Anda di halaman 1dari 30

SATUAN ACARA PENYULUHAN

“APENDISITIS”

DI SUSUN OLEH:

1. HERI KUSWANDI PUTRA


2. NI KADEK DIAH PUSPITA D
3. MERI SYAKILLA
4. ANGGRIANI PUSPITA AYU
5. I GEDE ARYANATA

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendiks vermicularis.


Apendiks sendiri adalah suatu organ yang terdapat pada sekum yang terletak pada
proximal kolon yang berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan
IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan. Apendisitis
merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen yang progresif dan menetap
pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan diagnosa dan keterlambatan
penatalaksanaannya akan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.1
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya sekitar 10 cm (3-
15 cm). Lumennya sempit di bagian proximal dan melebar di bagian distal.
Namun, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar di pangkal, dan sempit di
ujung. Keadaan ini mungkin menjadi penyebab rendahnya insiden apendisitis
pada usia tersebut.1
Kejadian appendisitis saat ini adalah sekitar 100 per 100.000 orang-tahun di
Eropa / Amerika. Selama 30 tahun terakhir angka kejadian perforasi apendisitis
tidak berubah (sekitar 20 per 100.000 orang setiap tahun). Apendisitis paling
sering terjadi antara usia 10 dan 20 tahun, namun tidak ada usia yang terbebas dari
apendisitis ini. Rasio laki-laki untuk terkena apendisitis lebih besar dibandingkan
dengan wanita yaitu 1,4 : 1 serta resiko keseluruhan dalam seumur hidup untuk
terkena apendisitis sebesar 8,6% untuk pria dan 6,7% untuk wanita di Amerika
Serikat.2
Berbagai faktor risiko dapat menyebabkan apendisitis, salah satunya yang
tidak dapat dimodifikasi untuk apendisitis akut yaitu usia, jenis kelamin, dan
kelompok etnis / ras.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks versiformis dan merupakan
kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Apendisitis
disebut juga umbai cacing. Apendisitis akut merupakan peradangan pada apendiks
yang timbul mendadak dan dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris yang dapat
menimbulkan penyumbatan. Dapat terjadi pada semua umur, namun jarang
dilaporkan terjadi pada anak berusia kurang dari 1 tahun. Apendisitis akut
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang secara
umum berbahaya. Jika diagnosis terlambat ditegakkan, dapat terjadi ruptur pada
apendiks sehingga mengakibatkan terjadinya peritonitis atau terbentuknya abses
di sekitar apendiks.3

Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi dari apendisitis, salah satunya klasifikasi berdasarkan
onset terjadinya yaitu apendisitis akut dan apendisitis kronis: 3
 Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan
kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
 Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya

3
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks

4
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan adanya
sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
Berdasarkan terminologi, apendisitis diklasifikasikan sebagai berikut1:
1. Simple Appendisitis
Apendisitis yang sederhana, tanpa adanya gangren, perforasi, atau abses di
sekitar usus buntu.
2. Complicated Appendisitis
Apendisitis yang mengalami perforasi atau gangren atau adanya abses
periappendicular
3. Negative appendicectomy
Istilah yang digunakan untuk operasi yang dilakukan untuk kasus curiga
appendisitis, namun appendisitis ditemukan normal pada evaluasi histologis.

Anatomi dan Fisiologi


Apendiks adalah pemanjangan seperti cacing dari bagian sekum dan oleh
karena itu disebut apendiks vermiformis. Panjang rata-rata apendiks adalah 8-10
cm (berkisar antara 2-20 cm). Apendiks muncul selama bulan kelima kehamilan,
dan beberapa folikel limfoid tersebar di mukosanya. Folikel semacam itu
meningkat jumlahnya bila individu berusia 8-20 tahun.3
Apendiks normal terlihat di bawah ini. Bagian dalam apendiks terdapat
peritoneum viseral yang membentuk serosa, dan lapisan eksteriornya membujur
dan berasal dari taenia coli yaitu lapisan otot dalam yang dalam melingkar. Di
bawah lapisan ini terletak lapisan submukosa, yang mengandung jaringan
limfoepitel. Mukosa apendik terdiri dari epitel kolumnar dengan sedikit unsur
kelenjar dan sel argentaffin neuroendokrin. Taenia coli berkumpul di area
posteromedial sekum, yang merupakan lokasi basis apendiks. Apendiks berjalan
ke lembaran serosa peritoneum yang disebut mesoappendix, yang mana kursus
arteri apendicular, yang berasal dari arteri ileocolic. Kadang-kadang, arteri
appendicular aksesori (berasal dari arteri cecal posterior) dapat ditemukan.3

5
Arteri apendikular terkandung di dalam lipatan mesenterika yang muncul
dari perluasan peritoneal dari ileum terminal hingga bagian medial sekum dan
apendiks, Ini adalah cabang terminal arteri ileocolic dan membentang berdekatan
dengan dinding apendikular. Drainase vena adalah melalui vena ileocolic dan
vena kolik kanan ke dalam vena portal dan drainase limfatik terjadi melalui nodus
ileocolic sepanjang arteri superior mesenterika ke nodus seliaka dan cisterna
chyli.3

Gambar 2.1 Vaskularisasi Apendiks Vermiformis

Apendiks tidak memiliki posisi tetap. Posisi apendiks 1,7-2,5 cm di bawah


ileum terminal, baik di lokasi dorsomedial (paling umum) dari fundus cecal, tepat
di samping lubang ileum, atau sebagai lubang berbentuk corong (2-3% pasien).
Apendiks memiliki lokasi retrocaecal pada 65% pasien dan mungkin turun ke fosa
iliaka pada 31% pasien. Sebenarnya, banyak individu mungkin memiliki apendiks
yang terletak di ruang retrocaecal atau di panggul atau mungkin di belakang
terminal ileum, cecum, ascending colon, atau liver. Dengan demikian, perjalanan
dari apendiks, posisi ujungnya, dan perbedaan posisi appendiceal sangat
mengubah temuan klinis, yang memperhitungkan tanda dan gejala nonspesifik
dari apendisitis. 3

6
Gambar 2.2 Lokasi Apendiks Vermiformis

Epidemiologi
Kejadian appendisitis saat ini adalah sekitar 100 per 100.000 orang-tahun
di Eropa / Amerika. Selama 30 tahun terakhir angka kejadian perforasi apendisitis
tidak berubah (sekitar 20 per 100.000 orang setiap tahun). Apendisitis paling
sering terjadi antara usia 10 dan 20 tahun, namun tidak ada usia yang terbebas dari
apendisitis ini. Rasio laki-laki untuk terkena apendisitis lebih besar dibandingkan
dengan wanita yaitu 1,4 : 1 serta resiko keseluruhan dalam seumur hidup untuk
terkena apendisitis sebesar 8,6% untuk pria dan 6,7% untuk wanita di Amerika
Serikat.2
Penelitian dari Ceresoli dkk dari tahun 1997 sampai 2013 di Kota
Bergamo, Italia, dengan menggunakan studi kohort retrospektif terkumpul 16544
kasus apendisitis akut, dengan tingkat insiden kasar 89/100000 jiwa per tahun
dengan usia rata-rata adalah 24,51 tahun ± 16,17 tahun dan sebesar 54,7% adalah
laki-laki serta didapatkan mortalitas adalah <0,0001%. Kejadian apendisitis akut
menurun selama tahun-tahun mulai dari 120/105 pada tahun 1997 menjadi 73/105
pada tahun 2013 dengan nilai negatif yang signifikan secara statistik (AAPC = -
2,8, P <0,001).5

7
Gambar 2.3 Kejadian Apendisitis Akut 1997-2013 di Kota Bergamo, Italia

Dari data penelitian Ceresoli dkk menemukan angka kejadian apendisitis


akut terbanyak pada kota Bergamo, Italia terjadi pada usia 18-25 tahun dengan
distribusi menurut jenis kelamin terbanyak pada laki-laki.5

Etiologi

Appendisitis umumnya terjadi karena adanya proses radang bakteri.


Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus. Diantaranya adalah hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
Ulserasi merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada
beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya:
1. Faktor sumbatan (Obstruksi)
Obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Obstruksi terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit),
hyperplasia jaringan limfoid (60%), 35% karena statis fekal, tumor apendiks,
benda asing dalam tubuh (4%) dan cacing askaris serta parasit dapat pula
menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen
yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hyperplasia jaringan limfoid
merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Fekalit ditemukan

8
40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut
gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.1
2. Faktor bakteri
Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendisitis adalah ulserasi mukosa
apendiks oleh parasit E. Histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau
cairan mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini akan
semakin meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra
mucosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi
kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang
menghasilkan pus atau nanah pada dinding apendiks. Infeksi enterogen
merupakan faktor primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen
apendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk dan meperberat infeksi karena
terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Pada kultur dapat
ditemukan kombinasi antara Bacteriodes splanicus dan E.coli, kemudian
Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan
kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan
aerob <10%.1
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terjadinya malformasi yang herediter dari organ
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik, dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Kejadian ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makan dalam keluarga terutama diet rendah serat yang dapat mempermudah
terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.1
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih
tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun, sekarang terjadinya
sebaliknya. Bangsa kulit putih justru merubah kebiasaan makannya ke pola makan
tinggi serat. Negara berkembang yang dulu mempunyai kebiasaan makan tinggi
serat, kini beralih ke pola makan rendah serat, sehingga memiliki resiko
apendisitis yang lebih tinggi.2

