Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KULIT SKENARIO 3

GATAL DI TUNGKAI BAWAH

Kelompok B6
Adi Purnomo

G0012004

Bara Tracy Lovita

G0012040

M. Yusuf Karim

G0012140

Erika Vinariyanti

G0012072

Samuel Fiergeon P. G0012204

Pratiwi Indah P.

G0012162

Pramitha Yustia

Asticha Erlianing S. G0012032

G0012160

Auliansyah Aldisela G0012036

Dewi Nareswari

G0012058

Beata Dinda S.

Andiyani Dewi P.P

G0012014

G0012042

Tutor: Dr. Nunik Agustriani, Sp.B, Sp.BA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dermatitis merupakan peradangan pada kulit (epidermis dan dermis)
sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
cenderung residif dan menjadi kronis.Dermatitis numularis sendiri berasal dari
bahasa latin yaitu nummus yang berarti coindan kata dermatitis yang berarti
ekzem, kata-kata yang umum untuk menggambarkan suatu peradangan pada kulit.
Dermatitis numularis merupakan respon terhadap pengaruh endogen,
dimana lesi awal berupa papul yang disertai vesikel. Dermatitis numularis atau
yang biasa disebut ekzem numular atau ekzem discoid merupakan suatu
peradangan berupa lesi berbentuk mata uang (coin) atau agak lonjong, berbatas
tegas, dengan efloresensi atau lesi awal berupa papul disertai vesikel
(papulovesikel), biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing) dan biasanya
menyerang daerah ekstremitas. Penyebab pasti dari penyakit ini belum diketahui,
namun infeksi mikroorganisme diduga berperan dalam terjadinya dermatitis
numularis. Insidensi terutama pada musim dingin dan bertambah jelek pada waktu
panas. Pada umumnya penderita mengeluh gatal yang hebat pada malam hari dan
disertai rasa panas. Dermatitis numularis cenderung hilang timbul, ada pula yang
terus menerus, kecuali dalam periode pengobatan dan jika terjadi kekambuhan
umumnya timbul pada tempat semula.
Diagnosa dermatitis numularis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
gejala klinis. Gambaran histopatologi dan laboratorium juga dapat membantu
diagnosa. Pengobatan dermatitis numularis dapat diberikan secara umum dan
khusus.
Skenario
Seorang pasien laki-laki berusia 25 tahun datang ke puskesmas dengan
keluhan gatal di tungkai bawah kanan sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya muncul
plenting kecil makin lama makin meluas. Penyakitnya sering kambuh. Kadang
2

kambuh kalau sedang stress. Tidak terdapat riwayat penyakit: asma, hidung
sering buntu atau pilek, gatal di lipat lutut atau siku. Tidak terdapat riwayat
mengoleskan sesuatu sebelum penyakitnya muncul.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan beberapa papul, vesikel, plakat eritem,
berbentuk bulat, berbatas tegas, bervariasi ukuran 1-3 cm, oozing, dan berbentuk
krusta. Tanpa melakukan pemeriksaan penunjang, dokter langsung memberikan
terapi dan edukasi.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa pasien mengeluh gatal di tungkai bawah kanan?
2. Mengapa plenting meluas?
3. Apakah hubungan stress dengan keluhan yang dialami pasien?
4. Bagaimana kaitan asma, pilek dengan keluhan?
5. Bagaimana patofisiologi gejala klinis yang dialami pasien?
6. Mengapa dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang?
7. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan
diagnosis?
8. Apa kemungkinan diagnosis banding pasien?
9. Bagaimana tanda-tanda kulit kering?
10. Bagaimana penatalaksanaan dari keluhan pasien?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahuimekanisme gatal di tungkai bawah kanan
2. Mengetahui penyebab plenting meluas
3. Mengetahui hubungan stress dengan keluhan yang dialami pasien
4. Mengetahui kaitan asma, pilek dengan keluhan
5. Mengetahui patofisiologi gejala klinis yang dialami pasien
6. Mengetahui alasan dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan
diagnosis
8. Mengetahui kemungkinan diagnosis banding pasien
3

9. Mengetahui tanda-tanda kulit kering


10. Mengetahui penatalaksanaan dari keluhan pasien

D. Manfaat Penulisan
Mahasiswa mengetahui patofisiologi dan gejala klinis berbagai macam
dermatitis serta penatalaksaanaan yang tepat dalam pemecahan kasus dalam
skenario.

E. Hipotesis
Pasien dalam skenario mengalami peradangan pada kulit yang diduga dermatitis
numularis. Tidak adanya riwayat asma, sering pilek, dan riwayat mengoleskan
sesuatu mungkin dapat menyingkirkan diagnosis dermatitis kontak.

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Seven Jump
I. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa
istilah dalam skenario
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah-istilah sebagai berikut:
1. Plenting : merupakan istilah awam dari papula dimana papula
adalah penonjolan superficial pada permukaan kulit dengan
massa zat padat, berbatas tegas, berdiameter < 1cm.
2. Vesikula : adalah gelembung yang berisi cairan serum, beratap,
mempunyai dasar dengan diameter < 1 cm.
3. Plakat eritem

: adalah peninggian di atas permukaan kulit,

permukaannya rata dan berisi zat padat (biasanya infiltrate),


diameternya 2 cm atau lebih dan berwarna kemerahan yang
disebabkan pelebaran pembuluh kapiler yang reversible.
II. Langkah II : Menentukan dan mendefinisikan permasalahan
1.

Mengapa pasien mengeluh gatal di tungkai bawah kanan?

2.

Mengapa plenting meluas?

3.

Apakah hubungan stress dengan keluhan yang dialami pasien?

4.

Bagaimana kaitan asma, pilek dengan keluhan?

5.

Bagaimana patofisiologi gejala klinis yang dialami pasien?

III. Langkah III : menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan


sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah 2)
1.

Mengapa pasien mengeluh gatal ditungkai bawah?

Adanya gatal pada kulit menandakan adanya sensitisasi pada bagian dermis kulit.
Rasa gatal merupakan tahapan nyeri yang paling bawah dari nyeri. Nyeri sendiri
adalah suatu bentuk perlindungan tubuh yang mengisyaratkan bahwa tubuh
mengalami gangguan.

Patofisiologi dari gatal sendiri adalah terjadinya sensitisasi pada serabut saraf C
yang sangat kecil dan tak bermielin yang identik dengan serabut saraf yang
dipakai untuk menjalarkan impuls nyeri tipe lambat. Ada pula penelitian yang
menunjukkan bahwa ujung saraf bebas mekanoreseptor yang hanya menerima
rangsangan geli dan gatal.
Rasa gatal pada kulit secara fisiologis menimbulkan reflex menggaruk seperti
pada rangsangan gigitan nyamuk dan gerakan kutu. Akan terjadi dua macam hal
oleh menggaruk ini yang akan melokalisir gatal. Yang pertama adalah garukan
tersebut akan mengangkat iritan iritan yang ada pada kulit, atau yang kedua yaitu
menimbulkan sensasi nyeri. Sensasi nyeri ini dianggap dapat menekan sinyal gatal
di medulla spinalis oleh inhibisi lateral saraf. (Sumber: Guyton C Hall. Pp 613)
Pada kasus ini, timbulnya gatal (pruritus) terjadi karena ada inflamasi oleh suatu
penyakit eczema yang membuat tubuh melepaskan mediator inflamasi. Tentu saja
hal tersebut dapat menyebabkan reflex menggaruk pada bagian yang mengalami
lesi agar gatal dapat terlokalisir. Hanya saja reflex menggaruk ini merugikan
penderita sendiri karena garukan yang menimbulkan laserasi pada kulit malah
semakin memperbesar lesi yang biasa disebut Kobbner phenomenon. Alhasil lesi
malah semakin bertambah lebar dan pruritus akan terus berulang. (sumber: Buku
IKK FKUI)
Beberapa penyakit kulit salah satunya yaitu Eczema nummularis memiliki
predileksi serangan pada tungkai bawah. Hal tersebut belum dapat dicari asalnya
hanya saja ada kemungkinan bahwa laserasi tipis pada kulit tungkai bawah dapat
memicu bakteri Staph. aureus

untuk memunculkan lesi karena lapisan kulit

tungkai tipis. Apalagi diperberat pada keadaan musim dingin ketika kulit
mengalami xerosis yang maksimal. (Sumber: Fizpatrick )

2.

Mengapa plenting meluas?

Dermatitis numular merupakan suatu kondisi yang terbatas pada epidermis dan
dermis saja. Hanya sedikit diketahui patofisiologi dari penyakit ini, tetapi sering
6

bersamaan dengan kondisi kulit yang kering. Adanya fissura pada permukaan
kulit yang kering dan gatal dapat menyebabkan masuknya alergen dan
mempengaruhi terjadinya peradangan pada kulit. Suatu penelitian menunjukkan
dermatitis numularis meningkat pada pasien dengan usia yang lebih tua terutama
yang sangat sensitif dengan bahan-bahan pencetus alergi. Barrier pada kulit yang
lemah pada kasus ini menyebabkan peningkatan untuk terjadinya dermatitis
kontak alergi oleh bahan-bahan yang mengandung metal. Karena pada dermatitis
numular terdapat sensasi gatal, telah dilakukan penelitian mengenai peran mast
cell pada proses penyakit ini dan ditemukan adanya peningkatan jumlah mast cell
pada area lesi dibandingkan area yang tidak mengalami lesi pada pasien yang
menderita dermatitis numularis. Suatu penelitian juga mengidentifikasi adanya
peran neurogenik yang menyebabkan inflamasi pada dermatitis numular dan
dermatitis atopik dengan mencari hubungan antara mast cell dengan saraf sensoris
dan mengidentifikasi distribusi neuropeptida pada epidermis dan dermis dari
pasien dengan dermatitis numular. Peneliti mengemukakan hipotesa bahwa
pelepasan histamin dan mediator inflamasi lainnya dari mast cell yang kemudian
berinteraksi dengan neural C-fibers dapat menimbulkan gatal. Para peneliti juga
mengemukakan bahwa kontak dermal antara mast cell dan saraf, meningkat pada
daerah lesi maupun non lesi pada penderita dermatitis numular. Substansi P dan
kalsitonin terikat rantai peptide meningkat pada daerah lesi dibandingkan pada
non lesi pada penderita dermatitis numular. Neuropeptida ini dapat menstimulasi
pelepasan sitokin lain sehingga memicu timbulnya inflamasi.
Penelitian lain telah menunjukkan bahwa adanya mast cell pada dermis dari
pasien dermatitis numular menurunkan aktivitas enzim chymase, mengakibatkan
menurunnya kemampuan menguraikan neuropeptida dan protein. Disregulasi ini
dapat menyebabkan menurunnya kemampuan enzim untuk menekan proses
inflamasi, sehingga vesikel dapat meluas.

3.

Apakah hubungan stress dengan keluhan yang dialami pasien?

Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi
yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh
melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon
dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan
menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti
membuktikan

stres

telah

menyebabkan

perubahan

neurotransmitter

neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary


Adrenal

Axis),

HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid

Axis) dan

HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme


yang paling banyak diteliti.
Aksis limbic-hypothalamo-pitutary-adrenal (LHPA)

menerima

berbagai input,

termasuk stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular


nucleus

paraventricular

mensintesiscorticotropin

hypothalamus (mpPVN).
releasing

Neuron

hormone (CRH)

tersebut

akan

dan arginine

vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis
anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk
mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC
(propiomelanocortin) serta mengsekresikannya. Kemudian ACTH mengaktifkan
proses biosintesis dan melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison
pada roden dan kortisol pada primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi
yang diperantarai reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi
tubuh secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang
diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stresor.
Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid disekresikan
walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui mekanisme umpan balik
negatif. Peningkatan glukokortikoid umumnya disertai penurunan kadar androgen
dan estrogen. Karena glukokortikoid dan steroid gonadal melawan efek fungsi
imun, stres pertama akan menyebabkan baik imunodepresi (melalui peningkatan
kadar glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steoid
gonadal). Peningkatan stimulasi respon imun dapat meningkatkan sensitivitas
8

respon imun. Hal ini menyebabkan sistem imun akan bekerja secara berlebihan
dan melepaskan mediator inflamasi secara berlebihan pula. Mediator inflamasi
klasik, antara lain prostaglandin, bradikinin, leukotrien, serotonin, pH yang rendah
dan substansi P, dapat mensensitisasi nosiseptor secara kimiawi. Mediator
inflamasi tersebut menurunkan ambang rangsang reseptor terhadap mediator lain
seperti histamin dan capsaicin, sebagai akibatnya terjadi induksi rasa gatal.
Aktivitas nosiseptor kimia pada penderita gatal kronis menimbulkan sensitisasi
sentral sehingga meningkatkan sensitivitas terhadap rasa gatal. Terdapat dua tipe
peningkatan sensitivitas terhadap rasa gatal, salah satunya adalah aloknesis yang
analog dengan alodinia terhadap rangsang nyeri. Alodinia artinya rabaan atau
tekanan ringan yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri oleh
penderita dirasakan nyeri, sedangkan aloknesis adalah rabaan atau tekanan ringan
yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan rasa gatal oleh penderita
dirasakan gatal.

4.

Bagaimana kaitan asma, pilek dengan keluhan?

Riwayat keluarga dengan asma, rinitis alergika atau dermatitis atopika merupakan
tanda dari Dermatitis Atopika. Dermatitis atopika adalah penyakit inflamasi yang
ditandai dengan erupsi kulit makulo papuler dengan kemerahan, memberi keluhan
gatal yang sangat dengan penyebaran yang khas, berkembang menjadi lesi kulit
dengan likenifikasi kering, ekskoriasi dan eksudasi. Sifatnya menurun ( heriditer
). Pada scenario asma, rhinitis alergica dan dermatitis atopic disangkal, sehingga
diagnosis banding dermatitis atopica dapat dieliminasi.

5.

Bagaimana patofisiologi gejala klinis yang dialami pasien?

Papul adalah ujud kelainan kulit berupa lesi padat meninggi dengan garis tengah
kurang atau sama dengan 5mm, papul terbentuk karena peradangan yang sebagian
besar terjadi di dermis, kemudian komponen-komponen peradangan tersebut
membentuk massa yang solid.
9

Vesikel merupakan lesi yang terisi cairan dengan ukuran lebih dari 0.5cm, dapat
terjadi secara intraepidermal atau subepidermal. Lesi yang terbentuk secara
intraepidermal longgar dan mudah pecah. Sedangkan, lesi subepidermal bersifat
tegang dan tidak mudah pecah. Vesikel terbentuk karena plasma yang bocor dari
pembuluh darah mengisi ruang epidermis sehingga terjadi penumpukan cairan.

Plakat eritem, yaitu lesi dengan peninggian yang permukaannya datar dibanding
kukit normal di sekitatnya dan berwarna kemerahan. Plakat terbentuk akibat
peradangan yang sebagian besar terjadi di dermis dan warna kemerahan
merupakan akibat dari ekstravasasi pembuluh darah di jaringan kulit tersebut

10

Krusta berupa tumpukan cairan darah atau nanah atau kotoran atau obat yang
sudah mengering letaknya diatas permukaan kulit, seperti pada impetigo krustosa.
Krusta merupakan efloresensi kulit sekunder. Krusta terjadi berawal dari papul
atau pustul atau vesikel atau bula yang mengalami ruptur atau pecah sehingga
cairan atau bahan-bahan yang terkandung di dalamnya akan mengering.

Oozing merupakan sifat dari papulovesikel yang mudah pecah sehingga memberi
tampakan seperti lesi yang basah yang disebut dengan oozing. Oozing dapat
terjadi akibat rembesan cairan plasma atau darah dari dalam jaringan ke
permukaan kulit.

IV. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan


pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III

11

GATAL

PEMERIKSAAN FISIK :

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Papul, Vesikel, Plakat eritem


berbentuk bulat, batas tegas,
bervariasi ukuran 1-3 cm, Oozing,
krusta

Patch test

DIAGNOSIS BANDING :
-

Dermatitis numularis
Dermatitis stasis
Dermatitis atopic
Dermatitis kontak
alergi
Liken simpleks kronis

TERAPI DAN EDUKASI

V. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran


1.

Apa kemungkinan diagnosis banding pasien?

2.

Mengapa dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang?

3.

Apa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan


diagnosis?

4.

Bagaimana tanda-tanda kulit kering?

5.

Bagaimana penatalaksanaan dari keluhan pasien?

VI. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru


Kami mengumpulkan informasi-informasi baru untuk menjawab pertanyaan dari
LO (Learning Object) mulai dari jurnal hingga text book.

12

VII.

Langkah VII : melaporkan, membahas, dan melaporkan


kembali informasi baru yang diperoleh.

1.
a.

Apa kemungkinan diagnosis banding pasien?

Dermatitis Numularis

Definisi
Dermatitis berbentuk lesi berupa mata uang atau agak lonjong, berbatas tegas
dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah (oozing).
Epidemiologi
Pada orang dewaa terjadi lebih sering pada pria daripada wanita. Usia puncak
pada kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun. Pada wanita usia puncak terjadi
juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Jarang ditemukan pada anak, umumnya
kejadian meningkat seiring dengan meningkatnya usia.
Etiopatogenesis
Penyebabnya tidak diketahui pasti, banyak factor yang ikut berperan. Dermatitis
kontak mungkin ikut berperan pada berbagai kasus dermatitis numulari, misalnya
alergi terhadap nikel, krom, kobal, demikian pula iritasi terhadap wol atau sabun.
Trauma fisis dan kimiawi mungkin juga berperan. Pada sejumlah kasus, stress
emosional dan minuman yang mengandung alcohol dapat menyebabkan
timbulnya eksaserbasi. Lingkungan dengan kelembaban rendah dapat memicu
kekambuhan.
Gambaran Klinis
Penderita dermatitis numularis umumnya mengeluh sangat gatal. Lesi akut berupa
vesikel dan papulovesikel, kemudian membesar dengan cara berkonfluensi atau
meluas ke samping, membentuk satu lesi karatkteristik seperti uang logam,
eritematosa, sedikit edem dan berbtas tegas. Lambat laun vesikel pecah terjadi
eksudasi, kemudian mongering menjadi krusta kekuningan. Jumlah lesi dapat
hanya satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral atau simetris, dengan ukuran

