Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PATOLOGI ANATOMI

MODUL GASTROINTESTINAL

Fasilitator
Tri Widodo, SKM, MPH
Kelompok 3
Anggini Tsamaratul Qolby

FAA 113 049

Asnan Azis Fatoni

FAA 113 030

Dwi Murning Asih

FAA 113 034

Fahli Ramadhana Akbar

FAA 113 041

Finkainarae

FAA 113 038

Lini Maliqisnayanti

FAA 113 031

Ni Made Yogaswari

FAA 113 032

Nugraha Iwan Setiawan

FAA 113 036

Jean Stepani Saragih

FAA 113 042

Risda Fajrianty Alwarisi

FAA 113 033

Thea Desideria Rambang

FAA 113 035

Widya Loviana

FAA 112 013

Program Studi Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran
Universitas Palangka Raya
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis akut adalah infeksi bacterial pada apendiks vermiformis.
Apendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan
segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk Jika telah terjadi perforasi,
maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, terjadinya abses, dan
komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi.
Di Amerika Serikat ada penurunan jumlah kasus dari 100 kasus menjadi 52
kasus setiap 100 ribu penduduk dari tahun 1975 1991. Terdapat 15 30 persen
(30 45 persen pada wanita) gambaran histopatologi yang normal pada hasil
apendektomi. Keadaan ini menambah komplikasi pascaoperasi, seperti adhesi,
konsekuensi beban sosial-ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan
produktivitas.
Tingkat akurasi diagnosis apendisitis akut berkisar 76 92 persen.
Pemakaian laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning
(CT-scan), adalah dalam usaha meningkatkan akurasi diagnosis apendisitis akut.
Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar masih banyak digunakan dalam
diagnosis penunjang apendisitis akut. C-rective protein (CRP), jumlah sel
leukosit, dan hitung jenis se neutrofil (differential count) adalah petanda yang
sensitif proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah untuk
Rumah Sakit di daerah. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang
akan meningkat 4 6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, yang dapat dilihat
dengan melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan
spesifisitas CRP yaitu 80 - 90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah
untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5 -10
menit), dan murah.

Nyeri abdomen akut di luar sebab trauma memberikan banyak kemungkinan


diagnosis. Untuk menetapkan diagnosisnya kadangkala sangat sulit sehingga
berdampak pada morbiditas penderita.
Dombal (1990) mengemukakan bahwa akurasi diagnosis pada nyeri
abdomen akut hanyalah 45-65%. Penderita abdomen akut umumnya terlambat
masuk ke Rumah Sakit, sehingga biasanya sudah disertai macam-macam penyulit
yang perlu diatasi lebih dahulu dan memerlukan penanganan yang lebih
kompleks. Keterlambatan dapat disebabkan oleh ketidaktahuan atau penderita
tidak mengerti, atau keterlambatan disebabkan oleh dokter yang tidak melakukan
diagnosis atau bahkan membuat diagnosis yang salah, atau keterlambatan
disebabkan oleh penanggulangan yang terlambat di Rumah Sakit
Nyeri abdomen pada anak disebabkan oleh kecerobohan diet atau infeksi
saluran pencernaan, namun dokter harus selalu mempertimbangkan adanya
apendisitis akut karena hal tersebut merupakan kasus abdomen akut yang paling
penting dan paling banyak pada anak
Apendisitis akut dapat terjadi pada semua umur. Pada anak sering terjadi
sekitar umur 6-10 tahun. Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah
ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya
komunikasi antara

anak, orang tua dan dokter. Sebagian besar anak belum

mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih
mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka apendektomi
negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran,
1996).
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah
membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk
menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang
bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif . Alfredo Alvarado tahun
1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan

dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan praoperasi


dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis (Alvarado, 1986; Rice, 1999).
Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak adalah klasifikasi
klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala
klinis dan temuan durante operasi (Cloud, 1993). Morbiditas dan mortalitas
apendisitis akut anak masih cukup

tinggi. Hal ini disebabkan keterlambatan

diagnosis dan penanganan pembedahan, pembedahan yang terlambat mungkin


tetap berhubungan dengan perforasi. Sebagian besar penderita dengan risiko
apendisitis perforasi mempunyai skor Alvarado yang tinggi.

BAB II
PEMBAHASAN
A. APENDIKS VERMIFORMIS
Apendiks sebagai bagian dari sistem pencernaan mulai diterangkan
secara tersendiri pada awal abad 16. Adalah seorang pelukis Italia terkenal
yang bernama Leonardo da Vinci yang pertamakali menggambarkan apendiks
sebagai organ tersendiri. Pada waktu itu disebutnya orecchio yang berarti
telinga. Sebelumnya apendisitis hanya dapat dibuktikan dengan dilakukannya
bedah jenasah. Pada tahun 1736 oleh Amyand, seorang dokter bedah Inggris,
berhasil dilakukan operasi pengangkatan apendiks pada saat melakukan
operasi hernia pada anak laki-laki. Dialah yang dikenal sebagai orang yang
pertamakali melakukan operasi apendektomi .
Istilah apendisitis pertamakali digunakan oleh Reginal Fitz, 1886,
seorang profesor patologi anatomi dari Harvard, untuk menyebut proses
peradangan yang biasanya disertai ulserasi dan perforasi pada apendiks. Tiga
tahun kemudian (1889), Charles Mc Burney seorang profesor bedah dari
universitas Columbia menemukan titik nyeri tekan maksimal dengan
melakukan penekanan pada satu jari yaitu tepat di 1,5-2 inchi dari

spina

iliaca anterior superior (SIAS) yang ditarik garis lurus dari SIAS tersebut ke
umbilikus. Titik tersebut kemudian dikenal sebagai titik Mc Burney.
Anatomi dan Embriologi

Sistem digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi


duodenum distal muara duktus koledukus, usus halus, sekum dan apendiks,
kolon asendens, dan sampai bagian oral kolon transversum. Premordium
sekum dan apendiks Vermiformis (cecal diverticulum) mulai tumbuh pada
umur 6 minggu kehamilan, yaitu penonjolan dari tepi antimesenterium
lengkung midgut bagian kaudal. Selama perkembangan antenatal dan
postnatal, kecepatan pertumbuhan sekum melebihi kecepatan pertumbuhan
apendiks, sehingga menggeser apendiks ke arah medial di depan katup
ileosekal. Apendiks mengalami pertumbuhan memanjang dari distal sekum
selama kehamilan. Selama masa pertumbuhan bayi, terjadi juga pertumbuhan
bagian kanan-depan sekum, akibatnya apendiks mengalami rotasi kearah
postero-medial dan menetap pada posisi tersebut yaitu 2,5 cm dibawah katup
ileosekal, sehingga pangkal apendiks di sisi medial. Organ ini merupakan
organ yang tidak mempunyai kedudukan yang menetap didalam rongga
abdomen. Hubungan pangkal apendiks ke sekum relatif konstan, sedangkan
ujung dari apendiks bisa ditemukan pada posisi retrosekal, pelvikal,
subsekal, preileal atau parakolika kanan. Posisi apendiks retrosekal
paling banyak ditemukan yaitu 64% kasus.
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya
berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks
ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang
berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal maka tidak
tertutup oleh peritoneum viscerale (Soybel, 2001). Menurut Wakeley (1997)
lokasi apendiks adalah sebagai berikut: retrosekal (65,28%), pelvikal
(31,01%), subsekal (2,26%), preileal (1%) dan postileal serta parakolika
kanan (0,4%) (Schwartz, 1990).