9
Selain infeksi, appendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

Patofisiologi
Fungsi usus buntu tidak dipahami secara jelas, walaupun kehadiran
jaringan limfatik di atasnya menunjukkan adanya peran dalam sistem kekebalan
tubuh. Pada manusia itu dianggap sebagai organ sisa, namun gagasan ini keliru
karena peran usus buntu telah ditetapkan sebagai struktur neuroendokrin dan
imunologi.6
Kejadian patogen primer pada sebagian besar pasien dengan apendisitis
akut diyakini disebabkan oleh obstruksi luminal. Hal ini dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab, termasuk fecalith, hiperplasia limfoid, benda asing, parasit,
dan oleh tumor primer (karsinoid, adenokarsinoma, kaposi sarkoma, dan limfoma)
dan tumor metastatik (kolon dan payudara). Stasis tinja dan fecaliths merupakan
penyebab obstruksi apendiks yang paling umum, diikuti oleh hiperplasia limfoid,
bahan nabati dan biji buah, barium dari penelitian radiografi terdahulu, dan cacing
usus (terutama kucing). Prevalensi apendisitis pada remaja dan dewasa muda
menunjukkan peran patofisiologis agregasi limfoid yang banyak pada kelompok
usia ini. Menurut teori ini, penyumbatan menyebabkan peradangan, meningkatnya
tekanan intraluminal, dan akhirnya iskemia. Selanjutnya, apendiks membesar dan
memicu perubahan inflamasi pada jaringan di sekitarnya. Jika tidak diobati,
apendisitis yang meradang akhirnya megalami perforasi. Distensi cepat apendiks
terjadi karena kapasitas luminalnya yang kecil, dan tekanan intraluminal bisa
mencapai 50 sampai 65 mmHg. Kondisi apendiks ini menyebabkan pembesaran
sekum karena ileum lokal cecal, yang disebabkan oleh proses inflamasi. Isi cecal
disimpan dan tidak ditrasfer ke kolon. Adanya penampungan feses di dalam
sekum diidentifikasi dalam radiografi abdomen polos sebagai tanda spesifik
apendisitis akut. Saat tekanan luminal meningkat, tekanan vena terlampaui dan
terjadi iskemia mukosa. Setelah tekanan luminal melebihi 85 mmHg, drainase
limfatik dan vena terganggu dan iskemia berkembang. Mukosa menjadi hipoksia
dan mulai membusuk, mengakibatkan barier dinding mukosa tidak berfungsi, dan
menyebabkan invasi dinding apendiks oleh bakteri intraluminal. Sebagian besar

10
bakteri gram negatif, terutama Escherichia coli (76% kasus), diikuti Enteroccocus
(30% kasus), Bacteroides (24% kasus) dan Pseudomonas (20% kasus). Meski
menjadi logis dan mungkin benar, teori ini belum terbukti.6
Peradangan meluas ke serosa, peritoneum parietal, dan organ yang
berdekatan. Akibatnya, serat saraf aferen viseral yang masuk ke sumsum tulang
belakang pada T8 - T10 dirangsang, menyebabkan nyeri epigastrik dan
periumbilikal direpresentasikan oleh dermatom. Pada tahap ini, nyeri somatik
menggantikan rasa sakit yang dirujuk awal, dan pasien biasanya mengalami
pergeseran pada tempat nyeri maksimal ke kuadran kanan bawah. Jika dibiarkan
berkembang, aliran darah arteri akhirnya terganggu, dan terjadi infark,
mengakibatkan gangren dan perforasi, yang biasanya terjadi antara 24 dan 36 jam.
Anoreksia, mual, dan muntah biasanya diikuti saat keadaan memburuk.
Complicated Appendisitis dikaitkan dengan alel IL-6 -174 C dan TNF-α yang
dapat mempengaruhi tingkat keparahan inflamasi pada radang usus buntu.
Peningkatan ekspresi TF dan menurunnya ekspresi jalur inhibitor penyakit
berkontribusi pada trombosis mikrovaskular lokal, nekrosis jaringan, dan
gangren.6
Sekitar 95% serotonin dalam tubuh berada di saluran cerna, terutama
terletak pada sel neuroendokrin mukosa. Apendiks yang meradangan akan
mengalami peningkatakn sekresi dari jumlah serotonin di epitel (sel
enterochromaffin) dan lamina propria. Peningkatan sekresi serotonin lokal pada
usus buntu dapat memainkan peran penting dalam patogenesis peradangan.
Kejadian awal appendisitis berupa obstruksi luminal dengan berbagai etiologi.
Begitu terjadi penyumbatan, sekresi mukosa epitel meningkatkan tekanan luminal.
Sel enterochromaffin memiliki reseptor tekanan, jikia merasakan tekanan luminal
akan melepaskan 5-HT ke dalam lamina propria. Diasumsikan bahwa pelepasan
serotonin lokal memperburuk sekresi intraluminal, pembengkakan vena,
vasokonstriksi dan kontraksi otot polos, yang mengalihkan proses kongestif ke
yang inflamasi. Reseptor 5-HT3 yang melimpah pada vagal dan neuron aferen
splanchnic lainnya dan pada sel enterochromaffin memiliki peran penting dalam
menginduksi mual dan emesis.6

