Anda di halaman 1dari 16

REFRAT LIMFADENITIS TB

Oleh
Rizky Ramadhan NW
4111131015

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDRAL ACHMAD YANI
2015

SKENARIO AWAL

Seorang perempuan 37 tahun, berobat ke poliklinik Saudara dengan keluhan utama benjolan
di leher sebelah kanan. Benjolan ada 3 buah, dirasakan pada leher sebelah kanan sejak 1
bulan, tidak nyeri dan terasa makin membesar, awalnya sebesar kacang hijau dan sekarang
kurang lebih sebesar kelereng, sedangkan yang dua lagi lebih kecil, tidak kemerahan.
Tidak didapatkan benjolan di tempat lain. Pasien juga merasakan adanya meriang terutama
malam hari disertai keringat malam, kadang mengigil dan lemah badan serta penurunan berat
badan sekitar 3 kg dalam satu bulan terakhir, makan dan aktivitas seperti biasa. Tidak pernah
batuk lama maupun batuk darah. Tidak sedang minum obat-obatan. Penglihatan tidak
berkunang-kunang atau cepat capek bila melakukan aktivitas.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:

Kesadaran
Tanda vital
Mata
Leher

Thorax
Extremitas

: CM, Kesan sakit : ringan


: T. 120/80 mg%, N. 84 x/menit, R. 20 x/menit, S. 36,80 C
: conjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
: Kelenjar getah bening a/r supraclavicula dextra teraba tiga buah 1
1,5 cm, kenyal, mudah digerakkan dari dasar dan menempel ke kulit
di
atasnya, Nyeri (-)
: Jantung /Paru tidak ada kelainan
Hepar/Lien tak teraba
: tidak ada kelainan (Kgb axilla dan inguinal tak teraba)

Laboratorium:
Hb 12,5 gr%. Ht 38%, Lekosit 5400/mm3, Thrombosit 250.000/mm3 LED 45/60 mm
Foto thorax : cor/pulmo t.a.k
SKENARIO TAMBAHAN
Pasien dirujuk ke dr Spesialis Pathologi Anatomi, untuk pemeriksaan FNAB.
Hasil PA/FNAB: ditemukan granuloma yaitu kumpulan dari sel-sel epithelioid
(modifikasi sel
histiosit. latar belakang dari sediaan apus tampak kotor karena
adanya massa
nekrosis (kaseosa). Dijumpai sel datia (multinucleated giant cell )
Langhans.

OVERVIEW

Data

Keterangan

Perempuan, 37 tahun
KU: Benjolan di leher sebelah kanan
Benjolan ada 3 buah

Dirasakan sejak 1 bulan yl


Awalnya sebesar kacang hijau dan
sekarang sebesar kelereng, yang dua
lagi lebih kecil, tidak kemerahan
Tidak ada benjolan di tempat lain

Onset penyakit kronis


Limfadenopati lokalisata

Gejala khas limfadenitis TB

Menandakan TB ekstrapulmoner

Gejala bukan disebabkan oleh obatobatan (co: alopurinol, atenolol,


kaptopril, karbamazepin,dll)

Belum ada komplikasi Anemia

Kesadaran: Composmentis, Kesan:


Sakit ringan
TV: TD 120/80 mg%, N 84x/menit, R
20x/menit, S 36,80 C
Leher: Kelenjar getah bening a/r
supraclavicula dextra teraba tiga buah
1-1,5
cm,
kenyal,
mudah
digerakkan dari dasar dan menempel
ke
kulit diatasnya, Nyeri (-)
Thorax : Jantung /Paru tidak ada
kelainan, Hepar/Lien tak teraba
Extremitas
: tidak ada kelainan
(Kgb axilla dan inguinal tak teraba)
Pemeriksaan Laboratorium

Tampak sakit ringan

Dalam batas normal

Tanda khas limfadenopati,


disebabkan oleh tuberkulosis

Normal

Normal

Hb 12,5 gr%
Ht 38%
Lekosit 5400/mm3,
Thrombosit 250.000/mm3

Normal (N: 12,0 15,0 gr%)


Normal (N: 37 47%)
Normal (N: 4500 10.000/mm3)
Normal (N:150.000 400.000/mm3)

Meriang terutama saat malam hari


disertai keringat malam
Menggigil dan lemah badan
Penurunan BB sekitar 3 kg dalam 1
bulan terakhir
Tidak batuk lama maupun batuk
berdarah
Tidak sedang minum obat-obatan
Penglihatan tidak berkunang-kunang
atau cepat capek saat melakukan
aktivitas
Pemeriksaan Fisik

