Anda di halaman 1dari 16

Penyakit Hirschprung Disease atau Megacolon Congenital

atau Megakolon Kongenital
Megacolon  congenital adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionis usus, mulai dari
spingter ani interna ke arah proksimal dengan panjang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan
setidak-tidaknya rektum. Penyakit Hirschsprung  disebut juga megacolon kongenital  merupakan
kelainan tersering dijumpai sebagai penyebab  obstruksi usus  pada neonatus. Pada penyakit ini
tidak dijumpai pleksus mienterikus  sehingga bagian usus tersebut  tidak dapat mengembang.
Megakolon congenital atau Hirschprung adalah kelainan congenital yang disebabkan oleh karena
tidak adanya ganglion parasimpatis pada lapisan submukosal (meissner) maupun lapisan
muskularis (Anerbach ) usus besar Penyakit ini ditemukan oleh Herald Hirschprung, seorang ahli
penyakit anak di Denmark tahun 1886, yang melaporkan perjalanan klinis sampai saat kematian
dua orang pasien dengan gangguan usus yang berat, masing-masing berumur 7 dan 11 bulan.
Gambaran makroskopis kolon yang terdilatasi dan hipertrofi, yang oleh Hirschprung dinilai
sebagai penyebab primer gangguan fungsi usus. Penyakit ini ditandai dengan lambatnya
pengeluaran mukonium dalam dua kali 24 jam, diikuti tanda-tanda obstruksi mekanis seperti
muntah, kembung, gangguan defekasi (konstipasi dan diare) dan akhirnya disertai kebiasaan
defekasi yang tidak teratur

Manifestasi klinik penyakit ini adalah gangguan pasase usus fungsional., dalam kepustakaan
disebutkan bahwa  insiden penyakit ini berkisar 1 diantara 2000 sampai 12.000 kelahiran, dengan
insiden tersering 1 diantara 5000 kelahiran. Data tentang penyakit Hirschsprung di Indonesia
belum ada. Angka insidensi 1 diantara 5000 kelahiran  maka dengan  penduduk 220 juta  dan
tingkat kelahiran  35 per mil, diperkirakan akan lahir  1400  bayi setiap tahun dengan  penyakit
Hirschsprung di Indonesia. Di Amerika frekuensi 1 dari 5000 kelahiran (Kartono, 1993 ;
Yoshida,  2004). Insiden penyakit ini adalah 1 : 5000 kelahiran hidup. Frekuensi pada anak laki-
laki dengan perempuan 4 : 1.

Diagnosis penyakit hirschprung ini harus ditegakkan secara dini, sebaiknya pada masa neonatal.
Keterlambatan diagnosis dapat menimbulkan komplikasi dan kematian. Untuk menegakkan
diagnosis penyakit ini diperlukan anmnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan foto
polos abdomen, barium enema, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rectum. Penyakit
ini adalah kasus bedah, sebab terbukti penatalaksanaan konservatif, dari sejak awal penemuan
penyakit ini sampai sekarang tidak memberikan hasil memuaskan . Tetapi jika sejak awal
dilakukan kolostomi melalui usus yang berganglion dengan  prosedur pull through hasilnya akan
memuaskan. Prosedur pull through dilakukan bila anak sudah mempunyai berat badan 10 kg,
umur sudah lebih tua dan mempunyai megakolon. Pull through ditunda sampai usus kembali ke
ukuran normal. Kolostomi dapat ditutup pada saat dilakukan pull through atau  sebagai langkah
ketiga tergantung keputusan ahli bedah. Prosedur yang digunakan bervariasi adalah prosedur
Swenson, Duhamel, Soave

Sampai tahun 1930-an etiologi penyakit Hirschprung belum jelas diketahui penyebab sindrom
tersebut. Baru jelas setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chander dan
Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschprung primer
disebabkan oleh gangguan peristalsis di bagian usus distal dengan defisiensi ganglion. Pada
tahun 1948, Swenson melaporkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium
enema dan tidak terdapatnya peristalsis kolon distal. Pengangkatan segmen kolon ini dengan
disertai preservasi sfingter ani interna akan menyembuhkan penyakit hirschprung..

Pasien dengan penyakit Hirschsprung  harus dikelola segera setelah diagnosis ditegakkan.
Tindakan segera yang harus dilakukan  adalah pembuatan kolostomi  untuk menghilangkan
pasase  usus. Langkah berikutnya adalah melakukan  tindakan  bedah definitif  yang dilakukan
secara elektif. Tanpa  penanganan tingkat mortalitas penyakit ini 80 % (Lee Steven, 2003),
pasien penyakit Hirschsprung akan  meninggal pada bulan-bulan pertama kehidupannya,
sebagian besar pada masa neonatus.  Kematian tersebut disebabkan  oleh komplikasi seperti
enterokolitis, perforasi usus, sepsis dan sebagainya.  Keterlambatan  dan kegagalan tindakan
bedah, baik tindakan bedah sementara maupun bedah definitif dapat mengakibatkan cacat
bahkan kematian. Penyakit ini merupakan kasus bedah sebab terbukti dengan penatalaksanaan
konservatif dari sejak awal, tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pembedahan untuk
mengatasi penyakit Hirschprung telah dikerjakan sejak 50 tahun yang lalu. Pada tahun 1961
Soave pertama kali melakukan operasi endorectal pull-through untuk menangani penyakit
Hirschprung (Kartono,1993). Pengobatan definitif aganglionosis  kolon adalah pembedahan 
dengan membuang semua bagian  yang aganglionik, kemudian membawa usus  (kolon ) yang
normal  persarafannya  (ganglionik ) ke anus  dengan memperhatikan kontinensi. Setiap
penderita yang sudah didiagnosis  menderita penyakit Hirschsprung  perlu dilakukan
pembedahan  untuk menghilangkan bagian yang patologi  dan memperbaiki  fungsi saluran cerna
(operasi korektif). Beberapa prosedur terapi penyakit Hirschsprung antara lain  : Prosedur
Swenson, Prosedur Duhamel, Prosedur Rehbein dan  Prosedor Soave. Prosedur Soave  disebut
juga  prosedur pull-through ekstramukosa endorektal dari Soave. Di Subbagian Bedah anak FK
UGM / RSUP DR Sardjito Yogyakarta, Soave dikerjakan mulai awal 1990. dalam melaksanakan
tersebut didapatkan kesulitan dalam pengupasan mukosa, sehingga diciptakan tehnik prosedur
modifikasi Soewarno

Sejarah penyakit Hirschprung

Pada tahun 1886  Hirschsprung  melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan perut yang
kembung  oleh kolon yang sangat melebar dan penuh masa feses. Penyakit ini disebut
megakolon kongenital dan  merupakan kelainan yang tersering  dijumpai sebagai penyebab 
obstruksi usus pada neonatus. Laporan tersebut disertai keterangan mengenai penampilan
makroskopik kolon yang terdilatasi dan hipertrofi, yang oleh Hirschprung  dinilai sebagai
penyebab gangguan fungsi usus ( Swenson, 1990). Sampai tahun 1930 etiologi penyakit
Hirschprung belum  jelas diketahui.

Penyebab sindrom tersebut baru diketahui setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1940
mengemukakan bahwa penyakit Hirschprung disebabkan gangguan peristaltik  di bagian usus
distal dengan defisiensi ganglion. Pada tahun 1948 Swenson menerangkan tentang  penyempitan
kolon distal yang terlihat dalam barium enema  dan tidak terdapatnya peristaltik pada kolon
distal. Pengangkatan segmen ini dengan disertai  preservasi  sfingter ani interna  akan
menyembuhkan penyakit Hirschprung (Robertson, et al, 1988). Pada tahun 1967, Okamoto dan
Ueda  menyimpulkan bahwa  penyebab penyakit hirschsprung adalah aganlionosis  pada bagian
akhir usus. Aganglionosis tersebut  disebabkan oleh karena gagalnya  migrasi ke caudal sel-sel
neuroblast pada masa awal kehidupan embrio (Kartono,1993

Anatomi dan fungsi anorektal

Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan rektum
berasal dari endoderm. Karena perbedaan anus dan rektum ini, maka perdarahan, persarafan,
serta aliran limfa berbeda. Rektum dilapisi mukosa glanduler, sedangkan kanalis analis, yang
merupakan epitel gepeng. Tidak ada yang disebut mukosa anus. Daerah batas rektum dan kanalis
analis ditandai dengan perubahan jenis epitel. Kanalis analis dan kulit luar disekitarnya kaya
akan persarafan sensoris somatik yang peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa
rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. Darah vena di atas garis
anorektum mengalir melalui sistem porta, sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem
kava melalui vena iliaka (Sjamsuhidajat, 1997).

Kanalis analis

Secara makroskopis kanalis analis terdiri atas kolumna analis, valvula analis, sinus analis, papila
analis, zona transisi garis Hilton dan kelenjar analis. Kolumna analis merupakan lipatan vertikal
dari selaput mukosa. Sedangkan  valvula analis merupakan lipatan melintang berbentuk bulan
sabit pada ujung bawah kolumna analis yang terdapat sepanjang linea pektinata, garis ini
merupakan batas antara endoderm dan ektoderm. Sinus analis terdiri dari lekukan-lekukan kecil
tepat di atas valvula analis sedangkan tonjolan mukosa dari valvula analis disebut papila analis.
Antara linea pektinata dan garis putih Hilton  terdapat peraliha bentuk epitel. Garis putih Hilton
letaknya lebih rendah dari sfingter interna, membentuk lekukan intersfingterika, di bawah garis
ini  kanalis analis dilapisi oleh kulit yang mengandung kelenjar keringat dan

kelenjar sebacea. Kelenjar analis bermuara pada kripta analis yaitu cekungan kecil pada sinus
analis (Brown, 1996). Secara mikroskopis kanalis analis terdiri dari tiga macam epitel, di atas
linea pektinata struktur menyerupai kolon, antara linea pektinata dan garis Hilton dilapisi epitel
transitional berlapis dan dibawah garis Hilton epitel pipih berlapis (Brown, 1996).

Sistema Muskulus

Sfingter terdiri dari atas otot  polos dan lurik yang membentuk saluran anal. Otot polos sfingter
interna adalah intrinsik pada dinding usus, menempati 2/3 bagian distal  saluran anal, sebagian
besar terletak  distal dari garis pektinea, otot tersebut merupakan penebalan muskulus sirkular
yang diperkuat oleh muskulus longitudinal di bagian luarnya. Sfingter eksterna merupakan
lingkaran otot memanjang mengelilingi  katup anal (anal vaives) sampai orifisium anal,
tersangga diantara muskulus perinei superfisialis dan ano-coccygeal raphe. Disamping otot-otot
sfingter, terdapat otot-otot dasar panggul yang terletak pada pintu keluar rongga pelvis berupa 
otot-otot levator ani yang terdiri dari pubococcygeus, ileococcygeus dan muskulus puborectalis
(Kartono, 1993).

Vaskularisasi
Vaskularisasi rektum dan kanalis analis berasal dari arteri hemorhoidalis superior, media dan
inferior.  Arteria hemorhoidalis superior merupakan  akhir dari arteria mesenterika inferior,
melalui dinding  posterior dari rektum turun sampai ke linea pektinata  (Leonhard, 1995). Arteria
hemorhoidalis media merupakan cabang dari arteria iliaka interna, pada wanita berupa arteria
uterina. Arteria hemorhoidalis inferior merupakan cabang dari arteria pudenda interna, mensuplai
anal di sebelah distal linea pektinata. Vena pada rektum dan anal mengikuti sistem arteri. Vena
hemorhoidalis superior berasal dari pleksus hemorhoidalis internus dan berjalan ke kranial ke
dalam vena mesenterika inferior  dan melalui vena lienalis  ke vena porta. Vena hemorhoidalis
inferior dan media mengalirkan darah ke ke vena pudenda interna, ke vena iliaka interna
selanjutnya ke vena kava inferior. Anastomosis antara vena hemorhoidalis superior dan arteria
hemorhoidalis media dan inferior disebut portosistemic shunt (Leonhard, 1993).

Persarafan

Nervus parasimpatis berasal dari cabang anterior n. sacralis ke 2,3 dan 4. Persarafan preganglion
ini  membentuk dua saraf erigentes yang memberikan cabang langsung ke rektum dan
melanjutkan diri  sebagai cabang utama ke pleksus pelvis untuk organ–organ intrapelvis.
Didalam rektum, serabut saraf ini berhubungan dengan pleksus ganglion  Auerbach. Persarafan
simpatis barasal dari dalam ganglion lumbal ke 2,3,4 dan pleksus paraaorta. Persarafan ini
menyatu  pada kedua sisi membentuk pleksus hipogastrikus di depan vertebra  lumbal 5 dan
melanjutkan  diri ke arah postero-lateral sebagai persarafan  presakral yang bersatu dengan
ganglion pelvis pada kedua sisi. Persarafan simpatis dan parasimpatis  ke rektum dan saluran
anal  berperan melalui ganglion  pleksus Auerbach dan Meissner untuk mengatur peristaltik  dan
tonus sfingter interna. Serabut saraf  simpatis dikatakan  sebagai inhibitor dinding usus dan
motor sfingter interna sedang parasimpatis sebagai motor dinding usus  dan inhibitor sfingter.
Sistem saraf parasimpatis juga merupakan persarafan sensorik untuk rasa distensi rektum
(Brown, 1996).

Etiologi

Penyebab dari penyakit hirschprung disebabkan oleh gangguan peristalsik di bagian usus distal
dengan defisiensi ganglion. Aganglionosis terjadi kareana sel neuroblas bermigrasi dari Krista
neuralis saluran cerna bagian atas dan selanjutnya  mengikuti serabut vagal ke kaudal. Penyakit
hirschprung terjadi bila migrasi sel neuroblas terhenti pada suatu tempat tertentu dan tidak
mencapai rectum. Beberapa peneliti mengemukakan timbulnya megakolon congenital
dikarenakan microenviorement pada kolon distal yang tidak normal yang tidak memungkinkan
factor pertumbuhan atau lingkungan yang sesuai untuk perkembangan neurocyt. Suatu penelitian
terbaru meneliti aktifitas adesi molekul neural cell (NCAM) pada megakolon congenital,
Kobayashi menjelaskan bahwa NCAM berperan penting dalam migrasi  neurocyt dan lokalisasi
neurocyt ketempat spesifik. Selama embriogenesis ada kemungkinan hilangnya aktifitas NCAM
dapat menjelaskan tidak terdapatnya sel ganglion pada megakolon congenital.

Patofisiologi
Pada penyakit Hirschprung, kolon mulai dari paling distal sampai pada bagian usus yang berbeda
ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatis intramural. Bagian kolon yang
aganglionik ini tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat
gangguan defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun,
membentuk megakolon. Hirschprung segmen pendek, daerah aganglionik meliputi rectum
sampai sigmoid merupakan kelainan terbanyak (18%), yang disebut hirschprung klasik.
Hirschprung segmen panjang, daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid Bila
mengenai seluruh kolon disebut kolon aganglionik total

Motilitas kolon

Motilitas kolon berbeda dengan usus halus, dimana peristaltik digantikan oleh gerakan feses
disepanjang kolon. Motilitas kolon berfungsi untuk pendorongan feses dan absorpsi cairan pada
waktu defekasi. Sedangkan gerakan feses dari sigmoid ke rektum  dihambat oleh beberapa
mekanisme yang digunakan untuk  kontinensia.

Kontinensia

Kontinensia merupakan keadaan kemampuan untuk mempertahankan feses. Hal ini tergantung
dari konsistensi feses, tekanan dalam anus, tekanan rektum dan sudut anorektal.         
Kontinensia diatur oleh mekanisme volunter dan involunter yang menjaga hambatan secara
anatomi dan fisiologi jalannya feses ke rektum dan anus. Penghambat yang berperan adalah
sudut anus dan rektum yang dihasilkan oleh otot levator ani bagian puborektal anterior dan
superior. Adanya perbedaan antara tekanan dan aktifitas motorik anus, rektum dan sigmoid juga
menyebabkan progresifitas pelepasan  feses terhambat. Kontraksi sfingter ani eksternus seperti
pada puborektalis diaktifasi secara involunter dengan distensi rektal dan dapat meningkat selama
1 – 2 menit (Kiessewetter, 1979).

Defekasi

Dalam keadaaan istirahat, lumen saluran anus akan menutup akibat puborektal sling yang
letaknya kranial dari linea pektinea dan oleh tonus istirahat sfingter interna dan eksterna yang
terletak setinggi dan dibawah katup anal. Peningkatan tekanan bagian kranial saluran anus akan
dideteksi oleh reseptor regangan pada sleeve dan sling complex. Peristaltik yang kuat akan
menimbulkan tegangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut
(seperti menahan flatus) diperlukan kontraksi yang kuat yang harus dibantu secara sadar untuk 
menimbulkan kontraksi sling dan sfingter eksterna.  Sleeve and sling dapat membedakan  gas,
cair, padat maupun gabungan.           Sfingter interna merupakan bagian akhir otot pendorong
yang secara aktif mengeluarkan feses atau flatus melalui anus. Serabut otot ini, yang terdiri dari
otot sirkuler dan longitudinal membantu peristaltik di seluruh saluran anal sampai ke orifisium.
Bagian longitudinal yang sebagian berasal dari otot pubococcygeus dan sebagian dari otot
rektum involunter, secara aktif  menimbulkan ectropion anus selama fase peristaltik pengeluaran
feses. Fungsi ini  berhubungan dengan kebersihan bagian saluran anal yang dilapisi kulit
( Kartono, 1993).

Gambaran Klinis
Gejala utama dari penyakit hirsprung adalah berupa gangguan defekasi yang dapat mulai timbul
24 jam pertama setelah lahir, dapat pula timbul pada umur beberapa minggu atau baru menarik
perhatian orang tuanya atau setelah umur beberapa bulan. TRIAS KLASIK gambaran klinik
pada neonatus adalah :

1. Mekonium keluar terlambat lebih dari 24 jam pertama


2. Muntah hijau
3. Perut membuncit seluruhnya.

Ada kalanya gejala obstipasi kronik ini diselingi oleh diare berat dengan feses berbau yang
disebabkan oleh timbulnya penyakit berupa enterokolitis. Enterokolitis ini disebabkan antara lain
oleh bakteri yang tumbuh berlebihan pada daerah kolon yang iskemik akibat distensi dinding
usus yang berlebihan  Dengan anamnesis dapat diketahui mulai sejak saat kelahiran berupa
terlambatnya pengeluaran mukoneum dan adanya konstipasi. Pada pemeriksaan colok dubur
terasa ujung jari terjepit lumen rectum yang menyempit, pengeluaran kotoran  mungkin terjadi
setelah dilakukan colok dubur. Manifestasi klinis penyakit hirschprung yang khas biasanya
terjadi pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan keluarnya mekoneum pertama, diikuti
distensi abdomen dan muntah mirip tanda-tanda obstruksi usus setinggi ileum. Pada bayi normal
mekonium pertama biasanya sudah keluar dalam waktu 24 jam setelah kelahiran, namun pada
lebih 90 % kasus penyakit hirschprung mekonium keluar setelah  24 jam.

Berdasarkan panjang daerah aganglioner, hisrchprung dibagi :


» Ultrashort             à   1/3 bawah rectum
» Short        à  sampai rektosigmoid
» Long        à  mencapai olon descenden
» Sub Total             à  colon transversum
» Total        à   seluruh kolon

Diagnosis

Diagnosis penyakit Hirschprung harus ditegakkan secara dini, keterlambatan diagnosis


menyebabkan timbulnya komplikasi seperti perforasi, enterokolitis, dan sepsis yang merupakan
penyebab kematian tersering. Penegakan diagnosis harus dimulai dari anamnesis perjalanan
penyakit  yang khas dan gambaran klinik  abdomen distensi menyeluruh merupakan kunci,
pemeriksaan radiologi barium enema terlihat gambaran  daerah transisi yaitu daerah perubahan 
lumen yang sempit ke daerah lumen lebar, pada foto setelah 24 jam akan terlihat  retensi barium
dan gambaran mikro kolon pada hirchprung segmen panjang, serta pemeriksaan patologi anatomi
biopsi isap rectum, mencari tanda histologi yang khas, yaitu tidak adanya sel ganglion
parasimpatik di lapisan muskularis mukosa, dan adanya serabut syaraf yang menebal. Pada
pemeriksaan histokimia terdapat aktifitas kolinesterase yang meningkat.

Pada diagnosis didapatkan :


» BB lahir bayi normal berbeda dengan atresia ani BB lahir rendah
» Pengeluaran mekoneum > 2×24 jam
» Kembung, munta, diare dan panas bila terjadi enterokolitis
» RT  : nyemprot dan kembung hilang

Anamnesis; Pada anamnesis perlu ditanyakan: umur pasien oleh karena penderita ini biasanya
neonatus cukup bulan, mekonium yang keluar terlambat yaitu lebih dari 24 jam pertama, riwayat
muntah hijau. Ada kalanya terdapat riwayat obstipasi kronik  diselingi oleh diare berat dengan
feses berbau yang disebabkan oleh timbulnya penyakit berupa enterokolitis

Pemeriksaan radiologis

a.   Foto polos abdomen


» Gambaran obstruksi usus letak rendah, dikatakan megakolon bila   diameternya lebih besar dari
6,5 cm
» Kolon membesar gambaran seperti U inferted (tapal kuda)

b. Foto kolon dengan kontras:

Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada bayi dengan pengeluaran mukoneum yang terlambat,
distensi abdomen, muntah hijau, meskipun dengan colok  dubur gejala dan tanda obstruksinya
mereda. Bahan yang digunakan adalah urografin.  Gambaran yang ditemukan adalah :
» Tampak daerah penyempitan di bagian rectum ke proksimal yang             panjangnya
bervariasi.
» Tampak daerah transisi, (distaldaerah sempit dan proksimal longgar)

Daerah ini penting untuk pembuatan kolostomi.

Ditampilkan pula beberapa gambaran zona transisi antara lain:

1. Abrupt, perubahan mendadak dari segmen sempit ke segmen dilatasi


2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut
3. Funnel, perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi secara gradual

Selain gambaran di atas sering juga didapatkan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur
yang menunjukkan proses enterokolitis pada foto pasca evakuasi barium. Apabila dengan dengan
foto barium enema tidak terlihat gambaran  Hirschsprung, dibuat foto retensi barium yang
dikerjakan 24-48 jam sesudah barium enema untuk melihat bayangan sisa barium yang tampak
membaur dengan feses ke arah proksimal

Tanda-tanda radiologis yang khas untuk penyakit Hirschsprung adalah :

1. Adanya gambaran  zone transisional


2. Gambaran ireguler pada segmen aganglionik
3. Gambaran penebalan dan adanya nodus pada segmen mukosa kolon, sisi oral dari zona
transisional
4. Keterlambatan pengeluaran kontras
5. Gambaran Question mark pada total aganglionosis (Yoshida, 2004).
Pemeriksaan patologi anatomi

Merupakan pemeriksaan untuk diagnosis pasti penyakit hirschprung. Kelainan tersebut adalah
tidak adanya sel-sel ganglion meissneri pada bagian usus yang menyempit dan ditemukannya
penebalan serabut syaraf .

Diagnosis patologis anatomis dilakukan dengan biopsi yang pernah dilaporkan Swenson pada
tahun 1955. Seluruh ketebalan dinding rektum dieksisi sehingga pleksus mienterikus dapat
diperiksa. Prosedur biopsi ini secara teknis sulit, meninggalkan jaringan fibrosis dan
kemungkinan akan mempersulit pembedahan selanjutnya . Biopsi isap mukosa dan submukosa
rektum dengan mempergunakan alat Rubun atau Noblett dapat dikerjakan lebih sederhana dan
tanpa anestesi.

Diagnosis ditentukan apabila tidak ditemukannya sel ganglion  Meissner dan ditemukannya
penebalan serabut saraf (Swenson, 1990).

Pemeriksaan manometri

Memasukkan balon kecil dengan kedalaman yang berbeda-beda ke dalam rectum dan kolon.
Study manometri pada megakolon congenital memberikan hasil sebagai berikut:
» Dalam segmen dilatasi terdapat hiperaktifitas dengan aktifitas propulsive yang normal.
» Dalam segmen aganglionik tidak terdapat gelombang peristaltic yang terkoordinasi, motilitas
normal digantikan oleh konstraksi yang tidak terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu
yang berbeda.
» Reflek inhibisi antara rectum dan spingter ani tidak berkembang reflek relaksasi spingter ani
interna setelah distensi rectum tidak terjadi bahkan terdapat kontraksi spastik dan relaksasi
spontan tak pernah terjadi.

Pemeriksaan ini dilakukan bila pada pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan,
misalnya pada megakolon  congenital ultra short.

.Penatalaksanaan

1.   Penatalaksanaan sementara

Sebelum dilakukan tindakan definitif yaitu tindakan pembedahan pengangkatan segmen usus
aganglionik, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. Tindakan bedah sementara yaitu
dengan pembuatan kolostomi di kolon yang berganglion normal yang paling distal, merupakan
tindakan pertama yang harus dilakukan. Tindakan ini menghilangkan obstruksi usus serta
mencegah enterokolitis yang merupakan penyebab kematian utama.

Kolostomi dekompresi dikerjakan pada:

-       Pasien neonatus , karena tindakan bedah definitive langsung tanpa          kolostomi
menimbulkan banyak komplikasi dan kematian yang disebabkan     oleh kebocoran anastomosis
dan abses rongga pelvis.
-       Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, pasien kelompok ini mempunyai
kolon yang sangat terdilatasi dengan kolostomi ukuran kolon akan mengecil kembali dalam
waktu 3 – 6 bulan sehingga anastomosis nantinya lebih mudah.

-       Pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umumyang buruk

2.   Penatalaksanaan Definitif

1.  Prosedur Swenson

Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan preservasi spingter ani,


anastomosis dilakukan secara langsung.. Pembedahan ini disebut sebagai prosedur tarik terobos
atau pull through abdomino perineal. Merupakan prosedur pembedahan pertama yang berhasil
menangani pasien penyakit hirschprung.

Dalam prosedur ini puntung rectum ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan, yang pascabedah
ditemukan beberapa enterokolitis diduga disebabkan oleh spasme rectum yang ditinggalkan. 
Rektum yang ditinggalkan sebenarnya merupakan segmen yang masih aganglionsis yang tidak
direseksi . Karena dapat terjadi inkontinensia,  prosedur ini dikenal sebagai SWENSON I. Untuk
mengurangi apasme spingter ani. Swenson melakukan spingterotomi posterior. dengan cara
puntung rectum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 – 1 cm di bagian posterior, dikenal
sebagai SWENSON II.