11
Manifestasi Klinis
Keluhan utama pada kebanyakan pasien Appendisitis akut adalah nyeri
abdomen. Awalnya nyeri yang dirasakan adalah nyeri samar-samar dan tumpul
yang merupakan nyeri visceral, akibat terjadinya hiperperistaltik untuk mengatasi
obstruksi, pada regio epigastrium dan regio umbilical. Keluhan ini sering disertai
mual (pada 61-92% pasien) dengan atau tanpa adanya muntah (atau rangsangan
visceral akibat aktivitas nervus vagus). Umumnya juga terjadi anorexia (pada 74-
78% pasien). Dalam 2-12 jam, seiring dengan iritasi peritoneal, nyeri akan
berpindah ke right lower quadrant (RLQ)/kuadran kanan bawah abdomen,
khsusnya pada titik McBurney. Pada titik ini, nyeri dirasakan lebih tajam dan pada
posisi yang lebih spesifik yang merupakan nyeri somatik lokalis. Adanya nyeri
yang berpindah ini memegang peranan penting dalam riwayat penyakit pasien
yang menuntun ke arah Appendisitis (sensitivitas dan spesifisitas mendekati
80%).7
Pada beberapa kasus Appendisitis (18% pasien) tidak dikeluhkan adanya
nyeri pada epigastrium, akan tetapi terdapat konstipasi yang menyebabkan
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan tersebut dianggap
berbahaya karena dapat mempermudah terjadinya perforasi. Sebagian besar pasien
mengalami obstipasi pada awal nyeri perut, akibat pasien takut mengejan, dan
merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Di samping itu diare juga dapat
terjadi pada beberapa pasien, terutama anak-anak. Diare dapat dikeluhkan pula
setelah terjadinya perforasi Appendix.7
Manifestasi klinis yang dikeluhkan pasien Appendisitis juga dipengaruhi
oleh variasi letak appendix. Apabila letak appendix retrocaecal retroperitoneal,
karena letaknya yang terlindung oleh caecum, keluhan nyeri kuadran kanan bawah
abdomen tidak begitu jelas dan tidak terdapat tanda rangsangan peritoneal. Rasa
nyeri lebih ke arah sisi kanan abdomen atau nyeri timbul pada saat berjalan karena
kontraksi m. psoas mayor yang menegang dari dorsal. Sementara pada appendix
yang terletak di rongga pelvis, bila terjadi peradangan, dapat menimbulkan gejala
dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum. Keadaan tersebut dapat meningkatkan
peristaltik usus, sehingga pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
terjadi berulang-ulang. Apabila appendix tersebut menempel pada kandung

12
kemih/bladder, dapat terjadi peningkatan frekuensi urinasi oleh karena
rangsangan pada dinding bladder.1,7
Durasi berlangsungnya keluhan pada pasien Appendisitis terjadi kurang dari
48 jam pada sekitar 80% orang dewasa, namun keluhan dapat berlangsung lebih
lama pada pasien lansia dan pasien dengan perforasi. Sekitar 2% pasien
dilaporkan mengalami keluhan yang berlangsung lebih dari 2 minggu.8

Diagnosis
Diagnosis Appendisitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, appendisitis harus dipikirkan
sebagai diagnosis banding pada semua pasien dengan nyeri abdomen akut yang
sesuai dengan manifestasi klinis yang telah dipaparkan, yakni mual muntah pada
keadaan awal yang diikuti dengan nyeri kuadran kanan bawah abdomen yang
makin progresif. Gejala lain yang dapat terjadi adalah demam yang tidak terlalu
tinggi, dengan temperature antara 37,5-38,5oC. Namun, apabila suhu lebih tinggi
kemungkinan terjadinya perforasi perlu dipikirkan.8
Pada pemeriksaan fisis tanda-tanda vital tidak mengalami perubahan yang
banyak pada Appendisitis yang sederhana. Kenaikan temperature jarang melebihi
10C. Kecepatan nadi dapat normal atau sedikit meningkat. Pasien Appendisitis
umumnya lebih menyukai posisi jongkok pada paha kanan, karena pada posisi
tersebut caecum akan mengalami penekanan, sehingga isi caecum akan berkurang.
Hal tersebut akan mengurangi tekanan ke arah appendix sehingga nyeri perut
berkurang. Sementara pada auskultasi, peristaltik/bising usus umumnya normal,
namun bising usus dapat menghilang oleh karena ileus paralitik pada pasien
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.9
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliac kanan, dan
dapat disertai nyeri lepas (rebound tenderness). Nyeri tekan yang maksimal
umumnya terletak pada/atau didekat titik McBurney (terjadi pada 96% pasien
Appendisitis). Nyeri tekan saat palpasi di regio kuadran kanan bawah pada titik
McBurney ini merupakan tanda paling penting pada pasien Appendisitis.
Sementara, defans muskular, nyeri tekan pada seluruh regio abdomen,
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal (m. rectus abdominis). Pada

13
Appendisitis retrocaecal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk
menentukan adanya rasa nyeri.10
Selama masa kehamilan, appendix mengalami pergeseran dengan arah
berlawanan dengan jarum jam menuju ke ginjal kanan, naik di atas iliac crest
pada usia kehamilan sekitar 4,5 bulan. Pada kehamilan trimester I, nyeri tekan
masih terpusat di kuadran kanan bawah. Oleh karena itu harus dibedakan apakah
nyeri berasal dari appendix atau uterus. Apabila penderita miring ke kiri, nyeri
akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, maka terbukti proses tersebut
bukan berasal dari appendix. Sementara pada pertengahan tahap kehamilan
selanjutnya, nyeri pada kuadran kanan atas atau nyeri pinggang harus
dipertimbangkan sebagai proses peradangan di appendix.10

Tanda khas yang dapat ditemukan pada Appendisitis akut adalah:


1. Rovsing’s Sign
Didapatkan dengan melakukan penekanan pada kuadran kiri bawah
abdomen yang akan menyebabkan refleks nyeri pada regio kuadran kanan
bawah abdomen. Tanda ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang
dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.11

Gambar 2.4 Pemeriksaan Rovsing’s sign

2. Psoas sign
Mengindikasikan adanya iritasi pada m. psoas. Tanda ini didapat dengan
rangsangan m. psoas, melalui hiperekstensi sendi panggul kanan atau
fleksi aktif sendi panggul kanan. Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan

14
kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan
panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah
anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan
musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari
peradangan Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi
rigiditas abdomen.12