Pada 65% kasus apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan


apendiks memungkinkan bergerak dalam ruang geraknya tergantung pada
panjangnya mesoapendiks. Pada kasus selebihnya apendiks terletak
retroperitoneal yaitu di belakang sekum, dibelakang kolon askenden atau tepi
lateral kolon askenden. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak dari
apendiks. Pada posisi retrosekal, kadang-kadang appendiks menjulang
kekranial ke arah ren dekster, sehingga keluhan penderita adalah nyeri di
regio flank kanan. Dan kadang diperlukan palpasi yang agak dalam pada
keadaan tertentu karena appendiks yang mengalami inflamasi ini secara
kebetulan terlindungi oleh sekum yang biasanya mengalami sedikit dilatasi
Letak appendik mungkin juga bisa di regio kiri bawah hal ini dipakai untuk
penanda kemungkinan adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang appendiks
sampai melintasi linea mediana abdomen, sehingga bila organ ini meradang
mengakibatkan nyeri perut kiri bawah. Juga pada kasus-kasus malrotasi usus
kadang appendiks bisa sampai diregio epigastrum, berdekatan dengan gaster
atau hepar lobus kanan.

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi


berkisar antara 2-22 cm. Letak basis apendiks berada pada posteromedial
sekum pada pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum.
Dari ketiga taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai
penanda untuk mencari basis apendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka
kanan, bila diproyeksikan ke dinding abdomen terletak di kuadran kanan
bawah yang disebut dengan titik Mc Burney. Kira-kira 5% penderita
mempunyai apendiks yang melingkar ke belakang sekum dan naik (ke arah
kranial) pada posisi retroperitoneal di belakang kolon askenden. Apabila
sekum gagal mengalami rotasi normal mungkin apendiks bisa terletak di
mana saja di dalam kavum abdomen.

Pada anak-anak apendiks lebih

panjang dan lebih tipis daripada dewasa oleh karena itu pada
peradangan akan lebih mudah mengalami perforasi. Sampai umur kurang
lebih 10 tahun, omentum mayus masih tipis, pendek dan lembut serta belum
mampu membentuk pertahanan atau pendindingan (walling off) pada
perforasi, sehingga peritonitis umum karena apendisitis akut lebih umum
terjadi pada anak-anak daripada dewasa (Raffensperger. Apendiks kekurangan
sakulasi dan mempunyai lapisan otot longitudinal, mukosanya diinfiltrasi
jaringan limfoid. Pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini memungkinkan
menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada umur tersebut , 1990).

Apendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing,


dan apeksnya menempel pada sekum. Apendiks pada bayi berbentuk konikal.
Panjang apendiks bervariasi dari 2 20 cm dengan panjang rata-rata 6 9
cm. Diameter masuk lumen apendiks antara 0,5 15 mm. Lapisan epitel
lumen apendiks seperti pada epitel kolon tetapi kelenjar intestinalnya lebih
kecil daripada kolon. Apendiks mempunyai lapisan muskulus dua lapis.
Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari lapisan
muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal
yang dibentuk oleh fusi dari 3 tenia koli diperbatasan antara sekum dan
apendiks.

Pada masa bayi folikel kelenjar limfe submukosa masih ada.

Folikel ini jumlahnya terus meningkat sampai puncaknya berjumlah sekitar


200 pada usia 12 20 tahun.
Setelah usia 30 tahun ada

pengurangan jumlah folikel sampai

setengahnya, dan berangsur menghilang pada usia 60 tahun. Mesoapendiks


terletak dibelakang ileum terminal yang bergabung dengan mesenterium
intestinal.
Vaskularisasi appendiks mendapatkan darah dari cabang a. ileokolika
berupa appendiksularis yang merupakan satu-satunya feeding arteri untuk
appendiks, sehingga apabila terjadi trombus pada appendiksitis akuta akan
berakibat berbentuk gangren, dan bahkan perforasi dari appendiks tersebut.
Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan
pada ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang pada mesenterium yang
inkomplet, arteri ini terletak panda dinding sekum. Pada mesoapendiks yang
pendek dapat berakibat apendiks yang terfiksir (immobile). Kadang-kadang
arteri apendikularis berjumlah dua. . Namun demikian pangkal appendik
ternyata mendapatkan vaskularisasi tambahan dari cabang-cabang kecil arteri
sekalis anterior dan posterior .

Vena appendiks bermuara di vena ileokalika yang melanjutkan diri


ke vena mesenterika superior. Sedangkan sistim limfatiknya mengalir ke
lymfonodi ileosekal Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke satu atau
dua noduli limfatisi yang terletak pada mesoapendiks. Dari sini cairan limfe
berjalan melalui sejumlah noduli limfatisi mesenterika untuk mencapai noduli
limfatisi mesenterika superior. Syaraf apendiks berasal dari saraf simpatis dan
parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesenterika superior. Serabut syaraf
aferen yang menghantarkan rasa nyeri visceral dari apendiks berjalan bersama
saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi segmen torakal X
karena itu nyeri visceral pada apendiks bermula disekitar umbilikus.
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara
normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dicurahkan ke sekum

Menurut Tranggono (1989) mempelajari posisi anatomi apendiks


vermiformis meliputi pembahasan secara topografi yaitu :
1. Holotopi
Holotopi adalah posisi yang sebenarnya dari suatu organ pada tubuh
manusia. Apendiks vermiformis terletak di kwadran kanan bawah dan
di region iliaka kanan.
2. Skeletopi
Skeletopi adalah posisi organ manusia menunjuk pada kerangka atau
tulang. Pangkal apendiks vermiformis terletak pada perpotongan garis
interspinal dengan garis lateral vertikal dari titik pertengahan
ligamentum inguinale dan ventral fossa iliaka kanan
3. Sintopi.

Sintopi adalah posisi organ terhadap organ-organ disekitarnya,


Apendiks vermiformis di sebelah bawah sekum di ventral ureter kanan,
a. testikularis kanan, bisa di depan ileum atau dibelakang ileum.

Malrotasi atau maldesesnsus dari sekum akan mengakibatkan kelainan


letak dari apendiks sehingga mungkin saja terletak disepanjang daerah fossa
iliaka kanan dan area infrasplenik kiri. Dalam hal terdapat transposisi dari
visera maka apendiks dapat terletak di kwadran kiri bawah. Mengingat akan
kemungkinan-kemungkinan kelainan posisi atau letak sekum ini sangat
penting, karena hal ini sering mendatangkan kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila terjadi peradangan pada apendiks tersebut. Suatu anomaly yang
sangat jarang terjadi adalah duplikasi apendiks seperti dikemukakan oleh
Green. Sementara menurut Waugh duplikasi apendiks ini tidak ada
hubungannya dengan duplikasi sekum. Kedua apendiks mungkin terbungkus
dalam sarung fibrous dan dikelilingi oleh satu lapisan otot dan rongganya
mungkin berhubungan sebagian atau seluruhnya atau mungkin berasal secara
terpisah dari sekum. Ada yang berpendapat bahwa apendiks yang kedua
merupakan suatu divertikel sekum yang kongenital.
Karena apendiks merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen
yang sempit dan seperti traktus intestinalis

lainnya secara normal berisi

bakteri, resiko stagnasi dari isi apendiks yang terinfeksi selalu ada. Resiko ini
akan bertambah hebat dengan adanya suatu mekanisme valvula pada pangkal
apendiks yang dikenal dengan valvula Gerlach . Dengan adanya benda-benda
asing yang terperangkap dalam lumen apendiks, posisinya yang mobil, dan
adanya kinking, bands, adhesi dan lain-lain keadaan yang menyebabkan
angulasi dari apendiks, maka keadaan akan semakin diperburuk. Banyaknya
jaringan limfoid pada dindingnya juga akan mempermudah terjadinya infeksi
pada apendiks.

Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila


terjadi peradangan apendiks adalah omentum. Ini merupakan salah satu alat
pertahanan tubuh apabila terjadi

suatu proses intraabdominal termasuk

apendiks. Pada umur dibawah 10 tahun pertumbuhan omentum ini pada


umumnya belum sempurna, masih tipis dan pendek, sehingga belum dapat
mencapai apensdiks apabila terjadi peradangan apendiks. Hal inilah yang
merupakan salah satu sebab lebih mudah terjadi perforasi dan peritonitis
umum pada apendisitis anak.

Catatan------------------------------------------------------------Appendiks vermiformis (umbai cacing) terletak pada puncak caecum ,


pada pertemuan ke-3 tinea coli yaitu :
Taenia libra
Taenia omentalis
Taenia mesocolica

Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal


junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks
terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm,
diameter 0,7 cm. Lumen bagian proksimal menyempit , bagian distal melebar.
Hal ini berlawanan pada bayi, sehingga menyebabkan rendahnya insidensi
appendisitis pada usia tersebut.
Secara histologis mempunyai 4 lapisan yaitu tunika :

Mukosa

Sub mukosa banyak terdapat limfoid

Muskularis
Terdapat Stratum circulare (dalam) dan stratum longitudinale (luar),
stratum longitunale merupakan gabungan dari ke-3 taenia coli.

Serosa hanya pada appendiks letak intraperitoneal

Posisi appendik :
1. Ileocecal
2. Antecaecal di depan caecum
3. Retrocaecal Intra & Retro peritoneal
4. Anteileal
5. Retroileal
6. Pelvical

Appendiks

mendapat

vaskularisasi

dari

a.Appendicularis

a.Iliocolica a. Mesenterica superior. a. Appendicularis merupakan suatu


arteri yang tidak memiliki kolateral (endarteri) , sehingga jika tersumbat
mengakibatkan ganggren. Darah dari appendiks di drainage ke v.
appendicularis v. Ileocolica. Innervasi appendiks dari cabang n.X
(parasimpatis), sehingga nyeri viseral pada appendisitis bermula disekitar
umbilikus.

Grade Appendisitis pada Anak :


I.

Simple

II.

Suppuren

III.

Ganggren

IV.

Ruptur

V.

S-S-G-R-A

Abses

Gambaran Appendicogram : Filling defect, Non Filling defect,


Parsial, Irreguler, Tail mouse.

B. EPIDEMIOLOGI
Sejarah apendisitis dimulai pada tahun 1827 oleh Melier yang pertama
kali menyebutkan proses inflamasi di sekum dengan typhlitis atau
perityphlitis. Sebelumnya pada tahun 1735, Claudius Amyant melakukan
apendektomi pertama kali pada saat operasi hernia inguinal. Kemudian
Reginald H dan Fitz adalah orang pertama yang memeriksa apendiks secara
histopatologi dari hasil operasi. Sejarah modern apendisitis dimulai dari
tulisan klasik Charles McBurney tahun 1889, yang dipublikasikan dalam New
York Surgical Society on Nov 13,1889. McBurney mendiskripsikan inflamasi
akut di kuadran kanan bawah biasanya disebabkan oleh apendisitis, yang
sebelumnya disebut oleh Melier dengan typhlitis atau perityphlitis
Angka mortalitas yang tinggi dari apendisitis akut mengalami
penurunan dalam beberapa dekade. Hawk et al, membandingkan kasus
apendisitis akut pada periode 1933 1937 dengan 1943 1948. Angka
mortalitas pasien apendisitis akut dengan peritonitis local menurun dari 5%
menjadi 0%. Angka mortalitas pasien apendisitis akut dengan peritonitis
umum menurun dari 40,6% menjadi 7,5%. Pada tahun 1930, 15 kasus

meninggal karena apendisitis dari 100 ribu populasi, sedangkan 30 tahun


kemudian hanya 1 kasus meninggal dari 100 ribu polpulasi. Pada tahun 1977,
mortalitas pasien dengan apendisitis akut tanpa perforasi 0,1% 0,6% dan
dengan perforasi 5% .

C. PATOFISIOLOGI APENDISITIS

Apendiks vermiformis pada manusia biasanya dihubungkan dengan


organ sisa yang tidak diketahui fungsinya. Pada beberapa jenis mamalia
ukuran apendiks sangat besar seukuran sekum itu sendiri, yang ikut berfungsi
dalam proses digesti dan absorbsi dalam sistem gastrointestinal Pada
percobaan stimulasi dengan rangsangan, apendiks cenderung menekuk ke sisi
antimesenterial. Hal ini mengindikasikan serabut muskuler pada sisi
mesenterial berkembang lebih lemah.
Secara anatomi pembuluh arteri masuk melalui sisi muskuler yang
lemah ini. Kontraksi muskulus longitudinal akan diikuti oleh kontraksi
muskulus sirkuler secara sinergis, lambat, dan berakhir beberapa menit.
Gerakan aktif dapat dilihat pada bagian pangkal apendiks dan semakain ke
distal gerakan semakin berkurang. Pada keadaan inflamasi, kontraksi muskuli
apendiks akan terganggu
Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 25
cmH2O dan meningkat menjadi 30 50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada
keadaan normal tekanan panda lumen sekum antara 3 4 cmH2O, sehingga
terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks
terdorong masuk sekum. Mukosa normal apendiks dapat mensekresi cairan 1
ml dalam 24 jam (Riwanto I, 1992). Apendiks juga berperan sebagai sistem
immun pada sistem gastrointestinal (GUT). Sekresi immunoglobulin
diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues (GALD) dan hasil sekresi
yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri,
netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal
lainnya. Pemikiran bahwa apendiks adalah bagian dari sistem GALD yang
mensekresi globulin kurang banyak berkembang.

Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek
pada sistem immunologi Meskipun kelainan pada apendisitis akut disebabkan
oleh infeksi bakteri, faktor yang memicu terjadinya infeksi masih belum
diketahui secara jelas. Pada apendisitis akut umumnya bakteri yang
berkembang pada lumen apendiks adalah Bacteroides fragilis dan
Escherichea colli. Kedua bakteri ini adalah flora normal usus. Bakteri ini
menginvasi mukusa, submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan udem,
hiperemis dan kongesti local vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadangkadang terjadi trombosis pada vasa dengan nekrosis dan perforasi
Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi
terjadinya apendisitis akut diantaranya: obstruksi lumen apendiks, Obstruksi
bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat Percobaan
pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa total obstruksi pada pangkal
lumen apendiks dapat menyebabkan apendisitis. Beberapa keadaan yang
mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu: akumulasi cairan intraluminal,
peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi sirkulasi vena, stasis sirkulasi
dan kongesti dinding apendiks, efusi, obstruksi arteri dan hipoksia, serta
terjadinya infeksi anaerob. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan
dalam 60 - 70 persen kasus. Enam puluh persen obstruksi disebabkan oleh
hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5%
disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain. Keadaan obstruksi berakibat
terjadinya proses inflamasi Obstruksi pada bagian distal kolon akan
meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks
akan terhambat keluar. Arnbjornsson melaporkan prevalensi kanker
kolorektal pada usia lebih dari 40 tahun, ditemukan setelah 30 bulan
sebelumnya dilakukan apendektomi, lebih besar dibandingkan jumlah kasus
pada usia yang sama. Dia percaya bahwa kanker kolorektal ini sudah ada
sebelum dilakukan apendektomi dan menduga kanker inilah yang
meningkatkan tekanan intrasekal yang menyebabkan apendisitis

Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba histolytica,


Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis dapat menyebabkan erosi
membrane mukosa apendiks dan perdarahan. Pada kasus infiltrasi bakteri,
dapat menyebabkan apendisitis akut dan abses Pada awalnya Entamoeba
histolytica berkembang di kripte glandula intestinal. Selama infasi pada
lapisan mukosa, parasit ini memproduksi ensim yang dapat menyebabkan
nekrosis mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan berikutnya
adalah bakteri yang menginvasi dan berkembang pada ulkus, dan
memprovokasi proses inflamasi yang dimulai dengan infiltrasi sel radang akut
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal
sekum, yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan
berkembangbiaknya bakteri. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah
serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses menjadi memadat , lebih
lengket dan berbentuk makin membesar, sehingga membutuhkan proses
transit dalam kolon yang lama Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek
waktu transit feses dalam kolon, tetapi dapat juga mengubah kandungan
bakteri. Hill et al menyimpulkan bahwa bakteri yang terdapat dalam feses
orang Amerika dan Inggris (yang mengkonsumsi rendah serat) lebih tinggi
dibandingkan feses orang Uganda, India, dan Jepang.
Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya insidesi apendisitis di
negara maju seperti Amerika dan Inggris yang kurang mengkonsumsi serat
lebih besar dibandingkan di Afrika dan Asia.

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal


dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum.
Hambatan aliran dalam muara apendiks berperan besar dalam patogenesis
apendisitis. Jaringan limfoid pertamakali terlihat di submukosa apendiks
sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah jaringan limfoid meningkat
selama pubertas, dan menetap dalam waktu 10 tahun berikutnya, kemudian
mulai menurun dengan pertambahan umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada
jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks (Kozar dan Roslyn,
1999; Way, 2003). Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan
termasuk apendiks adalah Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung

infeksi.

Namun

demikian

pengangkatan

apendiks

tidak

mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab jaringan limfoid disini kecil jika
dibandingkan

jumlah

(Sjamsuhidayat, 1997

di

saluran

pencernaan

dan

seluruh

tubuh

Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian


melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina
muskularis dan lamina serosa . Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 24
jam pertama. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen
menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mucus yang terbentuk
secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan
tekanan intraluminer meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi
kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen apendiks cepat.
Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan udem.
Kondisi yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam
lumen menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka
terjadilah keadaan yang disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simple .
Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intraluminer semakin
tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi
venular akan mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial. Keadaan ini
akan menyebabkan udem bertambah berat, terjadi iskemi, dan invasi bakteri
semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah
keadaan yang disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih
lanjut tekanan intraluminer akan semakin tinggi, udem menjadi lebih hebat,
terjadi gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren
pada dinding apendiks terutama pada daerah antemesenterial yang relatif
miskin vaskularisasi. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan
berbentuk ellipsoid. Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Apabila
tekanan intraluminer semakin meningkat, akan terjadi perforasi pada daerah
yang gangrene tersebut. Material intraluminer yang infeksius akan tercurah
ke dalam rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal maupun general
tergantung keadaan umum penderita

dan fungsi pertahanan omentum.

Apabila fungsi omentum baik, tempat yang mengalami perforasi akan ditutup
oleh omentum, terjadilah infitrat periapendikular .

Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan

terbentuk suatu

rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks,terjadilah keadaan yang disebut


abses periapendikular. Apabila omentum belum berfungsi baik, material
infeksius dari lumen apendiks tersebut akan menyebar di sekitar apendiks dan
terjadi peritonitis lokal. Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup
baik, proses akan terlokalisir , tetapi apabila keadaan umumnya kurang baik
maka akan terjadi peritonitis general .
Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut
sehingga dapat terjadi keadaan keadaan seperti

apendisitis rekurens,

apendisitis khronis, atau yang lain. Apendisitis rekurens adalah suatu


apendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang berulang, durante
operasi pada apendiks terdapat peradangan

dan pada pemeriksaan

histopatologis didapatkan tanda peradangan akut. Sedangkan apendisitis


khronis digambarkan sebagai apendisitis yang secara klinis serangan sudah
lebih dari 2 minggu, pendapatan durante operasi maupun pemeriksaan
histopatologis

menunjukkan

tanda

inflamasi

khronis,

dan

serangan

menghilang setelah dilakukan apendektomi. Bekas terjadinya infeksi dapat


dilihat pada durante operasi, dimana apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan
perlekatan yang banyak. Dan kadang-kadang terdapat pita-pita bekas
peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat
tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-kadang terdapat stenosis partial
atau ada bagian yang mengalami distensi dan berisi mucus (mukokel). Atau
bahkan dapat terjadi fragmentasi dari apendiks yang masing-masing
bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan parut. Gambaran ini
merupakan gross pathology dari suatu apendisitis khronika .
D. ETIOLOGI APENDISITIS
a. Obstruksi lumen apendiks yang disebabkan oleh:
1. Fekalit (feses yang mengeras) adalah penyebab tersering yang
mengakibatkan obstruksi

2. Oleh karena sebab lain termasuk:


a. Limfoid hipertrofi
b. Barium
c. Cacing di intestinal
d. Kanker sekum
b. Sekresi mukosa apendiks yang persistent, distensi yang bertahap dengan
inflamasi pada apendiks, pertumbuhan bakteri yang berlebihan, dan pada
kondisi yang diikuti oleh progresivitas, iskemia, gangrene, dan perforasi
yang diikuti oleh obstruksi lumen.

E. MANIFESTASI KLINIS APENDISITIS


a. Symptoma
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdominal. Secara klinis nyeri
dimulai difus terpusat di daerah epigatrium bawah atau umbilical , dengan
tingkatan sedang dan menetap, kadang-kadang disertai dengan kram
intermiten. Nyeri akan beralih setelah periode yang bervariasi dari 1
hingga 12 jam, biasanya 4 - 6 jam , nyeri terletak di kuadran kanan
bawah. Anoreksia hampir selalu menyertai apendisitis.

Hal ini begitu konstan sehingga pada pemeriksaan perlu ditanyakan pada
pasien. Vomitus terjadi pada 75% kasus, umumnya hanya satu dua kali.
Umumnya ada riwayat obstipasi sebelum onset nyeri abdominal. Diare
terjadi pada beberapa pasien. Urutan kejadian symptoms mempunyai
kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% apendisitis
akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdominal
dan baru diikuti oleh vomitus, bila terjadi.

b. Signa
Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperature jarang lebih
dari 1C, frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya perubahan
atau peninggian yang besar berarti telah terjadi komplikasi atau diagnosis
lain perlu diperhatikan. Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine
dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan
meningkatkan nyeri. Nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila
apendiks yang meradang terletak di anterior. Nyeri tekan sering maksimal
pada atau dekat titik yang oleh McBurney dinyatakan sebagai terletak
secara pasti antara 1,5 2 inchi dari spina iliaca anterior pada garis lurus
yang ditarik dari spina ini ke umbilicus. Adanya iritasi peritoneal
ditunjukkan oleh adanya nyeri lepas tekan dan Rovsings sign. Adanya
hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11, T12 ,
meskipun bukan penyerta yang konstan adalah sering pada apendisitis
akut. Tahan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan derajat
proses peradangan, yang pada awalnya terjadi secara volunteer seiring
dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan spamus otot,
sehingga kemudian terjadi secara involunter. Iritasi muskuler ditunjukkan
oleh adanya psoas sign dan obturator sign.

F. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG APENDISITIS

Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada


tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah. Kadangkadang diagnosis salah pada anak prasekolah, karena anak dengan anamnesis
yang tidak karakteristik dan sekaligus sulit diperiksa. Anak akan menangis
terus-menerus dan tidak kooperatif.
Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit,
kembung (+) bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat
pada appendikuler abses.
Pemeriksaan pada anak, perhatikan posisi anak yang terbaring pada meja
periksa. Anak menunjukkan ekspresi muka yang tidak gembira. Anak
tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha,
karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri .
Palpasi
Pada pemeriksaan abdomen pada anak dengan permukaan tangan yang
mempunyai suhu yang sama dengan suhu abdomen anak. Biasanya
cukup dipanaskan dengan menggosok-gosok tangan dengan pakaian
penderita. Tangan yang dingin akan merangsang otot dinding abdomen
untuk berkontraksi sehingga sulit menilai keadaan intraperitoneal.
Terkadang kita perlu melakukan palpasi dengan tangan anak itu sendiri
untuk mendapatkan otot abdomen yang tidak tegang. Abdomen biasanya
tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan
ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang
jauh dari lokasi nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas, kemudian secara
perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Palpasi dengan
permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari tangan, dengan tekanan
yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot atau
adanya tumor yang superfisial. Waktu melakukan palpasi pada abdomen
anak, diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan boneka atau usaha

yang lain, sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. Hindari gerakan


yang cepat dan kasar karena hal ini akan menakuti anak dan membuat
pemeriksaan nyeri tekan tidak mungkin dilakukan

Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :

Nyeri tekan (+) Mc.Burney


Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau
titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis

Nyeri lepas (+) rangsangan peritoneum


Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat
(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.

Defens musculer (+) rangsangan m.Rektus abdominis


Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

Rovsing sign (+)


Penekanan perut sebelah kiri nyeri sebelah kanan, karena tekanan
merangsang peristaltik dan udara usus , sehingga menggerakan
peritoneum sekitar appendik yang meradang (somatik pain)
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila
kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini

diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi


peritoneal pada sisi yang berlawanan

Psoas sign (+)


Pada appendik letak retrocaecal, karena merangsang peritoneum
Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks
Ada 2 cara memeriksa :
1.

Aktif

Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan

pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxae kanan nyeri


perut kanan bawah.
2.

Pasif

Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan

pemeriksa, nyeri perut kanan bawah

Obturator Sign (+)


Dengan gerakan fleksi & endorotasi articulatio coxae pada posisi
telentang nyeri (+)
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif,
hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium

Perkusi Nyeri ketok (+)


Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik(-) pada illeus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat appendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak

membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah


terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.

Rectal Toucher / Colok dubur nyeri tekan pada jam 9-12


Colok dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis pada anak kecil karena biasanya menangis terus menerus

Pada anak kecil atau anak yang iritabel sangat sulit untuk diperiksa,
maka anak dimasukkan ke rumah sakit dan diberikan sedatif non narkotik
ringan, seperti pentobarbital (2,5 mg/kg) secara suppositoria rektal. Setelah
anak tenang, biasanya setelah satu jam dilakukan pemeriksaan abdomen
kembali. Sedatif sangat membantu untuk melemaskan otot dinding abdomen
sehingga memudahkan penilaian keadaan intraperitoneal.

Tanda Peritonitis umum (perforasi) :


1.

Nyeri seluruh abdomen

2.

Pekak hati hilang

3.

Bising usus hilang

Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi


dengan gejala-gejala sebagai berikut:
a.

Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam

b.

Demam tinggi lebih dari 38,50C

c.

Lekositosis (AL lebih dari 14.000)

d.

Dehidrasi dan asidosis

e.

Distensi

f. Menghilangnya bising usus


g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
h. Rebound tenderness sign
i. Rovsing sign
j. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal
Insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 6 tahun lebih dari
50%, ini berhubungan dengan dinding apendiks yang lebih tipis dan
omentum mayus yang berkembang belum sempurna dibanding anak yang
lebih besar
Dalam penelitiannya Schwartz (1999) melaporkan bahwa anak di
bawah umur 8 tahun mempunyai angka perforasi dua kali lebih besar
daripada anak yang lebih besar. Sedang menurut Way (2003) insidensi
perforasi apendiks pada anak di bawah umur 10 tahun sebesar 50%. Perforasi
apendiks paling sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang
tepi antimesenterium (Kozar dan Roslyn, 1999). Pada 2-6% penderita dengan
apendisitis menunjukkan adanya massa di kuadran kanan bawah pada
pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi abses yang
terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi (Lally,
2001).

Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk
menilai awal keluhan nyeri kwadran kanan bawah dalam menegakkan
diagnosis apendisitis akut. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90%
hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat,
walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada
pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium
yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut Pemeriksaan

laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi


merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi
tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler.
Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan
tubuh dan membawa mereka pada tempat yang terkena jejas dengan
cara:
1. mempersiapkan

berbagai

bentuk

fagosit

(lekosit

polimorfonuklear, makrofag) pada tempat tersebut.


2. pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.
3. menetralisir dan mencairkan iritan.
4. membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan
terbentuknya dinding jaringan granulasi.
Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik
apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya
lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis
menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih
dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan
peritonitis (Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada penderita
apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3
dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.00030.000/mm3.

Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa

komnbinasi antara kenaikan angka lekosit dan granulosit adalah yang


dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis acute.
Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik., sehingga
hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan
diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah >10.000/mmk
dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga
gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai
pedoman untuk appendicitis acute (Bolton et al, 1975). Kontroversinya

adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah


lekosit dan granulosit tetap normal (Nauts et al, 1986).
Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis apendisitis
akut adalah C-rective protein (CRP). Petanda respon inflamasi akut
(acute phase response) dengan menggunakan CPR telah secara luas
digunakan di negara maju. Nilai senstifitas dan spesifisits CRP cukup
tinggi, yaitu 80 - 90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah
untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama
(5 -10 menit), dan murah
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
Urinalisa sangat penting pada anak dengan keluhan nyeri abdomen
untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran
kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada
ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan
jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang (Raffensperger, 1990;
Cloud, 1993).
.
2. Foto Polos abdomen
Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak
membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah
kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini
ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993).
Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada
bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan
seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari
udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses
peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot
sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada

penderita apendisitis akut (Mantu, 1994). Bila sudah terjadi perforasi,


maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah
diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto
khusus untuk melihatnya.

Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantongkantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan
usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas,
gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas
shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada
beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang
menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994).
Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang
mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang
menyumbat

pembukaan

appendik)

yang

dapat

menyebabkan

appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen


supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara
dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ), kalsifikasi
bercak rim-like( melingkar ) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari
appendik. Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa
untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis.

Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan


pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium
enema dapat menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis
Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair
dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat
seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar appendik dimana
peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon. Impresi ireguler

pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan dengan gagalnya


barium memasuki appendik (20% tak terisi) Terisinya sebagian dengan
distorsi bentuk kalibernya tanda appendisitis akut,terutama bila ada
impresi sekum. Sebaliknya lumen appendik yang paten menyingkirkan
diagnosa appendisitis akut. Bila barium mengisi ujung appendik yang
bundar dan ada kompresi dari luar yang besar dibasis sekum yang
berhubungan dengan tak terisinya appendik tanda abses appendik
Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-masalah intestinal
lainnya yang menyerupai appendiks, misalnya penyakit Chrons,
inverted appendicel stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna.

3. Ultrasonografi
Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut
maupun apendisitis

dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis

apendisitis akut diperlukan keahlian, ketelitian, dan sedikit penekanan


transduser pada abdomen. Apendiks yang normal jarang tampak dengan
pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen
tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada
penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan
transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal apendisitis akut ditandai
dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan
diameter 9 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangrene ditandai
dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan
atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan
tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan
abses tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995).
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan
kemampuan pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90
94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92% (Erik

K, 2003). Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada apendisitis


akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks
lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan
pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur atau
perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara
maka abses apendiks dapat diidentifikasi.
Ultrasound adalah suatu prosedur yang tidak menyakitkan yang
menggunakan gelombang suara untuk mengidentifikasi organ-organ
dalam tubuh. Ultrasound dapat mengidentifikasi appendik yang
membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat
pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu,
dengan

tidak

terlihatnya

apendiks

selama

ultrasound

tidak

menyingkirkan adanya appendisitis. Ultrasound juga berguna pada


wanita sebab dapat menyingkirkan adanya kondisi yang melibatkan
organ ovarium, tuba falopi dan uterus yang gejalanya menyerupai
appendisitis. Hasil usg dapat dikatagorikan menjadi normal, non
spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau

kemungkinan

appendik. Hasil usg yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus,
udara bebas, atau ileus. Hasil usg dikatakan kemungkinan appaendik
jika ada pernyataan curiga atau jika ditemukan dilatasi appendik di
daerah fossa iliaka kanan, atau dimana usg di konfermasikan dengan
gejala klinik dimana kecurigaan appendisitis.

4. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)


Pada

keadaan

normal

apendiks,

jarang

tervisualisasi

dengan

pemeriksaan skening ini. Gambaran penebalan diding apendiks dengan


jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan apendiks
yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang

tinggi yaitu 90 100% dan 96 97%, serta akurasi 94 100%. CtScan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau
flegmon
Perbandingan pemeriksaan penunjanng apendisitis akut:

Sensi

Ultrasonografi

CT-Scan

85%

90 - 100%

92%

95 - 97%

90 - 94%

94 - 100%

Aman

Lebih akurat

relatif tidak mahal

Mengidentifikasi

tivita
s
Spesi
fisita
s
Akur
asi
Keun
tunga
n

abses
flegmon

dan
lebih

baik
Dapat
kelainan

mendignosis
lain

pada

wanita

Mengidentifikasi
apendiks normal
lebih baik

Baik untuk anak-anak


Keru

Tergantung operator

Mahal

Sulit secara tehnik

Radiasi ion

Nyeri

Kontras

gian

Sulit di RS daerah

Sulit di RS daerah

Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat
berguna untuk mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular
sekaligus menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan
pelvis yang menyerupai appendisitis.

5. Laparoskopi (Laparoscopy)
Meskipun laparoskopi mulai ada sejak awal abad 20, namun
penggunaanya untuk kelainan intraabdominal baru berkembang
sejak tahun 1970-an. Dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi
sebagai alat diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis
apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digenakan
untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat
bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut
laparoskopi diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi
laparoskopi

6. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk
diagnosis apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai
gambaran histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi
apendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi
apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber et al,
pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut.
Hasilnya adlah perlu adanya komunikasi antara ahli patologi dan antara
ahli patologi dengan ahli bedahnya.

Difinisi histopatologi apendisitis akut:


1

Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau


difus di lapisan epitel.

Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.

Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke


dalam lapisan epitel.

Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses


apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.

Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa


abses mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi
periapendisitis.

Reaksi fase akut (Acute phase reaction)


Reaksi fase akut adalah pertahanan pertama tubuh dalam melawan proses
inflamasi (innate immune), yang berfungsi tanpa melalui sistem spesifik dan
memori (adaptive immune). Inflamasi adalah respon terhadap kerusakan
jaringan oleh stimulus yang dapat berupa trauma mekanik, nekrosis jaringan,
dan infeksi. Tujuan proses inflamasi adalah untuk melawan agen pengrusak,
awal proses perbaikan, dan mengembalikan fungsi jaringan yang rusak.
Proses inflamasi dapat berlangsung akut dan kronik. Inflamasi akut dapat
disebabkan oleh agen mikroba (virus, bakteri, jamur, dan parasit), trauma,
nekrosis jaringan oleh kanker, arthritis rematiod, luka bakar, dan toksin yang
disebabkan oleh obat atau radiasi.
Keadaan inflamasi merangsang tubuh untuk mengeluakan sitokin dan hormon
yang berfungsi dalam regulasi haematopoesis, sintesis protein, dan

metabolisme. Sistem immun dibagi menjadi dua, immun bawaan (innate


immune) dan immune didapat (adaptive immune) Immun bawaan terdiri dari
sel fagosit, sistem komplemen, dan fase akut protein, bekerja tanpa melalui
proses spesifik dan memori. Ketika sel fagosit teraktivasi, maka ia akan
memacu sintesis sitokin. Sitokin tidak hanya berfungsi dalam regulasi sistem
immun bawaan, tetapi juga sistem immun yang didapat.
Ada 4 komponen yang menyertai proses inflamasi akut, yaitu:
1. Dilatasi vaskuler (permaebilitas vaskuler meningkat)
Dilatasi vaskuler (permaebilitas membaran meningkat) adalah relaksasi
muskulus vaskuler yang menyebabkan jaringan hiperemis. Proses
transudasi yang terjadi melalui membran sel, diikuti lepasnya sel PMN
(polimorfonuklear) ke jaringan. Jika fibrinogen terekstravasasi kedalam
jaringan juga, maka terjadilah mekanisme pembekuaan ..

2. Emigrasi neutrofi
Emigrasi neutrofil dimulai dengan menempelnya sel ini pada
permukaaan endotel. Sel PMN tampak dominan menempel pada
permukaan endotel. Emigrasi sel neutrofil pada area inflamasi
disebabkan adanya faktor kemotatik. Keterlibatan proses immunkompleks dalam proses awal inflamasi, menyebabkan faktor kemotaktik
mengaktivasi komplemen C5a. Komplemen C5a ini kemudiaan
menyebabkan sel PMN tertarik ke area inflamasi. Produk bakteri juga
bersifat kemotaktik terhadap sel PMN. Intensitas dan durasi emigrasi
sel PMN biasanya dalam 24-48 jam, tergantung faktor kemotaktik pada
area inflamasi

3. Eemigrasi sel mononuclea

Proses ini dimulai 4 jam setelah adanya stimulasi dan mencapai


puncaknya 16-24 jam. Pada keadaan awal respon seluler, sel
mononuklear akan tampak dalam jumlah sedikit bersama sel
polimorfonuklear. Keluarnya sel mononuclear ini distimulasi oleh
proses fagositosis debris, produk fagositosis neutrofil, dan sitokin .
Proses terakhir inflamasi adalah proliferasi seluler.

4. Pproliferasi seluler.
Proses ini diawali dengan proliferasi fibroblas yang dimulai dalam 18
jam dan mencapai puncaknya 48 sampai 72 jam. Fibroblas
mengeluarkan acidic mukopolysaccharides yang menetralisis afek
beberapa mediator kimiawi. Pada akhir proses ini diharapkan
kembalinya fungsi area yang terkena inflamasi, namun dalam beberapa
keadaan, proses ini berakhir dengan terbentuknya abses dan granuloma.