2.   Prosedur Duhamel

Teknik prosedur duhamel tahun 1956 adalah dengan mempertahankan rectum, kolon proksimal
ditarik rekto rectal transanal dan dilakukan anastomosis kolorektal end to side, prosedur ini
sering terjadi stenosis, inkontinensia, dan pembentukan fekaloma dalam puntung rectum yang
ditinggalkan terlalu panjang,untuk mengatasi hal tersebut dilakukan berbagai modifikasi

Prosedur Duhamel

Prinsipnya pada  membiarkan rektum tetap ada, kemudian usus yang sehat (normal
persarafannya) dimasukkan ke dalam rektum melalui celah pada dinding posterior  dari arah
retrorektal. Hasil yang dicapai berupa enterotomi. Dinding rektum bagian depan  yang
aganglionik tetap ada, sehingga reflek kontrol defekasi  tetap baik. Dinding belakang rektum
nantinya  terdiri dari kolon yang normal. Pada permulaan operasi, rektum ditutup dan dipotong
seperti pada operasi Hartman. Kemudian kolon proksimal dipotong  sampai pada daerah yang
diinginkan  pada daerah  dengan persarafan normal. Duhamel sendiri menganjurkan  seluruh
kolon yang menyempit dan yang melebar direseksi  karena biasanya  bagian tersebut atoni dan
mudah  terjadi pengerasan feses.  Pada tahap berikutnya dilakukan insisi endoanal, yaitu insisi
semisirkular  pada dinding posterior dan kanalais  analis kira-kira  1 cm di atas pinggir anus.
Mukosa dan sfingter dibuka  langsung ke arah retrorektal  yang sudah dibebaskan sebelumnya.
Kedua ujung insisi  ditahan dengan jahitan sementara, sebagai tempat untuk anastomosis
koloanal. Ujung
yang normal persarafannya diturunkan  melalui daerah retrorektal  menembus mukosa dan
keluar  melalui anus (Ashcraft, 1997).

3.  Prosedur Soave

Soave melakukan prosedur bedah dengan pendekatan abdominoperineal dengan membuang


lapisan mukosa rekto sigmoid dari lapisan seromuskuler, selanjutnya dilkukan penarikan kolon
normal keluar anus melalui selubung seromuskuler rektosigmoid . Prosedur ini disebut pula
sebagai prosedur tarik terobos endorektal, kemudian setelah 21 hari sisa kolon yang diprolapkan
dipotong . Boley melakukan modifikasi prosedur soave dengan meperkenalkan prosedur tarik
terobos endorektal dengan anastomosis langsung tanpa kolon diprolapkan . Teknik ini dilakukan
untuk mencegah retraksi kolon bila terjadi nekrosis kolon yang diprolapkan.

Prosedur ini sebenarnya adalah prosedur yang asli (original) untuk pengobatan bedah pada
aganglionosis kolon. Hal penting yang diperhatikan pada teknik ini adalah  membebaskan
rektum, diseksi tepat pada dinding rektum, terus ke bawah  ke arah sfingter, kemudian reseksi
seluruh anus yang tidak mengandung ganglion (segmen aganglionik). Kedua ujung yang
dipotong  yakni bagian proksimal , yaitu usus yang normal dan bagian distal yang patologik
ditutup sementara dengan jahitan. Setelah rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya, ujung
rektum dibalik / prolaps ke arah anus.  Ujung bagian proksimal yang normal persarafannya
dilakukan pull-through melalui lumen rektum yang terbalik, kemudian dilakukan anastomosis 
dengan ujung anorektal. Anastomosis dilakukan di perineal dan bukan intraabdominal. Letak
anastomosis tepat di atas anus. Reseksi rektum meninggalkan  1,5 cm dinding rektum  bagian
depan dan  hampir seluruh rektum  bagian belakang. Prosedur ini kalau dikerjakan oleh pakar
yang berpengalaman  akan memberikan hasil yang baik tanpa penyulit. Untuk   mencegah
penyulit  berupa enterokolitis, maka Swenson menganjurkan reseksi yang lebih luas  termasuk
posterior  sfingterotomi (Swenson, 1990).

Anastomosis 2 lapis, mokosa dengan chromic catgut,  muskulus dengan silk 5-0 (Swenson,1990)

Skematik prinsip pull-through dan teknik anastomosis A. Swenson B. Soave C. Rehbein D.


Duhamel

Prosedur Soave

Prosedur ini berbeda dengan prosedur Swenson dan Duhamel . Ia melakukan pendekatan
abdomino-perineal dengan mengelupas mukosa rekto-sigmoid dari lapisan seromuskular.
Kemudian dilakukan penarikan kolon  keluar anus melalui selubung seromuskular rekto-
sigmoid. Prosedur ini  disebut juga metode tarik terobos endorektal. Setelah beberapa hari
dilakukan pemotongan sisa kolon yang diprolapskan (Aschcraft, 1997). Prosedur operasi
modifikasi Soewarno adalah sebagai berikut, dilakukan penutupan kolostomi, yang pada
umumnya adalah standart double barrel. Dilakukan irisan tranversal pada dinding depan
abdomen mulai 4 cm sebelah medial SIAS kanan melalui garis Langer sampai mencapai lobang
kolostomi. Irisan dilanjutkan melengkung ke kraniolateral secukupnya. A hemorroidalis superior
dan a. sigmoidalis diidentifikasi selanjutnya diikat dan dipotong.  Dilakukan reseksi kolon 3 – 4
cm diproksimal kolostomi dan 1 – 2 cm di proksimal refleksi peritoneum. Pungtum proksimal
kemudian ditutup. Dilakukan pengupasan mukosa rektum dari lapisan seromuskuler, dengan cara
memegang mukosa dengan 4 buah klem ellis. Irisan pertama dilakukan secara tajam selanjutnya
seromuskuler dipegang dengan 4 buah klem ellis, selanjutnya dilakukan pengupasan secara
tumpul. Pengupasan ke anal sejauh mungkin sehingga mencapai linea dentata. Selanjutnya
dilakukan pembebasan kolon proksimal yang sehat, sampai cukup untuk diteroboskan keluar
anus. Pembebasan ini harus hati-hati sehingga arkade pembuluh darah tetap terjamin. Bila sudah
dinilai cukup, maka operasi dilanjutkan lewat perineum. Anus disiapkan, kemudian cerobong
mukosa ditarik, dengan jalan memasukkan sonde khusus dengan ujung berbentuk kepala yang
lebih besar. Mukosa diikat pada leher sonde tersebut dan ditarik keluar secara melipat terbalik.
Kolon yang sehat kemudian diteroboskan di dalam cerobong mukosa. Lapisan mukosa difiksasi
dengan kolon dengan benang plain catgut, dan dipasang rektal tube di dalam kolon yang
diteroboskan tersebut sampai melewati sfingter ani.