Gambar 2.5 Pemeriksaan Psoas sign

3. Obturator sign
Dilakukan untuk mengetahui apakah appendix yang meradang mengalami
kontak dengan m. obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil. Tes dilakukan pada pasien posisi terlentang, tangan kanan pemeriksa
berpegangan pada telapak kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di
sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien
dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian
eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat
eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi
appendix, abscess lokal, iritasi pada m. obturatorius oleh Appendisitis
letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.11

15
Gambar 2.6 Pemeriksaan Obturator sign

4. Dunphy sign
Peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk.11
5. Rectal Toucher
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya
nyeri pada pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini
tidak spesifik untuk Appendisitis. Jika tanda-tanda Appendisitis lain telah
positif, maka pemeriksaan rectal toucher tidak diperlukan lagi. Pada
pemeriksaan rectal toucher, nyeri akan muncul ketika daerah infeksi dapat
dicapai dengan jari telunjuk. Seperti pada appendisitis pelvika, pada
pemeriksaan abdomen yang dilakukan, hasil yang didapat sering
meragukan. Oleh karena hal tersebut kunci diagnosis adalah nyeri terbatas
yang didapat sewaktu rectal toucher dilakukan.11
Pada pemeriksaan rectal toucher, umumnya didapatkan nyeri tekan positif
pada arah jam 9-12. Pada kasus Appendisitis yang mengalami komplikasi,
ampula akan teraba distensi/cenderung mengalami kolaps. Pada pasien
anak-anak, rectal toucher tidak dianjurkan untuk dikerjakan, oleh karena
appendix pada anak-anak berbentuk konus atau pendek.11

Diagnostic Scoring
Beberapa investigator telah menentukan sistem diagnostic
scoring/penilaian diagnostik untuk memprediksi diagnosis Appendisitis akut.
Dalam sistem penilaian tersebut, dijabarkan beberapa variabel klinis yang

16
relevan dari pasien dan diberikan penilaian berupa angka, kemudian nilai
tersebut dijumlahkan yang nantinya akan menuntun ke arah diagnosis. Sistem
penilaian yang sangat terkenal dan paling banyak digunakan adalah
MANTRELS score.

Tabel 1. MANTRELS score12


Characteristic Score
M = Migration of pain to the right lower quadrant 1
A = Anorexia 1
N = Nausea and vomiting 1
T = Tenderness in right lower quadrant 2
R = Rebound pain 1
E = Elevated temperature 1
L = Leukocytosis 2
S = Shift of white blood cells to the left 1
Total 10

Keterangan: - score 0-3 : unlikely Appendisitis (insiden 3,6%)  observasi


- score 4-6 : probable Appendisitis (insiden 32%)  pemberian
antibiotik dan evaluasi radiografi
- score 7-10 : highly probable Appendisitis (insiden 78%) 
pertimbangkan pembedahan
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Perkembangan studi menunjukkan bahwa 80-85% orang dewasa dengan
Appendisitis mengalami peningkatan white blood cell (WBC) count di atas
10.500/mm3. Neutrophilia lebih besar dari 75% ditemukan pada 78% pasien
dengan appendiscitis. Kurang dari 4% pasien dengan Appendisitis yang datang
dengan WBC count kurang dari 10.500/mm3 dan neutrophilia kurang dari 75%.13
Pada appendisitis akut tanpa komplikasi umumnya ditemukan leukositosis
yang berkisar antara 10.000-18.000/mm3, dengan predominan polimorfonuklear
sel (neutrophilia ≥ 75%). Apabila WBC count normal dan tidak ditemukan shift to

17
the left/pergeseran ke kiri, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain selain
Appendisitis, mengingat presentase terjadinya Appendisitis pada kondisi ini
kurang dari 4%. Pada keadaan dimana WBC count lebih dari 18.000/mm3
umumnya appendicistis sudah disertai dengan adanya komplikasi. WBC count di
atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi appendix
dengan atau tanpa abscess, atau perlu dipertimbangkan juga adanya sumber
infeksi lain.13
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis
oleh hati sebagai respon terhadap infeksi atau inflamasi. Jumlah dalam serum
meningkat dengan cepat pada 12 jam pertama terjadinya inflamasi. Nilai CRP di
atas 1 mg/dL umumnya ditemukan pada pasien dengan Appendisitis, namun nilai
CRP yang sangat tinggi pada pasien dengan kecurigaan Appendisitis
mengindikasikan perubahan menuju gangrenosa, khususnya bila disertai
leukositosi dan neutrophilia.14,15
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 1 mg/dL, hitung leukosit
≥ 10.500/mm3, dan neutrophilia ≥ 75% memiliki sensitivitas 86% dan negative
predictive value 81.14,15
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari
saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari
iritasi urethra atau vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi
appendix, pada Appendisitis akut dalam sample urine tidak akan ditemukan
adanya bakteriuria.16
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis
Appendisitis. Dalam pemeriksaan USG, appendix diidentifikasi sebagai suatu
akhiran yang kabur, bagian usus yang nonperistaltik yang berasal dari caecum.
Dengan penekanan yang maksimal, appendix diukur dalam diameter anterior-
posterior. Penilaian dikatakan positif bila (tanpa kompresi) ukuran anterior-
posterior appendix lebih dari sama dengan 7 mm. Ditemukannya appendicolith
akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari appendix normal, dengan
tekanan ringan, merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm
atau kurang. Penilaian dikatakan negatif bila appendix tidak terlihat dan tidak

