Seperti yang sudah diketahui bahwa membran sel tersusun dari fosfolipid bilayer. Lalu, karena luka itu, maka enzim fosfolipase A memacu pelepasan asam arakinodat dari fosfolipid. Asam arakinodat ini merupakan substrat yang sangat penting dalam

pembentukan eicosanoid, luekotrin, tromboksan A2, prostasiklin, dan prostaglandin. Enzim sikooksigenase terdapat dalam dua isoform, yaiutu COX 1 dan COX2. Kedua isoform ini dikode oleh gen yang beda. COX1 penting dalam penting dalam pemeliharaan fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung aktivasi COX1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase 2 diinduksi berbagai stimulus inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan. Endotoksin atau IL2 meningkatkan sintesis PG selama respons inflamasi.Siklooksigenase yang dicegah AINSmenunjukkan efek antiinflamasi dan mencegah efek fisiologis atas pengaruh COX1. Efek antiinfalmasi dari AINS penting untuk pengobatan inflamasi sendi akut dan kronis. Efek samping berupa tukak lambung, gagal ginjal,dan gangguan tekanan darah. REFERENSI : Baratawidjaja KG, Rengganis I (eds). (2010). Imunologi dasar.Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 515556 Lake DF, Briggs AD, Akporiaye ET.(2010). Imunofarmakologi.Dalam : Katzung BG (Ed). Farmakologi dasar dan terapi. Jakarta: EGC, pp: 939-966 Nafrialdi.(2009). Imunomodulator, imunosupresan, dan imunostimulan. Dalam: Gunawan SG (Editor). Farmakologi dan terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 758-768

Academic DIvision | ORAGASTRA

61

Immunology
TRANSPLANTASI ORGAN: IMUNOLOGI DAN MEDIKOLEGAL

Istilah: Autograft: Dari Jaringan Sendiri Isograft/ Syngeneic: Dari individu yang identik secara genetik (Misal ada kembar monozigot) Allograft/ Allogeneic: Dari resipien spesies sama, non-identik secara genetik Xenograft/ Xenogeneic: Dari resipien berspesies beda (Dilarang di Indonesia)

Dasar: a. Histokompatibilitas Bersifat antigenik sama, disebut histokompatibel. Tidak menginduksi respon imun dan tidak menimbulkan penolakan. Sedangkan jika adanya induksi penolakan tandur karena perbedaan antigen, disebut histoinkompatibel b. Antigen MHC Diantara lokus yang menentukan penerimaan tandur, yang terpenting adalah gen MHC. Diekspresikan dalam sebuah kopi tunggal (Heterozigot/ hemizigot) atau dua kopi (homozigot). Jadi individu dengan lokus MHC tertentu akan menghasilkan kedua molekul tersebut pada permukaan sel yang sama. c. Antigen Minor Histocompatible Lebih lemah daripada MHC dan dijadikan sebagai sasaran pada penolakan dengan awitan lambat. Contohnya: Golongan darah nonABO dan antigen yang berhubungan dengan kromosom seks d. Antigen histokompatibel non-MHC Tidak banyak diketahui selain mereka disandi oleh sejumlah besar gen yang ada pada kromosom (Termasuk Kromosom X dan Y). Pada prinsipnya, setiap fragmen peptida yang dibawa ke permukaan sel dan dipresentasikan ke MHC-I atau MHC-II dapat berperan sebagai antigen histokompatibel. Fragmen dapat berasal dari protein sitosolik atau dari debris sel yang diakan atau dirusak fagosit.

Academic DIvision | ORAGASTRA

62

Immunology

Jaringan Khusus Jaringan yang sedikit mengekspresikan MHC Beberapa tandur bersifat alogeneik rendah, seperti hati. Hal tersebut disebabkan oleh karena hati hanya sedikit mengekspresikan MHC Sequested Antigen Kornea dan lensa tidak memperoleh aliran limfe sehingga tidak terjadi proses pengenalan dan penolakan. Contoh lain adalah testis dan selaput otak. Golongan darah ABO dan sistem HLAmerupakan antigen transplantasi utama,sedang antibodi dan CMI (cell mediatedimmunity) berperan pada penolakan imun. Kemungkinan terjadinya penolakan dapat dikurangi dengan transplantasi di antara keluarga, typing jaringan dan imunosupresi.

Academic DIvision | ORAGASTRA

63

Immunology

Hukum Transplantasi: Transplan akan diterima bila resipien dan donor memiliki gen histokompatibilitas tertentu yang sama. Autograft dan isograft biasanya memberikan hasil yang baik, sedang allograft sering ditolak, karena respon imun yang ditimbulkan limfosit dan produknya

Academic DIvision | ORAGASTRA

64

Immunology

Sel Passenger: Sel leukosit donor yang terdapat dalam jaringan transplan. Sel tersebut sangat penting dalam mensensitisasi sel Th resipien terhadap antigen donor, karena sama-sama memiliki MHC kelas II. Cross Match: Dilakukan untuk menguji serum resipien terhadap preformed antibodi terhadap sel donor. Komplemen biasanya ditambahkan untuk membantu lisis sel donor. Jika preformed antibodi terhadap molekul MHC donor ada dalam serum resipien sel donor akan lisis (positif cross-match). Jadi tidak cocok untuk resipien. Tissue Typing: Identifikasi antigen MHC terutama MHC-I (HLA-A; HLA-B; HLA-C). MHC-II Mengaktifkan sel Th dan antigen terpenting dalam penolakan tandur. Diekspresikan terbatas seperti APC, sel B, dan sel T yang diaktifkan. Reaksi Penolakan: Penolakan pertama ditimbulkan oleh sel Th resipien yang mengenal MHC allogeneic dan imunitas humoral (antibodi). Sel tersebut akan merangsang sel T sitotoksik yang juga mengenal antigen MHC allogeneik dan membunuh transplan. Penolakan kedua akan lebih cepat karena sudah terjadi sensitisasi oleh transplan pertama dan adanya memori.

Reaksi Penolakan (Diadaptasi dari: Bratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Academic DIvision | ORAGASTRA

65

Immunology
Jenis Hiperakut Waktu Beberapa Jam Mekanisme Antibodi yang ada (anti-ABO dan/atau anti-HLA) Akut Minggu Bulan CMI, CD8+, CD4+ Pencegahan Pemeriksaan crossmatch dan kompatibilitas ABO Matching HLA dari donor dan resipien, terapi anti penolakan Kronis Bulan Tahun CMI (CD8+, antibodi terhadap antigen jaringan) Matching HLA

Graft vs Host Disease: Bila sel yang imunokompeten (sel T) asal donor (sumsum tulang) mengenal danmemberikan respon imun terhadap jaringanresipien. Sel-sel yang diserang adalah semua sel yang termasuk MHC kelas II.

Academic DIvision | ORAGASTRA

66

Immunology

Tanda respon: pembesaran kelenjar limfoid, hati, diare, kulit kemerahan, rambut rontok, berat badan menurun, dan akhirnya meninggal. Memperpanjang Allograft: Antiinflamasi (prednison, prednisolon) menstabilkan membran lisosom sehingga mencegah pelepasan enzim lisozim yang merusak jaringan. Antimetabolit azatioprin, merkaptopurin mencegah sintesis RNA, klorambusil dan siklofosfamida mengalkilkan DNA dan mencegah metabolisme DNA Imunosupresan steroid (mencegah migrasi neutrofil dan produksi IL-1, -6 dan -12). Bahan sitotoksik azatioprin, metotreksat dan siklofosfamida dapat membunuh sel yang berproliferasi dan imunopilin seperti siklosporin A, FK506 dan rapamisin mencegah produksi IL-2 dan atau respon terhadap IL-2. (NB: Ini hanya ringkasan, lengkapnya bisa dibaca di Immunologi Dasar FKUI ) Medikolegal Transplantasi: 4 Prinsip Bioetika: Justice, Beneficience, Non-Maleficience, Autonomy. Dokter terikat oleh: Etika Hukum Disiplin. Medikolegal Transplantasi:

Sebelum melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh,

seseorang

yangmemutuskan menjadi donor harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi baikresiko di bidang medis, pembedahan maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjutsebagai kekurangan jaringan atau organ yang telah dipindahkan. Bagi donor jenazah sebelum pengambilan organ dilakukan informed consent padajenazah tersebut, jika diketahui identitasnya maka informed consent didapatkan darikeluarga atau ahli warisnya. Jika tidak diketahui identitasnya, maka jenazah tersebutdianggap milik negara sehingga dokter forensik dapat mengambil organ atau jaringantubuh untuk kemudian diserahkan pada bank organ dan jaringan tubuh.

Penegakan hukum tentang transplantasi di Indonesia masih sulit di tegakkan karena UUNo 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1981tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia tidak memuat batasan yang jelas.

Academic DIvision | ORAGASTRA

67 -

Immunology
Komersialisasi organ dan atau jaringan tubuh manusia mereupakan tindakan pidana yang bersifat delik biasa sehingga penyidik berwenang melakukan penyidikan meskipun tanpa laporan dari masyarakat.

Daftar Pustaka: Baratawidjaja dan Rengganis. 2010. Immunologi Dasar Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Manggau, Marianti. 2010. Immunologi Transplantasi. (Disampaikan pada Kuliah Farmasi UNHAS) Suprapti, S.R. Etika Kedokteran Indonesia.Transplantasi. Edisi 2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2001. Kaldjian, L. Are Individuals Diagnosed With Brain Death Really Dead?.Available at: http://www.JHASIM.com Karthi,L.P.Aghnihotri,A.K.Corneal Transplant. Available at:

http://www.InternetJournalMedicine.org/transplantation Plueckhahn,V,Cordner,S. Ethics, Legal Medicine & Forensic Pathology.Human Tissue Transplantation and The Law, 2nd Edition. Melbourne University Press. Melbourne.1991. Baxter, C. R. Heck,E.L.Petty, C.S. Transplantation Programs and Medicolegal Investigation.Psychiatry and Forensic Medicine.2001. Eser,L,E. Murat, T. Brain Death and Scintigraphy. Turk Geriatri Dergisi.Turki. 2004 Truog, R, D. The Ethics of Organ Donation by Living Donors. Available at: http://www.NEJM.com Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Christianto, Hwian. 2010. Konsep Hak Seseorang atas Tubuh dalam Transplantasi Organ Berdasarkan Nilai Kemanusiaan.Mimbar Hukum 2011. 1(23): 1. Sadler Jr., AM. 1969. Transplantation A Case for Consent.

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM196904172801605 (Accessed: 30 April 2013)

Academic DIvision | ORAGASTRA

68

Immunology
LUPUS ERYTHEMATOSUS SISTEMIC (LES) (Kompetensi 4)
Lupus Erythematosus Sistemic (LES) adalah gangguan autoimun jangka panjang yang dapat

mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, otak, dan organ lainnya. LES lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia, namun paling sering muncul pada usia antara 10-50 tahun. Pada pasien dengan temuan klinis sugestif, riwayat keluarga dengan penyakit autoimun menimbulkan kecurigaan lebih lanjut dari LES.

GEJALA Gejala LES bervariasi dan sering hilang-muncul. Gejala umum yang terjadi antara lain adalah

nyeri sendi dan bengkak (terutama jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut) , nyeri dada saat mengambil napas dalam, mudah lelah, demam, malaise, rambut rontok, sensitivitas terhadap sinar matahari, ruam kulit, dan pembengkakan kelenjar getah bening. Sedangkan manifestasi klinis yang berhubungan antara lain :

Constitutional (ex : fatigue, panas, arthralgia, perubahan BB) Musculoskeletal (ex : arthralgia, arthropathy, myalgia, frank arthritis, avascular necrosis) Dermatologic (ex : malar rash, photosensitivity, discoid lupus) Renal/ ginjal (ex : gagal ginjal akut atau kronis, penyakit nefritis akut) Neuropsychiatric (ex : seizure, psychosis) Pulmonary/ paru (ex : pleurisy/ radang selaput dada, pleural effusion, pneumonitis, hipertensi paru, penyakit paru interstisial) Gastrointestinal (ex : nausea, dyspepsia, nyeri abdomen) Cardiac/ jantung (ex : pericarditis, myocarditis) Hematologic (ex : cytopenias seperti leukopenia, lymphopenia, anemia, atau thrombocytopenia)

Sumber : www.emedicine,medscape.com

PATOFISIOLOGI

Academic DIvision | ORAGASTRA

69

Immunology
Lupus eritematosus sistemic (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan

peradangan multisistem dengan pembangkitan autoantibodi. Salah satu mekanisme panjang untuk pengembangan autoantibodi melibatkan kerusakan dalam apoptosis yang menyebabkan peningkatan kematian sel dan gangguan dalam toleransi imun. Penyebaran antigen selular selama nekrosis/apoptosis mengarah ke permukaan sel plasma dan antigen nuclear dalam bentuk nukleosom. Selanjutnya, disregulasi (intoleran) limfosit mulai melakukan perlindungan pada antigen intraseluler. Sel T punya peran sentral dalam patogenesis LES, dan sel T dari pasien dengan lupus menunjukkan kerusakan pada sinyal dan fungsi efektor. Sel-sel T mengeluarkan sedikit interleukin (IL) -2, dan kerusakan dalam pengiriman sinyal tampaknya terkait dengan peningkatan masuknya kalsium, mungkin karena perubahan dalam subunit sinyal CD3. Beberapa aktivitas efektor yang mempengaruhi sel T seperti sitotoksisitas CD8, regulator-T, B-cell help, migrasi, dan adhesi. Serum antibodi antinuklear (ANAs) ditemukan di hampir semua individu dengan LES aktif. Antibodies to native double-stranded DNA (dsDNA) relatif spesifik untuk diagnosis LES. Apakah aktivasi sel-B poliklonal atau keberadaan respon terhadap antigen tertentu tidak jelas, tetapi banyak dari patologi melibatkan sel B, sel T, dan sel dendritik. Sitotoksik sel T dan sel T suppressor (yang biasanya akan turun-mengatur respons kekebalan tubuh) mengalami penurunan. Perubahan aktivitas sel T sitolitik poliklonal terganggu. Sel T Helper (CD4+) meningkat. Kurangnya toleransi imun yang diamati pada model hewan lupus. Laporan menunjuk peran penting dari interferon-alfa, faktor transkripsi, dan variasi sinyal juga menunjukkan peran sentral untuk neutrofil. Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada LES terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yangmenghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan

Academic DIvision | ORAGASTRA

70

Immunology

sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasiyang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Studi Genetika juga menunjukkan gangguan dalam sinyal limfosit, respons interferon, pembersihan komplemen dan kompleks imun, apoptosis, dan metilasi DNA. Genome-wide association studies (GWAS) telah mengidentifikasi beberapa lokus dengan hubungan yang kuat dengan LES, banyak . yang terlibat dalam sistem kekebalan tubuh dan terkait sistem biologis. Sebelumnya, gen yang terkait dengan penyakit autoimun lainnya telah dikaitkan dengan LES (misalnya, PTPN22 dan diabetes, rheumatoid arthritis dan STAT4). Beberapa gen yang berkaitan dengan fungsi dan sinyal sel T juga telah dikaitkan dengan LES, termasuk PTPN22,, TNFSF4 PDCD1, IL10, BCL6, IL16, TYK2, PRL, STAT4, dan RASGRP3, karena memiliki kekebalan-kompleks pengolahan dan gen imun bawaan, termasuk beberapa gen komplemen (misalnya, C2, C4A, dan C4B).

ETIOLOGI LES terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan

autoantibodi yang berlebihan. Gangguan immunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal, dan lingkungan. Sistem imun kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi akauskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan. Studi antigen leukosit (HLAs) manusia mengungkapkan bahwa HLA-A1, HLA-B8, dan HLA-DR3 lebih sering terjadi pada orang dengan LES dibandingkan dengan populasi umum. LES memiliki tingkat kekambuhan sederhana dalam keluarga: 8% dari pasien yang terkena memiliki garis keturunan pertama (orang tua, saudara, dan anak-anak) dengan LES. Selain itu, LES terjadi 24% dari kembar identik dan 2% dari kembar nonidentical, yang mungkin disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Beberapa studi telah disintesis apa yang diketahui tentang mekanisme penyakit LES dan asosiasi genetik. Setidaknya 35 gen yang diketahui meningkatkan risiko LES. Sebuah kecenderungan genetik didukung oleh konkordansi 40% di kembar monozigot, jika seorang ibu memiliki LES, resiko putrinya terserang penyakit itu telah diperkirakan 1:40, dan risiko anaknya, 1:250. Penyebab lingkungan dan paparan yang berhubungan dengan LES kurang jelas. Beberapa potensi meliputi:

Academic DIvision | ORAGASTRA

71

Immunology
Debu silica dan merokok dapat meningkatkan risiko mengembangkan LES Estrogen pada wanita menopause tampaknya meningkatkan risiko pengembangan LES. Menyusui dikaitkan dengan penurunan risiko mengembangkan LES. Fotosensitifitas merupakan presipitan dari penyakit kulit Sinar ultraviolet merangsang keratinosit, yang mengarah tidak hanya untuk overekspresi nuclear ribonucleoproteins (snRNPs) pada permukaan sel tetapi juga untuk sekresi sitokin yang mensimulasikan peningkatan produksi autoantibody.

Hasil dari satu studi menunjukkan bahwa vitamin D tingkat rendah meningkatkan produksi autoantibody pada individu sehat, kekurangan vitamin D juga dikaitkan dengan hiperaktif sel B dan aktivitas interferon-alpha pada pasien dengan LES.

CARA DIAGNOSIS Diagnosis LES didasarkan pada kombinasi temuan klinis dan bukti laboratorium. Kehadiran 4

dari 11 kriteria American College of Rheumatology (ACR) menghasilkan sensitivitas 85% dan spesifisitas 95% untuk LES. Ketika Systemic Lupus Internasional Collaborating Klinik (SLICC) merevisi dan memvalidasi ACR LES kriteria klasifikasi pada tahun 2012, mereka mengklasifikasikan seseorang dengan LES dalam keberadaan bukti biopsi nefritis lupus dengan antibodi ANA atau anti-dsDNA atau jika 4 dari kriteria diagnostik, termasuk setidaknya 1 klinis dan 1 kriteria imunologi, telah terpenuhi. ACR mnemonic kriteria diagnostik LES disajikan dalam "BRAIN SOAP MD" mnemonic: Serositis Borok Oral Radang sendi Fotosensitivitas Gangguan darah Renal involvement antibodi Antinuclear fenomena Imunologi (misalnya, dsDNA, anti-Smith [Sm] antibodi) gangguan Neurologis

Academic DIvision | ORAGASTRA

72

Immunology
ruam Malar ruam Diskoid

PEMERIKSAAN AWAL TES Laboratorium yang bisa dilakukan antara lain :

CBC dengan diferensial Serum kreatinin Urinalisis dengan mikroskop hasil ESR atau CRP Complement levels tes Fungsi hati Creatine kinase assay Spot protein/spot creatinine ratio tes Autoantibody

Studi pencitraan Studi pencitraan berikut dapat digunakan untuk mengevaluasi kecurigaan pasien dengan LES: Joint radiography Chest radiography and chest CT scanning Echocardiography Brain MRI/ MRA

TERAPI AWAL Tujuan dari terapi LES adalah untuk kontrol gejala. Penyakit ganas bisa diterapi

medikamentosa dengan :

Academic DIvision | ORAGASTRA

73

Immunology
Nonsteroidal anti-inflammatory medications (NSAIDs, misal : ibuprofen, naproxen, diclofenac) untuk terapi arthritis dan pleurisy Kortikosteroid (methylprednisolone, prednisone) untuk peradangan kulit Obat antimalaria (hydroxychloroquine) dan kortikosteroid dosis rendah untuk gejala kulit dan artritis. Nonbiologic DMARDS: Cyclophosphamide, methotrexate, azathioprine, mycophenolate, cyclosporine Biologic DMARDs (disease-modifying antirheumatic drugs): Belimumab, rituximab, IV immune globulin Pada penderita LES harus menggunakan pakaian dan kacamata protektif ketika terkena

sinar matahari. Sedangkan terapi untuk beberapa lupus yang lain termasuk : Medikasi atau kortikosteroid dosis tinggi untuk menurunkan respon sistem imun Obat sitotoksik apabila tidak kunjung sembuh dengan kortikosteroid. Preventif pemeriksaan hati Immunisasi teratur Tes untuk skrining osteoporosis

COMPLICATIONS Systemic lupus erythematosus (SLE) can cause systemic complications throughout the

body. Complications Of The Blood Almost 85% of patients with SLE experience problems associated with abnormalities in the blood. Anemia. About half of patients with SLE are anemic. Causes include:

Iron deficiencies resulting from excessive menstruation Iron deficiencies from gastro-intestinal bleeding caused by some of the treatments A specific anemia called hemolytic anemia, which destroys red blood cells Anemia of chronic disease

Academic DIvision | ORAGASTRA

74

Immunology
Hemolytic anemia can occur with very high levels of the anticardiolipin antibody. It can be chronic or develop suddenly and be severely (acute). Antiphospholipid Syndrome. Between 34 - 42% of patients with SLE have antiphospholipid syndrome (APS). This is a specific set of conditions related to the presence of autoantibodies called lupus anticoagulant and anticardiolipin. These autoantibodies react against fatty molecules called phospholipids, and so are called antiphospholipids. Their actions have complex effects that include causing narrowing and abnormalities of blood vessels.

Patients who have APS have a very incidence of blood clots, which most often occur in the deep veins in the legs. Blood clotting, in turn, puts patients at higher risk for stroke and pulmonary embolism (clots in the lungs).

This picture shows a red and swollen thigh and leg caused by a blood clot (thrombus) in the deep veins in the groin (iliofemoral veins). Such a clot prevents normal return of blood from the leg to the heart.

The effects on blood vessels have also been associated with confusion, headaches, and seizures. Leg ulcers can also develop. Patients with APS who become pregnant have a high incidence of pregnancy loss, especially in the late term. Not all patients with APS carry both of the autoantibodies, and they can also wax and wane and so have varying effects. APS also occurswithout lupus in about half of patients with the syndrome. Thrombocytopenia. In thrombocytopenia, antibodies attack and destroy blood platelets. In such cases, blood clotting is impaired, which causes bruising and bleeding from the skin, nose, gums, or intestines. (This condition can also occur in APS, but it is not considered to be one of the standard features of the syndrome.)