Operasi dilanjutkan lewat abdominal, vesika urinaria, dan organ abdomen yang lain ditata
kembali, cerobong seromuskuler difiksasi dengan serosa kolon yang diteroboskan dengan
chromik catgut. Dilakukan appendektomi insidental. Rongga abdomen dicuci dan ditutup lapis
demi lapis. Sepuluh hari setelah dioperasi endorectal pullthrough, telah terjadi perlekatan antara
cerobong seromuskuler dengan serosa kolon. Dilakukan pemotongan pungtum kolon yang
diteroboskan 1 cm proksimal linea dentata, dilajutkan dengan  penjahitan mukosa dengan
mukosa. Selama 3 hari rectal tube  terus dipasang pada rektum yang baru sehingga gangguan
obstruksi akibat udema di daerah anorektal dapat dihindari (Santoso,1997).

Operasi definitif pada penyakit megakolon merupakan trauma fisik dan psikis yang cukup besar
bagi pasien. Pada penyembuhan luka operasi sangat tergantung  pada sistem imun, dan sistem
imun dipengaruhi oleh status gizi dari pasien, malabsorpsi, kekurangan asam amino esensial,
mineral mauoun vitamin (Sjamsuhidajat, 1997).
Gb 8.  Skema tahapan bedah prosedur Soave (Kartono,1993)

4.  Prosedur Rehbein

Pada dasarnya prosedur rehbein adalah prosedur reseksi anterior yang    diektensikan kedistal
sampai dengan pengangkatan sebagian besar        rectum. Reseksi segmen aganglionik termasuk
sigmid dilanjutkan dengan   anastomosis ujung keujung dikrjakan intra abdomen ekstra
peritoneal.

5.  Prosedur Pull Through Primer

Perubahan penting pada penatalaksanaan Hisrchprung Disease adalah dilakukanya tindakan


definitif prosedur pullthrough pada periode neonatus , pendekatan ini berbeda dengan konsep
yang sudah diterima berupa kolostomi dekompresi selama periode neonatus dengan tindak lanjut
berupa pullthrough pada umur 9-12 bulan dengan berat 20 pound.  Pendekatan ini didasarkan
pada laporan mortalitas oleh Swenson dkk. Dimana rekontruksi lebih awal dapat di setujui,
metode ini mendapat sambutan yang luas ,keberhasilan endorectal pullthrough pertama kali oleh
SO 1980. Tehnik yang digunakan sama dengan yang digunakan pada anak yang lebih tua. Semua
operasi dilakukan setelah 24 jam diagnosis dan umur  seawal mungkin 48 jam.
Kolostomi

Kolostomi pada penyakit Hirschprung  sebaiknya dikerjakan  paling tidak, setelah 3 sampai 5
bulan setelah diagnosis ditegakkan, sedangkan operasi definitif tidak dikerjakan pada periode
awal kelahiran (Ashcraft, 1997). Kolostomi  merupakan tindakan dekompresi pada kolon
berganglion normal yang paling distal. Tindakan ini  akan menghilangkan  obstruksi usus dan
mencegah enterokolitis yang merupakan penyebab kematian dari penyakit Hirschprung.
Kolostomi dikerjakan  pd

1. Pasien neonatus.
2. Pasien anak dan dewasa yang  terlambat terdiagnosis. Kelompok ini mempunyai kolon
yang sangat terdilatasi, dan akan mengecil setelah 3 – 6 bulan paska kolostomi.
3. Pasien dengan enterokolitis yang berat dan kondisi umum yang buruk, dengan tujuan
memperbaiki keadaan umum ( Swenson,1990).

Karena peran dari usus besar mengabsorpsi cairan  dan elektrolit yang diperlukan tubuh,  intake
dari pasien yang dilakukan kolostomi harus diperhatikan (Hyman, 2002).

Komplikasi Pasca Operasi

Komplikasi pasca bedah dapat terjadi secara dini (< 4 minggu pasca operasi) dan lambat. Angka
mortalitas pasca operasi lebih banyak terjadi pada prosedur Swenson dan lebih rendah pada
prosedur Duhamel dan Soave. Kebocoran anastomosis lebih sering terjadi pada prosedur
Swenson ,stenosis sering terjadi pada endorectal dan pada Swenson dari pada prosedur duhamel..
Angka mortalitas pada megakolon congenital yang tidak mendapatkan penanganan adalah 80 %,
pada yang mendapatkan penanganan angka kematian kurang lebih 30 % yang diakibatkan oleh
enterokolitis dan komplikasi pasca bedah seperti kebococran anastomosis ,striktur anastomosis,
abses pelvis dan infeksi luka operasi

1. Abses seromuskuler
2. Retraksi puntung kolon
3. Nekrosiskolon endorektal
4. Kebocoran anastomose

Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat
atau abses, kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum.
Keadaan ini dapat terjadi akibat dari disrupsi anastomosis akibat retraksi atau nekrosis kolon.
Pencegahan kebocoran           dengan memperhatikan factor predisposisi seperti ketegangan
anastomosis,   vaskularisasi tepi sayatan yang tidak adekuat, infeksi sekitar       anastomosis,  
pemasangan rectal tube yang terlalu besar, colok dubur dan businasi terlalu dini. Bila terjadi
kebocoran anastomosis sgera dilakukan          kolostomi segmen proksimal

Stenosis

Disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka didaerah anastomosis, infeksi           yang


menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis. Prosedur Swenson atau            Rehbein dapat
menyebabkan stenosis sirkular pada garis anastomosis, sedang          prosedur Duhamel dapat
menyebabkan stenosis posterior dan prosedur tarik   terobos endorektal menyebabkan stenosis
memanjang. Stenosis ini        menyebabkan gangguan defekasi , enterokolitis dan fistulo rekto
perineal

Gangguan fungsi sfingter paska operasi

Pembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan kontinen. Gangguan
fungsi sfingter berupa : Inkontinensia, soiling(keciprit) dan obstipasi berulang

Enterokolitis

Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien dengan endorektal
pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon
congenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial.
Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis ,sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masih spastik.Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen di
ikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau
busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis,
infeksi dan perforasi

Penatalaksanaan dengan terapi medik meliputi resisutasi cairan, pemasangan rectal tube dan
pembilasan dengan NaCl fisilogis 2-3 kali sehari serta pemberian antibiotik.Tindakan bedah
berupa businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior untuk spasme spingterani dapat juga
dilakukan reseksi ulang stenosis. Hal yang sulit pada megakolon congenital adalah terdapatnya
gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten
dan enterokolitis berulang pasca bedah.

Tappering pada Megakolon kongenital

Penyakit Megakolon kongenital, atau Hirschsprung adalah penyakit yang diakibatkan


aganglionosis intestinal bagian distal yang bersifat kongenital. Pada kelainan ini tidak dijumpai
adanya pleksus Meissner, Henle maupun Aurbach. Penampilan klinis sangat bervariasi dari
konstipasi kronis sampai obstruksi intestinal. Pembedahan untuk menangani penyakit ini dimulai
tahun 1948 dengan teknik rektosigmoidektomi oleh Swenson, Duhamel dengan teknik retrorektal
transanal, Soave dengan teknik endorektal dengan striping mukosa tanpa jahitan anastomosis dan
diikuti modifikasi lainnya. Apapun teknik operasi yang dipergunakan  akan selalu mendapatkan
kesulitan apabila saat operasi didapatkan adanya perbedaan kaliber yang besar antara kolon yang
aganglionik degan anus.

Untuk menghindari tindakan revisi kolostomi maupun reseksi kolon yang panjang serta
mengurangi morbiditas yang mungkin terjadi dan pertimbangan penghematan biaya maka
tapering kolon dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan kaliber kolon yang akan ditarik
dengan kaliber anus yang akan dilalui.
Pasase mekonium yang lebih dari 24 jam merupakan 90% kasus namun pada neonatus yang lain
keadaan ini kadang-kadang tidak dijumpai sama sekali. Insidensi penyakit ini 1 : 5000 kelahiran
hidup, frekuensi laki-laki dengan perempuan 4 : 1.

Pembedahan yang dilakukan untuk menangani penyakit ini telah dimulai pada tahun 1948
dengan teknik rektosigmoidektomi oleh Swenson yan kemudian disempurnakan pada tahun
1964. Tahun 1960 Duhamel memperkenalkan teknik rektorektal transanal untuk menghindari
diseksi pelvis yang terlalu banyak. Soave pada tahun 1966 memperkenalkan teknik endorektal
yang dikerjakan dengan striping mukosa tanpa jahitan anastomosis. Tehnik semacam ini
sebenarnya telah diperkenalkan oleh Ravitch dan Sabiston pada 1947 namun dikerjakan untuk
operasi  poliposis maupun colitis ulseratif. Denda dan Scott Boley melakukan modifikasi untuk
prosedur Soave dengan melakukan tehnik endorektal dengan jahitan, sedangkan Nixon
melakukan modifikasi dengan tehnik endorektal jahitan disertai anastomosis bertahap.

Tehnik operasi untuk menangani penyakit megakolon telah berkembang dengan pesat baik yang
dikerjakan dengan dua tahap maupun satu tahap dengan alat-alat tambahan maupun secara
konvensional. Untuk operasi definitif penyakit ini ada empat tehnik operasi pokok yang telah
diperkenalkan yaitu tehnik Swenson (1948) dengan rektosigmoidektomi dimana disini dilakukan
tindakan prolaps dan eksisi. Tehnik ini kemudian disempurnakan pada tahun 1964. Tehnik
Swenson merupakan tehnik operasi yang paling tua.

Prinsip dari operasi ini  adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi sfingter ani, dengan
anastomosis langsung. Disini puntung rektum ditinggal 2-3 cm dari garis mukokutan.
Sebenarnya sisa rektum yang ditinggalkan masih merupakan segmen yang aganglionosis tetapi
tidak ikut direseksi karena dapat terjadi inkontinensia. Untuk mengurangi spasme sfingter ani
Swenson melakukan sfingterotomi.

Pada tahun 1964 Swenson memperkenalkan sfingterotomi parsial langsung dan puntung rektum
disisakan 2 cm di bagian anterior dan 0,5-1 cm di bagian posterior. Yang perlu diperhatikan pada
tehnik Swenson ini adalah bahwa segmen sigmoid yang direseksi mulai beberapa sentimeter dari
dasar peritoneum sampai 1-2 cm proksimal kolostomi, diseksi rektum harus dilakukan tepat pada
dinding rektum agar mudah dan tidak menimbulkan banyak perdarahan, serta pembebasan kolon
proksimal dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan kolon dapat ditarik ke perineum
melalui anus tanpa tegangan. Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang dipasang
di dalam lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm proksimal dari garis mukokutan dimana
bagian anterior dan posterior sama tinggi. Tehnik pemotongan yang lain adalah secara miring
dimana bagian anterior 2 cm di bagian posterior 0,5 cm. Kemudian kolon proksimal ditarik ke
perineum melalui puntung rectum yang telah terbuka. Anastomosis dikerjakan langsung dengan
jahitan dua lapis menggunakan benang sutera Modifikasi prosedur Swenson dengan tujuan untuk
menghindari pemotongan usus intraabdominal telah diperkenalkan oleh Denis Browne dimana
kolon proksimal yang telah dimobilisir diintusepsikan keluar dari anus melalui tarikan benang
silk besar dengan pertolongan sigmoidoskop

Tehnik operasi retrorektal transanal mula pertama diperkenalkan oleh Duhamel yang
dimaksudkan untuk mengurangi diseksi rongga pelvis yang berbahaya. Pada tehnik ini rektum
tetap dipertahankan dan kolon proksimal yang ganglionik ditarik retrorektal transanal kemudian
dilakukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi. Sayang sekali bahwa tehnik ini sering
mengalami komplikasi akibat terjadinya stenosis, inkontinensia maupun terbentuknya fekaloma,
sehingga banyak modifikasi-modifikasi yang dikembangkan termasuk modifikasi Grob (1959),
modifikasi Talbert dan Ravitch, modifikasi Ikeda, modifikasi Martin dan modifikasi Adang.
Pada tehnik ini puntung rektum dipotong 2-3 cm di atas dasar peritoneum dan ditutup dengan
jahitan dua lapis menggunakan benang sutera maupun dexon. Rongga retrorektal dibuka
sehingga seluruh permukaan dinding posterior rektum bebas. Setengah cm dari garis mukokutan
dibuat sayatan endoanal setengah lingkaran pada dinding posterior dan selanjutnya kolon
proksimal ditarik retrorektal melalui incisi tersebut keluar dari anus. Anastomosis dikerjakan
dengan pemasangan 2 klem dimana setelah 6-8 hari klem tersebut akan terlepas. Grob membuat
sayatan endoanal tinggi 1,5-2,5 cm di atas garis mukokutan untuk menghindari terjadinya
inkontinensia, sedangkan Talbert dan Ravitch melakukan reseksi septum dengan menggunakan
stappler. Pada modifikasi Ikeda reseksi septum dilakukan dengan klem rancangan Ikeda sendiri
dimana anastomosis akan terjadi 6-8 hari setelah klem lepas.

Pada modifikasi Adang kolon proksimal ditarik retrorektal transanal dan untuk sementara
dibiarkan prolaps kemudian anastomosis dikerjakan secara tidak langsung pada hari ke 7-14
pasca bedah dengan cara memotong kolon yang prolaps yang kemudian dipasang 2 buah klem,
dan klem ini dilepas pada hari berikutnya

Tehnik operasi endorektal untuk menangani penyakit Megakolon atau Hirschprung mula pertama
diperkenalkan oleh Soave pada tahun 1966. Sebetulnya tehnik ini telah diperkenalkan
sebelumnya oleh Ravitch dan Sabiston pada tahun 1947 namun dipergunakan untuka menangani
poliposis dan kolitis ulseratif. Pendekatan yang dipergunakan adalah abdomino-perineal dengan
membuang lapisan mukosa rektosigmoid dari lapisan seromuskular, kemudian kolon proksimal
yang ganglionik ditarik lewat cerobong endorektal keluar lewat anus dan dibiarkan prolaps tanpa
dijahit, setelah 21 hari sisa kolon yang diprolapskan dipotong.

Tehnik Soave pada prinsipnya merupakan tehnik Tarik Melalui Endorektal (TME) dengan
anastomosis tanpa jahitan. Kelemahan tehnik ini adalah bahwa harus dikerjakan dilatasi anus
pasca operasi . Tehnik operasi endorektal lain yang merupakan modifikasi tehnik Soave
diperkenalkan oleh Denda dari Jepang dan Scott Boley dari Amerika Serikat, pada prinsipnya
adalah tarik melalui endorektal dan anastomosis dengan jahitan  Nixon (1985) melakukan
modifikasi tehnik Soave dengan anastomosis bertahap. Kolon proximal yang ganglionik
diprolapskan sepanjang 5 cm menggelantung di luar anus sebagai kolostomi perineal temporer
dan dipotong setelah 15-21 hari. Langer et al (1999) memperkenalkan prosedur Soave satu tahap
transanal tanpa diseksi intraperitoneal mukosektomi rektum dimulai pada 0,5 cm proksimal garis
dentate.

Tehnik operasi endorektal lain dari FK-UGM Yogyakarta merupakan modifikasi tehnik Soave
yang menitikberatkan pada tindakan operasi yang lebih sederhana, cepat, aman, murah, tanpa
alat-alat canggih, dapat dikerjakan di daerah dimana pada tehnik ini puntung rectum dipotong 3
cm di atas dasar peritoneum dan dibiarkan terbuka. Striping mukosa dikerjakan dengan
pertolongan injeksi NaCl pada mukosa yang dengan demikian akan memudahkan pemisahann
mukosa dari lapisan seromuskular. Mukosa dipisahkan dari muskularis sampai setinggi 1 cm di
atas garis pektinea, kemudian diprolapskan keluar anus. Pada kenyataannya tindakan ini kaliber
rektum yang tadinya sempit ternyata setelah dilakukan striping akan menjadi lebar dan rata-rata
3 kali bila dibandingkan dengan kaliber semula, yang tentu saja akan memudahkan proses
penarikan kolon proksimal yang ganglionik melalui cerobong endorektal keluar melalui anus.
Kolon proksimal yang diprolapskan sepanjang 5 cm dapat dibiarkan menggelantung di luar anus
ataupun langsung dipotong dan dianastomosiskan dengan mukosa yang terlebih dahulu
diprolapskan tepat 1 cm proksimal garis pektinea.  Setelah 5 hari kolon proksimal yang
diprolapskan dipotong dan dijahit melingkar dengan lapisan mukosa dengan jahitan simple.

Pada operasi Rehbein, yang dipergunakan adalah prosedur reseksi anterior yang diekstensi ke
distal yang diikuti pengangkatan sebagian besar rektum. Reseksi segmen aganglionik termasuk
sigmoid diikuti anastomosis end to end, semuanya dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal.
Tehnik ini merupakan modifikasi dari tehnik State .

Pada prosedur pull-through, apapun tehniknya akan tetap dijumpai kendala apabila kolon
proksimal yang akan ditarik masih mempunyai kaliber yang besar  sehingga terjadi disproporsi
antara kaliber kolon yang akan ditarik dengan kaliber anus. Untuk mengatasi hal ini maka
sebelum dilakukan operasi pull-through terlebih dahulu harus diketahui kaliber kolon proksimal
yang akan ditarik dengan melakukan pemeriksaan kolostogram proksimal. Apabila kaliber kolon
proksimal sekiranya telah sesuai dengan kaliber anus maka baru dikerjakan operasi, sedang bila
kaliber kolon proksimal masih besar maka dilakukan revisi kolostomi terlebih dahulu dan
ditunggu sampai kalibernya sesuai dengan kaliber anus. Tapi kadangkala pemeriksaan
kolostogram proksimal telah menunjukkan kaliber kolon yang yang kecil, namun setelah
dilakukan laparotomi ternyata kalibernya masih cukup besar sehingga masih ada disproporsi
antara kolon yang akan ditarik dengan anus. Apabila pada keadaan ini tetap saja dilakukan
prosedur pull-through maka akan terjadi kesulitan  dalam proses penarikan kolon proksimal
keluar dari anus yang dapat berakibat nekrosis kolon akibat iskemia dan berakibat fatal. Untuk
menghadapi hal ini operator dipaksa untuk menentukan pilihan apakah akan dilakukan revisi
kolostomi saja ataukah tetap dilakukan operasi pull-through dengan segala kesulitannya.

Pada kasus-kasus penyakit Hirscprung  yang terlambat dimana telah terjadi distensi kolon yang
sangat lebar dengan komplikasi kolitis, tindakan tindakan kolostomi saja yang dimaksudkan
untuk memperkecil kaliber kolon akan memakan waktu yang sangat lama dan akan
mempengaruhi psikis penderita dimana bau feses yang keluar dari stoma akan mengganggu
teman-teman sekolahnya. Untuk mengatasi hal ini maka dapat dilakukan  pembuatan stoma
sampai keadaan anak stabil, kemudian prosedur pull-through dikerjjakan tanpa harus menunggu
kaliber kolon menjadi kecil. Untuk memperkecil kaliber kolon proksimal dapat dilakukan
tapering dengan cara membuat irisan baji antimesokolik pada ujung kolon yang akan ditarik
sehingga kaliber kolon akan sesuai dengan kaliber anus dan ini akan mempermudah penarikan
kolon proksimal keluar dari anus. Cara ini akan menghindari tindakan revisi kolostomi maupun
pemotongan kolon yang terlalu panjang yang pada akhirnya mengurangi morbiditas maupun
mortalitas disamping penghematan biaya yang tidak sedikit.

Tapering kolon dapat dilakukan pada operasi endorektal pull-through guna mencegah tindakan
revisi kolostomi maupun pemotongan kolon yang yang terlampau panjang sehingga akan
menurunkan morbiditas, mortalitas serta akan menekan biaya operasional.

Anda mungkin juga menyukai