18
tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendisitis akut
tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga
abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita usia
reproduktif, organ-organ panggul juga harus dinilai, baik dengan pemeriksaan
transabdominal maupun endovaginal sonografi, agar dapat menyingkirkan
penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis
Appendisitis akut dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96%
dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan
wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.17
USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada
pemakai. Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya
periAppendisitis dari peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing
(inspissated stool) yang dapat menyerupai appendicolith. Hasil USG negatif
palsu dapat terjadi bila Appendisitis terbatas hanya pada ujung appendix, letak
retrocaecal, atau bila appendix mengalami perforasi oleh karena tekanan.18

Gambar 2.7 Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendisitis18

3. Foto Polos dan CT Scan


Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendisitis akut, tetapi
dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien
Appendisitis akut, dapat terlihat gambaran udara abnormal dalam usus, hal ini
merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto

19
polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax terkadang
disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumonia lobus
kanan bawah.19
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan
radioisotop leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat
daripada USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT
Scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abscess appendix untuk melakukan
percutaneous drainage secara tepat. 19
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada
penemuan yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada caecum dan
appendix yang kosong, dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48%.
Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendisitis harus dipersiapkan untuk
pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti,
memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.19

Tabel 2. Perbandingan USG dan CT Scan Appendix pada Appendisitis 20


USG CT Scan Appendix

Sensitivitas 85% 90-100%


Spesifitas 92% 95-97%
Keuntungan  Aman
 Lebih akurat
 Relatif murah
 Lebih baik dalam
 Dapat mengidentifikasi
menyingkirkan
appendix normal,
penyakit pelvis pada
phlegmon dan
wanita
abscess
 Lebih baik pada anak-
anak
 Mahal
Kerugian  Tergantung operator
 Radiasi ionisasi
 Secara teknik tidak
 Kontras
adekuat dalam menilai
gas
 Nyeri
20
21
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Appendisitis akut pada dasarnya adalah diagnosis dari
akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu
penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi
pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses
akut di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan
yang sama seperti Appendisitis akut.
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada
umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh
Appendisitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan
menjadi lebih buruk dengan pembedahan.
Diagnosis banding Appendisitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi
anatomi dari inflamasi appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai
yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien.20
1. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah
dibedakan dengan Appendisitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah
satu infeksi akut self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai
dengan adanya diare, mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen
mendahului terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya
normal.
2. Kelainan ginekologi
Umumnya kesalahan diagnosis Appendisitis akut tertinggi pada
wanita dewasa muda disebabkan oleh kelainan ginekologi. Angka rata-rata
Apendektomi yang dilakukan pada appendix normal yang pernah dilaporkan
adalah 32%–45% pada wanita usia 15–45 tahun. Penyakit organ reproduksi
pada wanita sering dikelirukan sebagai Appendisitis, dengan urutan yang
tersering adalah pelvic inflamatory disease (PID), ruptur folikel de Graaf,
kista atau tumor ovarium, endometriosis dan ruptur kehamilan ektopik.
Laparoskopi mempunyai peranan penting dalam menentukan diagnosis.

22
 Pelvic Inflammatory Disease
Infeksi ini biasanya bilateral tapi bila yang terkena adalah tuba sebelah
kanan dapat menyerupai Appendisitis. Suhu umumnya lebih tingi daripada
Appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada
wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada vaginal toucher
(VT), akan timbul nyeri hebat dipanggul bila uterus digoyangkan (nyeri
goyang porsio). Pada wanita yang masih perawan dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan rectal toucher (RT) guna menetukan diagnosis banding.
 Ruptur Folikel de Graaf
Ovulasi sering mengakibatkan keluarnya darah dan cairan folikuler
serta nyeri yang ringan pada abdomen bagian bawah. Bila cairan sangat
banyak dan berasal dari ovarium kanan, dapat dikelirukan sebagai
Appendisitis. Nyeri yang dikeluhkan dan nyeri tekan umumnya agak difus.
Leukositosis dan demam umumnya minimal atau bahkan tidak ada. Karena
nyeri ini terjadi pada pertengahan siklus menstruasi, sering disebut
mittelschmerz. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu
dan nyeri umunya menghilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat
menetap selama dua hari.
 Kehamilan Ektopik
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Apabila ada ruptur tuba atau kehamilan ektopik terganggu, akan
timbul nyeri yang mendadak, difus di daerah pelvis dan dapat terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal toucher didapatkan nyeri dan
penonjolan cavum douglas dan pada kuldosentesis di dapatkan darah.
 Torsio Kista Ovarium
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba
massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan abdomen, vaginal toucher,
atau rectal toucher. Umumnya tidak terdapat demam. Pemeriksaan USG
dapat menetukan diagnosis.