Academic DIvision | ORAGASTRA

75

Immunology
Neutropenia. Neutropenia is a drop in the number of white blood cells. Patients with SLE often neutropenia, but the condition is usually harmless unless the reductions are so severe that they leave the patient vulnerable to infections. Acute Lupus Hemophagocyte Syndrome. A rare blood complication of SLE that occurs primarily in Asians is called acute lupus hemophagocytic syndrome. It is generally of short duration and characterized by fever and a sudden drop in blood cells and platelets. Lymphomas. Patients with SLE and other autoimmune disorders have a greater risk for developing lymph system cancers such as Hodgkins disease and non-Hodgkins lymphoma (NHL).

Heart And Circulation Complications Heart disease is a primary cause of death in lupus patients. The immune response in SLE can cause chronic inflammation and other damaging effects that can cause significant injury to the arteries and tissues associated with the circulation and the heart. In addition, SLE treatments (particularly corticosteroids) affect cholesterol, weight, and other factors that can also affect the heart. Patients with SLE, have a higher risk for developing the following conditions, which put them at risk for heart attack or stroke:

Atherosclerosis, or plaque buildup in the arteries Increased stiffness in the arteries Unhealthy cholesterol and lipid (fatty molecules) levels High blood pressure, most likely because of kidney injury and corticosteroid treatments Heart failure Pericarditis, an inflammation of the tissue surrounding the heart Myocarditis, an inflammation of the heart muscle itself (rare) Abnormalities in the valves of the heart (rare) Blood clots The risk for cardiovascular disease, heart attack, and stroke is much higher than average in younger women with SLE. The risks decline as such women age.

Lung Complications

Academic DIvision | ORAGASTRA

76

Immunology

SLE affects the lungs in about 60% of patients:

Inflammation of the membrane lining the lung (pleurisy) is the most common problem, which can cause shortness of breath and coughing. In some cases, fluid accumulates, a condition called pleural effusion. Inflammation of the lung tissue itself is called lupus pneumonitis. It can be caused by infections or by the SLE inflammatory process. Symptoms are the same in both cases: fever, chest pain, labored breathing, and coughing. Rarely, lupus pneumonitis becomes chronic and causes scarring in the lungs, which reduces their ability to deliver oxygen to the blood.

A very serious and rare condition called pulmonary hypertensionoccurs when high pressure develops as a result of damage to the blood vessels of the lungs.

Kidney Complications (Lupus Nephritis) The kidneys are a crucial battleground in SLE because it is here that the debris left over from the immune attacks is most likely to be deposited. Also, the immune response can also attack different parts of the kidney causing damage. About 50% of patients with SLE exhibit inflammation of the kidneys (called lupus nephritis).This condition occurs in different forms and can vary from mild to severe. Poor kidney function and kidney failure may result from this damage. Serious complications occur eventually in about 30% of patients. If kidney injury develops, it almost always occurs within 10 years of the onset of SLE, rarely after that. Central Nervous System Complications Nearly all patients with SLE report some symptoms relating to problems that occur in the central nervous system (CNS), which includes the spinal cord and the brain. CNS involvement is more likely to occur in the first year, usually during flare-ups in other organs. Symptoms vary widely and overlap with psychiatric or neurologic disorders. They may also be caused by of some medications used for SLE. Central nervous system symptoms are usually mild, but there is little effective treatment available for them. CNS symptoms get worse as the disease progresses.

Academic DIvision | ORAGASTRA

77

Immunology

The most serious CNS disorder is inflammation of the blood vessels in the brain (vasculitis), which occurs in 10% of patients with SLE. Fever, seizures, psychosis, and even coma can occur. Other CNS side effects include:

Irritability Emotional disorders (anxiety, depression) Mild impairment of concentration and memory Migraine and tension headaches Problems with the reflex systems, sensation, vision, hearing, and motor control

Infections Infections are a common complication and a major cause of death in all stages of SLE. The immune system is indeed overactive in SLE, but it is also abnormal and reduces the ability to fight infections. Patients are not only prone to the ordinary streptococcal and staphylococcal infections, but they are also susceptible to fungal and parasitic infections (called opportunistic infections), which are common in people with weakened immune systems. They also face an increased risk for urinary tract, herpes, salmonella, and yeast infections. Corticosteroid and immunosuppressants, treatments used for SLE, also increase the risk for infections, thereby compounding the problem. Gastrointestinal Complications About 45% of patients with SLE suffer gastrointestinal problems, including nausea, weight loss, mild abdominal pain, and diarrhea. Severe inflammation of the intestinal tract occurs in less than 5% of patients and causes acute cramping, vomiting, diarrhea, and, rarely, intestinal perforation, which can be life-threatening. Fluid retention and swelling can cause intestinal obstruction, which is much less serious but causes the same type of severe pain. Inflammation of the pancreas can be caused by the disease and by corticosteroid therapy. Joint, Muscle, And Bone Complications Arthritis caused by SLE almost never leads to destruction or deformity of joints. The inflammatory process can, however, damage muscles and cause weakness. Patients with SLE also commonly experience reductions in bone mass density (osteoporosis) and have a higher risk for fractures,

Academic DIvision | ORAGASTRA

78

Immunology

whether or not they are taking corticosteroids (which can increase the risk for osteoporosis). Women who have SLE should have regular bone mineral density scans to monitor bone health. Eye Complications Inflamed blood vessels in the eye can reduce blood supply to the retina, resulting in degeneration of nerve cells and a risk of hemorrhage in the retina. The most common symptoms are cotton-wool-like spots on the retina. In about 5% of patients sudden temporary blindness may occur. Socioeconomic Consequences In one study, 40% of patients with SLE quit work within 4 years of diagnosis, and many had to modify their work conditions. Significant factors that predicted job loss included high physical demands from the work itself, a more severe condition at the time of diagnosis, and lower educational levels. People with lower income jobs were at particular risk for leaving them. Pregnancy And Systemic Lupus Erythematosus Women with lupus who conceive face high-risk pregnancies that increase the risks for themselves and their babies. It is important for women to understand the potential complications and plan accordingly. The most important advice is to avoid becoming pregnant when lupus is active. Research suggests that the following factors predict a successful pregnancy:

Disease state at time of conception. Doctors strongly recommend that women wait to conceive until their disease state has been inactive for at least 6 months. Kidney (renal) function. Women should make sure that their kidney function is evaluated prior to conception. Poor kidney function can worsen high blood pressure and cause excess protein in the urine. These complications increase the risk for preeclampsia and miscarriage.

Lupus-related antibodies. Antiphospholipid and anticardiolipin antibodies can increase the risks for preeclampsia, miscarriage, and stillbirths. Anti-SSA and anti-SSB antibodies can increase the risk for neonatal lupus erythematosus, a condition that can cause skin rash and liver and heart damage to the newborn baby. Levels of these antibodies should be tested at the start of pregnancy. Certain medications (aspirin, heparin) and tests (fetal heart monitoring) may be needed to ensure a safe pregnancy.

Academic DIvision | ORAGASTRA

79

Immunology
Medication use during pregnancy. Women with active disease may need to take low-dose corticosteroids, but women with inactive disease should avoid these drugs. Steroids appear to pose a low risk for birth defects, but can increase a pregnant womans risks for gestational diabetes, high blood pressure, infection, and osteoporosis. For patients who need immunosuppressive therapy, azathioprine (Imuran) is an option. Methotrexate (Rheumatrex) and cyclophosphamide (Cytoxan) should not be taken during pregnancy.

Pregnancy Risks Women with lupus are 20 times more likely to die during pregnancy than women without the disease. The risk for maternal death is due to the following serious conditions that can develop during pregnancy:

Miscarriages. About 25% of lupus pregnancies result in miscarriage. The risk is highest for patients with antiphospholipid antibodies, active kidney disease, or high blood pressure. Blood clots. Women with lupus have a 6 times greater risk for developing deep vein thrombosis (blood clots) than women without the disease. Clotting complications. Low blood platelet count and anemia are also risks. Women with lupus are 3 times more likely to need a transfusion during pregnancy than women without lupus. Infections. Blood infections (sepsis), pneumonia, and urinary tract infections are more common in pregnant women with lupus. Preeclampsia. Women with lupus are three times more likely than healthy women to develop preeclampsia (pregnancy-related high blood pressure), which can be potentially life threatening.

Birth Complications. Women with SLE have an increased risk of having a pre-term birth, stillbirth, or Caesarean section. Despite these obstacles, many women with lupus have healthy pregnancies and deliver healthy babies. To increase the odds of a successful pregnancy, it is important for women to plan carefully before becoming pregnant. Be sure to find knowledgeable doctors with whom you can communicate and trust. Pregnant women with lupus should try to assemble an interdisciplinary health care team that includes a rheumatologist, high-risk obstetrician, and (for patients with kidney disease) a nephrologist.

Academic DIvision | ORAGASTRA

80

Immunology

(http://health.nytimes.com/health/guides/disease/systemic-lupuserythematosus/complications.html)

POSSIBLE COMPLICATIONS Some people with SLE have abnormal deposits in the kidney cells. This leads to a condition called lupus nephritis. Patients with this condition may eventually develop kidney failure and need dialysis or a kidney transplant. SLE causes damage to many different parts of the body, including:

Blood clots in the legs (deep vein thrombosis) or lungs (pulmonary embolism) Destruction of red blood cells (hemolytic anemia) or anemia of chronic disease Fluid around the heart (pericarditis), endocarditis, or inflammation of the heart (myocarditis) Fluid around the lungs (pleural effusions) and damage to lung tissue Pregnancy complications, including miscarriage Stroke Severely low blood platelets (thrombocytopenia) Inflammation of the blood vessels

(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm)

Academic DIvision | ORAGASTRA

81

Immunology
POLYARTERITIS NODUSA (PAN) (Kompetensi 1)
Poliyarteritis nodosa adalah kelainan yang sangat jarang yang ditandai oleh adanya vaskulitis

nekrotikans sistemik yang mengenai arteri-arteri sedang dan kecil. Vaskulitis adalah sekelompok kelainan yang dikarakteristikkan dengan adanya proses inflamasi pada pembuluh darah. Proses vaskulitis dapat mengenai satu, atau beberapa pembuluh darah, atau bahkan organ. Inflamasi pada plyarteritis nodosa ini sifatnya adalah lesi nekrosis.

GEJALA Gejala yang disebabkan oleh kerusakan pada organ yang terkena, terutama adalah kulit,

jantung, ginjal, dan sistem saraf. Gejalanya berupa : Nyeri perut Nafsu makan berkurang Kelelahan Demam Nyeri sendi Nyeri otot Penurunan berat badan yang tidak disengaja Kelemahan Sedangkan gejala klinis yang mungkin timbul: gejala konstitusi akibat peradangan, gagal ginjal dan proteinuria, hipertensi, gejala gatrointestinal, kelainan kulit (purpura, livedo reticularis). PAN seringkali terjadi pada pasien dengan Hepatitis B. Jika saraf yang terkena, maka akan menyebabkan saraf mati rasa, nyeri, terbakar, dan kelemahan. Kerusakan pada sistem saraf bisa menyebabkan stroke atau kejang.

PATOFISIOLOGI Lesi vaskular pada arteri otot ukuran sedang terjadi terutama pada bifurcations dan titik

cabang. Peradangan mungkin mulai dalam pembuluh intima dan berkembang untuk mencakup

Academic DIvision | ORAGASTRA

82

Immunology

seluruh dinding arteri, menghancurkan lamina elastis internal dan eksternal, sehingga menyebabkan nekrosis fibrinoid. Aneurisma berkembang di pembuluh yang melemah, membawa risiko berikutnya berupa pecahnya pembuluh darah dan perdarahan. Trombus dapat berkembang di lokasi lesi. Sebagai perkembangan lesi, proliferasi intima atau media dapat mengakibatkan obstruksi dan iskemia jaringan berikutnya atau infark. Poliartentis nodosa (PAN) menyerap pembuluh besar (aorta dan cabang utama), pembuluh terkecil (kapiler dan arteriol kecil), dan sistem vena.

ETIOLOGI Hepatitis B dan PAN Patogenesis polyarteritis nodosa (PAN) tidak diketahui, dan tidak ada hewan model yang tersedia untuk studi ini. Infeksi virus, termasuk virus human immunodeficiency (HIV), virus hepatitis C (HCV) dan, paling kuat, virus infeksi hepatitis B (HBV), telah dikaitkan dengan PAN. Bukti untuk penyakit terinduksi kompleks imun terbatas pada PAN terkait HBV. Gangguan fungsi sel endotel mungkin menjadi bagian dari idiopatik PAN atau konsekuensi dari itu. Pada HBV-PAN, replikasi virus dapat langsung melukai dinding pembuluh darah. Disfungsi endotel dapat melanggengkan peradangan melalui sitokin dan produksi molekul adhesi. HBV pernah menjadi penyebab hingga 30% kasus PAN. Meluasnya penggunaan vaksin hepatitis B telah secara signifikan menurunkan kejadian HBV-PAN, yang sekarang diperkirakan mencapai kurang dari 8% dari semua kasus PAN.

HBV-PAN dapat terjadi setiap saat selama infeksi hepatitis B akut atau kronis, meskipun biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan infeksi. Aktivitas arteritis yang tidak paralel dari hepatitis, dan gejalanya sama dengan idiopatik PAN. Penelitian kecil telah menemukan bahwa manifestasi GI, hipertensi maligna, infark ginjal, dan orchiepididymitis lebih umum pada HBV-PAN.

Asosiasi penyakit lainnya Organisme menular lainnya telah dilaporkan dalam hubungan dengan PAN atau penyakit mirip PAN, tapi bukti kausal tidak konsisten. Organisme ini termasuk virus varicellazoster, parvovirus B-19, cytomegalovirus, virus manusia T-sel leukemia, spesies

Academic DIvision | ORAGASTRA

83

Immunology
streptokokus, spesies Klebsiella, Pseudomonas spesies, spesies Yersinia, Toxoplasma gondii, rickettsia, cacingan, dan sarcosporidiosis. Hepatitis C dapat dihubungkan dengan PAN yang berkenaan dengan kulit, benigna, bentuk jinak dari PAN. Beberapa sindrom, termasuk penyakit rematik, keganasan, dan infeksi telah dikaitkan dengan sindrom klinis yang tidak dapat dibedakan dari PAN idiopatik. Rheumatoid arthritis (RA) dan sindrom Sjgren telah dikaitkan dengan PAN. Terutama, kejadian RA terkait vaskulitis telah sangat menurun sejak 1980-an, kemungkinan disebabkan perbaikan dalam pengelolaan RA. Keganasan hematologi, seperti leukemia sel berbulu, telah dikaitkan dengan PAN-seperti vaskulitid.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

KOMPLIKASI ulserasi kulit gangren ekstremitas infark organ Pecahnya aneurisma (perdarahan intra-organ) Stroke Ensefalopati Mielopati gagal jantung infark miokard

10. pericarditis 11. Gastrointestinal (GI) perdarahan 12. infark usus 13. neuropati perifer

Academic DIvision | ORAGASTRA

84

Immunology
POLIMIALGIA REUMATIK (PMR) (Kompetensi 3A)

Etiologi Kelainan leukosit dalam darah, dalam hal ini leukosit berbalik menyerang sistem yang mengakibatkan tidak terlindunginya tubuh dari bakteri, jamur dan lain lain. Biasanya menyerang lapisan sendi tubuh yang akan mengarah kepada pembengkakan sendi. faktor hereditas. Tingkat sedimentasi eritrosit dan protein C reaktif yang rendah.

Epidemiologi/Prevalensi : Usia dibawah 50 tahun (jarang) Usia diatas 50 tahun Usia 60-70 tahun (paling banyak) Wanita 3 kali lebih beresiko

Gejala : Nyeri otot Kaku leher, bahu, dan pinggul (biasanya setelah istirahat) Demam Lemah otot Edema Tendonitis Tenosinovitis Penurunan berat badan Anemia

Diagnosis: ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) > 40mm/h

Academic DIvision | ORAGASTRA

85
-

Immunology
CRP (C reactive protein) USG MRI

Komplikasi : Kadang terjadi bersamaan dengan giant cell artritis, gejalanya seperti sakit kepala dan kaburnya penglihatan (jika GCA ini tidak diobati dapat beresiko kecil terhadap kebutaan atau stroke). Orang tua dengan penggunaan glukokortikoid tanpa pengawasan dapat menyebabkan efek buruk. Stroke.

Terapi : Pemberian prednisone (golongan glukokortikoid) 15-20 mg/hari . Namun dalam 3-6

minggu pertama dosis diturunkan misal dibawah 10 mg/hari dengan total terapi lamanya 2-3 tahun. Tiap 1 atau 2 bulan dosis obat diturunkan 1 mg sampai 2-3 tahun obat dihentikan. Dapat dibarikan juga obat anti-inflamasi non-steroid seperti Aspirin atau Ibuprofen. Obat ini harus digunakan setiap hari, meskipun penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan iritasi perut. Olahraga ringan dengan istirahat dapat membantu membawa kembali mobilitas sendi pada penderita. Olahraga juga meningkatkan kekuatan dan fungsi otot. Latihan pernapasan dalam dan pijat juga dapat menghilangkan stres dan mengendurkan otot yang terkena.

Terapi diet : Modifikasi diet juga cukup efektif dalam memerangi penyakit ini. Penambahan komponenkomponen yang dapat melawan penyebab polymyalgia rheumatica dapat membantu proses pengobatan. Antara lain : Vitamin E Mendorong kekuatan otot dan fleksibilitas. Vitamin C Hal ini meningkatkan kinerja pembuluh darah dan membantu memerangi peradangan.

Academic DIvision | ORAGASTRA

86

Immunology
Herbal Minyak herbal seperti Evening Primrose menciptakan anti-inflamasi yang membantu dalam mengurangi pembengkakan dengan cepat. Akar Claw Iblis juga telah terbukti sangat efektif dalam menyembuhkan gangguan rematik.

Prognosis : Polimialgia reumatik bukan suatu penyakit yang sangat serius dan jarang menyebabkan kerusakan permanen. Bahkan tanpa adanya pengobatan, penyakit ini dapat hilang setelah satu tahun atau beberapa tahun. Tetapi pengobatan diperlukan untuk mengontrol gejala. Namun, menghentikan pengobatan terlalu dini dapat menyebabkan kambuhnya penyakit ini. Kekambuhan umumnya langka dan terjadi 25 % pada pasien.

Academic DIvision | ORAGASTRA

87

Immunology
ANAFILAKSIS (Kompetensi 4A)

Anafilaksis adalah suatu respon klinis hipersensitivitas (Tipe I) yang akut, berat, dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat, sebuah reaksi antara antigen spesifik dan antinodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang bekerja secara farmakologis terhadap berbagai macam organ. Reaksi ini dipicu berbagai alergen seperti makanan (seafood atau kacang-kacangan), obat, sengatan serangga, atau juga lateks, bahkan latihan jasmani dan bahan diagnostik lain. Pada 2/3 pasien, pemicu spesifik tidak diketahui. Menurut WHO pada tahun 2003, anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas generalista atau sistemik yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis sendiri dibagi menjadi tiga, alergi, non alergi, dan idiopatik.

Anafilaksis

Alergi (Immunologi)

Non-ALergi (nonImmunologi)

Idiopatik

IgE, FcRI, makanan, serangga, lateks, obat

Lain-lain, darah, agregat imun, obat

Olahraga Fisik, dingin

Lain-lain, Obat

Tabel 1: Mekanisme anafilaksis manusia. (Diadaptasi dari Akib et al, 2010)

Anafilaksis alergi terjadi bila diperantarai suatu mekanisme imunologi, diperantarai IgE, atau diperantarai antibodi-IgE. Sedangkan anafilaksis non alergi (dahulu disebut anafilaktoid) diperantarai

Academic DIvision | ORAGASTRA

88

Immunology

penyebab non imunologi. Sedangkan anafilaksis idiopatik, yaitu anafilaksis yang tidak diketahui penyebabnya.

Penyebab reaksi anafilaksis/anafilaktoid Obat Hormon Darah/ Produk Darah Enzim Makanan Bisa

Contoh Antibiotik, aspirin dan NSAIDs lain, vaksin, obar perioperasi, antisera, opiat Insulin, progesterone IVIG (Immunogobulin Intravena) Streptokinase Susu, telur, soya, kacang tanah, kacang pohon, shelfish Lebah, semut api Lateks, kontras, membran dialisis, ekstrak

Lainnya

imunoterapi, protamin, cairan seminal manusia

Tabel 1: Penyebab anafilaksis manusia (Diadaptasi dari Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Akibat Aktivasi Komplemen Langsung Klasik

Sebab

Gamaglobulin (standar) (Agregasi IgG) Larutan Plasmaprotein (agregasi IgG) RCM (Radio Kontras) Anestesi IV Anafilaktoid oleh opiat, kontras,

Aktivasi bypass

Pelepasan Mediator Langsung Sel Mast Tanpa Melalui IgE

desferoksamin, taksol, pengganti volume koloid, gamaglobulin, antibiotik vankomisin (polimiksin), anestetik IV, pelemas otot, anestesi Lokal, asam asetilsalisilat, inhibitor

Academic DIvision | ORAGASTRA

89

Immunology
siklooksigenase, NSAIDs, onat yang meningkatkan arus mikrosirkulasi, telaksan, gelatin Akumulasi Bradikinin Produksi Leukotrin berlebihan Kerusakan Enzim Inaktivator C1 G6PD Kolinesterase Refleks Neuropsikogenik Reaksi Emboli-Toksis Reaksi Jarisch-Herxheimer Peningkatan Aliran Darah Bronkospasme Edema angioneurotik herediter Anemia Hemolitik Inkompatibilitas Suksinilkolin Anestesi Lokal Penisilin Depot (IV) Pengrusakan sel (Misal pada terapi sifilis dengan penisilin) Ester asam nikotinik Sulfit yang diinhalasi atau dimakan dan blocker Batuk dan Angioedem oleh ACE Inhibitor Aspirin yang menginduksi asma dan urtikaria

Tabel 2: Penyebab anafilaktoid (Diadaptasi dari Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Anafilaksis Perlu sensitisasi Jarang (<5%) Reaksi setelah pajanan berulang Gejala Klinis khas Dosis pemicu kecil

Anafilaktoid Tidak Perlu Sensitisasi Sering (>5%) Reaksi setelah pajanan pertama Gejala klinis tidak khas Tergantung dosis dan/atau kecepatan pemberian pada infuse

Ada kemungkinan riwayat keluarga Pengaruh fisiologis sedang

Tidak ada riwayat keluarga (kecuali defek enzim) Pengaruh fisiolofis kuat

Tabel 3: Perbedaan anafilaksis dan anafilaktoid (Diadaptasi dari: Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Academic DIvision | ORAGASTRA

90

Immunology

Pada reaksi anafilaksis biasanya terjadi Atopi, yaitu kecenderungan personal atau familial untuk tersensitasi dan memproduksi antibodi IgE sebagai respon pajanan alergen, biasanya protein. Individu ini dapat mengalami gejala khas berupa alergi makanan, asma, rinokonjungtivitis, atau dermatitis.

ETIOLOGI Penyebab anafilaksis sangat beragam, bisa berupa antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa, produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, neomisin, streptomisin, tetrasiklin, sulfonamid, dan lain lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rerumputan atau serum ATS, ADS, atau anti bisa ular. Beberapa bahan yang sering digunakan untuk prosedur diagnostik dan dapat menimbulkan anafilaksis misalnya zat radiopack, bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin. Anestetikum lokal contohnya prokain dan lidokain, sedangkan pada bisa adalah bisa ular, semut, dan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan kriospresipitat juga dapat menyebabkan anafilaksis. Pada makanan adalah susu sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur, dan udang.

PATOFISIOLOGI Dalam melihat patofisiologi anafilaksis, lebih jelas kalau kita lihat pengaruh mediator pada organ target seperti pada sistem kardiovaskuler, traktur respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Mediator anafilaksis Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat yang memacu peristiwa fisiologis yang menghasilkan gejala anafilaksis. Histamin Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin. Sel-sel yang mempunyai histamin dalam jumlah besar adalah sel gaster, trombosit, mast, dan basofil. Pada sel mast dan basofil histamin disimpan dalam lisosom dan dilepaskan melalui degranulasi setelah perangsangan cukup. Pengaruhnya cepat, selama 1 menit, dan inaktivasi histamin oleh histaminase juga berlangsung cepat. Reseptor histamin adalah H1 dan H2. H1 terdapat pada sel otot polos bronkiolo dan vaskular, reseptor H2 terdapat pada sel parietal gaster. Beberapa anti-histamin (seperti klorfeniramin)

Academic DIvision | ORAGASTRA

91

Immunology

menyukai H1 dan sisanya (seperti simetidin) menyukai H2. Reseptor histamin terdapat pada limfosit (terutama Ts) dan basofil. Histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi, dilatasi venula kecil, dan konstriksi akibat kontraksi otot polos dalam sistem vaskular besar, Lalu histamin akan meninggikan permeabilitas kapiler dan venuka pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare (Triple respons dari Lewis) dan bila terjadi secara sistemik akan menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus GI histamin meningkatkan sekresi mukosa lambung, dan bila histamin dilepaskan sistemik akan menyebabkan diare dan hipermotilitas. Nyewly synthesized mediator (Leukotrien, Prostaglandin, dan Tromboxan) Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan permebilitas, dan sekresi mukus. NSM berbeda dengan histamin, heparin, dan ECF-A. Mediator ini tidak ditemukan sebelumnya pada granula sel mast. NSM berasal dari fosfolipid membran sel yang disintesis oleh enzim fosfolipase A2 menjadi asam arakhidonat dan lyso-platelet activating factor (lyso-PAF). Lalu asam arakhidonat disintesis menjadi leukotrien oleh enzim lipooksigenase serta prostaglandin dan tromboxan oleh enzim siklooksigenase, sedangnya lyso-PAF menjadi PAF. Pengaruh dari mediator ini tidak dipengaruhi histamin dan tidak dihambat anti-histamin, pemberian epinefrin dapat menghalangi dan mengembalikan konstriksi karena NSM tersebut. Eosynophyl chemotacting Factor anaphylaxis (ECF-A) Sebelumnya telah terbentuk di granula sel mast dan dilepaskan ketika degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah reaksi anafilasis. Pada daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-antibodi yang ada dan menghalangi histamin dan NSM untuk bereaksi.

Platelets Activating Factor (PAF) PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah serta mengaktifkan FXII yang akan menginduksi pembuatan bradikinin Bradikinin Tidak ditemukan di sel mast manusia, aktivitasnya menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat, lama, dan hebat. Bradikinin menyebabkan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler yang menyebabkan timbul edema jaringan, serta merangsang serabut syaraf dan

Academic DIvision | ORAGASTRA

92

Immunology

menyebabkan rasa nyeri. Bradikinin meningkatkan produksi mukus di traktus respiratorius dan gaster. Reseptornya berbeda dengan histamin maupun NSM. Serotonin Tidak ditemukan di sel mast manusia, tapi dalam trombosit dan dikeluarkan ketika agregasi trombosit ataupun mekanisme lain. Serotonin menyebabkan kontraksi otot bronkus, namun pengaruhnya sebentar dan tidak begitu penting dalam anafilaksis. Prostaglandin Memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi pengaruh nukleotida siklik sel mast. Prostaglandind A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan E1 dan E2 menyebabkan dilatasi otot polos bronkus. Kalikrein Menghasilkan kinin yang memengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan tekanan darah.

GAMBARAN KLINIS Secara umum dapat berupa reaksi lokal dan sistemik. Lokal terdiri urtikaria dan angioedema pada daerah kontak alergen. Reaksi lokal dapat berat, tapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada organ seperti pada traktis respiratorius, kardiovaskuler, GI, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dengan waktu 30 setelah kontak dengan penyebab. Efek Mediator Histamin PAF Vasodilatasi, permeabilitas vaskuler meningkat Leukotrien C4, D4, E4 Neutral protease yang mengaktivasi kompleet dan kinin Prostaglandin D2 Leukotrien C4. D4, E4 Spasme otot polos Histamin Prostaglandind PAF

Academic DIvision | ORAGASTRA

93

Immunology
Sitokin, seperti TNF Leukotrien B4 Infiltrasi seluler Faktor kemostatik anafilaksis eosinofil dan neutrofil (ECF-A dan NCF-A) PAF

Tabel 4: Efek Mediator pada sel mast organ (Daiadaptasi dari: Akib et al, 2010)

Academic DIvision | ORAGASTRA

94

Immunology
DEMAM REUMATIK (Kompetensi 3A)

Gejala Kriteria Mayor

Polyarthritis bermigrasi: peradangan migrasi sementara dari sendi-sendi besar, biasanya dimulai di kaki dan bermigrasi ke atas. Karditis: peradangan otot jantung yang dapat bermanifestasi sebagai gagal jantung kongestif dengan sesak napas, perikarditis dengan menggosok, atau murmur jantung baru. Nodul subkutan: nyeri, koleksi perusahaan dari serat kolagen di atas tulang atau tendon. Mereka biasanya muncul di belakang pergelangan tangan, siku luar, dan bagian depan lutut. Eritema marginatum: ruam jangka panjang yang dimulai pada batang atau lengan sebagai makula dan menyebar ke luar untuk membentuk ular seperti cincin sementara kliring di tengah. Ruam ini tidak pernah dimulai pada wajah dan itu dibuat lebih buruk dengan panas.

Sydenham 's chorea (tarian St Vitus'): serangkaian karakteristik gerakan cepat tanpa tujuan wajah dan lengan. Hal ini dapat terjadi sangat terlambat dalam penyakit.

Kriteria minor

Demam Arthralgia: Nyeri sendi tanpa pembengkakan Dibesarkan tingkat sedimentasi eritrosit atau protein C reaktif Leukositosis EKG menunjukkan fitur blok jantung, seperti interval PR yang berkepanjangan Mendukung bukti infeksi streptococcus: tinggi atau naik antistreptolysin titer O atau DNAase, menghasilkan gejala demam rematik.

Diagnosis

Academic DIvision | ORAGASTRA

95

Immunology

Didahului dengan faringitis akut sekitar 20 hari sebelumnya, yang merupakan periode laten (asimtomatik), rata-rata onset sekitar 3 minggu sebelum timbul gejala. Diagnosis berdasarkan Kriteria Jones (Revisi 1992). Ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti infeksi streptokokus Grup A tenggorok positif + peningkatan titer antibodi streptokokus.

KRITERIA MAYOR

KRITERIA MINOR

Karditis Poliartritis Korea Eritema marginatum

Artralgia Demam Lab: ASTO > LED >, CRP +

Nodul subkutan (EKG: PR interval memanjang) o

Klasifikasi derajat penyakit (berhubungan dengan tatalaksana) 1. Artritis tanpa karditis 2. Artritis + karditis, tanpa kardiomegali 3. Artritis + kardiomegali 4. Artritis + kardiomegali + gagal jantung Tatalaksana Tatalaksana komprehensif pada pasien dengan demam rematik meliputi :

Pengobatan manifestasi akut, pencegahan kekambuhan dan pencegahan endokarditis pada pasien dengan kelainan katup. Pemeriksaan ASTO, CRP, LED, tenggorok dan darah tepi lengkap. Ekokardiografi untuk evaluasi jantung. Antibiotik: penisilin, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bagi pasien dengan alergi penisilin. Tirah baring bervariasi tergantung berat ringannya penyakit. Anti inflamasi: dimulai setelah diagnosis ditegakkan:

Academic DIvision | ORAGASTRA

96
o o

Immunology
Bila hanya ditemukan artritis diberikan asetosal 100 mg/kgBB/hari sampai 2 minggu, kemudian diturunkan selama 2-3 minggu berikutnya. Pada karditis ringan-sedang diberikan asetosal 90-100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4-6 dosis selama 4-8 minggu bergantung pada respons klinis. Bila ada perbaikan, dosis diturunkan bertahap selama 4-6 minggu berikutnya.

Pada karditis berat dengan gagal jantung ditambahkan prednison 2 mg/kgBB/hari diberikan selama 2-6 minggu.

Academic DIvision | ORAGASTRA

97

Immunology
ARTHRITIS RHEUMATOID (Kompetensi 3A)

ETIOLOGI Penyebab pasti arthritis rheumatoid tidak diketahui. Rheumatoid arthritis dipicu faktor-faktor yang bersamaan, termasuk respon autoimun abnormal, kerentanan genetik, dan beberapa pemacu atau lingkungan seperti infeksi virus atau perubahan hormon.

