Anda di halaman 1dari 13

PENGUKURAN KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL

TERHADAP PERILAKU INDISIPLINER YANG


DILAKUKAN OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL SLEMAN
YOGYAKARTA
Tugas ini di buat untuk melengkapi mata kuliah Akuntansi Sektor Publik

Dosen Pengampu Sutaryo, SE., M.Si., Ak.

Disusun Oleh:
Ikhsan Pambudi

S1 TRANSFER MATRIKULASI AKUNTANSI B


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu
organisasi (Mohamad Mahsun, 2009: 25).
Menurut Robertson dalam buku Mohamad Mahsun (2009: 25),
pengukuran kinerja (performance measurement) adalah suatu proses penilaian
kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan
sebelumnya termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam
menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang
dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan
terpuaskan); hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan
efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan.
Salah satu persoalan penting dalam pengelolaan sumber daya manusia
(pegawai) dalam organisasi adalah mengukur kinerja pegawai. Pengukuran
kinerja dikatakan penting mengingat melalui pengukuran kinerja dapat diketahui
seberapa tepat pegawai telah menjalankan fungsinya. Ketepatan pegawai dalam
menjalankan fungsinya akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian kinerja
organisasi secara keseluruhan. Selain itu, hasil penilaian kinerja pegawai akan
memberikan informasi penting dalam proses pengembangan pegawai.
Namun

demikian,

sering

terjadi

penilaian

yang

tidak

tepat.

Ketidaktepatan ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang
menyebabkan ketidaktepatan penilaian kinerja adalah ketidakpahaman pegawai
mengenai kinerja yang diharapkan, ketidakakuratan instrumen penilaian kinerja,
dan ketidakpedulian pimpinan organisasi dalam pengelolaan kinerja.

Pengawasan aparatur negara yang sempurna sangat bergantung pada


kualitas dan profesionalisme pegawai negeri itu sendiri. Undang-Undang No.43
tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian memberikan jaminan kedudukan
serta kepastian hukum bagi pegawai negeri untuk mengatur dan menyusun
aparatur yang bersih dan berwibawa. Pembinaan dan penyempurnaan serta
pendayagunaan

aparatur

pemerintahan,

baik

kelembagaan

maupun

ketatalaksanaan dari segi kepegawaian perlu terus ditingkatkan untuk


mewujudkan pembangunan secara menyeluruh.
Dalam kasus indisipliner ini terbukti bahwa di lapangan masih didapati
para pegawai negeri sipil yang melakukan pelanggaran atau sikap indisipliner
yang tidak mencerminkan sikap seorang PNS sebagai unsur aparatur negara
yang dituntut untuk setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Pemerintah, bersikap disiplin, jujur, adil, transparan, dan akuntabel dalam
melaksanakan tugas. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui kinerja PNS
dalam melaksanakan tugas apakah sudah bersikap disiplin atau melakukan
indisipliner yang secara tidak lansung akan berdampak terhadap pelayanan
publik yang kurang baik.

B. PERMASALAHAN
Permasalahan yang diangkat penulis besumber dari www.sindonews.com
pada tanggal 6 Desember 2013 tentang indisipliner yang dilakukan oleh
pegawai negeri sipil sleman yogyakarta. Tindak indisipliner Pegawai Negeri
Sipil (PNS) di Sleman cukup tinggi. Data Badan Kepegawaian Daerah (BKD)
Sleman hingga November tercatat, ada 24 PNS yang melakukan pelanggaran.
Dari jumlah itu, 10 kategori pelanggaran ringan, enam kategori sedang, dan
delapan kategori berat.
Kepala BKD Sleman Iswoyo Hadiwarno mengatakan, PNS yang
melakukan pelanggaran tersebut semuanya sudah mendapatkan sanksi. Yaitu
bagi yang melakukan pelanggaran ringan sanksinya berupa teguran lisan dan
tertulis. Pelanggaran sedang berupa penuruanan dan penundaan kenaikan
pangkat, dan gaji berkala. Sedangkan untuk yang melakukan pelanggaran berat,
turun

jabatan

selama

tiga

tahun,

dan

pemberhentian

sebagai

PNS.

PNS yang turun jabatan selama tiga tahun ada enam orang dan yang
diberhentikan ada dua orang, terang Iswoyo, kepada wartawan, Kamis
(5/12/2013).
Iswoyo menjelaskan, dua PNS yang mendapatkan sanksi pemecatan, satu
orang karena terlibat pidana korupsi dan telah ada kekuatan hukum tetap
(inkrah) dan satu orang, karena tidak masuk kerja tanpa keterangan.
PNS yang tidak masuk tanpa keterangan 47 hari dalam setahun bisa dipecat,
paparnya. Pelanggaran berat lainnya, yaitu PNS yang bersangkutan ketahuan
selingkuh atau cerai tak melapor. Penindakan pelanggaran ini, berdasarkan PP
No.53/2010 tentang disiplin PNS. Namun sebelum memberikan sanksi, terlebih
dahulu

diawali

dengan

pemeriksaan

PNS

yang

melanggar.

Untuk pemeriksaan ini, dilakukan oleh atasan langsung. Bila melanggar


akan diberikan sanksi sesuai perbuatannya. Kalau ada indikasi pelanggaran
berat, dilaporkan bupati dan akan diproses tim ad hock, jelasnya.
Iswoyo menegaskan, aturan disiplin PNS melekat sepanjang yang bersanggkutan
masih menjadi PNS. Artinya, aturan pegawai tidak hanya berlaku pada jam

kerja. Misalnya saat di rumah, PNS tersebut bermain judi dan ditangkap polisi.
Meski di luar jam kerja tetap diproses, baik pidana maupun kepegawaian.
Hal ini diterapkan agar PNS mampu menjadi contoh di masyarakat.
Selain itu, PNS juga tidak boleh terlibat politik dan harus bersikap netral dalam
pemilu. Karena itu, PNS dilarang mengikuti kampanye, menjadi tim sukses,
ataupun

mensponsori

calon

anggota

legislatif

dan

partai.

Termasuk, dilarang menyalah gunakan wewenang, seperti memakai kendaraan


dinas untuk kampanye salah satu golongan. Bagi yang melanggar netralitas
dalam pemilu, baik pileg, pilpres, maupun pilkada, bisa terancam dipecat,
tandasnya.
Berdasarkan permasalahan diatas maka dirumuskan masalah yaitu:
Pengukuran kinerja pegawai negeri sipil terhadap perilaku indisipliner
yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil Sleman Yogyakarta.

BAB II
PEMBAHASAN

Larry D. Stout dalam Indra Bastian (2001) mengemukakan bahwa


pengukuran/penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur
pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission
accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produksi jasa
ataupun suatu proses. Maksudnya adalah setiap kegiatan organisasi harus dapat
diukur dan dinyatakan dalam visi dan misi organisasi. Produk dan jasa yang
dihasilkan diukur berdasarkan kontribusinya terhadap pencapaian visi dan misi
organisasi. Tujuan dari pengukuran kinerja di sektor publik menurut menurut
Mahmudi:2007, dalam Nordiawan dan Hertianti, 2010 adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi
2. Menyediakan sarana pembelajaran pegawai
3. Memperbaiki kinerja periode-periode berikutnya
4. Memberikan pertimbangan sistematik dalam pembuatan keputusan pemberian
penghargaan dan hukuman
5. Memotivasi pegawai
6. Menciptakan akuntabilitas publik
Menurut Cascio (2003: 336-337), kriteria sistem pengukuran kinerja
adalah sebagai berikut:
1. Relevan (relevance). Relevan mempunyai makna (1) terdapat kaitan yang erat
antara standar untuk pelerjaan tertentu dengan tujuan organisasi, dan (2)
terdapat keterkaitan yang jelas antara elemen-elemen kritis suatu pekerjaan
yang telah diidentifikasi melalui analisis jabatan dengan dimensi-dimensi
yang akan dinilai dalam form penilaian.
2. Sensitivitas (sensitivity). Sensitivitas berarti adanya kemampuan sistem
penilaian kinerja dalam membedakan pegawai yang efektif dan pegawai yang
tidak efektif.

