DAFTAR ISI...................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan...........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem imun merupakan sistem koordinasi respons biologik yang bertujuan
melindungi integritas dan identitas individu serta mencegah invasi organisme dan
zat yang berbahaya di lingkungan yang dapat merusak dirinya. Sistem imun
mempunyai sedikitnya 3 fungsi utama. Yang pertama adalah suatu fungsi yang
sangat spesifik yaitu kesanggupan untuk mengenal dan membedakan berbagai
molekul target sasaran dan juga mempunyai respons yang spesifik. Fungsi kedua
adalah kesanggupan membedakan antara antigen diri dan antigen asing. Fungsi
ketiga adalah fungsi memori yaitu kesanggupan melalui pengalaman kontak
sebelumnya dengan zat asing patogen untuk bereaksi lebih cepat dan lebih kuat
daripada kontak pertama.
Guna menjaga integritas dan identitas individu diperlukan suatu sistem pertahanan
tubuh yang adekuat. Mekanisme imunitas terhadap antigen yang berbahaya
meliputi pertahanan fisik dan kimiawi, simbiosis dengan bakteri flora normal,
innate immunity serta imunitas spesifik yang didapat, terdiri dari imunitas
humoral serta imunitas selular (cell mediated immunity). Antigen Major Histo
Compatibility (MHC) berperan pada presentasi antigen oleh makrofag. Respons
imun terhadap bakteri meliputi bakteri ekstra seluler dan intra selular. Pada infeksi
bakteri yang berat dapat terjadi kelelahan respons imun (exchaustion), dalam
keadaan ini pemberian terapi penunjang imunoglobulin intra vena dapat
dipertimbangkan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka penyusun merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Pertahanan terhadap infeksi
2. Faktor hospes dan jasa renik pada infeksi
3. Cara mikroorganisme menyebabkan kematian
1
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Pertahanan terhadap infeksi
2. Untuk mengetahui Faktor hospes dan jasa renik pada infeksi
3. Untuk mengetahui Cara mikroorganisme menyebabkan kematian
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat
melalui kelenjar keringat dan sebasea, sekresi lendir, pergerakan silia,
sekresi airmata, air liur, urin, asam lambung serta lisosim dalam airmata.
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat
mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ.
3. Innate immunity.
4. Imunitas spesifik yang didapat
Innate Immunity
3
Imunitas Spesifik Didapat
1. Imunitas humoral
Produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T
dependent).
2. Cell mediated immunity (CMI)
Sel limfosit T berperan pada mekanisme imunitas ini melalui:
1. Produksi sitokin serta jaringan interaksinya.
2. Sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan
interleukin 6 (IL-6).
4
Telah disebutkan di atas bahwa respons imun terhadap sebagian besar antigen
hanya dimulai bila antigen telah ditangkap dan diproses serta dipresentasikan oleh
sel APC. Oleh karena itu sel T hanya mengenal imunogen yang terikat pada
protein MHC pada permukaan sel lain. Ada 2 kelas MHC yaitu
1. Protein MHC kelas I. Diekspresikan oleh semua tipe sel somatik dan
digunakan untuk presentasi antigen kepada sel TCD8 yang sebagian besar
adalah sel sitotoksik. Hampir sebagian besar sel mempresentasikan antigen
ke sel T sitotoksik (sel Tc) serta merupakan target/sasaran dari sel Tc
tersebut.
2. Protein MHC kelas II. Diekspresikan hanya oleh makrofag dan beberapa sel
lain untuk presentasi antigen kepada sel TCD4 yang sebagian besar adalah
sel T helper (Th). Aktivasi sel Th ini diperlukan untuk respons imun yang
sesungguhnya dan sel APC dengan MHC kelas II merupakan poros penting
dalam mengontrol respons imun tersebut.
Syarat timbulnya infeksi adalah bahwa organisme yang menular harus mampu
melekat, menduduki atau memasuki hospes dan berkembang biak paling tidak
sampai taraf tertentu. Karena itu tidaklah mengherankan, bila dalam perjalanan
evolusi, spesies hewan termasuk manusia, sudah mengembangkan mekanisme
pertahanan tertentu pada berbagai tempat yang berhubungan dengan lingkungan.
1. KULIT DAN MUKOSA OROFARING
Batas utama antara lingkungan dan tubuh manusia adalah kulit. Jelas bahwa kulit
yang utuh memiliki lapisan keratin atau lapisan tanduk pada permukaan luar dan
epitel berlapis gepeng sebagai barier mekanis yang baik sekali terhadap infeksi.
Biasanya sulit sekali jasad renik untuk menembus barier mekanis ini. Namun jika
terjadi luka iris abrasi atau maserasi (seperti pada lipatan tubuh yang selalu basah)
dapat memungkinkan agen menular masuk. Selain sebagai barier sederhana, kulit
juga mempunyai kemampuan tertentu untuk melakukan dekontaminasi terhadap
dirinya sendiri. Jadi organisme yang melekat pada lapisan luar kulit (dengan
anggapan bahwa mereka tidak mati kalau menjadi kering) akan dilepaskan pada
5
waktu lapisan kulit mengelupas. Selain dekontaminasi fisik ini terdapat juga
dekontaminasi kimiawi yang terjadi karena tubuh berkeringat dan sekresi kelenjar
sebasea sehingga membersihkan kulit dari kuman. Akhirnya, kulit juga memiliki
flora normal yang dapat menimbulkan pengaruh dekontaminasi biologis dengan
manghalangi pembiakan organisme-organisme lain yang melekat pada kulit.
Pelapisan mulut dan sebagian besar faring serupa dengan kulit karena merupakan
epitel berlapis banyak yang merupakan barier mekanis yang baik sekali untuk
menanggulangi invasi jasad renik. Namun, barier mekanis ini sebenarnya
memiliki kelemahan di sepanjang gusi dan di daerah tonsil, sehingga dapat
diterobos oleh kuman. Mukosa orofaring juga didekontaminasi oleh aliran air liur
dengan mudah menghanyutkan partikel-partikel secara mekanis. Selain itu,
terdapat zat-zat dalam saliva yang menghambat mikroorganisme tertentu.
Akhirnya, mulut dan faring juga memiliki banyak flora normal yang dapat bekerja
untuk menghalangi pertumbuhan beberapa kuman yang potensial.
2. SALURAN PENCERNAAN
Mukosa lambung merupakan kelenjar dan tindak merupakan barier mekanis yang
baik. Sering terjadi defek-defek kecil atau erosi pada lapisan lambung, tetapi tidak
berarti banyak pada proses infeksi, sebab suasana lambung sendiri sangat tidak
sesuai untuk banyak mikroorganisme. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh
keasaman lambung yang tinggi. Disamping itu, lambung cenderung memindahkan
isinya ke usus halus dengan proses yang relatif cepat. Lapisan usus halus juga
bukan barier mekanis yang baik, dan secara mudah dapat ditembus oleh banyak
bakteri. Namun, gerakan peristaltik untuk mendorong isi usus berlangsung cepat
sekali, sehingga populasi bakteri dalam lumen dipertahankan tetap sedikit. Bila
motilitas usus terganggu, maka jumlah jasad renik dalam usus halus akan
meningkat dengan tajam, dan kemudian dapat meninvasi mukosa. Ada berbagai
hal lain yang membantu proses pendorongan yang cepat jasad renik dari usus
halus. Mukus yang banyak sekali dan terus-menerus disekresi oleh sel-sel pada
lapisan usus halus, membentuk selimut yang viskus pada permukaan usus,
menangkap bakteri dan mendorongnya ke distal oleh gerakan peristaltik. Selain
itu, perlekatan bakteri pada permukaan mukosa dihambat oleh adanya antibodi
didalam sekret usus halus. Lapisan dalam usus besar secara mekanis juga tidak
6
baik. Pada tempat ini pendorongan tidak cepat dan ternyata terdapat stagnasi
relatif dari isi usus. Di tempat ini pertahanan utama melawan jasad renik adalah
melalui banyaknya flora ”normal” yang menghuni usus besar dan hidup
berdampingan bersama hospes. Bakteri normal yang banyak ini mempunyai
banyak cara ekologis yang dapat menghalangi para kuman penyerang, mereka
berkompetisi untuk mendapatkan makanan atau mereka benar-benar
mengeluarkan substansi anti bakteri (antibiotik).
3. SALURAN PERNAFASAN
Epitel terdiri dari sel-sel tinggi yang beberapa diantaranya mengeluarkan mukus,
tetapi sebagian besar diperlengkapi dengan silia pada permukaan lumen mereka.
Tonjolan-tonjolan kecil ini bergetar seperti cambuk dengan gerakan yang
diarahkan ke mulut, hidung dan keluar tubuh. Sel-sel yang mengeluarkan mukus
menghasilkan selimut lengket yang bergerak di atas silia dan meluncur secara
kontinyu ke atas. Jika jasad renik terhirup, mereka cenderung mengenai selimut
mukosa, untuk digerakkan keluar dan atau dibatukkan atau ditelan. Kerja
perlindungan ini dipertinggi dengan adanya antibodi di dalam sekresi. Jika
beberapa agen menghindar dari pertahanan ini dan mencapai ruang-ruang udara
dalam paru-paru, maka di sana selalu terdapat makrofag yang merupakan barisan
pertahanan lain.
Permukaan lain dalam tubuh dengan cara yang serupa diperlengkapi dengan
mekanisme-mekanisme pertahanan. Dalam saluran kemih lapisannya adalah epitel
berlapis banyak yang memiliki barier mekanis, tetapi salah satu pertahanan
terhadap jasad renik adalah desakan ke luar oleh aliran kemih. Semua hal yang
mengganggu kelancaran aliran kemih yang normal, apakah itu penyumbatan
ureter atau hanya kebiasaan buruk menahan kencing dapat mempermudah
terjadinya infeksi. Konjungtiva mata juga sebagian dilindungi secara mekanis dan
sebagian lagi oleh air mata. Mukosa vagina merupakan epitel yang kuat, berlapis
banyak, dan sifat pertahanan mekanisnya diperkuat oleh adanya flora normal yang
jumlahnya banyak dan oleh sekresi mukus.
7
5. RADANG SEBAGAI PERTAHANAN
Jika agen menular berhasil menembus salah satu barier tubuh dan memasuki
jaringan, maka barisan pertahanan berikutnya adalah reaksi peradangan akut. Pada
segi ini perlu ditekankan kembali, bahwa reaksi peradangan adalah suatu arena
dimana aspek humoral (antibodi) dan aspek selular pertahanan tubuh bersatu.
Aktivitas fagosit antimikroba, misalnya diperbesar oleh efek opsonisasi dari
antibodi dan komponen-komponen komplemen. Sifat-sifat defensif makrofag,
sebagai contoh lain, dapat dipertinggi oleh mekanisme kekebalan selular.
Jika reaksi peradangan akut tidak sanggup mengatasi penyerang, infeksi tersebut
dapat menyebar lebih luas ke seluruh tubuh. Biasanya sarana penyebaran yang
umum terjadi secara pasif dipandang dari kerja jasad renik. Biasanya organisme
dibawa oleh cairan tubuh. Pengeluaran cairan eksudat dapat memindahkan infeksi.
Sebenarnya fagosit juga dapat menjadi sarana penyebaran jika fagosit tersebut
tidak langsung membunuh kuman tetapi berkelana terlebih dahulu ke tempat lain
dalam tubuh. Penyebaran cenderung terjadi pada ruang yang berkaitan secara
alami. Misalnya, jika ada sebagian dari saluran gastrointestinal mengalami
perforasi, maka organisme di dalamnya akan memasuki ruang peritoneum, dan
menyebar keseluruh permukaan peritoneum. Jika agen mencapai bidang jaringan
penyambung, seperti sepanjang otot, maka agen tersebut dapat menyebar dengan
cepat sepanjang permukaan itu. Jika organisme yang menular itu dapat mencapai
selaput otak (yang meliputi seluruh sistem saraf pusat), maka sering terjadi
penyebaran yang cepat sepanjang seluruh poros serebrospinal.
7. PERTAHANAN TERAKHIR
8
Jika penyebaran agen menular tidak terhenti pada kelenjar limfe atau jika agen
tersebut langsung memasuki vena di tempat primernya, maka dapat terjadi infeksi
pada aliran darah. Ledakan bakteri dalam aliran darah sebenarnya tidak jarang
terjadi, dan peristiwa yang dinamakan bakteremia ini biasanya ditangani secara
cepat dan efektif oleh makrofag dari sistem makrofag-monosit. Namun, jika
organisme yang masuk itu berjumlah sangat besar dan jika organisme tersebut
cukup resisten, maka sistem makrofag dapat ditaklukkan. Hal ini mengakibatkan
organisme tersebut dapat menetap di dalam darah dan menimbulkan gejala-gejala
malaise, kelemahan dan tanda-tanda demam, menggigil dan sebagainya. Keadaan
ini dinamakan septikemia atau sepsis atau sering juga disebut ”keracunan darah”.
Akhirnya , pada beberapa keadaan organisme mencapai jumlah yang sedemikian
besarnya, sehingga mereka bersirkulasi dalam gumpalan-gumpalan , mengambil
tempat pada banyak organ, dan menimbulkan banyak sekali mikroabses. Keadaan
yang berlimpah ini dinamakan septikopiemia atau singkatnya piemia.
