Kesehatan Masyarakat
LATAR BELAKANG
Pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia yang telah dijalankan selama ini
masih memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara pendekatan pembangunan
kesehatan masyarakat dengan tanggapan masyarakat, manfaat yang diperoleh
masyarakat, dan partisipasi masyarakat yang diharapkan. Meskipun di dalam Undang-
undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah ditegaskan bahwa tujuan
pembangunan kesehatan masyarakat salah satunya adalah meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya. Oleh karena itu pemerintah
maupun pihak-pihak yang memiliki perhatian cukup besar terhadap pembangunan
kesehatan masyarakat –termasuk perawat spesialis komunitas— perlu mencoba
mencari terobosan yang kreatif agar program-program tersebut dapat dilaksanakan
secara optimal dan berkesinambungan.
Salah satu intervensi keperawatan komunitas di Indonesia yang belum banyak digali
adalah kemampuan perawat spesialis komunitas dalam membangun jejaring kemitraan
di masyarakat. Padahal, membina hubungan dan bekerja sama dengan elemen lain
dalam masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang memiliki pengaruh
signifikan pada keberhasilan program pengembangan kesehatan masyarakat (Kahan &
Goodstadt, 2001). Pada bagian lain Ervin (2002) menegaskan bahwa perawat spesialis
komunitas memiliki tugas yang sangat penting untuk membangun dan membina
kemitraan dengan anggota masyarakat. Bahkan Ervin mengatakan bahwa kemitraan
merupakan tujuan utama dalam konsep masyarakat sebagai sebuah sumber daya yang
perlu dioptimalkan (community-as-resource), dimana perawat spesialis komunitas
harus memiliki ketrampilan memahami dan bekerja bersama anggota masyarakat
dalam menciptakan perubahan di masyarakat.
Terdapat lima model kemitraan yang menurut anggapan penulis cenderung dapat
dipahami sebagai sebuah ideologi kemitraan, sebab model tersebut merupakan azas
dan nafas kita dalam membangun kemitraan dengan anggota masyarakat lainnya.
Model kemitraan tersebut antara lain: kepemimpinan (manageralism) (Rees, 2005),
pluralisme baru (new-pluralism), radikalisme berorientasi pada negara (state-oriented
radicalism), kewirausahaan (entrepreneurialism) dan membangun gerakan
(movement-building) (Batsler dan Randall, 1992). Berkaitan dengan praktik
keperawatan komunitas di atas, maka model kemitraan yang sesuai untuk
mengorganisasi elemen masyarakat dalam upaya pengembangan derajat kesehatan
masyarakat dalam jangka panjang adalah model kewirausahaan (entrepreneurialism).
Model kewirausahaan memiliki dua prinsip utama, yaitu prinsip otonomi (autonomy) –
kemudian diterjemahkan sebagai upaya advokasi masyarakat—dan prinsip penentuan
nasib sendiri (self-determination) yang selanjutnya diterjemahkan sebagai prinsip
kewirausahaan.
Pada bagian lain, saat ini mulai terlihat kecenderungan adanya perubahan pola
permintaan pelayanan kesehatan pada golongan masyarakat tertentu dari pelayanan
kesehatan tradisional di rumah sakit beralih ke pelayanan keperawatan di rumah
disebabkan karena terjadinya peningkatan pembiayaan kesehatan yang cukup besar
dibanding sebelumnya (Depkes RI, 2004a, 2004b; Sharkey, 2000; MacAdam, 2000).
Sedangkan secara filosofis, saat ini telah terjadi perubahan “paradigma sakit” yang
menitikberatkan pada upaya kuratif ke arah “paradigma sehat” yang melihat penyakit
dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996).
Sehingga situasi tersebut dapat dijadikan peluang untuk mengembangkan praktik
keperawatan komunitas beserta pendekatan kemitraan yang sesuai di Indonesia.
Bidang tugas perawat spesialis komunitas tidak bisa terlepas dari kelompok masyarakat
sebagai klien termasuk sub-sub sistem yang terdapat di dalamnya, yaitu: individu,
keluarga, dan kelompok khusus. Menurut Nies dan McEwan (2001), perawat spesialis
komunitas dalam melakukan upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status
kesehatan masyarakat dapat menggunakan alternatif model pengorganisasian
masyarakat, yaitu: perencanaan sosial, aksi sosial atau pengembangan masyarakat.
Berkaitan dengan pengembangan kesehatan masyarakat yang relevan, maka penulis
mencoba menggunakan pendekatan pengorganisasian masyarakat dengan model
pengembangan masyarakat (community development).