23
 Endometriosis Eksterna
Endometrium diluar rahim akan memberikan keluhan nyeri ditempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul ditempat itu akibat
tidak ada jalan keluar.
3. Urolitiasis Pyelium/ureter Kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Pada
foto polos abdomen atau urografi intravena dapat meyakinkan diagnosis
penyakit ini. Pyelonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil,
nyeri kostovertebral disebelah kanan, dan piuria.
4. Penyakit Saluran Cerna Lainnya
 Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip
dengan Appendisitis akut. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis
dan tidak penting karena diverticulitis meckel dihubungkan dengan
komplikasi yang sama seperti Appendisitis dan memerlukan terapi yang
sama yaitu operasi segera.
 Adenitis Mesenterica Acuta
Diagnosis penyakit ini seringkali dikacaukan oleh Appendisitis akut
pada anak-anak. Hampir selalu ditemukan infeksi saluran pernafasan atas,
tetapi sekarang ini telah menurun. Nyeri biasanya kurang atau bisa lebih
difus dan rasa sakit tidak dapat ditentukan lokasinya secara tepat seperti
pada Appendisitis. Observasi selama beberapa jam bila ada kemungkinan
diagnosis adenitis mesenterica, karena adenitis mesenterica adalah penyakit
yang self limited. Namun jika meragukan, satu-satunya jalan adalah operasi
segera.
 Intususepsi
Sangat berlawanan dengan siverticulitis meckel, sehingga penting untuk
membedakan intususepsi dari Appendisitis akut karena terapinya sangat
berbeda. Umur pasien merupakan prediktor yang penting, dimana
Appendisitis sangat jarang terjadi di bawah umur 2 tahun, sedangkan
Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun.

24
Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa
berbentuk sosis dapat teraba di kuadran kanan bawah. Terapi yang dipilih
pada intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium
enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendisitis
akut sangat berbahaya.
 Chron’s disease
Manifestasi enteritis regional berupa demam, nyeri kuadran kanan
bawah, perih, dan leukositosis sering dikelirukan sebagai Appendisitis.
Selain itu, kondisi ini juga disertai diare dan anorexia. Mual dan muntah
yang jarang, dapat mengarahkan diagnosis kepada enteritis namun tidak
menyingkirkan diagnosis Appendisitis akut.
 Perforasi ulkus peptikum
Gejala perforasi ulkus peptikum menyerupai Appendisitis bila cairan
gastroduodenal mengalir ke bawah di daerah caecal. Apabila perforasi
secara spontan menutup, gejala nyeri abdomen bagian atas akan berkurang.

Penatalaksanaan
Apendektomi masih menjadi satu-satunya penanganan kuratif dari
Appendisitis, namun manajemen pasien dengan massa appendix umumnya
dapat dibagi ke dalam 3 kategori penanganan:21
1. Pasien dengan phlegmon atau abses yang masih kecil  setelah
diberikan antibiotik intravena (IV), Apendektomi dapat dikerjakan
4-6 minggu kemudian.
2. Pasien dengan abses besar yang berbatas tegas  setelah dilakukan
drainase perkutaneus dengan antibiotik IV, pasien dapat
dipulangkan dengan terpasang kateter. Apendektomi dapat
dikerjakan setelah fistula tertutup.
3. Pasien dengan abses multicomparment  pasien ini memerlukan
drainase pembedahan dini
Walaupun banyak kontroversi yang muncul pada manajemen Appendisitis
akut non-operatif, antibiotik memegang peranan penting dalam penanganan
pasien dengan kondisi ini. Antibiotik yang diberikan pada pasien Appendisitis

25
harus dipertimbangkan dapat mengcover baik kuman aerob maupun anaerob.
Lama pemeberian antibiotik tersebut nerkaitan erat dengan stadium Appendisitis
saat diagnosis ditegakkan, dengan mempertimbangkan temuan intra-operatif dan
perjalanan post-operatif. Berdasarkan beberapa studi, antibiotik propilaksis harus
diberikan sebelum Apendektomi dikerjakan. Pemberian antibiotik dapat
dihentikan ketika pasien afebrile (tidak demam) dan nilai WBC normal.21

Penanganan Pre-Operatif
Terapi cairan kristaloid IV diberikan secara agresif pada pasien dengan
tanda klinis dehidrasi atau septisemia. Pasien dengan dugaan diagnosis
Appendisitis sebaiknya tidak mendapat apapaun dari mulut (dipuasakan).
Pemberian analgesik dan antiemetik parenteral dapat dipertimbangkan
untuk kenyamanan pasien. Pemberian analgesik pada pasien nyeri abdomen yang
tidak spesifik telah menjadi perdebatan karena dapat mengaburkan temuan klinis
yang didapat. Akan tetapi, dalam 8 penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa pemberian analgesik opiod pada pasien anak dan dewasa dengan nyeri
abdomen yang tidak spesifik dinyatakan aman, dan tidak ada yang menyebutkan
pemberian analgesik tersebut mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan fisik yang
dikerjakan. Faktor yang mempengaruhi pemberian analgesia dan opioid adalah
usia lanjut dan sumber pendanaan.21
Pertimbangkan kehamilan ektopik pada wanita usia produktif. Pemeriksaan
beta human chorionic gonadotropin (beta-hCG) kualitatif perlu dikerjakan pada
semua kasus.21
Antibiotik intravena diberikan pada pasien dengan tanda septisemia dan
pada pasien yang akan menjalani laparotomy. Pemberian antibiotik pre-operatif
dikaitkan dengan penurunan infeksi pada luka post-operasi pada banyak studi
yang telah dilakukan, pemberiannya harus dikonsultasikan dengan konsulen
bedah. Antibiotik yang dipertimbangkan adalah antibiotik spektrum luas gram
negatif dan mengcover kuman anaerob.21