Insidensi Epidemiologi usia 30-40


tahun
Pembesaran kelenjar getah bening
dan pembengkakan kelenjar tiroid

dapat

LED 45/60 mm
Pemeriksaan Penunjang
-

Foto thorax : cor/pulmo t.a.k


PA/FNAB: ditemukan granuloma,
sel datia (multinucleated giant cell )
Langhans

Diagnosis Banding : 1. Limfadenitis Tuberkulosa


2. Limfoma Non hodgkin
3. Limfoma hodgkin
Diagnosis Kerja

CONCEPT MAP

: Limfadenitis Tuberkulosa

Meningkat karena adanya nekrosis

Normal
Tanda Khas dari Limfadenitis TB di
lihat dari Gambaran Patologi Anatomi

DEFINISI
Limfadenitis adalah peradangan pada kelenjar getah bening yang terjadi akibat
terjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan pada kelenjar getah
bening regioner dari lesi primer. Limfadenitis TB atau TB kelenjar getah bening termasuk
salah satu penyakit TB di luar paru (Tb-extraparu). Penyakit ini disebabkan oleh
M.tuberkulosis, kemudian dilaporkan ditemukan berbagai spesies M. Atipik.1,2
ANATOMI

Sistem limfatik (lymphatic system) atau sistem getah bening membawa cairan dan
protein yang hilang kembali ke darah .Cairan memasuki sistem ini dengan cara berdifusi ke
dalam kapiler limfa kecil yang terjalin di antara kapiler-kapiler sistem kardiovaskuler.
Apabila suda berada dalam sistem limfatik, cairan itu disebut limfa (lymph) atau getah
bening, komposisinya kira-kira sama dengan komposisi cairan interstisial. Sistem limfatik
mengalirkan isinya ke dalam sistem sirkulasi di dekat persambungan vena cava dengan
atrium kanan.
Di sepanjang pembuluh limfa terdapat organ yang disebut nodus (simpul) limfa
(lymph node) atau nodus getah bening yang menyaring limfa. Di dalam nodus limfa terdapat
jaringan ikat yang berbentuk seperti sarang lebah denagn ruang-ruang yang penuh dengan sel
darah putih. Sel-sel darah putih tersebut berfungsi untuk menyerang virus dan bakteri. Organorgan limfa diantanya kelenjar getah bening (limfonodus), tonsil, tymus, limpa ( spleen atau
lien) , limfonodulus.
System limfe terdiri dari pembuluh limfe, nodus limfatik, organ limfatik, nodul
limfatik, sel limfatik. Pembuluh limfe merupakan muara kapiler limfe, menyerupai vena kecil
yang terdiri atas 3 lapis dan mempunyai katup pada lumen yang mencegah cairan limfe
kembali ke jaringan. Kontraksi otot yang berdekatan juga mencegah limfe keluar dari
pembuluh.
Systema lymphatica memiliki tiga fungsi utama yaitu:
1. mengumpulkan dan mengembalikan cairan interstisiil, termasuk protein plasma ke darah,
sehingga membantu mempertahankan keseimbanngan cairan (fluid balance).
2. mempertahankan tubuh terhadap penyakit dengan memproduksi limfosit.
3. menyerap lemak dari intestinum dan membawanya ke darah.

Systema lymphatica hanya berkembang pada vertebrata kelas tinggi yang telah
memiliki sistem vaskuler yang baik. Tekanan intravaskuler dari sistem ini sangat tergantung
pada kelancaran transport darah.
Aliran limfatik
Saluran limfe merupakan saluran berdinding tipis yang tersusun atas endotelium,
berkatup, dan hanya terdiri atas satu aliran saja yang bergabung membentuk duktus
thoracicus dan duktus limfatikus dekster. Pada ductus thoracicus. Ductus thoracicus ini
dimulai dari sebuah perluasan yang dinamakn systerna cycli. pada ductus thoracicus ini
menerima limfe dari isi badan dari seluruh pasangan belakang dari dinding dada, dinding
perut, daerah bahu sebelah kiri, leher sebelah kiri dan kepala sebelah kiri.
Sedangkan untuk truncus lymphaticus dexter, pangkalnya menreima limfe dari
sebagian besar dinidng dada sebelah kanan, kepala sebelah kanan, leher sebelah kanan dan
bahu sebelah kanan, kelenjar limfe yang ada ditempat semuanya itu berkumpul di kelenjar
limfe sebelah kanan, yang tereltak didekat pintu masuk dada., dari perkumpulan tersebut
terdiri dari 3-4 pangkal, dan akhirnya menjadi satu yaitu ductus lymphaticus dexter,
kemudian saluran limfe bermuara ke vena jugularis interna dan vena subklavia sinistra dan
vena jugularis interna dekstra.
Saluran limfe terdapat hampir pada semua organ kecuali pada saraf dan sumsum
tulang. Nodus limfatikus merupakan jendolan pada saluran limfe yang berfungsi untuk
memproduksi limfosit, filter penyakit infeksi. Lympha bagian dari sistem limfatik dan
sirkulasi, memproduksi limfosit dan menghancurkan eritrosit.

MIKROBIOLOGI
(Mycobacterium tuberculosis)

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak


berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4
mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complexwaxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan
peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosisbersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan larutan asam alkohol
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan
spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigenM.
tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,
protein MTP 40 dan lain lain.

ETIOLOGI
Limfadenitis TB disebabkan oleh M.tuberculosis complex, yaitu M.tuberculosis (pada
manusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti dan M.caprae. Secara mikrobiologi,
M.tuberculosis merupakan basil tahan asam yang dapat dilihat dengan pewarnaan ZiehlNeelsen atau Kinyoun-Gabbett. Pada pewarnaan tahan asam akan terlihat kuman berwarna
merah berbentuk batang halus berukuran 3 x 0,5m. M.tuberculosis dapat tumbuh dengan
energi yang diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO 2 dapat merangsang

pertumbuhan. M.tuberculosis merupakan mikroba kecil seperti batang yang tahan terhadap
desinfektan lemah dan bertahan hidup pada kondisi yang kering hingga berminggu-minggu,
tetapi hanya dapat tumbuh di dalam organisme hospes. Kuman akan mati pada suhu 600C
selama 15-20 menit, Pada suhu 300 atau 400-450C sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat
tumbuh. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman. Daya tahan kuman
M.tuberculosis lebih besar dibandingkan dengan kuman lainnya karena sifat hidrofobik pada
permukaan selnya. Kuman ini tahan terhadap asam, alkali dan 5 zat warna malakit. Pada
sputum yang melekat pada debu dapat tahan hidup selama 8-10 hari. M.tuberculosis dapat
dibunuh dengan pasteurisasi.

PATOFISIOLOGI
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan
TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer
dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak
sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-primer
(sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa,
walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010).
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai
TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering
diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih,
tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium. TB primer terjadi pada saat seseorang
pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk
ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh
makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati
difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi
dalam
makrofag sehingga basil TB akan dapat
menyebar
secara
limfogen,
perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.
Demikian itu, patogenesis Lifadenitis tuberkulosis inguinalis terisolasi dapat
dijelaskan oleh reaktivasi lokal infeksi dormant, akibat dari penyebaran limfogen
Mycobacterium dari fokus paru subklinis. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara
limfogen menuju kelenjar limfe regional hilus , dimana penyebaran basil TB tersebut
akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan
kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3
4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan
membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag
membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama
dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon.
Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon
berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap
basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi
basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).Jika terjadi reaktivasi atau

reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut
dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB
lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa).
Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama
melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe
hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB
pada parenkim paru (Mohapatra, 2009). Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar
limfe tanpa terlebih dahulu sebelum menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di
mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil
TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar
limfe di leher (Datta, 2004).
Peningkatan ukuran nodus mungkin disebabkan oleh berikut: 1.Multiplication sel dalam
node, termasuk limfosit, plasma sel, monosit, atau histiosit 2.Infiltrasi sel-sel dari luar nodus,
misalnya sel ganas atau neutrofil.3.Drainase sumber infeksi oleh kelenjar getah bening.

