Anda di halaman 1dari 32

1

DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN TUBERKULOSIS PARU DI BANGSAL PENYAKIT DALAM DAN POLIKLINIK RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG

ARTIKEL

Oleh :

RIRI AFRIANTI NAZULIS 09 212 13 039

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011

Drug Related Problems Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Tuberkulosis Paru Di Bangsal Penyakit Dalam Dan Poliklinik RSUP. Dr. M. Djamil Padang

Oleh: Riri Afrianti Nazulis

(Di bawah bimbingan Prof. Dr. Helmi Arifin, MS. Apt; Prof. Dr. dr. Nasrul Zubir, Sp.PD KGEH; Dra. Hj. Deswinar Darwin, Apt, Sp.FRS)

ABSTRAK Untuk mendukung keberhasilan pengobatan diperlukan pengontrolan secara menyeluruh terhadap pasien, dimana perlu dilakukan diperhatikan adanya angka kejadian Drug Related Problems (DRPs) sehingga efek terapi yang diharapkan dapat tercapai. Penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif yang dikerjakan secara prospektif dan retrospektif terhadap suatu populasi terbatas yaitu pasien dengan diagnosa DM dan TB paru dengan masa rawatan besar dari 7 hari di Bangsal Penyakit Dalam selama bulan April sampai Juni 2011 dan seluruh pasien dengan diagnosa DM dan TB paru di Poliklinik RSUP.DR.M. Djamil Padang selama bulan Juni 2010 sampai Juni 2011. Data pasien didapat dari rekam medik pasien. Kekurangan data pada pasien yang dirawat inap dilengkapi dengan melihat catatan perawat dan observasi atau wawancara pasien serta keluarga pasien. Hasil penelitian menunjukan bahwa pasien Diabetes Melitus di Bangsal Penyakit Dalam RSUP. DR. M. Djamil Padang berjumlah 168 orang dan 10 (5,9%) diantaranya adalah pasien dengan TB paru. Pada poliklinik ditemukan pasien DM dengan TB paru sebanyak 9 orang (4,5%). Dari penelitian tidak ditemui adanya indikasi tanpa obat ataupun pengobatan tanpa indikasi medis (DM dan TB paru). Pada Bangsal Penyakit Dalam, . Pasien yang mengalami ketidaktepatan pemberian obat sebanyak 3 dari 10 pasien, yang menerima obat dengan dosis berlebih sebesar 1 dari 10 pasien; yang menerima dosis kurang sebanyak 1 dari 10 pasien, yang mengalami efek samping terapi sebanyak 1 dari 10 pasien dan yang mengalami interaksi obat sebanyak 2 dari 10 pasien. Sedangkan pada Poliklinik, Pasien yang menerima obat dengan dosis kurang sebanyak 1 dari 9 pasien, yang mengalami efek samping terapi yang dapat teratasi sebanyak 4 dari 9 pasien, dan yang mengalami interaksi obat yang dapat teratasi sebanyak 6 dari 9 pasien. Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa prevelensi DRPs di RSUP.DR.M.Djamil Padang rendah

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang prevelensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data IDF (International DIAbetes Federation) tahun 2005, diketahui pada tahun 2003, Indonesia masih menduduki posisi ke 5 dengan jumlah penduduk penderita DM terbesar di bawah Amerika. Namun terjadi peningkatan pada tahun 2005 sehingga Indonesia bergeser ke posisi ke 3. Diperkirakan akan terjadi lonjakan pada tahun 2010 sebesar 50 % dan dua kali lipat pada tahun 2025 (Heydari, 2005). Dari seluruh kasus DM, maka 90 % nya merupakan pasien dengan DM tipe 2. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perubahan pola hidup masyarakat (Dipiro, 2005). Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insentisitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009). Pada umumnya, pasien DM lebih rentan terkena infeksi karena faktor predisposisi dari efek hiperglikemia, angiopati, hormonal, neuropati dan mekanik (Mubarak et al, 2010; Soeatmadji, 1996). Hiperglikemi menyebabkan terganggunya fungsi neutrofil dan monosit (makrofag) termasuk kemoktasis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraseluler (Soeatmadji, 1996). Infeksi biasanya disebabkan oleh mikroorganisme tertentu seperti Staphylococcus aureus, Mycobacterium tuberculosis, Streptococcus pneumonie dan virus influenza (Joshi et al, 1999). Salah satu komplikasi penyakit infeksi yang paling sering ditemukan pada pasien DM adalah Tuberkulosis (Jeon, 2008; Young et al, 2010). Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi kronis yang menular melalui droplet (percikan dahak). Penyakit ini merupakan salah satu ancaman kesehatan bagi penduduk dunia termasuk Indonesia. Pada tahun 2004, terjadi penambahan penderita baru TB sebenyak

seperempat juta orang dan terjadi sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya. Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun. TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada selurtuh kalangan usia (Depkes RI, 2005). Prevelensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, sedangkan aktifitas kuman TB meningkat 3 kali pada pasien DM berat dibanding DM ringan (Sanusi, 2006; Bukhari, 2008). Prevelensi TB paru pada DM di Indonesia masih cukup tinggi yaitu antara 12,8-42% (Sanusi, 2006). Untuk mengatasi kegagalan terapi pada pasien DM dengan TB paru maka diperlukan suatu pelayanan kesehatan yang menyeluruh agar tujuan terapi yang diharapkan tercapai, salah satunya pelayanan kefarmasian. Pelayanan farmasi klinis di rumah sakit ditujukan untuk memberikan jaminan pengobatan yang rasional kepada pasien. Penggunaan obat dikatakan rasional jika obat digunakan sesuai indikasi, kondisi pasien dan pemilihan obat yang tepat (jenis, sediaan, dosis, rute, waktu, dan lama pemberian), mempertimbangkan manfaat dan resiko serta harganya yang terjangkau bagi pasien tersebut (Aslam et al, 2003; WHO, 2003; Trisna, 2004). Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka penting dilakukan penelitian Drug Related Problems (DRP) pada regimen obat pasien DM tipe 2 dengan TB paru. Penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif yang dikerjakan secara prosfektif selama bulan April 2011 sampai Juni 2011 tehadap suatu populasi terbatas yaitu seluruh pasien DM tipe 2 dengan TB paru pada bangsal rawat inap Penyakit Dalam dan retrospektif dari bulan Juni 2010 samapi Juni 2011 tehadap seluruh pasien DM tipe 2 dengan TB paru pada di RSU DR. M. Djamil Padang. Data pasien DM tipe 2 dengan TB paru didapat dari bangsal rawat inap penyakit dalam, kemudian dilakukan pencatatan rekam medik dibangsal rawat inap. Kekurangan rekam medik dilengkapi dengan melihat catatan perawat, Depo Farmasi Ilmu

