OLEH :
Reza Abdussalam
S 501202057
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
1
PERBEDAAN KADAR SGOT, SGPT DAN GAMMA GT PADA PASIEN
TALASEMIA BETA MAYOR DENGAN KELASI BESI DEFERASIROX DAN
DEFERIPRONE
Disusun oleh:
Reza Abdussalam
S 501202057
Dewan Pembimbing
Pembimbing I
Nama
....................
...........
...................
...........
sanksi
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
dari
ketentuan
publikasi
ini,
maka
penulis
bersedia
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul PERBEDAAN
KADAR SGOT, SGPT DAN GAMMA GT PADA PASIEN TALASEMIA
BETA
MAYOR
DENGAN
KELASI
BESI
DEFERASIROX
DAN
DEFERIPRONE.
Tesis ini merupakan persyaratan wajib untuk memperoleh derajat magister
kesehatan Peserta Program Studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian tesis ini:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Magister di
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
2. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret.
3. Prof. Dr. dr. Hartono, Msi, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret
PPDS I Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNS/RSUD dr. Moewardi dan
Program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
4. Prof. Dr. dr. AA Subiyanto, MS, selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran
Keluarga yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis
untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret.
5. dr. Endang Dewi Lestari, Sp.A(K), MPH, selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran UNS/RSUD dr. Moewardi yang telah memberikan
kesempatan dan dukungan untuk mengikuti PPDS I Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UNS/RSUD dr. Moewardi dan program Magister Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. dr. Muhammad Riza Sp.A Mkes, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNS/RSUD dr. Moewardi
yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengikuti PPDS I Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNS/RSUD dr. Moewardi dan program
Magister Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Prof. Dr. dr. B. Soebagyo, Sp.A (K), selaku pembimbing metodologi yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran.
8. dr. Ganung Harsono, Sp. A(K), selaku pembimbing substansi, yang bersedia
meluangkan waktu untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran.
9. Semua staf pengajar Bagian Ilmu kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
UNS/RSUD dr. Moewardi yang telah membimbing, memberikan dorongan,
masukan, dan semangat kepada penulis.
10. Istri dan anak penulis yang telah menemani, memperhatikan, mendoakan,
dan memotivasi.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu
kritik dan saran dari pembaca akan sangat bermanfaat.
Surakarta, Januari 2016
Reza Abdussalam
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................iv
Daftar Isi.................................................................................................................vi
Daftar Gambar......................................................................................................viii
Daftar Tabel............................................................................................................ix
Daftar Singkatan......................................................................................................x
Abstrak....................................................................................................................xi
A. Latar Belakang Masalah...................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................4
C. Tujuan Penelitian..............................................................................................4
D. Manfaat Penelitian............................................................................................5
BAB II Tinjauan Pustaka.........................................................................................7
A. Kajian Teori.......................................................................................................7
1. Talasemia Mayor........................................................................................7
2. Terapi Kelasi Besi....................................................................................14
3. Pengaruh Penumpukan Besi Terhadap Fungsi Hati.................................21
B. Kerangka Konsep............................................................................................37
C. Hipotesis Penelitian........................................................................................38
BAB III Metode Penelitian....................................................................................39
A. Desain Penelitian............................................................................................39
B. Tempat Dan Waktu..........................................................................................39
C. Populasi Dan Cara Pemilihan Subyek............................................................39
D. Jumlah Subyek................................................................................................39
Cara Kerja.......................................................................................................43
Pengolahan Data.............................................................................................43
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR SINGKATAN
MRI
EKG
: Elektrokardiografi
TM
: Talasemia Mayor
ALT
: Alanine Aminotransferase
AST
: Aspartate Aminotransferase
LIC
SGOT
SGPT
GAMMA GT
PRC
HIV
CMV
: CitoMegalo Virus
NTBI
FDA
DFO
: Deferioxamine
DFP
: Deferiprone
DFX
: Deferasirox
HCV
: Hepatitis C Virus
Reza Abdussalam. 2015. Perbedaan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT pada
Pasien Talasemia Beta Mayor dengan Kelasi BEsi Deferasirox dan
Deferiprone. .TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. dr. B. Soebagyo, Sp. A(K),
II: dr. Ganung Harsono, Sp. A(K). Program Studi Kedokteran Keluarga Minat
Reza Abdussalam. 2015. The Difference of levels SGOT, SGPT and GAMMA
GT in Major Beta Thalassemia with Deferasirox and Deferiprone Chelation
Therapy. THESIS. Supervisor I: Prof. Dr. dr. B. Soebagyo, Sp.A(K),
II: dr. Ganung Harsono, Sp.A(K). Medical Family Study Program, Post Graduate
Program of Sebelas Maret University, Surakarta
x
ABSTRACT
Background
Iron accumulation in liver in patient with major thalassemia which has already
having repeated transfution could cause liver disfuntion. Iron chelation is
understood to be needed to reduce the dysfunction of the liver.
Objective
This study aim is to know whether there is differences in ALT/AST and Gamma
GT level in mayor thalassemia patient with deferiprone and deferasirox chelation
therapy
Methods
This study was analytical study with cross sectional study with examination of
ALT/AST and Gamma GT levels in deferiprone and defersirox groups which met
the inclusion and exclusion criteria. Differences in enzyme levels were compared
between the two groups then analyzed with the Mann - Whitney test .
Result
There was a siginificantly difference between two groups in Gamma GT level,
which is in the mean of 24,5 14,08 u/l in the deferiprone group and mean 16,78
6,81 u/l in deferasirox group with p = 0.011. however, the ALT and AST level
were decreased in deferasirox group compared to deferiprone group although it
was not statisticaly significant (p=0,142 dan p=0,122)
Conclusion
There is a siginificant difference in Gamma GT level in deferasirox group
compared to the deferiprone group. The ALT and AST level in deferasirox group
is lower than the other group although it was not statisticaly significant.
Deferasirox is considered to be more effective in decreasing the dysfunction of
liver function.
Keywords
Major thalassemia, Chelation Therapy, SGOT, SGPT, GAMMA GT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
xi
2 xii
Rumusan masalah
Apakah ada perbedaan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT pada pasien
<18 tahun dengan talasemia beta mayor menggunakan kelasi besi
C.
Manfaat penelitian
1. Manfaat bidang akademik untuk Ilmu Kesehatan Anak khususnya
bagian Hematoonkologi Anak
a. Menghubungkan teori yang sudah ada sebelumnya
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
penelitian lebih lanjut oleh peneliti lain.
2. Manfaat bidang pelayanan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui kejadian gangguan
fungsi hati pada anak dengan talasemia beta mayor serta mencegah
terjadinya risiko kerusakan hati yang lebih berat dikemudian hari
dengan pemantauan SGOT, SGPT dan GAMMA GT secara berkala pada
anak dengan talasemia beta mayor.