13

bervariasi, mulai dari miliar sampai nummular bahkan plakat. Tempat predileksi
di tungkai bawah, badan, lengan termasuk punggung tangan.
Dermatitis numulari cenderung hilang timbul, ada pula yang terus menerus,
kecuali dalam periode pengobatan. Bila terjadi kekambuhan umumnya timbul
pada tempat semula. Lesi dapat pula terjadi pada tempat yang mengalami trauma
(fenomena Kobner)
Diagnosis
Didasarkan atas gambaran klinis. Diagnosis banding antara lain dermatitis kontak,
dermatitis atopic, neurodermatiti sirkumskripta.
Pengobatan
Bila kulit kering dapat diberi pelembab atau emolien. Secara topical lesi dapat
diobati dengan obat anti-inflamasi, misalnya preparat ter, glukokortikoid,
takrolimus, atau pimekrolimus. Bila lesi masih eksudatif, sebaiknya dikompres
dahulu. Kalau ditemukan infeksi bacterial, diberikan antibiotic secara sistemik.
Pruritus dapat diobati dengan antihistmain golongan H1, misalnya hidroksin HCl.
Prognosis
Dari suatu pengamatan, sejumlah pasien 22% sembuh, 25% pernah sembuh untuk
beberapa minggu sampai tahun, 53% tidak pernah bebas dari lesi kecuali masih
dalam pengobatan.
b.

Dermatitis statis

Dermatitis stasis merupakan penyakit inflamasi kulit yang sering terjadi di


ekstremitas bawah (tungkai) pada pasien dengan insufisiensi dan hipertensi vena.
Penyakit ini umumnya menyerang pada usia pertengahan dan usia lanjut serta
jarang terjadi sebelum dekade kelima kehidupan, kecuali pada keadaan di mana
insufisiensi vena disebabkan oleh pembedahan (surgery), trauma, atau trombosis.
Dermatitis stasis dapat merupakan prekursor dari keadaan lain seperti ulkus vena
tungkai atau lipodermatiosklerosis.
Etiopatogenesis
14

Mekanisme terjadinya penyakit dermatitis stasis belum sepenuhnya dipahami.


Terdapat beberapa teori (hipotesis) yang menerangkan proses terjadinya penyakit
ini.
Teori pertama mengatakan bahwa terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada
vena sehingga terjadi kebocoran fibrinogen ke dalam dermis. Fibrinogen ini akan
berpolimerasi membentuk selubung fibrinogen perikapiler dan interstisial
sehingga menghalangi difusi oksigen dan nutrisi menuju kulit. Akhirnya terjadi
kematian sel. Tetapi terdapat data yang kurang mendukung hipotesis tersebut,
antara lain (1) Derajat endapan fibrin tidak berhubungan dengan luasnya
insufisiensi vena dan tekanan oksigen transkutan dan (2) selubung fibrin yang
terbentuk tidak kontinu dan tidak teratur sehingga sulit berperan sebagai suatu
sawar mekanik terutama untuk molekul kecil seperti oksigen dan nutrien.
Ada teori lain yang mengatakan bahwa inflamasi pada dermatitis stasis terjadi
akibat adanya hubungan antara arteri-vena, menyebabkan terjadinya hipoksia dan
kekurangan bahan makanan di kulit yang mengalami gangguan.
Hipotesis lain, yaitu hipotesis perangkap faktor pertumbuhan (growth factor trap
hypothesis) mengemukakan bahwa hipertensi vena/kerusakan kapiler akan
menyebabkan keluarnya molekul makro seperti fibrinogen dan 2-makroglobulin
ke

dalam

dermis

sehingga

akan

membentuk

semacam

perangkap

terhadap growth factor dan substansi stimulator lain atau homeostatik. Dengan
demikian jika terjadi kerusakan jaringan maka integritas dan proses penyembuhan
sulit untuk terjadi.
Selain itu, terdapat hipotesis lain yaitu karena terperangkapnya sel darah putih
(white cell trapping hypothesis). Hal tersebut terjadi sebagai akibat hipertensi
vena dan perbedaan tekanan antara arteri dan vena sehingga kecepatan aliran
kapiler berkurang, terjadi agregasi eritrosit dan sumbatan leukosit. Agregasi
eritrosit akan menimbulkan hipoksia, sedangkan sumbatan leukosit membentuk
sawar fisis dan memicu pelepasan mediator-mediator tertentu (seperti enzim
proteolitik; sitokin, radikal bebas dan faktor kemotaktik) yang dapat mengubah
15

permeabilitas kapiler. Akibatnya molekul besar seperti fibrinogen keluar menuju


jaringan perikapiler.
Gambaran klinis
Peningkatan tekanan vena akan menyebabkan pelebaran vena, varises, dan edema.
Lama kelamaan kulit berwarna kehitaman dan timbul purpura (warna kemerahan
akibat ekstravasasi sel darah merah ke dalam dermis) serta hemosiderosis
(peningkatan cadangan besi jaringan). Edema dan varises mudah terlihat jika
penderita berdiri dalam jangka waktu yang lama. Kelainan ini dimulai dari
permukaan tungkai bawah sisi medial/lateral di atas malleolus, lalu meluas hingga
ke bawah lutut dan bagian dorsal kaki. Selanjutnya terjadi tanda-tanda dermatitis
yaitu eritema, skuama, gatal dan terkadang ada eksudasi cairan.
Apabila sudah berlangsung lama maka kulit menjadi tebal dan fibrotik meliputi
sepertiga tungkai bawah, keadaan ini disebut lipodermatosklerosis.
Dermatitis stasis bisa mengalami komplikasi berupa ulkus di atas malleolus,
disebut ulkus venosum/ulkus varikosum. Dapat juga mengalami infeksi sekunder,
misalnya selulitis. Dermatitis stasis dapat diperberat karena mudah teriritasi oleh
bahan kontaktan, atau mengalami autosensitisasi.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Selain itu
dapat juga dilakukan pemeriksaan radiologi/Doppler untuk melihat adanya
perubahan (dilatasi) vena yang dalam, trombosis atau gangguan katup. Pada
pemeriksaan histologis akan ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi, agregasi
hemosiderin di dermis atau penebalan arteriol/venula.
Diagnosis banding antara lain dermatitis kontak (dapat terjadi bersamaan dengan
dermatitis stasis), dermatitis numularis, dan penyakit Schamberg.
Tatalaksana
Untuk mengatasi edema akibat varises, maka tungkai dinaikkan (elevasi) sewaktu
tidur atau duduk. Bila tidur kaki diusahakan agar terangkat melebihi permukaan
16

jantung selama 30 menit dilakukan 3-4 kali sehari untuk memperbaiki


mikrosirkulasi dan menghilangkan edema. Dapat pula kaki tempat tidur disangga
balok setinggi 15-20 cm (sedikit lebih tinggi dibanding letak jantung). Apabila
sedang menjalankan aktivitas, memakai kaos kaki penyangga varises atau
pembalut elastis.
Eksudat yang ada dapat dikompres dan setelah kering diberi krim kortikosteroid
potensi rendah sampai sedang. Apabila terdapat infeksi sekunder maka dapat
ditangani dengan pemberian antibiotika sistemik.
c.

Liken simpleks kronis / Neurodermatitis

Neurodermatitis adalah suatu peradangan menahun pada lapisan kulit paling atas
yang menimbulkan rasa gatal. Penyakit ini menyebabkan bercak penebalan kulit
yang kering, bersisik dan berwarna lebih gelap, dengan bentuk lonjong dan tidak
beraturan. Disertai gejala garis kulit tampak menonjol (likenifikasi), akibat
garukan atau gosokan berulang karena berbagai rangsangan pruritogenik.
Etiologi
Penyebab neurodermatitis masih belum diketahui secara pasti. Dapat timbul
akibat dari iritasi menahun dan garukan yang berulang-ulang meningkatkan
terjadinya neurodermatitis.
Penyakit ini biasanya berhubungan dengan : 1) Dermatitis Atopik, 2) Psoriasis, 3)
Kecemasan, depresi ataupun penyakit psikis lainnya.
Faktor Resiko
Neurodermatitis sering terjadi pada rentang umur 30 dan 50 tahun. Wanita lebih
sering terkena dari pada laki-laki. Lebih berkembang jika dalam keluarga terdapat
riwayat eczema, psoriasis dan kondisi kulit yang serupa. Dapat juga disebabkan
oleh: mengenakan pakaian dengan ketat dan berasal dari sintetis atau woll, kulit
kering, paparan terus-menerus alergen dan bahan iritan, panas, gigitan serangga,
stress atau jaringan parut (keloid).
Gejala Klinis
17

Gejala primer neurodermatitis adalah kulit yang sangat gatal, muncul tunggal
didaerah leher, pergelangan tangan, lengan bawah, paha atau mata kaki, kadang
muncul alat kelamin. Rasa gatal sering hilang timbul. Sering timbul pada saat
santai atau sedang tidur, akan berkurang saat beraktifitas. Rasa gatal yang digaruk
akan menambah berat rasa gatal tersebut.
Gejala klinis neurodermatitis yang muncul adalah : kulit yang gatal pada daerah
tertentu, terjadi perubahan warna kulit, kulit yang bersisik akibat garukan atau
penggosokan dan sudah terjadi bertahun-tahun.
Pemeriksaan Tambahan
Neurodermatitis sering muncul bersamaan dengan psoriasis dan dermatitis maka
harus disingkirkan dengan melakukan pemeriksaan tambahan.
Patch Test
Test ini menentukan unsur apa yang menyebabkan suatu reaksi alergi di
dalampasien, dapat menyingkirkan gejala dermatitis kontak alergika. Test ini
memakai berbagai alergen dengan potensial yang rendah dan di pertahankan
sampai dua hari. Jika terdapat suatu tanda bengkak dibawah alergen berarti
hipersensitiv terhadap bahan tersebut.
Skin Biopsi
Pengambilan sedikit jaringan kulit pada dearah lesi dan kemudian dilihat hasilya
di bawah suatu mikroskop. Bantuan Prosedur ini mendiagnose suatu
infeksi/peradangan kulit atau kondisi kulit lain.
Gambaran klinis yang didapatkan : suatu hyperkeratosis, akantosis, spongiosis
dan penebalan parakeratosis. Papillary kulit mengalami fibrosis kearah vertical
sampai ke lapisan kolagen, ini merupakan tanda khas dari neurodermatitis.
Pengobatan
Pengobatan utama dari neurodermatitis adalah untuk mengurangi pruritus dan
memperkecil luka akibat garukan atau gosokan. Gol pharmacotherapy adalah
untuk mengurangi rasa sakit dan untuk mencegah komplikasi.
18

Pemberian kortikosteroid dan antihistamin oral bertujuan untuk mengurangi reaksi


inflamasi yang menimbulkan rasa gatal. Pemberian steroid topical juga membantu
mengurangi hyperkeratosis. Pemberian steroid mid-potent diberikan pada reaksi
radang yang akut, tidak direkomendasikan untuk daerah kulit yang tipis (vulva,
scrotum, axilla dan wajah). Pada pengobatan jangka panjang digunakan steroid
yang low-poten, pemakaian high-potent steroid hanya dipakai kurang dari 3
minggu pada kulit yang tebal.
Anti-depresan atau anti-anxiety sangat membantu pada sebagian orang dan perlu
pertimbangan untuk pemberiannya. Jika terdapat suatu infeksi sekunder dapat
diberikan antibiotik topical ataupun oral. Perlu diberikan nasehat untuk mengatur
emosi dan perilaku yang dapat mencegah gatal dan garukan.
Macam-Macam Obat
Kortikosteroid
Memiliki kegunaan sebagai anti-inflamasi, yang berguna mengurangi pruritus,
menipiskan liken, dan mengurangi reaksi inflamasi.
-

Clobetasol (Temovate)

Termasuk dalam kelas 1 superpotent steroid topical : suppresses mitosis dan


meningkatkan sintesis protein sehingga mengurangi inflamasi dan menyebabkan
vasokontriksi.
-

Fluocinolon 0,01% atau 0,025% cream (Synalar, Fluonid)

Merupakan topical steroid yang medium potent yang menhambat proliferasi sel,
juga sebagai imunosuprosor, anti-proliferasi, dan anti-inflamasi.
-

Hydrocortisone Valerate cream 0,02% (Westcort)

Salah satu derivat dari adrenokortikosteroid sesuai untuk penggunaan pada kulit
atau selaput lendir eksternal.
-

Fluocinonide cream 0,1% atau 0,05% (Lidex)

Merupakan topical corticosteroid yang menghambat proliferasi sel.


19

Anti-pruritic
Memberikan efek pengendalian terhadap pelepasan histamine secara endogen.
Sehingga dapat, mengurangi efek gatal, efek sedasi dan menyebabkan kantuk.
Obat ini bekerja menstabilkan membrane saraf dan mencegah transmisi dan
inisiasi dari impuls saraf, dan menghasilkan anastesi local.
-

Diphenhydramine (Benadryl, Benylin, Diphen, Allermax)

Mengurangi rasa gatal yang disebabkan oleh pelepasan histamine.


-

Chlorpheniramine (Chlor-Trimeton)

Penghambat histamine atau H1-Reseptor pada sel efektor di pembuluh darah dan
traktus respiratori.
-

Hydroxyne (Atarax, Vistaril)

Antagonis H1-Reseptor pada bagian luar, dan menekan aktifitas dari histamine
pada subcortikal diregio CNS.
-

Doxepin (Sinequan, Zonaton)

Penghambat

aktifitas

histamine

dan

asetilkolon.

Penggunaannya

dapat

memberikan efek sedasi, dan penyerapannya tinggi pada pemberian secara topical.
Immunosuppressant
-

Tacrolimus (Protopic)

Mekanisme kerja di LCS tidak diketahui. Dapat mengurangi gatal dan reaksi
inflamasi. Juga menghambat transkripsi dari gen yang mengkode IL-3, IL-4, IL-5,
GM-CSF, dan TNF-ALPHA, melibatkan pada fase awal dari aktifasi T-Cell.
Immune Modulator
-

Pimecrolimus (Elidel)

Merupakan

turunan

dari

ascomycin,

suatu

unsur

alami

yang

diproduksiStreptomyces hygroscopicus var ascomyceticus.


d.

Dermatitis Atopik
20

Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat kronik residif yang
dapat terjadi pada bayi, anak dan dewasa dengan riwayat atopi pada penderita
atau keluarganya (Dharmadji, 2006).

Epidemiologi
Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat
utama di seluruh dunia dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan
prevalensi pada orang dewasa 1-3% (Williams et al, 1999 dalam Leung, et al.,
2007; Schultz dan Hanifin, 2002 dalam Leung dan Bieber, 2003). Dermatitis
atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira
1.5:1 (Kuster, et al., 1990 dalam Abramovits, 2005). Dermatitis atopik sering
dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic). Empat
puluh lima persen kasus dermatitis atopik pada anak pertama kali muncul
dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan
85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun. Lebih dari 50%
anak-anak yang terkena dermatitis atopik pada 2 tahun pertama tidak memiliki
tanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi jauh lebih peka selama masa
dermatitis atopik (Illi et al., 2004 dalam Bieber, 2008). Sebagian besar yaitu
70% kasus penderita dermatitis atopik anak, akan mengalami remisi spontan
sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa ( late
onset dermatitis atopic ), dan pasien ini dalam jumlah yang besar tidak ada
tanda-tanda sensitisasi yang dimediasi oleh IgE (Novak dan Bieber, 2003
dalam Bieber, 2008).
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children,
prevalensi penderita dermatitis atopik pada anak bervariasi di berbagai negara.
Prevalensi dermatitis atopik pada anak di Iran dan China kurang lebih sebanyak
2%, di Australia, England dan Scandinavia sebesar 20%. Prevalensi yang tinggi
juga didapatkan di Negara Amerika Serikat yaitu sebesar 17,2% (Flohr, et al.,
dalam Zulkarnain, 2009; Laughter, et al., 2000 dalam Simpson dan Hanifin,
2005).
Penelitian Yuin Chew Chan dkk, di Asia Tenggara didapatkan prevalensi
21

dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sebesar kurang lebih 20% (Chan et
al., 2006 dalam Zulkarnain, 2009).
Data mengenai penderita dermatitis atopik pada anak di Indonesia belum
diketahui secara pasti. Berdasarkan data di Unit Rawat jalan Penyakit Kulit Anak
RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien dermatitis atopik mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Jumlah pasien dermatitis atopik baru yang
berkunjung pada tahun 2006 sebanyak 116 pasien (8,14%) dan pada tahun 2007
sebanyak 148 pasien (11,05%), sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien
(17,65%) (Zulkarnain, 2009).
Penyebab dari peningkatan prevalensi dermatitis atopik belum sepenuhnya
dimengerti. Riwayat keluarga yang positif mempunyai peran yang penting dalam
kerentanan terhadap dermatitis atopik, namun faktor genetik saja tidak dapat
menjelaskan peningkatan prevalensi yang demikian besar. Dari hasil observasi
yang dilakukan pada negara-negara yang memiliki ethnis grup yang sama
didapatkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan peningkatan risiko
dermatitis atopik (Flohr, et al., 2005 dalam Gondokaryono, 2009; Tay, 2002
dalam Leung, et al., 2007). Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di daerah
pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan yang dihubungkan dengan
hygiene hypothesis, yang mendalilkan bahwa ketiadaan pemaparan terhadap
agen infeksi pada masa anak-anak yang dini meningkatkan kerentanan terhadap
penyakit alergi (Williams dan Flohr, 2006 dalam Bieber, 2008; Zutavern, et al.,
2005 dalam Bieber, 2008).
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan prevalensi dermatitis
atopik yaitu pada daerah kota dengan peningkatan pemaparan stimulus dari
lingkungan industri yang berbahaya, sosial ekonomi yang tinggi, jumlah anak
yang sedikit, migrasi dari pedesaan ke perkotaan, infeksi terhadap Staphylococcus
aureus, dan umur ibu yang tua pada saat melahirkan (Larsen dan Hanifin, 2002
dalam Abramovits, 2005; Von, 2000 dalam Abramovits, 2005; Jones, 2002 dalam
Abramovits, 2005; Eichenfield, et al., 2003 dalam Leung, et al., 2007).

Etiologi dan Patogenesis Dermatitis Atopik


22

Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas


akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit
yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Faktor eksogen
pada DA, antara lain adalah trauma fisik-kimia-panas, bahan iritan, allergen debu,
tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur), infeksi mikroba, perubahan iklim
(peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene lingkungan. Faktor endogen
lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen cenderung
menjadi faktor pencetus (Boediardja, 2006).

e.

Dermatitis Kontak Alergi

Definisi
Dermatitis merupakan epido-dermitis dengan gejala subyektif pruritus.
Obyektif tampak inflamasi eritema, vesikulsi, eksudasi dn pembentukan sisik.
Tanda-tanda polimorfi tersebut tidk selalu timbul pda saat yang sama. Penyakit
bertendensi resisif dan menjadi kronis (Arief Mansjoer : 86. 2002)
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis atau peradangan kulit yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitasi(R.S. Siregar : 109.
2002). Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis kontak karena sensitasi
alergi terhadap substansi yang beraneka ragam yang menyebabakan reaksi
peradangan pada kulit bagi mereka yang mengalami hipersensivitas terhadap
alergen sebagai suatu akibat dari pajanan sebelumnya (Dorland, W.A. Newman :
590. 2002)

Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia dengan berat kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan
kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi
alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.
Dermatitis kontak alergik terjadi bila alergen atau senyawa sejenis
menyebabkan reaksi hipersensitvitas tipe lamat pada paparan berulang. Dermatitis
ini biasnaya timbul sebagai dermatitis vesikuler akut dalam beberapa jam sampai
23

72 jam setelah kontak. Perjalanan penyakit memuncak pada 7 sampai 10 hari, dan
sembuh dalam 2 hari bila tidak terjadi paparan ulang. Reaksi yang palning umum
adalah dermatitis rhus, yaitu reaksi alergi terhadap poison ivy dan poison cak.
Faktor predisposisi yang menyebabakn kontak alergik adalah setiap keadaan yang
menyebabakan integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis statis(Baratawijaya,
Karnen Garna. 2006)

Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi
adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune
respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensititas di kullit timbulnya lambat
(delayed hipersensivitas), umumnya dlam waktu 24 jam setelah terpajan dengan
alergen.
Sebelum seseorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik,
terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya.
Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang
disebut hapten yang terikat dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen
ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel langerhans, selanjutnya
dipresentasekan oleh sel T. Setelah kontak dengan ntigten yang telh diproses ini,
sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdiferensisi dan
berploriferasi memebneetuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan
sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga
sistem limfoid, sehingga menyebabkab keadaan sensivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh. Fase saat kontak pertama sampai kulit menjdi sensitif disebut fase
induksi tau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu,
sifat

sensitisasi

alergen(sensitizer),

jumlah

alergen,

dan

konsentrasi.

Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah
seperti bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya
kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa
bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan
24

alergen yang sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi
umumnya berlangsung antara 24-48 jam(Djuanda, Adhi. 2004)

Gejala
Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritema berbatas tegas, kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan
erosi dan eksudasi(basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama,
papul, likenifikasi dan mungkin jugga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit
dibedaknn dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga
campuran.
Gejala yang umum dirasakan penderita adalah pruritus yang umumnya
konstan dan seringkali hebat (sangat gatal). DKA biasanya ditandai dengan
adanya lesi eksematosa berupa eritema, udem, vesikula dan terbentuknya
papulovesikula; gambaran ini menunjukkan aktivitas tingkat selular. Vesikelvesikel timbul karena terjadinya spongiosis dan jika pecah akan mengeluarkan
cairan yang mengakibatkan lesi menjadi basah. Mula-mula lesi hanya terbatas
pada tempat kontak dengan alergen, sehingga corak dan distribusinya sering dapat
meiiunjukkan kausanya,misalnya: mereka yang terkena kulit kepalanya dapat
curiga dengan shampo atau cat rambut yang dipakainya. Mereka yang terkena
wajahnya dapat curiga dengan cream, sabun, bedak dan berbagai jenis kosmetik
lainnya yang mereka pakai. Pada kasus yang hebat, dermatitis menyebar luas ke
seluruh tubuh.

Diagnosis
Diagnosis didasarakan pada hasil diagnosis yang cermat dan pemeriksan
klinis yang teliti.Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya ada kelainan kulit berupa lesi numularis
disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifiksi, dengan papul dan erosi,
maka perlu ditanyakan apakah penderita memeakai kancing celana atau kepala
ikat pinggan yang terbuat dari logam(nikel). Data yang berrsal dari anamnesis
25

juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui dapat menimbulkan alergi,
penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya
(misalnya dermatitis atopik, psoriasis).
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalissasssi dan
pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemugnkinan penyebabnya.
Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di
kedua kaki oleh sepatu. Pemerikassaan hendaknya dilakukan pada seluruh
permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebabsebab endogen.

Pengobatan
Hal yang perlu diperhatikan pada dermatitis kontak adalah upaya
pencegahn terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan
kelainan kulit yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek
untuk mengatasi peradangan pada dermtitis kontak alergik akut yang ditandai
dengan eritema, edema. Bula atau vesikel, serta ekskluatif, misalnya predinson 30
mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan
kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.
Untuk deramatitis kontka alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang
telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikesteroid sistemik), cukup
diberikan kortikosteroid topikal.

Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat didingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila
bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen.

2.

Mengapa dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang?

Karena pada kasus ini pemeriksaan penunjang tidak banyak mendukung,


diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
26

penunjang hanya dilakukan untuk mengetahui penyebab alergi apabila didapatkan


dermatitis atopic.

3.

Apa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan


diagnosis?

Pemeriksaan kerokan KOH (Untuk memeriksa ada atau tidaknya infeksi


jamur)

Patch test berguna untuk mengidentifikasi kasus kronis yang tidak kunjung
sembuh dan mengenyampingkan dermatitis kontak sebagai diagnosis
banding. Pada dermatitis numularis IgE cenderung normal.

Kultur dan uji resistensi secret (Untuk melihat mikroorganisme penyebab dan
penyerta)

Biopsi (Untuk melihat perubahan histopatologis sehingga dapat menentukan


tahapan (akut atau kronis) dari penyakit dermatitis numularis)

4.

Bagaimana tanda-tanda kulit kering?

Kulit kering sering terdapat pada orang dewasa dan orang-orang yang telah lanjut
usianya. Penyebabnya adalah akibat ketidakseimbangan sekresi sebum. Ciri-ciri
kulit kering antara lain: bagian tengah muka normal, disekitar pipi dan dahi
kering,tidak lembab dan tidak berminyak, halus, tipis dan rapuh. Kulit kering
cepat menjadi tua karena kelenjar lemak tidak berfungsi dengan baik.

5.

Bagaimana penatalaksanaan dari keluhan pasien?

Penatalaksanaan dilakukan sesuia dengan diagnosis kerja yang telah ditetapkan

27

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Seorang pasien laki laki berusia 25 tahun datang ke puskesmas
dengan keluhan gatal di tungkai bawah kanan sejak 2 minggu lalu. Adanya
gatal menandakan adanya sensitasi pada dermis kulit. Pada kasus ini,
timbulnya gatal pada tungkai bawah disebabkan adanya inflamasi oleh
suatu penyakit eczema yang membuat tubuh melepaskan mediator
inflamasi, beberapa penyakit kulit salah satunya eczema numularis
memiliki predileksi serangan pada tungkai bawah. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan papul, vesikel, plakat eritem berbentuk bulat, berbatas tegas,
bervariasi ukuran 1-3 cm, oozing dan berbentuk krusta. UKK tersebut khas
untuk dermatitis numularis, berbentuk lesi seperti koin atau agak lonjong,
berbatas tegas dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah
pecah (oozing). Oleh karena itu, dokter tidak perlu melakukan
pemeriksaan penunjang. Karena pada kasus ini pemeriksaan penunjang
tidak banyak mendukung, diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan untuk
mengetahui penyebab alergi apabila didapatkan dermatitis atopic, namun
pada pasien tidak terdapat riwayat asma, sering pilek, dan riwayat
mengoleskan sesuatu yang dapat menyingkirkan diagnosis dermatitis
atopik dan dermatitis kontak. Penatalaksanaan dermatitis numularis secara
topical, lesi dapat diobati dengan obat anti-inflamasi, misalnya preparat
ter, glukokortikoid, takrolimus, atau pimekrolimus. Bila lesi masih
eksudatif, sebaiknya dikompres dahulu. Jika ditemukan infeksi bacterial,
diberikan antibiotic secara sistemik. Pruritus dapat diobati dengan
antihistmain golongan H1, misalnya hidroksin HC. Bila kulit pasien kering
dapat diberi pelembab atau emolien. Selain itu, dokter juga memberikan
28

edukasi agar tidak menggaruk-garuk karena dapat memperburuk, serta


perlu disampaikan juga prognosis pada pasien bahwa dari suatu
pengamatan, sejumlah pasien 22% sembuh, 25% pernah sembuh untuk
beberapa minggu sampai tahun, 53% tidak pernah bebas dari lesi kecuali
masih dalam pengobatan dan jika sembuh dapat meninggalkan bekas luka
pada tempat lesi.

B. Saran
a. Diskusi telah berjalan dengan lancar namun mahasiswa dituntut
untuk lebih aktif dalam berdiskusi dan mempelajari lebih dalam
lagi tentang macam-macam ujud kelainan kulit.
b. Diharapakan mahasiswa dapat menggunakan sumber-sumber yang
lebih valid dan Evidence Based Medicine agar kedepannya diskusi
bisa berjalan lebih baik serta tentunya dapat menambah
pengetahuan.
c. Diharapkan mahasiswa tidak melupakan prognosis dalam setiap
skenario pada diskusi tutorial.

29

DAFTAR PUSTAKA
Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: FKUI.
Djuanda, Adhi. 2004. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta FKUI.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC.
Elvina PA. 2007. Hubungan rasa gatal dan nyeri. Diambil dari:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_185Hubunganrasagatal.pdf/09_185Hubu
nganrasagatal.pdf
Goldstein, Adam. 1998. Dermatologi Praktis. Jakarta : Hipokrates.
Gunawan B, Sumadiono. 2007. Stress dan sistem imun tubuh: suatu pendekatan
psikoneuroimunologi. Diambil dari:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/154_08_Stresimunitastubuh.pdf/154_08_
Stresimunitastubuh.html
Klaus, Goldsmith, Lowell et al.. 2008. Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. 7th ed. United State of America; The McGraw Hill Companies Inc.
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: FKUI. 2005.
Marie L., Moisterizers. In : Peter Elner, Howard I Maibach eds. Cosmeceuticals
drug vs cosmetic, New York, Mercel Dekker, Inc, 2000: 72- 75.
Siregar, R.S, Prof.Dr. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC, 2002.

30

Anda mungkin juga menyukai