Penyakit Dalam,

melihat kondisi pasien langsung dengan mengikuti visite dokter dan

wawancara pasien atau keluarga pasien. Untuk pasien poliklinik, dilakukan pencatatan rekam medik di Instalasi Rekam Medik. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui angka kekerapan (Prevalensi) Drug Related Problems pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru di RSUP DR. M. Djamil Padang, dimana khususnya : a. b. c. d. e. f. g. h. Untuk mengetahui adanya indikasi tanpa obat. Untuk mengetahui adanya obat tanpa indikasi medis. Untuk mengetahui adanya ketidaktepatan pemilihan obat. Untuk mengetahui terjadinya kelebihan dan kekurangan dosis obat. Untuk mengetahui terjadinya interaksi obat. Untuk mengetahui terjadinya reaksi efek samping obat. Untuk mengetahui adanya pasien yang gagal menerima terapi obat. Untuk mengetahui kegagalan terapi

II. METODA PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif yang dikerjakan secara prospektif dan retrospektif terhadap suatu populasi terbatas. Jenis data yang digunakan terbagi atas 2 bagian : 1. Data kualitatif Meliputi masalah-masalah yang ditemukan dalam terapi DM tipe 2 dengan TB paru yakni penggunaan obat tanpa indikasi, indikasi tanpa obat, ketidaktepatan pemilihan

obat, dosis yang berlebih atau kurang, terjadinya efek samping obat, terjadinya interaksi obat dan kegagalan terapi obat yang dianalisis secara kualitatif. 2. Data kuantitatif Meliputi persentase pasien yang terdiagnosa DM tipe 2 dengan TB paru persentase jenis obat TB dan jenis obat antidiabetes yang digunakan. Persentase jumlah pasien berdasarkan rentang umur pasien, jenis kelamin, jenis pengobatan, riwayat pengobatan, diagnosa penyakit dan beratnya penyakit. Sumber data Sumber data meliputi rekam medik pasien DM dengan TB paru serta pemantauan kondisi pasien atau keluarga pasien di bangsal rawat inap Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama lebih kurang tiga bulan dari April sampai Juni 2011 di bangsal rawat inap penyakit dalam RSUP.DR. M Djamil Padang. Prosedur Penelitian a. Penetapan obat yang akan dievaluasi Obat yang akan dievaluasi adalah obat-obat yang digunakan selama menjalani terapi DM tipe 2 dengan TB paru. b. Penetapan sampel yang akan dievaluasi Data inklusi sampel yang dipilih adalah pasien dengan diagnosa DM tipe 2 dengan TB paru dengan masa rawatan lebih dari 7 hari di bangsal rawat inap Penyakit Dalam di RSUP DR. M. Djamil Padang selama bulan April 2011 sampai Juni 2011 dan pasien DM tipe 2 dengan TB paru di poliklinik rawat jalan di RSUP DR. M. Djamil Padang dari bulan Juni 2010 sampai Juni 2011. Data eklusi adalah seluruh pasien DM tipe 2 yang

dirawat di bangsal rawat inap Penyakit Dalam RSUP. DR. M. Djamil Padang selama bulan April sampai Juni 2011. c. Pengambilan data Pengambilan data dilakukan melalui pencatatan rekam medik di bangsal rawat inap Penyakit Dalam di RSUP DR. M. Djamil Padang meliputi data kualitatif dan kuantitatif serta kelengkapan data pasien (seperti umur, jenis kelamin, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit keluarga, riwayat obat terdahulu, tindakan terapi terhadap penyakit DM tipe 2 dengan TB paru, diagnosa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dll). Data yang diambil dipindahkan ke lembaran pengumpul data yang telah disiapkan. Kekurangan rekam medik dilengkapi dengan melihat catatan perawat, catatan obat depo farmasi Ilmu Penyakit Dalam (IPD) melihat kondisi pasien langsung dan wawancara pasien atau keluarga pasien. Untuk Pasien poliklinik rawat jalan, dilakukan pencatatan rekam medik di Instalasi Rekam Medik RSUP DR. M. Djamil Padang meliputi data kualitatif dan kuantitatif serta kelengkapan data pasien. Data yang diambil dipindahkan ke lembaran pengumpul data yang telah disiapkan. d. Penetapan Standar Penggunaan Obat Standard penggunaan obat ditetapkan berdasarkan standar terapi penyakit dalam RSUP. DR. M Djamil Padang edisi II tahun 2008, formularium RSUP. DR. M Djamil Padang edisi V tahun 2008 dan literatur-literatur ilmiah lainnya. Analisa Data 1. Analisis kuantitatif Data ditabulasi berdasarkan persentase pasien yang menjalani terapi DM tipe 2 dengan TB paru di bangsal penyakit dalam dan poliklinik serta persentase jenis obat antidiabetes dan antibiotik yang digunakan. Persentase jumlah pasien berdasarkan rentang

umur pasien, jenis kelamin, jenis pengobatan, riwayat pengobatan, diagnosa penyakit dan beratnya penyakit dibuat dalam bentuk tabel-tabel. Data yang diambil dipindahkan ke lembaran pengumpul data yang telah disiapkan. 2. Analisis kualitatif Data ditabulasikan kemudian dibandingkan terhadap kriteria penggunaan obat yang telah ditetapkan. Hasil perbandingan menunjukkan persentase beberapa kategori DRPs yang muncul selama pasien menjalani terapi dengan kriteria penggunaan obat tanpa indikasi, indikasi tanpa obat, ketidaktepatan pemilihan obat, dosis yang berlebih atau kurang, terjadinya efek samping obat, terjadinya interaksi obat dan kegagalan terapi obat.