Tujuan dari penggunaan model pengembangan masyarakat adalah (1) agar individu
dan kelompok-kelompok di masyarakat dapat berperan-serta aktif dalam setiap
tahapan proses keperawatan, dan (2) perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan
tindakan) dan kemandirian masyarakat yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan,
perlindungan dan pemulihan status kesehatannya di masa mendatang (Nies &
McEwan, 2001; Green & Kreuter, 1991). Menurut Mapanga dan Mapanga (2004) tujuan
dari proses keperawatan komunitas adalah meningkatkan kemampuan dan
kemandirian fungsional klien / komunitas melalui pengembangan kognisi dan
kemampuan merawat dirinya sendiri. Pengembangan kognisi dan kemampuan
masyarakat difokuskan pada dayaguna aktifitas kehidupan, pencapaian tujuan,
perawatan mandiri, dan adaptasi masyarakat terhadap permasalahan kesehatan
sehingga akan berdampak pada peningkatan partisipasi aktif masyarakat (Lihat
Gambar 1).
Menurut Hitchcock, Scubert, dan Thomas (1999) fokus kegiatan promosi kesehatan
adalah konsep pemberdayaan (empowerment) dan kemitraan (partnership). Konsep
pemberdayaan dapat dimaknai secara sederhana sebagai proses pemberian kekuatan
atau dorongan sehingga membentuk interaksi transformatif kepada masyarakat, antara
lain: adanya dukungan, pemberdayaan, kekuatan ide baru, dan kekuatan mandiri untuk
membentuk pengetahuan baru. Sedangkan kemitraan memiliki definisi hubungan atau
kerja sama antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan
saling menguntungkan atau memberikan manfaat (Depkes RI, 2005). Partisipasi
klien/masyarakat dikonseptualisasikan sebagai peningkatan inisiatif diri terhadap
segala kegiatan yang memiliki kontribusi pada peningkatan kesehatan dan
kesejahteraan (Mapanga & Mapanga, 2004)
4.1. Advokasi
Walaupun istilah advokasi mempunyai banyak definisi, dua definisi di bawah ini
mengandung konsep-konsep utama advokasi hak asasi manusia (hak masyarakat) yang
esensial. Pengertian pertama advokasi sebagai segala aktivitas yang ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran publik di antara para pengambil-keputusan dan khalayak
umum atas sebuah masalah atau kelompok masalah, dalam rangka menghasilkan
berbagai perubahan kebijakan dan perbaikan situasi (Black, 2002, hal.11). Pengertian
kedua, advokasi keadilan sosial, yaitu upaya pencapaian hasil-hasil yang berpengaruh –
meliputi kebijakan-publik dan keputusan-keputusan alokasi sumber daya dalam sistem
dan institusi politik, ekonomi, dan sosial – yang mempengaruhi kehidupan banyak
orang secara langsung (Cohen et al., 2001, hal. 8).
4.2. Kewirausahaan
Fokus praktik keperawatan komunitas adalah individu, keluarga, kelompok khusus dan
masyarakat. Pengorganisasikan komponen masyarakat yang dilakukan oleh perawat
spesialis komunitas dalam upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status
kesehatan masyarakat dapat menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat
(community development). Intervensi keperawatan komunitas yang paling penting
adalah membangun kolaborasi dan kemitraan bersama anggota masyarakat dan
komponen masyarakat lainnya, karena dengan terbentuknya kemitraan yang saling
menguntungkan dapat mempercepat terciptanya masyarakat yang sehat.
Dalam tulisan ini telah disajikan analisis mengenai kemanfaatan model kemitraan
keperawatan komunitas terhadap: keperawatan spesialis komunitas, sistem pendidikan
keperawatan komunitas, regulasi, sistem pelayanan kesehatan, dan masyarakat serta
implikasi model terhadap pengembangan kebijakan keperawatan komunitas dan
promosi kesehatan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA:
1. Anderson, E.T. & J. McFarlane, 2000. Community as Partner Theory and Practice in Nursing 3rd
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2. Black, M. 2002. A Handbook on Advocacy – Child Domestic Workers: Finding a Voice. Anti-
Slavery International. Sussex, UK: The Printed Word.
3. Bracht, N. (Ed.). 1990. Health promotion at the community level. Newbury Park, CA: Sage.
4. Co, M.J. 2004. The Formal Institutional Framework of Entrepreneurship in the Philippines:
Lessons for Developing Countries. The Journal of Entrepreneurship, 13 (2): 185-203.
5. Cohen, E. 1996 Nurse Case Management in the 21st Century. St. Louis: Mosby-Year Book. Inc.
6. Cohen, D., de la Vega, R., & Watson, G. 2001. Advocacy for Social Justice: A Global Action and
Reflection Guide. Bloomfield, CT: Kumarian Press.
7. Community Health Nurses Association of Canada. 2003. Canadian community health nursing
standards of practice. Ottawa: Author.
8. Depkes RI. 2004a. Kajian Sistem Pembiayaan, Pendataan dan Kontribusi APBD untuk
Kesinambungan Pelayanan Keluarga Miskin (Exit Strategy). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
9. Depkes RI. 2004b. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
10. Depkes RI. 2005. Kemitraan. Pusat Promosi Kesehatan http://www. promokes.go.id, diunduh
pada tanggal 25 September 2005