3. Manfaat bidang kedokteran keluarga
Bisa mendeteksi dini terjadinya gangguan fungsi hati pada pasien
talasemia beta mayor sehingga bisa dilakukan antisipasi untuk
mencegah kerusakan hati lebih berat serta meningkatkan kualitas dan
angka harapan hidup pasien talasemia beta mayor.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Talasemia beta mayor
maka kemungkinan
Selain itu, 1,92 persen membawa hemoglobin sabit, 0,95 persen membawa
hemoglobin E, dan 0,29 persen membawa hemoglobin C. Dengan demikian,
tingkat kelahiran di seluruh dunia orang-orang yang homozigot atau senyawa
heterozigot untuk gangguan globin gejala, termasuk alpha talasemia dan beta
talasemia, adalah tidak kurang dari 2,4 per 1000 kelahiran, dimana 1,96 memiliki
penyakit sel sabit dan 0,44 memiliki thalassemia (Setianingsih,2000).
Hemoglobin memiliki bentuk tetrametrik yang sama, terdiri dari 2 pasang
rantai globin yang terikat dengan heme. Hemoglobin fetus dan dewasa memiliki
rantai dan (HbA2, 22), rantai (HbA2, 22) dan rantai (HbA2, 22).
Macam-macam rantai globin tersebut diatur oleh 2 gen globin. Gen globin mirip
, berada di kromososm 11 sedangkan gen globin mirip berada di kromosom 16.
Gen globin memiliki bagian ynag mengatur ekspresi gen eritroid yang sesuai
dengan masa perkembangan. Terjadi mutasi pada saat pembentukan mRNA yang
akan mengakibatkan gangguan dari pembentukan globin (Permono & Ugrasena ,
2010).
Talasemia dibagi menjadi 5 macam yakni :
1. -Talasemia: tidak terdeteksinya sintesis rantai akibat tidak adanya mRNA
rantai
2. +-Talasemia: penurunan sintesis rantai diakibatkan berkurangnya atau tidak
berfungsinya mRNA rantai
3. -Talasemia: delesi gen rantai dan
4. E-Talasemia: Hemoglobin E( lysin asam glutamat pada 26) dan delesi gen
rantai
5. Hb Lepore: fusi dari globin akibat crossover yang tidak sama antara gen globin
dan (Lanzkowsky,2010).
bentuk PRC. Regimen tranfusi srcara individual pada tiap-tiap pasien, perlu
diketahui. Konsentrasi hemoglobin sebelum tranfusi, volume sel darah merah
yang diberikan dan besarnya limfa, sebaiknya dicatat pada setiap kunjungan untuk
mendeteksi perkembangan hipersplenisme (Permono & Ugrasena ,2010).
Gambar 2.3. komplikasi anak dengan thalassemia (Herman & Chaudry. 2005)
Pasien talasemia rentan terhadap infeksi akibat faktor penyakitnya maupun
akibat pengobatan. Kelebihan besi yang terjadi akibat transfusi berulang
mempengaruhi sistim imun, menekan aksi kemotaksis fagositosis, mikrobiosidal
leukosit mononuklear dan polimorfonuklear. Penularan infeksi melalui transfusi
seperti virus hepatitis, HIV dan CMV merupakan komplikasi transfusi yang
ditakuti. Infeksi virus hepatitis yang ditularkan melalui transfusi antara lain
hepatitis A, Hepatitis B, hepatitis C dan hepatitis D. hepatitis C mungkin
merupakan penyebab utama sirosis hepatitis pada pasien talasemia yang mendapat
pengobatan
di
rumah
sakit.
penampilan
pasien
thalassemia
menyebabkan citra yang kurang baik, timbulnya rasa malu, penolakan untuk
bergaul, dan bersekolah. Sehingga penampilan pasien thalassemia pada fase lanjut
berbeda dengan anak sehat. Perbedaan fisis tersebut sangat mencolok ketika
pasien mencapai usia remaja. Penampilan yang berbeda merupakan faktor penting
yang mempengaruhi perkembangan kepribadian seperti citra diri yang kurang,
timbul rasa malu, penolakan untuk bergaul, dan bersekolah (Aisyi,2003).
B. Terapi Kelasi Besi
Kelebihan zat besi akibat transfusi sel darah merah selama jangka waktu
yang panjang merupakan komplikasi dari thalassemia Efek yang bisa merugikan
dapat menyebabkan gangguan organ dan, akhirnya, kematian. Dalam kondisi
normal, penyerapan zat besi dan pengeluaran besi adalah 1 mg / hari. Darah yang
10
ditransfusikan mengandung 200-250 mg besi per unit. Oleh karena itu, pasien
denganTalasemia mayor (TM)
asupan tahunan 5000-10.000 mg dari besi atau 0,3-0,6 mg / kg per hari. Tubuh
memiliki mekanisme untuk membuang kelebihan zat besi ini. Selain itu, pasien
dengan Talasemia Mayor ditandai dengan eritropoiesis tidak efektif menyerap
kelebihan zat besi. Sejumlah besi dari hasil transfusi yang tidak diobati, akan
menyebabkan kerusakan pada hati, organ endokrin, dan yang paling penting ke
jantung. Pada anak dengan Talasemia Mayor, tanpa kelasi besi yang efektif,
kematian terjadi dari gagal jantung atau aritmia, biasanya pada akhir masa kanakkanak atau pada usia remaja (Angelucci 2008, Hoffbrand 2010).
Terapi kelasi besi diberikan untuk menyeimbangkan jumlah akumulasi
besi yang didapat dari transfusi darah dengan cara meningkatkan ekskresi besi
baik melalui urin ataupun feses. Jika kelasi besi diberikan terlambat ataupun tidak
adekuat, dapat meingkatkan akumulasi besi dalam tubuh. Dikarenakan besi juga
digunakan untuk proses fisiologis yang lain, maka tujuan diberikan kelasi besi
adalah untuk menyeimbangkan keuntungan dari pemberian kelasi besi dengan
efek yang tidak diinginkan dari peningkatan kelasi besi. Tolerabilitas dan
kenyamanan indvidu terhadap kelasi besi merupakan hal yang penting untuk
mencapai tujuan tersebut (Porter & Viprakast, 2009).
Tabel 2.1. Karakteristik kelasi besi (Hoffbrand, 2010)
Desfeerioxa
Deferiprone
Deferasirox
Struktur
mine
Hexadentate
Bidentate
Tridentate
Berat
560
139
373
Molekul
1:1
1:3
11
1 :2
Kompleks
Besi-kelasi
20 menit
53-166 menit
1-16 jam
Klirens
Tidak ada
Puncaknya 45
Puncaknya 1-
menit
2jam
Urin
Fekal
40mg/kgbb
75-100
20-30
Ekskresi besi
Parenteral
mg/kgbb
mg.kgbb
Dosis terapi
> 40 tahun
Oral
Oral
Rute
Ototoksisitas,
>20 tahun
5 tahun
Percobaan
toksik
Efek
defek
s,
samping
pertumbuhan,
defisiensi
gastrointestin
abnormalitas
seng,
al,
plasma
Absorpsi
retina, Agranulositosi
tulang
kartilago
artropati,
dan gangguan
gastrointestina
Ruam
kulit,
gangguan
kenaikan
ureum
kreatinin
l
Serum feritin secara umum berkorelasi dengan timbunan besi tubuh, relatif
mudah dan murah untuk dilakukan. Penurunan kadar feritin merupakan bukti
yang cukup baik dalam melihat penurunan kadar besi dalam tubuh. Akan tetapi
peningkatan kadar feritin tidak hanya diakibatkan peningkatan besi dalam tubuh,
tetapi juga sering dihubungkan dengan keadaan inflamasi atau kerusakan jaringan.