26
Operatif
Open Apendektomi
Apendektomi masih merupakan gold standard untuk tatalaksana
appendisitis tanpa komplikasi. Dua pendekatan utama dalam Apendektomi adalah
open Apendektomi dan Apendektomi laparoskopi.22
Open Apendektomi telah banyak dipilih sebagai pendekatan terapi
terhadap Appendisitis karena prosedurnya yang cepat dan biaya yang relatif
murah. Ribuan open Apendektomi telah dilakukan dalam dua abad terakhir.
Mortalitas dan morbiditasnya sudah mulai berkurang secara bertahap, khususnya
dalam beberapa dekade terakhir, karena antibiotik, diagnosis dini, dan
peningkatan dari segi teknik anastesi dan teknik pembedahan.22
Pasien dengan Appendisitis selalu memerlukakan penanganan yang tepat.
Apendektomi dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat nyeri abdomen yang
persisten, demam, dan adanya tanda klinis peritonitis terlokalisir atau difuse,
khususnya bila disertai leukositosis.22
Open Apendektomi dilakukan dengan insisi tranversal pada kuadran kanan
bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney). Pada diagnosis
yang belum jelas, dapat dilakukan insisi subumbilikal pada garis tengah.22

Apendektomi Laparoskopi
Awalnya dikerjakan pada tahun 1987, Apendektomi laparoskopi sudah
dikerjakan pada ribuan pasien dan dengan tingkat keberhasilan 90-94%.
Apendektomi laparoskopi juga dikabarkan berhasil dikerjakan pada 90% kasus
appendictis perforasi. Akan tetapi, prosedur ini kontraindikasi pada pasien dengan
perlekatan intra-abdomen yang signifikan.23
Berdasarkan guideline Society of American Gastrointestinal and
Endoscopic Surgeons (SAGES) tahun 2010, indikasi dilakukannya Apendektomi
laparoskopi identik dengan open Apendektomi. Kondisi yang mendukung untuk
dilakukannya Apendektomi laparoskopi menurut SAGES guideline adalah:23
 Appendisitis tanpa komplikasi
 Appendisitis pada pasien pediatri
 Kecurigaan Appendisitis pada wanita hamil

27
Keuntungan dari Apendektomi laparoskopi diantaranya kepuasan dari
segi kosmetik dan penurunan angka infeksi pada luka post-operatif. Beberapa
studi juga menjelaskan bahwa Apendektomi laparoskopi mengurangi waktu rawat
inap di rumah sakit dan periode konvalesen dibandingkan dengan open
Apendektomi.23
Kerugian dari Apendektomi laparoskopi adalah peningkatan biaya dan
waktu operasi yang lebih lama, sekitar 20 menit lebih lama dibandingkan open
Apendektomi, akan tetapi waktu pengerjaan dapat lebih singkat seiring dengan
meningkatnya pengalaman operator dengan teknik laparoskopi.23

Penanganan Post-Operatif
Observasi tanda vital dilakukan untuk mengantisipasi adanya perdarahan
dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Pasien dibaringkan pada
posisi fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan
perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali
normal. Secara bertahap pasien diberi minum, makanan saring, makanan lunak,
dan makanan biasa.22
Antibiotik intravena juga diberikan post-operatif. Pemberian jenis
antibiotik tergantung pada mikrobio dan pola resistensi setempat sehingga
pemilihannya bergantung pada keputusan ahli bedah. Lama pemberian antibiotik
tergantung pada temuan intra-operatif dan keadaan pasien post-operatif (recovery
pasien). Pada appendisitis dengan komplikasi, pemberian antibiotik diperlukan
untuk beberapa hari atau minggu. Antiemetik dan analgesik juga diberikan pada
pasien yang mengalami mual dan nyeri pada luka operasi.22

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada appendix yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan appendix,
caecum, dan lekuk usus halus. Komplikasi appendicstis juga dapat meliputi
perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat
menimbulkan kematian. Selain itu, komplikasi juga dapat terjadi akibat tidakan

28
operatif. Sebagian besar komplikasi yang mengikuti Apendektomi adalah
komplikasi prosedur intra-abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai,
diantaranya infeksi luka operatif, abses residual, sumbatan usus akut, ileus
paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari
mesenterium appendix.23

Prognosis
Appendisitis akut merupakan penyebab paling sering untuk dilakukannya
pembedahan abdomen. Diagnosis dan penanganan yang terlambat dapat
meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Keseluruhan angka mortalitas (0.2%-
0.8%) datang dari komplikasi penyakit daripada intervensi bedah yang dilakukan.
Mortalitas pada anak-anak antara 0.1%-1%; pada pasien di atas 70 tahun, angka
mortalitas naik di atas 20%, terutama akibat keterlambatan diagnosis dan
penanganan.24
Appendisitis perforasi berkaitan dengan peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas, dibandingkan dengan Appendisitis non-perforasi. Resiko mortalitas
Appendisitis akut non-gangrenosa kurang dari 0,1%, tetapi meningkat menjadi
0,6% pada Appendisitis gangrenosa. Persentase terjadinya perforasi berkisar
antara 16-40%, dengan frekuensi lebih besar terjadi pada kelompok usia muda
(40-57%) dan pada pasien di atas 50 tahun (55-70%), yang umumnya karena
kesalahan diagnosis dan keterlambatan diagnosis. Komplikasi terjadi pada 1-5%
pasien dengan Appendisitis, dan infeksi luka post-operatif memegang peranan
dalam sepertiga jumlah morbiditas tersebut.24

29
30

Anda mungkin juga menyukai