Desain Penelitian

DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN TUBERKULOSIS PARU

TERAPI OBAT
Dosis Frekuensi Interval Waktu pemberian

DIABETES MELLITUS TIPE 2

TUBERKULOSIS PARU

DRUG RELATED
PROBLEMS

Indikasi tanpa obat Obat tanpa indikasi Ketidaktepatan pemilihan obat Kelebihan Dosis Obat Kekurangan Dosis Obat Interaksi Obat Efek Samping Obat Kegagalan Pasien Menerima Terapi

ANALISA DATA

10

HASIL Pada bangsal rawat inap Penyakit Dalam RSUP DR M Djamil Padang selama bulan April sampai dengan Juni 2011 ditemukan 168 pasien dengan kasus DM, dan 10 diantaranya termasuk ke dalam data inklusi yakni pasien yang terdiagnosa DM tipe 2 dengan TB paru. Sedangkan pada Poliklinik Paru dan Penyakit Dalam RSUP DR M Djamil Padang selama 1 tahun dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011 ditemukan sebanyak 9 kasus pasien DM tipe 2 dengan TB paru. Hasil yang diperoleh dari penggunaan obat pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru pada bangsal rawat inap Penyakit Dalam dan Poliklinik RSUP. DR. M. Djamil Padang adalah sebagai berikut : Hasil Analisa Kuantitatif di Bangsal Penyakit Dalam 1. Persentase jenis obat antidiabetes berdasarkan standar terapi Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa obat antidiabetes yang banyak diresepkan adalah jenis obat dagang yang sesuai dengan formularium RSUP DR. M. Djamil Padang yakni Noverapid sebesar 37,5 % 2. Persentase jenis obat antibiotik yang digunakan Dari data ynag diperoleh, diketahui bahwa antibiotik yang paling banyak digunakan adalah ceftriakson, cefotaksim, dan kombinasi rifampisin + isoniazid + pirazinamid + etambutol yakni 27,3 % selanjutnya kombinasi antara Isoniazid + etambutol + streptomisin dan Isoniazid + Rifampisin masing masingnya sebesar 9,1 % 3. Persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan rentang umur. Berdasarkan data yang didapat, diketahui persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru paling banyak dialami oleh pasien dengan rentang umur 50-59 tahun, yakni sebesar 80 %, diikuti dengan rentang umur 30-39 tahun dan 60 tahun sebesar 10%. Tidak

11

ditemukan pasien dengan rentang umur antara 40 - 49 tahun yang terdiagnosa DM tipe 2 dengan TB paru 4. Persentase pasien berdasarkan klasififikasi DM Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa dari sebagian besar pasien yang dirawat di bangsal rawat inap Penyakit Dalam adalah pasien DM tipe 2 dengan persentase sebesar 99,5 %, dan 0,05 % pasien DM tipe 1. Tidak ditemukan pasien dengan diagnosa DM gestasional 5. Persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan jenis pengobatan TB. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa pasien DM tipe 2 dengan TB paru yang mendapatkan antibiotik sebesar 50%, yang mendapatkan OAT (Obat

antituberkulosis) kategori 1 sebesar 50% dan tidak ditemukaan pasien yang mendapatkan OAT kategori 2 6. Persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan riwayat pengobatan pasien Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa pasien DM tipe 2 dengan TB paru baru sebesar 50%. Sedangkan pasien Diabetes Melitus dan TB paru relaps, failure ataupun default tidak ditemukan 7. Persentase Pasien DM tipe 2 dan TB paru berdasarkan pengendalian DM Dari data diketahui persentase pasien secara berturut turut adalah DM tipe 2 Berat + TB paru dengan antibiotik sebesar 50%, DM tipe 2 Berat + TB paru OAT kategori 1 sebesar 30%, dan DM tipe 2 Ringan + TB paru OAT kategori 1 sebesar 20 %. Pasien DM tipe 2 Ringan + TB Paru dengan antibiotik, DM tipe 2 Ringan + TB paru OAT kategori ke 2, dan DM tipe 2 Berat + TB paru OAT kategori ke 2 tidak ditemukann.

12

8.

Persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan jenis kelamin. Dari data diketahui bahwa DM tipe 2 dengan TB paru lebih banyak dialami oleh pasien laki-laki, yakni sebesar 70 % dan 30%nya dialami oleh perempuan

Hasil Analisa Kualitatif di Bangsal Penyakit Dalam Hasil analisa terjadi atau tidaknya Drug Related Problems pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru pada pasien rawat inap di bangsal Penyakit Dalam RSUP. DR. M. Djamil Padang selama bulan April sampai Juni 2011 adalah sebagai berikut 1. Tidak ditemukan pasien DM tipe 2 dengan TB paru yang mengalami indikasi tanpa obat, 2. Tidak ditemukan pasien DM tipe 2 dengan TB paru yang mendapatkan obat tanpa indikasi medis 3. Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru ditemukan pada 3 orang pasien dari 10 pasien. 4. Pasien DM tipe 2 dengan TB paru yang menerima obat dengan dosis berlebih ditemukan pada 1 orang pasien dari 10 pasien 5. Pasien DM tipe 2 dengan TB paru yang menerima obat dengan dosis kurang ditemukan pada 1 orang pasien dari 10 pasien 6. Terjadinya reaksi efek samping obat pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru ditemukan pada 1 orang pasien dari 10 pasien 7. Interaksi obat pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru ditemukan pada 2 orang pasien dari 10 pasien 8. Tidak ditemukan kegagalan terapi pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru.

