atau Megakolon Kongenital
Megacolon congenital adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionis usus, mulai dari
spingter ani interna ke arah proksimal dengan panjang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan
setidak-tidaknya rektum. Penyakit Hirschsprung disebut juga megacolon kongenital merupakan
kelainan tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini
tidak dijumpai pleksus mienterikus sehingga bagian usus tersebut tidak dapat mengembang.
Megakolon congenital atau Hirschprung adalah kelainan congenital yang disebabkan oleh karena
tidak adanya ganglion parasimpatis pada lapisan submukosal (meissner) maupun lapisan
muskularis (Anerbach ) usus besar Penyakit ini ditemukan oleh Herald Hirschprung, seorang ahli
penyakit anak di Denmark tahun 1886, yang melaporkan perjalanan klinis sampai saat kematian
dua orang pasien dengan gangguan usus yang berat, masing-masing berumur 7 dan 11 bulan.
Gambaran makroskopis kolon yang terdilatasi dan hipertrofi, yang oleh Hirschprung dinilai
sebagai penyebab primer gangguan fungsi usus. Penyakit ini ditandai dengan lambatnya
pengeluaran mukonium dalam dua kali 24 jam, diikuti tanda-tanda obstruksi mekanis seperti
muntah, kembung, gangguan defekasi (konstipasi dan diare) dan akhirnya disertai kebiasaan
defekasi yang tidak teratur
Manifestasi klinik penyakit ini adalah gangguan pasase usus fungsional., dalam kepustakaan
disebutkan bahwa insiden penyakit ini berkisar 1 diantara 2000 sampai 12.000 kelahiran, dengan
insiden tersering 1 diantara 5000 kelahiran. Data tentang penyakit Hirschsprung di Indonesia
belum ada. Angka insidensi 1 diantara 5000 kelahiran maka dengan penduduk 220 juta dan
tingkat kelahiran 35 per mil, diperkirakan akan lahir 1400 bayi setiap tahun dengan penyakit
Hirschsprung di Indonesia. Di Amerika frekuensi 1 dari 5000 kelahiran (Kartono, 1993 ;
Yoshida, 2004). Insiden penyakit ini adalah 1 : 5000 kelahiran hidup. Frekuensi pada anak laki-
laki dengan perempuan 4 : 1.
Diagnosis penyakit hirschprung ini harus ditegakkan secara dini, sebaiknya pada masa neonatal.
Keterlambatan diagnosis dapat menimbulkan komplikasi dan kematian. Untuk menegakkan
diagnosis penyakit ini diperlukan anmnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan foto
polos abdomen, barium enema, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rectum. Penyakit
ini adalah kasus bedah, sebab terbukti penatalaksanaan konservatif, dari sejak awal penemuan
penyakit ini sampai sekarang tidak memberikan hasil memuaskan . Tetapi jika sejak awal
dilakukan kolostomi melalui usus yang berganglion dengan prosedur pull through hasilnya akan
memuaskan. Prosedur pull through dilakukan bila anak sudah mempunyai berat badan 10 kg,
umur sudah lebih tua dan mempunyai megakolon. Pull through ditunda sampai usus kembali ke
ukuran normal. Kolostomi dapat ditutup pada saat dilakukan pull through atau sebagai langkah
ketiga tergantung keputusan ahli bedah. Prosedur yang digunakan bervariasi adalah prosedur
Swenson, Duhamel, Soave
Sampai tahun 1930-an etiologi penyakit Hirschprung belum jelas diketahui penyebab sindrom
tersebut. Baru jelas setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chander dan
Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschprung primer
disebabkan oleh gangguan peristalsis di bagian usus distal dengan defisiensi ganglion. Pada
tahun 1948, Swenson melaporkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium
enema dan tidak terdapatnya peristalsis kolon distal. Pengangkatan segmen kolon ini dengan
disertai preservasi sfingter ani interna akan menyembuhkan penyakit hirschprung..
Pasien dengan penyakit Hirschsprung harus dikelola segera setelah diagnosis ditegakkan.
Tindakan segera yang harus dilakukan adalah pembuatan kolostomi untuk menghilangkan
pasase usus. Langkah berikutnya adalah melakukan tindakan bedah definitif yang dilakukan
secara elektif. Tanpa penanganan tingkat mortalitas penyakit ini 80 % (Lee Steven, 2003),
pasien penyakit Hirschsprung akan meninggal pada bulan-bulan pertama kehidupannya,
sebagian besar pada masa neonatus. Kematian tersebut disebabkan oleh komplikasi seperti
enterokolitis, perforasi usus, sepsis dan sebagainya. Keterlambatan dan kegagalan tindakan
bedah, baik tindakan bedah sementara maupun bedah definitif dapat mengakibatkan cacat
bahkan kematian. Penyakit ini merupakan kasus bedah sebab terbukti dengan penatalaksanaan
konservatif dari sejak awal, tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pembedahan untuk
mengatasi penyakit Hirschprung telah dikerjakan sejak 50 tahun yang lalu. Pada tahun 1961
Soave pertama kali melakukan operasi endorectal pull-through untuk menangani penyakit
Hirschprung (Kartono,1993). Pengobatan definitif aganglionosis kolon adalah pembedahan
dengan membuang semua bagian yang aganglionik, kemudian membawa usus (kolon ) yang
normal persarafannya (ganglionik ) ke anus dengan memperhatikan kontinensi. Setiap
penderita yang sudah didiagnosis menderita penyakit Hirschsprung perlu dilakukan
pembedahan untuk menghilangkan bagian yang patologi dan memperbaiki fungsi saluran cerna
(operasi korektif). Beberapa prosedur terapi penyakit Hirschsprung antara lain : Prosedur
Swenson, Prosedur Duhamel, Prosedur Rehbein dan Prosedor Soave. Prosedur Soave disebut
juga prosedur pull-through ekstramukosa endorektal dari Soave. Di Subbagian Bedah anak FK
UGM / RSUP DR Sardjito Yogyakarta, Soave dikerjakan mulai awal 1990. dalam melaksanakan
tersebut didapatkan kesulitan dalam pengupasan mukosa, sehingga diciptakan tehnik prosedur
modifikasi Soewarno
Pada tahun 1886 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan perut yang
kembung oleh kolon yang sangat melebar dan penuh masa feses. Penyakit ini disebut
megakolon kongenital dan merupakan kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab
obstruksi usus pada neonatus. Laporan tersebut disertai keterangan mengenai penampilan
makroskopik kolon yang terdilatasi dan hipertrofi, yang oleh Hirschprung dinilai sebagai
penyebab gangguan fungsi usus ( Swenson, 1990). Sampai tahun 1930 etiologi penyakit
Hirschprung belum jelas diketahui.
