Anda di halaman 1dari 3

Kartun Indonesia

Tahun 1930 surat kabar besar Sin Po1 setiap minggu memuat komik strip dengan

menampilkan lelucon yang berjiwa timur. Tahun 1931, komikus muda Kho Wang Gie

membuat petualangan tokoh jenaka yang diberi nama Put On, dimuat setiap minggu

dalam surat kabar Sin Po bersama dengan kartun Bangvrouw. Put On digambarkan

sebagai si gendut yang baik hati, tetapi bodoh, yang sok pintar namun selalu gagal. Tahun

1939 di Solo tepatnya dalam mingguan Ratu Adil muncul kartun strip yang menjadi

kartun “Mencari Putri Hijau” yang dibuat oleh Nasrun A.S, kartun ini merupakan kartun

strip lokal pertama di Solo. Tahun 19422; yakni pada masa pendudukan Jepang dalam

mingguan Star Magazine terdapat kartun “Si Tolol” buatan Keng Po, selain itu muncul

tokoh Pek Loeloer yang dimuat di harian Sinar Matahari dan bung Nas di majalah

Poestaka Timoer. Pasca Perang Dunia II sebuah mingguan yang bernama Star Weekly,

menampilkan tokoh komik yang bernama “Oh Koen”.

Akhir tahun 1950-an sampai awal tahun 1960-an, surat kabar Bintang Timur yang

dikenal sebagai surat kabar berhaluan kiri, menerbitkan kartun-kartun editorial karya

Sibarani Delsy Syamsuar (Setiawan, 2002:4). Tahun 1967 harian Kompas mulai

menerbitkan kartun politik karya G.M Sudarta yang cukup dikenal dengan tokoh ‘Oom

Pasikom’, ia mengawali kartun-kartunnya dalam bentuk kartun lepas dan belum

mempunyai tokoh tetap. Perkembangan selanjutnya tahun 1970-an3 Johnny Hidayat

menerbitkan tokoh “Djon Domino” yang mengangkat masalah-masalah sosial dalam

bentuk dialog masyarakat yang merasa dirinya termarginalkan.

1
Harian ini merupakan media komunikasi untuk masyarakat Cina yang berbahasa Malayu.
2
Pada masa itu pers diberangus dan dimanfaatkan sebagai media propaganda Asia Timur Raya.
3
Pada masa itu hampir semua koran dan majalah di Indonesia memuat kartun.
G.M Sudharta, Priyanto S., Tarcisius Sutanto, Prika, Pramono, Gesi Goran, Herry

Wibowo, R. Gatot Eko Cahyono, Kadek merupakan sebagian kartunis nasional yang

telah mempunyai tempat tetap di berbagai media. Keberadaan mereka dapat dikatakan

penting dalam mewarnai dan memberi karakter atas dunia kartun nasional. Selain itu, ada

beberapa nama yang kartunis yang berkiprah dalam jalur seni murni misalnya Wagiono,

Prinka, Gendut Riyanto dan Harsono (Marianto dalam Indarto, 1999:14).

Perkembangan kartun dan karikatur lebih baik ketimbang komik khususnya

komik lokal. Perkumpulan kartunis di Indonesia bahkan menjadi sindikat tersendiri

seperti Kelompok Kartunis Kaliwungu yang disebut Kokkang. Sindikat yang bergerak

sejak awal 1980-an ketika media cetak memberi perhatian cukup besar pada kartun ini

memiliki akses cukup kuat sehingga karya-karyanya mendominasi banyak media massa.

Beberapa nama kartunis asal Kelompok Kartunis Kaliwungu atau Kokkang yang

menjadi kartunis dan ilustrator tetap dibeberapa media massa, diantaranya: M. Najib

(Majalah Gamma, Harian Rakyat Merdeka dan Harian Radar Glodok), M. Nasir (Tabloid

Bola), Wawan Bastian (Tabloid Aura), Ifoed (Freelance di Tabloid Cempaka Minggu

ini), Djoko Susilo (Harian Suara Merdeka), Wahyu Kokkang (grup Jawa Pos) dan lain-

lain.

Kurangnya perhatian terhadap komik dalam wacana di tanah air berdampak

pada susahnya memunculkan kritikus dan pengamat yang serius. Buku telaah tentang

komik atau kartun pun minim. Sampai kini yang baru terbit hanya beberapa judul,

misalnya Komik Indonesia (Marcel Bonneff, 1998), Karikatur dan Politik (Augustin

Sibarani, 2001), Menakar Panji Koming (Muhammad Nashir Setiawan, 2002) dan Kartun

(I Dewa Putu Wijana, 2004). Selebihnya hanya tinjauan singkat yang ”nyempil” sebagai
pengantar buku komik dan kartun saja seperti Wimar Witoelar (Lagak Jakarta), Seno

Gumira Ajidarma (Sebuah Tebusan Dosa, Teguh Santosa), Goenawan Mohamad

(Palestina, Joe Sacco edisi Indonesia terbitan Mizan 2003), dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai