Anda di halaman 1dari 2

Penentuan kadar sampel vitamin C sebanyak 500 mg dilakukan dengan menggunakan

titrasi iodimetri yang memiliki prinsip reaksi reduksi-oksidasi. Larutan I2 digunakan sebagai
pentiter yang sebelumnya telah distandardisasi oleh larutan arsentrioksida.
Pembuatan larutan I2 dilakukan dengan melarutkan KI sebanyak 2,7 gr ke dalam 15 mL
aquadest kemudian ditambahkan I sebanyak 1,9 gr. Penambahan KI pada iodum dikarenakan
karakteristik kelarutan iodum yang sukar larut dalam air (3500 bagian air) namun sangat
mudah larut dalam larutan KI. Tingkat kelarutan yang tinggi terhadap larutan KI dikarenakan
iodum akan membentuk I3-. Kelarutan iodum pada KI berbanding lurus dengan tingkat
kepekatan larutan KI diakibatkan iodum akan lebih larut dalam larutan yang mengandung ion
iodida. Larutan yang dihasilkan dari penambahan kalium iodida ini mempunyai tekanan uap
yang jauh lebih rendah dibandingkan larutan iodum dalam air murni, akibatnya kehilangan
kadar oleh penguapan menjadi sangat berkurang.
Larutan I2 bersifat tidak stabil (larutan baku sekunder) sehingga perlu adanya proses
standardisasi oleh larutan baku primer. Ketidakstabilan larutan I2 dikarenakan sifatnya yang
higroskopis (mudah menguap) akibat memiliki tekanan uap yang cukup tinggi. Larutan I 2
juga sangat mudah teroksidasi oleh cahaya sehingga dalam proses standardisasi, larutan I 2
harus ditutupi oleh plastik berwarna gelap. Standardisasi larutan I 2 dilakukan dengan proses
titrasi oleh larutan baku primer arsentrioksida. Arsentrioksida merupakan larutan baku primer
yang baik dan paling sering dipergunakan. Senyawa ini stabil, non-higroskopis dan tersedia
dengan tingkat kemurnian yang tinggi.
Pembuatan larutan baku arsentriosida dilakukan dengan melarutkannya ke dalam larutan
NaOH dikarenakan arsentrioksida mudah larut dalan larutan NaOH. Kemudian diencerkan
dengan aquadest serta ditambahkan HCl 6 N, penambahan HCl ditujukan agar proses reaksi
berlangsung cepat. Pemberian indikator amilum lalu larutan I2 dititrasi dengan arsentrioksida.
Setelah larutan I2 distandardisasi oleh arsentrioksida maka larutan I 2 sudah bisa digunakan
untuk titrasi iodimetri terhadap sampel vitamin C yang dianalisis kadarnya. Prinsip titrasi
iodimetri adalah reaksi redoks dimana larutan I2 bertindak sebagai pentiter merupakan
oksidator yang akan mengoksidasi zat yang memiliki potensial reduksi yang lebih kecil atau
reduktor kuat dalam hal ini vitamin C. Indikator yang digunakan adalah amilum yang akan
memberikan warna biru tua pada sampel yang dititrasi ketika titrasi mencapai titik akhir. Hal
ini dikarenakan indikator amilum memiliki unit glukosa yang dapat membentuk rantai heliks
karena adanya ikatan konfigurasi pada tiap unit glukosanya. Ikatan konfigurasi pada amilum

dapat membentuk kompleks dengan molekul iodium yang dapat masuk ke dalam bentuk
spiralnya yang menimbulkan warna biru tua pada kompleks yang terbentuk.
Pada hasil percobaan didapatkan kadar vitamin C yakni 210,99 %. Hal ini tidak sesuai
teori yang menyatakan kadar vitamin C sangat mudah berkurang akibat kontak dengan udara
atau lingkungan. Ketidaksesuaian yang terjadi dapat diakibatkan oleh kurang tepatnya proses
standardisasi larutan I2 yang dijadikan sebagai pentiter. Pada proses standardisasi larutan I 2
oleh

larutan baku primer arsentrioksida tidak ditambahkan dengan natrium bikarbonat.

Menurut Farmakope Indonesia Edisi III halaman 746 natrium bikarbonat ditambahkan dalam
proses standardisasi larutan I2 sebanyak 2 gram. Reaksi antara arsentriosida dan larutan I2
merupakan reaksi reversible yakni :
HAsO2 + I2 + 2H2O H3AsO4 + 2H+ + 2I
Nilai konstanta kesetimbangan untuk reaksi ini adalah 0,17 karena itu reaksi ini tidak berjalan
sampai selesai pada titik ekivalen. Namun demikian, jika konsentrasi ion hidrogen
diturunkan, reaksi dipaksa bergeser kekanan dan dapat dibuat cukup lengkap sehingga bisa
digunakan untuk titrasi. Larutan yang dihasilkan biasanya disangga pada pH sedikit diatas 8
menggunakan natrium bikarbonat yaitu suatu larutan buffer yang digunakan untuk
mempertahankan pH yang tepat. Dikarenakan pH yang kurang tepat akibat tidak
ditambahkannya natrium bikarbonat, kadar vitamin C yang didapatkan lebih dari 200 %.
Kadar yang didapatkan tidak sesuai dengan standar kadar asam askorbat yang terdapat pada
Farmakope Indonesia Edisi IV yang menyatakan bahwa kadar asam askorbat tidak kurang
dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5%.

Anda mungkin juga menyukai