3. Reliabilitas (reliability). Reliabilitas dalam konteks ini berarti konsistensi


penilaian. Dengan kata lain sekalipun instrumen tersebut digunakan oleh dua
orang yang berbeda dalam menilai seorang pegawai, hasil penilaiannya akan
cenderung sama.
4. Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa pengukuran
kinerja

yang

dirancang

dapat

diterima

oleh

pihak-pihak

yang

menggunakannya.
5. Praktis (practicality). Praktis berarti bahwa instrumen penilaian yang
disepakati mudah dimenegerti oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses
penilaian tersebut.
Menurut Cummings dan Schwab (1973: 4), penilaian kinerja pegawai
pada umumnya memiliki dua fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi summative atau evaluative. Fungsi ini biasanya berhubungan dengan
rencana pengambilan keputusan yang bersifat administratif. Sebagai contoh,
hasil dari penilaian ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk
meningkatkan gaji pegawai yang dinilai, memberikan penghargaan atau
hukuman, promosi, dan mutasi pegawai. Dalam fungsi ini manajer berperan
sebagai hakim yang siap memberikan vonis.
2. Fungsi formative. Fungsi formative berkaitan dengan rencana untuk
meningkatkan keterampilan pegawai dan memfasilitasi keinginan pegawai
untuk meningkatkan kemampuan mereka. Salah satu maksudnya adalah
untuk mengidentifikasi pelatihan yang dibutuhkan pegawai. Manajer berperan
sebagai konsultan yang siap untuk memberikan pengarahan dan pembinaan
untuk kemajuan pegawai.
Terdapat beberapa indikator kinerja yang biasanya digunakan untuk
menilai kinerja organisasi pelayanan publik yaitu sebagai berikut.
1. Efisiensi
Menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik
memanfaatkan faktor-faktor produksi.

2. Efektivitas
Terkait dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi
agen pembangunan.
3. Keadilan
Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan.
4. Organisasi
Organisasi adalah pelayanan publik yang merupakan bagian dari daya
tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja menurut Armstrong (1998:
16-17) adalah sebagai berikut:
1. Faktor individu (personal factors). Faktor individu berkaitan dengan
keahlian, motivasi, komitmen, dll.
2. Faktor kepemimpinan (leadership factors). Faktor kepemimpinan berkaitan
dengan kualitas dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan,
manajer, atau ketua kelompok kerja.
3. Faktor kelompok/rekan kerja (team factors). Faktor kelompok/rekan kerja
berkaitan dengan kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja.
4. Faktor sistem (system factors). Faktor sistem berkaitan dengan sistem/metode
kerja yang ada dan fasilitas yang disediakan oleh organisasi.
5. Faktor situasi (contextual/situational factors). Faktor situasi berkaitan dengan
tekanan dan perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun
eksternal.
Dalam hal ini sikap disiplin sangat diperlukan oleh seluruh pegawai
negeri sipil, menurut peraturan pemerintah nomor 53 tahun 2010 disiplin
pegawai negeri sipil adalah kesanggupan pegawai negeri sipil untuk mentaati
kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati
atau melaanggar akan dijatuhi hukuman disiplin. Dalam hal ini pegawai negeri
sipil yang melakukan tidakan indisipliner dapat dikenakan hukuman. Jenis
hukuman menjadi tiga jenis menurut PP Nomor 53 tahun 2010 pasal 7 yaitu:

1. Hukuman disiplin ringan, yakni :

teguran lisan;

teguran tertulis;

pernyataan tidak puas secara tertulis.

2. Hukuman disiplin sedang, yakni :

penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;

penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun;

penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun

3. Hukuman disiplin berat, yakni :

penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;

pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;

pembebasan dari jabatan;

pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai


PNS; dan

pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.


Berdasarkan pemasalahan di atas PNS yang melakukan indisipliner

sebagai contoh dalam hal melakukan korupsi dan selingkuh yang melanggar
etika sebagai PNS maka dikenakan sanksi dengan jenis disiplin berat
diantaranya yaitu pembebasan fungsi jabatan ataupun pemberhentian sebagai
PNS. Dengan adanya perilaku indisipliner yang dilakukan oleh PNS dengan
begitu pengukuran kinerja masih dinilai lemah karena kurangnya pengawasan
oleh manajemen terhadap bawahannya. Untuk meningkatkan disiplin di PNS
maka ada dua kegiatan yang harus dilakukan yaitu:
1. Disiplin Preventif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong para
pegawai

agar

mengikuti

berbagai

standar

dan

aturan,

sehingga

penyelewengan-penyelewengan dapat dicegah. Dengan cara ini para


pegawai menjaga disiplin diri mereka bukan semata-mata karena dipaksa
manajemen.

