Anda di halaman 1dari 22

Tatalaksana Penyakit Hirschsprung

Darmawan Kartono
Divisi Bedah Anak
Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta
Abstrak
Dari pengalaman penanganan sehari-hari sebagian kasus pasien penyakit
Hirschsprung (PH) rujukan tidak terdiagnosis atau datang dalam keadaan terlambat.
Sebagian pasien membawa foto yang tidak informatif sehingga terdapat diagnosis false
positive atau false negative. Keterlambatan atau tidak terdiagnosisnya PH disebabkan
oleh pengetahuan tentang etiologi, patologi dan patofisiologi penyakit ini tidak atau
kurang dikuasai. Khusus mengenai foto yang tidak informatif, biasanya disebabkan oleh
prosedur pembuatan foto yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur baku. Sebagian
pasien penyakit Hirschsprung datang setelah ditangani, baik penanganan bedah
sementara maupun bedah definitif yang dikerjakan tidak sesuai dengan prosedur;
sehingga hasilnya tidak memadai dan timbul masalah baru yang justru akan
mempersulit tindakan koreksi. Oleh sebab itu, diagnosis, pemeriksaan fisik, diagnosis
diferensial, patologi dan patofisiologi serta teknik pembuatan foto yang benar sangat
diperlukan untuk penanganan PH yang tepat dimana hal-hal tersebut akan diuraikan
dalam makalah ini secara lebih rinci.
Kata kunci : Hirschsprung, diagnosa, penanganan
PENDAHULUAN
Dari pengalaman penanganan sehari-hari sebagian kasus pasien penyakit
Hirschsprung (PH) rujukan tidak terdiagnosis atau datang dalam keadaan terlambat.
Sebagian pasien membawa foto yang tidak informatif sehingga terdapat diagnosis false
positive atau false negative. Keterlambatan atau tidak terdiagnosisnya PH disebabkan
oleh pengetahuan tentang etiologi, patologi dan patofisiologi penyakit ini tidak

atau

kurang dikuasai. Khusus mengenai foto yang tidak informatif, biasanya disebabkan oleh
prosedur pembuatan foto yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur baku. Sebagian

pasien penyakit Hirschsprung datang setelah ditangani, baik penanganan bedah


sementara maupun bedah definitif yang dikerjakan tidak sesuai dengan prosedur ;
sehingga hasilnya tidak memadai dan timbul masalah baru yang justru akan
mempersulit tindakan koreksi. Oleh sebab itu, diagnosis, pemeriksaan fisik , diagnosis
diferensial, patologi dan patofisiologi serta teknik pembuatan foto yang benar sangat
diperlukan untuk penanganan PH yang tepat.
SEJARAH
Pada tahun 1886 Harold Hirschsprung melaporkan perjalanan klinis sampai saat
kematian dua orang pasien dengan gangguan fungsi usus yang berat, masing-masing
berusia 7 dan 11 bulan dimana didapati penampilan makroskopis kolon yang dilatasi
dan hipertrofi, yang oleh Hirschsprung dinilai sebagai penyebab primer gangguan fungsi
usus.
Penyakit dengan kelainan kolon seperti diuraikan tersebut di atas oleh Hirschsprung
disebut sebagai congenital dilatation of the colon.
Sampai tahun 1930-an etiologi PH belum jelas diketahui. Penyebab sindrom
tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan

pada tahun 1938 serta Tiffin,

Chandler dan Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa megakolon pada PH
disebabkan primer oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus
bagian distal.
EMBRIOLOGI DAN ETIOLOGI
Dalam perkembangan embriologik normal sel-sel neuroenterik bermigrasi dari
krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke arah
distal.
Sel-sel syaraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu ke lima.
Minggu ke tujuh sel-sel syaraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam
minggu ke dua belas. Migrasi berlangsung pertama ke dalam plexus Auerbach ,
selanjutnya sel-sel ini menuju ke dalam plexus submukosa. Serabut syaraf berkembang
ke bawah menuju saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju intestin mulai
membran dasar dan berakhir di lapisan muskular. Sel-sel krista neural selanjutnya
memakai struktur yang telah ada untuk bermigrasi ke dinding intestin.
Dua teori dasar mengenai defek embriologik PH adalah kegagalan migrasi selsel krista neural, teori imunologik dan hostile environment. Teori lain tentang hipotesis

adanya aberasi migrasi sel-sel krista neural sehingga terjadi kegagalan neuroblas
mencapai migrasi paling distal sebagai PH.
PATOLOGI
Penampilan kolon PH bervariasi bergantung

pada usia pasien sewaktu

ditemukan. Dalam usia neonatal kolon terlihat seperti normal, segmen dilatasi terlihat
sedikit saja, taenia masih terlihat dan dinding kolon tidak terlalu hipertrofik, dan pada
perabaan terasa masih lembut, tidak kasar dan tidak kaku. Usia pasca neonatal, lebih
nyata terlihat segmen kolon sempit, zona transisi dan segmen dilatasi.
Zona transisi atau disebut sebagai zona perubahan dari segmen aganglion yang
terlihat sempit ke segmen berganglion normal yang terlihat dilatasi. Absensi sel ganglion
di segmen distal merupakan ciri khas penyakit ini. Sel ganglion Meissner absen di
lapisan submukosa ataupun ganglion plexus Auerbach di lapisan intermuskular

Serabut-serabut syaraf terlihat pada sediaan pewarnaan hematoxilin dan eosin tetapi
lebih mudah terlihat dengan pewarnaan asetilkolin-esterase. Penemuan ganglion di
bagian proksimal setelah segmen aganglion yang disertai serabut syaraf yang menebal
menunjukkan masih terdapat elemen transisi. Penebalan serabut syaraf menunjukkan
adanya displasi neuronal di daerah transisi, mungkin sebagai kausa disfungsi intestinal
pascabedah definitif.
]

PATOFISIOLOGI
Sistem persyarafan autonom intrinsik saluran gastrointestinal terdiri dari plexus
sel ganglion dengan hubungan neural masing-masing. 1. Plexus Auerbach, terletak di
antara lapisan otot sirkular dan longitudinal, 2. plexus Henle, atau deep submucosal,
plexus sepanjang batas dalam muskularis propria sirkular, dan 3. plexus Meissner di
bawah muskularis mukosa. dimana hilangnya factor intrinsik akan menyebabkan
hilangnya reflek kontraksi dan relaksasi rectum.
Absensi sel-sel ganglion, sistem syaraf extrinsik mengakibatkan kenaikan yang
jelas inervasi intestin. Sistem kolinergik dan adrenergik menunjukkan kenaikan inervasi
dua sampai tiga kali dalam kolon aganglionik. Diperkirakan bahwa sistem exsitasi
adrenergik

mendominasi

fungsi

inhibisi

dalam

segmen

aganglionik,

sehingga

menciptakan kenaikan tonus otot polos. Inervasi kolinergik bertambah nyata dalam
segmen aganglionik dan mendominasi exsitasi.

Komponen lain yang menerangkan mekanisme kontraksi segmen aganglion


adalah hilangnya fungsi sel-sel ganglion akan menyebabkan hilangnya syaraf inhibisi
enterik intrinsik
ANATOMI DAN FUNGSI NORMAL REKTUM DAN ANUS
Anatomi Sfingter Anal dan Otot-otot Dasar Panggul
Sfingter anal terdiri atas otot polos dan otot lurik yang membentuk saluran anal.
Otot polos sfingter anal interna adalah intrinsik pada dinding usus, menempati 2/3
bagian distal saluran anal, sebagian besar terletak distal dari linea dentata ; Sfingter
anal externa merupakan lingkaran otot memanjang mengelilingi katup anal (anal valves)
sampai orifisium anal, tersangga di antara muskulus perineum superfisial dan
anococcygeal raphe. Di samping otot-otot sfingter terdapat otot-otot dasar panggul yang
terletak pada pintu keluar rongga pelvis berupa otot-otot levator anal yang terdiri dari
otot pubokoksigeus, ileokoksigeus, dan puborektal (Gb. 2).
Persyarafan Rektum dan Anus
Persyarafan parasimpatik berasal dari cabang anterior syaraf sakralis ke 2, 3 dan
4. Persyarafan preganglion ini membentuk 2 syaraf erigentes yang memberikan cabang
langsung ke rektum dan melanjutkan diri sebagai cabang utama ke plexus pelvis untuk
organorgan intrapelvis. Di dalam rektum, serabut syaraf ini berhubungan dengan plexus
ganglion Auerbach.
Persyarafan simpatik berasal dari dalam ganglion lumbal ke 2, 3, dan 4 dan
plexsus paraaorta. Persyarafan ini menyatu pada kedua sisi membentuk plexus
hipogastrikus di depan vertebra lumbal 5 dan melanjutkan diri ke arah posterolateral
sebagai persyarafan presakral yang bersatu dengan ganglion pelvis pada kedua sisi.

Gambar 2. Anatomi anus dan rektum beserta otot-ototnya. LA = otot levator anal; PR =
otot puborektal; SE = sfingter anal externa: SI = sfingter anal internal; TK = tulang
koksigeus; MM = muskularis mukosa.
Persyarafan simpatik dan parasimpatik ke rektum dan saluran anal berperan
melalui ganglion plexus Auerbach dan Meissner untuk mengatur peristalsis dan tonus
sfingter anal internal. Serabut syaraf simpatik dikatakan sebagai inhibitor dinding usus
B

dan motor sfingter anal internal sedang parasimpatik sebagai motor dinding usus dan
inhibitor sfingter. Sistem syaraf parasimpatik juga merupakan persyarafan sensorik
untuk rasa atau sensasi distensi rektum.
INSIDENS
Insidens PH sekitar 1 di antara 4400 sampai 1 di antara 7000 kelahiran hidup.
Ratio pria terhadap wanita pasien PH dilaporkan 4 :1 lebih banyak pada pria. Penulis
menemukan perbandingan pasien pria : wanita, 3 : 1.
DIAGNOSIS
Diagnosis PH harus ditegakkan dini. Keterlambatan diagnosis menyebabkan
komplikasi seperti enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis, yang merupakan penyebab
kematian tersering.
Berbagai teknik tersedia untuk penegakan diagnosis PH. Namun demikian
dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan
radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomik biopsi isap rektum, diagnosis PH pada
sebagian besar kasus dapat ditegakkan.

Gambaran Klinis
1. keterlambatan evakuasi mekonium pertama, selanjutnya diikuti dengan distensi
abdomen dan muntah hijau atau fekal, mirip tanda-tanda obstruksi usus setinggi
ileum atau lebih distal lagi
2. Distensi abdomen

merupakan gejala penting lainnya. Distensi abdomen

merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan oleh
kelainan lain, seperti atresia ileum dan lain-lainnya.
3. Pemeriksaan Colok dubur : tidak didapati adanya hambatan mekanik, Feses
dapat menyemprot dapat tidak saat jari dilepas dari anus
4. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilikus,
punggung, dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi
peritonitis.
5. Muntah yang berwarna hijau akibat obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada
kelainan lain dengan gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum,
enterokolitis nekrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterin.
6. PH dengan komplikasi enterokolitis

menampilkan distensi abdomen dengan

disertai diare berupa feses cair bercampur mukus dan berbau busuk, dengan
atau tanpa darah dan umumnya berwarna kecoklatan atau tengguli.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema barium,
merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi PH secara dini pada
neonatus. Keberhasilan pemeriksaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung
pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, di samping teknik
yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakan
diagnosis.
Foto Polos Abdomen
PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstuksi usus letak
rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara . Foto polos abdomen dapat
menyingkirkan diagnosis lain, seperti peritonitis intrauterin atau perforasi gaster. Pada
foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu
mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran
massa feses lebih jelas dapat terlihat.

Gambar 1. Foto polos abdomen, terlihat tanda-tanda obstruksi usus letak rendah.
Bayangan udara dalam kolon pada neonatus jarang dapat dibedakan dari bayangan
udara dalam usus halus. Daerah rektosigmoid tidak terisi udara. Pada foto posisi
tengkurap kadang-kadang terlihat jelas bayangan udara dalam rektosigmoid dengan
tanda-tanda klasik penyakit Hirrschsprung, walaupun pasien berumur 21 hari.
Foto Enema Barium
Pemeriksaan enema barium harus dikerjakan pada neonatus dengan keterlambatan
evakuasi mekonium yang disertai distensi abdomen dan muntah hijau, meskipun
dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah mereda
atau menghilang. Tanda-tanda klasik radiografik yang khas untuk PH adalah:
1. Segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang tertentu
2. Zona transisi, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi
3. Segmen dilatasi

Gambar 2. Terdapat tiga jenis gambaran zona transisi pada foto enema barium : 1.
Abrupt, perubahan tampak mendadak dari segmen sempit ke segmen dilatasi ; 2. Cone,
bentuk seperti cerobong atau kerucut; 3. Funnel. Bentuk cerobong, perubahan dari
segmen sempit ke segmen dilatasi terlihat sangat gradual.
Terdapat 3 jenis gambaran zona transisi yang dijumpai pada foto enema barium
(Gb.2) 1. Abrupt, perubahan mendadak; 2. Cone, bentuk seperti corong atau kerucut; 3.
Funnel, bentuk seperti cerobong.
Selain tanda-tanda klasik radiografik seperti tersebut di atas, mungkin dapat
juga terlihat gambar permukaan mukosa yang tidak teratur menunjukkan

proses

enterokolitis (Gb.3). Juga dapat terlihat gambar garis-garis lipatan melintang (transverse
fold), khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon dilatasi yang dalam keadaan
kosong. Larutan barium mengisi lipatan-lipatan dinding kolon

(Gb.3). Pada kasus

aganglionosis seluruh kolon lebih sering kaliber kolon tampak normal.

Gambar 3. A. Foto enema barium pada pasien berusia 14 bulan, di samping terlihat
tanda-tanda klasik penyakit Hirschsprung juga terlihat iregularitas permukaan mukosa
yang merupakan tanda enterokolitis berat. Juga terlihat garis-garis lipatan melintang
(transverse folds) . B & C foto enema barium pasien berusia 1 bulan, tampak segmen

sempit, zona transisi, dan dilatasi. Tampak pula lipatan-lipatan melintang dalam kolon
terdilatasi seperti haustra yeyunum. Pada foto pasca evakuasi terlihat ketidakteraturan
permukaan mukosa, tanda adanya proses entero-kolitis (tanda panah).

Foto Retensi Barium


Retensi barium 24 sampai 48 jam setelah enema merupakan tanda penting PH,
khususnya pada masa neonatal. Gambaran barium tampak membaur dengan feses ke
arah proksimal di dalam kolon berganglion norma1. Retensi barium pada pasien dengan
obstipasi kronik yang bukan disebabkan PH terlihat makin ke distal, menggumpal di
daerah rektum dan sigmoid (Gb. 4) Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto
yang dibuat pada waktu enema barium ataupun yang dibuat pasca evakuasi barium
tidak terlihat tanda-tanda khas PH.

Gambar 4. Foto retensi barium. Terlihat bayangan membaur ke arah proksimal.


Prosedur Pemeriksaan FotoEnema Barium
Pemeriksaan enema barium sebaiknya dikerjakan oleh spesialis radiologi anak
yang berpengalaman pada neonatus. Hasil pemeriksaan enema barium dalam
membantu penegakan diagnosis PH sangat bergantung pada tehnik pengerjaannya.
Teknik Pengerjaan Enema Barium
1. Kateter lunak dimasukkan ke dalam rektum sampai ujung kateter terletak persis
di atas sfingter anal, tidak lebih dari 2,5 cm. Kateter tidak dioles dengan pelicin
dan difixasi dengan plester. Kateter dengan balon tidak dapat dipakai untuk
keperluan ini karena hasilnya akan mengacaukan gambaran segmen sempit atau
zona transisi., Pantat saling dirapatkan dengan plester lebar.
2. Bahan kontras yang dipakai adalah larutan barium dengan pengenceran 30%
dengan cairan pelarut NaCL fisiologik. Untuk memasukkan larutan barium

dipakai semprit ukuran kecil, agar volume larutan barium yang dimasukkan dapat
dikontrol. Rata-rata 510 ml setiap kali memasukkan ke dalam rektum. Untuk
pasien anak lebih besar larutan barium dapat dimasukkan lebih dari 10 ml.
Larutan barium lebih dipilih dari larutan gastrografin, karena kemungkinan masih
diperlu-kan foto retensi barium, 24 48 jam setelah enema.
3. Cara melakukan enema barium : Pasien dalam posisi tengkurap larutan barium
dimasukkan dengan dikontrol fluoroskopi. Bila kontras telah masuk ke daerah
rektosigmoid dan daerah transisi telah terlihat maka larutan barium tidak perlu
dimasukkan lagi. Larutan barium akan mengisi rektum yang tidak terdilatasi
(undilated rectum) melalui zona transisi (coned shaped transitional zone) masuk
ke dalam kolon terdilatasi (dilated colon). Setelah itu posisi pasien diubah ke
posisi lateral atau oblique. Bila kontras telah masuk ke lumen rektosigmoid dan
daerah transisi telah terlihat maka larutan barium tidak perlu dimasukkan lagi.
Foto dibuat dengan proyeksi lateral atau oblique lebih baik dari pada foto dengan
arah sinar antero-posterior. Kateter dilepas dan dibuat foto ulang, disebut
sebagai foto pascaevakuasi. Pasca evakuasi rektosigmoid kembali ke bentuk
semula, tidak terpengaruh oleh tekanan larutan barium yang dimasukkan. Foto
pascaevakuasi dikerjakan bila hasil enema barium pertama tidak linformatif.
4. Hal-hal yang perlu diketahui : Sewaktu memasukkan larutan barium harus hatihati dan pelan-pelan untuk menghindari segmen sempit aganglion terdilatasi.
Pengisian larutan barium yang terlalu banyak dan de-ngan tekanan kuat akan
mengakibatkan segmen distal kolon teregang dan menghilangkan gambaran
zona transisi yang harus diperlihatan pada foto. Umumnya foto lebih jelas pada
foto pascaevakuasi (lihat uraian butir 3) Kalau hasil foto dinilai tidak informatif,
dapat dibuat foto ulang 24 - 48 jam sesudah enema barium untuk melihat
bayangan sisa barium atau lebih sering disebut retensi barium.
PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMIK
Diagnosis patologi-anatomik PH dilakukan melalui prosedur biopsi yang
dilaporkan oleh Swenson pada tahun 1955 de-ngan eksisi seluruh tebal dinding
muskulus rektum, sehingga plexus mienterik dapat diperiksa. Penemuan ganglion dalam
spesimen biopsi menyingkirkan diagnosis PH; sebaliknya tidak ditemukan sel ganglion
membuktikan diagnosis. Prose-dur biopsi ini secara teknik relatif sulit, karena

10

memerlukan anestesi umum, juga menyebabkan inflamasi dan pemben-tukan jaringan


fibrosis yang mempersulit pembedahan selan-jutnya.
Selain itu dapat juga dilakukan biopsi isap mukosa dan submukosa rektum
dengan mempergunakan alat Rubin atau Noblett dapat dikerjakan lebih sederhana,
aman dan dilakukan tanpa anestesi umum. Diagnosis ditentukan dengan tidak
ditemukannya sel ganglion Meissner dan ditemukan penebalan serabut saraf.
Pemeriksaan patologi lain yang dianggap sebagai pemeriksaan gold standard
adalah pemeriksaan ilmunohistokimia dengan memakai reagen cholin esterase.
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Diagnosis PH harus selalu dipikirkan bila menghadapi neonatus dengan gejala dan
tanda-tanda hambatan pasase usus letak rendah, dapat akibat hambatan mekanik,
seperti atresia setinggi ileum atau lebih rendah lagi, stenosis anal, ileus mekonium dan
lain-lain. Obstruksi usus letak rendah akibat gangguan fungsi motilitas usus juga dapat
tampil menyerupai PH, seperti prematuritas, enterokolitis nekrotikans, sepsis dengan
gangguan keseimbangan elektrolit, hipotiroidisme , obstipasi psikogenik.

Atresia Ileum

Sumbatan Mekonium

A Atresia Rektal

Enterokolitis Nekrotikans Neonatal

Peritonitis Intrauterin

Neonatus dengan Sepsis

Sindroma Kolon Kiri Kecil

Obstipasi Psikogenik

PROSEDUR BEDAH
Pada dasarnya penyembuhan PH hanya dapat dicapai dengan pembedahan,
berupa pengangkatan segmen usus aganglion, diikuti dengan pengembalian kontinuitas
usus. Terapi medik hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada PH
merupakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif.
Tindakan Bedah Sementara
Tindakan dekompresi dengan pembuatan kolostomi di kolon berganglion normal
yang paling distal merupakan tindakan bedah pertama yang harus dilakukan. Tindakan
ini menghilangkan obstruksi usus serta mencegah enterokolitis yang dikenal sebagai

11

kausa kematian utama. Perlu diketahui bahwa enterokolitis yang timbul sebelum
tindakan dekompresi cenderung timbul kembali setelah tindakan bedah definitif.
Kolostomi tidak dikerjakan bila dekompresi secara medik berhasil dan direncanakan
bedah definitif langsung.
Tindakan Bedah Definitif
Untuk penanganan PH telah dikembangkan prosedur bedah definitif sejak tahun
1948, ketika Swenson dan Bill mengembangkan prosedur rektosigmoidektomi
dilanjutkan dengan prosedur pull-through atau tarik-melalui abdomino-perineal.
Beberapa prosedur lain telah pula dikembangkan, masing-masing oleh Duhamel, Soave
dan Rehbein, dengan tujuan mengurangi komplikasi dan memperbaiki keberhasilan
fungsional.
Prosedur Swenson
Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan preservasi
sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di luar rongga peritoneal. Pembedahan
ini disebut sebagai prosedur rektosigmoidektomi dilanjutkan dengan pull-through
abdomino-perineal. Puntung rektum ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan. Pada
masa pascabedah ditemukan beberapa komplikasi seperti kebocoran anastomosis,
stenosis, inkontinensi, enterokolitis dan lain-lain.
Teknik Pembedahan
Reseksi kolon aganglion dimulai dengan pemotongan arteri dan vena sigmoidalis
dan hemoroidalis superior. Segmen sigmoid dibebaskan beberapa sentimeter dari dasar
peritoneum sampai 1-2 cm proksimal kolostomi. Puntung rektosigmoid dibebaskan dari
jaringan sekitarnya di dalam rongga pelvis untuk dapat diprolapskan melalui anus.
Pembebasan kolon proksimal dilakukan untuk memungkinkan kolon tersebut dapat
ditarik ke perineum melalui anus tanpa tegangan.
Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang dipasang di dalam
lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm proksimal dari garis mukokutan, bagian
posterior dan bagian anterior sama tinggi (Prosedur Swenson I). Atau pemotongan
dilakukan dengan arah miring, 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior
(prosedur Swenson II). Selanjut-nya, kolon proksimal ditarik ke perineum melalui
puntung rektum yang telah terbuka. Anastomosis dilakukan dengan jahitan dua lapis
dengan menggunakan benang sutera atau benang vicryl. Setelah anastomosis
kolorektal selesai dilaku-kan, kemudian rektum dimasukkan kembali ke rongga pelvis.

12

Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian pada vaskularisasi kolon agar tidak


terjahit. Penutupan dinding abdomen dilakukan setelah pencucian rongga peritoneum.
Kateter dan pipa rektal kecil dipertahankan untuk 2 - 3 hari

Prosedur Duhamel
Pada tahun 1956, Duhamel memperkenalkan prosedur bedah definitif dengan
rektum dipertahankan. Kolon berganglion normal di proksimal ditarik melalui retrorektal
transanal dan dilakukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi. Kemudian kolon proksimal
ditarik melalui retrorektal transanal dan dila-kukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi.
Prosedur Duhamel asli, anastomosis kolon proksimal dilakukan pada sfingter anal
internal dan dinilai kurang baik sebab sering terjadi stenosis, inkontinensi, dan
pembentukan fekaloma dalam puntung rektum yang ditinggalkan terlalu panjang. Untuk
mencegah kekurangan tersebut di atas dikembangkan berbagai modifikasi.
Teknik Pembedahan
Reseksi segmen sigmoid dikerjakan seperti pada prosedur Swenson. Puntung
rektum dipotong sekitar 2-3 cm di atas dasar peritoneum dan ditutup dengan jahitan dua
lapis memakai benang sutera atau vicryl. Ruang retrorektal dibuka sehingga seluruh
permukaan dinding posterior rektum bebas. Sayatan endoanal setengah lingkaran
dilakukan pada dinding posterior rektum pada jarak 0,5 cm dari linea dentata.
Selanjutnya kolon proksimal ditarik retrorektal melalui insisi endoanal keluar anus.
Mesokolon diletakkan di bagian posterior.
Anastomosis

kolorektal

dilakukan

untuk

membentuk

rektum

baru

dengan

menghilangkan septum (dinding rektum poste-rior dan dinding anterior kolon proksimal).
Teknik anastomosis dikerjakan dengan bermacam-macam cara. Beberapa teknik
anastomosis yang dikenal adalah:
1. Prosedur Duhamel Asli (1956).
2. Prosedur Duhamel Modifikasi Grob (1959).
3. Prosedur Duhamel Modifikasi Talbert dan Ravitch.
4. Prosedur Duhamel Modifikasi Ikeda.
5. Prosedur Duhamel Modifikasi Adang.
Prosedur Duhamel modifikasi dengan penggunaan stapler linear.
Prosedur tersebut terakhir ini merupakan prosedur yang dilakukan saat ini.

13

5
Gambar 5. Skema tahapan bedah definitif prosedur Duhamel modifikasi. (1) gambar
kolon dan rektum setelah reseksi kolon dilatasi; (2) pembebasan ruang retrorektal dari
lantai dasar peritoneum; (3) posisi kolon setelah pull-through retrorektal, kolon dibiarkan
prolaps; (4) dan (5), tahapan anastomosis, reseksi kolon yang diprolapskan dan setelah
reseksi septum.
Di samping modifikasi yang telah diuraikan seperti di atas, masih banyak lagi
tehnik yang diajukan para spesialis bedah, yang pada dasarnya merupakan modifikasi
Duhamel.
Prosedur Soave
Soave mengerjakan prosedur bedah yang berbeda dengan dua prosedur bedah
seperti diuraikan di atas. la melakukan pendekatan abdominoperineal dengan
membuang lapisan mukosa rektosigmoid dari lapisan seromuskular. Selanjutnya
dilakukan penarikan kolon berganglion normal keluar anus melalui selubung
seromuskular rektosigmoid. Prosedur ini disebut juga sebagai prosedur pull-through
endorektal. Setelah 21 hari, sisa kolon yang diprolapskan dipotong. Boley pada waktu
yang hampir bersamaan melakukan prosedur pull-through endorektal persis seperti
prosedur Soave dengan anastomosis langsung tanpa kolon diprolapskan lebih dahulu.
Tehnik ini dilakukan untuk mencegah retraksi kolon bila terjadi nekrosis bagian kolon
yang diprolapskan (Gb. 6).

14

Gambar 6. Skema tahapan bedah prosedur Soave (sigmoidektomi dengan tarik-melalui


endorektal). Reseksi kolon disertai diseksi mukosa rektum, sehingga tersisa selubung
seromuskular.
Prosedur Rehbein
Pada dasarnya prosedur Rehbein merupakan prosedur State, berupa reseksi
anterior yang diextensi ke distal sampai dengan pengangkatan sebagian besar rektum.
Reseksi segmen aganglion termasuk sigmoid dilanjutkan dengan anastomosis ujung-keujung yang dikerjakan intraabdominal extraperitoneal (Gb 7). Dalam prosedur ini
puntung rektum aganglion yang ditinggalkan masih cukup panjang, sehingga sering
ditemukan obstipasi residif.

Gambar 7. Skema tahapan bedah prosedur Rehbein, deep anterior resection (rektosigmoidektomi

dengan

anastomosis

ujung-ke-ujung,

extraperitoneal).

15

dilakukan

intraabdominal

Prosedur Bedah Definitif Melalui Laparoskopik


1. Beberapa tahun terakhir penanganan bedah PH berkembang dari dua atau tiga
tahapan rekonstruksi (multi-stage proce-dure) ke prosedur satu tahap (singlestage procedure) pada pasien usia dini. Telah dilaporkan oleh banyak senter
bedah mengenai pengalaman mereka melakukan pull-through kolon primer satu
tahap. Prosedur satu tahap dikerjakan juga dengan tehnik laparokopik.
Keuntungan prosedur satu tahap dibandingkan dengan prosedur bedah bertahap
dikatakan terdapat penurunan morbiditas, tidak memerlukan kolosto-mi, masa
rawat lebih singkat dan biaya rumah sakit lebih murah.
Kesulitan bedah laparoskopik di antaranya : 1. dengan endostapler puntung
rektum tidak terpotong tuntas pada prosedur Duhamel, sehingga terjadi pouchitis. 2.
Anus bayi yang masih kecil tidak muat untuk stapler sehingga menyulitkan . 3. Biaya
mahal. 4. Waktu yang dibutuhkan lama, dari 17 kasus yang ditangani dengan prosedur
Duhamel, Muraji (2002) memerlukan waktu 5 jam .
Prosedur Soave Satu-Tahap Transanal.
Teitelbaum dkk setelah berhasil melakukan

tehnik pull-through laparoskopik

mereka mengembangkan prosedur Soave satu tahap transnal. Menurut mereka


prosedur ini dapat menekan biaya rumah sakit, risiko kerusakan struktur pelvis kurang,
insidens perdarahan intraperitoneal dan adhesi rendah dan tanpa jaringan parut bekas
insisi dinding abdomen.
PERMASALAHAN BEDAH DEFINITIF
Tiap prosedur bedah definitif mempunyai tujuan yang sama, yaitu menyelesaikan
secara tuntas PH dengan hasil yang baik, dalam arti pasien dapat menguasai fungsi
sfingter anal sehingga kontinensia anal dapat tercapai.
Komplikas pascabedah yang serius dapat timbul dini atau lambat sesudah
pembedahan. Pengenalan komplikasi pasca bedah secara dini dan diikuti dengan
tindakan yang tepat akan mengurangi angka kecacatan dan kematian. Setiap masalah
yang timbul dalam waktu 4 minggu pertama setelah bedah definitif dinilai sebagai
komplikasi dini pasca bedah.

16

PENYULIT PASCA BEDAH


Beberapa keadaan dapat merupakan faktor predisposisi untuk terjadi komplikasi
pascabedah di antaranya :
1. Usia saat pembedahan definitif. Lebih muda usia pasien umumnya lebih sering
dijumpai komplikasi pascabedah.
2. Kondisi pasien prabedah. Persiapan perbaikan keadaan umum pasien, termasuk
persiapan kolon, merupakan hal yang penting dilakukan. Keadaan umum prabedah
yang kurang optimal cenderung menimbulkan komplikasi pasca-bedah.
3. Prosedur

bedah

yang

digunakan.

Setiap

prosedur

bedah

mempunyai

kecenderungan timbul komplikasi yang spesifik untuk masing-masing prosedur.


4. Keterampilan dan pengalaman spesialis bedah yang melaku-kan pembedahan.
5. Jenis dan cara pemberian antibiotika yang dipakai.
6. Perawatan pascabedah.
Kebocoran Anastomosis
Kebocoran anastomosis dinilai merupakan komplikasi serius pascabedah dan dapat
menyebabkan kenaikan angka kecacatan dan kematian.
Faktor predisposisi
1. Ketegangan pada garis anastomosis
2. Vaskularisasi pada tepi sayatan kedua ujung usus yang dianastomosiskan tidak
adekuat.
3. Infeksi dan abses di sekitar anastomosis
4. Pemasangan pipa rektal yang terlalu besar dapat menye-babkan nekrosis tekan
pada anastomosis.
5. Trauma akibat colok dubur atau businasi pascabedah yang dikerjakan terlalu dini
dan kurang hati-hati. Colok dubur sebaiknya dikerjakan 2 minggu pascabedah.
6. Distensi usus-usus pasca bedah menimbulkan tegangan pada garis anastomosis
yang berakhir disrupsi anastomosis.
7. Lain-lain, seperti pasien sindroma Down, pasien dan pasien dengan umur yang
terlalu muda.
Kenaikan suhu tubuh dengan disertai tanda-tanda ileus harus dicurigai adanya
proses infeksi terkait dengan pembedahan yang dilakukan.

17

Pencegahan dan Tindakan


Pencegahan kebocoran anastomosis dilakukan dengan memperhatikan faktor
predisposisi dalam pengerjaan pembedahan. Deteksi dini kebocoran anastomosis perlu
dilakukan, dan bila terdapat kebocoran anastomosis segera dilakukan pengamanan
dengan pembuatan kolostomi di segmen proksimal.

STENOSIS
Etiologi
1. Gangguan penyembuhan luka di daerah anastomosis.
2. Prosedur bedah yang dipakai.
Manifestasi klinis
Stenosis di daerah anastomosis menyebabkan gangguan defekasi dengan
segala akibatnya.
Enterokolitis
Enterokolitis yang terkait dengan PH atau Teitelbaum dkk menyebutnya sebagai
Hirschsprungs associated enterocolitis telah diketahui sebagai kausa morbiditas dan
mortalitas.
Enterokolitis dapat terjadi mulai pada awal kehidupan neonatal dengan PH dan
dapat juga timbul pada setiap usia, baik sebelum ataupun sesudah pembedahan.
Kompli-kasi ini perlu diketahui secara dini karena dapat mengakibatkan kematian pada
setiap saat bila pengelolaan tidak memadai..
Gangguan Fungsi Sfingter Anal Pascabedah
Pembedahan definitif dikatakan berhasil bila pasien dapat defekasi spontan, setiap
hari, tanpa bantuan obat-obat laxans ataupun supositoria; Pasien dapat menguasai
fungsi sfingter anal dengan baik. Gangguan fungsi sfingter anal dapat dibe-dakan
sebagai berikut :

Inkontinensia

Soiling

Obstipasi berulang

18

BENTUK-BENTUK KHUSUS PENYAKIT HIRSCHSPRUNG


1. Penyakit Hirschsprung Segmen Ultrapendek
2. Aganglionosis Seluruh Kolon
3. Penyakit Hirschsprung Dewasa
Contoh contoh pemeriksaan radiologis PH

Gambar 8. Foto enema barium pada pasien tersebut pada gambar 1, terlihat tandatanda klasik PH, segmen sempit, zona transisi dan segmen dilatasi (kiri). Foto pasien
lain dengan zona transisi terlihat di kolon desendens.

19

Gambar 9-10. Diagnosis false negative diagnosis penyakit Hirschsprung dan bayangan
barium retensi pada foto 24 jam pasca enema barium. Lumen rektosigmoid terlihat
sangat teregang.

Gambar 11. Diagnosis false positive penyakit Hirschsprung. Segmen sempit yang
terlihat di

foto adalah penyempitan akibat kontraksi muskulus puborektalis; terlihat

gambaran peristalsis; tidak terlihat zona transisi.

20

Gambar 12. Lipatan-lipatan melintang (trans


verse folds)

Gambar 13. Permukaan mukosa


Irreguler suatu tanda
proses enterokolitis

Ringkasan
Diagnosis PH tidaklah sulit untuk ditegakkan dengan pertimbangan sebagai
berikut :
1. Pasien yang datang dengan obstipasi tidak dimulai sejak lahir dan tidak disertai
kembung perut harus difikirkan penyakit lain terlebih dahulu.
2. Neonatus sejak lahir mekonium tidak keluar spontan ataupun dengan bantuan,
terdapat 2 kemungkinan :
-

Penyakit Hirschsprung letak tinggi

Diagnosis deferensial : atresia ileum dsb

Neonatus dengan keterlambatan evakuasi mekonium, walaupun akhirnya


mekonium dapat keluar spontan atau dengan bantuan tetap memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut, di antaranya pemeriksaan radiologis.
Diagnosis PH yang penting didasarkan pada riwayat klinik seperti tersebut di
atas, dan pemeriksaan radiologis foto polos abdomen dengan terlihat tanda-tanda
obstruksi usus letak rendah (setinggi ileum terminal atau lebih rendah lagi) .
Untuk amannya, pembedahan definitif dilakukan setelah pasien berusia 2 bulan
atau lebih, khususnya di rumah sakit dengan fasilitas terbatas. Prosedur bedah definitif

21

yang digunakan, sebaiknya yang sederhana, komplikasi yang diperhitungkan kecil dan
hasil akhirnya baik. Prosedur Duhamel modifikasi terhitung sebagai prosedur bedah
definitif yang sederhana, mudah dikerjakan dan komplikasi obstipasi ulang, enterokolitis,
kebocoran, dan inkontinensia kecil atau praktis mendekati 0%. Prosedur Soave masih
terhitung prosedur sederhana dan angka keberhasilan tinggi dengan angka kom-plikasi
kecil. Prosedur Swenson, merupakan prosedur yang relatif rumit, sulit dikerjakan kecuali
oleh spesilis bedah yang trampil dan berpengalaman serta mampu bekerja dengan
akurasi tinggi.
Peran bedah invasif minimal dalam prosedur bedah definitif PH perlu
dipertimbangkan masak-masak sebelum memulai, khususnya spesialis bedah yang
sudah berhasil dengan bedah konvensional dan tidak mempunyai masalah dalam
penanganan penyakit ini. Perubahan prosedur penanganan dari bedah konvensional ke
bedah invasif minimal memer-lukan waktu lagi untuk suatu keberhasilan.
Keberhasilan penanganan PH secara keseluruhan ditentukan oleh kerja sama
yang baik antara berbagai dokter spesialis terkait, seperti spesialis anak, radiologi,
bedah, anestesi, patologi anatomi dan sebagainya.

Daftar Pustaka
1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto., 2004
2. Kartono D. Penyakit Hirschsprung Neonatal: Diagnostik Radiologik. Maj Kedokt
Indon, volum: 54, nomor:8, Agustus 2004; 332-7

22

Anda mungkin juga menyukai