13

Hasil Analisa Kuantitatif di Poliklinik 1. Persentase jenis obat antidiabetes yang digunakan Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa obat antidiabetes yang banyak diresepkan adalah jenis obat generik sebesar 75 %, dari golongan sulfonil urea, yakni glibenklamid dan dari golongan biguanid, yakni metformin sebesar 33,3 %. Selanjutnya obat antidiabetes lain yang diresepkan adalah glimepirid, gluneronorm, noverapid dan lantus sebesar 8,3 % 2. Persentase bentuk paket OAT yang digunakan Dari data diketahui bahwa OAT yang paling banyak diresepkan adalah dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap sebesar 66,6% dan sisanya dalam bentuk kombipak sebesar 33,3% 3. Persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan rentang umur. Berdasarkan data yang didapat, diketahui persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru paling banyak dialami pada rentang umur 50-59 tahun, yakni sebesar 66,6%, diikuti dengan rentang umur 40 49 tahun sebesar 33,3 %. Tidak ditemukan pasien dengan rentang umur antara 30 - 39 tahun dan besar dari 60 tahun 4. Persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan jenis pengobatan TB. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa pasien DM tipe 2 dan TB paru yang mendapatkan OAT kategori 1 sebesar 66,6 %, dan 33,3 % lainnya mendapatkan OAT kategori ke 2 5. Persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan riwayat pengobatan pasien Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa pasien DM tipe 2 dengan TB paru baru sebesar 66,6%, pasien DM tipe 2 dengan TB paru relaps sebesar 22,2 %, DM tipe 2

14

dengan TB paru failure sebesar 11,1 % dan DM tipe 2 dengan TB paru default ataupun Transfer in tidak ditemukan 6. Persentase Pasien DM tipe 2 dan TB paru berdasarkan pengendalian DM Dari data yang diperoleh didapat bahwa pasien DM tipe 2 Berat + TB Paru OAT kategori ke 1 sebesar 66,6 %, dan DM tipe 2 Berat + TB paru OAT kategori ke 2 sebesar 33,3 %. Untuk DM tipe 2 Ringan + TB paru OAT kategori ke 1 ataupun kategori ke 2 tidak ditemukan 7. Persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan jenis kelamin. Dari data diketahui bahwa DM tipe 2 dengan TB paru lebih banyak ditemui pada perempuan, yakni sebesar 55,5 % dan 44,4 %nya dialami oleh laki-laki Hasil Analisa Kualitatif di Poliklinik Hasil analisa terjadi atau tidaknya Drug Related Problems pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru pada pasien Poliklinik RSUP. DR. M. Djamil Padang selama bulan Juni 2010 sampai Juni 2011 adalah sebagai berikut : 1. Tidak ditemukan pasien DM tipe 2 dengan TB paru yang mengalami indikasi tanpa obat, 2. Tidak ditemukan pasien DM tipe 2 dengan TB paru yang mendapatkan obat tanpa indikasi medis, 3. Tidak ditemukan ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru, 4. Tidak ditemukan pasien DM tipe 2 dengan TB paru yang mendapatkan dosis obat berlebih,

15

5. Pasien DM tipe 2 dengan TB paru menerima obat dengan dosis kurang ditemukan pada 1 orang pasien dari 9 pasien, 6. Terjadinya reaksi efek samping obat yang dapat teratasi pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru ditemukan pada 4 orang pasien dari 9 pasien 7. Terjadinya interaksi obat yang dapat teratasi pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru ditemukan pada 6 orang pasien dari 9 pasien 8. Kepatuhan pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru tidak dapat teramati.

PEMBAHASAN Analisa Kuantitatif Bangsal Penyakit Dalam Analisa ketepatan penggunaan obat pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan Tuberkulosis paru serta masalah-masalah yang ditemukan selama terapi dilakukan dengan membandingkan penggunaan obat di rumah sakit dengan standar terapi dan formularium RSUP DR. M Djamil yang berlaku. Analisa ini dilakukan terhadap data secara kuantitatif dan kualitatif. Analisa kuantitatif meliputi analisa persentase jenis obat antidiabetes yang digunakan, persentase obat antibiotik yang digunakan, persentase jumlah pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan rentang umur, klasifikasi DM, jenis pengobatan, riwayat pengobatan, pengendalian DM dan jenis kelamin. 1. Jenis Obat Antidiabetes berdasarkan formularium Persentase jenis obat antidiabetes yang digunakan dilihat dari jumlah obat antidiabetes generik dan merek dagang yang sesuai formularium maupun non formularium RSUP. DR. M. Djamil Padang. Dari data dapat dilihat obat antidiabetes yang paling banyak diresepkan adalah 42,9 %nya jenis obat dagang yang sesuai

16

formularium RSUP. DR. M. Djamil Padang, sedangkan obat generik yang sesuai formularium sebesar 23,8 %. Obat merek dagang non formularium sebesar 33,3% dan tidak ditemukan penggunaan obat generik non formularium Penggunaan suatu produk obat dengan merek dagang memiliki kecenderungan menjadikan biaya pengobatan menjadi lebih mahal jika dibandingkan penggunaan produk obat generik. Tingginya biaya pengobatan dengan obat antidiabetes dan obat lain dengan merek dagang ini menyebabkan pasien dibebankan dengan biaya pengobatan yang besar dan menyebabkan tingkat kepatuhan pasien mengkonsumsi obat menjadi berkurang (Siregar: 2004). Pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan TB paru, obat antidiabetes yang paling banyak diresepkan adalah insulin short-acting seperti Noverapid (37,5%) dan Actrapid (29,2%), diikuti dengan insulin long acting, yakni Levemir (20,8%). Dari data yang diperoleh terlihat bahwa insulin yang paling banyak diresepkan adalah obat merek dagang. Namun obat obat ini telah masuk ke dalam daftar obat Askes dan Jamkesmas. Insulin merupakan antihiperglikemia yang paling efektif untuk mencapai kadar gula darah yang diharapkan. Hiperglikemia pada pasien TB paru/ infeksi akan memperburuk kondisi klinis pasien karena efek glukotoksisitas yang berdampak pada peningkatan angka kejadian mortalitas. Sehingga pada pasien DM dengan komplikasi infeksi perlu dilakukan pemberian insulin lebih dini (Mooradian et al, 2006). Pada fisiologi normal, kadar glukosa dapat dipertahankan normal dalam keadaan puasa yang cukup panjang. Pada saat puasa malam hari, kadar insulin relatif rendah, dan tidak cukup untuk meransang masuknya glukosa ke dalam otot dan lemak. Dalam keadaan ini, ambilan glukosa dilakukan oleh jaringan tidak tergantung insulin, seperti otak, sel darah merah, dan ginjal. Dengan puasa, jaringan tergantung insulin