Penyebab sindrom tersebut baru diketahui setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1940
mengemukakan bahwa penyakit Hirschprung disebabkan gangguan peristaltik di bagian usus
distal dengan defisiensi ganglion. Pada tahun 1948 Swenson menerangkan tentang penyempitan
kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak terdapatnya peristaltik pada kolon
distal. Pengangkatan segmen ini dengan disertai preservasi sfingter ani interna akan
menyembuhkan penyakit Hirschprung (Robertson, et al, 1988). Pada tahun 1967, Okamoto dan
Ueda menyimpulkan bahwa penyebab penyakit hirschsprung adalah aganlionosis pada bagian
akhir usus. Aganglionosis tersebut disebabkan oleh karena gagalnya migrasi ke caudal sel-sel
neuroblast pada masa awal kehidupan embrio (Kartono,1993
Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan rektum
berasal dari endoderm. Karena perbedaan anus dan rektum ini, maka perdarahan, persarafan,
serta aliran limfa berbeda. Rektum dilapisi mukosa glanduler, sedangkan kanalis analis, yang
merupakan epitel gepeng. Tidak ada yang disebut mukosa anus. Daerah batas rektum dan kanalis
analis ditandai dengan perubahan jenis epitel. Kanalis analis dan kulit luar disekitarnya kaya
akan persarafan sensoris somatik yang peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa
rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. Darah vena di atas garis
anorektum mengalir melalui sistem porta, sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem
kava melalui vena iliaka (Sjamsuhidajat, 1997).
Kanalis analis
Secara makroskopis kanalis analis terdiri atas kolumna analis, valvula analis, sinus analis, papila
analis, zona transisi garis Hilton dan kelenjar analis. Kolumna analis merupakan lipatan vertikal
dari selaput mukosa. Sedangkan valvula analis merupakan lipatan melintang berbentuk bulan
sabit pada ujung bawah kolumna analis yang terdapat sepanjang linea pektinata, garis ini
merupakan batas antara endoderm dan ektoderm. Sinus analis terdiri dari lekukan-lekukan kecil
tepat di atas valvula analis sedangkan tonjolan mukosa dari valvula analis disebut papila analis.
Antara linea pektinata dan garis putih Hilton terdapat peraliha bentuk epitel. Garis putih Hilton
letaknya lebih rendah dari sfingter interna, membentuk lekukan intersfingterika, di bawah garis
ini kanalis analis dilapisi oleh kulit yang mengandung kelenjar keringat dan
kelenjar sebacea. Kelenjar analis bermuara pada kripta analis yaitu cekungan kecil pada sinus
analis (Brown, 1996). Secara mikroskopis kanalis analis terdiri dari tiga macam epitel, di atas
linea pektinata struktur menyerupai kolon, antara linea pektinata dan garis Hilton dilapisi epitel
transitional berlapis dan dibawah garis Hilton epitel pipih berlapis (Brown, 1996).
Sistema Muskulus
Sfingter terdiri dari atas otot polos dan lurik yang membentuk saluran anal. Otot polos sfingter
interna adalah intrinsik pada dinding usus, menempati 2/3 bagian distal saluran anal, sebagian
besar terletak distal dari garis pektinea, otot tersebut merupakan penebalan muskulus sirkular
yang diperkuat oleh muskulus longitudinal di bagian luarnya. Sfingter eksterna merupakan
lingkaran otot memanjang mengelilingi katup anal (anal vaives) sampai orifisium anal,
tersangga diantara muskulus perinei superfisialis dan ano-coccygeal raphe. Disamping otot-otot
sfingter, terdapat otot-otot dasar panggul yang terletak pada pintu keluar rongga pelvis berupa
otot-otot levator ani yang terdiri dari pubococcygeus, ileococcygeus dan muskulus puborectalis
(Kartono, 1993).
Vaskularisasi
Vaskularisasi rektum dan kanalis analis berasal dari arteri hemorhoidalis superior, media dan
inferior. Arteria hemorhoidalis superior merupakan akhir dari arteria mesenterika inferior,
melalui dinding posterior dari rektum turun sampai ke linea pektinata (Leonhard, 1995). Arteria
hemorhoidalis media merupakan cabang dari arteria iliaka interna, pada wanita berupa arteria
uterina. Arteria hemorhoidalis inferior merupakan cabang dari arteria pudenda interna, mensuplai
anal di sebelah distal linea pektinata. Vena pada rektum dan anal mengikuti sistem arteri. Vena
hemorhoidalis superior berasal dari pleksus hemorhoidalis internus dan berjalan ke kranial ke
dalam vena mesenterika inferior dan melalui vena lienalis ke vena porta. Vena hemorhoidalis
inferior dan media mengalirkan darah ke ke vena pudenda interna, ke vena iliaka interna
selanjutnya ke vena kava inferior. Anastomosis antara vena hemorhoidalis superior dan arteria
hemorhoidalis media dan inferior disebut portosistemic shunt (Leonhard, 1993).
Persarafan
Nervus parasimpatis berasal dari cabang anterior n. sacralis ke 2,3 dan 4. Persarafan preganglion
ini membentuk dua saraf erigentes yang memberikan cabang langsung ke rektum dan
melanjutkan diri sebagai cabang utama ke pleksus pelvis untuk organ–organ intrapelvis.
Didalam rektum, serabut saraf ini berhubungan dengan pleksus ganglion Auerbach. Persarafan
simpatis barasal dari dalam ganglion lumbal ke 2,3,4 dan pleksus paraaorta. Persarafan ini
menyatu pada kedua sisi membentuk pleksus hipogastrikus di depan vertebra lumbal 5 dan
melanjutkan diri ke arah postero-lateral sebagai persarafan presakral yang bersatu dengan
ganglion pelvis pada kedua sisi. Persarafan simpatis dan parasimpatis ke rektum dan saluran
anal berperan melalui ganglion pleksus Auerbach dan Meissner untuk mengatur peristaltik dan
tonus sfingter interna. Serabut saraf simpatis dikatakan sebagai inhibitor dinding usus dan
motor sfingter interna sedang parasimpatis sebagai motor dinding usus dan inhibitor sfingter.
Sistem saraf parasimpatis juga merupakan persarafan sensorik untuk rasa distensi rektum
(Brown, 1996).
Etiologi
Penyebab dari penyakit hirschprung disebabkan oleh gangguan peristalsik di bagian usus distal
dengan defisiensi ganglion. Aganglionosis terjadi kareana sel neuroblas bermigrasi dari Krista
neuralis saluran cerna bagian atas dan selanjutnya mengikuti serabut vagal ke kaudal. Penyakit
hirschprung terjadi bila migrasi sel neuroblas terhenti pada suatu tempat tertentu dan tidak
mencapai rectum. Beberapa peneliti mengemukakan timbulnya megakolon congenital
dikarenakan microenviorement pada kolon distal yang tidak normal yang tidak memungkinkan
factor pertumbuhan atau lingkungan yang sesuai untuk perkembangan neurocyt. Suatu penelitian
terbaru meneliti aktifitas adesi molekul neural cell (NCAM) pada megakolon congenital,
Kobayashi menjelaskan bahwa NCAM berperan penting dalam migrasi neurocyt dan lokalisasi
neurocyt ketempat spesifik. Selama embriogenesis ada kemungkinan hilangnya aktifitas NCAM
dapat menjelaskan tidak terdapatnya sel ganglion pada megakolon congenital.
Patofisiologi
Pada penyakit Hirschprung, kolon mulai dari paling distal sampai pada bagian usus yang berbeda
ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatis intramural. Bagian kolon yang
aganglionik ini tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat
gangguan defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun,
membentuk megakolon. Hirschprung segmen pendek, daerah aganglionik meliputi rectum
sampai sigmoid merupakan kelainan terbanyak (18%), yang disebut hirschprung klasik.
Hirschprung segmen panjang, daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid Bila
mengenai seluruh kolon disebut kolon aganglionik total
Motilitas kolon
Motilitas kolon berbeda dengan usus halus, dimana peristaltik digantikan oleh gerakan feses
disepanjang kolon. Motilitas kolon berfungsi untuk pendorongan feses dan absorpsi cairan pada
waktu defekasi. Sedangkan gerakan feses dari sigmoid ke rektum dihambat oleh beberapa
mekanisme yang digunakan untuk kontinensia.
Kontinensia
Kontinensia merupakan keadaan kemampuan untuk mempertahankan feses. Hal ini tergantung
dari konsistensi feses, tekanan dalam anus, tekanan rektum dan sudut anorektal.
Kontinensia diatur oleh mekanisme volunter dan involunter yang menjaga hambatan secara
anatomi dan fisiologi jalannya feses ke rektum dan anus. Penghambat yang berperan adalah
sudut anus dan rektum yang dihasilkan oleh otot levator ani bagian puborektal anterior dan
superior. Adanya perbedaan antara tekanan dan aktifitas motorik anus, rektum dan sigmoid juga
menyebabkan progresifitas pelepasan feses terhambat. Kontraksi sfingter ani eksternus seperti
pada puborektalis diaktifasi secara involunter dengan distensi rektal dan dapat meningkat selama
1 – 2 menit (Kiessewetter, 1979).
Defekasi
Dalam keadaaan istirahat, lumen saluran anus akan menutup akibat puborektal sling yang
letaknya kranial dari linea pektinea dan oleh tonus istirahat sfingter interna dan eksterna yang
terletak setinggi dan dibawah katup anal. Peningkatan tekanan bagian kranial saluran anus akan
dideteksi oleh reseptor regangan pada sleeve dan sling complex. Peristaltik yang kuat akan
menimbulkan tegangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut
(seperti menahan flatus) diperlukan kontraksi yang kuat yang harus dibantu secara sadar untuk
menimbulkan kontraksi sling dan sfingter eksterna. Sleeve and sling dapat membedakan gas,
cair, padat maupun gabungan. Sfingter interna merupakan bagian akhir otot pendorong
yang secara aktif mengeluarkan feses atau flatus melalui anus. Serabut otot ini, yang terdiri dari
otot sirkuler dan longitudinal membantu peristaltik di seluruh saluran anal sampai ke orifisium.
Bagian longitudinal yang sebagian berasal dari otot pubococcygeus dan sebagian dari otot
rektum involunter, secara aktif menimbulkan ectropion anus selama fase peristaltik pengeluaran
feses. Fungsi ini berhubungan dengan kebersihan bagian saluran anal yang dilapisi kulit
( Kartono, 1993).