Sehingga diperlukan pertimbangan khusus untuk menilai kadar feritin. Kadar
feritin yang kurang dari 2500 ug/l secara signfikan menurunkan risiko kejadian
penyakit jantung dan kematian (Porter & Viprakast, 2009).
Besi sangat toksik terhadap jaringan. Dalam keadaan normal, pada
manusia besi ditranspor berikatan dengan transferin. Transferin memindahkan
12
13
adalah reaktan pada fase akut yang biasanya akan mudah naik pada penyakit hati,
infeksi dan proses inflamasi. Pada tiap pasien, serum feritin seharusnya diperiksa
secara periodik, yang secara objektif berbanding lurus dengan timbunan besi.
Selama penilaian jumlah besi secara langsung, serum feritin akan mudah
digunakan untuk mengikuti respon terhadap terapi. Terapi kelasi seharusnya dapat
dimulai pada pasien dengan kadar feritin serum lebih dai 1000 ug/l. Dan dengan
dimulainya terapi kelasi besi diharapkan kadar feritin serum bertahan antara 1000
1500 ug/l (Dubey 2007, Verissimo 2013).
Gambar 2.4. Algoritma terapi kelasi besi pada thalassemia (Verissimo, 2013)
1. Deferiprone
Deferiprone adalah agen kelasi besi bentuk oral aktif yang digunakan
dalam pengelolaan pada pasien yang menerima transfusi yang berhubungan
dengan hemosiderosis. Telah digunakan secara klinis selama lebih dari 20 tahun
dan telah terbukti efektif dalam mengurangi beban besi jantung dan meningkatkan
fungsi jantung. Dimana Siderosis pada jantung adalah penyebab utama kematian
14
15
100 mg / kg / hari. Dosis harus disesuaikan berdasarkan respon pasien dan tujuan
terapi. Beberapa studi menunjukkan bahwa dosis 75 mg / kg / hari deferiprone
adalah sebanding dengan 50 mg / kg / hari deferoxamine dalam mencapai
keseimbangan besi. Sebuah meta-analisis baru oleh Maggio tahun 2011
menunjukkan pada terapi kelasi zat besi memiliki menunjukkan ekskresi besi urin
lebih besar pada pasien menerima terapi kombinasi dengan deferiprone dan
deferoxamine dibandingkan dengan pasien yang menerima deferiprone atau
deferoxamine saja (p = 0,0008) (Maggio,2011).
Paparan besi pada pasien dengan thalassemia menghasilkan suatu oksigen
reaktif yang merusak membran mitokondria dan DNA-nya. Besi dapat mengikat
langsung ke enzim rantai pernapasan untuk mengubah aktivitas katalitik mereka
dengan mengubah residu asam amino ke turunan karbonil. Fungsi mitokondria
yang terganggu menyebabkan penurunan produksi adenosin trifosfat, yang pada
gilirannya, berdampak merugikan fungsi miokard. Deferiprone sendiri memiliki
berat molekul rendah dan lipofilik, hal ini mendalilkan bahwa obat ini mampu
menembus sel-sel miokard dan mengurangi timbunan besi intraseluler yang
beracun, terutama dalam mitokondria, dan karenanya, deferiprone membantu
mengurangi keadaan siderosis jantung (Jammuar,2012).
16
17
18
kelasi dan penurunan jumlah cadangan besi tubuh dapat diperoleh dengan
menggabungkan dua obat kelasi besi yaitu desferioksamin (DFO) dan deferiprone
(DFP) baik secara berurutan atau bersamaan. Pada prinsipnya, hal ini dapat
dicapai dengan meningkatkan paparan total terhadap terapi khelasi selama setiap
periode 24-jam dengan pengobatan berurutan, atau dengan meningkatkan ekskresi
besi dengan efek sinergis bila kedua obat diberikan secara bersamaan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa rejimen kombinasi yang dipilih adalah lebih
efektif daripada DFP monoterapi mengurangi kadar besi di hati. Hal ini
menunjukkan bahwa kombinasi DFP harian dan dua kali seminggu DFO pada
dosis standar adalah terapi khelasi yang efektif dan aman untuk pasien dengan
thalassemia mayor. Potensi terapi kelasi kombinasi lebih unggul aktivitas
kelasinya dari DFP tunggal (Chueamuangphan 2012, Ayyub et al 2005, Aydinok
et al 2007).
2. Deferasirox
Deferasirox adalah kelasi besi oral berlisensi untuk pengobatan kronis
kelebihan zat besi pada pasien dengan anemia kronis. Deferasirox telah
dibandingkan dengan desferioksamin dalam beberapa penelitian dan dalam
populasi yang berbeda, termasuk beberapa studi terbuka dalam jangka panjang.
Bukti menunjukkan bahwa deferasirox sama efektifnya dengan desferioksamin
sehubungan dengan mengurangi beban besi korporeal. Efek yang sering
dikeluhkan pada pemakaian desferioksamin adanya efek trauma pada tempat
penyuntikan. Pemakaian deferasirox lebih disukai karena pemakaian yang lebih
mudah. Salah satu efek samping pemakaian deferasirox adalah kenaikan
19
sementara kreatinin serum, nyeri punggung dan ruam. Deferasirox adalah kelasi
besi oral yang dimuinum sekali sehari yang banyak digunakan dalam pengelolaan
pasien dengan hemosiderosis transfusional. Data dari berbagai uji klinis
menunjukkan bahwa dosis deferasirox dari 20 mg / kg / hari menstabilkan kadar
feritin serum dan konsentrasi besi hati, sedangkan dosis 30-40 mg / kg / hari
mengurangi parameter ini dan mencapai keseimbangan besi negatif pada pasien
dengan kelebihan zat besi. Di berbagai uji klinis penting, deferasirox ditoleransi
dengan baik, dengan efek samping yang paling umum adalah gangguan
gastrointestinal, ruam kulit, peningkatan nonprogresif kadar kreatinin serum, dan
peningkatan kadar enzim hati (Horsley 2010, Chaudary 2013).
Deferasirox adalah kelasi bentuk tridentate untuk pemakaian obat sekali
tiap harinya. konsentrasi plasma puncak deferasirox dicapai antara 1-4 jam dan
rata-rata paruh eliminasi adalah 8-16 jam. Serta deferasirox hampir secara
eksklusif terikat albumin (99%). Obat ini cepat diserap, dan memiliki
bioavailabilitas sekitar 70%. Hal ini terutama diekskresikan dalam feses (84% dari
dosis) setelah dimetabolisme oleh glukoronidasi dan eksresi oleh sistem bilier.