17

menggunakan asam lemak untuk menghasilkan energi. Untuk mengimbangi ambilan glukosa, hati memproduksi glukosa melalui glikogenolisis dan glikoneogenesis. Insulin basal bertujuan menjaga keseimbangan antara glukosa produksi hati dan ambilan glukosa untuk mempertahankan glukosa darah dalam keadaan normal. Basal insulin juga cukup untuk mempertahankan lipolisis asam lemak bebas untuk dioksidasi oleh otot dan lemak. Pada penderita diabetes, pemberian insulin basal diperlukan untuk mempertahankan kadar glukosa puasa (Decroli, 2011; Soegondo, 1996). Sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali untuk kebutuhan setelah makan. Untuk kebutuhan setelah makan digunakan insulin kerja cepat (Noverapid, Insulin Reguler, Actrapid ) dan insulin kerja panjang atau menengah seperti Levemir dan Lantus digunakan untuk memenuhi kebutuhan basal (ADA: 2006). 2. Jumlah Pasien DM tipe 2 dengan TB paru Berdasarkan Klasifikasi DM dan Riwayat Pengobatan Pasien Dari data yang didapat terlihat bahwa pasien yang menderita Diabetes Melitus tipe 1 sebanyak 1 orang (0,5 %), Diabetes Melitus tipe 2 sebanyak 167 orang (99,5 %) . Hal ini timbul akibat perubahan gaya hidup ke arah yang kurang sehat terutama di kota besar yang menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif (Misnadiarly, 2006). Selain itu, kurang gizi (malnutrisi) juga dapat merusak pankreas sehingga sekresi insulin menjadi terganggu. Faktor lain adalah pengaruh stres yang berkepanjangan yang diderita masyarakat. Tingkat gula darah tergantung pada kegiatan hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar adrenal, yaitu adrenalin dan kortikosteroid. Kedua hormon ini mengatur kebutuhan ekstra energi tubuh dalam menghadapi keadaan darurat. Adrenalin akan

18

memacu kenaikan kebutuhan gula darah, dan kortikosteroid akan menurunkannya kembali. Dari penelitian ini juga diperoleh bahwa dari jumlah pasien yang masuk ke dalam data inklusi yakni 10 orang adalah pasien DM dengan kasus TB paru dengan masa rawatan lebih dari 7 hari. Hal ini berarti, pasien secara klinis telah didiagnosa DM dan TB paru, namun belum terbukti berdasarkan pemeriksaan sputum ataupun foto thorax sehingga pasien hanya mendapatkan terapi empiris berupa antibiotik (cefotaksim atau ceftriakson) dan mukolitik ekspektoran (ambroksol) tanpa mendapatkan OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Untuk memutuskan seorang pasien menerima OAT diperlukan diagnosis yang cermat dan hasil data laboratorium yang lengkap. Karena pengobatan OAT memerlukan rentang waktu yang lama dan efek samping yang cukup tinggi. Selain itu, hasil data labor yang tidak lengkap juga menjadi salah satu faktor kendala. Hal ini kemungkinan dikarenakan sebagian besar pasien tidak melakukan pemeriksaan penunjang (pemeriksaan sputum dan foto thorax) yang merupakan standar untuk pemberian OAT karena sulit mendapatkan sputum, hasil pemeriksaan yang terlalu lama, ataupun pasien tidak mau melakukannya. Dari data juga terlihat bahwa pasien DM tipe 2 dengan TB paru baru sebanyak 50%. Sedangkan tidak ditemui pasien DM tipe 2 dengan TB paru relaps (kambuh), pasien DM tipe 2 dengan TB paru default (putus berobat), dan pasien DM tipe 2 dengan TB paru failure (gagal). Sedangkan untuk pasien DM tipe 2 dengan TB paru transfer in tidak dimasukkan ke dalam kategori, karena semua pasien TB paru merupakan pasien dari UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) lain yang di rujuk ke RS karena perburukan kondisi klinis.

19

3. Jumlah Pasien DM Tipe 2 dengan TB Paru Berdasarkan Rentang Umur Berdasarkan rentang umur, persentase tertinggi pasien yang terdiagnosa DM tipe 2 dengan TB paru terdapat pada umur 50-59 tahun yaitu sebesar 80%., diikuti rentang umur 30-39 dan 60 tahun masing-masing sebesar 10 %. Pada penelitian Guptan & Shah (2000) disebutkan bahwa pasien yang paling banyak menderita DM tipe 2 dengan TB paru adalah pasien dengan kisaran umur diatas 40 tahunan. Yamagshi (2000 dan 1999) menemukan bahwa penyakit DM dan TB paling tinggi dijumpai pada pasien laki laki dengan rentang umur diatas 50 tahun (23,4%). Maka dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien dengan umur 50 tahun keatas memiliki resiko tinggi DM tipe 2 dan TB paru. Hal ini terutama disebabkan karena dengan bertambahnya umur, fungsi sel pankreas dan sekresi insulin berkurang. Selain itu, kondisi hiperglikemia yang tidak terkontrol merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya infeksi karena berkurangnya fungsi monosit makrofag (Guptan et al, 2000). 4. Jumlah Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan TB paru Berdasarkan Jenis Pengobatan Dari data yang diperoleh diketahui bahwa pasien DM dan TB paru yang mendapatkan terapi antibiotik empiris sebesar 50%. Hal ini dilakukan sebagai tahap awal penanggulangan kondisi klinis yang meyerupai TB. Pemberian Obat Antituberkulosis dilakukan setelah diperoleh semua pemeriksaan fisik dan penunjang yang lengkap karena pengobatannya memerlukan jangka waktu yang lama dan efek samping yang ditimbulkan (Depkes RI, 2005).