1. DAYA TRANSMISI
Sifat yang penting dan nyata pada saat terbentuknya infeksi adalah transport agen
menular hidup ke dalam tubuh. Cara pemindahan infeksi yang mungkin paling
jelas adalah pemindahan secara langsung dari satu orang ke orang lain, misalnya
melalui batuk, bersin dan berciuman.
9
tempat ke tempat lainnya, atau dapat pula bekerja secara biologis, yaitu berperan
sebagai hospes perantara dalam beberapa bagian penting siklus hidup agen
menular tersebut.
Sifat intrinsik mikro organisme tertentu jelas mempengaruhi daya transmisi atau
daya komunikasi mereka. Organisme yang sangat tahan terhadap kekeringan,
misalnya organisme yang membentuk spora, organisme seperti ini dengan mudah
dapat dipindahkan melalui lingkungan. Sebaliknya, beberapa organisme, misalnya
spiroketa pada sipilis, sangat sensitif terhadap keekringan dan perubahan suhu,
dua faktor yang jelas membatasi cara transmisi kuman tersebut. Di dalam rumah
sakit, faktor selektif alamiah yang mempengaruhi daya komunikasi jasad renik
adalah daya tahan mereka terhadap antibiotika. Sering ditemukan keadaan yang
mengkuatirkan di mana timbul strain mikroorganisme yang tahan terhadap
antibiotika dan kemudian bergerak dengan relatif bebas di dalam lingkungan
rumah sakit. Satu keprihatinan timbul ketika strain mikroorganisme yang tahan
terhadap antibiotika muncul dan menyebar dalam lingkungan masyarakat,
khususnya akibat penggunaan regimen pengobatan yang tidak optimal yang
diperbolehkan jika dalam keadaan darurat.
2. DAYA INVASI
Sekali di pindahkan ke dalam hospes baru, jasad renik harus mampu bertahan
pada atau di dalam hospes tersebut untuk dapat menimbulkan infeksi. Terdapat
banyak cara yang digunakan oleh berbagai agen menular agar dapat hidup pada
atau dalam hospes. Misalnya, kolera, disebabkan oleh organisme yang tidak
pernah memasuki jaringan, tetapi hanya menduduki epitel usus, melekat dengan
kuat pada permukaan sehingga tidak terhanyut oleh gerakan usus. Beberapa
organisme lain, misalnya yang menimbulkan disentri basiler, hanya memasuki
lapisan superfisial usus, tetapi tidak pernah masuk lebih jauh ke dalam tubuh.
Kemudian terdapat organisme seperti agen penyebab tipoid, yang tidak saja
memasuki lapisan superfisial usus tetapi akhirnya mencapai aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Penyebaran yang serupa dapat dilakukan oleh
spiroketa sifilis, yang dapat menembus membran mukosa atau kulit pada pintu
masuknya dan disebarkan melaui aliran darah dengan sangat cepat.
10
Beberapa organisme setelah memasuki jaringan dan mendudukinya tidak pernah
menyebar sama sekali. Organisme yang menimbulkan tetanus, misalnya, tidak
menyebar ke seluruh tubuh. Sewaktu organisme ini tumbuh secara lokal, mereka
mengeksresikan racun yang di bawa oleh darah dan menimbulkan efek yang
tersebar luas yang menandai penyakit ini. Alasan tentang adanya perbedaan daya
invasi dari berbagai organisme ini tidak diketahui dengan pasti, tetapi yang tidak
pernah diragukan lagi semua ini berkaitan dengan kebutuhan kimia spesifik
organisme tersebut dan perluasan kebutuhan ini dapat dipenuhi pada beberapa
tempat.
Mikroorganisme mempunyai cara-cara tertentu untuk menerobos barier hospes
atau menghindari mekanisme pertahanan hospes. Misalnya, beberapa organisme
membentuk kapsul berlendir sedemikian rupa sehingga sel-sel fagositik dari
hospes tidak dapat menelan mereka secara efisien. Organisme lain dapat
membentuk cara penyebaran enzimatik melalui zat dasar jaringan penyambung
oleh proses pencernaan kimia. Organisme lain lagi mengsekskresi racun yang
mematikan leukosit, dengan demikian organisme ini tidak tertangkap. Berbagai
organisme bahkan membentuk daya tahan terhadap lingkungan intraseluler di
dalam fagosit dan organisme ini (misalnya basil tuberkel) cenderung menetap
sebagai parasit intraseluler.
11
pelepasan endotoksin ada hubungannya dengan timbulnya demam dan dalam
keadaan-keadaan yang lebih ekstrim, seperti septikemia gram negatif, dengan
timbulnya sindrom syok.
Pada ujung akhir dari spektrum adalah virus yang merupakan parasit obligat
intraselular. Ternyata virus adalah potongan sederhana bahan genetik (DNA,
RNA) yang mempunyai alat untuk menyusupkan dirinya ke dalam sel hospes.
Selanjutnya sel ini mengalami cedera (bila ada) akibat informasi genetik baru
yang diwujudkan pada fungsi sel yang diubah. Satu wujud informasi genetik
tambahan semacam itu adalah replikasi virus yang menular, yang dapat disertai
oleh lisis dari sel-sel yang terkena. Sel dapat juga berubah tanpa menjadi nekrotik.
Ternyata, sel bahkan dapat dirangsang untuk berproliferasi, seperti pada kasus
tumor yang diinduksi oleh virus. Virus juga dapat mencederai hospes dengan
menimbulkan berbagai reaksi imunologi dimana bagian tertentu dari virus
bertindak sebagai antigen.
1. Tahap Rentan
Pada tahap ini pejamu masih berada dalam kondisi yang relatif sehat,
namun kondisi tersebut cenderung peka atau labil, disertai faktor
12
predisposisi yang mempermudah terkena penyakit seperti umur, keadaan
fisik, perilaku / kebiasaan hidup, sosial-ekonomi, dan lain-lain. Faktor–
faktor predisposisi tersebut akan mempercepat masuknya agen penyebab
penyakit (mikroba patogen) untuk dapat berinteraksi dengan pejamu.
2. Tahap Inkubasi
Setelah masuk ke tubuh pejamu, mikroba pathogen akan mulai beraksi,
namun tanda dan gejala penyakit belum tampak (subklinis). Saat mulai
masuknya mikroba patogen ke tubuh pejamu hingga saat munculnya tanda
dan gejala penyakit dikenal sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi satu
penyakit berbeda dengan penyakit lainnya; ada yang hanya beberapa jam,
dan ada pula yang sampai bertahun-tahun.
3. Tahap Klinis
Merupakan tahap terganggunya fungsi-fungsi organ yang dapat
memunculkan tanda dan gejala (signs and symptomps) dari suatu penyakit.
Dalam perkembangannya, penyakit akan berjalan secara bertahap. Pada
tahap awal, tanda dan gejala penyakit masih ringan. Penderita masih
mampu melakukan aktivitas sehari–hari dan masih dapat diatasi dengan
berobat jalan. Pada tahap lanjut, penyakit tidak dapat diatasi dengan
berobat jalan, karena penyakit bertambah parah baik secara objektif
maupun subjektif. Pada tahap ini penderita sudah tidak mampu lagi
melakukan aktivitas sehari–hari dan jika berobat, umumnya harus
melakukan perawatan.
4. Tahap Akhir Penyakit
Perjalanan semua jenis penyakit pada suatu saat akan berakhir pula.
Perjalanan penyakit tersebut dapat berakhir dengan 5 alternatif.
a. Sembuh sempurna
Penderita sembuh secara sempurna, artinya bentuk dan fungsi sel /
jaringan / organ tubuh kembali seperti semula saat sebelum sakit.
b. Sembuh dengan cacat
Penderita sembuh dari penyakitnya namun disertai adanya kecacatan.
Cacat dapat berbentuk cacat fisik, cacat mental, maupun cacat sosial.
c. Pembawa (carrier)
13
Perjalanan penyakit seolah–olah berhenti, ditandai dengan
menghilangnya tanda dan gejala penyakit. Pada tahap ini agen
penyebab penyakit masih ada dan masih memiliki potensi untuk
menjadi suatu sumber penularan.
d. Kronis
Perjalanan penyakit bergerak lambat, dengan tanda dan gejala yang
tetap atau tidak berubah (stagnan).
e. Meninggal dunia
Akhir perjalanan penyakit dengan adanya kegagalan fungsifungsi
organ yang menyebabkan kematian.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat
melalui kelenjar keringat dan sebasea, sekresi lendir, pergerakan silia,
sekresi airmata, air liur, urin, asam lambung serta lisosim dalam airmata.
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat
mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ.
3. Innate immunity.
4. Imunitas spesifik yang didapat
Syarat timbulnya infeksi adalah bahwa organisme yang menular harus mampu
melekat, menduduki atau memasuki hospes dan berkembang biak paling tidak
sampai taraf tertentu. Karena itu tidaklah mengherankan, bila dalam perjalanan
evolusi, spesies hewan termasuk manusia, sudah mengembangkan mekanisme
pertahanan tertentu pada berbagai tempat yang berhubungan dengan lingkungan.
15
DAFTAR PUSTAKA