Kelebihan zat besi kronis sekunder darah transfusi (transfusional hemosiderosis)
di pasien> 2 tahun. Terapi harus dimulai ketika pasien memiliki bukti kelebihan
zat besi kronis (serum ferritin konsisten> 1000 mg / L). Dosis awal adalah 20 mg /
kg oral sekali sehari, dosis dihitung untuk seluruh tablet terdekat. menyesuaikan
dosis penambahan sebesar 5 atau 10 mg / kg setiap 3 sampai 6 bulan berdasarkan
tren feritin serum. Deferasirox harus benar-benar tersebar di air, jus jeruk atau jus
apel dan diambil perut kosong 30 menit sebelum makan sebaiknya pada waktu
20
yang sama setiap hari. Tablet tidak harus dikunyah atau ditelan utuh. Setelah
menelan suspensi, residu harus disuspensi dalam volume kecil cairan dan tertelan.
sebuah awal dosis yang lebih tinggi dari 30 mg / kg dapat dipertimbangkan untuk
pasien kelebihan berat besi (misalnya, feritin serum> 2500 mg / L). Hal ini
diberikan sebagai 125, 250 dan 500 mg tablet untuk suspensi oral (Chaudary
2013, Dubey et al 2007).
Untuk mencapai kelasi besi yang efektif dengan toksisitas minimal pada
individu pasien, pemantauan rutin untuk menilai kelebihan zat besi dan efek
samping pengobatan deferasirox sangat penting. Meskipun ditandai beberapa
variasi, kadar feritin serum berkorelasi dengan baik dengan LIC (liver Iron
Concentration) . Berdasarkan pengukuran bulanan feritin serum, dosis deferasirox
dapat disesuaikan setiap 3-6 bulan jika diperlukan , dengan penilaian yang akurat
dan cermat profil toksisitas. Hal ini dianjurkan untuk menghindari penggunaan
seiring aluminium yang mengandung antasid, obat anti - inflamasi nonsteroid ,
dan narkotika dengan deferasirox. Hal ini juga membantu untuk menyarankan
pasien untuk minum obat pada waktu tidur dengan sedikit air. Dalam kasus
dengan efek samping gastrointestinal persisten, membagi total dosis harian
menjadi dua dosis atau mengubah media di mana tablet yang dilarutkan (air , jus
apel , atau jus jeruk) dapat membantu. Dalam evaluasi klinis deferasirox, efek
samping yang paling sering dilaporkan adalah gangguan pencernaan yang bersifat
sementara, ringan sampai sedang, yang cenderung terjadi pada awal perjalanan
pengobatan . Nyeri perut telah dilaporkan pada sekitar 5 % pasien. Deferasirox
dapat dilanjutkan tanpa penyesuaian dosis dalam kasus-kasus ruam ringan, karena
21
mayoritas menghilang secara spontan. Dalam kasus ruam parah, terapi deferasirox
harus terganggu dan diperkenalkan kembali pada dosis yang lebih rendah. Kadar
kreatinin serum harus secara teratur dipantau dengan perhatian khusus pada pasien
dengan SCD yang mungkin membahayakan fungsi ginjal awal. Peningkatan
kreatinin serum mungkin terkait dengan kelebihan kelasi. Sekitar 2% dari pasien
mengembangkan peningkatan pada transaminase serum, tidak berhubungan
dengan dosis deferasirox. Tes fungsi hati harus diperoleh sebelum memulai terapi
dan secara berkala sesudahnya (Chaudary 2013, Dubey et al 2007).
Kemanjuran deferasirox dipantau berdasarkan penilaian bulanan kadar
feritin serum, merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menilai
beban besi dalam tubuh yang bersifat lebih nyaman dan relatif murah. Karena
tingkat serum ferritin dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti peradangan,
pengukuran serum feritin pada individu harus ditafsirkan dengan hati-hati,
Namun, berdasarkan serial pengukuran telah terbukti dapat diandalkan untuk
pemantauan beban besi tubuh. Uji coba klinis deferasirox menunjukkan bahwa
kemanjuran pengobatan tergantung pada dosis, yang harus disesuaikan dengan
tingkat besi beban dan beban transfusi. Deferasirox secara umum ditoleransi
dengan baik selama penelitian. itu Efek samping yang diamati dalam studi selama
satu tahun ke depan konsisten dengan pengamatan sebelumnya. Tidak ada
penghentian karena efek samping dikarenakan obat, dan tidak ada peningkatan
progresif serum kreatinin atau transaminase hati. Secara khusus, fungsi seksual
berkembang secara normal, menunjukkan signifikan perbaikan pada remaja putri
(Taher et al, 2009).
22
23
hati
penumpukan
besi
menyebabkan
berkurangnya resistensi insulin dan enzim hati. Kadar konsentrasi serum feritin
merupakan penilaian yang penting untuk dibandingkan dengan kadar enzim hati,
sehingga kenaikan kadar feritin serum merupakan prediktor independen kerusakan
hati. Bergunan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko steatohepatitis dan
fibrosis (Soliman et al, 2014).
90% dari kelebihan zat besi disimpan dalam hati, penilaian Liver Iron
Concentration (LIC) memberikan ukuran yang akurat dari kadar zat besi seluruh
tubuh. LIC berbanding terbalik dikaitkan dengan prognosis dan karena itu banyak
digunakan untuk menentukan dosis yang diperlukan dan kemanjuran rejimen
kelasi. Tingkat ambang batas untuk LIC ditentukan oleh Biopsi. Karena hati
adalah situs utama penyimpanan besi tubuh, kadar zat besi yang tinggi hati adalah
indikasi dari tubuh beban besi yang tinggi dan risiko yang terkait kelebihan zat
besi. Tingkat LIC> 7 mg zat besi per gram jaringan kering (mg Fe / g kering wt)
24
25
26
dan bias, termasuk tingginya jumlah pusat yang dipilih pasien dalam
studi
multicenter atau rendahnya jumlah pasien yang menjalani biopsi hati dalam studi
yang dilakukan, pemilihan pasien dengan biokimia dan fitur virologi hepatitis C
kronis atau dengan kelebihan zat besi yang tinggi, pengukuran LIC oleh
laboratorium yang berbeda dan analisis biopsi hati oleh beberapa patolog. Tidak
ada perbedaan mengenai usia antara HCV-RNA negatif pasien dengan atau tanpa
fibrosis hati. Data ini mengkonfirmasi bahwa pasien bebas dari infeksi HCV
dengan kepatuhan yang baik terhadap terapi kelasi biasanya tidak berkembang
menjadi fibrosis hati, dan bahwa hanya nilai-nilai yang lebih tinggi dari 5 mg /
gram berat hati kering berhubungan dengan keparahan fibrosis. Pasien HCV-RNA
positif memiliki tingkat serum ALT yang lebih tinggi, peradangan hati yang lebih
parah dan lebih sering memiliki fibrosis hati berat atau sirosis (Marco et al, 2008).