G. PENATALAKSANAAN APENDISITIS

Appendiktomi
Cito akut, abses & perforasi
Elektif kronik

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik.
Penundaan

apendektomi

sambil

memberikan

antibiotik

dapat

mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang


dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada apendisitis akut tanpa
komplikasi tidak banyak masalah.

a) Konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat)


b) Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)
c) Diet rendah serat
d) Antibiotika spektrum luas
e) Metronidazol
f) Monitor : Infiltrat, tanda2 peritonitis(perforasi), suhu tiap 6 jam,
LED, AL bila baik mobilisasi pulang

Penderita anak perlu cairan intravena untuk

mengoreksi dehidrasi

ringan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan


untuk mengurangi bahaya muntah pada waktu induksi anestesi. Pada
apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi
menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan anak
sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah,
sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Anak memerlukan
perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan
pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung
agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah. Kalau anak
dalam keadaan syok hipovolemik maka diberikan cairan ringer laktat 20
ml/kgBB dalam larutan glukosa 5% secara intravena, kemudian diikuti
dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian
cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan
kekurangan cairan. Sebelum pembedahan, anak harus memiliki urin
output sebanyak 1 ml/kgBB/jam. Untuk menurunkan demam diberikan
acetaminophen suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas 38 0C
pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan
untuk mengontrol demam.

Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan


apendisitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi
infeksi apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam
selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya
sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi
anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis .
Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat
kondisi klinis penderita. Kombinasi antibiotika yang efektif melawan
bakteri aerob dan anaerob spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah
pembedahan. Kombinasi ampisilin (100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg)
dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup
efektif untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi
apendisitis perforasi. Metronidasol aktif terhadap bakteri gram negatif
dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan. Obat ini
lebih murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin

Pembedahannya adalah dengan apendektomi, yang dapat dicapai


melalui insisi Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan
pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis
berupa

apendektomi

yang

dicapai

(Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).

Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :


1. Cutis

6.

MOI

melalui

laparotomi

2. Sub cutis

7.

M. Transversus

3. Fascia Scarfa

8.

Fascia transversalis

4. Fascia Camfer

9.

Pre Peritoneum

5. Aponeurosis MOE

10. Peritoneum

APPENDECTOMY

Appendisitis Akut disebut

Appendisitis Kronis disebut : Appendictomi Froid

: Appendictomi Chaud

Indikasi

Appendisitis Akut

Appendisitis kronis

Peri appendicular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)

Appendiks terbawa pada laparatomi operasi kandung empedu

Appendisitis perforata

Macam Incisi pada appendectomi

Gridiron incision ( Mc Burney incision)

Incisi tegak lurus garis Mc Burney

Caecum lebih mudah dipegang

Kontaminasi kuman minimal

Incisi Paramedian kanan

Caecum lebih sukar dipegang

Kontaminasi lebih besar

Terutama pada wanita, sekaligus explorasi adnexa, genetalia interna,


meragukan

Incisi Transversal

Prosedur Appendektomi

Desinfeksi medan operasi dengan alkohol 70 % kemudian betadin


10 %

Pasang doek steril kecuali daerah tindakan pasang doek klem


pasang doek lubang

Dilakukan Incisi Gridion(MC.Burney) / paramedian / transversal


pada kulit dengan mess / pisau besturi kira-kira 57 cm kontrol
perdarahan

Incisi diperdalam lapis demi lapis dengan mess / cauter sampai


tampak Aponeurosis MOE

Aponeurosis MOE dibuka dengan mess searah seratnya, diperlebar


ke craniolateral dan caudomedial dengan pertolongan pinset
anatomis, Wondhaak tumpul dipasang dibawah MOE, sampai
tampak MOI yang seratnya transversal

MOI dan m.Transversus abdominis dibuka secara tumpul dengan


klem / pean dengan bantuan pinset anatomis searah seratnya ,
kemudian diperlebar dengan langenback sampai tampak peritonium
warna putih mengkilat, haak dipasang dibawah m. Transversus
abdominis

Dengan pinset chirrugis 2 buah peritoneum diangkat gunting


diantara kedua pinset, perhatikan cairan yang keluar : pus, udara,
darah peritoneum dijepit dengan kocher sonde 2 buah pinset
dilepas diperluas kearah cranial dan

caudal dengan gunting

dengan tuntunan dua jari / pinset untuk melindungi usus / organ


lain pasang langenback 2 buah

Evaluasi apakah ada cairan, darah atau pus pus(+) lakukan


pemeriksaan bakteriologis

Cari Caecum dengan tanda2 :


Warna putih
Terdapat taenia coli
Dinding tebal
Terdapat appendices epiploica

Setelah caecum ditemukan dikeluarkan / diluxir dengan pinset


anatomis dengan dua jari / gaas basah, ditarik kearah bawah,
keluar dan keatas appendiks akan ikut keluar Identifikasi
appendiks (odem, hiperemis, fecalith).

Bila appendiks mudah keluar lanjutkan dengan antegrade


appendictomy, dan bila sukar keluar lanjutkan dengan retrograde
appendictomy.

Antegrade Appendictomy

Setelah appendiks keluar, mesoappendiks dipegang dengan klem


arteri / Ellis klem dekat ujung appendiks.

Pasang klem 2 buah diantara appendiks dan mesoappendik dari


ujung appendiks mesoappendiks digunting diantara kedua klem
mesoappendiks diligasi dengan zide 2.0 ulangi terus sampai
pangkal appendiks

Pangkal appendiks dijepit dengan 2 klem / kocher dilandasi kasa


betadin dipotong dengan mess pangkal appendiks diligasi side
2.0 klem dilepas bekas appendik yang terpotong dicauter
untuk cegah fistel

Buat tabakzak naad / jahitan tembakau sekitar pangkal appendiks


pada lapisan seromuscularis caecum dengan side 2.0 appendiks
dipegang dengan pinset anatomis dorong kearah caecum, sambil
mempererat tabakzak naad, sedikit demi sedikit sambil melepas
pinset pelan-pelan

Caecum dimasukkan kembali ke rongga

perut.

Lakukan penutupan luka

Peritoneum dijahit dengan catgut Plain 2.0 secara continous


withtlocking / jelujur Feston

MOI & M.Transversus abdominis dijahit simpul / interupted


dengan catgut chromic 2.0

Aponeurosi MOE dijahit simpul dengan plain catgut 2.0

Subcutis dijahit simpul dengan cromic 2.0

Cutis dijahit simpul dengan side 3.0

Retrograde Appendictomy

Setelah

caecum

keluar

appendiks

sukar

dikeluarkan,

mesoappendiks di basis appendiks dibuka kemudian dibuat


lubang pada mesenterium dengan klem yang tertutup

Pangkal Appendiks diklem melalui lubang tersebut diligasi


dengan zide 2.0 dipotong antara klem dan ikatan bekas
potongan dicauter

Buat tabak zak naad appendiks diinvaginasikan kecaecum


dengan pinset tabak zak dieratkan pelan-pelan sambil melepas
klem

Mesoappendiks diklem dipotong secara retrograde diligasi


dengan zide 2.0

H. KOMPLIKASI
Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat mengalami
perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum.

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami
pendindingan (Walling off) sehingga berupa massa yang terdiri dari
kumpulan mesoapendiks, apendiks, sekum dan lengkung usus yang disebut
sebagai massa periapendikuler Pada anak sering terjadi perforasi bebas, hal
ini disebabkan oleh:

Dinding apendiks yang masih tipis,

anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan


proses pendindingan kurang sempurna,

perforasi berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang.