Gambaran Klinis
Gejala utama dari penyakit hirsprung adalah berupa gangguan defekasi yang dapat mulai timbul
24 jam pertama setelah lahir, dapat pula timbul pada umur beberapa minggu atau baru menarik
perhatian orang tuanya atau setelah umur beberapa bulan. TRIAS KLASIK gambaran klinik
pada neonatus adalah :
Ada kalanya gejala obstipasi kronik ini diselingi oleh diare berat dengan feses berbau yang
disebabkan oleh timbulnya penyakit berupa enterokolitis. Enterokolitis ini disebabkan antara lain
oleh bakteri yang tumbuh berlebihan pada daerah kolon yang iskemik akibat distensi dinding
usus yang berlebihan Dengan anamnesis dapat diketahui mulai sejak saat kelahiran berupa
terlambatnya pengeluaran mukoneum dan adanya konstipasi. Pada pemeriksaan colok dubur
terasa ujung jari terjepit lumen rectum yang menyempit, pengeluaran kotoran mungkin terjadi
setelah dilakukan colok dubur. Manifestasi klinis penyakit hirschprung yang khas biasanya
terjadi pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan keluarnya mekoneum pertama, diikuti
distensi abdomen dan muntah mirip tanda-tanda obstruksi usus setinggi ileum. Pada bayi normal
mekonium pertama biasanya sudah keluar dalam waktu 24 jam setelah kelahiran, namun pada
lebih 90 % kasus penyakit hirschprung mekonium keluar setelah 24 jam.
Diagnosis
Anamnesis; Pada anamnesis perlu ditanyakan: umur pasien oleh karena penderita ini biasanya
neonatus cukup bulan, mekonium yang keluar terlambat yaitu lebih dari 24 jam pertama, riwayat
muntah hijau. Ada kalanya terdapat riwayat obstipasi kronik diselingi oleh diare berat dengan
feses berbau yang disebabkan oleh timbulnya penyakit berupa enterokolitis
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada bayi dengan pengeluaran mukoneum yang terlambat,
distensi abdomen, muntah hijau, meskipun dengan colok dubur gejala dan tanda obstruksinya
mereda. Bahan yang digunakan adalah urografin. Gambaran yang ditemukan adalah :
» Tampak daerah penyempitan di bagian rectum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.
» Tampak daerah transisi, (distaldaerah sempit dan proksimal longgar)
Selain gambaran di atas sering juga didapatkan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur
yang menunjukkan proses enterokolitis pada foto pasca evakuasi barium. Apabila dengan dengan
foto barium enema tidak terlihat gambaran Hirschsprung, dibuat foto retensi barium yang
dikerjakan 24-48 jam sesudah barium enema untuk melihat bayangan sisa barium yang tampak
membaur dengan feses ke arah proksimal
Merupakan pemeriksaan untuk diagnosis pasti penyakit hirschprung. Kelainan tersebut adalah
tidak adanya sel-sel ganglion meissneri pada bagian usus yang menyempit dan ditemukannya
penebalan serabut syaraf .
Diagnosis patologis anatomis dilakukan dengan biopsi yang pernah dilaporkan Swenson pada
tahun 1955. Seluruh ketebalan dinding rektum dieksisi sehingga pleksus mienterikus dapat
diperiksa. Prosedur biopsi ini secara teknis sulit, meninggalkan jaringan fibrosis dan
kemungkinan akan mempersulit pembedahan selanjutnya . Biopsi isap mukosa dan submukosa
rektum dengan mempergunakan alat Rubun atau Noblett dapat dikerjakan lebih sederhana dan
tanpa anestesi.
Diagnosis ditentukan apabila tidak ditemukannya sel ganglion Meissner dan ditemukannya
penebalan serabut saraf (Swenson, 1990).
Pemeriksaan manometri
Memasukkan balon kecil dengan kedalaman yang berbeda-beda ke dalam rectum dan kolon.
Study manometri pada megakolon congenital memberikan hasil sebagai berikut:
» Dalam segmen dilatasi terdapat hiperaktifitas dengan aktifitas propulsive yang normal.
» Dalam segmen aganglionik tidak terdapat gelombang peristaltic yang terkoordinasi, motilitas
normal digantikan oleh konstraksi yang tidak terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu
yang berbeda.
» Reflek inhibisi antara rectum dan spingter ani tidak berkembang reflek relaksasi spingter ani
interna setelah distensi rectum tidak terjadi bahkan terdapat kontraksi spastik dan relaksasi
spontan tak pernah terjadi.
Pemeriksaan ini dilakukan bila pada pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan,
misalnya pada megakolon congenital ultra short.
.Penatalaksanaan
Sebelum dilakukan tindakan definitif yaitu tindakan pembedahan pengangkatan segmen usus
aganglionik, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. Tindakan bedah sementara yaitu
dengan pembuatan kolostomi di kolon yang berganglion normal yang paling distal, merupakan
tindakan pertama yang harus dilakukan. Tindakan ini menghilangkan obstruksi usus serta
mencegah enterokolitis yang merupakan penyebab kematian utama.
- Pasien neonatus , karena tindakan bedah definitive langsung tanpa kolostomi
menimbulkan banyak komplikasi dan kematian yang disebabkan oleh kebocoran anastomosis
dan abses rongga pelvis.
- Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, pasien kelompok ini mempunyai
kolon yang sangat terdilatasi dengan kolostomi ukuran kolon akan mengecil kembali dalam
waktu 3 – 6 bulan sehingga anastomosis nantinya lebih mudah.
Dalam prosedur ini puntung rectum ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan, yang pascabedah
ditemukan beberapa enterokolitis diduga disebabkan oleh spasme rectum yang ditinggalkan.
Rektum yang ditinggalkan sebenarnya merupakan segmen yang masih aganglionsis yang tidak
direseksi . Karena dapat terjadi inkontinensia, prosedur ini dikenal sebagai SWENSON I. Untuk
mengurangi apasme spingter ani. Swenson melakukan spingterotomi posterior. dengan cara
puntung rectum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 – 1 cm di bagian posterior, dikenal
sebagai SWENSON II.
Teknik prosedur duhamel tahun 1956 adalah dengan mempertahankan rectum, kolon proksimal
ditarik rekto rectal transanal dan dilakukan anastomosis kolorektal end to side, prosedur ini
sering terjadi stenosis, inkontinensia, dan pembentukan fekaloma dalam puntung rectum yang
ditinggalkan terlalu panjang,untuk mengatasi hal tersebut dilakukan berbagai modifikasi
Prosedur Duhamel
Prinsipnya pada membiarkan rektum tetap ada, kemudian usus yang sehat (normal
persarafannya) dimasukkan ke dalam rektum melalui celah pada dinding posterior dari arah
retrorektal. Hasil yang dicapai berupa enterotomi. Dinding rektum bagian depan yang
aganglionik tetap ada, sehingga reflek kontrol defekasi tetap baik. Dinding belakang rektum
nantinya terdiri dari kolon yang normal. Pada permulaan operasi, rektum ditutup dan dipotong
seperti pada operasi Hartman. Kemudian kolon proksimal dipotong sampai pada daerah yang
diinginkan pada daerah dengan persarafan normal. Duhamel sendiri menganjurkan seluruh
kolon yang menyempit dan yang melebar direseksi karena biasanya bagian tersebut atoni dan
mudah terjadi pengerasan feses. Pada tahap berikutnya dilakukan insisi endoanal, yaitu insisi
semisirkular pada dinding posterior dan kanalais analis kira-kira 1 cm di atas pinggir anus.
Mukosa dan sfingter dibuka langsung ke arah retrorektal yang sudah dibebaskan sebelumnya.
Kedua ujung insisi ditahan dengan jahitan sementara, sebagai tempat untuk anastomosis
koloanal. Ujung
yang normal persarafannya diturunkan melalui daerah retrorektal menembus mukosa dan
keluar melalui anus (Ashcraft, 1997).
Prosedur ini sebenarnya adalah prosedur yang asli (original) untuk pengobatan bedah pada
aganglionosis kolon. Hal penting yang diperhatikan pada teknik ini adalah membebaskan
rektum, diseksi tepat pada dinding rektum, terus ke bawah ke arah sfingter, kemudian reseksi
seluruh anus yang tidak mengandung ganglion (segmen aganglionik). Kedua ujung yang
dipotong yakni bagian proksimal , yaitu usus yang normal dan bagian distal yang patologik
ditutup sementara dengan jahitan. Setelah rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya, ujung
rektum dibalik / prolaps ke arah anus. Ujung bagian proksimal yang normal persarafannya
dilakukan pull-through melalui lumen rektum yang terbalik, kemudian dilakukan anastomosis
dengan ujung anorektal. Anastomosis dilakukan di perineal dan bukan intraabdominal. Letak
anastomosis tepat di atas anus. Reseksi rektum meninggalkan 1,5 cm dinding rektum bagian
depan dan hampir seluruh rektum bagian belakang. Prosedur ini kalau dikerjakan oleh pakar
yang berpengalaman akan memberikan hasil yang baik tanpa penyulit. Untuk mencegah
penyulit berupa enterokolitis, maka Swenson menganjurkan reseksi yang lebih luas termasuk
posterior sfingterotomi (Swenson, 1990).
Anastomosis 2 lapis, mokosa dengan chromic catgut, muskulus dengan silk 5-0 (Swenson,1990)
Prosedur Soave
Prosedur ini berbeda dengan prosedur Swenson dan Duhamel . Ia melakukan pendekatan
abdomino-perineal dengan mengelupas mukosa rekto-sigmoid dari lapisan seromuskular.
Kemudian dilakukan penarikan kolon keluar anus melalui selubung seromuskular rekto-
sigmoid. Prosedur ini disebut juga metode tarik terobos endorektal. Setelah beberapa hari
dilakukan pemotongan sisa kolon yang diprolapskan (Aschcraft, 1997). Prosedur operasi
modifikasi Soewarno adalah sebagai berikut, dilakukan penutupan kolostomi, yang pada
umumnya adalah standart double barrel. Dilakukan irisan tranversal pada dinding depan
abdomen mulai 4 cm sebelah medial SIAS kanan melalui garis Langer sampai mencapai lobang
kolostomi. Irisan dilanjutkan melengkung ke kraniolateral secukupnya. A hemorroidalis superior
dan a. sigmoidalis diidentifikasi selanjutnya diikat dan dipotong. Dilakukan reseksi kolon 3 – 4
cm diproksimal kolostomi dan 1 – 2 cm di proksimal refleksi peritoneum. Pungtum proksimal
kemudian ditutup. Dilakukan pengupasan mukosa rektum dari lapisan seromuskuler, dengan cara
memegang mukosa dengan 4 buah klem ellis. Irisan pertama dilakukan secara tajam selanjutnya
seromuskuler dipegang dengan 4 buah klem ellis, selanjutnya dilakukan pengupasan secara
tumpul. Pengupasan ke anal sejauh mungkin sehingga mencapai linea dentata. Selanjutnya
dilakukan pembebasan kolon proksimal yang sehat, sampai cukup untuk diteroboskan keluar
anus. Pembebasan ini harus hati-hati sehingga arkade pembuluh darah tetap terjamin. Bila sudah
dinilai cukup, maka operasi dilanjutkan lewat perineum. Anus disiapkan, kemudian cerobong
mukosa ditarik, dengan jalan memasukkan sonde khusus dengan ujung berbentuk kepala yang
lebih besar. Mukosa diikat pada leher sonde tersebut dan ditarik keluar secara melipat terbalik.
Kolon yang sehat kemudian diteroboskan di dalam cerobong mukosa. Lapisan mukosa difiksasi
dengan kolon dengan benang plain catgut, dan dipasang rektal tube di dalam kolon yang
diteroboskan tersebut sampai melewati sfingter ani.
Operasi dilanjutkan lewat abdominal, vesika urinaria, dan organ abdomen yang lain ditata
kembali, cerobong seromuskuler difiksasi dengan serosa kolon yang diteroboskan dengan
chromik catgut. Dilakukan appendektomi insidental. Rongga abdomen dicuci dan ditutup lapis
demi lapis. Sepuluh hari setelah dioperasi endorectal pullthrough, telah terjadi perlekatan antara
cerobong seromuskuler dengan serosa kolon. Dilakukan pemotongan pungtum kolon yang
diteroboskan 1 cm proksimal linea dentata, dilajutkan dengan penjahitan mukosa dengan
mukosa. Selama 3 hari rectal tube terus dipasang pada rektum yang baru sehingga gangguan
obstruksi akibat udema di daerah anorektal dapat dihindari (Santoso,1997).
Operasi definitif pada penyakit megakolon merupakan trauma fisik dan psikis yang cukup besar
bagi pasien. Pada penyembuhan luka operasi sangat tergantung pada sistem imun, dan sistem
imun dipengaruhi oleh status gizi dari pasien, malabsorpsi, kekurangan asam amino esensial,
mineral mauoun vitamin (Sjamsuhidajat, 1997).
Gb 8. Skema tahapan bedah prosedur Soave (Kartono,1993)
Pada dasarnya prosedur rehbein adalah prosedur reseksi anterior yang diektensikan kedistal
sampai dengan pengangkatan sebagian besar rectum. Reseksi segmen aganglionik termasuk
sigmid dilanjutkan dengan anastomosis ujung keujung dikrjakan intra abdomen ekstra
peritoneal.
Kolostomi pada penyakit Hirschprung sebaiknya dikerjakan paling tidak, setelah 3 sampai 5
bulan setelah diagnosis ditegakkan, sedangkan operasi definitif tidak dikerjakan pada periode
awal kelahiran (Ashcraft, 1997). Kolostomi merupakan tindakan dekompresi pada kolon
berganglion normal yang paling distal. Tindakan ini akan menghilangkan obstruksi usus dan
mencegah enterokolitis yang merupakan penyebab kematian dari penyakit Hirschprung.
Kolostomi dikerjakan pd
1. Pasien neonatus.
2. Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis. Kelompok ini mempunyai kolon
yang sangat terdilatasi, dan akan mengecil setelah 3 – 6 bulan paska kolostomi.
3. Pasien dengan enterokolitis yang berat dan kondisi umum yang buruk, dengan tujuan
memperbaiki keadaan umum ( Swenson,1990).
Karena peran dari usus besar mengabsorpsi cairan dan elektrolit yang diperlukan tubuh, intake
dari pasien yang dilakukan kolostomi harus diperhatikan (Hyman, 2002).
Komplikasi pasca bedah dapat terjadi secara dini (< 4 minggu pasca operasi) dan lambat. Angka
mortalitas pasca operasi lebih banyak terjadi pada prosedur Swenson dan lebih rendah pada
prosedur Duhamel dan Soave. Kebocoran anastomosis lebih sering terjadi pada prosedur
Swenson ,stenosis sering terjadi pada endorectal dan pada Swenson dari pada prosedur duhamel..
Angka mortalitas pada megakolon congenital yang tidak mendapatkan penanganan adalah 80 %,
pada yang mendapatkan penanganan angka kematian kurang lebih 30 % yang diakibatkan oleh
enterokolitis dan komplikasi pasca bedah seperti kebococran anastomosis ,striktur anastomosis,
abses pelvis dan infeksi luka operasi
1. Abses seromuskuler
2. Retraksi puntung kolon
3. Nekrosiskolon endorektal
4. Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat
atau abses, kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum.
Keadaan ini dapat terjadi akibat dari disrupsi anastomosis akibat retraksi atau nekrosis kolon.
Pencegahan kebocoran dengan memperhatikan factor predisposisi seperti ketegangan
anastomosis, vaskularisasi tepi sayatan yang tidak adekuat, infeksi sekitar anastomosis,
pemasangan rectal tube yang terlalu besar, colok dubur dan businasi terlalu dini. Bila terjadi
kebocoran anastomosis sgera dilakukan kolostomi segmen proksimal
Stenosis
Pembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan kontinen. Gangguan
fungsi sfingter berupa : Inkontinensia, soiling(keciprit) dan obstipasi berulang
Enterokolitis
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien dengan endorektal
pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon
congenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial.
Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis ,sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masih spastik.Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen di
ikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau
busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis,
infeksi dan perforasi
Penatalaksanaan dengan terapi medik meliputi resisutasi cairan, pemasangan rectal tube dan
pembilasan dengan NaCl fisilogis 2-3 kali sehari serta pemberian antibiotik.Tindakan bedah
berupa businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior untuk spasme spingterani dapat juga
dilakukan reseksi ulang stenosis. Hal yang sulit pada megakolon congenital adalah terdapatnya
gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten
dan enterokolitis berulang pasca bedah.
Untuk menghindari tindakan revisi kolostomi maupun reseksi kolon yang panjang serta
mengurangi morbiditas yang mungkin terjadi dan pertimbangan penghematan biaya maka
tapering kolon dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan kaliber kolon yang akan ditarik
dengan kaliber anus yang akan dilalui.
Pasase mekonium yang lebih dari 24 jam merupakan 90% kasus namun pada neonatus yang lain
keadaan ini kadang-kadang tidak dijumpai sama sekali. Insidensi penyakit ini 1 : 5000 kelahiran
hidup, frekuensi laki-laki dengan perempuan 4 : 1.
Pembedahan yang dilakukan untuk menangani penyakit ini telah dimulai pada tahun 1948
dengan teknik rektosigmoidektomi oleh Swenson yan kemudian disempurnakan pada tahun
1964. Tahun 1960 Duhamel memperkenalkan teknik rektorektal transanal untuk menghindari
diseksi pelvis yang terlalu banyak. Soave pada tahun 1966 memperkenalkan teknik endorektal
yang dikerjakan dengan striping mukosa tanpa jahitan anastomosis. Tehnik semacam ini
sebenarnya telah diperkenalkan oleh Ravitch dan Sabiston pada 1947 namun dikerjakan untuk
operasi poliposis maupun colitis ulseratif. Denda dan Scott Boley melakukan modifikasi untuk
prosedur Soave dengan melakukan tehnik endorektal dengan jahitan, sedangkan Nixon
melakukan modifikasi dengan tehnik endorektal jahitan disertai anastomosis bertahap.
Tehnik operasi untuk menangani penyakit megakolon telah berkembang dengan pesat baik yang
dikerjakan dengan dua tahap maupun satu tahap dengan alat-alat tambahan maupun secara
konvensional. Untuk operasi definitif penyakit ini ada empat tehnik operasi pokok yang telah
diperkenalkan yaitu tehnik Swenson (1948) dengan rektosigmoidektomi dimana disini dilakukan
tindakan prolaps dan eksisi. Tehnik ini kemudian disempurnakan pada tahun 1964. Tehnik
Swenson merupakan tehnik operasi yang paling tua.
Prinsip dari operasi ini adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi sfingter ani, dengan
anastomosis langsung. Disini puntung rektum ditinggal 2-3 cm dari garis mukokutan.
Sebenarnya sisa rektum yang ditinggalkan masih merupakan segmen yang aganglionosis tetapi
tidak ikut direseksi karena dapat terjadi inkontinensia. Untuk mengurangi spasme sfingter ani
Swenson melakukan sfingterotomi.
Pada tahun 1964 Swenson memperkenalkan sfingterotomi parsial langsung dan puntung rektum
disisakan 2 cm di bagian anterior dan 0,5-1 cm di bagian posterior. Yang perlu diperhatikan pada
tehnik Swenson ini adalah bahwa segmen sigmoid yang direseksi mulai beberapa sentimeter dari
dasar peritoneum sampai 1-2 cm proksimal kolostomi, diseksi rektum harus dilakukan tepat pada
dinding rektum agar mudah dan tidak menimbulkan banyak perdarahan, serta pembebasan kolon
proksimal dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan kolon dapat ditarik ke perineum
melalui anus tanpa tegangan. Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang dipasang
di dalam lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm proksimal dari garis mukokutan dimana
bagian anterior dan posterior sama tinggi. Tehnik pemotongan yang lain adalah secara miring
dimana bagian anterior 2 cm di bagian posterior 0,5 cm. Kemudian kolon proksimal ditarik ke
perineum melalui puntung rectum yang telah terbuka. Anastomosis dikerjakan langsung dengan
jahitan dua lapis menggunakan benang sutera Modifikasi prosedur Swenson dengan tujuan untuk
menghindari pemotongan usus intraabdominal telah diperkenalkan oleh Denis Browne dimana
kolon proksimal yang telah dimobilisir diintusepsikan keluar dari anus melalui tarikan benang
silk besar dengan pertolongan sigmoidoskop
Tehnik operasi retrorektal transanal mula pertama diperkenalkan oleh Duhamel yang
dimaksudkan untuk mengurangi diseksi rongga pelvis yang berbahaya. Pada tehnik ini rektum
tetap dipertahankan dan kolon proksimal yang ganglionik ditarik retrorektal transanal kemudian
dilakukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi. Sayang sekali bahwa tehnik ini sering
mengalami komplikasi akibat terjadinya stenosis, inkontinensia maupun terbentuknya fekaloma,
sehingga banyak modifikasi-modifikasi yang dikembangkan termasuk modifikasi Grob (1959),
modifikasi Talbert dan Ravitch, modifikasi Ikeda, modifikasi Martin dan modifikasi Adang.
Pada tehnik ini puntung rektum dipotong 2-3 cm di atas dasar peritoneum dan ditutup dengan
jahitan dua lapis menggunakan benang sutera maupun dexon. Rongga retrorektal dibuka
sehingga seluruh permukaan dinding posterior rektum bebas. Setengah cm dari garis mukokutan
dibuat sayatan endoanal setengah lingkaran pada dinding posterior dan selanjutnya kolon
proksimal ditarik retrorektal melalui incisi tersebut keluar dari anus. Anastomosis dikerjakan
dengan pemasangan 2 klem dimana setelah 6-8 hari klem tersebut akan terlepas. Grob membuat
sayatan endoanal tinggi 1,5-2,5 cm di atas garis mukokutan untuk menghindari terjadinya
inkontinensia, sedangkan Talbert dan Ravitch melakukan reseksi septum dengan menggunakan
stappler. Pada modifikasi Ikeda reseksi septum dilakukan dengan klem rancangan Ikeda sendiri
dimana anastomosis akan terjadi 6-8 hari setelah klem lepas.
Pada modifikasi Adang kolon proksimal ditarik retrorektal transanal dan untuk sementara
dibiarkan prolaps kemudian anastomosis dikerjakan secara tidak langsung pada hari ke 7-14
pasca bedah dengan cara memotong kolon yang prolaps yang kemudian dipasang 2 buah klem,
dan klem ini dilepas pada hari berikutnya
Tehnik operasi endorektal untuk menangani penyakit Megakolon atau Hirschprung mula pertama
diperkenalkan oleh Soave pada tahun 1966. Sebetulnya tehnik ini telah diperkenalkan
sebelumnya oleh Ravitch dan Sabiston pada tahun 1947 namun dipergunakan untuka menangani
poliposis dan kolitis ulseratif. Pendekatan yang dipergunakan adalah abdomino-perineal dengan
membuang lapisan mukosa rektosigmoid dari lapisan seromuskular, kemudian kolon proksimal
yang ganglionik ditarik lewat cerobong endorektal keluar lewat anus dan dibiarkan prolaps tanpa
dijahit, setelah 21 hari sisa kolon yang diprolapskan dipotong.
Tehnik Soave pada prinsipnya merupakan tehnik Tarik Melalui Endorektal (TME) dengan
anastomosis tanpa jahitan. Kelemahan tehnik ini adalah bahwa harus dikerjakan dilatasi anus
pasca operasi . Tehnik operasi endorektal lain yang merupakan modifikasi tehnik Soave
diperkenalkan oleh Denda dari Jepang dan Scott Boley dari Amerika Serikat, pada prinsipnya
adalah tarik melalui endorektal dan anastomosis dengan jahitan Nixon (1985) melakukan
modifikasi tehnik Soave dengan anastomosis bertahap. Kolon proximal yang ganglionik
diprolapskan sepanjang 5 cm menggelantung di luar anus sebagai kolostomi perineal temporer
dan dipotong setelah 15-21 hari. Langer et al (1999) memperkenalkan prosedur Soave satu tahap
transanal tanpa diseksi intraperitoneal mukosektomi rektum dimulai pada 0,5 cm proksimal garis
dentate.
Tehnik operasi endorektal lain dari FK-UGM Yogyakarta merupakan modifikasi tehnik Soave
yang menitikberatkan pada tindakan operasi yang lebih sederhana, cepat, aman, murah, tanpa
alat-alat canggih, dapat dikerjakan di daerah dimana pada tehnik ini puntung rectum dipotong 3
cm di atas dasar peritoneum dan dibiarkan terbuka. Striping mukosa dikerjakan dengan
pertolongan injeksi NaCl pada mukosa yang dengan demikian akan memudahkan pemisahann
mukosa dari lapisan seromuskular. Mukosa dipisahkan dari muskularis sampai setinggi 1 cm di
atas garis pektinea, kemudian diprolapskan keluar anus. Pada kenyataannya tindakan ini kaliber
rektum yang tadinya sempit ternyata setelah dilakukan striping akan menjadi lebar dan rata-rata
3 kali bila dibandingkan dengan kaliber semula, yang tentu saja akan memudahkan proses
penarikan kolon proksimal yang ganglionik melalui cerobong endorektal keluar melalui anus.
Kolon proksimal yang diprolapskan sepanjang 5 cm dapat dibiarkan menggelantung di luar anus
ataupun langsung dipotong dan dianastomosiskan dengan mukosa yang terlebih dahulu
diprolapskan tepat 1 cm proksimal garis pektinea. Setelah 5 hari kolon proksimal yang
diprolapskan dipotong dan dijahit melingkar dengan lapisan mukosa dengan jahitan simple.
Pada operasi Rehbein, yang dipergunakan adalah prosedur reseksi anterior yang diekstensi ke
distal yang diikuti pengangkatan sebagian besar rektum. Reseksi segmen aganglionik termasuk
sigmoid diikuti anastomosis end to end, semuanya dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal.
Tehnik ini merupakan modifikasi dari tehnik State .
Pada prosedur pull-through, apapun tehniknya akan tetap dijumpai kendala apabila kolon
proksimal yang akan ditarik masih mempunyai kaliber yang besar sehingga terjadi disproporsi
antara kaliber kolon yang akan ditarik dengan kaliber anus. Untuk mengatasi hal ini maka
sebelum dilakukan operasi pull-through terlebih dahulu harus diketahui kaliber kolon proksimal
yang akan ditarik dengan melakukan pemeriksaan kolostogram proksimal. Apabila kaliber kolon
proksimal sekiranya telah sesuai dengan kaliber anus maka baru dikerjakan operasi, sedang bila
kaliber kolon proksimal masih besar maka dilakukan revisi kolostomi terlebih dahulu dan
ditunggu sampai kalibernya sesuai dengan kaliber anus. Tapi kadangkala pemeriksaan
kolostogram proksimal telah menunjukkan kaliber kolon yang yang kecil, namun setelah
dilakukan laparotomi ternyata kalibernya masih cukup besar sehingga masih ada disproporsi
antara kolon yang akan ditarik dengan anus. Apabila pada keadaan ini tetap saja dilakukan
prosedur pull-through maka akan terjadi kesulitan dalam proses penarikan kolon proksimal
keluar dari anus yang dapat berakibat nekrosis kolon akibat iskemia dan berakibat fatal. Untuk
menghadapi hal ini operator dipaksa untuk menentukan pilihan apakah akan dilakukan revisi
kolostomi saja ataukah tetap dilakukan operasi pull-through dengan segala kesulitannya.
Pada kasus-kasus penyakit Hirscprung yang terlambat dimana telah terjadi distensi kolon yang
sangat lebar dengan komplikasi kolitis, tindakan tindakan kolostomi saja yang dimaksudkan
untuk memperkecil kaliber kolon akan memakan waktu yang sangat lama dan akan
mempengaruhi psikis penderita dimana bau feses yang keluar dari stoma akan mengganggu
teman-teman sekolahnya. Untuk mengatasi hal ini maka dapat dilakukan pembuatan stoma
sampai keadaan anak stabil, kemudian prosedur pull-through dikerjjakan tanpa harus menunggu
kaliber kolon menjadi kecil. Untuk memperkecil kaliber kolon proksimal dapat dilakukan
tapering dengan cara membuat irisan baji antimesokolik pada ujung kolon yang akan ditarik
sehingga kaliber kolon akan sesuai dengan kaliber anus dan ini akan mempermudah penarikan
kolon proksimal keluar dari anus. Cara ini akan menghindari tindakan revisi kolostomi maupun
pemotongan kolon yang terlalu panjang yang pada akhirnya mengurangi morbiditas maupun
mortalitas disamping penghematan biaya yang tidak sedikit.
Tapering kolon dapat dilakukan pada operasi endorektal pull-through guna mencegah tindakan
revisi kolostomi maupun pemotongan kolon yang yang terlampau panjang sehingga akan
menurunkan morbiditas, mortalitas serta akan menekan biaya operasional.