GEJALA Gejala rheumatoid arthritis adalah kaku yang berakhir minimal satu jam (kekakuan dari osteoarthritis, sebagai contoh, biasanya hilang dalam satu setengah jam). Bahkan setelah tidak bergerak pada beberapa saat, tubuh bisa kaku. Pergerakan lebih mudah setelah diregangkan. Swelling and Pain Pembengkakan dan kesakitan pada sendi terjadi paling sedikit 6 minggu setelah diagnosis dipertimbangkan. Sendi yang bengkak biasanya membesar dan sering terasa hangat ketika disentuh. Rasa sakit yang lain sering terjadi simetris tapi mungkin lebih parah pada salah satu sisi tubuh, tergantung tangan mana yang lebih sering digunakan oleh penderita. Specific Joints Affected Meskipun rheumatoid arthritis paling sering berkembang pada pergelangan tangan dan buku jari, lutut dan sendi bola kaki juga sering terkena efeknya. Sehingga banyak sendi terlibat, termasuk spina servik, bahu, siku, ujung jari, rahang, bahkan sendi antara tulang-tulang kecil dalam telinga. Rheumatoid arthritis biasanya tidak tampak pada ujung jari, seperti osteoarthritis pada umumnya, tapi sendi pada dasar jari sering sakit. Nodules Sekitar 20% penderita RA, pembengkakan pembuluh darah kecil bisa menyebabkan nodules, atau gumpalan di bawah kulit. Hal ini semacam seukuran kacang polong atau lebih lebar, dan jarang dekat dengan siku, meskipun bisa saja muncul di manapun. Nodul bisa terjadi selama penyakit berlangsung. Kadang-kadang, nodules bisa sakit dan terinfeksi sebagian jika terdapat pada tempattempat stres terjadi, misalnya pergelangan kaki. Pada kasus tertentu, nodul menggambarkan adanya

Academic DIvision | ORAGASTRA

98

Immunology

rheumatoid pembuluh darah, suatu kondisi yang mempengaruhi pembuluh darah dalam paru-paru, ginjal, atau organ lain. Fluid Buildup Cairan bisa terkumpul pada sebagian pergelangan kaki. Dalam hal tertentu, sendi di belakang lutut menimbun cairan dan membentuk sista Baker. Sista ini seperti tumor dan kadang-kadang memanjang ke belakang betis menyebabkan rasa sakit. Sista Baker sering terjadi pada orang-orang tanpa diagnosis RA. Flu-Like Symptoms Gejala seperti lelah, penurunan BB, dan demam mungkin menyertai RA pada awalnya. Beberapa orang menjelaskan dirinya mirip masuk angin atau flu kecuali gejala RA pada tahun-tahun berikutnya. Symptoms in Children Juvenil rheumatoid arthritis juga disebut Still's disease, biasanya demam tinggi dan kedinginan di sekitar rasa sakit dan pada banyak sendi, dapat disertai ruam kulit merah muda.

KOMPLIKASI RA tidak fatal, tapi komplikasi mungkin terjadi pada beberapa individu. Terapi RA efektif dalam melambatkan penyakit melemahkan ini, dan beberapa bahkan mencegah perusakan awal dengan mengurangi pembengkakan. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perusakan tulang dan ligamen serta beberapa deformitas.

DIAGNOSIS Tes darah dan sinar-x mungkin menunjukkan hasil normal untuk beberapa bulan setelah luka persendian. Sangat penting pula menentukan jenis RA-nya, benign (type 1) atau aggressive (type 2) berkaitan untuk terapi nantinya. Dalam menemukan diagnosis dari RA lebih mengarah untuk menemukan adanya kekakuan pada pagi hari, keterlibatan kerusakan tiga sendi dalam satu tempat, keterlibatan dua sisi dari tubuh, nodul subkutan, faktor rheumatoid positif, dan perubahan pada hasil sinar-x dibanding normal. Tes darah biasanya untuk menilai kokompleksan penyakit. Adapun tes darah yang dilakukan atau dicari hasilnya antara lain:

Academic DIvision | ORAGASTRA

99

Immunology

Rheumatoid Factor indikator kuat dari RA 2. Erythrocyte Sedimentation Rate Test Makin tinggi hasil, makin aktif inflamasinya. C-Reactive Protein hasil tinggi menunjukkan inflamasi aktif, sebaiknya mempertimbangkan index masa tubuh. Anti-CCP Antibody Test Antibody CCP mengidentifikasi RA sebelum gejalanya itu sendiri berkembang. Dengan kombinasi rheumatoid factor, antibody CCP adalah prediksi terbaik dari RA. Tests for Anemia Menemukan jumlah sel darah merah (hemoglobin dan hematocrit) dan besi (reseptor transferin terlarut danferritin serum) dalam darah. Cairan synovial mungkin membuktikan adanya kerusakan sendi. Imaging Techniques. X-Rays. Dexa Scans. Ultrasound. Magnetic Resonance Imaging.

TERAPI Terapi termasuk pengobatan dan perubahan gaya hidup. General Guidelines for Drug Treatments Many drugs are used for managing the pain and slowing the progression of rheumatoid arthritis, but none completely cure the disease. It is likely that no single drug will ever cure rheumatoid arthritis because of the many factors that affect the disease at various times. Tujuan terapi:

Mengurangi inflamasi Mencegah kerusakan tulang dan ligamen sendi Menjaga pergerakan sebebas mungkin dalam masa yang panjang

Kategori obat-obatan untuk RA: Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) : mengurangi inflamasi. Disease-Modifying Anti-Rheumatic Drugs (DMARDs) : memperlambat progresi

penyakitlebih efektif dari NSAIDs, tapi lebih banyak efek samping. Ex: Methotrexate (Rheumatrex, Trexall)

Academic DIvision | ORAGASTRA

100

Immunology
Biologic Response Modifiers (Biologic DMARDs), untuk pasien gagal respon terhadap DMARDs. Ex : anti-TNF tertentu termasuk infliximab (Remicade), etanercept (Enbrel), dan adalimumab (Humira). Biologic response modifiers lain di antaranya interleukin-1 antagonist anakinra (Kineret), T cell co-stimulation modulator abatacept (Orencia), dan rituximab (Rituxan), dengan target CD20-positive B cells.

Corticosteroids, or steroids, anti-inflammatory yang kuat. Ex: prednisone dan prednisolone.

Academic DIvision | ORAGASTRA

101

Immunology
JUVENILE CHRONIC ARTHRITIS (JCA) (Kompetensi 2)
Istilah Juvenile Chronic Arthritis atau Juvenile Idiopatic Arthritis banyak dipakai di Eropa,

sedangkan di Amerika disebut Arthritis Rheumatoid Juvenile (ARJ/JRA). Disebut juvenile karena diderita oleh anak usia di bawah 16 tahun. Disebut idiopatic karena kondisi ini tidak diketahui penyebabnya. Arthritis sendiri adalah inflamasi atau pembengkakan di daerah sinovial pada sendi. Maka, JCA didefinisikan sebagai sekelompok gangguan inflamasi sistemik yang diderita oleh anakanak di bawah usia 16 tahun. Ada 3 subtipe JCA, antara lain: a. b. c. Pauciarticular onset - dengan 4 atau kurang dari 4 sendi yang terlibat Polyarticular onset - dengan lebih dari 4 sendi yang terlibat Onset sistemik - dengan demam, ruam dan arthritis

Gejala Gejala dari penyakit ini dapat dilihat pada tabel. Terdapat sedikit perbedaan kriteria, menurut Amerika (ACR) da menurut Eropa (EULAR).

Academic DIvision | ORAGASTRA

102

Immunology

Patofisiologi

Patogenesis : Patogenesis pada JCA belum banyak diketahui. Namun, diyakini bahwa penyakit ini berhubungan dengan respon imun. Tanda-tandanya yaitu ditemukannya antibodi antinuclear (ANA), faktor

rheumatoid (RF) dan antibodi heat schock protein. Di samping itu juga terdapat peran dari sel T yang autoreaktif. Namun, belum ditemukan dengan jelas mengapa sel T mengalami autoreaksi. Kemungkinan yaitu karena infeksi virus atau bakteri tertentu. Terdapat dua tipe sel T, berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, yaitu : 1. 2. Sel T tipe 1 : lebih banyak melepas sitokin IL-2, IFN- dan TNF- Sel T tipe 2 : lebih banyak melepas sitokin IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13

dan pada JCA, kecuali pada pausiarticular, sel T tipe 2 dominan. Jadi tanda-tanda dari penyakit ini secara lebih rinci adalah karena adanya sel mononuklir, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblas makrofag serta mediator inflamasi, seperti IL-2, IL-6, TNF-, dan GM-CSF pada sinovium yang mengalami artritis. Kemokin juga diduga berperan pada patogenesis JCA. Kemokin sendiri yaitu factor penentu migrasi subtipe sel T. Reseptor kemokin yang bekerja pada sel T tipe 2 yaitu reseptor CCR3, CCR4 dan CCR8. Pada sel T tipe 1 adalah reseptor CXCR3 dan CCR5. Sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggungjawab pada kedua tipe sel T. Pada penelitian berikutnya, disebutkan bahwa JCA CCR4 sel T berperan dalam penentuan subtipe.

Etiologi

Penyebab dari JCA masih merupakan misteri. Namun, telah diketahui bahwa sel T mengalami autoreaktif sehingga menghancurkan jaringan tubuh sendiri. Jaringan tubuh yang dimaksud terutama adalah sendi. Penelitian berikutnya menunjukkan bahwa virus menyebabkan mutasi gen tertentu yang kemudian dapat menyebabkan JCA. Faktor risiko untuk menderita JCA, yaitu : Genetik Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa biasanya faktor risiko terkena JCA lebih tinggi apabila ada anggota keluarga yang telah menderita JCA. Sirosis hati Perempuan memiliki faktor risiko lebih tinggi daripada laki-laki Stress psikologis memperburuk keadaan JCA

Academic DIvision | ORAGASTRA

103

Immunology
Hormon seks, karena JCA lebih sering terjadi pada wanita Idiopatik JCA muncul secara tiba-tiba pada seorang individu.

Cara diagnosis Penentuan diagnosis dari JCA dinilai dari dua hal. a. Kriteria klinis Kriteria klinis kita lihat dari gejala-gejala pasien. Apakah anak ada gejala radang sendi, tanda-tanda iridocyclitis, adenopati generalisata, splenomegali atau demam yang berlangsung beberapa hari. b. Antibodi antinuclear (ANA) dan faktor rheumatoid (RF) Tes ini membantu dalam mendiagnosis subtipe JCA. Pada subtype onset sistemik, tidak ditemukan RF dan ANA. Dalam pauciarticular onset JCA, ditemukan ANA sampai dengan 75% tetapi tidak ditemukan RF. Dalam polyarticular onset JCA, RF biasanya negatif, tetapi pada beberapa pasien, sebagian besar gadis remaja, bisa positif.

Diagnosis Pembanding

Academic DIvision | ORAGASTRA

104

Immunology

http://www.arthritis.co.za/jra.htm http://www.merckmanuals.com Phelan J, Thompson S (2006). "Genomic progress in pediatric arthritis: recent work and future goals". Curr Opin Rheumatol 18 (5): 4829.

Academic DIvision | ORAGASTRA

105

Immunology
HENOCH-SCHOENLEIN PURPURA (Kompetensi 2)

Definisi Purpura Henoch-Schonlein merupakan penyakit autoimun (IgA mediated) berupa

hipersensitivitas vaskulitis, paling sering ditemukan pada anak-anak. Merupakan sindrom klinis kelainan inflamasi vaskulitis generalisata pembuluh darah kecil pada kulit, sendi, saluran cerna, dan ginjal, yang ditandai dengan lesi kulit spesifik berupa purpura nontrombositopenik, artritis, artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan saluran cerna, dan kadang-kadang disertai nefritis atau hematuria (Yuli, 2012). http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf

Gejala Klinis Pada 1/2 - 2/3 kasus pada anak ditandai dengan infeksi saluran napas atas yang muncul 13 minggu sebelumnya berupa demam ringan dan nyeri kepala. Artralgia dan artritis ditemukan pada 68-75% kasus dan 25% nya merupakan keluhan penderita saat datang berobat. Timbul mendahului kelainan kulit (1-2 hari); terutama mengenai lutut dan pergelangan kaki, dapat pula mengenai pergelangan tangan, siku, dan persendian jari tangan. Sendi-sendi bengkak dan nyeri, bersifat sementara dan tidak menimbulkan deformitas yang menetap. Kelainan kulit ditemukan pada 95-100% kasus, 50%nya merupakan keluhan penderita saat datang berobat; berupa macular rash simetris terutama di kulit yang sering terkena tekanan yaitu bagian belakang kaki, bokong, dan lengan sisi ulna. Dalam 24 jam makula berubah menjadi lesi purpura, mula-mula berwarna merah, lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-kuningan lalu menghilang; dapat timbul kembali kelainan kulit baru. Kelainan kulit dapat pula ditemukan di wajah dan tubuh, dapat berupa lesi petekie dan ekimotik, dapat disertai rasa gatal (pruritic rash). Keluhan perut ditemukan pada 35-85% kasus; biasanya timbul sesudah kelainan kulit (1-4 minggu sesudah onset). Nyeri perut dapat berupa kolik abdomen di periumbilikal, disertai

Academic DIvision | ORAGASTRA

106

Immunology

mual dan muntah (85%). Pada 2-3% kasus dapat ditemukan intususepsi ileoilial atau ileokolonal. Diare berdarah dapat menyertai pruritic rash. Pada 20-50% kasus ditemukan angioedema wajah (kelopak mata, bibir) dan ekstremitas (punggung tangan dan kaki). Kelainan ginjal ditemukan pada 50% kasus anak yang lebih besar dan 25 % ditemukan pada anak usia < 2 tahun; < 1 % berkembang menjadi gagal ginjal. Biasanya terjadi setelah 3 bulan onset penyakit atau 1 bulan setelah onset ruam kulit. Adanya kelainana kulit yang persisten sampai 2-3 bulan biasanya berhubungan dengan nefropati atau penyakit ginjal berat. Mungkin ditemukan hematuri dengan proteinuri derajat ringan sampai berat; dapat terjadi sindrom nefrotik. Risiko nefritis meningkat pada usia onset di atas 7 tahun, lesi purpura menetap, keluhan abdomen yang berat dan penurunan faktor XIII. Jarang terjadi oliguri dan hipertensi. Kelainan skrotum menyerupai testicular torsion; edema skrotum dapat terjadi pada awal penyakit (2-35%). Kelainan susunan saraf pusat dan paru-paru jarang terjadi (Yuli, 2012). http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf

Etiologi Sampai saat ini masih belum diketahui pasti; IgA diduga berperan penting, ditandai dengan peningkatan konsentrasi IgA serum, kompleks imun, dan deposit IgA pada dinding pembuluh darah dan mesangium ginjal (Yuli, 2012). http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf

Patofisiologi Renal/skin biopsy: immune deposit complex (contains IgA). Complement activation (alternative pathway) mediator inflammation activation (vascular prostaglandin) small vascular inflammation in the skin, renal, joint dan abdominal skin purpura, nephritis, arthritis and GIT bleeding. Histologist: vascular leukocitoclastic.

Pediatrics Department Medical Faculty Sumatera Utara University

Academic DIvision | ORAGASTRA

107

Immunology
Patogenesis HSP adalah terjadinya vaskulitis leukositoklastik pada pembuluh darah kecil yang ditandai dengan endapan kompleks imum yang mengandung IgA pada organ yang terlibat. Adapun gejala yang timbul adalah akibat dari kerusakan pembuluh darah kecil pada organ yang terlibat utamanya pada kulit, sendi, gastro-intestinal dan ginjal. http://ppdsikafkunud.com/henonch-schonlein-purpura

Cara diagnosis A. Kriteria American College of Rheumatology 1990: Bila memenuhi minimal 2 dari 4 gejala, yaitu: 1. 2. 3. 4. B. Palpable purpura non trombositopenia Onset gejala pertama < 20 tahun Bowel angina Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula

Kriteria European League Against Rheumatism (EULAR) 2006 dan Pediatric Rheumatology Society (PreS) 2006 1. 2. Palpable purpura harus ada Diikuti minimal satu gejala berikut: nyeri perut difus, deposisi IgA yang predominan (pada biopsi kulit), artritis akut dan kelainan ginjal (hematuria dan atau proteinuria).

(Yuli, 2012) http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf

Komplikasi Akibat terapi pemberian steroid, dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut : Hipertensi Hiperglikemi Obesitas Moon face Osteoporosis Munculnya jerawat Miopathy

Academic DIvision | ORAGASTRA

108
-

Immunology
Hirsutism Pseudomotor cerebri Katarak Glaucoma Retardasi mental

Pediatrics Department Medical Faculty Sumatera Utara University Pemeriksaan Diagnosis Purpura Henoch-Schonlein berdasarkan gejala klinis, tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik. Pemeriksaan darah tepi lengkap dapat menunjukkan leukositosis dengan eosinofilia dan pergeseran hitung jenis ke kiri; jumlah trombosit normal atau meningkat, hal ini yang membedakan HSP dengan ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura). Laju endap darah dapat meningkat. Kadar ureum dan kreatinin dapat meningkat, menunjukkan kelainan fungsi ginjal atau dehidrasi. Pada 10-20% penderita ditemukan hematuri atau proteinuri. Ditemukan darah pada feses. Dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi abdomen untuk mendiagnosis intususepsi. Pemeriksaan Doppler atau radionuclide testicular scan menunjukkan aliran darah normal atau meningkat, hal ini yang membedakan HSP dengan torsi testis (Yuli, 2012). http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_194Purpura%20Henoch-Schonlein.pdf

Academic DIvision | ORAGASTRA

109

Immunology
ERYTHEMA MULTIFORME
(Kompetensi 2)

A.

DEFINISI Erythema multiforme adalah salah satu dari dua kelainan yang ditandai oleh erupsi mendadak papul-papul eritematosa, yang sebagian di antaranya berkembang menjadi lesi target yang terdiri atas papul di bagian tengah dikelilingi oleh cincin-cincin diskolorasi. Keduanya mencerminkan reaksi kulit dan membran mukosa terhadap berbagai faktor, misalnya infeksi kulit oleh virus (terutama herpes simpleks); bahan (termasuk obat) yang ditelan atau mengiritasi kulit; keganasan; atau kehamilan.

B.

GEJALA DAN TANDA KLINIS Ruam dari erithema multiforme dapat dikenali dari spots yang terlihat seperti target kecil (target lessions). Bintik ini mempunyai warna merah kehitaman pada pusat, area pucat di sekelilingnya, dan cincin merah gelap yang mengelilingi tepi. Eritema multiforme biasanya mild (erythema multiforme minor)-dengan sedikit bintik, menyebabkan masalah kecil dan cepat hilang- tetapi ada juga tipe erythema yang cukup parah (erythema multifrome mayor) yang menyerang mukosa bibir, mulut, genital, dan konjungtiva. Erythema multiforme biasanya asimptomatik, namun dapat juga menimbulkan rasa gatal dan nyeri.

C.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Pada anak-anak dan erythema multiforme minor, infeksi beberapa hari sebelumnya merupakan penyebab yang paling umum, biasanya disebabkan karena herpes simplex. Erythema multiforme mayor dapat terjadi akibat reaksi obat-obatan. Obat-obatan yang paling sering menyebabkan erythema multiforme adalah obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi (seperti sulfonamides, tetracyclines, amoxicillin, and ampicillin). Non-steroidal antiinflammatory drugs (diberikan untuk sendi dan muscular) dan anticonvulsants (digunakan untuk pengobatan epilepsy) dapat juga menyebabkan reaksi.

Academic DIvision | ORAGASTRA

110

Immunology
Jika membran mukosa bibir, mulut, genital, dan konjungtiva terserang, maka pasien ini keadaannya toksik dan demam (sindrom Steven-Johnsons). Keadaan ini dapat mengakibatkan terbentuknya jaringan parut pada kornea. Lesi-lesi makulopapular dapat menyatu, membentuk daerah bula dan nekrosis yang luas. Keadaan ini disebut nekrolisis epidermal toksik (TEN).

D.

CARA DIAGNOSIS Tidak ada tes darah spesifik untuk erythema multiforme. Diagnosis biasanya berdasarkan bagaimana ruam terlihat dan terdistribusi. Kadang-kadang perlu untuk mengambil sample kecil dari kulit dianestesi lokal untuk menegaskan diagnosis di bawah mikroskop.

E.

KOMPLIKASI Komplikasi eritema multiforme adalah hiperpigmentasi pascainflamasi, keratitis dengan gangguan penglihatan dan pneumonia.

Sumber : British Association of Dermathologists (2013). Erythema Multiforme.

http://www.bad.org.uk/site/816/default.aspx - diakses pada April 2013. Dorland (2010). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta: EGC. Price SA, Wilson LM (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC.

Academic DIvision | ORAGASTRA

111

Immunology
HIV (Kompetensi 4)

Pengertian Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang ditularkan melalui darah biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, berbagi kepemilikan obat intravena, dan ibu-ke-bayi penularan (MTCT), yang dapat terjadi selama proses kelahiran atau selama menyusui. Penyakit HIV disebabkan oleh infeksi HIV-1 atau HIV-2, yang merupakan retrovirus dalam keluarga Retroviridae, Lentivirus genus.

Latar belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang ditularkan melalui darah, virus menular seksual (lihat gambar di bawah). Virus ini biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, berbagi kepemilikan obat intravena, dan ibu-ke-bayi penularan (MTCT), yang dapat terjadi selama proses kelahiran atau selama menyusui.

Gambar mikroskop elektron human immunodeficiency virus (HIV) -1 virion. Courtesy of CDC / Dr. Edwin P. Ewing, Jr

Rute infeksiyang paling umumbervariasi dari satu negara ke Negara lain, bahkan antara kota-ke kota, mencerminkan populasi di mana HIV diperkenalkan awalnya dan praktek setempat. Co-infeksi dengan virus lain yang memiliki rute penularan infeksi yang mirip, seperti hepatitis B, hepatitis C, dan virus herpes manusia 8 (HHV8, juga dikenal sebagai Kaposi sarcoma virus herpes [KSHV]), adalah umum. Dua jenis yang berbeda dari HIV (HIV-1 dan HIV-2) telah diidentifikasi, dan masing-masing terdiri dari beberapa subtipe, atau clades.Semua clades HIV-1 cenderung menyebabkan penyakit yang mirip,

Academic DIvision | ORAGASTRA

112

Immunology

namun distribusi global clades berbeda. Hal ini mungkin memiliki implikasi pada setiap vaksin masa depan.Sebagai clade B, yang dominan di negara maju (di mana perusahaan farmasi besar berada), jarang ditemukan di negara-negara berkembang yang lebih parah terkena penyakit. HIV-1 mungkin berasal dari satu atau lebih transfer lintas-spesies dari simpanse di Afrika Tengah. [9] HIV-2 berkaitan erat dengan virus yang menginfeksi mangabeys di Afrika Barat. [10] Secara genetik, HIV-1 dan HIV-2 terlihat serupa, tetapi masing-masing mengandung gen yang unik dan proses replikasi yang berbeda. HIV-2 membawa risiko sedikit lebih rendah padapenularannya, dan infeksi HIV-2 cenderung berkembang lebih lambat untuk acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Hal ini mungkin karena infeksi kurang agresif daripada properti spesifik dari virus itu sendiri.Orang yang terinfeksi HIV-2 cenderung memiliki viral load yang lebih rendah dibandingkan orang dengan HIV-1 [11, 12], dan viral load yang lebih besar dikaitkan dengan kemajuan yang lebih cepat menjadi AIDS HIV-1 infeksi [13, 14]. HIV-2 jarang terjadi di negara maju.Akibatnya, sebagian besar penelitian dan vaksin dan pengembangan obat telah difokuskan pada HIV-1(mungkin tidak adil).

Tanda dan gejala Pasien dengan HIV dapat hadir dengan tanda-tanda dan gejala dari setiap tahap infeksi HIV.Tidak ada temuan fisik khusus untuk infeksi HIV, temuan fisik itu mencerminkan/menyajikan infeksi atau penyakit. Manifestasinya meliputi: o serokonversi akut bermanifestasi pada berbagai penyakit seperti flu, yang terdiri dari demam, malaise, dan ruam umum o o o Tahap asimtomatik umumnya jinak limfadenopati AIDS bermanifestasi terhadap pengulangan suatu penyakit dan kadang-kadang menimbulkan infeksi yang mengancam jiwa atau bahkan kanker oportunistik o Infeksi HIV dapat menyebabkan beberapa gejala sisa, termasuk terkait AIDS demensia / ensefalopati dan HIV wasting sindrome (diare kronis dan penurunan berat badan tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi)

Academic DIvision | ORAGASTRA

113

Immunology

Beberapa faktor risiko yang mungkin untuk HIV, diantaranya: o o o o o o o hubungan seksual tanpa kondom, hubungan seks dubur reseptif terutama Memiliki banyak pasangan seksual Riwayat kepemilikan penyakit menular seksual PMS) Berbagi intravena (IV) kepemilikan obat Transfusi darah (sebelum tahun 1985 di Amerika Serikat) kontak mukosa dengan darah yang terinfeksi atau luka karena jarum suntik Infeksi HIV Ibu (untuk bayi baru lahir, bayi, dan anak-anak)

Diagnosa Rekomendasi skrining HIV meliputi: o AS Preventive Services Task Force (USPSTF) sangat menganjurkan para klinisi untuk melakukan screening untuk HIV untuk semua remaja dan orang dewasa yang memiliki risikotinggi untuk terinfeksi HIV, dan pada semua wanita hamil o Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit/The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan skrining opt-out HIV untuk pasien di semua fasilitas pelayanan kesehatan, orang yang beresiko tinggi terinfeksi HIV harus diskrining setidaknya setiap tahun. o The American College of Physicians (ACP) merekomendasikan para klinisi untuk mengadopsi skrining rutin HIV dan mendorong semua pasien agar mau diuji

Enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA) yang memiliki sensitivitas tinggi harus digunakan untuk screening. Sebuah hasil positif harus diikuti dengan konfirmasi hasil pengujian lain (misalnya, tes western blot atau uji similar specific); HIV-2 harus diuji pada pasien yang berasal dari daerah endemic HIV-2 atau mereka yang menunjukkan hasil tak tentu pada pengujian Western Blot HIV-1-nya. Deteksi dini menggunakan layar kombinasi mungkin lebih efektif daripada hanya menggunakan serologi. Jumlah CD4 T-sel mencerminkan besar kecilnya risiko tertular infeksi oportunistik, diantarnya sebagai berikut: o rentang Referensi, 500-2000 sel / uL

Academic DIvision | ORAGASTRA

114
o

Immunology
Karena jumlah CD4 bervariasi, jumlah seri umumnya ukuran yang lebih baik daripada perubahan yang signifikan

Setelah serokonversi, jumlah CD4 cenderung menurun (~ 700/L) dan terus menurun dari waktu ke waktu

o o

Untuk pengawasan, jumlah CD4 di bawah 200/L dianggap terdefinisi AIDS di Amerika Serikat Pada anak-anak yang lebih muda dari umur 5 tahun, persentase sel T CD4 dianggap lebih penting daripada jumlah absolutnya (<25% dianggap menjamin keberhasilan terapi)

Pada orang dewasa dengan hepatitis C kronis dan T-selCD4-nya mutlak bernilai rendah, persentase CD4 juga mungkin lebih berguna.

Viral load dalam darah perifer digunakan sebagai penanda pengganti tingkat replikasi virus, namun tes viral loadkuantitatif tidak boleh digunakan sebagai alat diagnostik. Relevansi klinisnya adalah sebagai berikut: o Tingkat perkembangan AIDS dan kematian terkait dengan viral load: pasien dengan viral load yang lebih besar dari 30.000 / uL 18,5 kali lebih mungkin meninggal karena AIDS dibandingkan dengan viral load yang tidak terdeteksi. o Dengan terapi, viral load sering dapat ditekan ke tingkat tidak terdeteksi (<20-75 eksemplar / mL; penekanan virus yang optimal); penghambatan keseluruhan dari replikasi virushampir mustahil dan mungkin tidak diperlukan o pasien Berhasil diobati dapat menunjukkan intermiten viremia tingkat rendah (misalnya, <400 kopi / mL), tapi ini tidak dianggap mewakili replikasi virus atau untuk memprediksi kegagalan virologi (didefinisikan sebagai viral load dikonfirmasi> 200 kopi / mL Studi-studi dasar untuk infeksi lain yang penting dalam pemeriksaan awal pasien yang baru didiagnosis infeksi HIV adalah sebagai berikut: o o o o o o Purified protein derivative (PPD) , tes kulit untuk TBC pengujianCytomegalovirus (CMV) pengujian Sifilis amplifikasi pengujian cepat untuk infeksi gonokokal dan klamidia Hepatitis A, B, dan C serologi antibodi Anti-Toxoplasma

Academic DIvision | ORAGASTRA

115
o

Immunology
Pemeriksaan Ophthalmologic

CDC mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi 3 kategori, yaitu sebagai berikut: o o Kategori A: infeksi HIV asimtomatik tanpa riwayat gejala atau kondisi terdefinisi AIDS Kategori B: infeksi HIV dengan gejala yang dapat diatribusikan secara langsung terhadap infeksi HIV (atau cacat dalam imunitas sel-T-mediated) atau oleh infeksi HIVyang rumit o Kategori C: infeksi HIV dengan AIDS infeksi oportunistik terdefinisi

Berikut ini 3 kategori pembagian berdasarkanjumlah CD4 + T-sel, yaitu sebagai berikut: >500/L: Kategori A1, B1, C1 200-400/L: Kategori A2, B2, C2 <200/L: Kategori A3, B3, C3

Pengelolaan Beriut guidline pananganan dan pengelolaan HIV menurut Current Department of Health and Human Services (DHHS): o Antiretroviral therapy harus dimulai pada semua pasien dengan riwayat penyakit terdefinisi AIDS atau dengan jumlah CD4 di bawah 350/L o Antiretroviral therapy harus dimulai terlepas dari jumlah CD4 pada pasien hamil, pasien dengan nefropati terkait HIV, dan mereka dengan virus (HBV) koinfeksi hepatitis B ketika pengobatan infeksi HBV diindikasikan o Panel terbagi atas inisiasi terapi dengan jumlah CD4 350-500/L, 55% menganggap ini rekomendasi yang kuat, 45% menganggap hal itu sebagai rekomendasi moderat. o Panel juga dibagi pada inisiasi terapi dengan jumlah CD4 di atas 500/L: setengah menyukai inisiasi dalam pengaturan ini, dan setengah yang lain mempertimbngkan terapi inisiasi opsional.

Terapi antiretroviral (ART) adalah metode utama untuk mencegah kerusakan kekebalan. Kelas ARV meliputi: Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)

Academic DIvision | ORAGASTRA

116

Immunology

Protease inhibitor (PI) nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) Fusion inhibitor koreseptor CCR5 antagonis (inhibitor entry) integrase inhibitor mentransfer untai HIV

Current DHHS guidelines list the following regimens as preferred in treatment-naive patients: Efavirenz / tenofovir / emtricitabine Ritonavir yang dikuatkan atazanavir plus tenofovir / emtricitabine Ritonavir-darunavir yang dikuatkan plus tenofovir / emtricitabine Raltegravir plus tenofovir / emtricitabine

Regimen selection is individualized on the basis of the following : virologi khasiat Keracunan beban Pill Dosis frekuensi potensi interaksi obat-obat Hasil tes resistansi obat Kondisi penyerta Dalam kasus tertentu, profilaksis diindikasikan untuk infeksi oportunistik tertentu, termasuk yang berikut: o o o o Pneumocystis jiroveci Toxoplasma Mycobacterium avium complex jamur dan virus infeksi: Meskipun profilaksis untuk infeksi ini tidak secara rutin diperlukan, beberapa menyarankan flukonazol pada pasien dengan jumlah CD4 T-sel di bawah 50/L untuk mencegah infeksi candida atau kriptokokal dan untuk melindungi terhadap infeksi jamur endemik; lisan gansiklovir diindikasikan untuk CMV profilaksis pada pasien dengan AIDS lanjut

Academic DIvision | ORAGASTRA

117

Immunology

Tindakan pengobatan tambahan meliputi: Pengobatan infeksi oportunistik (diarahkan pada patogen tertentu) Pengobatan lipodistrofi HIV (tesamorelin) Terapi supresif untuk herpes simplex virus 2 (HSV-2) Infeksi (acyclovir) Pengobatan HIV-terkait diare (crofelemer)

The CDC has recommended basic and expanded HIV postexposure prophylaxis (PEP) regimens. An overview of these recommendations is as follows: o Dasar PEP 2-rejimen obat: Zidovudine ditambah lamivudine, AZT plus emtricitabine, tenofovir plus lamivudine, atau tenofovir plus emtricitabine o Alternatif dasar rejimen PPP: Lamivudine ditambah stavudine, lamivudine ditambah ddI, emtricitabine ditambah stavudine, atau emtricitabine ditambah ddI o Expanded rejimen PPP: Basic rejimen PPP plus lopinavir-ritonavir

An alternative expanded PEP regimen includes the basic PEP regimen plus one of the following: Atazanavir dengan atau tanpa ritonavir Fosamprenavir dengan atau tanpa ritonavir Indinavir dengan atau tanpa ritonavir Saquinavir dengan atau tanpa ritonavir Nelfinavir Efavirenz

Academic DIvision | ORAGASTRA

Anda mungkin juga menyukai