20

Pasien TB paru yang mendapatkan terapi OAT kategori 1 sebesar 50 %. OAT kategori 1 diberikan pada pasien TB paru dengan kriteria BTA positif atau BTA negatif dengan rontgen foto positif (Depkes RI, 2005; Depkes RI, 2008). Sedangkan pasien yang yang menggunakan kategori 2 tidak ditemukan. Berdasarkan Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia, maka OAT yang diberikan terdiri dari 2 kategori yakni kategori 1 (2HRZE/43H3R) dan kategori 2 (2HRZES/HRZE/5HR3E3). Obat ini diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa obat untuk menghindari terjadinya resistensi antibakteri yang terlalu dini dan menghindari efek samping yang besar dari penggunaan obat secara tunggal. 5. Jumlah Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan TB paru Berdasarkan Pengendalian DM Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian didapat bahwa kebanyak pasien DM tipe 2 yang dirawat merupakan DM berat. Dimana ditemukan DM tipe 2 Berat dengan TB paru yang mendapatkan antibiotik sebesar 50 %. 6. Jumlah Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan TB paru Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa pasien yang paling banyak mendapatkan terapi obat antidiabetes adalah laki-laki yaitu sebesar 70%, sedangkan perempuan 30%. Guptan dan Shah (2000) melaporkan bahwa perbandingan angka kejadian TB paru pada penderita DM untuk pria dan wanita masing-masing adalah 10% dan 8,7%. Hasil ini juga diperkuat oleh penelitian dari Yamagishi dkk (2000) yang menyatakan bahwa Diabetes melitus dengan komplikasi TB paru 2 kali lipat

21

lebih banyak dari pada pasien wanita dengan persentase 16 % untuk pria dan 8,3 % wanita. Dapat diartikan bahwa angka kejadian TB paru lebih tinggi pada pasien lakilaki dibandingkan perempuan. Analisa Kualitatif Bangsal Penyakit Dalam Analisa kualitatif meliputi analisa terjadi atau tidaknya Drug related Problems (masalah-masalah yang dapat timbul selama pasien diberi terapi) diantaranya : persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru mendapat indikasi tanpa obat, persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru diberikan obat tanpa indikasi medis, persentase ketidaktepatan pemilihan obat, persentase obat dengan dosis berlebih, persentase dosis kurang, persentase terjadinya reaksi efek samping obat, persentase terjadinya interaksi obat, persentase pasien gagal menerima terapi. 1. Indikasi Tanpa Obat Dari penelitian tidak ditemukan permasalahan indikasi tanpa obat pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru .Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien Diabetes DM tipe 2 dengan TB paru di RSUP DR. M. Djamil Padang mendapatkan obat sesuai dengan penyakit yang dideritanya. 2. Penggunaan Obat Tanpa Indikasi Medis ( DM dengan TB paru) Pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru tidak ditemukan adanya pemberian obat tanpa indikasi medis. 3. Ketidaktepatan Pemilihan Obat Ketidaktepatan pemilihan obat artinya adanya pemberian obat yang tidak efektif, seperti produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi medisnya, obat bukan yang paling efektif untuk mengatasi penyakitnya (Priyanto, 2009).

22

Hemoptisis merupakan batuk darah atau berdahak yang bercampur dengan darah. Kondisi klini merupakan suatu gejala atau tanda dari adanya infeksi. Tujuan dari terapi hemoptisis adalah menghentikan pendarahan, mencegah obstruksi jalan nafas, dukungan terhadap fungsi vital pasien dan terapi penyakit dasarnya. Untuk itu pemberian codipront yang berisi codein kurang tepat diberikan pada kondisi ini karena codein bekerja dengan jalan menekan timbulnya refleks batu. Penekanan reflek batuk akan berakibat pada kegagalan reflek pembersihan saluran nafas dari bekuan darah (Bahar et al; 2001). Allopurinol merupakan salah satu obat obat untuk mengatasi kondisi hiperurisemia yang berfungsi menurunkan produksi asam urat dan meningkatkan pembentukan xantin danelalui penghambatan kerja enzim xantin oksidase (Martindale, 2008). Allopurinol kurang tepat diberikan pada serangan akut karena dapat memperberat rasa nyeri pada pasien. Sukralfat diindikasikan untuk mengatasi ganggauan saluran pencernaan/ lambung yang berhubungan dengan iritasi atau tukak. 4. Dosis Obat Berlebih atau Dosis Obat Kurang Ketidaktepatan dosis ini dapat menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan pada pasien terutama untuk obat obat dengan indeks terapi sempit. Dosis obat kurang artinya obat tidak mencapai MEC sehingga tidak menimbulkan efek terapi, hal ini disebabkan karena dosis terlalu rendah untuk efek yang diinginkan, interval pemakaian obat terlalu panjang, terjadi interaksi yang menyebabkan berkurangnya bioavailabilitas, durasi obat terlalu pendek (Priyanto:2009).

23

5. Tejadinya Reaksi Efek Samping Obat Rifampisin merupakan obat yang mempunyai efek induksi hati yang cukup besar, sehingga efek samping mayor dari penggunaan Rifampisin adalah hepatotoksis yang dapat diperparah dengan penambahan Isoniazid. Efek samping yang juga ditemukan adalah nyeri sendi. 6. Terjadinya Interaksi Obat Interaksi obat artinya aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain jika diberikan secara bersamaan (Priyanto:2009). Interaksi dapat terjadi karena proses farmakokinetik dan farmakodinamik. Untuk interaksi farmakokinetik dapat diatasi dengan menjarakkan waktu pemberian obat, sedangkan interaksi farmakodinamik diatsi dengan melalukan monitor secar teratur kondisi klinis pasien. 7. Kegagalan Terapi Obat Tidak ditemukan tejadinya kegagalan terapi obat pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru. Pasien mengalami kegagalan terapi disebabkan oleh faktor yang berkaitan psikososial, ekonomi ataupun kurangnya pengetahuan pasien berupa : pasien lupa minum obat, dosis tidak sesuai sebagaimana mestinya, interval waktu antara dua dosis tidak tepat, menggunakan obat lain disamping yang diberikan oleh dokter, menghentikan pemakaian obat lebih awal, minum obat dengan alasan yang tidak tepat, obat tidak segera diambil diapotek tetapi menunggu beberapa hari baru resepnya ditebus dan terjadinya efek samping. Kegagalan terapi tidak hanya disebabkan oleh faktor pasien sendiri, tetapi juga pada petugas kesehatan seperti pasien tidak diberi informasi tentang cara pengunaan obat, waktu minum obat oleh petugas kesehatan.

24

Analisa Kuantitatif Poliklinik Analisa kuantitatif pada pasien polklinik meliputi analisa persentase jenis obat antidiabetes yang digunakan, persentase jenis OAT yang digunakan, persentase jumlah pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan jenis kelamin, rentang umur, jenis pengobatan dan riwayat pengobatan. 1. Jenis Obat Antidiabetes yang digunakan pada terapi Pada pasien poliklinik, pemberian obat antidiabetes oral lebih dipilih untuk pasien DM tipe 2. Walaupun dari beberapa literatur disebutkan pemberian insulin lebih dini pada pasien dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol dan lebih dari dari 5 tahun lebih dianjurkan, namun dibutuhkan keahlian untuk pemberiannya. Glibenklamid merupakan obat golongan sulfonilurea generasi ke 2 paling banyak diresepkan untuk pasien Diabetes Melitus yang tidak memperlihatkan perbaikan hasil dengan hanya pemberian metformin. Obat ini mempunyai t1/2 eliminasi yang panjang yakni 9 jam, sehingga hanya diberikan 1 x sehari. Selain itu dari segi ekonomi, harga glibenklamid relatif murah sehingga dapat diperoleh oleh semua kalangan masyarakat. 2. Jumlah Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan TB paru Berdasarkan Jenis Pengobatan dan Jenis Obat Tablet OAT KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien, yang mana panduan ini dikemas dalam bentuk 1 paket untuk 1 pasien. Pemberian KDT ini lebih dipilih karena meiliki keuntungan dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping, mencegah penggunaan obat tunggal

25

sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep, serta jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi lebih sederhanadan meningkatkan kepatuhan pasien. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, Pirazinamid, Rifampisin, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. 3. Jumlah Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan TB Paru Berdasarkan Rentang Umur Berdasarkan rentang umur, persentase tertinggi pasien yang mendapat terapi obat antidiabetes pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru dialami oleh pasien dengan rentang umur 50 59 tahun. Yaitu sebesar 66,6 %. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Guptan & Shah (2000) dan Yamagshi (2000) yang menyatakan bahwa Diabetes Melitus dan Tuberkulosis paru paling banyak ditemukan pada pasien dengan rentang umur 40 sampai 50 tahunan. 4. Jumlah Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan Tuberkulosis Paru Berdasarkan Jenis Kelamin Penggunaan obat antidiabetes pada pasien DM tipe 2 dengan TB paru berdasarkan jenis kelamin, yang paling banyak mendapatkan terapi obat antidiabetes adalah perempuan yaitu sebesar 55,5 %, sedangkan laki-laki 44,4%. Hasil ini berbanding terbalik dengan data yang diperoleh pada bangsal rawat inap. Kemungkinan hal ini disebabkan lebih baiknya angka kesadaran perempuan dalam melakukan kontrol pengobatan secara teratur ke bagian poliklinik sehingga memperlihatkan angka pasien DM dengan TB paru yang lebih besar pada perempuan dibanding laki-laki.

26

5. Jumlah Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Tuberkulosis paru Berdasarkan Riwayat Pengobatan Pasien Dari hasil ini tergambar bahwa pasien yang paling banyak ditemui di poliklinik adalah pasien dengan TB paru baru dibandingkan TB relaps ataupu default. Adanya program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional dari pemerintahan dengan memberikan penyuluhan, pemberian obat secara gratis, dan PMO ( Pengawas Meminum Obat) dapat menekan angka keberulangan timbulnya TB. Analisa Kualitatif Poliklinik Analisa kualitatif meliputi analisa terjadi atau tidaknya Drug related Problems (masalah-masalah yang dapat timbul selama pasien diberi terapi) diantaranya : Persentase pasien DM tipe 2 dengan TB paru mendapat indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi medis, ketidaktepatan pemilihan obat , menerima obat dengan dosis berlebih, menerima obat dengan dosis kurang, terjadinya reaksi efek samping obat, terjadinya interaksi obat pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan TB paru, persentase pasien kegagalan terapi. Data tentang DRP ini agak sulit dinilai karena pengambilan data secara retrospektif. 1. Indikasi Tanpa Obat DRP mengenai indikasi tanpa obat pada pasien poliklinik agak sulit dinilai karena lembaran Rekam Medik tidak melampirkan keluhan pasien secara keseluruhan. Namun dapat disimpulkan tidak ditemukan adanya kategori DRP ini karena indikasi utama pasien yakni DM dan TB paru diobati. 2. Obat tanpa Indikasi Medis (DM dengan TB paru) Dari data yang diperoleh terlihat, disamping obat utama yang diperoleh oleh pasien yakni obat antidiabetes dan OAT juga diresepkan obat-obat lain kemungkinan

27

karena kondisi klinis pasien. Seperti diresepkan simvastatin untuk mengatasi hiperlipidemia, ascardia sebagai terapi tambahan pada pasien DM, alprazolam untuk mengatasi gangguan tidur, dan Amitriptilin untuk mengatasi kondisi psikis pasien. 3. Ketidaktepatan Pemilihan Obat Untuk ketepatan pemilihan obat agak sulit dinilai, namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pemberian obat untuk pasien DM tipe 2 dan TB paru di poliklinik telah sesuai dengan Standar Terapi dimana untuk tahap awal pasien diterapi dengan metformin, jika tidak terlihat perbaikan maka dilakukan kombinasi dengan golongan sulfonilurea. Pemberian glikuidon pada pasien DM dengan diangnosa gangguan ginjal lebih disarankan karena 4. Dosis Obat berlebih atau Dosis Obat Kurang Pasien DM tipe 2 dan TB paru paling sering mengalami DRP pada penentuan dosis obat DM yang digunakan terutama glibenklamid. Dimana Rifampisin akan mengurangi kadar serum glibenklamid dalam darah dengan cara meningkatkan proses metabolisme glibenklamid di hati. 5. Efek samping Obat Efek samping obat dari terapi obat antidiabetik dan OAT pasien dilihat dari hasil pemeriksan pasien selama check up di poliklinik terhitung saat pasien mulai mendapatkan terapi OAT dan obat antidiabetik selama bulan Juni 2010 sampai Juni 2011. Dari data terlihat bahwa beberapa pasien mengalami keluhan nyeri sendi setelah mendapatkan terapi OAT.

28

6. Interaksi Obat Rifampisin merupakan senyawa penginduksi hati yang poten sehingga dapat meningkatkan proses metabolisme dari sebagian besar golongfan sulfonilurea sehingga perlu dilakukan peningkatan dosis secara bertahap sesuai dengan respon klinis pasien. Salah satu obat yang berinteraksi dengan rifampisin adalah glibenklamid, sehingga pada pasien DM tipe 2 dengan TB yang memerlukan pengontrolan kadar gila darah secara baik perlu dilakukan penambahan dosis obat. 7. Kegagalan Terapi Pasien Kegagalan terapi pasien dapat berasal dari pasien dapat disebabkan oleh faktor psikososial, ekonomi, ketersediaan obat, dan tenaga medis.. Namun dari segi kepatuhan pasien untuk meminum obat TB, dapat teratasi dengan Program Penanggulangan Tuberkulosis yang dilakukan pemerintah dengan menunjuk PMO (Pengawas Menelan Obat) yang bertugas untuk memastikan bahwa pasien benar benar telah meminum obat yang diberikan.

29

0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0 0 11,10% 0 0

66,60%

44,40%

Gambar .Persentase

Jumlah Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan

TB Paru yang

Mengalami Drug Related Problems di Poliklinik Paru dan Penyakit Dalam RSUP. DR. M Djamil Padang

0,2 0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0

20%

20% 15,40% 7,70%

7,70%

0 0%

Gambar. Persentase

Jumlah Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan

TB Paru yang

Mengalami Drug Related Problems di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP. DR. M Djamil Padang

30

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa angka kekerapan (Prevalensi) Drug related Problems pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan TB Paru di RSUP DR. M. Djamil Padang secara keseluruhan rendah. SARAN Untuk meningkatkan terapi pengobatan pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dan Tuberkulosis paru, maka diharapkan seluruh tenaga medis saling bekerja sama dan meningkatakan ketelitiannya sehinga angka kekerapan prevelelensi DRPs dapat terus menurun secara seignifikan.

31

DAFTAR PUSTAKA

Corwin Elizabeth J., 2009, Patofisiologi, EGC, Jakarta. Decroli, Eva, 2011, Timely for Insulin Initation and Intensification: Basal Bolus Approach Concept, Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND, Padang. Departemen Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical care untuk Penyakit Diabetes Melitus, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Jakarta. Departemen Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical care untuk Penyakit Tuberkulosis, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Jakarta. Departemen Kesehatan RI, 2008, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta. Gunawan, Sulistia G., 2007, Farmakologi dan Terapi edisi V, Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI., Jakarta. Guptan A., Shah A., 2000, Tuberculosis and Diabetes, Ind J Tub, 47: 3 Heydari, 2010, Chronic Complication of Diabetes Mellitus in Newly Diagnosed Patients, International Journal of Diabetes Mellitus 2, Elsevier, 61-63 Informasi Spesialit Obat Indonesia vol 44, 2009, Penerbit Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta. Joshi N., 1999, Infection in Patients with Diabetes Mellitus, Engl J Med, 341: 1906 1912. Martindale, 2007. The Complete Drug Reference, 35th edition, The Pharmaceutical Press, United States. Misnadiarly, Diabetes Melitus, Gangren, Ulcer, Infeksi, Pustaka Populer Obor, Jakarta, 2006. Mooradian A.D., Bernbaum M., Albert S.G., 2006, A Rational Approach to Starting Insulin Therapy, Ann Intern Med, 145: 125 134. Neal M.J., 2006, At Glance Farmakologi Medis edisi 5, Penerbit Erlangga, Jakarta. Priyanto, 2009, Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia, Kepaniteraan Gerantologi Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Trumanagara, Jakarta. Sanusi, Harsinen, 2006, Diabetes Mellitus dan Tuberkulosis, USU Digital Laboratory.

Soegondo, Sidartawan, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Pengobatan dengan Insulin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

32

Soegondo S., 2008, Diabetes, The Silent Killer, at http://www.medicastore. com., Bagian Metabolik dan Endokrin, FKUI/RSCM, Jakarta, akses 9 Oktober 2010. Yamagishi F., Sasaki Y., Yagi T., Yamatani H., Kuroda F., Shoda H., 2000, Frequency of Complication of Diabetes Mellitus in Pulmonary Tuberculosis, 75 (6): 435 7. Yamagishi F., Suzuki K., Sasaki Y., Saitoh M., Izumizaki M., Koizumi K., 1999, Prevalence of Coexisting Diabetes Mellitus Among Patients with Active Pulmonary Tuberculosis, 71(10): 569 72. Young, 2010, Increased Risk of Tuberculosis Disease in People with Diabetes Mellitus: Record-Linkage Study in a UK Population, J Epidemiol Community Health Doi: 10.1136/jech.114595.

Anda mungkin juga menyukai