GEJALA KLINIS
Limfadenitis TB ekstremitas bawah ini sering di kelenjar getah bening inguinalis
lateralis dan femoralis.Ukuran nodus membesar dan harus berhati-hati karena yang tercatat
meningkat tajam dalam ukuran dapat menunjukkan potensi untuk keganasan. Bentuk nodus
limfa biasanya satu,namun beberapa kelenjar bisa berkonfluensi. Konsistensi mungkin
termasuk kusut, fluksus, tegas, kenyal, atau keras. Dalam tahap awal, nodus dalam
tuberkulosis adalahg dengan berbatas tegas, mobil, tidak lembut, dan tegas. Jika infeksi tetap
tidak diobati, nodus melunakkan, menjadi fluksus, dan melekat pada kulit yang mungkin
menjadi eritematus. Pada nodus-nodus multiple,perlunakan tidak serentak. Jika terjadi abses,
abses lanjut menjadi fistel multipel berubah menjadi ulkus- ulkus khas : bentuk tidak teratur,
sekitar livide,dinding bergaung, jaringan granulasi tertutup pus seropurulen, krusta kuningsikatriks memanjang, tidak teratur. Fiksasi kelenjar getah bening pada kulit dan jaringan
lunak dapat berarti keganasan. Kulit atasnya mungkin eritematus dalam etiologi infeksi.
Sinus drainase dapat berkembang pada pasien dengan adenopati tuberkulosis. Gejala seperti
penyakit saluran pernafasan atas, sakit tenggorokan, otalgia, coryza, konjungtivitis, dan
impetigo sering ditemukan ditambah dengan demam, iritabilitas dan anoreksia. Limfadenitis
bisa terjadi tanpa radang akut.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis definitif adalah dengan kultur atau amplifikasi nucleic amplifikasi
Mycobacterium tuberculosis; demonstrasi basil tahan asam dan peradangan granulomatosa
dapat membantu. Biopsi eksisional memiliki kepekaan tertinggi pada 80%, tetapi aspirasi
jarum kurang invasif dan mungkin berguna, terutama pada hos dengan immunitas rendag dan
pengaturan sumber daya terbatas.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukakan termasuk:


1. Pemeriksaan Laboratorium
Peningkatan laju endap darah (LED) dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal
ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Newanda (2009) melaporkan 144 anak
dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33% anak dengan laju endap darah
yang normal.
Uji Mantoux positif
Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis
tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses.
Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay)
dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan
negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan endemis
tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi kasus
tuberkulosis aktif.
Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) masih terus dikembangkan.
Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan
nucleotida tertentu pada fragmen DNA, amplifikasi menggunakan DNA
polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan
gel. Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan
10 basil permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil
permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan
bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh
setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu
sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC (Becton Dickinson
Diagnostic Instrument System). Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan
dalam 7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain,
masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif
maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya.
2. Bakteriologis
Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan
yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan radiologis
secara mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan spesimen
dengan jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan ZiehlNielsen membutuhkan 104 basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan
103 basil per mililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan
bakteriologis adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6
minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya. Saat ini mulai
dipergunakan sistem BACTEC (Becton Dickinson Diagnostic Intrument System).
Dengan sistem ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari. Kendala yang sering
timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena
sistem ini memakai zat radioaktif. Untuk itu dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa
radioaktifnya.

EPIDEMIOLOGI
Limfadenitis tuberkulosis perifer merangkum ~ 10% dari kasus-kasus tuberkulosis di
Amerika Serikat. Karakteristik epidemiologi termasuk perbandingan 1.4:1 untuk perempuan
kepada laki-laki , memuncak pada rentang usia 30-40 tahun, dan dominan untuk pendatang
asing, terutama Asia Timur.
Tinjauan literatur menunjukkan limfadenopati servikal menjadi predileksi paling
sering untuk limfadenitis TB diikuti oleh limfadenopati aksilaris dan limfadenopati sangat
jarang di lokasi inguinal. Insiden kelompok leher terlibat dalam 74% - 90% kasus, kelompok
aksilaris dalam 14%-20% kasus dan kelompok inguinal dalam 4-8% kasus. Satu studi di India
yang dilakukan di Orissa menunjukkan bahwa keterlibatan nodus limfa inguinal adalah lebih
umum daripada limfadenopati. Aksilaris. Keterlibatan kelompok nodus limfa inguinal ini juga
sering di kelompok etnis Igbos di Nigeria.

KOMPLIKASI
1. Abses
2. Fistula

FARMAKOLOGI
Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian,
farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan pembedahan,
sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan
tuberkulosis paru. Pembedahan tidaklah merupakan suatu pilihan terapi yang utama, karena
pembedahan tidak memberikan keuntungan tambahan dibandingkan terapi farmakologis
biasa. Namun pembedahan dapat dipertimbangkan seperti prosedur dibawah ini:

Biopsy eksisional: Limfadenitis yang disebabkan oleh atypical mycobacteria bisa


mengubah nilai kosmetik dengan bedah eksisi.

Aspirasi

Insisi dan drainase

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengklasifikasikan limfadenitis TB ke dalam


TB di luar paru dengan paduan obat 2RHZE/10RH. British Thoracic Society Research
Committee and Compbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam
regimen 2RHE/7RH.

Ada 2 (dua) kategori Obat Anti Tuberkulosa (OAT):


1. OAT Utama (first-line Antituberculosis Drugs), yang dibagi menjadi dua (dua) jenis
berdasarkan sifatnya yaitu:
a.

Bakterisidal, termasuk dalam golongan ini adalah INH, rifampisin, pirazinamid dan
streptomisin.

b.

Bakteriostatik, yaitu etambutol.


Kelima obat tersebut di atas termasuk OAT utama

2. OAT sekunder (second Antituberculosis Drugs), terdiri dari Para-aminosalicylicAcid


(PAS), ethionamid, sikloserin, kanamisin dan kapreomisin. OAT sekunder ini selain
kurang efektif juga lebih toksik, sehingga kurang dipakai lagi.
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah:

Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam


bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai
dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap

OAT.
Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan
dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang

Pengawas Menelan Obat (PMO).


Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.


Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya

penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.


Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga


mencegah terjadinya kekambuhan

Regimen pengobatan yang digunakan adalah:

Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu

selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk:


Penderita baru TB Paru BTA Positif.
Penderita baru TB Paru BTA negatif Rntgen Positif yang sakit berat
Penderita TB Ekstra Paru berat
Kategori 3 (2HRZ/4H3R3).Obat ini diberikan untuk:
Penderita baru BTA negatif dan rntgen positif sakit ringan,
Penderita TB ekstra paru ringan.

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan
dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu.
Kategori 1
Tahap

Lamanya

Pengobatan

Pengobatan

Tahap intensif (dosis 2 bulan

Dosis per hari/kali


Tablet
Kaplet

Tablet

Tablet

Isoniazid

Rifampicin

Pirazinamid

Etambutol

@ 300 mg
1

@ 450 mg
1

@ 500 mg
3

@ 250 mg
3

-----

-----

harian)
Tahap lanjutan (dosis 4 bulan
3x seminggu)
Kategori 3
Tahap

Lama

Tablet Isoniazid Tablet

Tablet

Pengobatan

Pengobatan

@ 300 mg

Rifampicin

Pirezinamid

intensif 2 bulan

@450 mg
1

500 mg
3

(dosis harian)
Tahap lanjutan 4 bulan

-------

Tahap

(dosis
seminggu)

3x

ASPEK BIOETIKA DAN HUMANIORA

1. Medical indication : Dokter diharapkan mampu menegakkan diagnosis Limfadenitis


Tuberkulosa pada pasien ini melalui anamnesis pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang yang diperlukan. Serta memberikan penganan dan pengobatan secara
proposional, hal tersebut sesuai dengan KDM BENEFICENCE (goldenrule
principle)
2. Quality of life : Dokter diharapkan mampu menilai prognosis Limfadenitis
tuberkulosa pada pasien tersebut, hal tersebut sesuai dengan KDM BENEFICENCE.
3. Patient Preferences : Dokter diharapkan mampu menghargai hak - hak pasien hal
tersebut sesuai KDM AUTONOMI.
4. Contextual features : Dokter diharapkan dapat memahami keragaman sosial budaya
pasien serta kepercayaan pasien yang dapat mempengaruhi keputusan pasien hal
tersebut sesuai dengan KDM JUSTICE.
DAFTAR PUSTAKA

1.

Spelman, D., 2009. Tuberculous Lymphadenitis.

2.

Ananda Mandal MD. Struktur dan Fungsi Kelenjar Getah Bening. Available from :
http://www.news-medical.net/health/Structure-and-function-of-lymph-nodes(Indonesian).aspx(Accessed November 11th 2015)

3.

Utji, R., dan Harun, H., 1994. Kuman Tahan Asam. Dalam: Staf Pengajar Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, ed.Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta :
Binarupa Aksara, 191-192

4.

Newanda, JM. 2009. Spondilitis tuberkulosa.

5.

Reyn, Ford Von, Elizabeth Talbot, Dr. J F Fontanilla, Dr. J Parsonnet. Tuberculous
Lymphadenitis
and
the
role
of
M.bovis.
Available
from
:
http://newenglandtb.pbworks.com/f/TB+Intensive+Tuberculous+Lymphadenitis+and+M
+bovis+Arti+Barnes.pdf (Accessed November 11th 2015)

9.

Seth V, Kabra SK, Jain Y, Semwal OP, Mukhopadhyaya S, Jensen RL


tubercular lymphadenitis: clinical manifestations. Indian J Pediatr 1995; 62 (5) : 565.

10. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman dan Pneatalaksanaan Tuberkulosis di


Indonesia.
Available
from
:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html (Accessed November 11th 2015)
11. Herchline,
T.,
E.,
2011.
Tuberculosis.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview. (Accessed November 11th
2015)
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2011.

Anda mungkin juga menyukai