2. Disiplin Korektif adalah upaya penerapan disiplin kepada pegawai yang


nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang
berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan dan kepadanya
dikenakan sanksi secara bertahap
Bruijn ( 2002: 580-581 ), mengemukakan berbagai dampak positif
pengukuran kinerja organisasi publik sebagai berikut:
1. Pengukuran kinerja membawa ke arah transparansi
Transparansi dapat menghasilkan berbagai bentuk rasionalisasi, dia
mungkin dapat memicu berbagai diskusi internal tentang bagaimana
berbagai aktivitas dapat meningkatkan kinerja organisasi juga terdapat
pedoman yang jelas bagaimana menilai suatu struktur atau prosedur yang
baru terutama bagaimana mereka dapat memberikan kontribusi pada
peningkatan kinerja organisasi
2. Pengukuran kinerja adalah insentif bagi output
Pada awalnya pengukuran kinerja memberikan dampak pada output, dan
pada akhirnya akan memberikan sumbangan kepada kinerja organisasi.
3. Pengukuran kinerja merupakan cara yang elegan untuk menciptakan
akuntabilitas
Ketika tugas organisasi publik menjadi semakin kompleks, maka wacana
otonomi menjadi penting. Informasi tentang kinerja diukur secara sistimatis
dan dihitung sehingga menambah kemampuan beberapa periode tertentu.
Informasi juga mudah dikomunikasikan, dan informasi dapat disediakan
secara periodik setiap tahun.
Manfaat pengukuran kinerja menurut mardiasmo (2005) adalah :
1. Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai
kinerja manajemen.
2. Memberikan arah untuk mencapai target kinerja yang ditetapkan.
3. Untuk

memonitor

dan

mengawasi

pencapaian

kinerja

dan

membandingkannya dengan target kinerja serta melakukan tindakan kolektif


untuk memperbaiki kinerja.

4. Sebagai dasar untuk memberikan penghargaan dan hukuman (reward and


punishment).
5. Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka
memperbaiki kinerja organisasi.
6. Membantu

mengidentifikasikan

apakah

kepuasan

pelanggan

terpenuhi.
7. Membantu memahami kegiatan instansi pemerintah.
8. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara obyektif.

sudah

BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pengukuran kinerja pegawai negeri sipil Sleman masih kurang baik. Tingkat
kedisipilan PNS yang masih rendah juga, dapat dilihat dari PNS yang masih
banyak melakukan pelanggaran. Rendahnya tingkat kedisiplinan dari PNS dapat
mempengaruhi efektivitas kinerja. Apabila seorang pegawai melakukan
pelanggaran dalam tugasnya maka pegawai tersebut akan mendapatkan sanksi.
Sanksi tersebut akan dikenakan berdasarkan tingkat pelanggaran yang telah
dilakukan oleh pegawai tersebut.

2. SARAN
Dari hasil pembahasan, penulis memberikan rekomendasi yaitu, agar
para pegawai tidak melakukan perilaku indisipliner maka sebaiknya atasan
melakukan pengawasan kinerja secara bertahap atau berkala dan menciptakan
sistem yang dapat mengatur kedisiplinan.

DAFTAR PUSTAKA

Mahsun, Mohamad, 2009. Pengukuran Kinerja Sektor Publik Edisi Pertama.


Yogyakarta: BPFE.
www.sindonews.com tanggal 6 Desember 2013
Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Edisi Pertama. Yogyakarta:
BPFE.
Bruijn, Hans de. 2002. Performance Measurement in The Public Sector.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Armstrong, M. and Baron, A. 1998. Performance Management The New Realities.
London: Institute of Personnel and Development.
Cummings, L.L. and Schwab, D.P. 1973. Performance in Organizations: Determinants
and Appraisal. Glenview, Illinois: Scott, Foresman and Company.
Mahmudi. (2007). Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: Unit Pnerbit dan
Percetakan Sekolah TInggi Ilmu Manajemen YKPN.
Cascio, W. F. 2003. Managing Human Resources: Productivity, Quality of Work Life,
Profits 6th Edition. New York: McGraw-Hill.
Mardiasmo, 2005. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.

Anda mungkin juga menyukai