Keadaan haemosiderosis yang parah dan fibrosis hati dapat menyebabkan
keadaan sirosis hati. Diagnosis dini dan penyakit hati yang akurat serta diikuti
oleh intervensi cepat dapat mencegah perkembangan penyakit hati. Dalam
penelitian Li dkk tahun 2002, menemukan prevalensi 44 % kelas 3-4
haemosiderosis, Hal ini mirip dengan yang dilaporkan sekitar 10 tahun lalu. Hal
ini bisa mencerminkan tingkat kepatuhan dengan terapi desferioksamin yang
tidak memuaskan. Desferioksamin yang menginduksi toksisitas relatif umumnya
ditemukan pada pasien dengan penumpukan besi yang kurang parah. Sedangkan
feritin serum adalah reaktan fase akut dan dapat ditingkatkan sebagai akibat dari
gangguan inflamasi seperti hepatitis dan status askorbat. Pengukuran LIC (liver
Iron Concentration) adalah sebuah pendekatan alternatif untuk penilaian kadar
27
besi tubuh pada pasien talasemia mayor dan pasien hemokromatosis herediter dan
dijadikan indikator yang lebih akurat untuk menilai penumpukan besi. Penilaian
yang akurat kadar besi tubuh dapat membantu pemanduan terapi kelasi, sehingga
mengurangi toksisitas desferioksamin. Akan tetapi biopsi hati
merupakan
prosedur invasif ,dan beberapa pasien mungkin tidak setuju dengan prosedur
biopsi. Mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi terkena komplikasi yang fatal
dari kelebihan zat besi merupakan tujuan penting. Pemeriksaan histologis hati
memberikan informasi adanya keadaan hemosiderosis dan fibrosis hepatis.
Sementara pemeriksaan LIC (Liver Iron Concentration) tidak tersedia di beberapa
tempat, pembagian tingkat hemosiderosis adalah pengukuran yang berguna dalam
hubungan yang
dihubungkan dengan keadaan LIC yang lebih dari 10 mg/ g berat kering dan
pasien tersebut membutuhkan terapi kelasi besi. Keadaan fibrosis hepatis adalah
kunci utama risiko progresivitas menjadi sirosis hepatis. Patogenesis fibrosis
hepatis pada penumpukan besi di hati sampai saat ini masih belum dipahami,
walaupun penumpukan besi yang berat diketahui faktor risiko untuk berkembang
menjadi fibrosis. Dengan kelasi besi yang efektif, fibrosis hepatis akan reversibel.
Dan menjadi faktor prognostik kelangsungan hidup pasien dengan thalassemia
beta mayor (Damardjati & Oswari, 2003).
Penyakit hati pada paseien dengan talasemia beta mayor adalah salah satu
dari contoh eritropoetik hemokromatosis. Beberapa studi dengan menggunkan
mikroskop elektron pada spesimen biopsi hati dari anak dengan thalassemia
menunjukkan adanya deposisi dari kolagen yang ditemukan pada awal kehidupan
28
( umur 3-13 bulan). Dimulai dari spatium Disse dan berlanjut nekrosis hepatosit.
Fibrogenesis awal ini tidak dapat dilihat dengan mikroskop cahaya, sedangkan
fibrosis portal sudah dapat terlihat (usia 3-5 tahun). Diikuti dengan formasi
fibrosis septa, yang aktif dan menyangkut juga sistem portoportal dan
portocentral. Dengan jalan ini hepatitis makronodular post hepatitis berkembang.
Insidensi sirosis meningkat secara progresif, sehingga anak dengan talasemia saat
umur 15-16 tahun yang diteliti dapat kita temukan keadaan sirosis (Damardjati &
Oswari, 2003).
Dengan pengobatan kelasi besi secara reguler, terjadi penurunan besar
pada derajat penumpukan besi. Dan terjadi penurunan jumlah besi dalam hati
kurang dari 2230 ug/ 100 mg berat kering yang menjadi batasan terjadinya
keadaan sirosis dan fibrosis. Rerata serum feritin dan liver iron concentration
dipertahankan pada sekitar 5 dan 10 kali dari nilai normal. Dari beberapa studi
menunjukkan adanya korelasi yang baik antara pemeriksaan histologis dan
penilaian kadar besi dalam hati. Penjelasan peningkatan kadar besi di hati
sehingga menjadi hepatitis masih belum jelas, tetapi beberapa penemuan
menyarankan hepatitis yang berat berkontribusi pada kerusakan hati akibat proses
inflamasi kronik dan peningkatan kadar besi hati. Kadar besi hati pada pasien
dengan fibrosis berat menunjukkan secara signifikan meningkat dibanding pasien
dengan lesi minimal fibrosis (Damardjati & Oswari, 2003).
Hepatosit merupakan tempat
kondisi yang normal dan saat kelebihan zat besi yang non transfusi. Walaupun
siklus transferin sendiri terlibat dalam penyimpanan besi di hepatosit sampai batas
29
waktu tertentu, NTBI (non Transferin Binding Iron) menjadi jalur alternatif yang
penting saat adar zat besi melebih kapasitas dari transferin untuk mengikat.
Hepatosit sendiri memiliki kapasitas besar untuk menyimpan kelebihan zat besi.
Kebanyakan besi disimpan dalam bentuk feritin, yang dapat dimobilisasi bila
diperlukan tempat lain dalam tubuh. Akhirnya, hasil kelebihan zat besi besarbesaran di hati menyebabkan hepatotoksisitas yakni hepatitis menyebabkan
fibrosis dan sirosis. Organ hati terkena NTBI (non Transferin Binding Iron) lebih
dahulu daripada jaringan lain karena sirkulasi portal pertama kali melewati hati.
Namun, jaringan lain memiliki penyerapan NTBI ketika NTBI ada di dalam
plasma. Peptida hati yang bernama hepcidin mengatur penyerapan zat besi usus
dan pelepasan besi dari sel-sel penyimpanan dengan mengikat ferroportin
menyebabkan internalisasi dan degradasi, sehingga terjadi efek penghambatan
pada pengeluaran besi di tubuh. Pada kondisi fisiologis, produksi hepcidin diatur
secara ketat dan biasanya dilepaskan ke dalam plasma jika ada snyal dari organ
lain, biasanya dari sumsum tulang (regulator erythroid) dan penyimpanan besi
(store regulator). Peningkatan kadar hepcidin untuk membatasi penyerapan zat
besi dan dikurangi hingga tingkat tidak terdeteksi (Mariani, 2009).
30
31
waktu 5 sampai 10 menit dari pemberian oral. Konsentrasi serum puncak terjadi
sekitar 1 jam setelah dosis tunggal pada subyek sehat berpuasa dan pasien, dan
sampai 2 jam setelah dosis tunggal setelah makan. Waktu paruh dari deferiprone
adalah 1,9 jam. Lebih dari 90% dari deferiprone dieliminasi dari plasma dalam
waktu 5 sampai 6 jam konsumsi. Setelah pemberian oral, 75% sampai 90% pulih
dalam urin dalam 24 jam pertama, terutama sebagai metabolit (Hershko et al,
2003).
Deferasirox diserap setelah pemberian oral dengan waktu rata-rata
konsentrasi plasma maksimum (tmax) sekitar 1,5-4 jam. Paparan deferasirox
meningkat faktor akumulasi 1,3-2,3 setelah dosis ganda. Bioavailabilitas tablet
deferasirox untuk suspensi oral adalah 70% dibandingkan dengan dosis intravena
dan meningkat ketika dengan makan. Deferasirox sangat (~ 99%) protein terikat
hampir secara eksklusif untuk albumin serum. Persentase deferasirox terbatas
pada sel-sel darah adalah 5% pada manusia. Glukoronidasi adalah jalur
metabolisme utama deferasirox, dengan selanjutnya diekskresikan melalui bilier.
Dekonjugasi dari glucuronidates di usus dan reabsorpsi berikutnya (daur ulang
enterohepatic) mungkin terjadi. Deferasirox terutama diglukoronidasi oleh
UGT1A1 dan untuk tingkat yang lebih rendah UGT1A3. Deferasirox dan
metabolitnya terutama (84% dari dosis) diekskresikan dalam tinja. Eksresi
deferasirox dan metabolit minimal (8% dari dosis yang diberikan). Waktu paruh
eliminasi (t ) berkisar antara 8-16 jam setelah pemberian oral.
32
D. Kerangka konsep
Pasien Talasemia mayor <18 tahun
Deferiprone
Berat molekul = 139
Ikatan kelasi besi = 1:3
Liver Injury
Lama minum obat
Kepatuhan minum obat
Status Gizi
Jumlah transfusi
Penignkatan SGOT, SGPT
dan Gamma GT
Keterangan
: Ranah penelitian
: Variabel perancu
Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas yaitu obat kelasi besi
Deferasirox dan Deferiprone, sedangkan variabel tergantung nya adalah
33
kadar SGOT, SGPT dan Gamma GT. Faktor perancu dalam penelitian ini
yaitu lama minum obat, status gizi, dan kepetuhan minum obat. Pengaruh
transfusi pada pasien talasemia akan meningkatkan penimbunan besi di
dalam hepar. Akibatnya akan meningkatkan kadar hepsidin, liposiderin
dalam sel hepatosit, yang akan menyebabkan kerusakan sel hati. Kelasi
besi deferasirox membentuk kompleks besi :kelasi adalah 1:2 sedangkan
deferiprone akan membentuk ikatan kompleks besi : kelasi adalah 1:3.
E.
Hipotesis
Kadar SGOT, SGPT dan Gamma GT pada pasien talasemia beta mayor
dengan kelasi besi deferasirox lebih rendah daripada kelasi besi
deferiprone.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat observasional analitik
dengan metode potong lintang. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT antara pasien talasemia yang menggunakan
kelasi besi deferiprone dan deferasirox. Rencana cross sectional adalah rancangan
34
keadaan berikut:
1). Mendapat transfusi sel darah merah sebanyak 10 kali, ATAU
2). Nilai ferritin 1000 ng/dl
b. Orang tua pasien memberikan persetujuan
c. Menggunakan kelasi besi Deferasirox atau Deferiprone lebih dari 1
2.
a.
b.
c.
tahun
Kriteria eksklusi
Pemakaian kelasi besi kombinasi dengan deferioksamin
Hepatitis C virus
Hepatitis B virus
35
36
37
Adalah ketaatan pasien dalam konsumsi obat kelasi besi. Dihitung dari
persentase antara jumlah obat yang diminum dibagi dengan jumlah
obat yang diberikan (Pope, 1995).
transfusi.
Penelitian dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari komite etik yang
ada di RSUD dr. Moewardi Surakarta.
H. Izin subyek penelitian
Penelitian ini dilakukan atas persetujuan orangtua atau wali dengan cara
menandatangani informed consent yang diajukan oleh peneliti, setelah
sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian
tersebut.
I. Pengolahan data
Data yang didapatkan dilakukan analisis dengan program SPSS 17.0. Data
disajkan dalam bentuk mean SD. Untuk menguji perbedaan kadar
SGOT, SGPT dan GAMMA GT dantar kedua kelompok digunakan uji t
independen jika distribusi data normal. Jika distribusi data tidak normal
digunakan uji Mann Whitney. Karakteristik dasar subyek penelitian adalah
38
usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, status gizi, lama konsumsi
obat kelasi besi, ketraturan minum obat. Variabel bebas dideskripsikan
dalam skala nominal (deferiprone atau deferasirox). Variabel tergantung
dinyatakan dalam skala numerik (kadar SGOT,SGPT dan GAMMA GT).
Perbedaan kadar enzim SGOT,SGPT dan GAMMA GT antara dianalisis
dengan uji t independen (Tumbelaka et al. 2011).
J. Alur penelitian
telah
mendapat
Kriteria eksklusi
Informed
transfusi
rutin diconcernt
RSDM
Deferasirox
Deferiprone
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
39
A. Hasil Penelitian
Subyek penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok pasien
talasemia mayor dengan kelasi besi deferiprone dan kelompok pasien
talasemia mayor dengan kelasi besi deferasirox. kelompok pasien
talasemia mayor dengan kelasi besi deferiprone terdiri dari 32 pasien (13
lelaki dan 19 perempuan) sedangkan kelompok pasien talasemia mayor
dengan kelasi besi deferasirox terdiri dari 32 pasien (18 lelaki dan 14
perempuan). Subyek penelitian diambil secara konsekutif serta memenuhi
kriteria inklusi, yaitu pasien sudah mendapat transfusi sel darah merah
sebanyak 10 kali atau kadar feritin 1000 ng/dl, surat persetujuan
keluarga, sedangkan untuk kriteria eksklusi yaitu pemakaian kelasi besi
kombinasi dengan deferioksamin, hepatitis B dan C.
Tabel 4.1 menggambarkan karakteristik dasar subyek penelitian pada
kelompok pasien talasemia mayor menggunakan kelasi besi deferiprone
maupun kelasi besi deferasirox.
Deferiprone
10,9 4,15
Deferasirox
8,94 3,96
40
P value
0,197
Jenis kelamin
Lelaki
13 (20,3%)
18 (28,1%)
0,183
19 (29,7%)
26,6 10,7
127,16 20,61
14 (21,9%)
23,5 8,29
121,4 17,38
0,386
0,66
20 (31,3%)
23 (35,9%)
0,587
Baik
12 (18,8%)
9 (14,1%)
Kurang
3,94 1,52
3,34 1,21
0,66
(tahun)
Jumlah Transfusi (cc)
328,12 73.71
333,59 81,47
0,796
82 9
83 6
0,632
3.536 2511,27
3.947,7 2.436
0,477
Perempuan
Berat badan (Kg)
Tinggi badan (cm)
Status
Gizi
antropometri
Lama
minum
obat
Deferiprone
55,72 40,23
48,31 41,94
Deferasirox
40,56 11,16
30,38 17,02
p
0,14
2
41
GAMMA GT (u/l)
24,5 14,08
16,78 6,81
0,12
2
0,01
1
Dari tabel 4.2 menggambarkan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA
GT pada kelompok deferiprone dan deferasirox. Kadar GAMMA GT
berbeda secara signifikan antara kelompok deferiprone dan deferasirox
dengan nilai p=0,011.
Tabel 4.3 analisis korelasi spearman SGOT dengan feritin
Kadar feritin
SGOT
R
-0,461
P
0,001
N
64
Tabel 4.3. menggambarkan hasil analisis korelasi Spearman antara
42
Kadar feritin
R
-0,469
P
0,001
N
64
Tabel 4.5. menggambarkan hasil analisis korelasi Spearman antara
kadar feritin serum penderita talasemia mayor dengan kadar GAMMA GT.
Didapatkan korelasi negatif yang sedang (r=-0,469) yang secara statistik
bermakna (p=0,001).
B. Pembahasan
Tidak perbedaan parameter karakteristik dasar baik pada kelompok
deferasirox maupun deferiprone. Rerata umur pada kelompok deferiprone
adalah 10,9 4,15 sedangkan untuk kelompok deferasirox 8,94 3,96
dengan nilai p=0,197. Dari parameter jenis kelamin, berat badan, tinggi
badan serta status gizi juga tidak ada perbedaan signifikan antar kedua
kelompok. Rerata penggunaan obat kelasi besi deferprone adalah 3,94
1,52 tahun sedangkan kelompok deferasirox 3,34 1,21, tidak berbeda
antar kedua kelompok dengan nilai p=0,66. Rerata kadar serum feritin
dalam darah pada kelompok deferiprone adalah 3.536 2511,27 ng/dl,
sedangkan deferasirox 3.947,7 2.436 dengan nilai p=0,477. Compliance
dalam keteraturan minum obat juga sama pada kedua kelompok yaitu 82
9 % pada kelompok deferiprone dan 83 6 % pada kelompok
deferasirox dengan nilai p=0,632. Dari tabel diatas menunjukkan
homogenitas antar kedua kelompok.
Penelitian ini dilakukan dengan pemeriksaan kadar SGOT, SGPT
dan GAMMA GT antara kedua kelompok pasien talasemia mayor dengan
kelasi besi deferiprone dan deferasirox yang telah memenuhi kriteria
43
44
dengan nilai p<0,05). Korelasi positif antara kadar serum feritin dan
konsentrasi ALT, sedangkan konsentrasi IGF-I berkorelasi negatif dengan
feritin. Hal ini menunjukkan penumpukan besi di hati yang mengganggu
fungsi hati. Kadar konsentrasi serum feritin merupakan penilaian yang
penting untuk dibandingkan dengan kadar enzim hati, sehingga kenaikan
kadar feritin serum merupakan prediktor independen kerusakan hati.
Bergunan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko steatohepatitis dan
fibrosis (Soliman et al, 2014).
Kemampuan besi untuk terlibat dalam reaksi redoks dapat
mengakibatkan toksisitas. Dalam keadaan penimbunan besi di hati,
kerusakan sel hati juga disebabkan ambilan NTBI (Non-Transferin Bound
Iron) yang cepat oleh hati sekitar 70%. Hal ini diduga ikut berperan dalam
proses kerusakan hati karena NTBI bersifat toksik akibat zat oksigen
reaktif yang dihasilkannya. Hepatomegali adalah gejala klinis yang paling
sering dijumpai. Pada stadium lebih lanjut akan didapatkan sirosis yang
ditandai dengan pembesaran limfa, ikterus, asites dan edema. Kerusakan
sel hati juga akan menyebabkan peningkatan kadar enzim transaminase
serum, yaitu SGOT dan SGPT. Biopsi hati merupakan baku emas untuk
menilai penimbunan besi di hati serta dapt memberikan informasi
mengenai derajat kerusakan hati, distribusi penimbunan besi di hepatosit
dan sel kuppfer dan penentuan secara langsung konsentrasi besi di hati
(Kartoyo & Purnamawati, 2003).
45
46
47
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Pada penelitian ini didapatkan hasil didapatkan kadar SGOT dan
SGPT yang menurun pada kelompok deferasirox dibanding kelompok
deferiprone, namun tidak berbeda secara signfikan. Sednagkan kadar
GAMMA GT berbeda secara signifikan pada kelompok deferasirox
yang kadarnya lebih rendah dibanding kelompok deferiprone. Hal ini
menunjukkan kelasi besi deferasirox lebih efektif menurunkan kadar
SGOT, SGPT dan GAMMA GT dibanding kelasi besi deferiprone.
Parameter tersebut dapat dijadikan alat untuk mendeteksi dini
terjadinya gangguan fungsi hati.
B. Saran
Dari simpulan tersebut maka diusulkan saran-saran:
1.
2.
48
3.
C. Implikasi penelitian
Beberapa implikasi dari penelitian ini adalah:
1.
2.
3.
49
DAFTAR PUSTAKA
Aisyi M & Tumbelaka AR. 2003. Pola Penyakit Infeksi Pada Talasemia. Sari
Pediatri, Vol 5 No.1. Hlm 27-33
Alatas, H, Karyomanggolo, Musa, DA, Boediarso, A, Oesman, IN, Idris, NS.
2011.Desain penelitian.pp.104-129.dalam S. Sastroasmoro, S. Ismael(eds).
Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Sagung seto, Jakarta.
Angelucci E, Barosi G, Camashella C, Capellini MD, Cazzola M, Galanello R, et
al. 2008. Italian Society of Hematology Practice Guidelines for the
Management of Iron Overload in Thalassemia Major dan Related Disorder.
Haematologica. Vol 93 No 5. Hlm 741-752
Anggroini, A. 2010. Korelasi Kadar Feritin Serum dengan Kematangan Seksual
pada Anak penyandang Thalasemia Mayor. Vol. 60, No.10 hlm 462-467
Aydinok Y, Ulger Z, Nart D, Terzi A, Cetiner N, Ellis G. 2007. A Randomized
Controlled 1-Year Study of Daily Deferiprone Plus Twice Weekly
Desferrioxamine Compared with Daily Deferiprone Monotherapy in Patients
with Thalassemia Major. Haemotologica. Vol 92. Hlm 1599-1606
Ayyub M, Ali W, Anwar M, Wagar A, Khan MN, Ijaz A. 2005. Efficacy and
Adverse Effects of Oral Iron Chelator Deferiprone in Patients with Beta
Thalassemia Major in Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad. Vol 17 No 4.
Badens C. 2011. Variants in Genetic Modifiers of Beta Thalassemia Can Help to
Predict the Major or Intermedia type of the Disease. Haematologica. Vol 96.
Chaudhary P & Pullarkat V. 2013. Deferasirox : Appraisal of Safety and Efficacy
in Long-Term Therapy. Journal of Blood Medic ine. Vol 4. Hlm 101-110.
Chueamuangphan. 2012. Effectiveness of Deferiprone Chelation Therapy in Adlut
Thalassemia Patients With Iron Overload. J Hematol Transfus Med.
50
51
52
53
Lampiran 1
FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN DAN
TINDAKAN MEDIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: ______________________________
Umur
:______________________________
Alamat
:______________________________
Telepon
:______________________________
Pekerjaan
:______________________________
Adalah orangtua/wali dari:
Nama
:______________________________
Umur
:______________________________
Jenis Kelamin : L/P
Menerangkan bahwa setelah mendapatkan keterangan yang jelas dan lengkap
tentang tujuan penelitian, menyatakan bersedia mengikuti penelitian dan tidak
keberatan untuk dilakukan pemeriksaan fisis dan pengambilan darah untuk
pemeriksaan kadar SGOT, SGPT dan GAMMA GT
Surakarta,
Orangtua/wali peserta penelitian
Peneliti
Saksi
Lampiran 2
FORMULIR ISIAN PENELITIAN
Nama
Tanggal lahir/umur
Jenis kelamin
Alamat
:__________________________________________
:__________________________________________
:__________________________________________
:__________________________________________
54
BB/TB/Status gizi
Talasemia beta mayor
Tanggal dirawat
Lama transfusi
Jumlah kantong transfusi
Mulai pemberian kelasi besi
Jenis Kelasi Besi
Anamnesis
Tanda vital
Mata
Hepar
Lien
Laboratorium
:__________________________________________
: Ya/ Tidak
:__________________________________________
:__________________________________________
:__________________________________________
: _________________________________________
: Deferasirox (Exjade) / Deferiprone (Ferriprox)
: Lemah
: Ya/ Tidak
Penurunan BB
: Ya/ Tidak
Tremor
: Ya/ Tidak
Berkeringat banyak : Ya/ Tidak
Kelemahan otot
: Ya/Tidak
Gelisah
: Ya/Tidak
: Tekanan darah
:______________________
Laju nadi
:______________________
Laju napas
:______________________
Suhu
: ______________________
Ikterik
: Ya/ Tidak
: Membesar/tidak
: Membesar/tidak
: ______________________
: ____________________
: ______________________
: ______________________
: ____________________
Feritin serum
GDS
Kadar
: SGOT
SGPT
Gamma GT
MInum Obat tiap minggu nya :
Custom Tables
jenis chelasi
dferiprone
Count
gizi
deferasirox
Table N %
Count
Total
Table N %
Count
Table N %
baik
20
31.3%
23
35.9%
43
67.2%
kurang
12
18.8%
14.1%
21
32.8%
55
Custom Tables
jenis chelasi
dferiprone
Count
kelamin
deferasirox
Table N %
Count
Total
Table N %
Count
Table N %
laki-laki
13
20.3%
18
28.1%
31
48.4%
perempuan
19
29.7%
14
21.9%
33
51.6%
Custom Tables
jenis chelasi
dferiprone
deferasirox
Standard
Mean
umur
Maximum
10.19
16.00
Minimum
Deviation
2.00
Mean
4.15
Maximum
8.94
16.00
Minimum
3.00
jenis chelasi
deferasirox
Total
Standard Deviation
umur
3.96
Mean
Maximum
9.56
Custom Tables
56
16.00
Minimum
2.00
Standard Deviation
4.07
jenis chelasi
dferiprone
deferasirox
Standard
Mean
bb
Maximum
26.06
Minimum
53.00
Deviation
9.00
Mean
10.70
Maximum
23.50
Minimum
53.00
13.00
jenis chelasi
deferasirox
Total
Standard Deviation
bb
Mean
8.29
Maximum
24.78
Minimum
53.00
Standard Deviation
9.00
9.58
Custom Tables
jenis chelasi
dferiprone
deferasirox
Standard
Mean
tb
Maximum
127.16
164.00
Minimum
Deviation
67.00
Mean
20.61
Maximum
121.44
Minimum
155.00
87.00
jenis chelasi
deferasirox
Total
Standard Deviation
tb
17.38
Mean
Maximum
124.30
164.00
Minimum
Standard Deviation
67.00
19.13
Custom Tables
jenis chelasi
dferiprone
57
deferasirox
Standard
Mean
lama pemakaian obat
Maximum
3.94
Minimum
6.00
Deviation
1.00
Mean
1.52
Maximum
3.34
6.00
jenis chelasi
deferasirox
Standard
Minimum
lama pemakaian obat
Standard
Deviation
1.00
Mean
1.21
Maximum
3.64
Minimum
6.00
Deviation
1.00
1.40
Custom Tables
jenis chelasi
dferiprone
deferasirox
Standard
Mean
compliance obat
Maximum
.82
Minimum
1.00
Deviation
.66
Mean
.09
Maximum
.83
1.00
jenis chelasi
deferasirox
Standard
Minimum
compliance obat
Standard
Deviation
.60
Mean
.13
Maximum
.83
Minimum
1.00
Deviation
.60
.11
Custom Tables
jenis chelasi
dferiprone
deferasirox
Standard
Mean
Maximum
Minimum
Deviation
58
Mean
Maximum
Minimum
feritin
3536.31
9600.00
1055.70
2511.27
3947.77
8709.00
1123.50
jenis chelasi
deferasirox
Total
Standard Deviation
feritin
Mean
2436.30
Maximum
3742.04
Minimum
9600.00
Standard Deviation
1055.70
2463.10
Custom Tables
jenis chelasi
dferiprone
deferasirox
Standard
Mean
SGOT
Maximum
55.72
236.00
Minimum
Deviation
19.00
Mean
40.23
Maximum
40.56
61.00
Minimum
18.00
jenis chelasi
deferasirox
Total
Standard Deviation
SGOT
Mean
11.16
Maximum
48.14
Minimum
236.00
Standard Deviation
18.00
30.27
Custom Tables
jenis chelasi
dferiprone
deferasirox
Standard
Mean
SGPT
48.31
Maximum
198.00
Minimum
3.00
Deviation
41.94
jenis chelasi
59
Mean
30.38
Maximum
72.00
Minimum
8.00
deferasirox
Total
Standard Deviation
SGPT
Mean
17.02
Maximum
39.34
Minimum
198.00
Standard Deviation
3.00
33.01
Custom Tables
jenis chelasi
dferiprone
deferasirox
Standard
Mean
GAMMA GT
Maximum
24.50
Minimum
67.00
Deviation
10.00
Mean
14.08
Maximum
16.78
38.00
Minimum
9.00
jenis chelasi
deferasirox
Total
Standard Deviation
GAMMA GT
Mean
6.81
Maximum
20.64
Minimum
67.00
9.00
Custom Tables
jumlahtransfusi
Standard
Mean
jenis chelasi
Maximum
Minimum
Deviation
dferiprone
328.12
525.00
175.00
73.71
deferasirox
333.59
525.00
175.00
81.47
Total
330.86
525.00
175.00
77.12
60
Standard Deviation
11.64
Mann-Whitney Test
Ranks
jenis chelasi
jumlahtransfusi
Mean Rank
dferiprone
32
32.08
1026.50
deferasirox
32
32.92
1053.50
Total
64
Test Statisticsa
jumlahtransfusi
Mann-Whitney U
498.500
Wilcoxon W
1026.500
-.259
.796
Correlations
Correlations
feritin
feritin
Pearson Correlation
SGOT
.461**
Sig. (2-tailed)
N
SGOT
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Sum of Ranks
.000
64
64
**
.461
.000
64
64
61
Correlations
feritin
feritin
Pearson Correlation
SGPT
.557**
Sig. (2-tailed)
.000
N
SGPT
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
64
64
.557**
.000
64
64
Correlations
feritin
feritin
GAMMA GT
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
GAMMA GT
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
.469**
.000
64
64
**
.469
.000
64
62
64