Terjadinya

massa

periapendikuler

bila

apendisitis

gangrenosa

atau

mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan lengkung usus. Pada


massa periapendikuler yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis
umum .
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu merupakan
thrombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi
apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan
abses hepatik (Way, 2003).
Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya adalah
infeksi. Beberapa tahun yang lalu insidensi infeksi setelah pembedahan
sebesar 20-40%, insidensi ini mengalami penurunan sampai sekitar 5%
setelah digunakannya tripel antibiotika. Infeksi setelah pembedahan sering
terjadi pada apendisitis perforasi atau gangrenosa. Meskipun infeksi bisa
terjadi di sejumlah lokasi, infeksi yang terletak di lokasi pembedahan yang
paling sering, yaitu pada luka subkutan dan dalam rongga abdominal.
Insidensi kedua komplikasi ini bervariasi tergantung pada derajat apendisitis,
umur penderita, kondisi fisiologis dan tipe penutupan luka.
Obstruksi intestinal bisa terjadi setelah pembedahan pada kasus apendisitis,
hal ini disebabkan oleh abses, phlegmon intraperitoneal atau adhesi.
Infertilitas dapat terjadi pada perempuan dengan apendisitis perforasi (Cloud,
1993; Lally, 2001).

Komplikasi Lain :
Nekrosis dinding appendiks
Perforasi dinding appendiks pus keluar masuk cavum peritonii
General peritonitis
Periappendikular infiltrat / Phlegmon / Mass
Appendiks yang mengalami perforasi(mikroperforasi) segera ditutup
(walling of) oleh omentum dan usus halus gumpalan massa
rdangberlanjut mjd:Periappendicular abses
Sepsis
Appendisitis kronis

I. SKOR ALVARADO
Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara
anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan
keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa.
Keadaan ini menghasilkan angka apendektomi negatif sebesar 20% dan angka
perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996). Salah satu upaya
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat
diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan
insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor
Alvarado.
Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan
dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan Bermansyah,
1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan
pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium.

Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat
keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor
risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan
di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari
37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan
bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing
mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10
(Alvarado, 1986; Rice, 1999).

Skor Alvarado
Faktor Risiko

Skoring
~ migrasi nyeri

~ nausea dan vomitus

~ anoreksia

Tanda
~

nyeri

kuadran

kanan bawah
~ nyeri lepas tekan
~

temperatur

1
>

~ angka lekosit >

37,20C
Laboratorium

10.000
~ persentase netrofil
> 75%

Penelitian yang dilakukan oleh Amri dan Bermansyah (1997) mengenai


skor Alvarado pada diagnosis apendisitis akut dengan skor pembatas (cut off
point) 6 , didapatkan sensitivitas: 90,90% dan spesifisitas: 75,75% dengan
akurasi diagnostik: 83,33%, Tranggono (2000) melaporkan dengan memakai
skor pembatas (cut off point) 7 didapatkan sensitivitas: 71,43% dan
spesifisitas: 69,09% dengan akurasi diagnostik 69,74%. Sedangkan Fenyo
melaporkan sensitivitas: 90,20% dan spesifisitas: 91,40%.
Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam
sistem skor Alvarado seperti tertulis di atas maka dapat diasumsikan bahwa
semakin lengkap gejala, tanda dan pemeriksaan laboratorium yang muncul
atau keberadaannya positif maka skor Alvarado akan semakin tinggi,
mendekati 10, ini mengarahkan kepada apendisitis akut atau apendisitis
perforasi. Demikian pula sebaliknya jika semakin tidak lengkap maka skor
Alvarado semakin rendah, mendekati 1, ini mengarahkan kepada apendisitis
kronis atau bukan apendisitis.
Skor Alvarado adalah sistem skoring yang didasarkan pada gejala dan
tanda klinis apendisitis akut, telah banyak dipergunakan. Pada tulisan aslinya,
Alvarado merekomendasikan untuk melakukan operasi pada semua pasien
dengan skor 7 atau lebih dan melakukan observasi untuk pasien dengan skor
5 atau 6.

Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut:


Gejala dan tanda:

Skor

Nyeri berpindah

Anoreksia

Mual-muntah

Nyeri fossa iliaka kanan

Nyeri lepas

Peningkatan suhu > 37,30C

Jumlah leukosit > 10x103/L

Jumlah neutrofil > 75%

Total skor:

10

Andersson, dalam studi meta-analisis gejala klinis dan laboratorium


mendapatkan hasil bahwa riwayat nyeri berpindah (migration pain) dari
umbilikus dan reaksi peritoneal (nyeri tekan kanan bawah, nyeri
lepas/Rebounds sign, Rovsings sign) adalah informasi diagnostik apendisitis
akut yang penting (Andersson, 2004)

ALVARADO SCORE
Vomitus/nausea

Nilai :

< 4 kronis

Anoreksia

4 7 ragu2

NT Mc Burney

> 7 akut

Nyeri lepas

Nyeri alih

Demam > 37,2 C 1


AL > 10.000

Segmen > 70

Nilai

10

J. DIAGNOSIS BANDING
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding, diantaranya adalah berasal dari saluran pencernaan seperti
gastroenteritis, ileitis terminale, tifoid, divertikulitis meckel tanpa perdarahan,
intususepsi dan konstipasi. Gangguan alat kelamin perempuan termasuk

diantaranya infeksi rongga panggul, torsio kista ovarium, adneksitis dan


salpingitis. Gangguan saluran kencing seperti infeksi saluran kencing, batu
ureter kanan. Penyakit lain seperti pneumonia, demam dengue dan campak
Kelainan Gastrointestinal

Cholecystitis akut

Divertikel Mackelli
Merupakan suatu penonjolan keluar kantong kecil pada usus halus
yang biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah dekat dengan
appendik. Divertikulum dapat mengalami inflamasi dan bahkan
perforasi ( robek atau ruptur). Jika terjadi inflamasi atau perforasi,
harus ditangani dengan pembedahan.

Enterirtis regional

Pankreatitis

Kelainan Urologi

Batu ureter

Cystitis

Kelainan Obs-gyn

Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)

Salphingitis akut (adneksitis) keputihan (+)

Penyakit peradangan panggul. Tuba falopi kanan dan ovarium terletak dekat
appendik. Wanita yang aktif secara seksual dapat mengalami infeksi yang
melibatkan tuba falopi dan ovarium. Biasanya terapi antibiotik sudah cukup,
dan pembedahan untuk mengangkat tuba dan ovarium tidak perlu.

K. PROGNOSIS
Kebanyakan pasien setelah operasi appendiktomi sembuh spontan tanpa
penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila adanya pengobatan tertunda
atau telah terjadi peritonitis/peradangan didalam rongga perut. Cepat
lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung pada usia
pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya seperti
diabetes melitus, komplikasi dan keadaan lainnya yang biasa sembuh antara
10-28 hari.

BAB III
KESIMPULAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks. Etiologi
terbanyak disebabkan oleh adanya fekalit. Diagnose ditegakkan berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu Tanda awal
nyeri mulai di epigastrium atau region umbilikalis disertai mual dan anoreksia.
Nyeri pindah ke kanan bawah menunjukkan tanda rangsangan peritoneum local
dititik McBurney: Nyeri tekan, Nyeri lepas dan Defans muskuler Nyeri
rangsangan peritoneum tidak langsung: Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri
(rovsing sign), Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg sign), Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti bernafas
dalam, berjalan, batuk, mengedan.

DAFTAR PUSTAKA
Tanto, Chris.,Liwang, Frans.,et all. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta :
Penerbit Media Aesculapius. 2014.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai